Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

REFLUKS LARINGOFARINGEAL

Dosen Pembimbing :

dr. H.R Krisnabudhi, Sp. THT-KL


Disusun oleh :

Indriyanti Natasya Ayu Utami K (09-038)

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT THT-KL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG PERIODE 22 JULI 2013 24 AGUSTUS 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

HALAMAN PENGESAHAN

Nama NIM Fakultas Bagian Hari/Tanggal Diajukan Judul Referat

: Indriyanti Natasya Ayu Utami Kotten : 0961050038 : Kedokteran, Universitas Kristen Indonesia : Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL : Jumat/23 Agustus 2013 : Refluks Laringofaringeal

Cibinong, 23 Agustus 2013 Pembimbing Bagian Ilmu THT-KL RSUD Cibinong

dr. H.R Krisnabudhi, Sp.THT-KL

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis telah mendapatkan kesempatan, sehingga referat Laryngopharyngeal Reflux ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti kegiatan kepaniteraan dan mempelajari ilmu penyakit THT-KL di RSUD Cibinong. 2. dr. H.R Krisnabudhi, Sp.THT-KL, dokter pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, bimbingan, motivasi, dan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam penulisan referat ini. 3. dr. Dadang Chandra, Sp.THT-KL, dokter pembimbing yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti kepaniteraan di RSUD Cibinong. 4. dr. Martinus, perwakilan diklat RSUD Cibinong yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti kepaniteraan di RSUD Cibinong. 5. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulisan referat ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.

Cibinong, 23 Agustus 2013 Penulis

iii

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR .. iii DAFTAR ISI iv BAB I PENDAHULUAN 1 .. 2 2 2 4 5 .. 6 7 7 7 9 9 10 13 14 15 16 17 .. 18 .. 19

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING II.1 Embriologi Laring II.2 Anatomi Laring II.3 Histologi Laring II.4 Fisiologi Laring BAB III REFLUKS LARINGOFARINGEAL III.1 Definisi III.2 Etiologi III.3 Patofisiologi dan Patogenesis III.4 Diagnosis III.4.1 Anamnesis III.4.2 Pemeriksaan Fisik III.4.3 Pemeriksaan Penunjang III.5 Diagnosis Banding III.6 Penatalaksanaan III.7 Komplikasi III.8 Prognosis BAB IV RESUME DAFTAR PUSTAKA

iv

BAB I PENDAHULUAN
Sejak akhir tahun 1960-an, penyakit refluks gastroesofangeal (gastroesophangeal reflux disease) diketahui memiliki hubungan dalam patogenesis penyakit ekstraesofagus, termasuk radang tenggorok atau refluks laringofaringeal (laryngopharyngeal reflux). Meskipun hubungan sebab-akibat telat diperkuat dengan bukti yang lebih baru, namun kita masih membutuhkan bukti-bukti yang ilmiah untuk menentukan penyebab, diagnosis dan pengobatannya.1 Laryngopharyngeal reflux (LPR) pertama kali ditemukan oleh Kaufman pada tahun 1981. Berbagai istilah seperti laryngopharyngeal reflux (LPR), gastroesophangeal reflux disease (GERD) supraesofangeal, GERD atipikal dan komplikasi GERD ekstraesofangeal telah digunakan untuk menggambarkan sekelompok gejala dan tanda.3 Meskipun telah digunakan berbagai istilah, namun pada dasarnya refluks laringofaringeal merupakan dampak dari refluksnya asam lambung ke dalam esofagus yang berdampak terhadap laring, faring dan paru. Meskipun gejala ini sebelumnya dianggap merupakan spektrum dari GERD, laryngopharyngeal reflux (LPR) sekarang adalah sebuah entitas yang berbeda dan harus dikelola secara berbeda.1 Refluks laringofaringeal dan refluks gastroesofangeal adalah sesuatu yang berbeda. LPR disebabkan oleh iritasi dan perubahan dari faring sedangkan GERD disebabkan oleh refluks lambung ke dalam esofagus, yang menyebabkan kerusakan jaringan atau esofagitis dan rasa terbakar. LPR tidak terjadi paska prandial. LPR terjadi pada pasien yang sedang berdiri atau saat beraktifitas, tidak ada hubungan dengan lamanya paparan asam lambung dan tidak berhubungan dengan kelainan motilitas dari esofagus maupun gaster. Akibat banyaknya pasien dengan LPR jumlah dan lamanya refluks esofagus masih dalam kisaran normal. Meskipun kisaran refluks esofagus tidak menyebabkan rasa terbakar dan esofagitis, hal ini berbeda dengan epitel pada laring yang mudah rapuh, sehingga refluks esofagus yang ringan dapat menyebabkan kerusakan pada epitel laring. Berbeda pada esofagus bagian distal, pada saluran nafas tidak memiliki mekanisme pelindung antireflux clearance dan lapisan mukosa pelindung asam.4,5
2

