Anda di halaman 1dari 0

1

LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN


UNIVERSITASHASANUDDIN
(KLPP)
LAPORAN MODUL PEMBELAJARAN BERBASISSCL
JUDUL :
SEMANTIK BAHASA INDONESIA
MELALUI PENERAPAN
STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)
oleh :
Drs. H. Hasan Ali, M. Hum.
Nip 19580819 198403 1002
FAKULTASSASTRA
UNIVERSITASHASANUUDDIN
MAKASSAR2012
2
LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PPENDIDIKAN
Lantai Dasar Gedung Perpustakaan Univesitas Hasanuddin
HALAMAN PENGESAHAN
MODUL PEMBELAJARAN BERBASIS SCL
TAHUN 2012
Judul : SEMANTIK BAHASA INDONESIA MELALUI PENERAPAN
STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)
Penyusun/Pembuat :
Nama : Drs. H. Hasan Ali, M. Hum.
Nip : 19580819 198403 1 002
Pangkat/Golongan : Lektor Kepala (Gol. IV/b)
HP Pembuat : 081 242 850 92
Jangka waktu kegiatan : 2 bulan (1 Oktober s.d 30 November 2012)
Biaya : Rp. 5.000.000.00 (lima juta rupiah)
Makassar, 25 November 2012
Mengetagui
a.n. Dekan Fakultas Sastra
Pembantu Dekan I, Pembuat Modul,
Prof. Dr. Najmuddin H. Abd. Safa, M.A. Drs. H. Hasan Ali, M. Hum.
Nip 19510715 198803 1 001 Nip 19580819 198403 1 002
ii
3
KATA PENGANTAR

Sesuai dengan tujuan pembelajaran mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia sebagai
mata kuliah pengembangan ilmu yang berbasis kompetensi dan dalam rangka penyelenggaraan
metode pembelajaran berbasis learning, modul ini dihadirkan untuk memfasilitasi mahasiswa
dan dosen dalam proses pembelajaran yang inovatif, interaktif, dan atraktif.
Pembelajaran dan penyususnan materi ajar tidak hanya terfokus pada silabus dan
kurikulum yang sudah ada. Akan tetapi perlu eksplorasi dengan melakukan terobosan-
terobosan baru sesuai perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat. Pengembangan materi
ajar (modul) ini dirancang berbasiskan evaluasi diri dan profil lulusan dengan
mempertimbangkan peningkatan pengetahuan mahasiswa secara bertahap dan sistematik.
Selain itu, perlu dilakukan pengembangan metode-metode pembelajaraan yang dapat
menyentuh dan merangsang peserta pembelajaran (dosen dan mahasiswa) untuk
mengembangkan kreativitas dan keterampilannya. Oleh karena itu, perlu dirancang sebuah
kontrak perkuliahan yang dapat mengakomodir seluruh kebutuhan perkuliahan, baik dari pihak
dosen maupun mahasiswa yang selanjutnya disepakati bersama antaradosen dan mahasiswa
tersebut dalam satu semester ke depan.
Menata kembali sistem pembelajaran mata kuliah SBI yang di dalamnya akan hadir
berbagai kreativitas belajar dalam menerima dan mengolah informasi dengan menumbuhkan
motivasi dan mengoptimalkan fungsi motivasi yang dirancang oleh dosen berdasarkan
kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman positifnya. Salah satu strategi yang dapat pula
digunakan adalah kombinasi antara teacher directed dan student directed. Strategi yang
diarahkan pada pengajar (teacher directed) antara lain: ceramah, Tanya jawab, dan latihan.
Adapun strategi yang terpusat pada mahasiswa (student directed) anatara lain: diskusi
kelompok (small group discussion), simulasi, case study, discovery learning, cooperative
learning, dan penyingkapan yang terbimbing (guided discovery).
Akhirnya, penyusun mengucapkan syukur kepada Sang Yang Maha Pencipta dan Yang
Maha Memiliki Ilmu karena dengan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan modul ini. Terima kasih kepada reviewer yang banyak memberikan arahan
kepada penyusun. Terima kasih pula penyusun sampaikan kepada rekan-rekan anggota tim
pengajar SBI dan rekan-rekan kolega di Jurusan Sastra Indonesia atas saran dan masukannya
dalam penyusunan modul ini.
iii
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................... i
HALAMAN PENGESAHAN . ii
KATA PENGANTAR .. iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN .. 1
BAB II MODUL 1. Ruang Lingkup Semantik 3
BAB III MODUL 2. Teori dan Metode Pendekatan . 10
BAB IV MODUL 3. Jenis / Ragam Makna 16
BAB V MODUL 4. Struktur Leksikal (Pertalian Makna). 22
BAB VI MODUL 5. Ketaksaan Makna (Ambiguitas) 28
BAB VII MODUL 6. Perubahan Makna 33
BAB VIII MODUL 7 Teknik Analisis Makna .. 39
SISTEM EVALUASI . 48
PENUTUP 48
DAFTAR PUSTAKA 49
5
BAB I PENDAHULUAN
A. Profil Lulusan Jurusan/Program Studi
Penerapan kurikulum yang berbasis kompetensi menuntut perubahan strategi
pembelajaran dari teaching centered yang lebih menekankan pada metode yang umumnya
dilakukan di dalam kelas ke strategi pembelajaran student centered yang menekankan pada
pembelajaran kelompok. Profil lulusan Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia sesuai dengan
bidang ilmu yang dibinanya, yaitu:
1. Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia mempersiapkan mahasiswa menjadi ahli bahasa
Indonesia yang dapat bekerja secara professional dan mandiri dalam bidang penelitian dan
pengajaran bahasa, jurnalistik, kritikus, editor, leksikograf, dan penulisan;
2. Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia mempersiapkan mahasiswa menjadi ahli
kesusastraan Indonesia yang dapat bekerja secara professional dan mandiri dalam bidang
penelitian dan pengajaran sastra, jurnalistik, kritikus, editor, dan penulis skenario;
3. Jurusan/Program Studi Sastra Indonesia mempersiapkan mahasiswa menjadi ahli
kebudayaan Indonesia yang dapat bekerja secara profesional dan mandiri dalam bidang
penelitian kebudayaan, kritikus dan penulisan.
B. Kompetensi Lulusan
Kompetensi yang dimiliki lulusanJurusan Sastra Indonesiaterbagi atas tiga kategori, yaitu
(1) kategori utama, (2) kategori penunjang, dan (3) kategori lainnya.
Kompetensi Utama: 1. memiliki pemahaman teori bahasa, sastra, dan budaya, yang sasarannya
pada penguasaan ilmu dan keterampilan;
2. memiliki kemampuan mengkaji bahasa, sastra, dan kebudayaan
Indonesia sebagai sebuah teks dan fenomena sosial;
3. memiliki kemampuan pedagogis dalam pembelajaran bahasa, sastra,
dankebudayaan Indonesia, yang sasarannya pada penguasaan ilmu,
keterampilan, dan kemampuan berkarya.
Kompetensi Penunjang: 1. memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah-masalah bahasa,
sastra, kebudayaan Indonesia, yang sasarannya pada penguasaan
ilmu dan keterampilan, serta sikap dan perilaku dalam berkarya;
2. Kemampuan berbahasa asing, yang sasarannya pada penguasaan
ilmu dan keterampilan, serta sikap dan perilaku dalam berkarya;
3. Kemampuan beradaptasi terhadap perkembangan IPTEKS, yang
sasarannyapada sikap dan perilaku dalam berkarya.
Kompetensi Lainnya: 1. Mampu bersikap dan berperilakuprofessional dalam penerapan
nilai-nilai budaya bahari, yang sasarannya pada pemahaman kaidah
6
berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam
berkarya.
C. Garis-garis Besar Rencaana Pembelajaran(GBRP)



7
BAB II MODUL 1
SEMANTIK DAN RUANG LINGKUPNYA
A.Pendahuluan
Beberapa ahli pernah mengatakan bahwa, dalam telaah bahasa, seperti juga halnya
dalam setiap telaah bersistem lainnya, tidak ada istilah atau terminologi yang netral; setiap
istilah teknis merupakan pengekspresian asumsi-asumsi dan perkiraan-perkiraan teoritis dari
para pemakainya. Searle (dalam Tarigan, 1885: 2). Menyadari kebenaran ucapan tersebut
maka dalam bab ini akan dijelaskan beberapa istilah dan pengertian semantik.
B. Ruang Lingkup Isi Modul
Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini ialah pengertian semantik, sejarah
perkembangan semantik, semantik dalam studi linguistik, semantik dan disiplin ilmu lain, dan
aspek-aspekyang mendasari semantik.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul pertama yang tujuannya membentuk sikap dan kesadaran
mahasiswa akan pentingnya pemahaman tentang sebuah ilmu dan latar belakang lahirnya,
serta aspek-aspekdan bidang kajiannya (seperti yang diuraikan pada modul-modul berikutnya).
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. mengetahui, memahami, dan menguasai pengertian semantik, baik dari segi istilah,
maupun pengertian semantiksecara sempit dan luas;
2. menhgetahui dan memahami sejarah perkembangan semantik;
3. mengetahui dan memahami kedudukan semantik dalam linguistik;
4. mengetahui dan memahami hubungan semantikdengan bidang disiplin ilmu lain;
5. mengetahui dan memahami aspek-aspek yang mendasari semantik
.
8
E. Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. Pengertian Semantik
2. Sejarah Perkembangan Semantik
3. Semantik dalam Studi Linguistik
4. Semantik dan Disiplin Ilmu Lain
5. Aspek-aspek Semantik
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan
1. Pengertian Semantik
Semantik sebagai istilah teknis mengandung pengertian, studi tentang makna. Bebepa
pakar linguistic merumuskan pengertian semantic, antara lain: Kambartel (dalam Pateda, 1986)
mengatakan bahwa, Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang
menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek lain di dunia. Verhaar (1981)
mengatakan bahwa, Semantik berarti teori makna atau teori arti. Selanjutnya, Dalam
Encyclopedia Britanicavol. 20 (1965) dijelaskan bahwa, Semantik dalan studi hubungan proses
mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. Dan, Surana (1984) menjelaskan, Semantik
adalah salah satu cabang ilmu bahasa (linguistic) yang bertugas meneliti makna kata dalam
suatu bahasa; meneliti bagaimana mula-mulanya atau asal-usulnya; meneliti bagaimana
perkembangannya; dan apa sebab-sebanya terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa
tertentu, serta bagaima aplikasinya dalam pemakaian bahasa.
Istilah semantik dapat dipakai dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit.
Semantik dalam pengertian luas dapat dibagi atas tiga pokok bahasan, yaitu (1) sintaksis, yang
menelaah hubungan-hubungan formal antara tanda-tanda satu sama lain; (2) semantik, yang
menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah
penerapan tanda-tanda tersebut; (3) pragmatik, yang menelaah hubungan-hubungan tanda-
tanda dengan para penafsir atau interpretator. Selanjutnya, semantikdalam pengertian sempit
mencakup dua pokok bahasan, yaitu (1) teori referensi, yang mencakup denotasi dan ekstensi;
dan (2) teori makna, yang mencakup konotasi dan intensi.
2. Sejarah Perkembangan Semantik
Pada abad ke-17 istilah semantik(Inggris semantics) sudah ada, misalnya dalam kelompok
kata semantic philosophy. Istilah semantik ini baru muncul dan diperkenalkan melalui
organisasi filologi Amerika (American Philological Assiciation) tahun 1894 dengan judul
Reflected Meanings A Point in Semantics.
M. Breal memperkenalkan istilah semantikdalam bahasa Prancis yakni semantique yang
berpadanan dengan istilah semanticsdalam bahasa Inggris. Pada keduaistilah itu sebenarnya
9
semantik belum tegas membicarakan makna sebagai objeknya, yang dibicarakan lebih banyak
sejarahnya (historical semantics).
Semantik sebagai ilmu yang berdiri sendiri baru muncul pada abad ke-19. Tahun 1820
1925 muncul ilmu baru tetapi belum disadari oleh ahli yang menemukannya. Pada waktu itu
seorang ahli klasik yang bernama C.Reising mengemukakan pendapatnya tentang tata bahasa
yang dibaginya ke dalam tiga bagian, yaitu etimologi, sintaksis, dan semasiologi. Berdasarkan
pemikiran Reising perkembangan semantikdapat dibagi atas tiga fase.
Fase pertama, meliputi masa setengah abad termasuk di dalamnya kegiata Reising.
Fase kedua, awal tahun 1880 yang dimulai dengan munculnya buku M. Breal. Breal
menganggap semantikmerupakan studi murni historis.
Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abad XX, di mana semantiksebagai ilmutelah tercapai
dengan munculnya buku yang berjudul, Meaning end Change of Meaning With Special
Reference to the English Language yang dikarang oleh Gustaf Stern (1931) seorang filolog
Swedia.
Sebelum munculnya buku Gustaf Stern (1931) maka F. de Saussure (1916) dengan
bukunya yang berjudul Cours de Linguistique Generale mengemukakan pandangan baru,
bahwa: (1) pandangan historis tentang semantik sudah ditinggalkan, (2) perhatian telah
diarahkan pada struktur dalam kosa kata, (3) semantik dipengaruhi oleh stilistika, (4) studi
semantikdiarahkan pada bahasa tertentu dantidak bersifat umum lagi, (5) dipelajari hubungan
antara bahasa dengan pikiran karena bahasa tidak dianggap suatu kekuatan yang menentukan
dan mengarahkan pikiran, dan (6) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat,
namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik. Untuk itu,
lahir semantikyang bersifat filosofis yang merupakan cabang logika simbolis.
3. Semantik dalam Studi Linguistik
Semantik sebagai istilah teknis mengandung pengertian studi tentang makna. Dengan
anggapan bahwa makna merupakan bagian dari bahasa maka semantik merupakan bagaian
dari linguistik. Dalam tingkatan bahasa (linguistik), makna menduduki tingkatan/komponen
yang paling akhir setelah komponen bunyi dan tata bahasa. Komponen-komponen
bahasa/linguistik tersebut adalah: (a) komponen bunyi yang merupakan bidang fonologi; (b)
komponen tata bahasa (gramatika) yang merupakan bidang morfologi dan sintaksis; (c)
komponen makna yang merupakan bidang semantik. Hubungan ketiga komponen itu sesuai
dengan kenyataan bahwa, (1) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang
mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu; (2) lambang-lambang merupakan
seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu; dan (3) seperangkat lambang
yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.
