Anda di halaman 1dari 13

Panduan Itikaf

Jalan Menggapai Ridha Allah

Kata Pengantar
Sepuluh malam terakhir di bulan Ramadlan adalah malam yang
banyak ditunggu oleh para kaum muslimin, karena di dalamnya
terdapat Lailatul Qodar , satu malam yang istimewa, termasuk lailatul
istijabah, keutamaannya melebihi seribu bulan. Nabi Muhammad telah
memberikan contoh amalan-amalan untuk menyambut datangnya
malam yang mulia tersebut, salah satunya adalah untuk memperbanyak
itikaf.
Dalam tulisan kecil ini, kami mencoba menyajikan adillah
(landasan hukum), adab (tata krama), amaliyyah (amalan), awrad wa aladzkar (bacaan dan dzikir), serta adiyyah (doa-doa) yang berkaitan
dengan itikaf. Adapun refesensi yang kami ambil adalah kitab-kitab
mutabarah kalangan Syafiiyyah, dengan sedikit perbandingan
(muqaranah) dari madzhab lainnya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Amin Ya Rabb al-Alamin.
Karanganyar, Ramadlan 1434 H
Penulis

ITIKAF
A. Pengertian
Secara bahasa, Itikaf (

)berasal dari kata

yang

berarti tinggal dan mengasingkan diri. Sedangkan secara istilah,


itikaf diartikan oleh Para ulama dengan pengertian berikut :
1. Syekh Zakariya bin Muhammad al-Anshary, dalam kitab Fathul
Wahhab menyebutkan :

2. Syekh Ibnu Qasim al-Ghazy, dalam kitab Fathul Qarib


menyebutkan :

3. Syekh Ibnu Abd Aziz al-Malibary, dalam kitab Fathul Muin


menyebutkan :

4. Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, dalam kitab Fathul


Bari menyebutkan :

Dari sejumlah pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan


bahwa yang dinamakan itikaf harus memenuhi unsur-unsur (rukun)
berikut :

banyak yang melupakan niat, mengingat cukup sederhananya


ritual itikaf tersebut.
Adapun untuk membantu tergugahnya hati untuk nejo

a. Ada niat/tujuan untuk itikaf.

itikaf, maka Imam Syafii men-sunah-kan talaffudz (melafadzkan)

b. Mutakif (orang yang ber-itikaf)

niat. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut :

c. Mutakaf (tempat itikaf)


d. Itikaf , dengan Lubts (berdiam diri) atau Qiyam (melakukan
2. Mutakif

sesuatu).

Mutakif adalah orang yang ber-itikaf. Rukun ini vital adanya,


karena tidak mungkin suatu pekerjaan ada tanpa adanya subjek

B. Dasar Hukum

(pelaku). Berkenaan dengan mutakif, fiqh mensyaratkan ia harus

Adapun dasar hukum itikaf adalah hadits berikut :

memenuhi hal berikut :


a) Islam
Berdiamdirinya seorang non-Islam di dalam Masjid tidak
dapat dikatakan sedang ber-itikaf, karena itikaf hanyalah
diperuntukan untuk orang Islam.
b) Aqil

C. Rukun Itikaf

Aqil adalah standar untuk kapasitas intelektual.

1. Niat
Semua madzhab mewajibkan niat. Artinya jika itikaf tidak

Seseorang dikatakan aqil ketika ia sudah tamyiz,, sudah

digemingkan dalam hati untuk melakukan

mampu mempergunakan akalnya. Orang gila, orang kesurupan,

itikaf , maka dia tidak dianggap telah melakukan itikaf. Hal ini

orang mabok, orang ayan, bayi (balita) adalah orang-orang

menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena memang

dalam kategori tidak aqil.

diniatkan, tidak

Baligh tidak dimasukan karena memang baligh adalah


standar untuk kemampuan fisik. Sedangkan untuk ibadah

masyarakat yang tidak ada dominasi masing-masing, semua


sama dalam hak dan kewajiban.

sunah yang sifatnya tathawwu (sukarela), termasuk itikaf ,

Dengan menggunakan metode al-Jamu wa at-Taufiq

baligh tidak dimasukan dalam persyaratan sah tidaknya

(Menggabungkan pendapat dan mengkompromikannya),

ibadah.

kami kira kita bisa mencari jalan keluar yang moderat, yaitu
bahwa tidak sah-nya itikaf seorang istri jika dilakukan dengan

c) Suci dari hadats


Para imam madzhab mewajibkan mutakif (orang yang
itikaf) harus suci dari hadats besar. Adapun hadats kecil, tidak
menjadikan tidak sahnya itikaf, sehingga sah itikaf-nya orang

meninggalkan kewajibannya melayani suami atau mengurus


rumah tangga.
Adapun alasan suami tidak memperbolehkan istri beritikaf adalah jika dikhawatirkan ia melalaikan kedua tugas

yang tertidur di dalam Masjid.

tersebut di atas, atau mungkin akan mengancam kehormatan

d) Bagi istri, harus mendapatkan izin suami


Menurut Imam Hanafi, Imam Syafii, dan Imam Ahmad
bin Hanbal, seorang istri yang ber-itikaf tanpa izin dari
suaminya, itikaf-nya tidak sah. Sedangkan menurut Imam
Maliki, itikaf-nya sah namun ia mendapatkan dosa.

istri. Dan semua alasan tersebut adalah sangat mungkin untuk


tidak terjadi di Indonesia.
Perlu juga untuk memperhatikan sebuah kaidah hukum
berikut :

Namun perlu diingat bahwa karakteristik fiqh Aimmatul


Madzahib, berbeda dengan fiqh Indonesia. Dimana fiqh di

Menghindari sesuatu yang bisa menjadikan kondisi tidak kondusif itu

tempat mereka lahir adalah fiqh yang banyak dipengaruhi

lebih utama dari pada melakukan kebaikan yang bisa memicu terjadinya

budaya masyarakat patrilinear (kekuasaan didominasi oleh

kondisi tidak kondusif.

laki-laki, termasuk dalam urusan rumah tangga), sedangkan


Indonesia, khususnya Jawa adalah masyarakat parental, yaitu

Dan dalam masalah ini, rupanya Imam Syafii cukup

3. Mutakaf (tempat itikaf)

bijaksana dengan tidak tasyaddud seperti pendapat di atas,

Ada 3 pendapat besar tentang tempat itikaf, yaitu :

karena mengambil sikap diam saja menurut Imam Syafii

a) Pendapat Imam Maliki dan Syafii


Itikaf hanya sah jika dilakukan di Masjid, baik Masjid

sudah termasuk itikaf.


Pertanyaannya kemudian, seberapa lamakah batasan

Jami maupun Ghoiro Jami. Adapun Masjid Jami adalah


masjid dalam satu wilayah yang paling banyak jamaahnya.

minimal orang ber-itikaf?


Menurut Imam Hanafi, batasan minimalnya adalah

b) Pendapat Imam Hanafi


Untuk laki-laki, itikaf hanya sah dilakukan di dalam

sekejap dan tanpa batas, sehingga jika seseorang berjalan

Masjid Jami, sedangkan untuk perempuan hanya sah jika

dalam Masjid disertai niat untuk itikaf dia sudah terhitung

dilakukan di tempat shalat yang berada di dalam rumah

ber-itikaf. Menurut Imam Syafii batasan minimalnya adalah

(dalam istilah Jawa sembahyangan).

sekiranya seseorang telah dikatakan diam di dalam Masjid,


atau kira-kira seperti lamanya orang thumaninah dalam shalat.

c) Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal


Itikaf hanya boleh dilakukan di Masjid Jami. Adapun

Menurut Imam Maliki batasannya adalah sehari semalam,

jika mutakif adalah orang yang udzur, orang sakit, anak kecil,

sehingga jika mutakif keluar dari Masjid tanpa alasan yang

perempuan,

maka

itikaf-nya

boleh

dilakukan

di

syari maka batal-lah itikaf-nya dan wajib di-qadla (karena bagi


Imam Maliki, amalan baik wajib maupun sunah jika terputus,

sembahyangan atau mushalla.

maka wajib di-qadla). Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal

4. Itikaf
Rukun selanjutnya adalah itikaf itu sendiri. Ada satu
pendapat yang sangat ekstrim terkait hal ini, yaitu pendapat

memperkirakan batasan minimal itikaf dengan satu kedipan


mata.

sebagian murid Imam Maliki, bahwa mutakif harus selalu


menyibukan dirinya dengan beribadah kepada Allah SWT.
Dan jika tidak, maka itikaf-nya tidak sah.

D. Adab Mutakif
Selain memenuhi syarat-rukun di atas, seorang mutakif perlu


-

o

memperhatikan adab-adab berikut :


1. Memperbanyak taabbud, seperti shalat, membaca al-Quran,
shalawat, awrad, dsb.

2. Memperbanyak tafakkur

3. Boleh juga memperbanyak talim dan taallum.


Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily, seorang Guru Besar
Fakultas Syariah dari Universitas Damaskus bahwa tujuan utama
dari itikaf bukanlah memperoleh pahala yang melimpah, namun

yang lebih tendensial adalah untuk mencari ketenangan hati yang


dengannya kita dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

E. Adiyyah dan Awrad Saat Iikaf (Untuk Menyambut Lailatul


Qadar)
Termasuk hal-hal yang disunahkan saat itikaf adalah

memperbanyak bacaan-bacaan al-Quran, shalawat, wirid, dsb.


Berikut ini kami sajikan kumpulan doa-doa itikaf yang kami nuqil
dari kitab Kanzu an-Najah wa as-Surur fi Adiyah allati Tasyrohu ash-

Shudur, Karya Syekh Abdul Hamid Muhammad Ali Quds, seorang


Guru dan Imam Besar Masjidil Haram.





o
.




o






o






o
o

11

10

13

12

15

14

17

16

--

19

18

21

20

DAFTAR PUSTAKA

4141
al-Quranul Karim

Ali Quds, Abdul Hamid bin Muhammad, Kanzun Najah wa as-Surur fi


al-Adiyyah allati Tasyrahu ash-Shudur.
al-Asqalany, Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarhu Shahih Bukhari (Beirut: Dar
al-Marifah, 1379).
al-Anshory, Zakariya, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
al-Ghazy, Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfadzi
at-Taqrib (Beirut: Dar Ibnu Hazm).
al-Malibary, Ibnu Abdil Aziz, Fathul Muin bi Syarhi Qurrrat al-Ain
(Beirut: Dar Ibnu Hazm).
az-Zuhaily, Wahbah bin Mushtafa, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu
(Damaskus: Dar al-Fikr).

22

Anda mungkin juga menyukai