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING


II.1 Embriologi Laring Faring, laring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakea menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (korda vokal) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. 6 Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankial embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankial. 6

II.2 Anatomi Laring Laring terdiri atas perencah yang tersusun dari kartilago hialin yang semakin mengalami mineralisasi setelah pubertas. Kartilago tersebut terhubung dengan ligamen, membran dan otot satu sama lain serta dengan jaringan sekitarnya. Tulang rawan tiroid (kartilago tiroid), sebagai struktur terpenting yang dapat dikenali dari luar, terfiksasi pada os hioid oleh ligamentum tiroid. Kartilago tersebut terhubung dengan kartilago cincin (kartilago krioid) di sebelah bawah oleh ligamentum konikum. Di tempat ini, koniotomi dapat dilakukan untuk memastikan keamanan jalan napas pada keadaan darurat. Di sebelah bawah, saluran napas bergabung dengan kartilago cincin melalui ligamentum krikotrakeal.7 Di kartilago cincin, terdapat pasangan kartilago aritenoid yang merupakan tempat penarikan pita suara ke kartilago tiroid. Di bagian anterior kartilago tiroid, epiglotis terfiksasi, yaitu suatu struktur yang menyerupai daun pintu dan menutup laring selama proses menelan. Epiglotis terjulur di sebelah lateral ke arah hipofaring berupa bagian tepi mukosa, yaitu plika ariepiglotika. Di bawah tepi tersebut, plika vestibular menonjol karena mukosa. Antara lipatan tersebut dan pita suara, terdapat ventrikel Morgagni.7

Gambar 2.1. Anatomi laring3

Rima glottidis itu sendiri berbatasan dengan tepi medial pita suara. Panjangnya pada pria mencapai sekitar 2-2,5 cm, sedangkan pada wanita 1,5-2 cm. Di sebelah depan ke arah kartilago tiroid, terdapat suatu struktur bersudut runcing, yaitu komisura anterior. Dasar dorsal segitiga tersebut di antara kedua kartilago aritenoid dan kartilago tiroid dinamakan komisura posterior. Berbagai otot membuka atau menutup rima glottidis serta meregangkan pita suara. Pelebaran rima glottidis hanya dapat ditimbulkan oleh kontraksi m. krikoaritenoid posterior. Peregang pita suara adalah m. vokal dan m. krikotiroid. Semua otot lain menutup rima glottidis. Rasio kekuatan antara penutupan dan pembukaan rima glottidis sebesar 3:1. Secara fungsional, laring dibagi menjadi: 1.) Ruang supraglotik: antara ruang atas epiglotis dan ventrikel Morgagni; 2.) Glotis: permukaan kontak pita suara; dan 3.) Ruang subglotik: tepi bawah glotis (linea arkuata inferior) sampai bagian bawah kartilago krioid.7 Suplai darah laring dibagi menjadi dua bagian. Rongga supraglotik dan glotis diperdarahi oleh a. laring superior (dari a. karotis eksterna), regio subglotis oleh a. laring inferior (dari a. subklavia). Aliran vena diberikan oleh v. tiroid superior ke dalam v. jugular interna atau v. tiroid inferior ke dalam v. brakiosefalika.7
3