10
Kedudukan semantikdari segi sistematika linguistik, yaitu (a) tata bahasa (morfologi dan
sintaksis) menurunkan makna gramatikal. Pada bidang proses morfologi mempengaruhi
perubahan makna sedangkan pada bidang sintaksis (kategori dan peran) menghasilkan makna
gramatikal dan struktural. Pada tataran leksikon menghasilkan semantik leksikal. Pada bidang
fonologi tak menghasikan semantiktetapi tiap fonem berfungsi membedakan makna.
4. Semantik dan Disiplin Ilmu Lain
Semantik sebagai ilmu yang mempelajari makna sangat terkait dengan bidang-bidang
ilmu lain seperti filsafat, psikologi, dan logika. Antara semantik dan filsafat misalnya, semantik
sebagi ilmu mepelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagimana adanya(das sein) dan terbatas
pada pengalaman manusia. Jadi, secara ontology semantikmembatasi masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat di dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia.
Adapun filsafat mengkaji masalah berpikir secara benar. Berpikir secara benar memerlukan
kearifan; kearifan dalam berpikir melahirkan pengetahuan. Semantik sangat tampak dalam
menentukan pernyataan yang benar maupun tidak benar dalam proses berpikir.
Semantik dan psikologi, semantik membicarakan kebermaknaan kata dan satuan-
satuannya yang jelas yang bersifat verbal. Misalnya, orang yang menggelengkan kepala dengan
mimik tertentu tanda tidak setuju sangat menarik bagi psikologi. Ungkapan kalimat, saya
tidak setuju itu sangat menarik bagi semantik. Psikologi mempelajari gejala kejiwaan yang juga
berada dalam jangkauan pemikiran manusia. Psikologi membicarakan kebermaknaan jiwa yang
ditampilkan melewati gejala jiwa, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Semantik
membicarakan kebermaknaan kata dan kesatuannya yang jelas lebih bersifat verbal karena
orang yang menggerutkan dahi tanda tidak senang misalnya, tidak berarti apa-apa bagi orang
yang mempelajari semantik. Kalau ketidaksetujuan itu ditampilkan di dalam kalimat, /saya tidak
setuju/ maka satuan ujuran itu menarik bagi seorang yang mempelajari semantik. Namun,
kedua-duanya sama-sama mengungkapkan makna (kebermaknaan)
Semantik dan Antropologi, antropologi mengkaji perkembangan masyarakat yang relatif
homogen dengan berbagai karakteristiknya; mengkaji bahasa sebagai fenomena sosisal dan
kultural karena bahasa merupakan unsur yang digunakan manusia sebagai bagian hidup yang
menyertai berbagai aktivitasnya. Hubungan semanti dengan fenomena soaial dan kultural pada
dasarnya memang sudah selayaknya terjadi karena aspek sosial dan kultural sangat berperan
dalam menentukan bentuk perkembangan maupun perubahan makna kebahasaan. Dalam
menentukan fungsi dan komponen semantik bahasa maka ada tiga unsur yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, (1) idesional, yaitu isi pesan yang ingin disampaikan, (2) interpersonal, yaitu
makna yang hadir bagi pemeran dalam peristiwa tuturan, dan (3) tekstual, yaitu bentuk
kebahasaan serta konteks tuturan yang merepresentasikan serta menunjang terwujudnya
makna tuturan.
11
5.Aspek-aspek Semantik
Aspek-aspek yang mendasari semantikadalah:
(a)Leksem sebagai Satuan Semantik
Leksem yang dimaksud di sini merujuk kepada kata atau frasa yang merupakan satuan
bermakna. Misalnya, satuan yang berbunyi, /adik makan kue/ setiap unsur merupakan satuan
bermakna. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa setiap leksem merupakan satuan-satuan
semantis. Meskipun setiap leksem itu merupakan satuan semantis, namun tidak semua leksem
mempunyai makna leksikal karena ada yang disebut leksem penuh dan ada leksem tugas,
leksem fungsi atau partikel. Disebut leksem penuh karena leksem itu mengandung makna
tersendiri dan karena itu disebut otosemantis, misalnya pohon, makan, tidur, dsb. Disebut
leksem tugas karena leksem-leksem tersebut hanya memiliki tugas secara gramatikal, karena
itu disebut synsemantis; hanya bermakna apabila muncul bersama-sama dengan leksem yang
lain, misalnya dan, yang, dengan, sebab, dsb.
(b) Tanda dan Simbol
Semantik berhubungan dengan makna tanda-tanda. Tanda dapat digolongkan melalui
beberapa cara, yaitu: (1) tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui oleh
manusia karena pengalaman, misalnya kalau sudah mendung akan turun hujan dan kalau hujan
turun terus-menerus akan terjadi banjir; (2) tanda yang ditimbulkan oleh binatang, misalnya
kalau anjing menggonggong (menyalak) terus-menerus kemungkinan ada orang masuk
halaman rumah; (3) tanda yang ditimbulkan oleh manusia yang dapat dibedakan atas yang
bersifat verbal dan nonverbal. Yang bersifat verbal adalah tanda-tandasebagai alat komunikasi
yang dihasilkan oleh alat bicara. Adapun yang bersifat nonverbal dapat berupa; (a) taanda-
tanda yang menggunakan anggota badan (selain alat bicara), (b) suara, seeperti bersiul; (c)
tanda-tanda yang dihasilkan oleh benda-benda yang diciptakan oleh manusia, seperti rambu-
rambu lalu lintas.
(c) Penamaan
Bahasa boleh disifatkan sebagai suatu sistem komunikasi dengan menandakan pada satu
pihak dan yang ditandakan pada pihak yang lain. Yang menandakan itu merupakan kata-kata
dalam bahasa dan yang ditandakan itu adalah benda atau peritiwa yang digantikannya atau
yang dirujukinya atau yang didenotasikannya yang terdapat di dunia. Jadi, kata-kata itu adalah
namaatau label untuk benda atau peritiwa tersebut.
12
(d) K o n s e p
Setiap leksem atau kata yang diucapkan atau yang didengar oleh kita mengandung konsep.
Kalau kita mendengarkan atau mengucapkan leksem ujianmisalnya, maka yang muncul dalam
pikiran kita atau ingatan kita adalah siswa/mahasiswa yang sedang menghadapi soal-soal,
berpikir, menulis, dan suasana yang tenang. Demikian apabila kita memikirkan suatu nama
maka kita akan memikirkan konsepnya. Demikian pula sebaliknya makna itu mengandung
upaya dalam mengasosiasikan yang satu dengan yang lain.
(e) Pengertian dan Acuan
Apabila di antara pembicara dengan lawan bicara tidak terjadi perbenturan atau
kesalahpahaman tentang apa yang dibicarakan maka baik pembicara maupun lawan bicara
sama-sama mempunyai pengertian yang sama untuk sesuatu tuturan. Pengertian yang ada
pada pembicara atau lawan bicara mengacu sesuatu. kalau kita mengatakan kursi maka leksem
kursi mengacu kepada benda yang disebut kursi. Acuan merujuk kepada hubungan antara
elemen-elemen linguistikberupa leksem, kalimat dan pengalaman.
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Semantik dan Ruang Lingkupnya 0,5 0,5 1 0,5 1,5 4
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
H. Cantoh Soal-soal Latihan
1. Rumuskan pengertian semantiksebagai sebuah simpulan dari pengertian atau definisi yang
dikemukakan oleh para pakar.
2. Jelaskan tiga fase perkembangan semantikmenurut pemikiran C. Reising.
3. Jelaskan bagaimana kedudukan semantikdalam linguistik.
4. Jelaskan bagaimana hubungan semantic denganbidang disiplin ilmu Antropologi.
5. Jelaskan dan berikan contoh masing-masing otosemantisdan synsemantis.
13
I. Bahan Bacaan
1. Mansoer Pateda (1986) Semantik Leksikal.
2. Henry Guntur Tarigan (1985) Pengajaran Semantik.
3. FX Surana (1984) Semantik Bahasa Indonesia.
4. W.J.S. Verhaar (1981) Pengantar Linguitik.


14
BAB III MODUL 2
MAKNA DAN TEORI PENDEKATANNYA
A.Pendahuluan
Keberadaan makna mempunyai ruang lingkup yang luas dalam penggunaan bahasa
sebagai alat komunikasi. Keluasan itu ditandai oleh keterikatan makna dengan hal-hal seperti:
(a) ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan(seperti unsur bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat,
maupun unsur suprasegmental); (b) sistem sosial budaya yang melatari masyarakat pemakai
bahasa; (c) kontak hubungan antara pembicara/penutur dengan pendengar/penanggap; (d) ciri
informasi dan ragam tuturan yang disampaikan (konteks situasional). Akibat keluasan ruang
lingkup makna dan keterkaitan makna dengan hal-hal di atas, akan dapat menimbulkan
berbagai perbedaan dalam merumuskan pengertian/batasan makna maupun dasar pendekatan
yang digunakan.
B.Ruang Lingkup Isi Modul
Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini adalah, makna sebagai objek telaah semantikdan
batasan-batasannya, teori pendekatan yang digunakan dalam merumuskan makna, dan aspek-
aspek yang mendasari kajian makna.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan implikasi dari modul pertama dan memberikan arah terhadap modul
selanjutnya. Tujuannya adalah memberikan pemahaman tentang hakikat makna sebagai objel
telaah semantik.
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
1.memahami dan menguasai bahwa makna itumerupakan objek telaah semantik;
2. memahami dan menguasai arti atau batasan makna;
3. memahami dan menguasai berbagai macam teori pendekatan makna;
4. memahami dan menguasai aspek-aspek yang mendasari pengkajian makna.
15
E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. Makna sebagai Objek Telaah Semantik
2. Teori Pendekatan Makna
3. Aspek-aspek Makna
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan
1. Pengertian Makna sebagai Objek Telaah Semantik
Pengertian makna (menurut istilah) ialah, hubungan antara bahasa dengan dunia luar
(hal yang diacu) yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa yang bersangkutan
sehingga dapat saling dimengerti. Berdasarkan pengertian tersebut, ada tiga hal pokok yang
tercakup di dalamnya, yaitu: (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar
bahasa; (2) penentuan hubungan tersebut terjadi karena kesepakatan para pemakai bahasa
bersangkutan; (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi
sehingga dapat saling dimengerti.
Perwujudan makna lahir dari keberadaan makna dalam abstraksi pikiran penutur yang
berupa proposisi. Misalnya: Dalam tatanan, Saya lapar masih dalam abstrakasi pikiran
(proposisi). Perwujudannya adalah dapat berupa kalimat seperti: Tadi pagi saya tidak sarapa.
Atau Seharian saya belum makan.
Hornby (1961) mengemukakan bahwa, Makna adala apa yang kita artikan atau apa yang
kita maksud. Selanjutnya, dalamKUBI (1976) dijelaskan bahwa, Makna; arti atau maksud
(sesuatu kata); mis. mengetahui lafal dan maksudnya; bermakna; berarti; mengandung arti
yang penting (dalam); berbilang, mengandung beberapa arti; memaknakan: menerangkan
(maksud) sesuatu kata.
Berdasarkan pengertian/batasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna adalah
hubungan atau pertalian antara bunyi bahasa atau lambangnya dengan pengertian yang
dimksud; atau hubungan antara nama (leksem) dengan konsep-konsep yang dimaksudkan
berdasarkan suatu system bahasa.
2. Teori Pendekatan Makna
Makna dapat dibicarakan melalui beberapa pendekatan, antara lain:
(1) Pendekatan analitik (referensial), yaitu ingin mencari esensi makna dengan cara
menguraikan atas segmen-segmen utama. Pendekatan analitik (referensial) berpijak pada
fungsi bahasa sebagai wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara invidual.
Pendekatan referensial ini dalam menglkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai objek
kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual. Dalam pendekatan
referensial makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk
16
merujuk dunia luar. Jadi, pendekatan referensial mengaitkan maknadengan masalah nilai serta
proses berpikir manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secara benar.
(2). Pendekatan operasional, yaitu ingin mempelajari leksem-pleksem dalam penggunaannya,
bagaimana leksem dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari. Pendekatan operasional
menggunakan tes substitusi untuk menentukan tepat/tidaknya makna sebuah leksem dalam
penggunaannya. Misalnya, apakah leksem sebab sama dengan leksem karena? Untuk itu,
dapat kita coba dengan tes kalimat berikut. Budi tidak hadir kuliah karena sakit.
Budi tidak hadir kuliah sebab sakit.
Ternyata leksem karena dan sebab dapat digunakan dalam kedua kalimat tersebut (dapat
disubstitusikan).
Terdapat istilah lain yang sama/sejajar dengan istilah kedua pendekatan di atas, yaitu (a)
pendekatan ekstensional dan (b) pendekatan intensional. Pendekatan ekstensional
memusatkan perhatian pada penggunaan leksem di dalam konteks (bandingkan dengan
pendekatan operasional). Adapun pendekatan intensional memusatkan perhatian pada
struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit linguistik tertentu dalam
usaha memaknakan rujukan-rujukan tertentu (bandingkan dengan pendekatan analitik).
(3) Pendekatan idesional, yaitu pendekatan yang berpijak pada fungsi bahasa sebagai media
dalam mengolah pesan dan menerima, serta menyampaikan informasi. Pada pendekatan
idesional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu bentuk kebahasaan yang bersifat
sewenang-wenang tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Menurut
pandangan idesional, perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan memiliki satuan gagasan,
dan satuan gagasan itu terkooardinasi dalam perangkat kalimat itu. Hal ini bukan berarti
mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, frasa melainkan makna pada aspek-aspek itu
dapat lebur dalam peraangkat kalimat yang dapat melahirkan satuan gagasan (ide).
Pendekatan idesional menekankan adanya keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memakai kode untuk penyampaian pesan. Jadi, pendekatan idesional
mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan menyampaikan gagasan lewat bahasa.