Laring, terutama ruang supraglotik, memiliki sejumlah besar pembuluh limfe. Hanya glotis yang hampir tidak memiliki pembuluh limfe. Aliran supraglotik ipsilateral dan kontralateral ke dalam kelenjar limfe servikal dan kelenjar limfe sudut vena. Sebelum laring, terdapat kelenjar limfe Delphi, yang memiliki arti prognostik khusus di area komisura anterior pada keganasan. Aliran limfe subglotis selain menuju kelenjar limfe servikal, juga ke dalam kelenjar limfe trakea dan mediastinum.7 Nervus vagus dengan cabang-cabangnya mempersarafi laring baik untuk fungsi sensorik maupun motorik. Pada inervasi tersebut, n. laringeus superior memberi persarafan motorik ke m. krikotiroid melalui ramus eksternus serta persarafan sensorik ke mukosa supraglotis dan glotis melalui ramus internus. N. laringeus inferior, yang juga disebut n. rekurens, melengkung keluar dari n. vagus kiri di sekitar aorta atau sisi kanan a. subklavia dan berjalan kembali ke arah kranial di antara esofagus dan trakea menuju laring. Di tempat ini, saraf tersebut memberi persarafan motorik ke semua otot laring interior sehingga penting untuk pembentukan suara. Selain itu, saraf ini juga bertanggung jawab atas inervasi sensorik mukosa laring bawah.7

Gambar 2.2. Persarafan laring3 II.3 Histologi Laring Sebagian besar laring dilapisi oleh mukosa toraks bersilia yang dikenal sebagai epitel respiratori. Namun, bagian-bagian laring yang terpapar aliran udara terbesar, misalnya
4

permukaan lingua pada epiglotis, permukaan superior plika ariepiglotika, dan permukaan superior serta tepi bebas korda vokal sejati, dilapisi oleh epitel gepeng yang lebih keras. Kelenjar penghasil mukus banyak ditemukan dalam epitel respiratori. 6 Laring bawah dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia seperti halnya trakea. Epiglotis, plika vestibular dan pita suara dilapisi dengan epitel skuamosa bertanduk atau tidak bertanduk. Area peralihan antara kedua bentuk epitel tersebut terletak dekat secara subglotik. Pita suara terdiri atas pars membranasea yang terbentuk dari ligamentum vokal, dan pars kartilagin yang terletak di atas setiap processus vokalis kartilago aritenoid.7

II.4 Fisiologi Laring Laring mempunyai tiga fungsi utama: proteksi jalan napas, respirasi dan fonasi. Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme berbeda. Aditus laring sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroid dalam plika ariepiglotika dan korda vokal palsu, di samping aduksi korda vokal sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaring yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva. 6 Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan korda vokal sejati. Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokal palsu dan sejati memungkinkan laring berfungsi sebagai katup tekanan bila menutup, memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan-tindakan mengejan misalnya mengangkat berat atau defekasi. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laring, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas. 6 Fungsi laring yang terakhir ialah fungsi fonasi. Korda vokal sejati yang teraduksi berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara korda vokal sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring (dan krikotiroid) berperan penting
5

dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokal sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Demikian pula karena posisi laring manusia yang lebih rendah, makan sebagian faring, di samping rongga hidung dan sinus paranasal dapat dimanfaatkan untuk perubahan nada yang dihasilkan laring. Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem dalam laring sendiri. 6

BAB III REFLUKS LARINGOFARINGEAL


III.1 Definisi Refluks Laringofaringeal (RLF) adalah suatu keadaan dimana kembalinya isi perut ke dalam esofagus dan masuk kedalam renggorokan (laring dan faring).4,8 Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literatur kedokteran: reflux laryngitis, laringl reflux, gastropharyngeal reflux, pharyngoesophageal reflux, supraesophageal reflux, extraesophageal reflux, atypical reflux. Dan yang paling diterima dari berbagai sinonim tersebut adalah extraesophageal reflux.3,4

III.2 Etiologi Pada kedua ujung esofagus terdapat cincin otot (sfingter). Biasanya, sfingter ini menjaga isi perut tetap berada di dalam perut. Tetapi pada refluks laryngopharyngeal, sfingter tidak bekerja dengan baik. Terjadilah refluks secara retrogade dari asam lambung atau isinya (pepsin) ke supraesofagus dan menimbulkan cidera mukosa. Sehingga terjadilah kerusakan silia yang menimbulkan pembentukan mukus, aktivitas mendehem (throat clearing) dan batuk kronis yang berakibat iritasi dan inflamasi pada faring.1

III.3 Patofisiologi dan Patogenesis RLF merupakan aliran balik isi lambung yang menuju ke laring, faring, dan saluran erodigestif atas. Pada individu yang normal, spingter esofagus atas dan spingter esofagus bawah bekerja secara bersama-sama untuk mencegah aliran balik ke arah esofagus. Proses patologis utama pada RLF terjadi akibat disfungsi dari sfingter esofagus atas. Sfingter esofagus atas terdiri atas krikofaring, tirofaring, dan servikal esofagus proksimal. Sfingter esofagus atas menempel pada krikoid dan tiroid, dan membentuk bentuk-C yang melingkari esofagus dengan inervasi dari pleksus faringeal berupa jaringan syaraf yang dibentuk dari nervus laringeal superior, nervus glosofaring, dan syaraf-syaraf simpatis yang berasal dari ganglion servikal superior. Ketika sfingter esofagus atas membiarkan aliran balik menuju segmen laringofaring, asam lambung dan pepsin yang teraktivasi menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini menyebabkan kelemahan mukosiliari clearance yang mengarah ke stasis mukus yang nantinya akan memperparah eksaserbasi iritasi mukosa dan

menyebabkan timbulnya gejala-gejala pada pasien seperti post nasal drip, throat clearing, dan sensasi globus. 1 Disfungsi sfingter esofagus atas bukanlah penyebab tunggal etiologi RLF. Beberapa studi telah mengungkapkan aspek biokemikal berupa hubungan antara RLF dengan deplesi karbonik anhidrase isoenzim-III (CA-III) sebagai penyebab terdapatnya pepsin pada hasil analisis histologis jaringan laring pada penderita RLF. Penurunan level CA-III, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan konsentrasi pepsin, penting sebagai pertimbangan kondisi akibat penurunan jumlah anion bikarbonat sebagai penetralisir asam lambung dan juga terdapat sedikit penyangga kimia sebagai pelindung mukosa laring. 1 Terdapat 4 pelindung fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif atas dari luka akibat refluks, yaitu sfingter esofagus bawah, fungsi motorik esofageal dengan acid clearance, resistensi jaringan mukosa esofagus, dan sfingter esofagus atas. Epitel respiratori siliata dari laring posterior yang secara normal berfungsi membersihkan mukus dari trakeobronkial diubah ketika pelindung ini gagal dan disfungsi siliari resultan menyebabkan stasis mukus. Akumulasi yang terjadi berikutnya dari mukus adalah sensasi post nasal drip dan menimbulkan throat clearing. Iritasi refluks secara langsung dapat menyebabkan batuk dan laringospasme akibat sensitifitas dasar sensoris laring yang diregulasikan oleh inflamasi lokal. Kombinasi dari berbagai faktor ini dapat mengakibatkan edema pita suara, kontak ulser, dan granuloma yang dapat menyebabkan gejala-gejala RLF lain seperti suara serak, globus faringeus, dan sakit tenggorok.5 Hasil investigasi terkini menunjukkan jaringan laring yang rentan dilindungi dari kehancuran akibat refluks oleh efek regulasi pH karbonik anhidrase di mukosa laring posterior. Karbonik anhidrasi mengkatalisasi hidrasi karbon dioksida untuk menghasilkan bikarbonat, yang nantinya akan melindungi jaringan dari asam akibat refluks. Di esofagus terdapat produksi aktif bikarbonat di rongga ekstraseluler yang berfungsi menetralisasi refluks asam lambung. Tidak terdapat pompa aktif bikarbonat di epitel laring dan CA-III.5