(4) Pendekatan behavioral, yaitu mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang
berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Pendekatan behavioral menganggap
bahwa konteks sosial dan situasional berperan penting dalam menentukan makna. Mis. kata
masuk memiliki banyak makna sesuai dengan konteks dan situasinya, dalam garis dalam
permainan bulu tangkis, silakan ke dalam bagi tamu di rumah, hadir bagi mahasiswa yang
mengikuti kuliah dosennya, dsb.
17
3. Aspek-aspek Makna
Aspek-aspek yang mendasari pengkajian makna adalah sebagai berikut.
(1)Pengertian
Aspek makna, pengertian disebut juga tema. Pengertian dapat dicapai apabila antara
pembicara dan kawan bicara mempunyai kesamaan bahasa atau kesamaan maksud. Misalnya,
kalau kita ingin memberitahukan tentang cuaca, katakanlah, /hari ini hujan/ maka yang
pertama-tama harus ada yakni pendengar mempunyai pengertian satuan-satuan /hari, ini, dan
hujan/. Kalau pendengar mempunyai kesamaan pengaertian mengenai satuan-satuan itu maka
pendengar mengerti apa yang dimaksud konteks itu. Jadi, apa yang kita maksudkan dan apa
yang kita dengarkan pasti mengandung pengertian atau tema. Kita mengerti tema tersebut
karena kita memahami leksem-leksem yang melambangkan tema dimaksud. Dengan kata lain,
pengertian dan tema berhubungan dengan apa yang kita katakana. Itulah sebabnya Lyons
(1968) mengatakan bahwa, Pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda
dengan kata lain di dalam perbendaharaan kata.
(2) Perasaan
Di dalam kehidupan sehari-hari selamanya kita berhubungan dengan rasa dan perasaan.
Katakanlah kita dingin, jengkel, gembira, sedih, dan sebagainya. Untuk menggambarkan hal-hal
yang berhubungan dengan aspek perasaan tersebut, kita gunakan leksem yang sesuai dengan
yang kita rasakan atau perasaan kita. Tidak mungkin kita berkata, /mari kita bergembira atas
meninggalnya si Anu/. Atau /ah, betapa panasnya ruangan yang ber-Ac ini/. Jelaslah bahwa kita
harus menggunakan leksem-leksem yang mempunyai makna yang sesuai dengan perasaan
yang hendak kita kemukakan. Jadi, aspek makna yang disebut perasaan berhubungan dengan
sikap pembicara terhadap apa yang sedang dibicarakan.
Pemaknaan yang berhubungan dengan perasaan, juga terkait dengan dorongan dan
penilaian. Kalau kita berkata, /saya akan pergi/, sebenarnya ada dorongan perasaan untuk
pergi. Demikian pula kalau kita berkata, /saya minta rori/, memang benar-benar ada dorongan
perasaan yangmenyebabkan kita meminta roti. Jadi, makna berhubungan dengan perasaan,
baik dengan dorongan atau penilaian. Kita berkata, /saya akan pergi/ merujuk pada dorongan
sedangkan, /engkau malas/ merujuk pada penilaian.
(3) N a d a
Aspek makna yang disebut nada, adalah sikap pembicara kepada kawan bicara (Shipley,
1962). Maksud Shipley adalah apakah pembicara telah mengenal kawan bicara, apakah
pembicara sama latar belakang sosial dan budaya dengan kawan bicara dan sebagainya. Jadi,
hubungan antara pembicara dengan kawan bicara yang akan menentukan sikap yang akan
tercermin dari leksem-leksemyangkita gunakan.
18
(4) Tujuan atau Maksud
Aspek tujuan merupakan maksud, senang atau tidak senang, efek usaha keras yang
dilaksanakan (Shipley, 1962). Biasanya kalau kita mengatakan sesuatu memang ada tujuan
atau maksud yang kita inginkan. Apakah perkataan itu bersifat deklaratif, imperatif, naratif,
persuasif, atau politis, semuanya mengandung maksud tertentu. Kalau kita berkata kepada
anak kita yang pulang tengah malam /mengapa tidak pulang pagi saja/ itu mempunyai maksud
agar anak itu lain kali tidak boleh pulang larut malam.
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Makna dan Teori Pendekatannya 0,5 0,5 1 1 2 6
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
H. CantohSoal-soal Latihan
1. Rumuskan dengan bahasa Anda pengertian (batasan) makna.
2. Makna menurut istilah adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari
pengertian tersebut, sedikitnya ada tiga hal yang dapat disimpulkan, sebutkan.
3. Jelaskan apa yang membedakan pendekatan analitik (referensial) dengan pendekatan
operasional.
4. Jelaskan mengapa pandangan idesional, perangkat kalimat merupakan unsur bahasa yang
sangat penting dalam pemaknaan.
5. Jelaskan apa yang membedakan aspek perasaan dan aspek nada tentang sikap pembicara
dan jelaskan pula hubungan keduanya.


19
I. Bahan Bacaan
1.Henry Guntur Tarigan (1985) Pengajaran Semantik
2. Mansoer Pateda (1986) Semantik Leksikal
3. FX Surana (1984) Semantik Bahasa Indonesia
4. J.D. Parera (1990) Teori Semantik
20
BAB IV MODUL 3
JENIS/RAGAM MAKNA
A.Pendahuluan
Disadari bahwa berbicara tentang makna sangat kompleks karena terkait dengan isi
pikiran pembicara, belum lagi dikaitkan dengan konteks situasional dan sosial budaya
masyarakatnya. Oleh sebab itu, para ahli merumuskan jenis/ragam makna itu sangat bervariasi
satu dengan yang lainnya sesuai dengan pandangan masing-masing. Ada yang melihat dari segi
linguistik dan sosial (cultural), ada yang melihat dari segi kebebasan atau keterikatannya, dari
segi kemandirian atau ketergantungannya pada konteks, dan ada pula yang melihat dari segi
ada tidaknya perasaan tertentu yang melekat pada unsur bahasa yang digunakannya.
Selanjutnya, akan diuraikan jenis/ragam makna dari berbagai sudut pandang itu.
B. Ruang Lingkup Isi Modul
Modul ini berisikan jenis/ragam makna yang telah dipilah-pilah dari berbagai sudut
pandang sehingga dapat dikompilasi menjadi makna dari segi linguistik, makna dari segi ruang
lingkupnya, makna dari segi ada tidaknya perasaan tertentu yang melekat di dalamnya, dan
makna dari segi kemandiriannya.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan penjabaran dari modul dua sesuai dengan pengertian, pendekatan,
dan aspek-aspek yang menjadi dasar acuannya.
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.memahami dan menguasi bahwa makna dilihat dari segi linguitik ada makna leksikal, makna
gramatikal, dan ada makna structural;
2. memahami dan menguasai bahwa makna dilihat dari segi ruang lingkupnya ada makna luas
dan ada makna sempit;
3. memahami dan menguasai bahwa makna dilihat dari segi ada tidak perasaan tertentu yang
melekat di dalamnya ada makna denotasi dan ada makna konotasi;
4. memahami dan menguasai bahwa makna dilihat dari segi kemandiriannya terdapat
bermacam-macam makna.
21
E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. MaknaDilihat dari Segi Linguistik
2. Makna Dilihat dari Segi Ruang Lingkupnya
3. Makna Dilihat dari Segi Ada Tidanya Nilai Rasa Tertentu
4. Makna Dilihat dari Segi Kemandiriannya
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan
1. Makna Dilihat dari Segi Linguistik
Dilihat dari segi linguistik makna dapat dibedakan atas makna leksikal dan makna
gramatikal serta makna struktural.
(a)Makna leksikal (lexical meaning) adalah makna leksem ketika leksem tersebut berdiri
sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk turunan. Atau, makna yang
ditimbulkan oleh suatu kata sebagai unsur bebas, tanpa dipengaruhi oleh unsur lain atau
bentuk lain. Jadi, makna leksikal ini dipunyai oleh unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau
konteksnya. Misalnya, leksem gawangbermakna (i) dua tiang yang dihubungkan dengan kayu
palang, (ii) dua tiang yang terpalang sebagai tujuan bola (dalam permainan bola).
(b) Makna gramatikal (gramacal meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat
berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat (konteks). Atau, makna yang muncul sebagai
akibat hubungan unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar. Satuan yang lebih
besar itu, apakah berbentuk frasa, klausa, atau kalimat. Misalnya, leksem jalandalam konteks
yang lebih besar dapat menimbulkan arti bermacam-macam, seperti:
(i) Bermacam-macam jalan yang kita usahakan (=cara, taktik, atau siasat);
(ii) Perundingan itu mengalami jalan buntu (=gagal, tidak berhasil)
(iii) Jalan pikirannya bagus (=cara berpikir, sistematika berpikir);
(iv) Jalan masih terbuka bagimu(=kesempatan).
(c) Makna struktural (structural meaning) adalah makna yang ditimbulkan suatu bentuk atau
suatu struktur. Atau, makna yang timbul setelah dua kata atau lebih yang digabungkan dalam
suatu struktur. Misalnya, /Kami sedang belajar Semantik di dalam kelas/. Makna strukturnya
adalah bentuk perbuatan. Di samping itu, dapat menarik makna struktur yang lain, yaitu
melakukan perbuatan (kami) dan yang dikenai perbuatan (semantik), serta tempat
perbuatan (di dalam kelas).
22
(2) Makna Dilihat dari Segi Ruang Lingkupnya
Dilihat dari segi ruang lingkupnya, makna dapat dibedakan atas makna luas dan makna
sempit. (a)Makna luas (extended meaning) makna yang terkandung pada suatu leksem lebih
luas dari yang dipikirkan. Misalnya, /sekolah kami juara/, yang dimaksud dengan sekolah dalam
konteks ini, bukan saja mencakup gedung, tetapi guru-guru, siswa, dan para pegawai sekolah
yang bersangkutan. Di sini leksem sekolah telah mengandung makna luas.
(b) Makna sempit (specialized meaning atau norrowed meaning) adalah makna yang lebih
sempit dari keseluruhan ujaran. Misalnya, kalau kita mengatakan /ahli bahasa/ maka yang
dimaksud bukan keseluruhan ahli melainkan seseorang yang mengahlikan dirinya di bidang
bahasa. Jadi, makin luas unsur leksem, makin sempit makna yang diacunya. Sebaliknya, makin
sedikit unsur leksemnya makin luas makna yang diacunya.
(3) Makna Dilihat dari Ada Tidaknya Perasaan Tertentu
Makna dilihat dari ada tidaknya perasaan tertentu yang melekat di dalamnya maka dapat
dibedakan atas makna denotasi dan makna konotasi.
(a)Makna denotasi adalah makna yang didasarkan atas penunjukan yang lugas (=sahaja, apa
adanya, objektif) pada sesuatu di luar bahasa, atau didasarkan atas konvensi tertentu, sifatnya
objektif. Makna denotasi mempunyai pertalian dengan informasi-informasi yang bersifat
faktual dan dalam bentuk yang murni dihubungkan dengan pemakaian yang bersifat ilmiah.
(b) Makna konotasi adalah makna yang mkuncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap
leksem yang kita gunakan. Atau, makna leksem yang mengandung arti tambahan, perasaan
tertentu, nilai rasa tertentu, di samping arti yang umum. Kridalaksana (1992) menjelaskan
bahwa makna kononasi adalah makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas
perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar
(pembaca). Dengan kata lain, makna konotasi merupakan makna leksekal +X.
4. Makna Dilihat dari Segi Kemandiriannya
Makna dilihat dari segi kemandiriannya dapat dibedakan, antara lain sebagai berikut.
(a)Makna afektif (=affective meaning) adalahmakna yang muncul akibat reaksi pendengar atau
pembaca terhadap penggunaan bahasa. Karena makna afektif berhubungan dengan reaksi
pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa maka dengan sendirinya makna afektif
berhubungan pula dengan gaya bahasa. Misalnya, kalau tuan rumah mengatakan kepada
tamunya pada saat menjamu makan, ia berkata /makanlah seadanya/ maka konteks itu
merupakan gaya bahasa yang mengandung makna afektif yaitu merendahkan diri. Dalam
makna afektif terlihat reaksi yang berhubungan dengan perasaan pendengar atau pembaca
setelah mendengar atau membaca sesuatu. Jika orang berkata kepada kita /bangsat kau/
23
mengandung makna yang berhubungan dengannilai rasa(perasaan) yaitu penghinaan, tentu
hal ini menimbulkan perasaan yang kurang baik.
(b) Makna ekstensi (extensional meaning) adalah makna yang mencakup semua cirri objek atau
konsep. Misalnya, leksem ayahmengandung ekstensi: (i) orang tua dari anak-anak, (ii) laki-laki,
dan (iii) telah beristeri), dan sebagainya. (perhatikan pendekatan analitik).
(c) Makna intensi (intensional meaning) adalah makna yang menekankan maksud pembicara.
Misalnya, jika orang berkata /pencuri itu lari/ maka konteks itu mengandung intensi bahwa ada
seseorang yang sedang lari dikejar orang yang disebut pencuri, bukan binatang. (perhatikan
pendekatan operasinal).
(d) Makna emotif (emotive meaning) adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi
pembicara atau rangsangan pembicara mengenai penilaian terhadap apa yang dipikirkan atau
yang dirasakan. Jadi, hubungannya secara langsung antara leksem yang digunakan dengan
orang atau sesuatu yang ditunjuk dengan sifat-sifat tertentu yang ada padanya. Misalnya, jika
orang berkata /benalu engkau/ maka leksem benalu dihubungkan dengan makna yang sesuai
dengan sifat-sifat yang ada pada tumbuhan tersebut, yaitu suka merampas atau mengambil
hak/milik orang lain. Hubungan dengan pendengar atau orang yang ditunjukkan oleh
ungkapan itu, yaitu sebagai penghinaan.
(e) Makna greflekter adalah makna yang muncul dalam hal makna konseptual yang jamak.
Makna yang muncul akibat reaksi kita terhadap makna yang lain. Makna greflekter ini tidak saja
muncul karena sugesti emosional tetapi juga yang berhubungan dengan leksem atau ungkapan
yang bersifat tabu. Misalnya, berhubungan dengan seks, kepercayaan atau kebiasaan.