Gagal mekanisme fisiologis

Refluks isi lambung

Laring & faring

Mengalami iritasi oleh asam lambung

Muncul gejala LPR

Gambar 3.1. Algoritma patofisiologi LPR1,9

III.4 Diagnosis III.4.1 Anamnesis Refluks laringofaringeal ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pasien dengan RLF biasanya mempunyai gejala yang tidak spesifik seperti sensasi globus, kelelahan vokal, suara serak, batuk kronis, tenggorok terasa kering, sakit tenggorok dan disfagia.4,9 Tabel 1.1. Key Symptoms of LPR.2 Cervical dysphagia Chronic cough Globus sensation Hoarseness Throat clearing Upright reflux) Dysphonia Sore throat reflux (daytime

Gejala tersebut bukan merupakan gejala yang harus ada pada RLF, namun gejala lain yang biasanya menyertai adalah: eksaserbasi asma, otalgia, lendir tenggorok berlebihan, halitosis (bau mulut), sakit leher, odinofagia, post nasal drip dan gangguan pada suara.2 Gejala khas RLF, seperti tercantum di atas, dapat disebabkan oleh iritasi kronis dari pita suara karena terlalu banyak digunakan, merokok, iritasi, alkohol, infeksi dan alergi, sehingga penyebab-penyebab tersebut perlu ditanyakan untuk menyingkirkan diagnosis. Dokter THT

kebanyakan lebih bergantung kepada gejala, bukan atas tanda-tanda laringoskopi, dalam mendiagnosis RLF.1 Tabel 1.2. Keadaan-keadaan Medis yang Berhubungan dengan RLF.2 Asthma Bronchiectasis Granuloma Laringl carcinoma Otitis media Paradoxical motion disorder Cervical dysphagia Chronic cough Chronic dysphonia Chronic laryngitis Dental caries Laringl papilloma Laryngomalacia Laryngospasm Laryngotracheal stenosis Obstructive sleep apnea Recurrent croup Reinkes edema Ulceration vocal-fold

Pada tahun 2002 Belafsky dkk membuat acuan dalam menentukan gejala RLF dan derajat sebelum dan sesudah terapi. Indeks gejala refluks digambarkan tabel di bawah ini: Tabel 1.3. Indeks Gejala Refluks.1,4,10

III.4.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan laringoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis RLF. Sebagaimana dinyatakan di atas, tanda-tanda beberapa iritasi laring posterior biasanya terlihat, dengan adanya edema dan eritema yang paling berguna untuk diagnosis.