Misalnya, orang yang mencari hasil hutan di hutan tidak akan berani mengatakan /harimau/
dan orang biasa mencari hasil laut di laut tidak akan berani mengatakan nama binatang seperti
sapi, kambing, dan sebaginya. Leksem /harimau/ bagi orang pencari hasil hutan dan leksem
/sapi/ atau /kambing/ bagi orang pencari hasil laut termasuk leksem-leksem yang bersifat tabu
karena menurut kepercayaan bisa mendatangkan kemalanganatau kesialan.
(f) Makna idesional adalah makna yang muncul sebagai akibat penggunaan leksem yang
mempunyai konsekuensi atau hal yang harus berlaku di dalam suatu leksem. Misalnya, leksem
/partisipasi/. Kita mengerti ideapa yang hendak ditampilkan di dalam leksem partisipasi. Salah
satu ide yang terkandung di dalamnya adalah aktivitas maksimal seseorang untuk ikut di dalam
suatu kegiatan. Dengan mengetahui ide yang terkandung di dalam leksem tersebut kita dapat
memikirkan bagaimana cara memotivasi seseorang untuk berpartisipasi, persyaratan-
persyaratan apa yang harus dipersiapkan agar seseorang berpartisipasi, sanksi apa yang dapat
diberikan kalau orang tidak ikut berpartisipasi, dsb. Ini semua merupakan penalaran kita
terhadap makna idesional yang terkandung di dalam leksem.
(g) Makna kiasan adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Kiasan
adalah gaya yang dilihat dari segi makna yang tidak ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata
yang membentuknya. Orang harus mencari makna di luar rangkaian kata atau kalimat. Jadi,
24
dapat dikatakan bahwa kiasan merupakan penyimpangan makna dari kata atau kalimat. Kiasan
dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan
sesuatu hal yang lain berarti mencoba menemukan cirri-ciri yang menunjukkan kesamaan
antara kedua hal tsb. Misalnya, /Pemuda adalah bunga bangsa/. Perbandingan kiasan adalah
perbedaan kelas kata yang diperbandingkan itu. Kelas leksem /pemuda/ dan kelas leksem
/bunga/ sangat berlainan, namun ciri kesamaan yang ingin ditemukan adalah harapan. Jadi,
kiasan dari leksem /bunga/ itu adalah harapan.
(h) Makna piktorial (pictorial meaning) adalah makna yang muncul akibat bayangan pendengar
terhadap leksem yang didengarnya. Misalnya, kalau kita berkata /kakus/ pendengar akan
merasa jijik, muak, dan apabila sedang makan pasti kita akan menghentikan kegiatan makan.
Leksem /kakus/ akanberhubungan dengan kotoran, bentuk, dan bau kotoran tsb.
(i) Makna referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang
diamanatkan oleh leksem tsb. Misalnya, leksem /meja/ makna yang diacunya adalah sebuah
benda yang terbuat dari bisa kayu atau besi dan lain-lain, punya kaki untuk menopang,
bentuknya bisa segi empat atau bundar, dan dipergunakan untuk menulis atau bekerja. Jadi,
leksem /meja/ langsung berhubungan dengan acuannya. Makna fererensial mengisyaratkan
kepada kita tentang makna yang langsung mengacu sesuatu apakah benda, gejala, peristiwa,
proses, cirri, sifat, dsb. Jadi, kalau kita mengatakan /marah/ maka yang diacu adalah gejala
marah, misalnya muka yang cembrut atau menggunakan ujaran dengan nada tinggi dsb.
Referen (=acuan) adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus lambang.
Atau, hungan elemen-elemen linguistic dan dunia pengalaman di luar bahasa.
(j) Makna stilistika adalah makna yang timbul akibat pemakaian bahasa dan berhubungan
dengan lingkungan masyarakat pemakai bahasa. Kita dapat menjelaskan makna stilistika
melalui berbagai dimensi dan tingkatan pemakaian. Misalnya, pemakaian bahasa dialek, situasi
resmi, bahasa dalam karya sastra dsb. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa
yang menimbulkan efek, terutama kepada pembaca.
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Jenis / Ragam Makna 0,5 1 1 0,5 2 5
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
25
H. Cantoh Soal-soal Latihan
1. Jelaskan perbedaan makna gramatikal dengan makna struktural, lengkapi dengan contoh
masing-masing.
2. Jelaskan apa yang membedakan antara makna leksekal, makna denotasi, dan makna
referensial.
3. Makna konotasi merupakan makna leksikal +X, jelaskan maksudnya. Jelaskan pula konotasi
yang terdapat pada leksem /korupsi/ dan konteks /berikan saja amplop supaya urusanmu
cepat selesai/.
4. Jelaskan apa yang membedakan makna ekstensi dan makna intensi.
5. Apa yang dimaksud dengan makna idesional dan jelaskan ide-ide apa yang terkandung pada
leksem /gotongroyong/.

I.Bahan Bacaan
1.Aminuddin (2004). Semantik: Pengantar Studi tentang Makna
2.Abdul Khaer (2000) Pengantar Semantik Bahasa In donesia.
3.Henry Guntur Tarigan (1985) Pengajaran Semantik.
4.Mansoer Pateda (1986) Semantik Leksikal.
26
BAB V MODUL 4
STRUKTUR LEKSIKAL (PERTALIAN MAKNA)
A.Pendahuluan
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali ditemui adanya hubungan
atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan
bahasa lainnya lagi. Inilah yang disebut dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam
pertalian semantikyang terdapat dalam kata. Atau, dalam istilah yang lain disebut pola struktur
leksikal yaitu makna kata-kata yang membentuk pola tersendiri yang disebut pola tautan
semantik. Hubungan kemaknaan (relasi) atau tautan semantikdapat berupa kesamaan makna
(sinonim), kebalikan/perlawanan makna (antonim), kelainan makna (homonim), kegandaan
makna (polisemi dan ambiguitas), dan ketercakupan makna (hiponim).
B. Ruang Lingkup Isi Modul
Ruang lingkup yang akan dibahas dalam modul 4 ini adalah masalah hubungan
kemaknaan pada kata-kata yang bersinonim, berhomonim, berantonim, polisemi, dan
berhiponim.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan kelanjutan dari mobul sebelumnya (modul 3) dan secara langsung
menunjang kegiatan modul selanjutnya (modul 5).
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.mengetahu, memahami, dan menguasai bahwa sinonim adalah kata-kata yang mengandung
makna pusat yang sama tetapi berbeda dalamkonteks dan nilai rasa;
2. memahami dan menguasai bahwa keterampilan mendiskriminasikan sinonim turut
memperkaya kosa kata pengguna bahasa yang bersangkutan;
3. mengetahui, memahami, dan menguasai bahwa homonim adalah kata-kata yang sama
bunyinya dan/ atau sama bentuknya tetapi mengandung makna/arti yang berda.
4. mengetahui bahwa antonim itu beraneka ragam, antara lain pasangan konplementer,
pasangan gradable, pasangan relasional, dsb.
5. mengetahui dan memahami bahwa hiponim itu adalah kata-kata yang memiliki relasi secara
vertical dan secara horizontal;
27
6. Mengetahui dan memahami bahwa polisemi adalah kata-kata yang memiliki kelebihan
makna dan memiliki ketertautan antara satu dengan yang lainnya.
E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. Sinonimi
2.Hiponimi dan Hipernimi
3. Homonimi dan Polisemi
4. Antonimi, Kontras, dan Oposisi
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan
1. Sinonimi
Istilah sinonimi dipakai untuk kata-kata/leksem-leksem yang biasa disebut sinonim.
Adapun istilah sinonimitu sendiri adalah kata atau leksem yang menjadi anggota dari sinonimi.
Jadi, sinonim adalah kata/leksem yang dikelompokkan dengan kata/leksem lain di dalam
klasifikasi yang sama berdasarkaan makna umum. Atau, kata-kata yang mengandung makna
pusat yang sama tetapi dapat berbeda dari nilai rasa (konotasinya).
Walaupun makna kata/leksem yang disebut sinonim itu sama secara denotatif tetapi
tetap memperlihatkan perbedaan-perbedaan (diskriminasi) yang tajam pada kata-kata
tersebut, terutama dalam konteks pemakaiannya. Maksudnya bahwa kata-kata yang sinonim
itu kadang-kadang tidak dapat didistribusikan satu sama lainnya dalam konteks tertentu.
Misalnya, kata cantik, tampan, indah, bagus, molek, dan permai adalah kata-kata yang sinonim
karena mengandung makna pusat yang sama, yaitu tentang sesuatu yang sedap
dipandang/dinikmati mata. Kita dapat mengatakan /wanita itu cantik/ tetapi tidak lazim
dikatakan /wanita itu tampan/ atau/gadis itu indah/ atau /perempuan itu permai/. Perbedaan
kata-kata sinonim itu disebabkan oleh kelaziman dalam pemakaiannya. Jadi, dalam linguistik
masa kini hampir menjadi aksiomatik, bahwa sinonim mutlak itu tidak ada karena setiap bentuk
bahasa mempunyai sebuah makna yang konstan (tetap) dan spesifik. Jika bentuk-bentuk
bahasa itu berbeda secara fonemis maka kita bisa berharap bahwa maknanya juga berbeda.
Walaupunkenyataan-kenyataan di atas tidak dapat ditolak, namun tidak dapat disangkal
pula bahwa dalam suatu bahasa ada kata-kata yang sama persis maknanya sehingga dapat
disubstitusikan dalam segala konteks tanpa ada perubahan sedikit pun dari makna objektifnya.
Kata-kata seperti inilah yang dapat digolongkan sebagai sinonim mutlak/sempurna. Misalnya,
kata sangat dan amat, dan kata agar dan supaya. Masing-masing dalam konteks /kampus
unhas sangat luas/ dan /kampus unhas amat luas/. Demikian pula /kamu harus minum obat
supaya cepat sembuh/ dan /kamu harus minum obat agar cepat sempuh/.
28
Dari uraian dan contoh yang ada ternyata kata-kata yang bersinonim itu terbagi atas dua
kelompok berdasarkan dapat tidaknya bersubstitusi satu sama lainnya, yaitu (a) sinonim relatif,
yaitu anggota sinonim yang dapat bersubstitusi pada satu konteks dan pada konteks yang lain
tidak dapat bersubstitusi; (b) sinonim mutlak/sempurna, yaitu anggota sinonim yang selalu
dapat bersubstitusi pada semua konteks (cat. sangat terbatas jumlahnya). Dan ada juga (c)
sinonim yang bersifat kolokasional, yaitu anggota sinonim yang hanya dapat muncul dalam
hubungannya dengan kata-kata tertentu dalam kelompok yang sinonim itu. Misalnya, kata
beliabersinonim dengan kata taruna, remaja, dan muda. Dalam pemakaiannya kata-katayang
boleh diikuti dan didahuluinya tidak selalu sama. Misalnya, kita dapat mengatakan: /ia masih
muda/, /ia masih belia/, /ia masih remaja/, dan /ia masih muda belia/ , serta /ia masih muda
remaja/. Kata/leksemmuda dapat diikuti oleh kata/leksem beliaatau remaja, tidak sebaliknya
atau oleh kata yang lain. Jadi, muda beliadan muda remajaadalah sinonim kolokasional.
Kemiripan Sinonim
Kemiripan sinonim adalah kata-kata yang tampak mirip dari bentuk atau bunyi dan
memiliki makna pusat yang sama tetapi berbeda dalam pemakaian (tidak dapat bersubstitusi).
Untuk ketepatan dalam pemakaian kata-kata yang mirip itu harus betul-betul dipahami
perbedaan (diskriminasinya) maknanya. Misalnya, kata menugasi dan menugaskan. Kata
menugasi bermakna member tugas contoh dalam konteks /Pak guru menugasi
murid=muridnya menyelesaikan pekerjaan itu/. Kata menugaskan bermakna menjadikan
tugas dalam contoh /Pak guru menugaskan untuk menyelesaikan pekerjaan itu kepada murid-
muridnya/.
2. Hiponimi dan Hipernimi
Secara harafiah istilah hiponimi berarti nama yang termasuk di bawah nama lain. Secara
semantik, hiponimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya
dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Misalnya, flamboyan adalah
hiponim terhadap kata bungasebab makna flamboyanberada dalam makna bunga. Jadi, relasi
pada dua kata yang berhiponimi adalah searah. Kata flamboyan berhiponim terhadap kata
bunga; tetapi kata bunga tidak berhiponim terhadap kata flamboyan, sebab makna bunga
meliputi seluruh jenis/nama bunga yang lainnya. Dalam hal ini relasi antara bunga dengan
flamboyan (atau nama/jenis bunga yang lainnya) disebut hipernimi. Jadi, kalau flamboyan
berhiponim terhadap bunga maka bunga berhipernim terhadap flamboyan.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan,
adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh karena itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain akan
menjadi hiponim terhadap kata lainyang hierarkial berada di atasnya. Umpamanya, kata ikan
yang merupakan hipernimi terhadap kata bandeng, munjair, cakalang, tongkol, dan tangiri
akan menjadi hiponim terhadap kata binatang. Mengapa demikian? sebab yang termasuk
binatang bukan saja ikan melainkan juga kambing, kerbau,harimau, kuda, dsb. Selanjutnya,
29
binatang ini merupakan hiponim terhadap kata makhluksebab yang termasuk makhluk bukan
saja binatang melainkan juga manusia.
3. Polisemi dan Homonimi
Sebuah bentuk kebahasaan dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Bentuk
berjalanmisalnya, dapat mengnmdung makna (a) terlaksana, (b) berlangsung, (c) berjalan
dengn kaki. Jadi, kata berjalan dapat dikatakan bentuk polisemi. Hubungan antara bentuk
kebahasaan dengan perangkat makna itu diistilahkan polisemi sedangkan kata atau frasanya
diisebut polisemik. polisemi selain berakibat negatif, juga merupakan unsur positif. Disebut
berakibat negatif karena dapat menimbulkan kesalahan penerimaan informasi. Disebut
berakibat positif karena justru memperkaya kandungan makna suatu bentuk kebahasaan
sehingga lebih lentur digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda. Akibat negatif itu relatif
dapat dihindari apabila pemakai bahasa secara cermat memperhatikan fitur semantis yang
dimiliki bentuk-bentuk polisemik dan menggunakannya secara laras, sesuai dengan relasi
struktur maupun konteks pemakaiannya.
Kegandaan makna pada bentuk polisemik dapat menimbulkan keraguan dalam
menafsirkan makna kata atau frasa atau kalimat. Bila orang mengatakan leksem/kata korban
belum jelas bagi kita apakah makna leksem korban yang dimaksud adalah: (a) pemberian
untuk menyatakan kebaktian/kebaikan, atau (b) orang yang menderita kecelakaan karena
sesuatu perbuatan/peristiwa, atau (c) orang yang menderita kerugian karena tertimpa
bencana, atau (d) orang yang meninggal karena tertimpa bencana. Demikian juga misalnya
frasa buku sejarah baru. apakah yang dimaksud adalah: (a) namamata pelajaran, atau (b) buku
sejarah yang baru. Untuk menghindari keraguan dalam menfsirkan makna kata, frasa, atau
kalimat yang polisemik maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan: (a) situasi (topik)
pembicaraan, (b) konteks kalimatnya, (c) intonasi (bahasa lisan) dan tanda baca (bahasa tulis).
Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana bisa
membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaan yang jelas ialah
bahwa homonimi bukanlah sebuah kata melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan
bentuk atau bunyinya sama tetapi maknanya berbeda. Selanjutnya, makna pada bentuk-bentuk
yang berhomonimi tidak ada kaitannya satu dengan yang lainnya, sedangkan pada polisemi
makna yang satu dengan yang lainnya masih terkait. Jadi, polisemi adalah dua kata atau lebih
yang (kebetulan) memiliki bentuk atau bunyi yang sama, makna berbeda. Misalnya, kata bisa(I)
berarti zat racun dan kata bisa (II) berarti dapat atau boleh. Demikian pula pada bentuk
sangsi yang berarti ragu dan sanksi yang berarti tidakan atau hukuman.
Dalam bahasa Indonesia homonimi masih dapat dibedakan lagi atas (1) homografi
(homograf) adalah kata-kata yang memiliki bentuk yang sama, makna berbeda, misalnya bisa (I)
dan bisa (II), teras (I) dan teras (II). Adapun (2) homofoni (homofon) adalah kata-kata yang
bunyi (ucapan) sama, tulisan berbeda dan makna berbeda, misalnya sangsi dan sanksi, sarat
dan syarat, serta sah dan syah.
30
4. Antonimi, Kontras, dan Oposisi
Katadan/atauantonim terdiri atas anti atau ant yang berarti lawan dan akar kata onim
atau onumayang berarti nama. Jadi, antonimadalah kata-kata yang mengandung makna yang
kebalikan atau berlawanan dengan kata yang lain; misalnya: kuat lawan lemah, pintar lawan
bodoh, kaya lawan miskin, dsb. Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan lawan makna
sedangkan antonimadalahdua kata atau lebih dengan makna yang berlawanan.
Dalam ilmu bahasa terdapat istilah antonim bertentangandan antonim kebalikan. Yang
dimaksud dengan antonim bertentangan (contradictory antonymy) adalah pasangan antonim,
makna yang satu berupa ingkar terhadap makna yang lain, misalnya bawah dan atas, bukan
bawah sama dengan atas. Antonim kebalikan (contrary antonymy) adalah pasangan
antonim, ingkar yang satu tidak berarti sama dengan makna yang lain, misalnya baik dan jahat;
tidak baik bukan berarti jahat.
Antonim itu ada yang berkaitan dengan gradasi atau derajat, seperti kotor bersih,
cepat lambat, besar kecil, dsb. Karena menyangkut gradasi maka perbedaannya masih
dapat diperinci lagi misalnya, kotor agak kotor lebih kotor amat kotor, cepat agak cepat
leibh cepat sangat cepat, dsb. Jadi, gradasi adalah leksem-leksem yang dapat digunakan
untuk menyatakan tingkat perbandingan atau untuk menyataakan kualitas sesuatu (misalnya:
sangat, amata, paling, agak, cukup, dan lebih, serta semua yang menyatakan ukuran dan
timbangan). Karena gradasi digunakan untuk menyatakan tingkat perbandingan/kualitas maka
gradasi bertalian dengan kata sifat (ajektif). Dengan demikian antonim yang dapat digradasikan
adalah antonim yang berajektifa.
Relasi antonimb yang erlangsung secara komplementer dan tidak dapat digradasikan
disebut oposisi. Misalnya, pria dan wanita, suani dan isteri, hidup dan mati, dsb. Dalam oposisi
tidak lazim ditemui gradasi seperti agak pria, cukup pria, atau sangat pria. Leksem-leksem
seperti di atas dapat digabungkan dengan leksem yang menyatakan negative (penunjuk aspek),
misalnya tidak mati atau belum mati.
Ada pula antonim yang terdiri atas kata-kata yang mempunyai relasi serempak tetapi
berlawanan, bila satu dilaksanakanmaka yang lainnya akan terlaksana pula. Antonim semacam
ini disebut lawan kata yang relasional atau oposisi relasional. Misalnya: jual beli, member
menerima, guru murid. dsb.
Sesuai dengan kompleksitas dan keragaman referen yang diacu oleh lambang kebhasaan,
jenis hubungan bertentangan antarkata akhirnya juga menunjukkan adanya keragaman. Ada
jenis hubungan yang berlangsung secara komplementer dan tidak dapat digradasikan, yang
diistilahkan oposisi, misalnya priadan wanita, serta hubungan bertentangan yang masih dapat
digradasikan, misalnya antara bentuk baik dan buruk yang diistilahkan antonimi. Sebab itu,
apabila dalam oposisi tidak lazim ditemui bentuk agak pria atau agak wanita, maka dalam
antonim bentuk tersebut masih lazim ditemukan, misalnya agak baik, cukup baik, sangat baik.
Istilah yang mencakup baik oposisi maupun maupun antonimi adalah kontras.
31
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Struktur Leksikal (Pertalian Makna) 0,5 1,5 1 1 2 6
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
H. Cantoh Soal-soal Latihan
1. Anda silakan buka kamus atau referensi lainnya, lalu carilah masing-masingminimal dua
buah kata: (a) yang bersinonim hanya pada tingkat dasar (kata dasar), (b) yang hanya
bersinonim pada tingkat bentukan (kata turunan), dan (c) yang bersinonim pada makna kias
saja.
2. Untuk menentukan perbedaan atau diskriminasi pada kata-kata yang bersinonim dapat
dilakukan dengan metode apa dan berikan sebuah contoh.
3. Apakah relasi hiponim berlaku dua arah? dan relasi antara burungdan merpati disebut
hiponim atau hipernimi? Jelaskan.
4. Jelaskan dengan singkat perbedaan konsep homonimi, homofoni, dan homografi! dan
apakah homonimi hanya terjadi antara dua buah kata saja? Jelaskan secara singkat!
5. Camkan baik-baik sekali lagi pengertian homonim dan polisemi, lalu bandingkan apa beda
keduanya! Berikan contoh!
6. Apakah relasi antara dua buah kata yang berantonimi juga bersifat dua arah? Jelaskan!
7. Apakah yang dimaksud dengan gradasi dalam istilah antonim? Jelaskan dan berikan contoh!
8. Apakah yang dimasud dengan istilah oposisi dalam antonim? Jelaskan dan berikan contoh!
I.Bahan Bacaan
1. Abdul Chaer (1990). Pengantar: Semantik Bahasa Indonesia.
2. Aminuddin (1988). Semantik: Pengantar Studi tentang Makna.
3. F.X. Surana (1984). Semantik Bahasa Indonesia.
4. Henry Guntur Tarigan. (1985). Pengajaran Semantik.
32
BAB VI MODUL 5
KETAKSAAN MAKNA (AMBIGUITAS)
A.Pendahuluan
Breal dan Frederick Agung melihat bahwa dalam kemultigandaan makana ada suatu tanda
keagungan bahasa itu karena makin banyak sebuah bentuk mempunyai timbunan makna,
makin banyaklah segi intelektual dan aktivitas social yang diwakilinya. Oleh sebab itu, sebuah
bentuk yang mempunyai kegandaan/kemultimaknaan tidak perlu dianggap sebagai kelemahan
dalam bahasa; ia bahkan merupakan kondisi esensial bagi efisiensinya. Bentuk yang memiliki
kegandaan makna merupakan faktor ekonomi dan fleksibilitas dalam bahasa yang tak ternilai
harganya. Pemakaian bentuk yang bermakna ganda tidak akanmenimbulkan kekacauan dalam
berbahasa tetapi bahkan akan memberikan kemulusan dalam berbahasa, tak peduli berapa
pun banyaknya arti yang dipunyai oleh sesuatu bentuk kebahasaan tidak akan ada kekacauan
dalam berkomunikasi.
B. Ruang Lingkup Isi Modul
Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini adalah: pengertian ambiguitas, ambiguitas pada
tingkat fonetik, ambiguitas pada tingkat gramatikal, dan ambiguitas pada tingkal leksikal.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke-5 sebagai kelanjutan yang tak terpisahkan dari modul-
modul sebelumnya dan teraplikasikan pada modul selanjutnya.
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.memahami dan menguasai konsep ketaksaan makna (ambiguitas) dalambahasa yang
digunakannya;
2.memahami dan menguasai bahwa ambiguitas itu terjadi pada tingkat fonetik, gramatikal, dan
leksikal;
3.mampu mengaplikasikan dengan baikkemultimaknaan bentuk bahasa yang digunakannya.
33
E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. Pengertian Ambiguitas
2. Ambiguitas pada Tingkat Fonetik
3. Ambiguitas pada Tingkat Gramatikal
4. Ambiguitas pada Tingkat Leksem
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan
1. Pengertian Ambiguitas
Ambiguitas timbul di dalam berbagai variasi tuturan atau tulisan. Kalau kita mendengar
pembicaraan seseorang atau membaca sebuah tulisan, kadang-kadang kita sulit memahami
apa yang dituturkan atau yang kita baca. Misalnya, kalau kita mendengar leksem /orang/, kita
tidak mengerti apa yang dimaksud dengan /orang/ di sini. Bermacam-macam tafsiran kita.
Apakah yang dimaksud adalah orang Makassar, apakah orang yang sedang tertawa, ataukah
orang yang sedang diperiksa oleh polisi karena dugaan melakukan sesuatu kesalahan. Demikian
pula, misalnya sebuah konstruksi /orang malas lewat di sana/ dapat ditafsirkan sebagai (1)
jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2) yang mau lewat di sana hanya orang-orang
malas. Dalam bahasa lisan, penafsiran ganda itu mungkin tidak akan terjadi karena struktur
gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Akan tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda
itu dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan itu tidak lengkap diberikan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa ambiguitas adalah sifat konstruksi yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran.
Atau, suatu kondisi yang dapat timbul dalam berbagai cara penafsiran.
Untuk mengenali apakah sebuah bentuk kebahasaan itu memiliki ketaksaan/kegandaan
makna atau tidak, maka ada beberapa ciri yang bisa menandainya, yaitu: (1) cirri bentuk ialah
suatu bentuk yang tidak berbeda tetapi maknanya lebih dari satu; (2) ciri relasi ialah suatu
bentuk dalam frasa biasa bergabung dengan kata lain (frasa), dan penyimpangan struktur dapat
menimbulkan ambiguitas (klausa/kalimat); (3) ciri kekaburan ialah apabila batas makna yang
dihubungkan dengan bahasa dan yang ada di luar bahasa tidak jelas.
Empson dalam Ullmann (1976) menyebut tiga bentuk utama ambiguitas. Ketiga bentuk
itu berkaitan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Atau, ambiguitas dapat terjadi pada
tingkat fonetik, pada tingkat gramatikal, dan pada tingkat leksikal.
2. Ambiguitas pada Tingkat Fonetik
Ambiguitas pada tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang
dituturkan. Kadang-kadang karena leksem-leksem yang membentuk kalimat dituturkan sangat
cepat sehingga kita menjadi ragu-ragu tentang makna kalimat yang dituturkan. Satuan
akustik (=pengaruh bunyi) tutur yang berhubungan adalah satu helaan napas dan bukan
34
berupa satuan kata demi kata. Sebuah helaan napas mungkin terdiri dari dua buah kata dengan
akibat menjadi homonim dengan kata lain, dan akibat lebih lanjut ialah timbulnya ambiguitas.
Misalnya, sangsi ragu-ragu dengan sanksi tindakan hukuman, syarat ketentuan (peraturan,
petunjuk) dengan sarat penuh, padat. Atau, tuturan beruangapakah yang dimaksud adalah
mempunyai uang, atau memiliki ruang, ataukah nama binatang.
Contoh-contoh seperti yang telah dikemukakan di atas berhubungan dengan keraguan
terhadap bunyi bahasa yang didengar. Karena kecepatan dalam penuturan kata-kata seperti
itu, maka kita menjadi ragu-ragu dalam menafsirkan maknanya; akibat selanjutnya timbul
penafsiran ganda terhadap makna leksem/kata.
3. Ambiguitas pada Tingkat Gramatikal
Ambiguitas pada tingkat graamatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis.
Dengan demikian, ambiguitas pada tataran ini dapat dilihat dari dua alternatif.
Alternatif pertama adalah ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan
kata secara gramatikal. Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang
mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN- pada bentuk pemukul bisa bermakna ganda:
orang yang memukul atau alat uantuk memukul. Demikian juga pada bentuk penyapudapat
bermakna ganda, alat untuk menyapu atau orang yang menyapu (tukang sapu)
Alternatif kedua adalah ambiguitas pada tataran frase yang mirip atau kalimat. Tiap kata
yang membentuk frase sebenarnya jelas tetapi kombinasinya yang mengakibatkan maknanya
dapat diartikan lebih dari satu. Misalnya, frase orang tua dapat bermakna ganda, yaitu orang
yang sudah tua atau ibu-bapak. Cantoh lain pada kalimat, Budi anak Amin sakit. dapat
menimbulkan ambiguitas sehingga dapat ditafsirkan lebih dari satu pengertian, yaitu (1) Budi!
anak Amin sakit ( anak Amin yang sakit); (2) Budi, anak Amin, sakit (Budi dan anak Amin yang
sakit); (3) Budi, anak, Amin, sakit ( ketiga-tiganya sakit). Jadi, pada alternatif kedua ini
ketaksaan (ambiguitas) bisa muncul karena (a) frase bercabang; pada kata-kata pendukung
frase itu secara individual memang tidak bermakna ganda, tetapi kombinasi kata-kata itu dapat
diinterpretasikan/ditafsirkan ke dalam makna ganda. (b) ketaksaan pada tingkat (struktur
kalimat) biasanya oleh konteks yang kurang jelas atau intonasi kalimat yang tidak jelas.