10

Pemeriksaan laring dengan laringoskopi fleksibel lebih umum digunakan karena lebih sensitif tetapi tidak kurang spesifik daripada langoskopi kaku dalam menentukan jaringan yang mengalami iritasi pada kasus curiga RLF.1 Visualisasi laring dan pita suara untuk tanda-tanda RLF memerlukan pemeriksaan laringoskopi. Tanda-tanda yang paling berguna dari GERD yang berhubungan dengan radang tenggorok atau RLF adalah eritema, edema, adanya gambaran komisura posterior, cobblestoning, pseudosulcus vocalis, ulkus, obliterasi ventrikular, nodul, polip dan lain-lain. Pada tahun 2002 Belafsky dkk, mengembangkan skala refluks berdasarkan temuan keparahan klinis. Berikut 8 item yang dinilai untuk membantu dalam mendiagnosis RLF1,10 Tabel 2.1. Reflux Finding Score (RFS)4,10,11 Subglotic edema 0 = absent 2 = present 2 = partial 4 = complete 2 = arytenoids only 4 = diffuse 1 = mild Vocal fold edema 2 = moderate 3 = severe 4 = polypoid 1 = mild Diffuse laringl edema 2 = moderate 3 = severe 4 = polypoid 1 = mild Posterior commisure hypertrophy 2 = moderate 3 = severe 4 = obstructing Granuloma/granulation tissue 0 = absent 2 = present 0 = absent 2 = present
11

Ventricular

Erythema/hyperemia

Thick endolaringl mucus

Gambar 2.1. Gambaran laringoskopi pada pasien dengan RLF9

Gambar 2.2. A) Pseudosulkus vokal bilateral (panah). Perhatikan edema subglotis meluas melewati plika vokal. Juga tampak adanya hipertropi komisura posterior,
12

edema plika vokal, difus edema laring. B) True sulkus vokal dari lipatan vokal kanan (panah). Sulkus terbentuk dari zona midportion dan terhenti prosesnya pada aritenoid.11 Pseudosulcus vokalis telah dilaporkan bahwa 90% kasus RLF didapatkan gambaran tersebut. Dalam studi terpisah, pseudosulkus memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 77% pada pasien dengan RLF. Hal ini semakin mendukung bahwa dengan adanya pseudosulcus vocalis dapat menandakan RLF.1

Gambar 2.3. A) Ventrikel laring terbuka, perhatikan ventrikel band yang tajam. B) Ventrikel obliterasi, lipatan plika vokal mengalami pembengkakan, sehingga menutupi ventrikel. Juga tampak pada bagian komisura posterior mengalami hipertropi ringan.11

III.4.3 Pemeriksaan Penunjang Endoskopi Esofagus: Esophagogastroduodenoscopy (EGD) berguna untuk visualisasi langsung dari saluran cerna bagian atas, bersama dengan biopsi dan merupakan standar untuk pasien dengan esofagitis dan gastritis. Pada pasien dengan GERD mungkin pemeriksaan ini bermakna dalam mencari iritasi mukosa esofagus dan untuk menyingkirkan esofagitis Barret.10 Monitoring pH Faringoesofageal Ambulatory 24 Jam: Pemantauan pH

faringofaringeal ambulatory 24 jam pernah dianggap sebagai standar kriteria untuk mendiagnosis refluks. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemantauan pH distal proksimal

13

dan hipofaringeal tingkat sensitivitasnya hanya 70%, 50% dan 40% dalam mendeteksi refluks.1 Pemantauan pH esofagus, probe pH distal diletakkan 5 cm di atas lover esophangeal spincter (LES) dan probe pH proksimal diletakkan 20 cm di atas LES, tepat di bawah spingter esofagus bagian atas. Pemeriksaan pH ke tiga ditempatkan dalam faring yang secara stimultan merekam perubahan yang berhubungan dengan asam yang sampai ke faring. Pembacaan pH dicatat selama 24 jam saat pasien menunjukkan onset, makan terakhir, tidur dan saat kambuhnya refluks. Informasi yang disediakan oleh tes ini meliputi frekuensi, durasi dan lokasi kejadian refluks.1 Sebuah pemeriksaan esofagus dengan menggunakan kontras barium yang dapat mendemonstrasikan kelainan pada esofagus seperti pada GERD (misalnya: adanya hernia hiatus esofagus distal atau penyempitan striktur). Pemeriksaan esofagografi dengan kontras barium memiliki sensitivitas hanya 33% dalam mendiagnosis refluks.1 Pemeriksaan Histopatologi: Pemeriksaan histopatologi pada laringitis posterior ditandai oleh hiperplasia dari sel epitel skuamosa dengan inflamasi kronik pada submukosa. Perkembangan penyakit menjadi epitel menjadi atropi dan ulserasi dengan defisit fibrin, jaringan granulasi dan fibrosis pada submukosa.1

III.5 Diagnosis Banding GERD (Gastroesofagal Reflux Disease)

Gambar 5.1. GERD13 Ada dua otot spingter yang terletak pada esofagus, Lower Esophageal Sphincter (LES) dan Upper Esophageal Sphincter (UES). Ketika LES tidak bekerja dengan benar ada
14

suatu aliran balik dari lambung berupa asam menuju ke esofagus. Jika ini terjadi dua kali ataupun lebih dalam seminggu, itu bisa merupakan tanda dari penyakit gastroesofageal refluks, atau GERD. Tetapi apa yang terjadi ketika UES yang tidak berfungsi secara benar, seperti pada LES, jika UES tidak berfungsi secara benar, asam yang mengalir balik menuju esofagus menuju tenggorok dan pita suara. Ketika ini terjadi, maka inilah yang dikatakan dengan laringofageal refluks atau LPR.13

Gambar 5.2. GERD13

Selain itu, terdapat beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding untuk RLF sesuai dengan kemiripan tanda dan gejala: Berikut penyakit-penyakit tersebut: 1.) Akut laryngitis; 2.) Functional voice disorder; 3.) Stenosis laring; 4.) Tumor ganas pada laring; 5.) Postcricoid area1

III. 6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan refluks laringofaring dapat dilakukan melalui beberapa cara: 1.) Modifikasi gaya hidup. Beberapa modifikasi gaya hidup yang dilakukan pada pasien RLF antara lain: a) Menghindari makan makanan berat, merokok, alkohol, dan terlambat makan; b) Kurangi berat badan apabila BMI > 35; c) Mengurangi makanan seperti coklat, makanan pedas, jeruk nipis, minuman berkarbonasi, makanan berlemak, mint, dan kafein; d) Tidur dengan bantal atau tempat tidur yang ditinggikan; e) Menghindari pakaian yang ketat pada bagian pinggang;
15

f) Menghindari berbaring ke arah kanan. 6; 2.) Farmakologi: a) Obat-obatan yang mengurangi asam lambung antara lain antagonis reseptor H2 dan Proton Pump Inhibitor (PPI, seperti omeprazole, lansoprazole dan pantoprazole) dengan dosis dua kali per hari; b) Prokinetik, seperti metoclorpramide, bethanacol, domperidone, dan bromopride digunakan untuk meningkatkan tekanan spingter esofagus bawah dan mempercepat pengosongan lambung; c) Sukralfat, digunakan sebagai proteksi mukosa lambung. 5; 3.) Operasi (fundoplikasi): Nissen fundoplikasi dilakukan bila penderita tidak berespon lagi terhadap terapi farmakologi. Operasi ini dilakukan dengan membuat agar fundus lambung menyelimuti bagian bawah dari esofagus. Operasi ini memiliki angka kesuksesan sebesar lebih dari 90% untuk mengobati PRGE dan sekitar 73-86% keberhasilan dalam menatalaksana refluks laringofaring. 5

Gambar 6.1. Algoritma Tatalaksana RLF,10

III.7 Komplikasi Asam lambung yang mengenai tenggorok dan laring dapat menyebabkan iritasi jangka panjang dan kehancuran dinding laring. Komplikasi yang biasa terjadi pada RLF adalah: 1.) Mempersempit daerah di bawah pita suara; 2.) Ulser kontak; 3.) Infeksi telinga yang berulang akibat gangguan pada fungsi tuba; 4.) Meningkatkan resiko kangker pada area yang terkena refluks; 5.) Menimbulkan gejala-gejala iritasi pada sistem pernapasan seperti asma, emfisema, dan bronkitis 12

16

III.8 Prognosis Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laringitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi selama 6 minggu dengan omeprazole, dan sekitar 79% kasus mengalami kekambuhan setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan lansoprazole selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.14

17

BAB IV RESUME
Laryongpharyngeal reflux (LPR) pertama kali ditemukan oleh Kaufman pada tahun 1981. Refluks laringofaringeal (RLF) adalah suatu keadaan dimana kembalinya isi perut ke dalam esofagus dan masuk kedalam tenggorok (laring dan faring). Penyebab RLF adalah adanya refluks secara retrograde dari asam lambung atau isinya (pepsin) ke supraesofagus dan menimbulkan cidera mukosa. Pasien dengan LPR biasanya mempunyai gejala yang tidak spesifik seperti sensai globus, kelelahan vokal, suara serak, batuk kronis, tenggorok terasa kering dan sakit serta disfagia. Diagnosis RLF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan RLF yaitu diet, modifikasi gaya hidup yang tepat dan pengobatan yang adekuat. Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90% dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Amirlak B. Reflux Laryngitis. Medscape: Drugs, Diseases & Procedures. WebMD: Florida. 2012. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/864864-

overview#showall 2. Pham V. Laryngopharyngeal Reflux With An Emphasis On Diagnostic And Therapeutic Considerations. 2009. Available from: www.utmb.edu/otoref/grnds/laryng-reflux090825/laryng-reflux-090825.doc 3. Rees LE, Pazmany L, Gutowska-Owsiak D, et al. The Mucosal Immune Response to Laryngopharyngeal Reflux. American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine. 2008. Vol 177(1): 1187-1193. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ 4. Patigaroo SA, Hashmi SF, Hasan SA, Ajmal MR, Mehfooz N. Clinical Manifestations and Role of Proton Pump Inhibitors in the Management of Laryngopharyngeal Reflux. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2011. 63(2):182189. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ 5. Poelmans J, Tack J. Extraesophangeal Manifestations of Gastro-oesophangeal Reflux. Gut. 2005. 54; 1492-1499. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ 6. Adams, GL., Boies, LR., Higler, PH. Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Anatomi dan Fisiologi Laring. Cohen, James I. Jakarta: EGC. 2012. Halaman 369-377. 7. Nagel, Patrick., Gurkov, et al. Dasar-Dasar Ilmu THT edisi 2. Bab D: Laring dan Trakea, Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: EGC. 2012. Halaman 88-89. 8. Cummings, C.W. et al. Cummings Otolaryngology - Head & Neck Surgery. 5th Ed. USA: Elsevier. 2010. Pg 2806-9. 9. Barry DW, Vaezi MF. Laryngopharyngeal Reflux: More Questions than Answers. Cleveland Clinic Journal Of Medicine. 2010. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ 10. Cummings CW, Flint PW, Haughe BH, Robbins KT, Thomas JR, et al. Cummings Otolaryngology: Head & Neck Surgery. 4th ed. [text books of otolaryngology] 2007. Philadelphia: Elsevier. 11. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The Validity and Reliability of the Reflux Finding Score (RFS). The Laryngoscope. 2001. Lippincott Williams & Wilkins, Inc., Philadelphia. 111:13131317. Available from:

19

http://www.voiceinstituteofnewyork.com/wpcontent/uploads/2010/04/validity-andreliability-of-RFS.pd. 12. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Jakarta: Gaya Baru. Hal: 277. 13. Human physiology/the Gastrointestinal System. 2012. Available from:

http://en.wikibooks.org/wiki/Human_Physiology/The_gastrointestinal_system. 14. Novialdi. Laryngopharyngea Reflux. 2010. Available from: http://repository.unand. ac.id/17700/1/Laryngopharyngeal_reflux. pdf

20

Anda mungkin juga menyukai