5.Ambiguitas pada Tingkat Leksikal
Ambiguitas pada tingkat leksikal ini biasa disebut polivalensi yang dapat dilihat dari dua
segi, yaitu polisemi dan homonimi.
Segi pertama polisemi, misalnya kata haramdapat bermakna:
(1) terlarang, tidak halal: Haramhukumnya apabila makan daging bangkai.
(2) suci, tidak boleh dibuat sembarangan: Tanah haramatau masjidilharamdi Mekah adalah
35
semulia-mulianya tempat di dunia.
(3) sama sekali tidak, sungguh-sungguh tidak: Selangkah haram aku surut.
(4) terlarang oleh undang-undang, tidak sah: PKI dan DI dinyatakan haramoleh pemerintah
(5) haram jadah: Anak haramjadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau
anak yang tidak sah.
Segi kedua adalah leksem-leksem yang sama bunyinya biasanya disebut homonim.
Misalnya, leksem bisa (I) bermakna racun dan bisa (II) bermakna dapat/boleh; sangsi ragu
dan sanksi tindakanatau hukuman.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketaksaan atau kegandaan makna pada
bentuk kebahasaan itu sebenarnya merupakan kekaburan makna. Hal ini dapat muncul akibat
dari, antara lain:
(1) Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik). Misalnya, kata bukuyang memiliki
makna ganda; /Ali anak Amat sakit/ belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa
dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
(2) Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam
konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
(3) Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahasa tidak jelas.
Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.
(4) Kurang akrabnya kata yangkita pakai dengan acuannya (referennya). Apa yang dimaksud
kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpinitu?
Kekaburan makna ini dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaankata di dalam
konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus digunakan pada situasi
tertentu.
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Ketaksaan Makna (Ambiguitas) 0,5 1 1 1 1,5 5
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
36
H. CantohSoal-soal Latihan
1. Berdasarkan referensi yang Anda baca, apa yang Anda dapat simpulkan tentang pengertian
ketaksaan makna (ambiguitas).
2. Untuk mengenali ambiguitas maka ada tiga ciri yang perlu diketahui. Sebutkan dan jelaskan!
3. Apa yang membedakan antara ambiguitas dengan polisemi, Jelaskan dan berikan contoh!
4. Ambiguitas dapat terjadi pada bentukkebahasaan tingkat apa saja? Sebutkan, jelaskan dan
berikan contoh masing-masing!
5. Ketaksaan atau kegandaan makna pada bentuk kebahasaan itu sebenarnya merupakan
kekaburan makna. Mengapa demikian?
I.Bahan Bacaan
1.Direktorat Pendidikan Tinggi Dep. DIKBUD. (1983). Tata Makna Bahasa Indonesia dan
Pengajarannya.
2. Mansoer Pateda (1986). Semantik Leksikal.
3. M. Ruth Kempson (1977). Semantic Theory.
4.T. Fatimah Djajasudarma (1993). Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.


37
BAB VII MODUL 6
PERUBAHAN MAKNA
A.Pendahuluan
Seorang pakar bahasa (linguistik) yang bernama Edward Sapir memperkenalkan konsep
baru yang sangat berharga ke dalam linguistik. Ia menulis, Bahasa bergerak terus sepanjang
waktu membentuk dirinya senduiri. Ia mempunyai gerak mengalir . Tak satu pun yang sama
sekali statis. Tiap kata, tiap unsur gramatikal, tiap peribahasa, bunyi dan aksen, secara pelan-
pelan mengubah konfigurasi (bentuk/wujud), dibentuk oleh getar yang tidak tampak dan
impersonal yang merupakan hidupnya bahasa.
Konsep baru yangdikemukakan oleh sapir itu menjadi minat khusus orang-orang semantik.
Dari semua unsur bahasa yang terlibat, makna mungkin merupakan yang paling lemah daya
tahannya untuk berubah. Makna kata dalam pemakaian bahasa tidak bersifat statis, sering
mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu makna kata dapat mengalami perubahan sehingga
akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru bagi para pemakai bahasa yang bersifat
konservatif.
B.Ruang Lingkup Isi
Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini ialah sebab-sebab perubahan makna dan
jenis/ragam perubahan makna. Kedua hal ini akan dikaitkan dengan faktor-faktor yang
menyertainya.
C. Kaitan Modul
Modul ini terkait langsung dengan modul sebelumnya, yaitu Ketaksaan (Kegandaan)
Makna. Ketaksaan (kegandaan) maknamerupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan makna dalam suatu bahasa.
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.memahami sebab-sebab terjadinya perubahan makna dalam suatu bahasa;
2.mengetahui jenis/ragam perubahan makna yang ada
E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. Pengertian Perubahan Makna
38
2. Sebab-sebab Perubahan Makna
a. Bahasa Berkembang Terus
b. Kekaburan Makna
c. Hilangnya Motivasi Kata
d. Perkembangan Sosial dan Budaya
3. Jenis/Ragam Perubahan Makna
a. Perubahan Makna Meluas
b. Perubahan Makna Menyempit
c. Perubahan Makna Total
d. Penghalusan Makna (Eufemisme)
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan Modul
1. Pengertian Perubahan Makna
Yang dimaksud perubahan makna di sini mencakup perluasan, pembatasan, pelemahan,
pengaburan, dan pergeseran makna yang menampak di dalam penggunaan bahasa. Bahasa
berkembang terus sesuai dengan perkembangan manusia pemakai bahasa. Kita telah
mengetahui bahwa pemakai bahasa diwujudkan di dalam bentuk leksem-leksem dan kalimat.
Manusialah yang menggunakan leksem dan kalimat itu dan manusia pula yang menambah kosa
kata yang ada sesuai dengan kebutuhan pemakai bahasa. Karena pemikiran manusia
berkembang maka pemakaian leksem dan kalimat berkembang pula. Perkembangan tersebut
dapat berwujud penambahan atau pengurangan. Pengurangan yang dimaksud di sini, bukan
saja pengurangan dalam kualitas leksem tetapi juga berhubungan dengan kualitas leksem. Jadi,
perubahan makna bukan saja mencakup perpindahan atau pergeseran makna sebuah leksem
melainkan juga mencakup persoalan-persoalan yang lebih luas di luar bentuk leksem itu
sendiri.
Perubahan makna dapat mencakup persoalan waktu dan dapat pula mencakup persoalan
tempat. Sebuah kata dengan arti yang mula-mula dikenal oleh semua anggota masyarakat
bahasa, pada suatu waktu akan bergeser maknanya pada suatu wilayah, sedangkan wilayah
yang lainnya masih tepat mempertahankan makna aslinya. Oleh sebab itu, perlu ditarik garis
yang tegas mengenai arti yang mana yang dianggap paling sesuai, arti yang lama atau arti yang
baru. Dalam persoalan ini dasar yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan apakah suatu
makna berubah atau tidak, maka pemakaian kata dengan makna tertentu harus bersifat
nasional (masalah tempat), terkenal dan sementara berlangsung (masalah waktu)
39
Perubahan makna juga menyangkut pengertian (referensi) atau benda yang ditunjuk
oleh nama atau simbol bahasa. Jadi, namanya tetap sedangkan pengertian yang dimaksud
berubah. Kata saudara yang semula berarti satu perut (sekandung), tetapi sekarang artinya
berkembang menjadi orang yang masih mempunyai pertalian keluarga pun disebut sebagai
saudara dan lebih jauh lagi berkembang artinya, yaitu orang yang sepaham atau seide
sebagai ungkapan kekerabatan atau sapaan. Dapat juga terjadi sebaliknya, yaitu nama
berubah, sedangkan pengertian atau maknanya tetap. Sebagai contoh: kata ribut didesak
pemakaiannya oleh kata heboh, kata ciptaan didesak pemakaiannya oleh kata karya, kata
hambatan didesak pemakaiannya oleh kata kendala, dan kata pujaan didesak pemakaiannya
oleh kata idola.
2. Sebab-sebab Perubahan Makna
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna, antara lain:
a.Bahasaa Berkembang Terus
Perkembangan dan pengalihan bahasa secara turun-temurun dan suatu cara yang tak
berkesinambungan dari generasi ke generasi yang satu; demikian seterusnya. Tiap-tiap anak
harus belajar bahasa itu seperti barang baru. Tidak mustahil jika anak-anak itu bisa salah
mengartikan makna kata-kata atau leksem. Dalam banyak hal kesalahpengertian itu memang
dikoreksi sebelum berkelanjutan, tetapi oleh berbagai alasan, jika pengoreksian itu tidak terjadi
maka suatu perubahan makna akan terjadi pada generasi baru.
b. Kekaburan Makna
Kata itu sendiri memang kabur makna dan juga bermakna ganda; kondisi yang
ditunjukkannya bukanlah suatu unsur seragam melainkan banyak segi dan mungkin diakibatkan
oleh berbagai sebab. Ketidaktepatan makna sebuah kata merupakan kritikan yang sering
muncul. Valtaire misalnya, secara eksplisit mengemukakan kritik bahwa, Tidak ada bahasa
yang sempurna, tak satu pun yang dapat mengeksplisitkan semua gagasan kita dan semua
sensasi kita; bayangan gagasan itu terlalu banyak dan tak dapat dihitung. Kita misalnya dipaksa
untuk menunjuk dengan istilah yang umum cintadan benci untuk seribu cinta dan seribu benci
yang sangat berbeda-beda; begitu juga dengan kesengsaraandan kesenangankita.
Kekaburan makna itu sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Kata/leksem
itu sendiri bersifat umum. Setiap kata itu menunjuk tidak hanya satu melainkan suatu
kelompok hal/peristiwa yang terikat menjadi satu oleh suatu unsur yang umum; (2)
Kata/leksem itu sendiri tidak pernah homogen. Tiap kata mempunyei berbagai wajah,
bergantung pada konteks dan situasi di mana kata itu digunakan; dan bergantung pula pada
kepribadian penuturnya. Hanya kontekslah yang akan menunjukkan segi spesifik mana,
kegiatan mana dari seseorang yang ada dalam benak kita. Kata bukumisalnya yang mempunyai
signifikasi atau makna yang berbeda-beda bergantung pada orang/pemakai benda itu. Benda
itu akan mempunyai makna yang berbeda pada seorang pengarang, penerbit, pencetak,
40
penjual buku, kolektor buku, petugas perpustakaan, atau tukang sampah, dan sebagainya.
Jelaslah perubahan-perubahan dalam pemakaian kata akan membawanya kepada penjamakan
makna; (3) Kurang jelasnya batas-batas makna yang ada di luar bahasa. Dalan kehidupan
sehari-hari kita dapat melihat betapa batas makna yang ditunjuk oleh kata itu tidak jelas.
Misalnya, sampai di manakah batas makna kata pandai; karena ukuran pandai itu sendiri
sangat abstrak sifatnya; (4) Kurangnya keakraban kata yang kita gunakan dengan benda atau
hal yang ditunjuk (acuannya). Hal ini merupakan faktor yang sangat bervariasi, bergantung
kepada pengetahuan umum dan minat khusus setiap individu. Misalnya, penduduk yang hidup
di kota mempunyai pengertian yang terbatas tentang binatang atau tanaman tertentu yang
bagi petani yang hidup di desa cukup jelas pengertiannya. Cantoh lain: apakah yang dimaksud
dengan kata demokrasi, politik? Kata-kata itu seperti kurang akrab dengan apa yang
ditunjuknya.
c. Hilangnya Motivasi Kata
Selama sebuah kata tetap terikat erat pada akarnya dan pada anggota lain dari jenis yang
sama maka kata itu akan tetap mengandung maknanya tersendiri dalam batas-batas tertentu.
Akan tetapi jenis lingkaran itu terputus oleh salah satu sebab maka makna bisa berkembang tak
terkendalikan dan dapat bergerak jauh dari makna aslinya. Misalnya, kata-kata kalut, balut,
belut, dan gelut adalah kata-kata yang didasarkan atas akar yang sama, yaitu lut yang berarti
berbelit-belit atau melingkar-lingkar. Apabilakata-kata tersebut terputusdari makna akarnya
dan berkembang tak terkendalikan maka terjadilah perubahan makna dan hal inilah yang
disebut dengan kehilangan motivasi kata
d. Perkembangan Sosial dan Budaya
Sebuah kata yang pada mulanya bermakna A lalu berubah menjadi bermakna B atau C.
Jadi, bentuk katanya tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah.
Misalnya, kata saudaradalam bahasa Sanskerta bermakna seperut atau satu kandungan. Kini
kata saudara, walaupun masih juga digunakan dalam arti orang yang lahir dari kandungan yang
sama, tetapi digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap
sederajat atau berstatus sosial yang sama.
3. Jenis/Ragam Perubahan Makna
a. Perubahan Makna Meluas
Yang dimaksud dengan perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah
kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena
berbagai faktor menjadi memiliki makna lain. Atau, proses perubahan makna yang pada
mulanyamengandung satu makna yang khusus, kemudian meluas sehingga mencakup sebuah
kelas makna yang lebih umum. Cantoh kata berlayar, dahulu berarti bergerak di laut dengan
menggunakan layar namun sekarang maknanya meluas, yaitu semua perbuatan mengarungi
lautan/perjalanan dengan menggunakan alat apa saja sebagai transportasi laut.
41
b. Perubahan Makna Menyempit
Perubahan makna menyempit adalah proses perubahan makna yang dahulu lebih luas
cakupannya daripada makna yang sekarang. Atau, perubahan makna yang mengakibatkan
makna kata menjadi lebih khusus atau lebih sempit dalam aplikasinya. Cantoh, kata pendeta
(Sanskerta) dahulu berarti orang pandai, pintar dalam segala hal. Sekarang, bermakna orang
pintar dalanm soal agama, lebih khusus lagi agama Kristen. Demikian juga kata madrasah
(Arab), pada mulanya bermakna nama semua jenis sekolah apa saja. Sekarang, khusus nama
sekolah agama (Islam). Cantoh lain, kata sarjanayang pada mulanya berarti orang pandai atau
cendekiawan, kemudian hanya berarti orang lulusan perguruan tinggi seperti pada sarjana
sastra, sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan sebagainya.
c. Perubahan Makna Total
Yang dimaksud dengan perubahan makna total adalah berubahnya sama sekali makna
sebuah kata dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang
masih ada sangkut pautnya dengan makna asalnya, tetapi sangkut pautnya itu sudah jauh.
Misalnya, kata ceramahpada nulanya berarti cerewet atau banyaak cakap tetapi kini berarti
pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak. Demikian
juga kata pena pada mulanya berarti bulu. Kini maknanya berubah total, yaitu berarti alat
tulis yang menggunakan tinta.
d. Penghalusan Makna (Eufemisme)
Dalam pembicaraan mengenai penghalusan makna kita berhadapan dengan gejala
ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus
atau lebih sopan daripada yang digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata
tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya, kata
penjara atau bui diganti dengan kata/ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus, yaitu
lembaga pemasyarakatan. Kata ditahan atau dikurung diganti dengan kata/ungkapan
diamankan. Kata korupsi diganti dengan menyalahgunakan jabatan. Kata pemecatan (dari
pekerjaan) diganti dengan pemutusan hubungan kerja(PHK). Kata babuatau pembantudiganti
dengan pramuwisma. Kata/ungkapan kenaikan harga diganti dengan perubahan harga atau
penyesuaian tarif atau pemberlakuan tarif baru.
Selain jenis/ragam perubahan makna yang telah dijelaskan di atas, masih banyak lagi
jenis/ragam perubahan makna yang lain seperti: perubahan makna dari bahasa daerah ke
bahasa Indonesia, perubahan makna akibat perubahan lingkungan, perubahan makna akibat
pertukaran tanggapan indera, perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa, perubahan
makna akibat asosiasi, dan lain-lain.
42
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Perubahan Makna 0,5 1,5 1 1 2 6
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
H. CantohSoal-Soal Latihan
1. Kalau secara sinkronis sebuah kata tidak akan berubah maknanya maka secara diakronis
setiap kata akan mengalami perubahan makna? Jelaskan!
2. Salah satu faktor penyebab perubahan makna adalah kekaburan makna. Kekaburan makna
itu sendiri dapat disebabkan oleh beberapa 42actor. Sebutkan dan jelaskan masing-masing
secara singkat.
3. Sebutkan dan jelaskan secara singkat jenis-jenis perubahan makna yang terjadi dalam bahasa
Indonesia.
4. Kata sarjanasebenarnya berarti orang pandai tetapi sekarang berarti lulusan perguruan
tinggi. Perubahan makna seperti kata sarjana ini disebut perubahan apa? Tulis beberaapa
contoh lain lagi.
5. Mengapa dalam bahasa Indonesia kini kata-kata seperti korupsi diganti dengan
menyalahgunakan jabatandan pemecatandiganti dengan pemutusan hubungan kerja?
Jelaskan!

I.Bahan Bacaan
1.Abddul Chaer (1990). Pengantar: Semantik Bahasa Indonesia
2.F.X. Surana (1984). Semantik Bahasa Indonesia
3.Henry Guntur Tarigan (1985). Pengajaran Semantik
4.Mansoer Pateda (1986). Semantik Leksikal
43

BAB VIII MODUL 7
TEKNIK ANALISIS MAKNA
A.Pendahuluan
Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan dalam
kelompok-kelompok tertentu yang maknanya saling berkaitan atau berdekatan karena sama-
sama berada dalam satu bidang kegiatan atau keilmuan. Umpamanya kata-kata menyalin
menghafal, belajar, ujian, menyontek, guru, murid, catatan, dan buku dapat dikelompokkan
menjadi satu karena semuanya berada dalam satu bidang kegiatan yaitu bidang pendidikan
dan pengajaran. Akan tetapi, setriap kata atau leksem dapat juga dianalisis maknanya atas
komponen-komponen makna tertentu sehingga akan Nampak perbedaan dan persamaan
makna antara kata yang satu dengan kata yang lainnya. Agar dapat diketahui hubungan makna
dan perbedaan makna, diperlukan komponen pembeda. Komponen pembeda makna akan jelas
apabila diketahui komponen makna.
B. Ruang Lingkup Isi
Yang menjadi ruang lingkup isi modul ini adalah analisis medan makna, analisis komponen
makna, analisis kombinatorial makna, dan indicator kemampuan memahami makna.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul terakhir yang membicarakan tentang analisis makna. Oleh
karena itu, terkait dengan unsure-unsua atau komponen-komponen yang dibicarakan
sebelumnya.
D. Sasaran Pembelajharan Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. menganalisis medan makna
2. menganalisis komponen makna
3. menganalisis kombinatorial makna
4. mengetahui indiator kemampuan memahami makna dalamsuatu bahasa.
44
E.Garis-garis Besar Modul Pembelajaran
1. Medan Makna
2. Komponen Makna
3. Kombinatorial Makna
4. Indikator Kemampuan Memahami Makna
F. Uraian Singkat Masing-masing Pokok Bahasan
1. Medan Makna
Harimurti (dalam Chaer, 1990) menyatakan bahwa medan makna (semantic fielkd,
domain) adalah bagian dari system semantic bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh
seperangkat unsure leksikal yang maknanya berhubungan. Umpamanya nama-nama warna
membentuk medan makna tertentu. Begitu juga dengan nama perabot rumah tangga, istilah
pelayaran, istilah olah raga, istilah perkerabatan, istilah alat pertukangan, dan sebagainya.
Kata atau unsure leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu bidang tertentu
jumlahnya tidaak sama dari satu bahasa dengan bahasa lain, sebab berkaitan erat dengan
kemajuan dan situasi budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Nama-nama warna dalam
bahasa Indonesia, misalnya coklat, merah, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam
menurut fisika adalah bukan warna. Lalu, untuk membedakan perbedaan nuansa warna dari
warna-warna pokok itu bisanya diberi keterangan perbandingan di belakang nama warna itu.
Misalnya merah tua, merah muda, m,erah darah, merah hati,
Kata-kata yang berbeda dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
yang termasuk golongan kolokasi, dan golongan set.
Kolokasi (berasal dari bahasa Latin collocoyang berarti ada di tempat yang sama dengan)
menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsure-unsur
leksikal itu. Misalnya pada kalimat, Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu
perahu itu digulungombak, dan tenggelam beserta isinya. Kita dapati kata-kata layar, perahu,
nelayan, badai, ombak, dan tenggelamyang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu
tempat atau lingkungan. Jadi, kata-kata yang berkolokasi (seperti contoh di atas) ditemukan
bersama atau berada dalam satu tempat atau lingkungan, yaitu laut. Dengan demikian, kolokasi
menunjuk pada hubungan sintagmatik karena sifatnya yang linier.
Golongan set menunjuk pada hubungan paradigmatic karena kata-kata atau unsure-unsur
yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan (disubstitusikan). Suatui set biasanya
berupa sekelompok unsure leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu
45
kesatuan. Setiap unsure leksikal dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan
dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Misalnya, kata remaja merupakan tahaap
pertumbuhan antara kanak-kanakdengan dewasa; sejukadalah suhu di antara dingindengan
hangat. Kalau dibagankan kata-kata yang berada dalam satu set dengan kata remajadan sejuk
sebagai berikut.
SET bayi dingin
(paradigmatic) Kanak-kanak sejuk
remaja hangat
dewasa panas
manuka terik
Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenai teori medan makna, meskipun makna unsure-unsur leksikal itu sering
bertumpang tindih dan batas-batasnya seringkali juga menjadi kabur. Selain itu,
pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara yang disebut makna
denotasi dan makna konotasi; antara makna dasar dari suatu kata atau leksem dengn makna
tambahan dari kata itu. Misalnya kata remaja dalam contoh di atas hanya menunjuk pada
jenjang usia yang barangkali antara 14 17 tahun. Padahal remajajuga sekaligus mengandung
pengertian atau makna tambahan belum dewasa, keras kepala, bersifat kaku, suka
mengganggu dan membantah, serta mudah berubah-ubah sikap, pendirian atau pendapat.
Oleh karena itu secara semantic diakui bahwa pengelompokan kata atau unsure leksikal secara
kolokasi dan set hanya menyangkut satu segi makna, yaitu makna dasarnya saja. Adapun
makna tiap kata atau unsure-unsur leksikal itu perlu dilihat dan dikaji secara terpisah dalam
kaitannya dengan penggunaan kata atau unsure-unsur leksikal tersebut dalam pertuturan.
Setiap unsure leksikal memiliki komponen makna masing-masing yang mungkin ada
persamaannya dan ada perbedaannya dengan unsure leksikal lain.
2. KomponenMakna
a. Prosedur Menganalisis Komponen Makna
Nida (lihat Pateda, 1986) menyebut empat prosedur untuk menganalisis komponen
makna, yaitu:
(1)Penamaan
Proses penamaan berhubungan dengan rujukannya. Misalnya, kalau kita melihat binatang
yang berkaki empat dan biasa dipakai untuk dipacu, segera kita mengatakan bahwa binatang
itu adalah kuda. rujukan boleh saja benda, tingkah-laku, peristiwa, gejala, proses, system, dan
sebagainya. Tentu saja kita mempunyai alasan yang kuat, mengapa rujukan seperti itu kita
sebut atau kita namai seperti yang kita katakana. Orang menyebut sesuatu seolah-olah bersifat
otomatis tanpa harus melalui proses analisis makna. Penyebutan atau penamaan bersifat
46
konvensional. Jadi, kalau saya menyebut kuda maka orang lain mengerti apa yang saya sebut
kuda, dan mereka juga menyetujui bahwa nama binatang itu adalah kuda.
(2) Memparafrase
Peirce (lihat Pateda, 1986) mengatakan bahwa lambang mempunyai obyek dan
interpretasi. Interpretasi itu merupakan kapasitas pada sistem untuk menspesifikasi setiap
bagian dari sistem supaya lebih analisis lagi. Untuk menganalisis komponen sehingga menjadi
lebih terinci, digunakan paraphrase. Parafrase bertolak dari deskripsi secara pendek tentang
sesuatu. Misalnya, kalau saya berkata / paman / dapat kita parafrasekan menjadi: -- saudara
laki-laki ayah atau saudara laki-laki ibu.
Dalam hubungan dengan usaha memparafrase, kita perlu membedakan dua tipe unit
semantik, yakni unit inti dan ujaran yang dihubungkan dengan unit inti di dalam paraphrase.
Misalnya, leksem /berjalan/ dapat dihubungan dengan: -berdarmawisata, -berjalan-jalan, -
bertamasya, -karyawisata, dan pesiar. Inti satuan-satuan ini adalah satuan yang ada
hubungannya dengan berjalan tanpa mempersoalkan kendaraan yang digunakan, dengan siapa
kita berjalan-jalan, kapan kita berangkat, untuk berapa lama kita berjalan-jalan, dan
sebagainya.
(3) Mendefinisi
Ada tiga hal yang dicoba dijelaskan sehubungan dengan usaha menjelaskan makna, yaitu
(1) mendefinisikan kata secara alamiah, (2) mendefinisikan kalimat secara alamiah, (3)
menjelaskan proses komunikasi. Mendefinisi merupakan usaha untuk menjelaskan sesuatu.
Usaha mendefinisi berpangkal dari analisis makna dan paraphrase. Misalnya kita
mendefinisikan leksem /kursi/ sebagai berikut: -berkaki empat, -digunakan untuk tempat
duduk, -mempunyai sandaran, terbuat dari kayu atau besi. Berdasarkan analisis seperti itu, kita
mengatakan bahwa kursi adalah benda yang terbuat dari kayu atau besi yang berkaki empat,
mempunyai sandaran dan digunakan sebagai tempat duduk. Dengan definisi seperti itu kita
akan mengetahui secara tepat apa yang disebut kursi.
(4) Mengklasifikasi
Langkah pertama untuk membatasi suatu pengertian adalah menghubungkan sesuatu
leksem dengan genusnya atau kelasnya. Proses menghubungkan sebuah leksem dengan genus
atau kelas, disebut mengklasifikasi. Kelas yang dimaksud dapat juga merupakan ciri benda yang
diklasifikasi. Cantoh:
Pokok Genus/Kelas
1. Ayam Adalah hewan yang boleh terbang
2. Kuda Adalah hewan yang berkaki empat
Pada umumnya makin sempit klasifikasinya makin jelas definisinya, misalnya:
47
-kuda adalah hewan berkaki empat (kurang jelas)
-kuda adalah hewan berkuku ganjil (lebih jelas)
Langkah berikutnya yakni membedakan leksem atau istilah yang diklasifikasi dari anggota-
anggota lainnya di dalam kelas tertentu dengan memberikan ciri-cirinya. Proses ini disebut
diferensiasi. Cantoh:
Pokok Genus/Kelas Diferensiasi
Kuda
adalah
hewan Yeng berkuku ganjil,
menyusui, dapat
diperlombakan dan
dapat dipergunakan
untuk menarik gerobak
b. Analisis Komponen Makna
Komponen makna atau komponen semantik (semanticfeature, semantic property, atau
semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal lainnya terdiri atas satu
atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau unsur leksikal tersebut.
Misalnya kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna: +insan, +dewasa,
+jantan, dan +kawin; kata ibu mengandung komponen makna: +insan, +dewasa, -jantan, dan
+kawin. Kalau dibandingkan komponen makna keduanya dapat dilihat seperti berikut.
Komponen makna ayah ibu
1. insan + +
2. dewasa + +
3. jantan + -
4. kawin + +

Keterangan: tanda (+) berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda (-) berati tidak
mempunyai komponen makna tersebut.
Konsep analisis seperti ini (lazim disebut analisis biner) oleh para ahli kemudian
diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain. Misalnya, kata
ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya ciri jantan (seperti terlihat pada
contoh di atas).
Perumusan makna di dalam kamus pun nampaknya memanfaatkan atau berdasarkan
analisis biner ini. Sebagai contoh Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S.
Poerwadarminta mendefinisikan kata kudasebagai binatang menyusui yang berkuku satu dan
biasa dipiara orang untuk kendaraan. Jadi, ciri binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa
dipiara orang adalah yang menjadi ciri umum. Lalu, ciri makna kendaraan menjadi ciri khusus
48
yang membedakannya dengan sapi atau kambing. Sapi dan kambing juga biasa dipiara tetapi
bukan untuk kendaraan. Perhatikan bagan berikut ini.
Ciri-ciri kuda sapi kambing
1. menyusui + + +
2. berkuku satu + + +
3. dipiara + + +
4. kendaraan + - -
Dari bagan itu nampak ciri pembeda kudadari sapi dan kambing.
Analisis biner ini dapat juga digunakan untuk mencari perbedaan semantikkata-kata yang
bersinonim. Umpamanya kata-kata kandang, rumah, pondok, istana, keraton, dan wisma.
Kata-kata tersebut dianggap bersinonim dengan makna dasar atau makna denotatif, yaitu
tempat tinggal atau tempat kediaman. Kata kandang pada satu pihak dapat diperbedakan
dengan kata yang lain berdasarkan ciri (+manusia) dan (-manusia). Kandangberciri (-manusia)
sedangkan yang lainnya berciri (+manusia). Kata pondok dengan yang lainnya dapat
diperbedakan berdasarkan ciri (+sederhana) sedangkan yang lainnya berciri (-sederhana),
meskipun akhir-akhir ini banyak kompleks mewah menggunakan istilah pondok, seperti,
Pondok Kelapa, Pondok Asri, Pondok Indah, dan sebagainya. Kata rumah dapat diperbedakan
dengan kata yang lainnya berdasarkan ciri (+umum) dan (-umum). Kata rumahberciri (+umum)
sedangkan yang lainnya berciri (-umum). Selanjutnya, kata istana dan keraton di satu pihak
dapat diperbedakan dengan kata wisma berdasarkan ciri (+kepala negara) dan (-kepala
negara). Dan terakhir kata istanadan keratondapat diperbedakan berdasarkan ciri (+raja) dan
(-raja). Kata istanadapat berciri (+raja) dan (-raja) (misalnya presiden) sedangkan kata keraton
berciri (+raja).
Persoalan yang muncul sehubungan dengan analisis biner ini adalah, apakah analisis biner
ini selalu dapat diterapkan pada setiap unsur leksikal? Berdasarkan pengamatan terhadap
data/unsur-unsur leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis
biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang salah satunya lebih bersifat netral atau umum
sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata mahasiswadan mahasiswi.
Kata mahasiswaumum dan netral karena dapat termasuk pria dan wanita. Sebaliknya kata
mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya mengenai wanita saja. Unsur leksikal yang
bersifat umum seperti kata mahasiswa ini dikenal sebagai anggota yang tidak bertanda dari
pasangan itu.
Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang
mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Cantoh yang
sukar dicari pasangannya antara lain, kata-kata yang berkenaan dengan nama warna. Selama
ini, kata putih memang dapat dipasangkan dengan kata hitam, tetapi nama-nama warna lain
49
tidak mudah untuk dicari pasangannya. Apakah merahpasangannya dengan putih, atau hitam,
atau hijau, atau yang lainnya? Sukar dijawab, saling bertumpang tindih. Dalam bahasa
Indonesia kita tidak tahu mau mempertentangkan merah dengan apa? Cantoh kata atau unsur
leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa
dipertentangkan dengan kata duduk, tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah, tidur,
jongkok, dan berbaring.
Ketiga, kita seringkali sukar mengatur ciri-ciri semantikitu secara bertingkat, mana yang
lebih bersifat umum dan mana yang bersifat khusus. Umpamanya ciri (jantan) dan (dewasa),
mana yang lebih bersifat umum jantan atau dewasa. Bisa jantan tetapi bisa juga dewasa, sebab
tidak ada alasan bagi kita untuk menyebut ciri (jantan) lebih bersifat umum daripada ciri
dewasa. Atau, juga sebaliknya karena ciri yang satu tidak menyiratkan ciri makna yang lain.
Oleh karena itu, keduanya (jantan) dan (dewasa) tidak dapat ditempatkan dalam suatu hierarki.
Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang lebih tinggi dalam diagram yang berlainan.
Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner banyak kelemahannya,
tetapi cara ini banyak memberi manfaat untuk memahami makna kalimat. Para bahasawan
transformasional telah menggunakan teknik ini sehingga minat terhadap analisis komponen
makna ini menjadi meningkat.
c. Urutan Hubungan Antara Komponen
Dari komponen diagnostik (dengan pengertian bahwa diagnostik itu dapat melayani
perbedaan makna dari suatu bentuk dengan bentuk yang lain dalam domein yang sama), kita
melihat bahwa leksem /ayah/ sebagai leluhur tidak mempunyai hubungan makna dengan
bentuk lain, misalnya dengan leksem /ibu, kakek, kemenakan/ dan seterusnya.
Tiap leksem tentu mempunyai hubungan internal, baik yang bersifat temporal maupun
yang bersifat logis. Cantoh leksem /penyesalan/ memiliki komponen diagnostik yang bersifat
temporal, yakni (1) merasa bahwa ada tingkah laku yang keliru, (2) merasa berdosa, dan (3)
mengubah tingkah laku yang salah. Di sini imajinasi kita harus bekerja keras karena rujukannya
sangat berbeda dengan leksem /saya/ seperti yang dikatakan di atas. Penyesalan memang
terlihat dari gejala jiwa yang menyebabkan seseorang mengubah tingkah lakunya. Peristiwa
menyesal itu sendiri bersifat temporal karena orang tidak selamanya menyesal atas
kekeliruannya.
d. Beberapa Kesulitan Menganlisis Komponen Makna
Banyak kesulitan yang dihadapi apabila kita menganalisis komponen makna suatu
leksem. Kesulitan itu berhubungan dengan:
(1) Lambang yang kita dengar atau yang kita baca tidak diikuti dengan unsur-unsur ekstra
linguistik. Misalnya, kita membaca leksem /buku/ di depan sebuah toko. Kita dapat
menganalisis dari berbagai segi menurut dugaan kita tentang makna leksem tersebut.
50
(2) Tiap leksem berbeda pengertiannya untuk tiap bidang ilmu. Misalnya, istilah morfologi, ada
pada bidang linguistikdan bidang pertanian. Demikian juga istilah kompetensi ada pada
bidang linguistik, psikologi, dan bidang pendidikan. Meskipun istilah-istilah tersebut
mempunyai titik persamaan, tetapi pasti ada perbedaannya.
(3) Tiap leksem memiliki pemakaian yang berbeda terutama untuk leksem-leksem yang
mempunyai hubungan renggang. Misalnya, kita dapat mengatakan /di belakang rumah/
sebab kita menganggap bahwa rumah mempunyai bagian depan dan bagian belakang.
(4) Leksem yang bersifat abstrak sulit dideskripsikan. Misalnya, kita sulit memerikan leksem-
leksem seperti /liberal atau sistem/, dan sebagainya.
(5) Leksem yang tergolong deiksis, seperti /ini, itu, di sana, di sini/ dan leksem yang tergolong
kata fungsi sulit dideskripsi. Leksem-leksem yang tergolong kata fungsi hanya dapat
dipahami maknanya melewati hubungan leksem dalam suatu kalimat.
(6) Leksem-pleksem yang yang bersifat umum sulit dideskripsi. Misalnya, leksem-leksem
/binatang, burung, ikan, manusia, tumbuhan/ dan sebagainya.
3. Indikator Kemampuan Memahami Makna
Kita dapat mengukur pemahaman makna pada setiap orang, caranya yakni dengan
menggunakan indiator-indikator sebagai berikut.
a.Dapat menjelaskan makna yang dimaksud pembicara atau penulis. Misalnya, seorang berkata
/coba sebut identitaspencuri itu/. Kalaupendengar dapat menyebutkan ciri-ciri pencuri
secara jelas, ini menandakan bahwa pendengar memahami makna leksem/ identitas/.
b. Dapat berbuat atau tidak berbuat apa yang dikatakan oleh pembicara atau penulis. Misalnya
kalau seseorang berkata /tiaraplahpesawat musuh datang/ dan kemudian pendengar segera
tiarap, ini menandakan bahwa pendengar mengerti makna leksem /tiaraplah/.
c. Dapat menggunakan leksem dalam suatu kalimat sesuai dengan makna dan fungsinya.
Misalnya, kalau seseorang berkata /burung saya wafat kemarin/, ini menandakan bahwa
pendengar tidak memahami makna dan pemakaian leksem /wafat/.
d. Dapat menyuebut sinonim atau antonim leksem yang memang sinonim dan antonimnya
dapat dicari.
e. Dapat mereaksi dalam wujud gerakan motoris atau afektif, apabila mendengar leksem yang
menjengkelkan atau mengharukan hatinya. Misalnya, kalau seseorang berkata, /anjing kau/,
kemudian muka pendengar menjadi merah, lalu ia memukul pembicara, ini menandakan
51
bahwa pendengar mengerti makna leksem/anjing kau/ yang bermakna penghinaan.
Selanjutnya, kalau seseorang berkata /anak itu tidak dapat membayar SPP karena ia sudah
yatim-piatu/, lalu pendengar berkata /kasihan/, ini menandakan bahwa pendengar dapat
merasakan makna kalimat tersebut.
f. Dapat membetulkan pembicara apabila ternyata salah menggunakan leksem yang tidak
sesuai dengan makna dan pemakaiannya.
G. Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Teknik Analisis Makna 0,5 1,5 2 1,5 2,5 8
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
H. ContohSoal-soal Latihan
1. Adakah hubungan antara teori medan makna dengan teori mengenai makna kolokasi dalam
pembicaraan mengenai jenis makna? Jelaskan!
2. Jelaskan perbedaan pengelompokan makna menurut set dan kolokasi!
3. Apakah analisis biner dapat diterapkan pada setiap unsur leksikal? Jelaskan secara singkat!
4. Jelaskan secara singkat dandisertai contoh masing-masing kesulitan yang dihadapi apabila
kita menganalisis komponen makna suatu leksem.
5. Kita dapat mengukur pemahaman makna pada setiap orang dengan cara menggunakan
indikator. Jelaskan secara singkat indikator-indikator tersebut.
I.Bahan Bacaan
1.Abdul Chaer (1990). Pengantar: Semantik Bahasa Indonesia.
2.Mansoer Pateda (1986). Semantik Leksikal.
3.Edi Setiyanto, Restu Sukesti, dan Wiwin Erni Siti Nurlina (1997). Medan Makna Aktivitas
Tangan dalam Bahasa Indonesia.
52
SISTEM EVALUASI
Evaluasi merupakan titik tolak semua kemajuan. Evaluasi bertujuan mengungkap kinerja
belajar mahasiswa, sekaligus sebagai alat ukur tercapainya sasaran pembelajaran. Krikteria
penilaian harus disampaikan pada kuliah pertama (kontrak pembelajaran) dengan menganut
prinsip objektivitas dan transparan. Evaluasi dan penilaian yang akan dilakukan melalui empat
tahap, yaitu (1) Penilaian proses pembelajaran/tugas kelompok (40%), (2) Tugas latihan
(mandiri) (15%), (3) Uji kompetensi tengah semester (20%), dan (4) Uji kompetensi akhir
semester (25%). Indikator penilaian dapat dilihat pada table berikut ini.
Tabel Indikator Penilaian
Materi Proporsi (%) Jumlah
C-T D An P PR
Semantik dan Ruang Lingkupnya 0,5 0,5 1 0,5 1,5 4
Makna dan Teori Pendekatannya 0,5 1,5 1 1 2 6
Jenis / Ragam Makna 0,5 1 1 0,5 2 5
Struktur Leksikal (Pertalian Makna) 0,5 1,5 1 1 2 6
Ketaksaan Makna (Ambiguitas) 0,5 1 1 1 1,5 5
Perubahan Makna 0,5 1,5 1 1 2 6
Teknik Analisis Makna 0,5 1,5 2 1,5 2,5 8
Ujian Tengah Semester 20
Ujian Akhir Semester 25
Tugas Latihan 15
Jumlah 100
Ket : C-T =Ceramah dan Tanya Jawab; D =Diskusi; An =Analisa: P =Penugasan; PR =Praktik
(membaca, menulis dan presentasi)
PENUTUP
Materi pembelajaran yang telah diuraikan mulai modul 1 sampai dengan modul 7 bukanlah
satu-satunya bahan acuan yang menjadi pegangan dosen dan mahasiswa dalam proses
pembelajaranini. Tentunya, baik dosen maupun mahasiswa harus perkaya lagi dengan sumber
referensi lain yang sesuai dengan Silabus dan Garis-garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP)
mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia (SBI).
Proses pembelajaran modul ini menggunakan metode SCL karena metode konvensional
yang dilaksanakan selama ini, mulai dirasakan kurang efektif dalam pencapaian sasaran
pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran mata kulia SBI perlu dikembangkan malalui
53
beberapa perbaikan dan penyempurnaan beserta implementasinya. Penerapan SCL untuk
peningkatan kualitas pembelajaran pada mata kuliah SBI ini, konsep keberlanjutan
(pengembangan) yang akan dilaksanakan meliputi: (1) tahap persiapan materi ajar, (2) tahap
presentasi, (3) tahap riset, (4) tahap evaluasi dan elaborasi, (5) tahap umpan balik dan
implikasi.
Akhirnya, mahasiswa harus diarahkan untuk dapat mengidentifikasi implikasi-implikasi dari
semua butir tentang materi (modul yang telah ditutorialkan lewat diskusi kelompok dan
masing-masing kelompok menyerahkan hasil diskusinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT
Eresco.
Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Parera, J.D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Surana, F.X. 1984. Semantik Bahasa Indonesia. Solo: Tiga Serangkai.
Setiyanto, Edi, Restu Sukesti, Wiwin Erni Siti Nurlina. 1997. Medan Makna Aktivitas Tangan
dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai