Anda di halaman 1dari 151

PERCOBAAN I IDENTIFIKASI HIDROKARBON TAK JENUH

A. Tujuan Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa hidrokarbon jenuh dan tak jenuh.

B.

Dasar Teori 1. Hidrokarbon Karbon dapat membentuk lebih banyak senyawa dibandingkan unsur lain sebab atom karbon tidak hanya dapat membentuk ikatan rangkap tiga, tetapi juga bisa terkait satu sama lain membentuk rantai dan cincin. Semua senyawa organik merupakan turunan dari golongan senyawa yang dikenal sebagai hidrokarbon, sebab senyawa tersebut terbuat hanya dari hidrogen dan karbon. Senyawa hidrokarbon seperti golongan alkana tidak dianggap sebagai senyawa yang reaktif akan tetapi pada kondisi tertentu (mendekati titik bakarnya 0) senyawa golongan ini dapat mengalami reaksi pembakaran atau reaksi oksidasi. (Chang, 2004) Senyawa hidrokarbon adalah senyawa kimia yang terdiri dari unsur-unsur hidrogen dan karbon. Senyawa hidrokarbon yang dapat dibagi atas tiga kelompok besar, yaitu senyawa parafin, senyawa naftalena dan senyawa-senyawa aromatis (Umiati, 2009). 2. Klasifikasi Hidrokarbon Berdasarkan bentuk karbonnya, hidrokarbon dapat dibagi ke dalam senyawa alifatik, alisklik dan aromatik. Hidrokarbon yang semua ikatan karbon-karbonnya merupakan ikatan kovalen tunggal disebut hidrokarbon jenuh. Jika terdapat satu saja ikatan karbon-karbon rangkap dua atau tiga, digolongkan sebagai hidrokarbon tak jenuh.
1

Suatu golongan senyawa dengan rumus umum yang sama dan sifatsifatnya mirip disebut homolog. Alkana merupakan hidrokarbon jenuh dengan rumus umum CnH2n+2. Alkena merupakan hidrokarbon tak jenuh dengan satu ikatan rangkap dua. Adapun rumus umumnya ialah CnH2n. Sedangkan untuk hidrokarbon yang memiliki ikatan rangkap tiga disebut alkuna dengan rumus umum CnH2n-2. Sumber utama alkana adalah gas alam dan minyak bumi. Sedangkan alkena dibuat dari alkena melalui proses perengkahan. Alkena, alkana dan alkuna mempunyai tatanama tertentu (Dadani, 2012). a. Alkana Hidrokarbon yang tidak mempunyai ikatan rangkap dua atau tiga disebut dengan alkana. Semua alkana mempunyai rumus umum CnH2n+2, dan merupakan hidrokarbon jenuh. Alkana memiliki ciri dengan adanya atom-atom karbon tetrahedral (Sp3). Contohnya, metana (CH4) dan etana (C2H6) (Sarker, 2009). b. Alkena Sebuah alkena adalah suatu hidrokarbon yang mengandung satu ikatan rangkap. Kadang-kadang alkena disebut olefin, dari kata olifiant (gas yang membentuk minyak), suatu nama lain untuk etilena (CH2=CH2 ) (Fessenden, 1986). c. Alkuna Seperti yang telah dinyatakan di atas, jika hidrokarbon induk tidak mengandung ikatan rangkap maupun ganda tiga digunakan akhiran -ana. Jika alkuna, rangkap tiga digunakan akhiran -una. (Fessenden, 1986) d. Sikloalkana Sikloalkana merupakan alkana dalam bentuk siklik dengan rumus molekul umum CnH2n. Anggota paling sederhana dari kelompok ini tersusun atas cincin karbon tunggal tidak tersubstitusi, dan struktur ini membentuk sekelompok seri homolog serupa dengan alkana yang bercabang (Sarker, 2009).
2

e. Senyawa aromatik Senyawa golongan hidrokarbon ini mempunyai cincin benzena dimana struktur dasar dari benzena mengandung 6 atom karbon yang dihubungkan dengan ikatan hibrid. Hidrokarbon aromatik merupakan kelompok khusus dari senyawa siklik tak jenuh yang mempunyai struktur seperti benzena. Disebut aromatik karena adanya bau khas (Manengkey, 2012). Semua obat adalah bahan kimia dan kebanyakan dari senyawa-senyawa aromatis. Secara umum, istilah senyawa aromatis merupakan senyawa-senyawa wangi/fragnan. Dulu benzena dan kelompoknya diberi istilah sebagai aromatis. Meskipun demikian, sejumlah senyawa non benzena dapat juga dikelompokkan sebagai senyawa aromatis (Sarker, 2005). 3. Sifat-sifat Hidrokarbon Tidak leleh dan tidak didih hidrokarbon meningkat seiring dengan peningkatan massa molekul relatifnya. Titik leleh dan titik didih senyawa-senyawa yang merupakan isomer berkurang seiring dengan pertumbuhan jumlah cabang dalam molekulnya. Alkana mempunyai reaksi-reaksi penting, yaitu pembakaran, substitusi dan perengkahan. Alkena dan alkuna mempunyai ikatan rangkap dan mengalami reaksi adisi dan penjenuhan (Dadani, 2012). Struktur gugus fungsi dan ukuran molekul adalah faktor yang menentukan sifat senyawa karbon. a. Hidrokarbon tidak larut dalam air, karena sifatnya non polar, hal ini dikarenakan kecilnya perbedaan keelektronegatifan antara C dan H. b. Alkohol dengan rantai karbon pendek larut dalam air, karena dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. c. Makin besar ukuran molekul reduksi hidrokarbon dibandingkan dengan gugus fungsinya, maka kelarutannya dalam air akan berkurang.
3

d. Titik didih senyawa karbon dipengaruhi oleh massa molekul dan kemampuan membentuk ikatan hidrogen. e. Gugus fungsi dalam molekul senyawa karbon merupakan penentuan reaksi yang terjadi. f. Kuat ikatan mempengaruhi reaksi senyawa karbon. (Dwiyanti, 2009)

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Tabung reaksi b. Rak tabung c. Pipet tetes d. Gelas kimia 2. Bahan a. I2 dalam kloroform b. KMnO4 0,01 N c. Minyak goreng d. Minyak jelantah e. Minyak VCO f. H2SO4 g. Sikloheksana

D. Prosedur Kerja 1. Percobaan 1 a. Diambil tabung reaksi yang telah dibersihkan dan dikeringkan b. Diisi tabung reaksi dengan masing-masing sampel c. Ditetesi semua tabung dengan H2SO4 lalu dikocok d. Diamati dan dicatat hasil pengamatan 2. Percobaan 2 a. Diulangi percobaan diatas, tetapi larutan H2SO4 diganti dengan KMnO4 disetiap tabung b. Diamati dan dicatat hasil pengamatan 3. Percobaan 3 a. Diisi dalan 3 tabung reaksi, diisi 5ml larutan I2 dalam kloroform b. Ditetesi masing-masing tabung reaksi dengan minyak kelapa, minyak goreng, minyak jelantah dengan menggunakan pipet tetes secara perlahan-lahan

c. Dihitung jumlah tetesan minyak untuk menghilangkan warna merah muda pada larutan I2 dalam kloroform

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel hasil pengamatan No 1. 2. 3. 4. Sampel Minyak VCO Minyak Goreng H2SO4 Pekat Minyak Jelantah Sikloheksana Pereaksi Warna Jernih dan larutan 2 fase Keruh dan larutan 2 fase Kuning dan larutan 2 fase Jernih dan larutan 2 fase Atas bening dan bawah ungu (larutan 2 fase) Kecoklatan 6. 7. 8. Minyak Goreng Minyak Jelantah Sikloheksana 2 fase Minyak VCO I2 dalam 9. Kloroform Minyak Jelantah Sikloheksa na Larutan coklat kemerahan Ungu 190 80 Minyak Goreng Jernih Larutan coklat kemerahan 146 180 KMnO4 7 (larutan 2 fase) Endapan coklat Jernih dan larutan 5 3 tetes 20 20 10 12

5.

Minyak VCO

2. Reaksi a. Minyak nabati + H2SO4


O H2C O C(CH2)14CH3 O HC O C(CH2)7CH O H2C O CH(CH2)7CH3

H2SO4

C(CH2)7CH CHCH2CH CH(CH2)4CH3

H2C

C(CH2)14CH3 O HSO4 CH(CH2)7CH3 HSO4 HSO4 CH CH2CH2 HSO4 CH(CH2)4CH3

HC

C(CH2)7CH2 O HSO4

H2C

C(CH2)7CH

b. Minyak nabati + KMnO


O H2C O C(CH2)14CH3 O HC O C(CH2)7CH O H2C O C(CH2)7CH CHCH2CH CH(CH2)4CH3 CH(CH2)7CH3 + MnO4 + 4H2O

O H2C O C(CH2)14CH3 O HC O OH OH CH(CH2)7CH3 + MnO2 + 2H + 3e OH OH

C(CH2)7CH O

OH OH

H2C

C(CH2)7CH CHCH2CH CH(CH2)4CH3

c. Minyak nabati + I2 dalam kloroform

O H2C O C(CH2)14CH3 O HC O C(CH2)7CH O H2C O C(CH2)7CH CHCH2CH CH(CH2)4CH3 O C(CH2)14CH3 O HC O I I CH(CH2)7CH3 I I I CH(CH2)7CH3

+ 3 I2

H2C

C(CH2)7CH O I

H2C

C(CH2)7CH CHCH2CH CH(CH2)4CH3

d. Sikloheksana

+ KMnO4

H2SO4

I2 dalam kloroform

10

F.

Pembahasan Percobaan ini berjudul identifikasi hidrokarbon tak jenuh yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan membedakan antara senyawa hidrokarbon jenuh dan tak jenuh. Hidrokarbon adalah suatu golongan senyawa kimia yang tersusun oleh atom-atom karbon (C) dan hidrogen (H). Senyawa hidrokarbon dapat di golongkan berdasarkan bentuk rantainya dan jenis antar ikatan atom-atom penyusunnya. Berdasarkan bentuk rantainya, senyawa hidrokarbon dibagi menjadi hidrokarbon alifatik (rantai terbuka) dan hidrokarbon siklik (rantai tertutup), sedangkan berdasarkan jenis ikatan atom-atomnya, senyawa ini dibagi menjadi hidrokarbon jenuh dan tak jenuh. Hidrokarbon jenuh adalah hidrokarbon yang ikatan antar atomnya berupa ikatan tunggal (alkana), sedangkan hidrokarbon tak jenuh merupakan hidrokarbon yang mengandung ikatan rangkap pada atom-atom

penyusunnya, baik ikatan rangkap dua (alkena) atau ikatan rangkap tiga (alkuna). Berdasarkan hal inilah kedua golongan senyawa ini dapat diidentifikasikan dan dibedakan antara satu dengan lainnya. Secara umum, senyawa hidrokarbon memiliki sifat jenuh dan sukar bereaksi dengan zat lain, sedangkan hidrokarbon tak jenuh lebih mudah bereaksi. Hal ini terjadi karena pada hidrokarbon jenuh tidak terdapat ikatan rangkap sebagaimana pada hidrokarbon tak jenuh. Ikatan tunggal menunjukkan bahwa senyawa tersebut telah jenuh dengan hidrogen, hingga tidak dapat mengalami proses penjenuhan. Percobaan kali ini dilakukan tiga kali pengujian. Pengujian pertama dan kedua yaitu untuk mengetahui jenuh atau tidak jenuhnya suatu sampel yang digunakan, sedangkan pengujian ketiga yaitu untuk mengetahui tingkat kejenuhan pada sampel. Percobaan ini menggunakan minyak VCO (Virgin Coconut Oil), minyak goreng, minyak jelantah dan sikloheksana sebagai sampel hidrokarbon yang akan diuji, selain itu digunakan pula H2SO4 pekat dan KMnO4 sebagai pereaksi H2SO4 pekat pada percobaan I dan II. Tingkat kejenuhan sampel dapat diketahui berdasarkan jumlah tetesan yang diperlukan untuk memutuskan ikatan rangkap pada sampel yang ditandai
11

dengan adanya perubahan warna yang semakin pekat, perubahan ini menunjukkan tingkat kejenuhan sampel yang diuji. Lalu pada percobaan III, I2 dalam kloroform yang dimasukkan kedalam tabung reaksi dan sampelsampel minyak diteteskan kedalam tabung hingga terjadi perubahan warna. Jumlah tetesan dan perubahan warna yang terjadi menunjukkan ada atau tidaknya ikatan rangkap yang terkandung pada sampel-sampel minyak atau sikloheksana. Pada percobaan hidrokarbon ini digunakan larutan KMnO4 sebagai pereaksi, hal ini dikarenakan kalium permanganat (KMnO4) merupakan oksidator kuat yang mampu memutus ikatan Phi () dalam ikatan karbon rangkap menjadi ikatan Sigma (), yaitu ikatan karbon tunggal melalui reaksi oksidasi. Sama halnya dengan penggunaan H2SO4 pekat sebagai pereaksi, H2SO4 pekat juga bertujuan untuk memutus ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal, namun melalui reaksi penambahan atom atau disebut reaksi adisi. Semakin banyak jumlah tetesan H2SO4 pekat pada suatu sampel, akan membuat sampel tersebut membentuk larutan 2 fase, pada bagian atas berwarna kuning dan bagian bawah berwarna bening. Adapun penggunaan I2 dalam kloroform juga bertujuan untuk memutus ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal melalui mekanisme reaksi penggantian atau pertukaran atom yang biasa disebut subtitusi. Pembuatan I2 dalam kloroform ialah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan saat percobaan, mengingat I2 bersifat sangat reaktif, mudah teroksidasi dan larut dalam air, serta dapat menghasilkan gas yang bersifat racun. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkat kejenuhan masing-masing sampel berbeda-beda. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah tetesan pereaksi yang diteteskan kepada sampel hingga terjadi perubahan. Tingkat kejenuhan juga dapat diketahui dari perubahan warna yang terjadi pada sampel. Semakin banyak jumlah tetesan pereaksi, menunjukkan semakin tidak jenuhnya sampel. Sampel pertama, yaitu minyak VCO yang direaksikan dengan H2SO4 pekat. Minyak VCO yang direaksikan dengan H2SO4 pekat akan menghasilkan larutan jernih dengan membentuk larutan 2 fasa. Berdasarkan
12

hal tersebut dapat diketahui bahwa semakin tidak jenuhnya sampel tersebut. Hal ini sesuai dengan teori dimana hidrokarbon jenuh tidak dapat mengalami reaksi adisi atau penambahan atom karena ikatan-ikatannya telah jenuh oleh atom hidrogen, sehingga reaksi tidak berlangsung dan ditandai dengan tidak adanya perubahan warna pada sampel. Hal ini pun sesuai dengan teori, bahwa VCO mengandung asam laurat, yaitu asam lemak jenuh rantai sedang dengan konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Adapun larutan 2 fasa yang terbentuk dikarenakan perbedaan sifat kepolaran antara 2 senyawa tersebut, dimana minyak VCO merupakan hidrokarbon yang bersifat non polar, sedangkan H2SO4 bersifat polar, sehingga kedua larutan tersebut tidak bercampur. Sampel kedua, yaitu minyak goreng. Jumlah H2SO4 yang dibutuhkan sampai sampel mengalami perubahan sama dengan jumlah pada jumlah pertama, yaitu 20 tetes. Berdasarkan pengamatan, sampel ini terjadi perubahan menjadi keruh kekuningan dan membentuk larutan 2 fasa. Adanya perubahan ini menunjukkan terjadinya reaksi adisi oleh H2SO4 terhadap asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam sampel. Reaksi ini merupakan reaksi penjenuhan, dimana ikatan rangkap yang terkandung dalam asam lemak tidak jenuh diputus menjadi ikatan tunggal dengan mekanisme penambahan atom hidrogen. Hal ini sesuai dengan teorinya, bahwa minyak goreng mengandung 2 jenis asam lemak, yaitu asam lemak tak jenuh sebagai penyusun utama dan asam lemak jenuh. Sampel ketiga, yaitu minyak jelantah. Jumlah H2SO4 yang dibutuhkan adalah 10 tetes sehingga sampel terlihat berwarna kuning membentuk larutan 2 fasa. Sebenarnya tidak ada perubahan yang terjadi pada sampel ini saat jumlah tetesan tersebut. Warna kuning merupakan warna dari minyak jelantah sendiri. Berdasarkan teori, jumlah tetesan harus lebih banyak dari jumlah tetesan yang digunakan untuk menjenuhkan sampel sebelumnya, yakni minyak goreng. Karena tingkat kejenuhan dari minyak jelantah lebih tinggi dibandingkan dengan minyak goreng. Karena minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah mengalami oksidasi, sehingga ikatan13

ikatan rangkap dalam asam lemak tak jenuhnya sudah terputus menjadi ikatan-ikatan tunggal. Berdasarkan hal inilah reaksi adisi memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengikat. Reaksi dapat berlangsung dengan penambahan pereaksi yang lebih banyak. Karena di dalam minyak jelantah masih terdapat komponen asam lemak tak jenuh dengan komposisi yang sedikit. Hal yang sama terjadi pula pada sampel keempat, yaitu sikloheksana, tetesan H2SO4 yang diberikan pada sampel tidak menyebabkan sampel mengalami perubahan dan tetap terlihat jernih dengan membentuk larutan 2 fasa. Hal ini membuktikan bahwa sikloheksana tidak mengalami reaksi adisi oleh H2SO4 karena tergolong hidrokarbon jenuh. Minyak VCO, minyak goreng, minyak jelantah dan sikloheksana ketika direaksikan dengan H2SO4 sama-sama menghasilkan larutan 2 fasa namun minyak VCO dan minyak goreng menghasilkan larutan 2 fasa dengan ada sedikit uap pada dinding tabungnya. Hal ini terjadi karena adanya perubahan suhu secara eksoterm karena sampel mengalami reaksi adisi dengan H2SO4. Dari percobaan tersebut diketahui bahwa sikloheksana dan minyak jelantah termasuk hidrokarbon jenuh sedangkan minyak VCO dan minyak goreng termasuk hidrokarbon tidak jenuh. Percobaan kedua dengan menggunakan pereaksi KMnO4 pada sampel yaitu minyak VCO, minyak goreng, minyak jelantah, dan sikloheksana. Minyak VCO yang direaksikan dengan KMnO4 sebanyak 7 tetes menghasilkan larutan berwarna ungu dan terbentuk endapan ungu. Hal ini menunjukkan terjadinya reaksi oksidasi dimana ikatan rangkap pada minyak VCO diubah menjadi ikatan tunggal. Dalam hal ini ikatan pada ikatan rangkap dua dari mintak VCO terputus karena sifatnya lebih lemah dan menandakan bahwa minyak VCO termasuk hidrokarbon tak jenuh. Sampel selanjutnya, yaitu minyak goreng dan minyak jelantah terjadi perubahan warna setelah ditetesi dengan pereaksi KMnO4 sebanyak 7 tetes dan 3 tetes, yakni terlihat bahwa sampel yang awalnya berwarna kuning jernih menjadi larutan 2 fasa dengan warna keruh kecoklatan. Hal ini terjadi karena Mn2+ merupakan unsur transisi, dimana unsur transisi memiliki
14

beberapa bilangan oksidasi yang ditandai dengan perbedaan warna pada setiap bilangan oksidasi. Terjadi reaksi redoks, dimana senyawa hidrokarbon mengalami oksidasi dan dan KMnO4 mengalami reduksi, mengubah bilangan oksidasi Mn dalam KMnO4 yaitu +7 yang memberi warna ungu menjadi senyawa MnO2 dengan biloks Mn +4 yang memberikan warna coklat. Selain itu reaksi oksidasi yang terjadi mengakibatkan ikatan rangkap dua terputus dan berubah menjadi menjadi ikatan tunggal. Dari percobaan tersebut diketahui bahwa sampel tersebut termasuk hidrokarbon tak jenuh. Sampel sikloheksana yang direaksikan dengan KMnO4 menghasilkan larutan 2 fasa, diatas berwarna bening dan dibawah berwarna ungu. Terlihat adanya cincin ungu yang memisahkan larutan tersebut. Hal ini terjadi karena sikloheksana termasuk hidrokarbon jenuh sehingga tidak terjadi reaksi meskipun jumlah pereaksi yaitu KMnO4 yang ditambahkan sangat banyak. Hal itu terjadi karena sikloheksana merupakan hidrokarbon jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap, sehingga reaksi oksidasi tidak terjadi. Minyak jelantah seharusnya termasuk kedalam golongan hidrokarbon jenuh karena minyak dipanaskan secara berulang-ulang (digunakan untuk menggoreng berkali-kali) maka akan memutuskan ikatan rangkap pada minyak sehingga terbentuk ikatan tunggal. Akan tetapi minyak jelantah yang dijadikan sampel hanya baru digunakan sekali saja sehingga ikatan dalam minyak masih banyak yang mengandung ikatan rangkap daripada ikatan tunggalnya. Percobaan terakhir, dimana larutan I2 dalam kloroform dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditetesi dengan keempat sampel sebelumnya. Pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui sampel mana yang termasuk hidrokarbon jenuh dan yang termasuk hidrokarbon tak jenuh. Untuk minyak goreng dibutuhkan sebanyak 180 tetes untuk membuat larutan I2 berubah dari warna ungu menjadi coklat kemerahan. Untuk minyak jelantah dan minyak VCO masing-masing sebanyak 190 dan 146 tetes dengan hasil coklat kemerahan dan jernih. Apabila suatu sampel yang mengandung ikatan rangkap diteteskan pada larutan ini, maka perubahan warna akan terjadi, yaitu warna ungu, dimana larutan I2 dalam kloroform akan hilang. Hal ini
15

terjadi, karena adanya mekanisme pertukaran atom atau subtitusi adisi yang akan memutus ikatan rangkap pada hidrokarbon dan menghasilkan suatu senyawa organo-halogen jenuh dan tidak berwarna. Dimana satu atom hidrogen pada hidrokarbon diganti dengan gugus iodin dan membentuk senyawa jenuh tidak berwarna. Hal ini terlihat saat I2 ditetesi dengan minyak goreng, minyak jelantah dan minyak VCO. Kemudian, pada perubahan warna yang terjadi seharusnya tidak berwarna atau bening untuk keempat sampel yang di teteskan ini. Sehingga, apabila telah terjadi perubahan dari warna asal maka hal itu dapat di simpulkan bahwa telah terjadi reaksi substitusi adisi. Sedangkan apabila suatu senyawa hidrokarbon jenuh diteteskan pada I2, maka tidak akan terjadi perubahan warna. Karena sukarnya atom I2 memutus ikatan tunggal pada hidrokarbon jenuh yang membentuk rantai tertutup (cincin). Pada saat sikloheksana diberikan 80 tetes pereaksi, sikoheksana tidak menunjukkan perubahan. Sehingga untuk mengefisienkan waktu dan bahan, penetesan dihentikan. Sehingga dapat di simpulkan bahwa reaksi subtitusi adisi tidak terjadi. Menurut prosedur dan hasil pengamatan diatas dapat diketahui bahwa hidrokarbon jenuh (alkana) sangat sukar bereaksi dengan zat lain. Hal ini terjadi karena senyawa-senyawa hidrokarbun jenuh (alkana) memiliki afinitas yang sangat kecil. Selain itu ikatan antar atomnya diatur oleh ikatan sigma () yang memiliki kekuatan yang besar, sehingga untuk memutusnya memerlukan energi yang besar. Berbeda dengan hidrokarbon tak jenuh yang ikatan antar atomnya disusun oleh ikatan sigma () dan phi (). Ikatan sigma merupakan ikatan yang kuat, sedangkan ikatan phi adalah ikatan yang lemah sehingga mudah untuk diputus oleh zat lain. Bila ikatan ini putus, maka elektron yang bebas dapat dipergunakan untuk mengadakan ikatan dengan atom/gugus atom yang kekurangan elektron, sehingga terjadilah mekanisme adisi. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sampel yang termasuk hidrokarbon tak jenuh yaitu minyak VCO dan minyak
16

goreng sedangkan yang termasuk hidrokarbon jenuh yaitu minyak jelantah dan sikloheksana. Hal ini sesuai dengan teori, dimana jenuh atau tidak jenuhnya sampel dapat diketahui berdasarkan warna sampel yang dihasilkan. Dimana semakin pekat warna yang dihasilkan pada sampel, maka semakin jenuh pula sampel tersebut. Tingkat kejenuhan dari sampel dapat diketahui berdasarkan jumlah tetesan pereaksi yang diberikan pada sampel. Berdasarkan teori jumlah tetesan pereaksi mempengaruhi, hal ini dapat diketahui jika semakin banyak tetesan pereaksi yang diberikan, maka semakin jenuh pula sampel tersebut, sehingga tidak terjadi perubahan warna yang signifikan pada sampel. Dalam dunia kesehatan, penentuan kejenuhan dari suatu lemak atau minyak yang dikonsumsi sehari-hari sangatlah penting. Minyak yang baik di konsumsi adalah minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh dengan konsentrasi yang banyak. Asam lemak jenuh rantai panjang sangatlah berbahaya bagi kesehatan. Karena merupakan salah satu faktor penyebab penyakit-penyakit degenaratif, salah satunya penyakit jantung koroner. Oleh karena itu penggunaan minyak goreng yang layak konsumsi maksimal 4 kali setelah penggorengan. Karena oksidasi yang terjadi saat penggorengan akan memecah ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh yang berbahaya bagi kesehatan.

17

G. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Minyak kelapa dan minyak goreng merupakan senyawa hidrokarbon tak jenuh. 2. Minyak Jelantah dan sikloheksana adalah senyawa hidrokarbon jenuh. 3. Urutan tingkat kejenuhan sampel dari yang tertinggi yaitu Minyak Jelantah > Minyak Goreng > Minyak VCO > Sikloheksana

18

PERCOBAN II IDENTIFIKASI ALKIL HALIDA DAN ARIL HALIDA

A. Tujuan Mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa alkil halida dan aril halida.

B. Dasar Teori Senyawa organohalogen digunakan secara meluas dalam masyarakat modern sebagai pelarut, insektisida dan bahan dalam sintesis senyawa organik. Kebanyakan senyawa organohalogen adalah sintetik. Senyawa organohalogen agak jarang ditemukan dalam alam. Banyak senyawa organohalogen yang bersifat racun (toksik) dana harus digunakan dengan hati-hati. Misalnya, pelarut-pelarut karbon tetraklorida (CCl4) dan kloroform (CHCl3) menyebabkan kerusakan pada hati bila dihirup secara berlebihan. Dipihak lain beberapa senyawa halolgen tampaknya sangat aman dan beberapa digunakan sebagai pemati rasa hirupan. Senyawa yang mengandung hanya karbon, hidrogen dan suatu atom halogen dibagi dalam tiga kategori, diantaranya alkil halida, aril halida (sebuah halogen terikat pada sebuah karbon dari suatu cincin aromatik) dan halida unilik (sebuah hidrogen yang terikat pada sebuah halogen yang terikat pada sebuah karbon berikatan rangkap). Sebuah atom F, Cl atau Br, bersifat elektronegatif relatif terhadap karbon. Meskipun kelektronegatifan iod dekat dengan keelektronegatifan karbon sebab iod-iod mudah dipolarisasi. Oleh karena itu alkil halida bersifat polar (Fessenden, 1986). Senyawa halogen sangat penting karena berbagai sebab. Alkil dan aril halida sederhana, terutama klorida dan bromida adalah awal sintesis senyawa organik. Melalui reaksi subtitusi, halogen dapat diganti dengan gugus fungsi lain. Halida-halida organik juga dapat di ubah menjadi senyawa jenuh melalui reaksi eliminasi. Sehingga banyak senyawa organik mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari (Hart, 1983).
19

Dalam sistem IUPAC, suatu alkil halida diberi nama dengan suatu awalan halo-. Banyak alkil halida yang lazim mempunyai nama gugus fungsional trivial. Dalam nama-namanya gugus alkil disebut lebih dulu dan diikuti nama halidanya. Struktur bagian alkil dari suatu alkil halida berperanan, oleh karena itu perlu dibedakan empat tipe alkil halida, diantaranya metil, primer, sekunder dan tersier. Suatu metal halida ialah suatu struktur dalam, dimana satu hidrogen dari metana telah digantikan oleh sebuah halogen. Karbon ujung sebuah alkil halida ialah atom karbon yang terikat pada halogen (Fessenden, 1986). Aril halida adalah senyawa dimana atom hidrogen terikat langsung pada gugus aromatik dan berikatan dengan halogen. Rumus umum Ar, dimana Ar = fenil atau fenil tersubtitusi. Br Cl I COOH Cl

Sebuah atom F, Cl atau Br bersifat elektronegatif relatif terhadap karbon. Meskipun kelektronegatifan iod dekat dengan keelektronegatifan karbon, iod-iod mudah dipolarisasi. Benzena merupakan senyawa aromatis ysng paling sederhana dengan simbol Ar=Aril digambarkan dengan rumus kimia C6H6, ada kalanya juga menunjukkan strukturnya dengan heksagonal berisi lingkaran didalamnya. Enam titik heksagon menyatakan enam karbon dan atom hidrogen tidak dituliskan untuk penyederhana lingkaran menyatakan elektron yang terdekolalisasi yang tersebar merata diseluruh cincin (Respati, 1980). Selain benzena senyawa aromatik yang paling lazim di dalam minyak bumi adalah toluena, dimana satu atom hidrogen pada cincin benzena digantikan oleh gugus metal dan xilena (Oxtoby, 2003).

20

Suatu surfaktan bersifat toksik bila tertelan. Sisa bahan surfaktan terdapat didalam benzena dapat membentuk klorobenzena yang sifatnya racun dan berbahaya bagi tubuh (Whasih, 2009). Aril halida merupakan turunan dari asam karboksilat yang paling mudah bereaksi karena ion halida merupakan gugus pergi yang baik. Dengan adanya gugus penarik elektron akan meyebabkan aril halida membentuk atom C karbonil yang bermuatan meningkat (Suzana, 2010). Pada tahap adisi, krifenil metanol sebagai nukleofil menyerang karbon karbonil dari asetil klorida dengan menggunakan pasangan elektron bebas pada atom oksigen gugus hidroksil membentuk hasil antara tetrahedral (Widiyati, 2009). Senyawa alkil halida mempunyai rumus umum R-X, dimana R adalah gugus alkil yang sederhana maupun alkil tersubtitusi, misalnya : CH3 H3C C Cl CH3 Tersier butil klorida CH2 = CHCl Vinil klorida Adapun sifat-sifat fisik dari alkil halida, ialah : 1. Mempunyai titik didih yang jauh lebih tinggi daripada titik didih alkana dengan jumlah atom C yang sama. 2. Bila gugus alkilnya sama, maka makin besar berat atom hidrogennya, sehingga titik didihnya semakin tinggi. 3. Senyawa-senyawa alkil halida tidak larut dalam air, tapi larut dalam pelarut organik. 4. Senyawa-senyawa bromo, iodo dan polikloro lebih berat dari pada air. (Respati, 1980) CH2 = CH CH2Br Aril Bromida positif. Sehingga kereaktifan aril halida

21

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Penangas air b. Penjepit tabung c. Pipet tetes d. Pipet volume 5 mL e. Propipet f. Rak tabung g. Tabung reaksi 2. Bahan a. AgNO3 0,1 N b. Diklorometana c. Klorobenzena D. Prosedur Kerja 1. Diambil dua buah tabung reaksi yang bersih dan kering,tabung 1 diberi 5 tetes diklorometana, tabung reaksi 2 diberi 5 tetes klorobenzena. 2. Ditambahkan kedalam dua tabung reaksi tersebut masing-masing 5 mL AgNO3 0,1 N, dikocok dan dipanaskan selama 2 menit. 3. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.

22

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil Pengamatan No 1 2 Senyawa Diklorometana AgNO3 Klorobenzena Lambat bergelembung pereaksi Perubahan Cepat bergelembung

2. Reaksi a. Diklorometana + AgNO3


H Cl C Cl H + AgNO3

Gelembung

b. klorobenzena + AgNO3
Cl

AgNO3

Lambat terbentuk gelembung

23

F. Pembahasan Percobaan yang berjudul identifikasi alkil halida dan aril halida ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa alkil halida dan aril halida. Alkil halida merupankan senyawa organohalogen, dimana atom-atom halogen terikat pada gugus alkil sederhana atau alkil tersubstitusi. Alkil halida memiliki rumus umum R-X, dimana R adalah gugus alkil dan X adalah atom-atom halogen. Sedangkan aril halida adalah senyawa organohalogen dimana sebuah halogen terikat pada sebuah karbon dari cicin suatu gugus aromatik. Rumus umumnya Ar-X, dimana Ar adalah gugus aromatik, biasanya gugus fenil sederhana atau fenil tersubstitusi, sedangkan X adalah atom-atom halogen. Kedua senyawa ini memiliki perbedaan sifat, baik secara fisik maupun kimia. Sehingga berdasarkan hal inilah kedua senyawa ini dapat diidentifikasikan dan dibedakan. Percobaan ini menggunakan sampel diklorometena dan klorobenzena. Diklorometana adalah salah satu contoh senyawa alkil halida, sedangkan klorobenzena adalah contoh dari senyawa aril halida. Selain kedua sampel tersebut, digunakan pula perak nitrat (AgNO3) sebagai pereaksi dalam percobaan ini. Penggunaan AgNO3 bertujuan untuk menguji seberapa kuat ikatan yang terjadi antar atom-atom penyusun kedua senyawa ini. Adapun beberapa hal yang penting dari prosedur kerja ialah adanya proses pengocokan dan pemanasan terhadap sampel. Proses pengocokan bertujuan untuk memberikan tekanan di dalam tabung reaksi, sehingga ikatan-ikatan antar atom dalam sampel mudah diputuskan oleh pereaksi. Sedangkan tujuan proses pemanasan ialah mempercepat berlangsungnya proses pemutusan tersebut. Selain itu, proses pemanasan ini menjadi parameter dalam percobaan ini, dimana waktu pemansan menujukkan seberapa kuat ikatan yang terdapat dalam kedua sampel. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kedua sampel memiliki kuat ikatan yang berbeda. Hal ini ditunjukkan, pada sampel yang berisi diklorometana setelah ditambahkan pereaksi AgNO3 dan dipanakan menghasilkan gelembung yang lebih cepat dibandingkan dengan sampel yang
24

berisi sampel klorobenzena. Adanya gelembung di dalam sampel saat pemanasan, menunjukkan terjadinya reaksi pemutusan ikatan dalam senyawa tersebut. Sedangkan waktu pemanasan yang dibutuhkan hingga sampel bergelembung menunjukkan kuatnya ikatan yang terdapat dalam senyawa tersebut, dimana semakin lama waktu pamanasan berarti semakin sukar ikatan antar atom dalam senyawa tersebut untuk diputuskan. Sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa ikatan antar atom dalam senyawa klorobenzena lebih kuat dibandingkan ikatan dalam senyawa diklorometana. Hal ini terjadi karena, pada senyawa diklorometana terjadi perbedaan keelektronegatifan yang besar. Dimana atom klor (Cl) lebih bersifat elektronegatif dibanding atom karbon (C). Tingginya

keelektronegatifan pada atom klor (Cl) akan menyebabkan elektron yang dimiliki oleh atom karbon (C) tertarik pada atom klor (Cl), sehingga atom karbon (C) bersifat elektropositif. Kemudian, adanya ion NO3- yang berasal dari senyawa AgNO3 yang ditambahkan akan menyebabkan terputusnya atom hidrogen dan atom klor dalam senyawa ini. Hal ini terjadi karena ion NO3merupakan suatu nukleofil atau pecinta nukleus (bermuatan positif) akan menyerang atom karbon yang bersifat elektropositif atau bermuatan positif. Adanya suatu nukleofil ini akan menyababkan ketidakstabilan pada atom karbon. Untuk menstabilkannya atom karbon akan melepas atau memutus ikatannya dengan atom hidrogen (H) dan atom klor (Cl), sehingga senyawa ini akan membentuk suatu alkana yang memiliki muatan positif. Sedangkan atom hidrogen yang lepas akan berubah menjadi ion H+ dan atom klor (Cl-) pun sama membentuk ion Cl-. Ion H+ yang lepas tersebutlah yang menyebabkan timbulnya gelembung, karena menguap saat pemanasan. Sedangkan ion Cl- yang berlebih akan berikatan dengan ion Ag+ yang berasal dari AgNO3 terbentuk AgCl dalam larutan. Sedangkan pada senyawa klorobenzena, pemanasan membutuhkan waktu yang lebih lama hingga terlihat adanya suatu gelembung. Hal ini menunjukkan ikatan antar atom dalam senyawa ini lebih kuat dibandingkan ikatan dalam senyawa diklorometena. Hal ini terjadi karena struktur klorobenzena yang berupa
25

cincin aromatik. Suatu gugus aromatik, umumnya memiliki sifat sukar untuk diputus ikatan antar atomnya meskipun pada senyawa ini juga terjadi pebedaan keelektronegatifan yang besar antara atom karbon (C) dengan atom klor (Cl). Resonansi/berputarnya elektron-elektron dalam cincin aromatik menyababkan elektron-elektron tersebut secara merata, sehingga tidak ada atom yang bermuatan lebih positif atau lebih negatif dan ini menyababkan tarikan antar atom sama kuat, sehingga adanya suatu nukleofil yakni NO3tidak mengganggu kestabilan dari senyawa ini. Akibatnya tidak ada atomatom yang melepaskan diri. Hal ini ditandai dengan belum adanya gelembung yang terjadi saat senyawa diklorometana sudah bergelembung. Pemanasan yang lebih lanjut, tetap akan menyebabkan terjadinya disosiasi pada senyawa ini, sehingga akan terjadi gelembung, hanya saja waktu yang dibutuhkan lebih lama dari sampel awal. Atau dengan kata lain, klorobenzena dapat mengalami pemutusan dengan energi yang lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diklorometana, yang merupakan senyawa alkil halida lebih mudah mengalami pemutusan ikatan dibandingkan klorobenzena, senyawa aril halida bersifat lebih stabil dibandingkan dengan senyawa alkil halida. Dalam dunia kesehatan, terutama dunia farmasi alkil halida sangat diperlukan sebagai bahan baku dalam pembuatan sediaan. Misalnya iodoform merupakan bahan baku antiseptik dan obat luka. Sedangkan bromoform digunakan untuk campuran obat tidur. Senyawa kloroform digunakan luas sebagai anestesi atau obat bius. Proses identifikasi dapat digunakan untuk membedakan senyawa alkil dengan aril halida, karena alkil halida bersifat toksik jika dalam senyawa murni. Misalnya kloroform jika tertiup dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Aril halida lebih sering digunakan pula sebagai bahan baku pembuatan obat.

26

G. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Klorobenzena merupakan senyawa golongan aril halida. 2. Diklorometana merupakan senyawa golongan alkil halida.

27

PERCOBAAN III IDENTIFIKASI ALDEHIDA DAN KETON

A. Tujuan Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa aldehida dan keton serta mengetahui perubahan dan reaksi reduksi yang terjadi pada aldehida dan keton.

B. Dasar Teori Aldehida dan keton adalah senyawa-senyawa yang mengandung salah satu dari gugus penting di dalam kimia organik, yaitu gugus karbonil C=O. Semua senyawa yang mengandung gugus ini disebut senyawa karbonil. Gugus karbonil adalah senyawa yang paling menentukan sifat kimia aldehida dan keton. Oleh karena itu banyak sekali sifat fisik dari yang lain senyawasenyawa ini adalah mirip satu sama lainnya. Salah satu reaksi untuk pembuatan aldehida adalah oksidasi dari alkohol primer. Kebanyakan oksidator tak dapat dipakai karena akan mengoksidasi aldehidanya menjadi asam karboksilat. Oksidasi krompiridin komplek seperti piridinium klor kromat adalah oksidator yang dapat merubah alkohol primer menjadi aldehida tanpa merubahnya menjadi asam karboksilat. (Petrucci, 1987) Aldehida dan keton barulah dua dari sekian banyak kelompok senyawa organik yang mengandung gugus karbonil. Suatu keton (RCOR) mempunyai gugus alkil (aril) yang terikat pada karbon karbonil, sedangkan aldehida (RCHO) mempunyai sekurang-kurangnya satu atom hidrogen yang terikat pada karbon karbonilnya (Fessenden, 2008). Aldehida mempunyai gugus asli dengan hidrogen yang terikat pada karbonil. Senyawa aldehida alami yang paling melimpah adalah glukosa. Aldehida yang paling sederhana adalah formaldehida (CH2O) yang mana karbonil mengikat dua atom H. Pada semua aldehida selain formaldehida,
28

karbon karbonil mengikat 1 atom hidrogen dan satu gugus alkil atau aril, misalnya asetaldehida (CH3CH) (Sarker, 2009). Keton adalah suatu senyawa organik yang mempunyai sebuah gugus karbonil terikat pada dua gugus alkil, dua gugus alkil, atau sebuah alkil. Keton juga dapat dikatakan senyawa organik yang karbon karbonilnya dihubungkan dengan dua karbon lainnya. Keton tidak mengandung atom hidrogen yang terikat pada gugus karbonil (Wilbraham, 1992). Keton mempunyai suatu gugus fungsi asli dengan gugus alkil yang lain atau gugus aril yang terikat dengan karbon karbonil. Beberapa hormon steroid mengandung gugus fungsional keton, seperti hormon progesteron. Keton yang paling sederhana adalah aseton (CH3COCH3) yang mana atom karbonilnya mangikat 2 gugus metil (Sarker, 2009). Pembuatan keton yang paling umum adalah oksidasi dari alkohol sekunder. Hampir semua oksidator dapat dipakai. Pereaksi yang khas antara lain kromium oksida (CrO3), piridinium klor kromat, natrium bikromat (Na2Cr2O7) dan kalium permanganat (KMnO4) (Respati, 1986). Reaksi-reaksi pada aldehida dan keton adalah reaksi oksidasi dan reaksi reduksi. Reaksi oksidasi untuk membedakan aldehida dan keton. Aldehida mudah sekali dioksidasi, sedangkan keton tahan terhadap oksidator. Aldehida dapat dioksidasi dengan oksidator yang sangat lemah. Sedangkan reaksi reduksi terbagi menjadi tiga bagian yaitu reduksi menjadi alkohol, reduksi menjadi hidrokarbon dan reduksi pinakol (Wilbraham, 1992). Senyawa aldehida, keton, ester, dan karboksilat adalah senyawa organik yang memiliki gugus karbonil. Golongan senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyedap dalam industri makanan dan minuman maupun sebagai bahan pengharum bagi industri kosmetik. Senyawa aldehida, keton, ester mengalami reaksi pada gugus karbonil. Gugus karbonil mempunyai sifat yang polar dan memiliki orbital hibrida sp2 sehingga ketiga atom yang terikat pada aseton karbon terletak pada bidang datar dengan sudut ikatan 1200. Ikatan rangkap karbon-karbon pada gugus karbonil terdiri atas enam dan satu ikatan (Kalja, 2009).
29

Dalam sistem IUPAC aldehida diberikan akhiran al (berasal dari suku pertama aldehida). Contohnya adalah metanal (formaldehida), etanal (asetaldehida), propanal, dan lain-lain. Sedangkan untuk keton diberikan akhiran on (dari suku kata terakhir keton). Penomoran dilakukan sehingga gugus-gugus karbonil mendapat nomor kecil. Contohnya adalah propanon (asetol), pentanon, butanon, dan lain-lain (Hart, 1993). Bila aldehida diberikan dalam suasana basa seperti dengan NaOH dalam air maka akan terbentuk ion enolat yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil dari molekul aldehida yang lain. Hasilnya adalah adisi suatu molekul aldehida kedalam suatu molekul aldehida yang lain. Ion enolat akan bereaksi dengan sutau molekul dengan cara mengadisi pada karbon karbonil untuk membentuk suatu ion alkoksida yang kemudian menarik sebuah proton dalam air untuk menghasilkan suatu aldol (Prawono, 2009). Identifikasi aldehida dan keton berkaitan dengan berbagai macam penelitian, contohnya pembuatan ekstrak vanili. Resistensi vanili ditentukan oleh dua dari tiga gugus aldehida (-COH) dan hidroksil (-OH) dapat teroksidasi karena keberatan oksigen disekelilingnya. Aldehida jika teroksidasi akan berubah menjadi senyawa asam karboksilat (-COOH), sedangkan hidroksil akan berubah menjadi aldehida (-COH). (Sofyaningsih, 2011) Dalam kehidupan sehari-hari, aldehida dapat digunakan sebagai : 1. Formalin untuk mengawetkan spesimen biologi di laboratorium, karena dapat membunuh kuman. 2. Insektisida sebagai pembasmi kuman. 3. Etanol digunakan sebagai bahan karet atau zat warna. (Fessenden, 2008) Salah satu yang palig banyak digunakan adalah propanon atau aseton. Aseton digunakan sebagai pelarut senyawa karbon. Aseton juga banyak digunakan sebagai pembuatan organik lainnya. Keton siklik digunakan sebagai pengharum (Syarifuddin, 2008).

30

Glukosa adalah karbohidrat terpenting. Banyak karbohidrat yang berada di makanan diserap ke dalam aliran darah sebagai glukosa dan gula ini akan diubah di dalam hati. Glukosa adalah prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di tubuh, termasuk glikogen untuk penyimpanan, ribosa dan deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam gula susu, dalam glikolipid dan sebagai kombinasi dengan protein dalam glikoprotein dan proteoglikan. Karbohidrat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Monosakarida (tidak dapat terhidrolisis). Terdiri atas triosa, tetrosa, pentosa, heksosa, atau heptosa, dan lain-lain. 2. Disakarida (terdiri dari 2 unit monosakarida). Terdiri dari maltosa dan sukrosa. 3. Oligosakarida (kondensasi 3-10 monosakarida). 4. Polisakarida (kondensasi lebih dari 10 unit monosakarida). Terdiri dari pati dan dekstrin yang mungkin merupakan polimer linier/bercabang, selain itu ada juga selulosa dari dinding tumbuhan. (Murray, 2009)

31

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Gelas kimia b. Hot plate c. Penjepit tabung d. Pipet tetes e. Pipet volume 1 ml f. Propipet g. Rak tabung reaksi h. Tabung reaksi 2. Bahan a. Aluminium foil b. Asetaldehid c. Aseton d. Fehling e. Fruktosa 1% f. Galaktosa g. Laktosa 1% h. NaOH 10% i. Tollens

D. Prosedur Kerja 1. Reduksi Pereaksi Tollens a. b. Dimasukkan 1 ml sampel A dan sampel B ke dalam 2 tabung reaksi. Ditambahkan masing-masing tabung 4 tetes tollens, dikocok, dan dipanaskan dalam gelas kimia yang berisi aquades. c. Diamati dan dicatat perubahannya.

2. Reduksi Larutan Fehling a. b. Dimasukkan 1 ml sampel A dan sampel B ke dalam 2 tabung reaksi. Ditambahkan 2 tetes pereaksi fehling pada masing-masing tabung dan dipanaskan.
32

c.

Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.

3. Pembuatan Resin a. b. c. Dimasukkan 1 ml sampel A dan sampel B ke dalam 2 tabung reaksi. Ditambahkan masing-masing tabung 1 ml NaOH 10%, ditutup. Dipanaskan dalam gelas kimia berisi air.

d. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi. 4. Uji Karboksilat a. Dimasukkan ketiga sampel karbohidrat yaitu laktosa, fruktosa, dan galaktosa ke dalam 3 tabung reaksi yang berbeda. b. Ditambahkan 5 tetes pereaksi fehling dan tollens ke masing-masing tabung, dipanaskan. c. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.

33

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil Pengamatan a. Uji Fehling No. 1. 2. 3. 4. 5. Sampel Asetaldehid Aseton Laktosa Fruktosa Galaktosa Fehling Pereaksi Hasil Larutan bening Larutan bening Larutan merah bata dan endapan merah bata Larutan merah bata dan endapan merah bata Larutan merah bata dan endapan merah bata

b. Uji Tollens No. 1. 2. 3. 4. 5. Sampel Asetaldehid Aseton Laktosa Fruktosa Galaktosa Pereaksi Hasil Cermin perak Larutan hitam-coklat Cermin perak Cermin perak Cermin perak

Tollens

c. Identifikasi sampel No. 1. 2. Sampel Sampel A Sampel B Pereaksi NaOH Hasil Endapan merah bata Tidak terdeteksi

34

2. Reaksi a. Asetaldehid 1) Asetaldehid + Fehling


O CH3 - C - H + Cu2+ + 2OHO CH3 C OH H + Cu2+ + OHCH3

O CH3 - C H+ Cu2+ + 2OHO C OH + Cu2+ + OHH

O CH3 - C - OH
O CH3 C H + Ag (NH3)2OH CH3

+ Cu

2) Asetaldehid + Tollens
O C H + [Ag (NH3)2] + + OH-

O CH3 C H + [Ag (NH3)2] + + OHCH3

O C OH H + [Ag (NH3)2] +

O CH3 - C - OH + Ag + H
O CH3 - C - OH + Ag + H

H N
H N H H

H+

O CH3 - C - OH + Ag + 2NH+4
35

3) Asetaldehid + NaOH

O CH3 C H + NaOH H

H C H

O C H + Na O H

H H C

O C H + Na O H
O O H + CH2 C H H3C O C

H H H C

O C H + Na + H2O

O H + H 2C C H

H3 C

O H3C C H CH2

O C H H O H

O H3 C C H
OH H3 C CH CH2

O CH2 C H H + OH

O C H H3 C

OH CH

H HC

O C H

O H3C CH CH C H + H2O

36

b. Aseton 1) Aseton + Fehling


O CH3 - C - CH3 + Cu2+ + 4OH

2) Aseton + Tollens
O CH3 - C - CH3 + Ag2O

c. Fruktosa 1) Fruktosa + Tollens


CH2OH C O H OH OH

CH2OH

CH2OH + Ag(NH3)2OH O-H

OH H

C C C

H OH H OH
H H C C OH H H C C C

H
H

CH2OH

O O H OH OH

C C OH H H C C C

O O H OH OH

+H

CH2OH

CH2OH

37

H C C OH H H C C C O O H OH OH H H

H C C OH H H C C C O O H OH OH H +H

CH2OH
H C C H + OH H H C C C O O H OH OH H H OH H H

CH2OH
H C C C C C O OH H OH OH + Ag

CH2OH

CH2OH

38

O C H OH H H C C C C H OH H + [Ag(NH3)2]+ + OHOH OH

CH2OH OC H OH H H C C C C H OH
+ H + [Ag(NH3)2] + OH

OH OH

CH2OH OOH H OH H H C C C C C H OH
+ H + [Ag(NH3)2]

OH OH

CH2OH

39

O OH H OH H H C C C C C OH H + Ag+ + OH OH 2H N H H + H+

CH2OH O OH H OH H H C C C C C OH H + Ag+ + OH OH 2H H N H H

CH2OH O OH H OH H H C C C C C OH H + Ag OH OH + 2NH4+

CH2OH

40

OH CH2OH OH C H H OH H OH O + Ag + 2NH4+

2) Fruktosa + Fehling
CH2OH H H OH
H H C C OH H H C C C O O H OH OH
OH H H

CH2OH OH O-H H
H

+ Cu2+ + 4OH-

C C C C C

O O H OH OH

+H

CH2OH

CH2OH

41

H C C OH H H C C C O O H OH OH H H

CH2OH

H C C OH H H C C C O O H OH OH H +H

CH2OH

42

H C C H + OH H H C C C O O H H OH OH

H C H OH H H C C C C

CH2OH

O OH H OH OH + Cu2 + 4OH

CH2OH
CH2OH OH H H OH H CH2OH
OH H H OH H H OH C + Cu O
2+

H OH C O

+ Cu2+ + 4OH

+ 4OH

43

CH2OH OH H H OH CH2OH OH H H OH H OH C O OH + Cu2O H H OH C O OH + Cu2+ + 3OH

d. Laktosa 1) Laktosa + Fehling


CH2OH H OH H OH H H H CH2OH O H OH H OH H H H
CH2OH H OH H OH H H H C +H + HO O OH H OH H H OH H

CH2OH H H OH H OH H OH + 4Cu2+ + 8OH

O H OH

CH2OH H + H OH
CH2OH H C O + H + 4Cu2+ + 8OH

H H OH H O H OH + 4Cu2+ + 8OH H

C HO

44

CH2OH OH OH H H OH H H H C O OH + HO H

CH2OH OH H H OH H O H OH C + 4Cu2+ + 8OH

CH2OH OH OH O H OH H H H OH C OH + HO H

CH2OH OH H OH H O H OH C OH + 4Cu2+ + 6OH

CH2OH OH OH O H OH H H H C H OH OH + HO H

CH2OH OH H H OH H H OH C O OH + 4Cu2+ + 6OH

CH2OH OH OH O H OH H H H C OH OH + HO H

CH2OH OH OH H OH H H OH C + 2Cu2O + 4H2O O

45

2) Laktosa + Tollens

CH2OH H OH H OH H H H H OH O

CH2OH H H OH H H OH + Ag(NH3)2OH OH

CH2OH O H OH H OH H H H
CH2OH H OH H OH H H H C +H + HO O OH H H

CH2OH H + H OH
CH2OH H H OH H OH C O + H + [Ag(NH3)2]+ + 2OH-

H H OH H O H OH + [Ag(NH3)2]+ + 2OHH

C HO

CH2OH OH OH H H OH H H H C O OH + HO H

CH2OH OH H H OH H H OH C O + [Ag(NH3)2]+ + 2OH-

46

CH2OH OH OH H OH H H H C O OH + HO H

CH2OH OH H OH H H OH 2H+ C + [Ag(NH3)2]+ + 2OHO

CH2OH OH OH H OH H H H C O OH + HO H

CH2OH OH H OH H H OH
+ C + [Ag(NH3)2]+ + 2OH- 2H

47

CH2OH OH OH O H OH H H H OH
OH O

CH2OH H C OH + HO H
CH2OH H OH + H OH H C - OH + Ag + 2 H O N H H OH H + H+

OH H OH H OH C O OH + [Ag(NH3)2]+ 2H+

CH2OH H

H OH H

O H OH

CH2OH H
OH O

CH2OH H OH + H OH H C - OH + Ag + 2 H O H N H OH H

H OH H

O H OH H

CH2OH H
OH O

CH2OH H OH + H OH H C - OH + Ag O + 2NH4+

H OH H

O H OH H OH

e. Galaktosa 1) Galaktosa dan fehling


CH2OH OH H
OH

O H

H + Cu2+ + 4OHO

H H OH

48

CH2OH OH H
OH

H O H C + H+ + Cu2+ + 4OH-

H H
CH2OH OH H
OH

O OH

H OH H C OH + Cu2+ + 3OH-

H H OH

CH2OH OH H
OH

OH H C OH + Cu2+ + 3OHH

H H CH2OH OH H
OH

O OH

OH OH H C O H OH + Cu2O + H2O

2) Galaktosa dan tollens


CH2OH OH H
OH

H O H + Ag(NH3)2 OH O H OH H

49

CH2OH OH H
OH

H O H C + H+ + [Ag(NH3)2 ]+ + OH-

H H OH

CH2OH OH H
OH

H OH H C +[ Ag(NH3)2]+ + OH-

H H OH

CH2OH OH H
OH

OH H

H C OH + [Ag(NH3)2]+ + OH-

H H OH

CH2OH OH H
OH

OH H

O
+ C + Ag +

2H

N H

+ H+

H H OH

OH

50

CH2OH OH H
OH

OH H

O C + Ag OH + 2H

H N H H

H H OH

CH2OH OH H
OH

OH H

O C + Ag OH + 2NH4+

H H OH

51

F.

Pembahasan Percobaan ini berjudul identifikasi aldehid dan keton yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan membedakan senyawa aldehid dan keton serta mengetahui perubahan dan reaksi reduksi yang terjadi pada aldehid dan keton. Aldehid adalah senyawa turunan alkana yang memiliki gugus karbonil. Gugus tersebut terletak di ujung rantai karbon induk yang diakhiri dengan atom hidrogen, sedangkan keton adalah senyawa turunan alkana yang mempunyai gugus fungsi C=O. Senyawa keton berisomer dengan senyawa aldehid. Meskipun merupakan suatu isomer, aldehid dan keton memiliki beberapa perbedaan sifat terutama secara kimia. Melalui perbedan sifat inilah keduanya ini dapat diidentifikasi dan dipisahkan. Percobaan ini dilakukan identifikasi pada karbohidrat. Hal ini dikarenakan glukosa yang berasal dari karbohidrat mengandung gugus fungsi aldehid ataupun keton. Karbohidat atau hidrat arang adalah senyawa organik yang mengandung atom karbon, hidrogen, dan oksiden. Karbohidrat di bagi menjadi monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Monosakarida adalah karbohidrat yang paling sederhana dan tidak dapat dihidrolisis lagi. Contohnya glukosa, galaktosa dan fruktosa, sedangkan disakarida adalah karbohidrat yang merupakan gabungan dari 2 monosakarida. Contohnya sukrosa, laktosa, dan maltosa. Percobaan ini menggunakan 2 buah sampel, yaitu sampel A dan sampel B, sedangkan untuk uji karbohidrat digunakan 2 macam monosakarida dan 1 macam disakarida yaitu, galaktosa, laktosa, dan fruktosa. Selain itu digunakan peraksi-pereaksi seperti tollens, fehling, dan NaOH 10%. Pereaksi fehling dan tollens digunakan saat uji identifikasi aldehid, keton dan karbohidrat, sedangkan NaOH 10% digunakan dalam pembuatan resin. Pereaksi fehling terdiri dari fehling A dan fehling B. Fehling A, merupakan campuran dari CuSO4.5H2O dalam asam sulfat pekat sedangkan fehling B terdiri dari kalium natrium tartrat dan NaOH murni. Kedua larutan ini dicampurkan hingga terbentuk larutan fehling berwarna biru tua, sedangkan pereaksi tollens di buat dengan mencampurkan AgNO3
52

dengan NaOH dengan perbandingan 1:1 hingga terbentuk endapan,kemudian endapannya diambil dan ditambahkan NH3 pekat hingga larut. Setiap pengujian dilakukan proses pengocokan dan pemanasan. Kedua proses ini bertujuan untuk mempercepat reaksi karena semakin tinggi suhu dan tekanan maka semakin cepat reaksi yang berlangsung. Hasil pengamatan menunjukan saat pengujian sampel A dan sampel B, terjadi perubahan dimana sampel A terbentuk pada dinding tabung reaksi endapan cermin perak setelah ditambahkan pereaksi tollens dan dipanaskan, sedangkan pada sampel B larutan tetap berwarna hitam kecoklatan. Hal ini menunjukan bahwa sampel A adalah aldehid, yaitu asetaldehid, sedangkan sampel B adalah senyawa keton, yaitu aseton. Adanya perubahan ini sesuai dengan teori bahwa suatu aldehid akan mengalami suatu proses oksidasi dengan pereaksi tollens (Ag[NH3]+). Pada pereaksi ini atom hidrogen yang terikat dengan atom karbon yang mengikat gugus fungsi mengalami proses oksidasi sedangkan ion Ag+ dari peraksi tollens akan direduksi menjadi logamnya, yaitu Ag akan mengendap membentuk cermin perak, sedangkan pada sampel B setelah di tambahkan pereaksi tollens warna larutan menjadi hitam-kecoklatan hal ini menandakan reaksi oksidasi pada sampel oleh pereaksi ini tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa, suatu keton tidak dapat mengalami proses oksidasi dengan pereaksi tollens. Karena pada senyawa keton tidak terdapat atom hidroden yang berikatan dengan gugus fungsi,sehingga tidak ada atom hidrogen yang dapat dioksidasi, sehingga ujinya bersifat negatif. Uji karbohidrat menggunakan sampel laktosa dan fruktosa direaksikan dengan tollen menghasilkan endapan cermin perak. Hal ini di sebabkan karena laktosa merupakan suatu disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa dimana monosakarida-monosakarida ini termasuk golongan aldosa yaitu karbohidrat yang mengandung gugus aldehid, gugus aldehid mampu mereduksi ion Ag+ dari pereaksi tollens sehingga sama seperti uji aldehid pada sebelumnya akan dihasilkan logam Ag yang membentuk endapan cermin perak pada sebagian dinding tabung.
53

Berbeda dengan halnya laktosa yang merupakan golongan aldosa. Fruktosa merupakan monosakarida ketosa, yakni mengandung gugus keton. Dimana, berdasarkan teori gugus keton tidak dapat mereduksi pereaksi tollens dan mengalami reaksi oksidasi sebagaimana senyawa aldehid. Namun berdasarkan pengamatan hasil uji dengan tollens menunjukan reaksi positif yang ditandai pula dengan terbentuknya endapan cermin perak. Hal ini disebabkan karena fruktosa mengalami proses tautomerasi menjadi senyawa aldehid, selain itu fruktosa juga tergolong sebagai gula reduksi sehingga mampu mereduksi pereaksi tollens sehingga mudah di oksidasi. Reaksi tollens akan menghasilkan logam Ag yang akan mengendap sebagai cermin perak, sedangkan oksidasi fruktosa akan menghasilkan kesetimbangan aldehid diastereomik. Pengujian fehling didapatkan hasil pengamatan sampel A dan B tetap bewarna bening. Hal ini menandakan tidak adanya reaksi yang terjadi. Padahal dalam salah satu sampel tersebut terdapat senyawa aldehid hal ini bertentangan dengan teori, seharunya apabila senyawa aldehid direaksikan dengan larutan fehling yang mengandung ion Cu2+, akan mengalami proses oksidasi menjadi suatu karboksilat. Hal ini terjadi karena aldehid memiliki satu atom H yang terikat dengan satu atom C gugus fungsi. Selain itu juga, aldehid mampu mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+, sehingga akan terbentuk larutan berwarna merah bata, dimana dengan adanya pemanasan akan

terbentuk Cu2O yang lama-lama akan mengendap dalam suasana basa, sedangkan untuk senyawa-senyawa keton akan menghasilkan uji yang sifatnya negatif. Karena sama seperti sebelumnya, keton tidak dapat dioksidasi karena tidak memiliki H karbonil dan tidak dapat mereduksi karena sifatnya oksidator lemah. Kesalahan ini dapat terjadi akibat kesalahan dalam pengambilan sampel, karena wadah sampel tidak diberi label sehingga sulit membedakan sampel A yang berisi asetaldehid dan sampel B yang berisi aseton. Kemungkinan sampel yang di ambil hanya sampel B saja yang berisi aseton sehingga perubahan tidak terbentuk.

54

Uji menggunakan pereaksi fehling bisa bersifat negatif, apabila digunakan dalam sampel yang berisi senyawa aldehid aromatik, karena pada senyawa aromatik terjadi resonansi, sehingga atom-atomnya sulit diputuskan ikatannya. Pengujian karbohidrat, laktosa, fruktosa, dan galaktosa dengan pereaksi fehling menunjukan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya larutan merah bata. Sama seperti sebelumnya, laktosa dan galaktosa adalah suatu aldosa, sehingga gugus aldehidanya mampu dioksidasi dan mereduksi pereaksi fehling dan dan terbentuk Cu+ yang berwarna merah bata, sedangkan fruktosa mengalami proses tautomerasi, dimana gugus ketonnya mengalami penataan ulang menjadi gugus aldehid, sehingga uji bersifat positif selain itu fruktosa merupakan gula reduksi. Identifikasi aldehid dan keton juga dapat dilakukan dengan mereaksikan kedua sampel yakni, sampel A dan sampel B dengan pereaksi NaOH. Reaksi ini disebut juga pembuatan resin atau reaksi pendamaran atau lebih dikenal dengan uji moore. Uji ini biasanya dilakukan untuk mengetahui adanya gugus alkil dalam suatu senyawa. Reaksi pendamaran hanya berlangsung apabila natrium hidroksida (NaOH) berikatan dengan suatu aldehid dan tidak bereaksi dengan suatu keton. Pada percobaan ini di gunakan NaOH sebagai sumber ion OH- (alkali). Dimana hidroksil akan berikatan dengan rantai aldehid membentuk aldol aldehid, yaitu aldehida dengan ujung cabang gugus alkohol. Uji dikatakan positif jika menghasilkan warna merah bata. Adapun proses pemanasan pada percobaan ini bertujuan untuk membuka ikatan karbon dengan hidrogen dan menggantinya dengan gugus OH- dari NaOH. Adanya beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam percobaan ini yaitu mengenai jumlah banyaknya pereaksi yang digunakan. Karena hal ini sedikit banyaknya turut mempengaruhi perubahan pada sampel. Semakin banyak pereaksi yang digunakan, semakin cepat dan jelas perubahan yang dihasilkan. Hanya saja penggunaan pereaksi yang berlebihan akan

55

mengurangi keakuratan dan kevalitan data yang diperoleh. sehingga penggunaan pereaksi hendaknya digunakan dalam jumlah tetesan yang wajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel A adalah senyawa aldehid, yaitu asetaldehid dan sampel B adalah keton yaitu aseton. Laktosa adalah disakarida aldosa, fruktosa adalah gula reduksi dan galaktosa juga suatu aldosa. Manfaat dari identifikasi aldehid dan keton di bidang farmasi salah satunya ialah pengidentifikasian penderita ketoasidosis metabolik dan ketonuria, yang merupakan manifestasi dari penderita diabetes melitus.

56

G. Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa : 1. Sampel A adalah suatu aldehid, yaitu senyawa asetaldehid, dimana hasil uji dengan fehling dan tollens positif 2. Sampel B adalah suatu keton, yaitu senyawa aseton, dimana hasil uji dengan fehling dan tollens negatif 3. Asetaldehid dan galaktosa adalah senyawa-senyawa aldehid 4. Aseton, laktosa, dan fruktosa adalah senyawa-senyawa keton

57

PERCOBAAN IV AMINA

A. Tujuan Mahasiswa dapat mempelajari sifat-sifat senyawa organik melalui amina

B. Dasar Teori 1. Amina Amina merupakan senyawa yang mengandung nitrogen, yang mana gugus fungsionalnya adalah gugus amino (-NH2). Amina memnyerupai amonia, yang mana satu atau lebih atom hidrogen pada amonia diganti dengan alkil. Dengan demikian, suatu amina mempunyai rumus R-NH2, R2-NH, dan R3-N. Senyawa amina paling sederhana dan mungkin merupakan amina yang paling umum adalah metilamin ( CH3NH2) dan etilamin (CH3CH2NH2) (Saker, 2009). Amina dikelompokkan sebagai amina primer (1o), sekunder (2o), tersier (3o), atau aminaquartener (4o), tergantung pada bagaimana beberapa gigis alkil diikatkan pada atom N. Amina kuartener, (CH3)4 N+, dikenal sebagai kation amonium (Fessenden, 1986). 2. Reaksi-reaksi amina a. Reaksi subsitusi dengan amina Kegunaan reaksi ini adalah amina dapat digunakan untuk mensintesis amina lain dengan pengubahan menjadi amida, yang disusul dengan benzena sulfonil klorida digunakan untuk menguji apakah suatu amina itu primer, sekunder. Atau tersier. Uji itu disebut uji hinsberg. Amina juga bereaksi dengan aldehida dan keton untuk menghasilkan imina dan enamina (Fessenden, 1986).

58

b. Reaksi amina dengan asam nitrit 1) Amina primer Amina primer bila direaksikan dengan NaNO2 dan HCl akan memnghasilkan garam diazonium, tetapi garam alkil diazonium tidak stabil dan terurai menjadi campuran alkohol dan alkena bersama-sama N2. Penguraian itu berlangsung lewat suatu karbokation. 2) Amina sekunder Bila direaksikan dengan NaNO2 dan HCl, amina sekunder (alkil ataupun aril) akan menhasilkan N-nitroso amina, senyawa yang mengandung gugus N-N=O, banyak N-nitroso amina bersifat karsinogen. 3) Amina tersier Amina tersier sukar diramalkan reaksinya secara

keseluruhan dengan asam nitrit. Suatu aril amina tersier biasanya mengalami substitusi cincin dengan NO karena cincin itu diaktifkan oleh gugus NR2. Alkil amina tersier dapat kehilangan gugus R dan membentuk suatu derivat N-nitroso dari suatu amina sekunder. (Suhartini, 2000) a. Garam amina Reaksi suatu amina dengan suatu asam mineral (seperti CHI) atau suatu asam karboksilat (seperti asam asetat) menghasilkan suatu garam amina, karena kemampuannya membentuk garam, suatu amina yang tak larut dalam air dapat dilarutkan dengan mengolahnya dalam asam encer. Dengan cara ini, senyawa yang mengandung gugus amino dapat dipisahkan dari bahan-bahan yang tak larut dalam air maupun asam (Fessenden, 1986)

59

3. Sifat-sifat amina a. Sifat fisis amina Dalam amina, baik ikatan C-N maupun N-H merupakan ikatan polar yang disebabkan oleh elektronegatifitas atom N. Sifat polar ikatan N-H pada amina menghasilkan pembentukan ikatan hidrogen dengan amina yang akan lain atau pun sistem ikatan hidrogen yang lain seperti amina dengan air dan amina dengan alkohol . (Abdillahh, 2011) Titik didih amina tersier lebih rendah daripada amina primer atau sekunder yang bobot molekulnya sepadan dan titik didihnya lebih dekat ke titik didih antara alkana yang bobot molekulnya bersamaan. Seyawa amina memiliki titik didih da titik lebur yang lebih tinggi dan lebih mudah larut dalam media air, apabila dibandingkan dengan alkana analog (Suhartini, 2000). Amina berbobot molekul rendah larut dalam air karena membentuk ikatan hidrogen dengan air. Amina tersier maupun amina sekunder dan primer dapat membentuk ikatan hidrogen karena memiliki pasangan elektron menyendiri yang dapat digunakan untuk membentuk ikatan hidrogen dengan air (Sarker, 2009). b. Sifat spektial amina 1) Spektra inframerah Ikatan yang menimbulkan absorpsi inframerah yang karakteristik amina adalah ikatan C-N dan ikatan N-H. Semua amina alifatik menunjukan ukuran C-N dalam daerah sidak jari. Namun hanya amina primer dan sekunder yang mana menunjukan absorpsi ukuran N-H yang berbeda. 2) Spekta nmr Amina alifatik menunjukkan absorpasi N-H pada harga 6 kurang kebih 1,0-2,0 ppm, sedangkan aril amina menyerap sekitar 2,6-4,7 ppm (Nugrahaningtyas, 2009)
60

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Gelas kimia 200 mL b. Hotplate c. Penjepit tabung d. Pipet tetes e. Pipet volume 1 mL f. Pro pipet g. Rak tabung reaksi h. Tabung reaksi 2. Bahan a. Aquades b. Aliminium foil c. Anilin d. EDTA e. HCl 2M f. NaOH 2M g. Kertas lakmus h. Piridin

D.

Prosedur Kerja 1. Kelarutan dalam aquades a. Diambil 3 tabung reaksi b. Diisi tabung reaksi 1 dengan EDTA 5 tetes, tabung reaksi 2 dengan anilin 5 tetes, tabung reaksi 3 diisi dengan piridin 5 tetes c. Ditambah 10 tetes aquades pada masing-masing tabung d. Dicatat dan diamati yang terjadi e. Diulangi percobaan sekali lagi. 2. Kelarutan dalam HCl a. b. Dimasukkan 1 mL aniline kedalam tabung reaksi Ditambah 10 tetes HCl 2M
61

c. d.

Digoyang tabung reaksi dan diamati apa yang tejadi Diulangi percobaan sekali lagi.

3. Kelarutan dalam NaOH a. Dimasukkan 1 mL larutan NaOH 2M kedalam tabung reaksi yang sudah berisi larutan dari percobaan 2 b. Diamati apa yang terjadi dan dicatat hasilnya c. Dimasukkan 1 mL amina hidroklorida kedalam tabung reaksi d. Ditambahkan NaOH 2M e. Dipanaskan selama 2 menit f. Diperiksa dengan kertas lakmus, dicatat apa yang terjadi g. Diulangi percobaan sekali lagi.

62

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil Pengamatan a. Kelarutan dalam air No. 1. 2. Sampel EDTA Anilin Air 3. b. Piridin Pereaksi Hasil Larutan Bening Tidak Larut, 2 fase atas merah kecoklatan, bawah bening Larutan Bening

Kelarutan dalam HCl No. 1. 2. Sampel Anilin Anilin Pereaksi HCl 2M HCl Pekat Hasil Tidak Larut Larutan Merah Kecoklatan

c.

Kelarutan dalam NaOH No. 1. Sampel Anilin Pereaksi HCl 2M + NaOH + pemanasan Lakmus Merah Hasil 2 fase (atas merah, bawah bening) Tetap tidak berubah Warna Lakmus tetap merah (atas) Warna Lakmus menjadi biru (bawah) Warna Lakmus menjadi merah (atas) Warna Lakmus tetap biru (bawah) 2 fase (atas merah, bawah bening) Tetap (tidak berubah) Warna Lakmus tetap merah (atas) Warna Lakmus menjadi biru (bawah) Warna Lakmus menjadi merah (atas) Warna Lakmus tetap biru (bawah)
63

Lakmus Biru

2.

Anilin

HCl pekat + NaOH + pemanasan Lakmus Merah

Lakmus Biru

2. Reaksi a. EDTA dan H2O

b. Anilin + H2O

NH2 H + H2O

NH2

c. Piridin + H2O

+ ..
N

H+ + OHN H+

+ OH-

d. Anilin + HCl

64

e. Anilin + NaOH

65

F.

Pembahasan Percobaan yang berjudul mengenai amina bertujuan untuk

mengetahui sifat-sifat senyawa organik melalui amina. Amina merupakan turunan organik dari ammonium dimana satu atau lebih atom hidrogen pada nitrogen telah tergantikan oleh gugus alkil atau aril. Amina dapat diklasifikasikan menjadi amina primer, amina sekunder dan amina tersier, tergantung pada beberapa atom hidrogen yang tergantikan. Percobaan pertama adalah menentukan kelarutan senyawa-senyawa organik golongan amina dengan air, yaitu EDTA, anilin, dan piridin. EDTA (asam etilen diamin tetra asetat) merupakan salah satu jenis asam polikarboksilat dan merupakan jenis amina alifatik tersier, dimana atom nitrogennya mengikat 3 atom karbon rantai terbuka. Ikatan pada EDTA yaitu ikatan N yang bersifat basa dapat mengikat ion H+ dan ikatan karboksil yang bersifat asam menyebabkan EDTA dapat larut dengan air dan menghasilkan warna yang bening. Kelarutan EDTA ini terjadi karena adanya reaksi intramolekul yang berarti reaksi terjadi dalam molekul itu sendiri. Anilin merupakan jenis amina aromatik primer, dimana atom nitrogennya mengikat 1 atom karbon dari gugus aromatik. Anilin merupakan cairan minyak tak berwarna yang mudah menjadi coklat karena oksidasi atau terkena cahaya. Anilin dengan air menghasilkan larutan yang tidak larut dan menghasilkan larutan dua fase yang berwarna merah-bening, warna merah yang berasal dari warna anilin yang teroksidasi dan bening dari warna EDTA. Hal ini disebabkan oleh anilin yang hanya memiliki 1 ikatan hidrogen sehingga hasil yang diperoleh adalah sukar larut, sedangakan pada EDTA banyak membentuk ikatan hidrogen sehingga lebih larut dalam air. Anilin strukturnya berupa cincin aromatik serta resonansi yang ada pada senyawa ini menyebabkan tidak mampunya anilin membentuk ikatan

hidrogen dengan senyawa air sehingga anilin sulit membentuk ikatan hidrogen intramolekular dengan air. Adapun senyawa dengan struktur berupa cincin aromatik sifatnya cenderung stabil karena atom-atom didalamnya mengalami resonansi dan menyebabkan anilin bersifat nonpolar
66

sehingga tidak dapat larut atau bercampur dalam air, membentuk larutan dua fase. Piridin adalah basa organik dengan pKb 8,75 merupakan amina aromatis tersier dengan hibridisasi sp2, pasangan elektron bebas nitrogen piridin lebih tertarik ke arah cincin aromatis sehingga sifat kebasaannya dan kenukleofilannya agak rendah. Hasil yang diperoleh dari reaksi antara piridin dalam air adalah piridin dapat larut dan larutan berwarna bening. Piridin memiliki sifat mudah larut dalam air dengan titik didih 115C dan berat molekul 79,10. Piridin bersifat mudah larut dalam air karena atom N pada piridin bereaksi dengan atom H pada air untuk membentuk ikatan hidrogen, selain itu kebasaan piridin lebih kuat daripada anilin yang akan berinteraksi secara ionisasi dan berat molekul piridin yang kecil juga menyebabkan mudahnya piridin larut di dalam air, sedangkan jika dibandingkan dengan anilin, anilin dapat larut dalam air 36 g/L (20C) dimana atom N terikat pada struktur benzena menyebabkan sulitnya membentuk ikatan lebih banyak jika dibandingkan dengan atom C pada piridin, hal ini menyebabkan anilin lebih bersifat nonpolar sehingga tidak larut didalam air, karena semakin panjang rantai karbon pada suatu senyawa maka kemampuan senyawa tersebut untuk dapat membentuk ikatan hidrogen akan semakin sukar sehingga menyebabkan kelarutan di dalam air semakin berkurang dan sebaliknya semakin pendek rantai karbon pada suatu senyawa maka kemampuan senyawa tersebut untuk membentuk ikatan hidrogen akan semakin tinggi yang menyebabkan kelarutan di dalam ait akan semakin besar. Amina dengan jumlah atom karbon di bawah enam biasanya larut dalam air akibat adanya interaksi ikatan hidrogen. Meskipun nitrogen tidak seelektronegatif oksigen namun mampu mempolarisasi ikatan N-H sehingga terbentuk gaya dipol-dipol yang kuat antara molekulnya. Percobaan kedua adalah menguji kelarutan anilin dalam asam dengan mereaksikan senyawa anilin dengan HCl 2M dan HCl pekat. Hasil yang diperoleh adalah anilin dapat larut dengan HCl pekat dan menghasilkan warna merah kecoklatan serta dapat mengubah kertas lakmus
67

biru menjadi merah. Tetapi reaksi antara anilin dan HCl 2M tidak dapat larut. Anilin merupakan amina aromatis primer. Reaksi substitusi terhadap amina aromatis dapat berupa substitusi pada cincin benzena atau substitusi pada gugus amina. Reaksi antara anilin dengan asam klorida membentuk garam ammonia hidroklorida yang dapat larut, serta reaksi anilin dengan HCl dapat mengubah kertas lakmus yang berwarna biru menjadi merah, hal ini juga menandakan bahwa campuran atau reaksi yang terjadi antara anilin dan HCl bersifat asam. Pada penambahan antara anilin dengan HCl 2M tidak dapat larut atau bercampur dikarenakan kurang pekatnya konsentrasi HCl yang digunakan, sedangkan dalam HCl pekat, anilin membentuk larutan merah kecoklatan yang berasal dari warna dasar merah pada anilin dan putih kekuningan pada HCl pekat, adanya perubahan warna menunjukkan bahwa anilin lebih larut sempurna dalam HCl pekat. Hal ini terjadi karena HCl pekat memiliki kemampuan protonasi yang lebih kuat dibandingkan dengan HCl encer. Dalam HCl encer, anilin tidak mengalami protonasi sempurna, sehingga ada sebagian anilin yang mengendap membentuk gelatin. Percobaan ketiga adalah mereaksikan aminohidroklorida dari hasil reaksi anilin dengan asam klorida dengan senyawa NaOH. Larutan anilin yang sebelumnya ditambah HCl 2M ketika direaksikan dengan NaOH membentuk 2 fase yaitu pada bagian atas berwarna merah tua sedangkan pada bagian bawah berwarna keruh yang menandakan anilin tidak larut dalam NaOH. Hal ini disebabkan karena NaOH merupakan pelarut basa kuat dimana gugus amina (NH2) pada anilin sendiri merupakan basa lemah sehingga keduanya tidak bereaksi. Penambahan basa kuat dalam garam amina menghasilkan larutan dengan pH yaitu 14 karena NaOH dapat mengikat sisa asam yang ada pada mekanisme reaksi pada tahapan sebelumnya menyangkut serangan nukleofil oleh amina pada atom karbon dari turunan asam. Pada percobaan ketiga, penambahan basa kuat pada garam amina menghasilkan larutan dengan pH asam lemah pada lapisan atas, dimana garam amina berasal dari anilin dan HCl yang membentuk
68

aminohidroklorida, sedangkan pada lapisan bawah yaitu NaOH yang merupakan basa kuat. Hal ini yang menyebabkan reaksi NaOH dan aminohidroklorida lebih asam lemah daripada reaksi anilin dengan HCl. Sedangkan pada anilin dengan HCl, anilin berfungsi membentuk garam yang karena sifat ioniknya larut dalam lapisan air sedangkan pada reaksi aminohidroklorida dengan NaOH tidak larut sehingga menimbulkan keadaan dua fase pada reaksinya. Keadaan dua fase ini disebabkan karena perbedaan massa jenis antara NaOH dan aminohidroklorida dimana massa jenis NaOH lebih besar daripada aminohidroklorida. Selain itu juga dapat disebabkan karena jumlah anilin yang kurang cukup untuk dapat terlarut, mengingat anilin juga dapat digunakan sebagai pengemulsi sehingga jika jumlah yang ditambahkan sedikit tidak dapat mencapai keseimbangan dan terbentuklah larutan dua fase (adanya tegangan permukaan di antara fase). Alasan lainnya ialah karena NaOH mampu mengikat sisa asam yang ada pada mekanisme sebelumnya, yakni saat anilin ditambahkan dengan asam kuat, yaitu HCl. Kemudian jika dilihat berdasarkan sifat keasaman dari anilin, anilin merupakan basa lemah sehingga dapat larut dalam asam karena adanya serah terima elektron membentuk garam. Sedangkan di dalam NaOH, anilin tidak dapat larut karena tidak terjadi serah terima elektron, sehingga anilin tidak dapat membentuk garam. Hal ini yang menyebabkan anilin terpisah terletak di bagian atas dan NaOH sebagai basa kuat berada di bagian bawah. Senyawa amina memiliki kegunaan yang luas dalam kehidupan yaitu dapat berguna sebagai pencegah korosif, bakterisida, fungisida, dan pengemulsi. Senyawa amina yang relatif sederana sangat penting dalam fungsi tubuh manusia, di antara lain adalah sekresi kelenjar adrenal, epinefrin dan norepinefrin, dopamin dan serotonin, serta dapat digunakan sebagai obat parasit Leishmania.

69

G. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat dismpulkan bahwa: 1. Kelarutan amina dalam air, amina yang dapat larut dalam air adalah EDTA dan piridin sedangkan anilin tidak dapat larut dalam air 2. Kelarutan amina dalam HCl, anilin tidak dapat larut dalam HCl 2M tetapi larut di dalam HCl pekat 3. Kelarutan dalam NaOH, aminohidroklorida yang berasal dari HCl 2M maupun HCl pekat tidak dapat larut dalam larutan NaOH

70

PERCOBAAN V PEMBUATAN ASPIRIN

A. Tujuan Mengetahui dan memahami teknik pembuatan aspirin dari asam salisilat dan asam asetat anhidrat.

B. Dasar Teori 1. Aspirin Aspirin atau asam asetil salisilat sangat berbeda dengan bentuk pendahulunya, yaitu asam salisilat. Hal ini dikarenakan bentuk asetilasi dari asam salisilat ini memiliki tolerabilitas yang sempurna dengan efek samping gastrointestinal yang lebih ringan. Aspirin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan diseluruh dunia, terutama sebagai obat antiinflamasi dan antirematik (Adji, 2010). Aspirin (asam asetil salisilat) bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, yaitu suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan radang atau inflamasi. Ia terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim siklooksigenase (COX). Dengan menghambat pada enzim COX, maka prostaglandin tidak terbentuk dan nyeri atau radang pun reda. Prostaglandin juga merupakan senyawa yang mengganggu pengaturan suhu tubuh oleh hipotalamus sehingga menyebabkan demam (Ikawati, 2010). Selain efek analgesiknya, aspirin juga mengurangi agregasi platelet (pembekuan). Oleh karena itu, beberapa dokter meresepkan satu tablet aspirin setiap hari atau dua hari sekali sebagai usaha untuk mencegah serangan iskemia sementara. Serangan jantung, atau episode

tromboemboli (Kee, 1996). Asam O-asetil salisilat (aspirin) adalah turunan asam salisilat yang telah dikenal sebagai prototip obat analgesik kelompok NSAIDs. Namun, stabilitas senyawa ini dapat menjadi salah satu kelemahannya, disamping
71

efek sampingnya. Reaksi yang paling berkontribusi dalam degradasi aspirin adalah hidrolisis yang menghasilkan produk asam salisilat dan asam asetat. Reaksi ini berlangsung dalam berbagai pH dan laju reaksinya mengikuti kinetika orde pertama semu, tetapi dalam suasana yang lebih basa, aspirin terhidrolisis lebih cepat (Diyah, 2010). 2. Reaksi Asetilasi Obat terapeutik dirancang agar jauh lebih spesifik dan mirip dengan substrat atau stadium antara reaksi untuk menghindari reaksi dengan enzim. Misalnya, aspirin (asam asetil salisilat) menimbulkan efek farmakologisnya melalui asetilasi kovalen serin ditempat aktif pada sintesa enzim prostaglandin endoperoksida. Aspirin mirip satu bagian dari prostaglandin yang menajdi substrat fisiologis untuk enzim tersebut. (Marks, 2000) Reaksi asetilasi merupakan reaksi yang sama dengan reaksi esterifikasi, yaitu reaksi antara alkohol dengan asam menghasilkan air dan ester. Reaksi ini adalah reaksi kesetimbangan, berjalan lambat pada kondisi biasa, tetapi dapat dipercepat apabila ditambahkan katalis asam kuat. Reaksi asetilasi adalah reaksi memasukkan gugus asetil (CH3COO-) ke dalam molekul organik seperti (OH dan NH2), reagen yang dipakai adalah asetat anhidrida atau etanol klorida (CH3COCl). Reaksi asetilasi ini merupakan reaksi yang setimbang. Dengan mengambil satu arah reaksi yang menuju pada sisi ester, dapat diperoleh hasil yang besar dan konversi yang tinggi. Salah satu cara untuk mencapai konversi yang tinggi adalah dengan penghilangan air yang terbentuk. Oksidasi reduksi dan asetilasi adalah reaksi enzimatik fase I yang berfungsi menurunkan efek toksik bahan kimia, membuatnya lebih larut air, pada beberapa kasus memudahkan reaksi konjugasi dan ekskresi. Selama proses detoksifikasi, yang mana terdiri dari berbagai tipe reaksi enzimatik yang rumit. (Dewati, 2010)

72

3. Asam Salisilat Asam organis ini berkhasiat fungisid terhadap banyak fungsi pada konsentrasi 3-6% dalam salep. Di samping itu zat ini berkhasiat bakteriostatis lemah dan berdaya keratolitik, yaitu dapat melarutkan lapisan tanduk kulit pada konsentrasi 5-10%. Asam salisilat banyak digunakan dalam sediaan obat luar terhadap infeksi jamur ringan. Seringkali asam ini dikombinasi dengan asam benzoat dan belerang yang keduanya memiliki kerja fungistatis maupun bakteriostatis. Bila dikombinasikan dengan obat lain, misalnya kortikosteroida, asam salisilat meningkatkan penetrasinya ke dalam kulit. Tidak dapat dikombinasikan dengan ZnO karena akan terbentuk garam seng salisilat yang tidak aktif. (Tjay, 2007) Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 101,0% C2H6O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian, hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau serbuk hablur putih halus, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk sintesis warna putih dan tidak berbau. Jika dibuat dari metil salisilat alami dapat berwarna kekuningan atau merah jambu dan bau lemah mirip menthol. Kelarutan, sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih, agak sukar larut dalam kloroform (Depkes RI, 1995). Efek samping dari asam salisilat biasanya reaksi alergi. Kemerahan pada kulit, urtikaria, eksantem, edema angioneurotik, edema laring, asam dan syok anafilaktik, gejala ini sering dijumpai pada mereka yang sering menderita alergi terutama pada penderita asma (Staf Pengajar UI, 2008).

73

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Gelas kimia 250 mL b. Labu erlenmeyer 250 mL c. Pemanas listrik d. Pipet volume 10 mL e. Timbangan analitik f. Propipet g. Tabung reaksi h. Rak tabung reaksi i. Pipet tetes 2. Bahan a. Asam asetat anhidrat b. Asam salisilat c. FeCl3 1% d. H2SO4 pekat e. NaHCO3 1%

D. Prosedur Kerja 1. Pembuatan Aspirin a. Uji pembuatan aspirin dengan metode pemanasan 1) Uji 1 a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia. b) Ditambahkan 2,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk. c) Ditambahkan 2,5 mL H2SO4 pekat. d) Dipanaskan sambil diaduk. e) Didinginkan dan diamati Kristal yang terbentuk. 2) Uji 2 a) Ditimbang 2,5 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia. b) Ditambahkan 3,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk. c) Ditambahkan 3 tetes H2SO4 pekat.
74

d) Dipanaskan sambil diaduk. e) Didinginkan dan diamati Kristal yang terbentuk. 3) Uji 3 a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia. b) Ditambahkan 1 mL asam asetat anhidrat, diaduk. c) Ditambahkan 1 tetes H2SO4 pekat. d) Dipanaskan sambil diaduk. e) Didinginkan dan diamati Kristal yang terbentuk. b. Uji pembuatan aspirin dengan metode tanpa pemanasan 1) Uji 1 a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia. b) Ditambahkan 2,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk. c) Ditambahkan 2,5 mL H2SO4 pekat. d) Digoyang-goyangkan gelas kimia dan diamati perubahan yang terjadi. 2) Uji 2 a) Ditimbang 2,5 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia. b) Ditambahkan 3,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk. c) Ditambahkan 3 tetes H2SO4 pekat. d) Digoyang-goyangkan gelas kimia dan diamati perubahan yang terjadi. 3) Uji 3 a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia. b) Ditambahkan 1 mL asam asetat anhidrat, diaduk. c) Ditambahkan 1 tetes H2SO4 pekat. d) Digoyang-goyangkan gelas kimia dan diamati perubahan yang terjadi. 2. Uji Aspirin a. Diambil sedikit aspirin yang terbentuk dari masing-masing pengujian. b. Masing-masing dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi. c. Ditambahkan NaHCO3 pada tabung 1 dan FeCl3 pada tabung 2.
75

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil Pengamatan Uji Kemurnian No Komposisi FeCl3 1 g Asam Salisilat + 2,5 mL Asam Asetat Anhidrat + 2,5 mL H2SO4 pekat + kalor 1 g Asam Salisilat + 2,5 Asam Asetat Anhidrat + 2,5 mL H2SO4 pekat, tanpa kalor 2,5 g Asam Salisilat + 3,5 mL Asam Asetat Anhidrat + 3 tetes H2SO4 pekat + kalor 2,5 g Asam Salisilat + 3,5 mL Asam Asetat Anhidrat + 3 tetes H2SO4 pekat + tanpa kalor 1 g Asam Salisilat + 1 mL Asam Asetat Anhidrat + 1 tetes H2SO4 pekat + kalor 1 g Asam Salisilat + 1 mL Asam Asetat Anhidrat + 1 tetes H2SO4 pekat + tanpa kalor Ungu, lalu kuning NaHCO3 Terbentuk gelembung gas Terbentuk gelembung gas Terbentuk gelembung gas Terbentuk gelembung gas Terbentuk gelembung gas Terbentuk gelembung gas Keterang an

Tidak murni

Ungu, lalu hilang

Tidak murni

Sedikit ungu

Tidak murni

Sedikit ungu

Tidak murni

Ungu tua

Tidak murni

Sedikit ungu

Tidak murni

76

2. Reaksi-Reaksi a. Pembuatan Aspirin


O H O + COOH H 3C O C O C CH3 H2SO4

O O + COOH H 3C O C O C CH3 H

O + COOH

O C

O CH3 + H3C C OH

O C CH3 O + COOH Aspirin Asam Asetat H 3C C OH

b. Pengujian Aspirin 1) Aspirin + NaHCO3


O

O C CH3 + COOH NaHCO3

77

O
O C CH3 + Na O C O H O
O

O C O H

O C CH3

O OH

+ + O C + Na + H +

C O O

O
O C CH3 + C ONa O O O C O H H

O
O C CH3 + C ONa O
O
O C CH3 + C ONa O
78

O O C O H H

O H O H + C O

O
O C CH3 + H C ONa O O O H + C O

O
O C CH3 + C ONa O H2 O + CO2

2) Aspirin + FeCl3

O O

- C - CH - O - Na

Cl + Fe - Cl Cl

C O

3) Asam salisilat + FeCl3

-H
+

Cl Fe - Cl Cl

C O

-O-H

79

O Fe C

O
c. Resonansi OH yang berikatandengan benzene
.. O .. - H

O-H

_ .. O .. .. O ..

.. O ..

.. O ..

.. O ..

d. Resonansi COOH yang berikatandengan benzene

.. O C

.. O

..

- -H

.. O ..

..

- -H

.. O ..

- H+

80

.. O C

.. _ O .. O .. .. C=O ..
..

..

81

F.

Pembahasan Aspirin atau asam asetil salisilat sangat berbeda dengan bentuk pendahulunya, yaitu asam salisilat. Hal ini dikarenakan bentuk asetilasi dari asam salisilat ini memiliki tolerabilitas yang sempurna dengan efek samping gastrointestinal yang lebih ringan. Aspirin merupakan salah stu obat yang paling banyak dan paling luas digunakan di seluruh dunia, terutama sebagai obat antiinflamasi dan antirematik. Selain efek analgesiknya, aspirin juga mengurangi agregasi platelet (pembekuan). Oleh karena itu beberapa dokter meresepkan satu tablet aspirin setiap hari atau dua hari sekali sebagai usaha untuk mencegah serangan iskemia sementara, serangan jantung atau episode tromboemboli. Aspirin dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan asam asetat anhidrat dengan menggunakan katalis berupa H2SO4 pekat yang bertindak sebagai zat penghidrasi. Asam salisilat merupakan asam bifungsional yang mengandung dua gugus, yaitu OH dan COOH. Sehingga asam salisilat dapat mengalami dua jenis reaksi yang berbeda. Dalam pembentukan aspirin, asam salisilat berperan sebagai alkohol karena mempunyai gugus OH dan asam asetat anhidrat berperan sebagai anhidrat asamnya. Percobaan yang dilakukan membahas mengenai teknik pembuatan aspirin dari asam salisilat dan asam asetat anhidrat. Percobaan pertama dilakukan pembuatan aspirin, dimana sediaan asam salisilat ditimbang dan ditambahkan dengan asam asetat anhidrat ke dalam gelas kimia. Seperti yang diketahui asam asetat anhidrat merupakan hasil dari pembuangan air pada asam asetat melalui penggabungan dua molekul asam asetat. Pencampuran kedua bahan tersebut diaduk hingga berubah warna menjadi putih keruh. Hal tersebut dikarenakan terjadi reaksi asetilasi. Reaksi asetilais merupakan reaksi yang sama dengan reaksi esterifikais, yaitu suatu reaksi antara alkohol dengan asam, dalam hal ini gugus hidroksil (OH) pada asam salisilat dengan asam menghasilkan produk berupa ester dan air. Kemudian dilakukan penambahan pereaksi berupa H2SO4 yang bertindak sebagai katalisator yang mengkatalis reaksi yang terjadi agar dapat berjalan lebih cepat. Penambahan
82

yang terjadi menyebabkan pemutusan ikatan hidroksil (OH) antara ion O dan ion H pada asam salisilat sehingga ion O pada struktur asam salisilat bermuatan parsial negatif, sedangkan ion O penghubung ikatan karbon pada struktur asam asetat anhidrat bermuatan parsial positif akibat pengikatan hidrogen. Penambahan pereaksi tersebut menyebabkan perubahan warna menjadi kekuningan. Selain itu pereaksi H2SO4 mempercepat pemutusan ikatan hidrogen pada hidroksida karena adanya pengaruh resonansi gugus hidroksil yang lebih besar dibandingkan resonansi yang terjadi di gugus karboksilat pada asam salisilat. Resonansi yang terjadi sebanyak 4 kali melalui ikatan benzena dengan OH yang bertujuan untuk mengembalikan elektron ke tempatnya semula pada atom O, sedangkan distribusi elektron pada karboksilat terjadi sebanyak 2 kali antara atom C dengan atom O yang diikatnya sehingga tidak terjadi resonansi dan ikatan benzena dengan karboksilat stabil dan lebih kuat.

Pemutusan ikatan pada asam asetat anhidrat akan menghasilkan senyawa CH3COOH + H. CH3COOH dengan cara atom O pada asetat yang akan berikatan dengan atom H pada asam salisilat karena bersifat elektropositif. Selanjutnya dilakukan pemanasan dalam waktu beberapa menit. Tujuan pemanasan tersebut agar reaksi yang terjadi dapat berjalan lebih cepat. Setelah dilakukan pemanasan, didinginkan hingga membentuk kristal yang menunjukkan telah terbentuknya aspirin. Percobaan kedua, dilakukan pengujian terhadap sediaan aspirin yang telah terbentuk, yang proses pembuatannya sama seperti pada percobaan sebelumnya. Pengujian dilakukan dengan menambahkan suatu pereaksi yaitu FeCl3 maupun pereaksi NaHCO3 atau yang lebih dikenal dengan soda kue. Pengujian dengan pereaksi FeCl3 bertujuan untuk menguji kemurnian aspirin yang ditandai dengan terbentuknya warna ungu. Pembentukan warna ungu tersebut menunjukkan bahwa sediaan aspirin yang dibuat memiliki kemurnian yang rendah. Hal tersebut dimungkinkan karena sediaan masih terdapat asam salisilat yang secara keseluruhan tidak bereaksi menjadi aspirin dan terbentuknya kompleks yang reaksinya terjadi antara asam
83

salisilat dengan pembentukan dari FeCl3 dalam air [Fe(H2O)6]3+. Terdapat perbedaan pada pembentukan aspirin yang dibuat dengan berat bahan asam salisilat dan meningkatkan volume larutan asam asetat anhidrat, namun sebaliknya menurunkan volume dari H2SO4. Pencampuran bahan-bahan tersebut akan membentuk aspirin yang ketika ditambahkan dengan pereaksi FeCl3 menghasilkan intensitas warna ungu yang berbeda-beda. Semakin pekat warna ungu, maka semakin sedikit aspirin yang terbentuk. Dengan penggunaan asam salisilat dan asam asetat anhidrat yang besar, namun katalis yang berupa H2SO4 yang sedikit akan di peroleh aspirin yang memiliki kemurnian yang tinggi, dan begitu sebaliknya. Pengujian yang dilakukan terhadap aspirin yang telah terbentuk dengan pereaksi natrium bikarbonat (NaHCO3) akan menimbulkan gelembung yang diakibatkan karena terbentuknya karbondioksida yang dilepaskan. Hal tersebut menandakan bahwa sediaan yang dibuat positif mengandung aspirin. Jika sediaan yang terbentuk ditambahkan NaHCO3 dan tidak terbentuk gelembung, maka sediaan yang dibuat negatif atau tidak mengandung aspirin. Sehingga pengujian dengan NaHCO3 menunjukkan ada atau tidaknya aspirin pada sediaan yang terbentuk. Pemanfaatan aspirin telah banyak digunakan dalam berbagai bidang, salah satunya yaitu dalam bidang farmasi yang digunakan sebagai obat golongan AINS (antiinflamasi non steroid) dalam asetilasi dan inaktivasi siklooksigenase irreversibel. Aspirin dapat dengan cepat dilakukan proses asetilasi oleh suatu enzim berupa esterase dalam tubuh dengan menghasilkan salisilat yang mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesik. Aspirin juga dapat dibuat dengan cara lain yaitu dengan mereaksikan antara asam salisilat dengan asam asetat anhidrat, dengan anilin sebagai katalisatornya.

84

G. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan mengenai pembuatan aspirin, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Aspirin terbentuk dari asam salisilat dengan asam asetat anhidrat yang dikatalis oleh H2SO4 dengan reaksi asetilasi. 2. Pengujian aspirin dengan FeCl3 membentuk warna ungu yang menandakan tingkat kemurniannya rendah, namun aspirin dengan FeCl3 yang membentuk sedikit warna ungu menandakan tingkat kemurniannya tinggi, sedangkan pengujian dengan NaHCO3 menimbulkan gelembung yang menandakan bahwa sediaan yang dibuat positif mengandung aspirin.

85

PERCOBAAN VI PEMBUATAN SABUN

A. Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami teknik pembuatan sabun dari minyak dengan basa kuat.

B. Dasar Teori 1. Sabun Sabun adalah golongan alkali karboksilat (RCOONa). Gugus R bersifat hidrofobik karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat hidrofilik (polar). Ada 2 jenis sabun yang dikenal yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair. Sabun padat dibedakan atas tiga jenis yaitu sabun opaque, trasnsluenct dan transparan (Hernani, 2010). Sabun merupakan satu macam surfaktan (bahan surface active), senyawa yang menurunkan tegangan permukaan air. Sifat ini menyebabkan larutan sabun dapat memasuki serat, menghilangkan dan mengusir kotoran dan minyak (Sari, 2010). Sabun mengandung terutama garam C16 dan C18, namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat dengan bobot asam lebih lemah. Suatu molekul sabun mengandung suatu hidrokarbon panjang dengan ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul bersifat hidrofobik dan larut dalam zat-zat non polar. Sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya rantai hidrokarbon, molekul sabun secara keseluruhan tidaknya benar-benar larut dalam air. Namun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel (micelles) yakni segerombolan (50-150) molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujungujung ionnya menghadap ke air (Hernani, 2010). Lemak dan sabun dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang (C16-C18) menghasilkan sabun keras dan minyak dari asam lemak tak
86

jenuh dengan rantai pendek (C12-C14) menghasilkan sabun yang lebih lunak dan lebih mudah larut. Sabun yang dibuat dari natrium hidroksida lebih sukar larut dibandingkan dengan sabun yang dibuat dari kalium hidroksida. Menurut Ali, sabun sekarang dicampur untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Sabun mandi megandung minyak wangi, zat warna, dan bahan obat (Sari, 2010). Sabun pertama kali ditemukan oleh seorang dari Mesir kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Sedangkan pembuatan sabun oleh suku bangsa Jerman dilaporkan oleh Julius Caesar. Teknik pembuatan sabun dilupakan oleh orang zaman kegelapan, penggunaan sabun baru mulai meluas pada abad ke-19 (Fessenden, 1992). Dewasa ini sabun dibuat praktis sama dengan teknik yang digunakan pada zaman yang lampau. Lelehan lemak sapi atau lemak lain dipanaskan dengan lendi (NaOH) dan karenanya terhidrolisis menjadi gliserol dan garam natrium dan asam lemak. Dulu digunakan abu kayu (yang mengandung basa seperti kalium karbonat) sebagai ganti dari penggunaan lendi digunakan larutan alkali (Fessenden, 1992). Kegunaan sabun ialah kemampuannya dalam mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan adanya pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh adanya dua sifat dari sabun. Pertama, rantai hidrokarbon adalah sebuah molekul sabun larut dalam zat non polar, seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekulmolekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolakmenolak antara tetes-tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tetap akan tersuspensi (Fessenden, 1992). Dalam kerjanya menyingkirkan kotoran, molekul sabun mengelilingi dan mengemulsi butiran minyak atau lemak. Ekor lipofilik dan molekul sabun melarutkan minyak. Ujung hidrofilik dari butiran minyak terstabilkan dalam larutan air sebab muatan permukaan yang negatif dari butiran minyak mencegah penggabungan.
87

Sifat menonjol lain dari larutan sabun ialah tegangan permukaan yang sangat rendah, yang larutan sabun lebih memiliki daya pembasahan dibandingkan air basa. Akibatnya sabun termasuk golongan zat yang disebut surfaktan. Gabungan dari daya pengemulsi dan kerja permukaan dari larutan sabun memungkinkan untuk melepas kotoran, lemak dan partikel dari minyak dan permukaan yang sedang dibersihkan dan mengemulsikannya sehingga kotoran itu terurai bersama air. (Harold, 2003) 2. Saponifikasi Saponifikasi adalah reaksi hidrolisis asam lemak oleh adanya basa lemah. Saponifikasi tidak hanya menghasilkan kolesterol akan tetapi juga pengotor lain dari asam lemak (Muharrami, 2011). Sabun merupakan hasil hidrolisa asam lemak dan basa. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa safonifikasi. Safonifikasi adalah proses penyabunan yang mereaksikan suatu lemak atau gliserida dengan basa (Sari, 2010). Pembentukan ester dari alkohol dan asam adalah reaksi kesetimbangan. Reaksi kebalikan dapat terjadi dengan memindahkan asam dari campuran reaksi. Misalnya, dengan mengolahnya dengan NaOH, lemak hewan dikonversi menjadi sabun (garam dari asam lemak) dan gliserol (suatu trialkohol) dengan cara
CH2OH 3C17H35CO2H + CHOH CHOH CH2OCOC17H35 CHOCOC17H35 + 3N2O + 3NaOH + 3Na+ + C17H35CO2 + 3H2O CHOCOC17H35

(Goldberg, 2005) Bila lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali, ester terkonversi menjadi gliserol dan garam dari asam lemak. Reaksi tersebut digambarkan disini dengan penyabunan gliserol tri palmitrat.

88

O CH2C(CH2)14CH3 O CHOC(CH2)14CH3 + 3NaOH O CH2OC(CH2)14CH3 CH2OH CHOH + 3CH3(CH2)14CO2Na+ CH2OH

(Harold, 2003) 3. Parameter Kualitas Sabun Parameter kualitas sabun meliputi : a. Bilangan penyabunan menunjukan jumlah asam lemak, baik asam lemak terikat (trigliserida) maupun asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak atau lemak. Bilangan penyabunan merupakan jumlah alkali yang diperlukan untuk dapat

menyabunkan 1 g minyak atau lemak dinyatakan dalam jumlah mg KOH/NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 g minyak atau lemak. b. Bilangan iod adalah banyak gram halogen yang diserap oleh 100 g lemak dan dinyatakan dalam berat iod. Nilai ini digunakan untuk menentukan derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan suatu minyak semakin banyak iod yang terabsorpsi dan semakin tinggi pula nilai bilangan iod tersebut. c. Bilangan peroksida merupakan parameter yang penting untuk mengetahui derajat kerusakan minyak atau lemak dan menentukan daya simpan minyak atau lemak. Bilangan peroksida adalah jumlah peroksida yang terdapat dalam contoh, dinyatakan dengan mili ekivalen O2 aktif per kg yang mengoksidasi kalium iodida. (Ketaren, 1986)

89

C.

Alat dan Bahan 1. Alat a. b. c. d. e. f. g. h. i. 2. Batang pengaduk Cetakan Sabun Erlenmeyer 250 mL Gelas kimia 100 mL Kaca arloji Pemanas listrik Pipet tetes Pipet volume 10 mL Timbangan analitik

Bahan a. b. c. d. e. Aquades KOH Minyak kelapa (VCO) NaOH Pewangi

D.

Prosedur Kerja 1. Pembuatan sabun padat a. b. c. Ditimbang 2 gram NaOH, dilarutkan dalam 2 mL aquades. Dipanaskan larutan NaOH hingga hangat pada pemanas listrik. Dimasukkan 10 mL minyak kelapa ke dalam larutan NaOH (a) pada suhu yang sama. Diaduk hingga mengental. d. e. Diberi pewangi, diaduk kembali hingga terbentuk sabun padat. Diulangi langkah (a), dengan ditimbang 2 gram NaOH, dilarutkan dalam 2 mL aquades. f. g. Dipanaskan larutan NaOH (e) hingga hangat pada pemanas listrik. Dimasukkan 25 mL minyak kelapa ke dalam larutan NaOH (e) pada suhu yang sama. Diaduk hingga mengental.

90

h.

Diberi pewangi, diaduk kembali dan dimasukkan cetakan. Didiamkan hingga terbentuk sabun padat.

kedalam

2.

Pembuatan sabun cair a. b. c. Ditimbang 2 gram KOH, dilarutkan dalam 2 mL aquades. Dipanaskan larutan KOH hingga hangat pada pemanas listrik. Dimasukkan 10 mL minyak kelapa ke dalam larutan KOH (a) pada suhu yang sama. Diaduk hingga mengental. d. e. Diberi pewangi, diaduk kembali hingga terbentuk sabun cair. Diulangi langkah (a), ditimbang 2 gram KOH, dilarutkan dalam 2 mL aquades. f. g. Dipanaskan larutan KOH (e) hingga hangat pada pemanas listrik. Dimasukkan 25 mL minyak kelapa ke dalam larutan KOH (e) pada suhu yang sama. Diaduk hingga mengental. h. Diberi pewangi, diaduk kembali hingga terbentuk sabun cair.

91

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel pengamatan Sampel NaOH 2g KOH 2g Minyak VCO 10 mL 20 mL 10 mL 20 mL Hasil Terbentuk atas cair, bawah padat Terbentuk Terbentuk

2. Reaksi a. Pencampuran minyak dengan NaOH


O CH2 O C O CH O C O CH2 O C R3 R2 + 3 NaOH R1

O CH2 O C O CH O C O CH2 O C R3 H R2 + 2 NaOH R1

Na O

92

O CH2 O C O CH O C O CH2 O C R3 R2 + H+ + 2 NaOH R1

Na O

O CH2 O C O CH O C R2 + H+ + R1 O C R3 2 NaOH

Na O CH2 O
O CH2 O C O CH O C R2 R1 O + C Na O CH2
CH2

R3 +

2 NaOH

OH
O O C O R1 O R2 Na + C O R3 + NaOH

CH

Na O H CH2 OH

93

O CH2 O C R1 O CH O + H+ + C Na O CH2 OH O NaOH R2 + C Na O R3

O CH2 O C R1 O CH OH + C Na O CH2 OH
O CH2 O C R1 O + C Na O CH2 OH O R2 + C Na O R3

O R2 + C Na O R3 + NaOH

Na O H CH OH

CH2

O O O R1 + C Na O O R2 + C Na O R3

CH

OH

+ H+ + C Na O

CH2

OH

94

CH2

OH O O R1 + C Na O O R2 + C Na O R3

CH

OH

+ C Na O

CH2
b.

OH
O

Pencampuran minyak dengan KOH


CH2

C O

R1

CH

C O

R2

3 KOH

CH2

R3

O CH2 O C O CH O C O CH2 O K C O
O CH2 O C O CH O C O CH2 O K C O R3 R2 + H+ + 2 KOH R1

R1

R2

2 KOH

R3 H

95

O CH2 O C O CH O C R2 + H+ + K CH2 O R1 O C O R3 2 KOH

O CH2 O C O CH O C R2 K CH2 OH
O CH2 O C O CH O K CH2 OH C R2 K R1 O + C O R3 + KOH

R1 O + C O R3 + 2 KOH

O H

O CH2 O C R1 O CH O + H+ + C K CH2 OH O O KOH R2 + C K O R3

96

O CH2 O C R1 O CH OH K CH2 OH
O CH2 O K CH OH K CH2 OH C R1 O + C O O R2 + C K O R3

O R2 + C K O R3 + KOH

+ C O

O H

CH2

O O O R1 + C K O O R2 + C K O R3

CH

OH

+ H+ + C K O

CH2

OH

CH2

OH O O R1 + C K O O R2 + C K O R3

CH

OH K

+ C O

CH2

OH

97

F. Pembahasan Percobaan ini adalah tentang pembuatan sabun yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami teknik pembuatan sabun dari minyak dengan basa kuat. Minyak yang digunakan pada percobaan ini adalah Virgin Coconut Oil (VCO). Minyak VCO dipilih karena mengandung 92 % asam lemak rantai sedang atau trigliserida rantai menengah sehingga mudah mengalami reaksi saponifikasi ketika bereaksi dengan basa kuat. Basa kuat yang digunakan dalam proses pembuatan sabun adalah NaOH dan KOH. Sabun adalah garam logam alkali karboksilat dimana gugus R bersifat hidrofobik karena bersifat nonpolar dan gugus karboksil alkali bersifat hidrofilik atau polar. Kegunaan sabun adalah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini dapat terjadi karena dua sifat sabun yaitu larut dalam zat non polar dan bila terikat dengan air akan terjadi tolak-menolak yang akan mengemulsi minyak dalam air menjadi bola-bola kecil yang larut. Terdapat dua jenis sabun yaitu sabun padat dan sabun cair. Sabun dengan berat molekul rendah memiliki struktur sabun yang lebih keras, sebaliknya sabun dengan berat molekul tinggi memiliki struktur sabun yang lebih cair. Dari jenis kedua sabun tersebut yang membedakan adalah basa kuat yang digunakan dalam proses saponifikasi dimana sabun padat menggunakan NaOH sedangkan sabun cair menggunakan KOH. Natrium memiliki berat molekul yang lebih rendah daripada kalium.Proses saponifikasi adalah proses yang terjadi pada saat pembuatan sabun, yaitu asam lemak yang direaksikan dengan NaOH dan KOH membentuk lemak yang tersabunkan. Percobaan pertama yang dilakukan adalah pembuatan sabun padat. Pada pembuatan sabun padat, basa alkali yang digunakan adalah NaOH. NaOH merupakan basa kuat yang nantinya akan menghasilkan garam natrium dalam sabun.Garam natrium cenderung memiliki ikatan yang kuat satu sama lain sehingga membuat konsistensi dari sabun akan menjadi keras. NaOH ditimbang terlebih dahulu kemudian dimasukkan kedalam gelas kimia yang telah terisi dengan aquades, karena bila dilakukan sebaliknya maka akan
98

terjadi ledakan, karena NaOH merupakan basa yang kuat yang bersifat eksoterm yang menyebabkan panas pada dinding gelas kimia. Kemudian dipanaskan minyak VCO yang dicampurkan dengan larutan NaOH pada suhu yang sama yaitu 80o C hingga 100o C. Pada suhu campuran yang sama, energi untuk memutuskan ikatan dan rantai pada masing-masing senyawa pada proses reaksi akan sama sehingga membuat jumlah hasil reaksi dapat maksimal. Pemanasan bertujuan untuk merenggangkan ikatan antara gugus karboksilat terhadap alkil yang terdapat dalam minyak. Kemudian campuran diaduk-aduk hingga bercampur rata dan wujudnya seperti susu kental. Proses pencampuran antara minyak dan NaOH kemudian akan membentuk suatu cairan yang mengental. Selanjutnya ditambah pewangi sebagai bahan tambahan yang berfungsi untuk memberi aroma dan kesegaran pada sabun dan kemudian didiamkan dalam cetakan yang diinginkan. Percobaan kedua yang dilakukan adalah pembuatan sabun cair. Pada pembuatan sabun cair, basa alkali yang digunakan adalah KOH. Proses pembuatan sabun cair sama dengan pembuatan sabun padat, yang membedakan hanya basa alkali yang digunakan. KOH merupakan basa kuat yang menghasilkan garam kalium dalam sabun yang membuat konsistensi dari sabun akan menjadi cair. Ini merupakan karakteristik dari garam kalium yang membuat sabun menjadi cair dan lunak, tidak kaku dan mengeras seperti garam natrium. Pada percobaan yang telah dilakukan, proses pembuatan sabun cair berhasil dan terbentuk, baik pada penggunaan 10 ml minyak VCO dan 20 ml VCO. Proses yang terjadi pada proses pembuatan sabun padat dan cair adalah proses saponifikasi yaitu dengan mereaksikan suatu asam lemak atau minyak dengan basa alkali sehingga terbentuk sabun. Asam lemak terdiri dari rantai karbon panjang yang terakhir dengan gugus asam karbosilat pada ujungnya. Gugus asam karbosilat terdiri dari sebuah atom karbon yang berikatan dengan 2 buah atom O. Satu ikatannya terdiri dari ikatan rangkap dua dan satunya merupakan ikatan tunggal. Dalam saponifikasi ini terjadi hidrolisis basa pada minyak dengan basa sehingga membentuk ikatan alkali-COOR dan gliserol,
99

dimana mekanismenya melibatkan serangan nukleofil OH pada karbonil. Indikasi yang menyatakan terjadi reaksi saponifikasi adalah pada minyak yang direaksikan semakin lama diaduk, semakin kental cairannya dan adanya gliserol yang tampak seperti minyak pada sabun padat dan cair. Setelah dilakukan percobaan, dapat diketahui semakin banyak minyak VCO yang digunakan, maka semakin lama proses saponifikasi untuk menghasilkan sabun. Hal ini terlihat pada pembuatan sabun padat dengan 20 ml minyak VCO, sabun yang terbentuk tidak cepat mengeras. Dimungkinkan pada proses saponifikasi yang terjadi belum sempurna terjadi ketika dituang ke cetakan sehingga hanya bagian bawah yang mengeras sedangkan pada bagian atas masih ada minyak yang belum bereaksi dengan NaOH sehingga tidak mengeras. Dalam percobaan ini diberikan perlakuan yang berbeda berupa perbedaan volume minyak kelapa yang digunakan. Setelah dilakukan percobaan, diketahui semakin banyak minyak kelapa yang digunakan, maka semakin lama proses saponifikasi untuk menghasilkan sabun dan sabun yang terbentuk lebih banyak. Untuk basa kuat pada proses pembuatan sabun yaitu NaOH dan KOH, keduanya memiliki kelebihan masing-masing dimana kedua basa kuat akan membentuk konsistensi sabun yang berbeda sehingga tidak dapat dibedakan yang mana lebih baik. Penggunaan sabun padat dan sabun cair berbeda-beda tergantung fungsi dan cara penggunaan efektifnya dalam membersihkan kotoran. Sabun tidak terlepas dari fungsi utamanya untuk mengangkat kotoran kerena sifat surfaktan yang terkandung didalamnya. Surfaktan merupakan molekul yang memiliki gugus polar yang suka air (hidrofilik) dengan gugus nonpolar yang suka minyak (hidrofobik). Ini sesuai dengan teori like dissolve like yang mana kotoran biasanya bersifat non polar sehingga sabundapat membawa campuran yang terdiri dari minyak dan kotoran, sehingga kotoran dapat terangkat. Akan tetapi sabun juga dapat menimbulkan iritasi dan alergi kulit akibat dari sejumlah efek daya kerjanya, antara lain alkalisasi, yaitu akibat terurainya sabun dalam air sehingga menyebabkan pH
100

sabun lebih besar dari pH fisiologi kulit yang berkisar 4,56,5 sehingga dapat merusak kulit misalnya pembengkakan keratin yang memudahkan masuknya bakteri dan kulit dapat kering serta pecahpecah. Dalam bidang farmasi penggunaan sabun banyak digunakan dalam produk perawatan dan pengobatan kulit karena rute pemberiannya yang digunakan secara topikal. Adanya sabun kesehatan dengan menambahkan bahan tambahan seperti asam salisilat sebagai fungisida , sulfur mencegah dan mengobati penyakit kulit. Selain itu ada juga sabun kecantikan dengan bahan tambahan seperti vitamin E untuk mencegah penuaan dini, dan hidroquion untuk memutihkan dan mencerahkan kulit. Sabun juga digunakan sebagai surfaktan pada jenis sediaan yang mencampurkan bahan hidrofilik dan lipofilik seperti emulsi dan krim.

101

G.

Kesimpulan Berdasakan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Proses saponifikasi dengan basa NaOH dan minyak VCO

menghasilkan sabun padat. 2. Proses saponifikasi dengan basa KOH dan minyak VCO

menghasilkan sabun cair. 3. Semakin banyak minyak yang digunakan, maka semakin lama proses saponifikasi untuk menghasilkan sabun.

102

PERCOBAAN VII PEMBUATAN METIL ESTER

A. Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami teknik pembuatan metil ester.

B. Dasar Teori 1. Metil ester Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati, baik minyak yang belum digunakan maupun minyak bekas dari penggorengan dan melalui proses transesterifikasi.Biodiesel

digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) untuk motor diesel, dan apat diaplikasikan baik dalam bentuk 100 % (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi tertentu (BBX), seperti 10 % biodiesel dicampur dengan 90 % solar yang dikenal dengan nama B10 (Erliza, 2007). Pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki beberapa kelebihan, diantaranya sumber minyak nabati mudah diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati mudah dan cepat, serta tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel yang tinggi (95 %). Minyak nabati memiliki komposisi asam lemak berbeda-beda tergantung dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak (nabati maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu triester gliserol dengan asamasam lemak (C8 C24). Komposisi asam lemak dalam minyak nabati menentukan sifat fisik kimia minyak (Erliza, 2007). Metil ester sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan yang berfungsi untuk menurunkan tegangan antarmuka/interfacial tension (IFT) minyak dan air sehingga dapat bercampur dengan homogen. Surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri sabun, detergen, farmasi, kosmetika, cat, dan industri perminyakan. Bahan
103

baku pembuatan surfaktan dapat diperoleh dari minyak bumi (fossil fuel) atau dari minyak nabati dan hewani. Kelemahan surfaktan dari minyak bumi adalah bahan baku bersifat tidak dapat diperbarui, harga mahal, tidak tahan pada kesadahan tinggi, dan sulit didegradasi oleh mikroba sehingga tidak ramah lingkungan. Saat ini surfaktan detergen masih didominasi oleh produk turunan petrokimia, salah satunya adalah Linier Alkyl Benzene Sulfonat (LABS). Harga minyak bumi dunia yang semakin mahal membuat beberapa industri detergen di Amerika dan Jepang mulai menggunakan minyak nabati untuk bahan baku pembuatan surfaktan (Hidayati, 2009). Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan hasil olahan dari daging buah kelapa segar (non kopra), dalam pengolahannya tidak melalui proses kimiawi dan tidak menggunakan pemanasan tinggihingga minyak yang dihasilkan berwarna bening (jernih) dan beraroma khas kelapa. Menurut standar internasional yang dikeluarkan oleh Asian Pacific Coconut Community (APCC, 2004) bahwa kandungan asam lauratnya mencapai 43-53 %, kandungan asam lemak bebas sangat rendah yaitu 0,5 % serta kadar airnya mencapai 0,1-0,5 %. Komposisi asam lemak tertinggi dalam minyak kelapa murni adalah asam laurat yang berfungsi dapat memberi gizi serta melindungi tubuh dari penyakit menular dan penyakit degeneratif (Sutarmi, 2005). Komposisi asam lemak berbeda-beda sesuai dengan sumber minyak itu. Komposisi asam lemak dalam daging buah kelapa terdiri dari asam lemak jenuh yaitu asam kaproat (0,5 %), asam kaprilat (8,0 %), asam kaprat (6,4 %), asam laurat (48,5 %), asam miristat (17,6 %), asam palmitat (8,4 %), asam stearat (2,5 %) dan asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat (6,5 %), asam linoleat (1,5 %) (Pontoh, 2011). Transesterifikasi (biasa disebut alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. (Muryanto 2009)
104

Tabel Parameter SNI Biodiesel Indonesia Parameter Massa jenis pada 40oC, g/mm3 Viskositas kinematik mm2/s) Angka setana SNI 04-7182-2006 0,850-0,890

(40oC, 2,3-6,0 Min. 51 Min. 100 Maks. 18 Maks. No.3 Maks. 0,05% Massa Maks. 0,3% massa

Tititk nyala (closed cup), oC Titik kabut, oC Korosi tembaga (3 jam,50 oC) Residu karbon - Dalam contoh asli - Dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen Temperatur distilasi 90 % Abu tersulfatkan, %-b Belerang, ppm-b (mg/kg) Fosfor, ppm-b (mg/kg) Angka asam, mg-KOH/g Gliserol bebas, %-b Gliserin total, %-b Kadar ester alkil, %-b Angka Iodium, %-b (g/l2/100g) Uji Halphen

Maks. 0,05%-v Maks. 360oC Maks. 0,02%-b Maks. 100 Maks. 10 Maks. 0,8 Maks. 0,02 Maks. 0,24 Min. 96,5 Maks. 115 Negatif (Muryanto, 2009)

2. Esterfikasi Reaksi esterifikasi adalah suatu reaksi antara asam karboksilat dan alkohol membentuk ester. Turunan asam karboksilat membentuk ester asam karboksilat. Ester asam karboksilat ialah suatu senyawa yang
105

mengandung gugus -CO2 R dengan R dapat berupa alkil maupun aril. Esterifikasi dikatalisis asam dan bersifat dapat balik (Fessenden, 1982). Penamaan ester hampir menyerupai dengan penamaan basa, walaupun tidak benar-benar mempunyai kation dan anion, namun memiliki kemiripan dalam sifat lebih elektropositif dan

keelektronegatifan. Suatu ester dapat dibuat sebagai produk dari suatu reaksi pemadatan pada suatu asam (pada umumnya suatu asam organik) dan suatu alkohol ( atau campuran zat asam karbol), walaupun ada caracara lain untuk membentuk ester. Pemadatan adalah suatu jenis reaksi kimia di mana dua molekul bekerja sama dan menghapuskan suatu molekul yang kecil, dalam hal ini dua gugus OH yang merupakan hasil eliminasi suatu molekul air (Clark, 2002) Suatu reaksi pemadatan untuk membentuk suatu ester disebut esterifikasi. Esterifikasi dapat dikatalis oleh kehadiran ion H+. Asam belerang sering digunakan sebagai sebagai suatu katalisator untuk reaksi ini. Nama ester berasal dari Essig-ther Jerman, sebuah nama kuno untuk menyebut etil asam cuka ester (asam cuka etil) (Anshory, 2003). Ester dapat dibuat oleh suatu reaksi keseimbangan antara suatu alkohol dan suatu asam karbon. Ester dinamai menurut kelompok alkil dari alkohol dan kemudian alkanoat (bagian dari asam karbon). Sebagai contoh, reaksi antara metanol dan asam butir menghasilkan ester metil butir C3H7-COO-CH3 seperti halnya air. Yang paling sederhana adalah HCOO-CH3,metil metanoat. Karena ester dari asam yang lebih tinggi, alkana menyebut dengan - oat pada akhiran. Secara umum ester dari asam berbau harum meliputi benzoat seperti metil benzoat. Suatu ester asam karboksilat mengandung gugus CO2R dengan R dapat berbentuk alkil maupun aril (Poedjiadi, 1994). Reaksi esterifikasi merupakan reaksi pembentukan ester dengan reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan suatu alkohol. Laju esterifikasi suatu asam karboksilat bergantung pada halangan sterik dalam
106

alkohol dan asam karboksilatnya. Kuat asam dari asam karboksilat hanya memainkan peranan kecil dalam laju pembentukkan ester. Seperti kebanyakan reaksi aldehida dan keton, esterifikasi suatu asam karboksilat berlangsung melalui serangkaian tahap protonasi. Oksigen karbonil diprotonasi, alkohol nukleofilik menyerang karbon positif dan eliminasi air akan menghasilkan ester yang dimaksud seperti reaksi singkat berikut: H3C-COOH + HO-CH2-CH3 H3C-COO-CH2-CH3 + H2O (Fessenden, 1982) Proses esterifikasi dengan asam fosfat yang berlangsung dalam tubuh kita disebut juga proses fosforilasi dengan bantuan enzim esterase yang mampu memecah ikatan ester dengan cara hidrolisis (Anshory, 2003). 3. Transesterifikasi Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi transesterifikasi adalah pengaruh air dan asam lemak bebas, pengaruh perbandingan molar antara molar alkohol dengan bahan mentah, jenis alkohol, jenis katalis, dan temperatur. Reaksi transesterifikasi berjalan lambat sehingga untuk mempercepat reaksi dipengaruhi oleh suhu dan jumlah katalisator yang digunakan. Kedua faktor tersebut berhubungan dengan energi aktivasi (Ea) reaksi yang bersangkutan. Suatu reaksi dapat berlangsung bila sudah melewati energi aktivasinya. Persamaan Arrhenius menunjukkan bahwa dengan naiknya suhu akan memperbanyak fraksi molekul yang bertumbukan sehingga energi aktivasinya akan cepat tercapai. Katalisator dalam suatu reaksi berperan menurunkan harga energi aktivasi (Ea) sehingga reaksi berjalan lebih cepat. Katalisator basa bekerja dengan cara menaikkan sifat nukleofilitas, biasanya digunakan logam alkali alkoksida.
107

(Kusumaningsih, 2006) Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu

menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut: a. Pengaruh air dan asam lemak bebas Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5 % (<0.5 %). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida. b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan konversi 98 %. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99 %, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89 %. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum. c. Pengaruh jenis alkohol Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol. d. Pengaruh jenis katalis Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi

transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida
108

(NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5 %-b minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5 %-b minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1 %-b minyak nabati untuk natrium hidroksida. e. Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang telah dihilangkan getahnya dan disaring. f. Pengaruh temperatur Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 - 65 C (titik didih metanol sekitar 65 C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. (Freedman, 1984)

109

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Batang pengaduk b. Corong c. Corong pisah d. Gelas kimia 100 mL dan 200 mL e. Gelas ukur 10 mL dan 100 mL f. Hot plate g. Kaca arloji h. Pinset i. Pipet skala 10 mL j. Pipet volume 50 mL k. Propipet l. Statif dan klem m. Stirrer n. Termometer o. Timbangan analitik 2. Bahan a. Metanol b. Minyak VCO c. NaOH

D.

Prosedur Kerja 1. Pembuatan Natrium Metoksida a. Ditimbang 1 gram NaOH yang telah dihaluskan dan dilarutkan dengan 40 mL metanol b. Diaduk dengan stirrer hingga semua NaOH larut c. Ditempatkan pada gelas kimia 250 mL.

110

2.

Pembuatan Metil Ester a. Dipanaskan 20 mL sampel minyak di atas hot plate dan diaduk dengan stirrer kira-kira 120 rpm, hingga mencapai suhu 45-55 C b. Ditambahkan larutan natrium metoksida yang telah dibuat pada langkah 1 ke dalam minyak yang telah dipanaskan dan dipertahankan suhu pengadukan 55 C, dilakukan penambahan larutan ini sedikit demi sedikit. Dihitung waktu pengadukan hingga 45 menit, setelah semua natrium metoksida bercampur semua c. Dipindahkan metil ester ke dalam corong pisah dan diamkan hingga terbentuk dua lapisan selama 10-15 menit, lalu dikeluarkan lapisan bawahnya.
o o

3. Pemurnian Metil Ester a. Dimasukkan metil ester ke gelas kimia dan dilakukan pemurnian dengan memanaskan aquades hingga suhu 60 C, dituangkan metil ester ke dalam aquades, diaduk perlahan selama 10 menit b. Dipindahkan metil ester dan aquades ke dalam corong pisah dan dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan, kemudian lapisan bawahnya dikeluarkan c. Dihitung volume metil ester yang didapat.
o

111

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil pengamatan No 1 2 3 2. Reaksi a. Pembuatan Natrium Metoksida CH3OH + NaOH CH3ONa + H2 O (Metanol) (Natrium hidroksida) (Natrium Metoksida) (Air) b. Pembuatan Metil Ester
O

Sampel Minyak VCO Minyak VCO Minyak VCO

Sebelum pemanasan 210 ml 180 ml Tidak terbentuk

Setelah pemanasan 312 ml 162 ml Tidak terbentuk

CH2

C O

R1

CH

C O

R2

+ 3CH3ONa

CH2

R3

Trigliserida

Natrium Metoksida

H2C

C
O

R3 + CH3O- + H+

112

H2C

C+

R3

3CH3O-

O-

CH3

H2 C

O-

R3

O-

CH3 H+ R3

H2C

O + C

O
H2C

OH + H3C

R3

HC

R2

+ CH3O- + H+

113

HC

C+

R2 + 3CH3O-

O-

CH3

HC

R2

OO HC CH3 H+

OH- + C

R2

HC

OH + CH3

R2

114

CH2

R1 + CH3O-

H+

CH2

C+

R1 + 3CH3O-

O-

CH3

CH2

R1

O-

CH3

CH2

OH

R1

115

O CH3 CH3 O O C O C O CH3 O C R3 R1 CH2 R2 + CH CH2 Gliserol OH OH OH

Metil Ester

116

F.

Pembahasan Percobaan mengenai pembuatan metil ester ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami teknik pembuatan metil ester. Metil ester adalah suatu senyawa ester yang mengikat gugus metil. Metil ester merupakan ester asam lemak yang dapat dibuat melalui proses esterifikasi dan

transesterifikasi. Esterifikasi merupakan reaksi antara asam lemak dengan alkohol menghasilkan ester dan air sebagai hasil samping. Sedangkan transesterifikasi adalah reaksi yang dialami ester untuk menghasilkan suatu ester baru yang mengalami pertukaran posisi asam lemak. Biasanya transesterifikasi terjadi antara trigliserida dengan alkohol dan menghasilkan ester dan gliserol sebagai hasil samping. Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti misalnya waktu reaksi, dimana semakin lama suatu reaksi berlangsung maka kemungkinan kontak zat akan semakin besar, sehingga akan menghasilkan produk yang besar. Faktor kedua berupa proses pengadukan. Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antar molekul zat yang bereaksi sehingga reaksi akan berlangsung semakin cepat. Faktor ketiga yaitu katalisator. Katalis merupakan zat yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi sehingga tidak mempengaruhi hasil akhir. Penambahan katalis dapat menurunkan energi aktivasi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih cepat. Adapun faktor terakhir adalah suhu reaksi. Suhu yang tinggi akan memperbesar energi kinetik molekul zat, sehingga tumbukan antar zat sering terjadi dan reaksi akan berlangsung semakin cepat. Percobaan kali ini menggunakan minyak VCO yang bertindak sebagai bahan baku, NaOH sebagai katalisator dan metanol sebagai pelarut. Minyak VCO digunakan sebagai bahan utama yang menjadi sumber asam lemak dalam reaksi esterifikasi. Penggunaan minyak VCO bertujuan agar metil ester yang dihasilkan berwarna jernih dan tidak mudah tengik saat proses pemanasan. Hal ini mengingat bahwa minyak kelapa murni (VCO) memiliki kandungan asam lemak yang jenuh dengan konsentrasi yang tinggi. Sehingga saat pemanasan minyak tidak mudah teroksidasi. Hal ini juga
117

sejalan dengan tujuan awal dari pemanasan minyak saat pembuatan metil ester adalah untuk merenggangkan ikatan antar asam lemaknya dan bukannya untuk memutus ikatan tersebut. Karena apabila ikatannya terputus maka kualitas metil ester yang dihasilkan tidak dapat memenuhi standar, salah satunya berbau tengik dan mudah mengalami degradasi saat penyimpanan. Penggunaan metanol pada percobaan ini bertujuan agar pembentukan metil ester dapat berlangsung lebih cepat dengan reaksi yang berlangsung sempurna. Hal ini disebabkan karena metanol memiliki struktur berupa

alkohol rantai primer. Dimana semakin pendek rantai karbon dari suatu alkohol maka reaktivitasnya akan semakin meningkat. Berdasarkan hal inilah metanol dapat bertindak sebagai sumber pemasok gugus alkil yang baik. Hanya saja kekurangannya metanol memiliki sifat yang mudah menguap sehingga dalam pengerjaannya hendaknya ditutup dengan alumunium foil. Selain dua bahan utama tersebut, dalam percobaan ini juga digunakan larutan Natrium hidroksida (NaOH). NaOH bertindak sebagai katalis yang dapat mempercepat berlangsungnya reaksi transesterifikasi ketika

direaksikan dengan metanol. Jika suatu ester direaksikan dengan suatu alkohol maka akan diperoleh ester baru dan alkohol baru. Reaksi ini yang dinamakan transesterifikasi yang dapat berlangsung dalam suasana asam maupun basa. NaOH akan mengaktifkan gugus alkoksi dari metanol sehingga membentuk natrium metoksida. Katalis yang bersifat basa/alkali banyak

digunakan dalam pembuatan metil ester. Hal ini dikarenakan reaksi transesterifikasi yang dikatalisi oleh basa kuat akan berlangsung sangat cepat dan sempurna serta dapat dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Langkah pertama dilakukan pembuatan natrium metoksida terlebih dahulu, dimana larutan Natrium hidroksida (NaOH) direaksikan dengan metanol. Hal ini dikarenakan sifat dari natrium metoksida yang merupakan suatu alkoksida memiliki sifat basa yang lebih kuat dibandingkan hidroksida. Sehingga dengan adanya basa yang lebih kuat, reaksi akan berlangsung lebih cepat dan sempurna. Karena pada dasarnya reaksi esterifikasi dan
118

transesterifikasi memerlukan suatu nukleofil yang kuat untuk memutus ikatan rangkap pada asam lemak. Setelah terbentuknya metil ester dilakukan proses selanjutnya berupa proses pemurnian. Proses pemurnian bertujuan untuk memisahkan metil ester dengan pengotor. Dalam hal ini metanol dan NaOH yang tersisa atau gliserol sebagai hasil samping reaksi dapat bertindak sebagai zat pengotor. Sehingga dapat diperoleh metil ester yang murni atau bebas dari pengotor. Pemurnian dilakukan di dalam corong pisah. Prinsip corong pisah yakni memisahkan senyawa tertentu berdasarkan densitas atau berat jenis dari senyawa-senyawa tersebut. Pemurnian ini dilakukan dengan menggunakan aquades sebanyak 50% dari volume metil ester dikarenakan pengotor-pengotor tersebut dapat bercampur dan larut dalam air sehingga dapat terbilas dan terbuang bersama air. Hasil pengamatan yang diperoleh berupa data dari tiga replikasi. Replikasi pertama berhasil terbentuk dengan volume sebelum pemurnian adalah 210 mL dan sesudah pemurnian adalah 312 mL. Data yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang ada. Menurut teori, seharusnya volume sesudah pemurnian harus lebih sedikit dibandingkan dengan volume sebelum pemurnian bukan sebaliknya. Karena sebelum pemurnian bukan hanya metil ester yang terkandung tetapi juga terdapat gliserol yang merupakan hasil samping reaksi. Kemudian setelah dimurnikan dengan air, gliserol akan terbilas dan terbuang bersama air sedangkan metil ester tidak. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Adapun kemungkinan terbesar dapat disebabkan karena gliserol tidak dapat terbilas dengan air, bahkan air pembilasnya sebagian tercampur dengan metil ester sehingga didapatkan volumenya bertambah. Selain itu juga dapat disebabkan karena pengocokan dan pengadukan yang terlalu lama dan kuat sehingga menyebabkan aquades sulit untuk terpisah dari larutan metil ester. Pembuatan natrium metoksida yang berasal dari NaOH dan metanol akan mengakibatkan adanya reaksi esterifikasi jika ditambahkan dengan asam lemak yang berasal dari minyak. Namun pada saat pembuatan natrium
119

metoksida, pemanasan yang dilakukan memungkinkan adanya metanol yang menguap sehingga ketika direaksikan dengan asam lemak yang berasal dari minyak tidak terjadi reaksi transesterifikasi dan terbentuk sabun. Asam lemak tersebut dapat membentuk lapisan gel yang lama-kelamaan akan membentuk sabun. Meskipun hanya sedikit, adanya sabun dapat menyulitkan proses pemurnian dan pemisahan gliserol karena air dapat terikat dengan metil ester yang terbentuk dengan adanya sabun. Sabun akan menurunkan tegangan permukaan antara air dengan metil ester. Sehingga yang tadinya air dan metil ester tidak dapat bercampur menjadi bercampur meskipun hanya sedikit. Sehingga air tidak membilas dan memurnikan metil ester melainkan menambah volume metil ester yang dihasilkan. Data untuk replikasi kedua, metil ester yang murni berhasil diperoleh ditandai dengan volume metil ester sesudah pemurnian lebih sedikit daripada volume metil ester sebelum pemurnian yakni dari 180 mL menjadi 162 mL. Hal ini membuktikan bahwa pengotor-pengotor dalam metil ester telah terbilas bersama air yang ditambahkan. Pada saat pemurnian metil ester berada di lapisan atas corong pisah, sedangkan gliserol berada di lapisan bawah. Hal ini dikarenakan berat jenis gliserol lebih besar dibandingkan dengan berat jenis metil ester. Sehingga ketika corong pisah dibuka, gliserol dan pengotor lainnya dapat terbuang dan yang tersisa hanya metil ester saja. Pada replikasi ini juga, pembuatan natrium metoksida tidak melalui proses pemanasan sehingga metanol tidak ada yang menguap. Hal ini menyebabkan metanol sebagai sumber alkil tetap ada dalam reaksi dan dapat mengakibatkan asam lemak mengalami esterifikasi dan transesterifikasi secara sempurna dan tidak membentuk sabun. Sehingga proses pemurnian dan pemanasan gliserol dapat berhasil dan diperoleh metil ester yang murni. Hasil pengamatan yang diperoleh untuk replikasi ketiga yaitu metil ester tidak terbentuk, melainkan yang terbentuk adalah sabun. Kegagalan ini dapat terjadi dikarenakan pemanasan yang berlebihan setelah pencampuran minyak dengan natrium metoksida. Pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan metanol yang terkandung di dalam campuran NaOH dan
120

metanol menguap karena melebihi titik didih metanol yang berkisar antara 60-65C. Apabila metanol telah menguap dan habis, yang tersisa hanyalah NaOH saja. Sehingga apabila ditambahkan ke dalam minyak reaksi

metanolisis atau esterifikasi tidak terjadi karena metanol yang bertindak sebagai sumber gugus metil tidak ada dalam reaksi dikarenakan metanol yang telah menguap tadi. Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau biasa disebut reaksi penyabunan antara asam lemak dengan basa kuat (NaOH) yang akan menghasilkan garam alkali berupa sabun. Pemanfaatan metil ester dalam bidang farmasi umumnya digunakan sebagai bahan baku atau emolien dalam pembuatan kosmetik dan surfaktan. Selain itu metil ester dapat juga digunakan sebagai biodiesel atau pengganti bahan bakar minyak.

121

G. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Teknik pembuatan metil ester menggunakan reaksi transesterifikasi karena menggunakan katalis basa yaitu NaOH 2. Volume metil ester yang didapatkan sebelum pemurnian adalah 210 mL dan sesudah pemurnian adalah 213 mL pada pengujian pertama sedangkan pada pengujian kedua dihasilkan metil ester sebelum dan sesudah pemurnian adalah 180 mL dan 162 mL.

122

PERCOBAAN VIII IDENTIFIKASI ALKOHOL DAN FENOL

A. Tujuan Mahasiswa dapat membedakan dan mengidentifikasi alkohol dan fenol.

B. Dasar Teori 1. Alkohol Alkohol adalah senyawa dimana molekulnya mempunyai gugus hidroksil (-OH) yang terletak pada atom karbon jenuh. Jika OH terikat pada atom karbon tidak jenuh disebut etanol, dan bila terikat secara langsung pada cincin benzena disebut fenol. Sering suatu gugus fungsi alkohol dalam molekul mengandung gugus fungsi lain. Dalam sistem IUPAC penomoran multifungsi ditentukan oleh prioritas tata nama. a. Sifat-Sifat Alkohol 1) Titik Didih Alkohol dapat membentuk ikatan hidrogen antara molekulmolekulnya sehingga titik didih alkohol lebih tinggi daripada titik didih alkil halida yang bobot molekulnya sebanding. 2) Kelarutan dalam Air Alkohol berbobot molekul rendah larut dalam air sedangkan alkil halida dengan BM yang sama tidak larut. Kelarutan dalam air disebabkan oleh ikatan hidrogen antara alkohol dan air. (Fessenden, 1984) Etanol adalah campuran etilalkohol dan air. Mengandung tidak kurang dari 94,7% atau 92,0% v/v dan tidak lebih dari 95,2% atau 92,7% v/v C2H6O. Pemerian etanol, yaitu cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap. Kelarutannya sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P.
123

Identifikasi etanol dengan cara 5 mL larutan 0,5% b/v tambahkan 1 mL NaOH 0,1 N, kemudian tambahkan perlahan-lahan 2 mL larutan iodium P, tercium bau iodoform dan terbentuk endapan kuning. (Depkes RI, 1979) b. Sintesis Alkohol 1) Reaksi Substitusi Nukleofilik (R-X+OH-) Bila alkil halida primer dipanasi dengan NaOH dalam air terjadi reaksi SN2. Alkil halida sekunder dan tersier menghasilkan produk-produk eliminasi maka halida ini umumnya tidak digunakan untuk menyintesis alkohol. 2) Reaksi Grignard Reaksi Grignard memberikan suatu cara yang sangat baik untuk membuat alkohol yang berkerangka karbon rumit. a) Reagen Grignard + formaldehid alkohol primer b) Reagen Grignard + aldehid alkohol sekunder c) Reagen Grignard + keton alkohol tersier d) Reagen Grignard + etilen oksida alkohol primer e) Reagen Grignard + ester format alkohol sekunder f) Reagen Grignard + ester alkohol tersier 3) Reaksi Karbonil Reaksi reduksi dimana atom-atom hidrogen ditambahkan kepada gugus-gugus karbonilnya. 4) Hidrasi Alkena (Fessenden, 1984) 2. Fenol Fenol adalah salah satu bahan kimia organik yang memiliki banyak variasi sintesis organik, seperti kimia agrikultural dan peptisida. Fenol dapat diisolasi dari tar batu bara (Basha, 2010).
124

Sifat dan bahaya fenol antara lain dapat menyebabkan toksisitas dan bersifat korosif. Faktanya, kematian dapat disebabkan oleh tertelannya fenol 15 mL. Fenol cair dapat berpenetrasi ke dalam kulit dengan potensi yang hampir sama dengan inhalasi fenol. Fenol dapat memberikan efek anastetik (Lynch, 2010). Sifat keasaman fenol bila dibandingkan dengan metanol lebih bersifat asam. Hal ini terjadi karena efek induksi dan kestabilan dari ion fenoksida. Reaksi pada fenol terdiri dari: a. Reaksi esterifikasi b. Reaksi substitusi elektrofilik aromatik c. Reaksi Kolbe d. Reaksi Reamer-Tiemann e. Reaksi oksidasi (Fessenden, 1984) Salah satu tanaman obat yang mengandung fenol adalah daun Achirathes aspera L yang mengandung saponin, polifenol dan alkaloid. Selain itu senyawa fenol juga dimodifikasi untuk sebagai obat penghilang rasa nyeri gigi yaitu eugenol (4-alil-2-metoksifenol). Eugenol termasuk antiseptik golongan fenol yang mempunyai daya antiseptik yang lemah (Dewi, 2006).

125

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Gelas kimia 100 mL b. Pipet tetes c. Pipet volume 10 mL d. Propipet e. Rak tabung f. Tabung reaksi 2. Bahan a. Aluminium foil b. Benzil alkohol c. Etanol d. Etanol encer e. FeCl3 1% f. Fenol g. Fenol encer h. Isopropanol i. Kristal iodium j. Metanol k. NaOH 2 N

D. Prosedur Kerja 1. Uji adanya gugus hidroksil a. Diambil 3 buah tabung reaksi yang bersih dan kering. b. Diisi tabung 1 dengan 4 butir Kristal fenol, diisi tabung 2 dengan 4 tetes etanol, diisi tabung 3 dengan 4 tetes benzil alkohol. c. Ditambahkan 4 tetes larutan NaOH 2 N ke dalam tabung 1, 2 dan 3. Dikocok. d. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.

126

2. Membedakan gugus hidroksil pada alkohol dan fenol a. Diamati 2 buah tabung reaksi yang bersih dan kering. b. Diisi tabung 1 dengan 2 mL etanol encer, diisi tabung 2 dengan 2 mL fenol encer. c. Ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 1% ke dalam kedua tabung di atas. d. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi. 3. Uji alkohol dan tes iodoform a. Diambil sebuah tabung reaksi yang bersih dan kering, dimasukkan ke dalamnya sejumlah Kristal iodium. b. Ditambahkan 3 tetes alkohol yang akan diperiksa. c. Diteteskan larutan NaOH 2 N ke dalam tabung, sambil dikocok. Dilakukan penambahan NaOH 2 N sampai warna coklat hilang. d. Dikocok terus sampai timbul warna kuning atau larutan bau iodoform.

127

E. Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil Pengamatan a. Uji adanya gugus hidroksil No. 1. 2. 3. Sampel Fenol Benzil Alkohol Etanol Pereaksi NaOH Hasil Larutan Bening 2 Fasa Larutan Bening

b. Membedakan gugus hidroksil pada alkohol dan fenol No. 1. 2. Sampel Etanol encer Fenol encer Pereaksi FeCl3 Hasil Larutan Kuning muda Larutan Ungu

c. Uji tes alkohol dengan iodofrom No. 1. 2. 3. 4. 2. Reaksi a. Uji adanya gugus hidroksil 1.) Etanol + NaOH H3C CH2 OH + NaOH 2.) Benzilalkohol + NaOH
CH2OH

Sampel Metanol Etanol Isopropanol n-butanol

Positif/negatif + + + +

tetesan 7 6 10 19

NaOH

3.) Fenol + NaOH

..
O .. - H

+ Na - O - H
128

..
O .. H

+ Na

O ..

..

..
O ..

Na+ +

O ..

..

H + H+

..
O ..

Na + H O ..
..

b. Membedakan gugus hidroksil pada alkohol dan fenol 1.) Fenol + FeCl3

..
O .. - H

Cl + Fe Cl Cl

..
O .. - H

Cl + Fe Cl Cl

..
O ..
+

Fe Cl + Cl Cl

+ H+

129

Fe Cl
c. Uji alkohol dengan tes iodoform 1.) Etanol + I2 + NaOH

+ H - Cl Cl

O H3C

- CH - OH
2

Oksidasi

H3C

-C-H

+ OH

H H

O + OH

-C-C -H
H

+ I

-I

H H

O + OH

-C-C -H
H

+ I

-I

2) Isopropanol + I2 + NaOH
CH3 H 3C CH OH H CH3 H C C O H + OH-

H C H

CH3 C O +
H+ + OH

130

H C H

CH3 C O + H2 O + I I

H C H

CH3 C O + H2O + I +I

H I C H

CH3
C O + OH

CH3 I C H
+ C O + H + OH

I C

CH3 C O + H2 O + I I I

I C I

CH3 C O

3). Metanol + I2 + NaOH


O H C H

O H3C OH

O H C H + OH
-

O C H +
H+ + OH

O C H + I I + H2O I

O C H + OH-

O C I + I + I + H2O I

O C I

131

4) n-Butanol + I2 + NaOH
H3C C H2 H2 H2 C C OH O H3C C H2 O H2 C C H + OH-

H H3C C C H2 H

O C H + OH
-

H H3C C C H2

O C H
+ H+ + OH

H H3 C C C H2

O C H + I I + H2 O

H H3C C C H2 I

O C H + OH-

O H3 C C C H2 I C H + I I + H+ + OH
-

I H3 C C C H2 I

O C H + H2 O

I H3 C C C H2 I

O C H + OH-

I H3 C C C H2 I

O C OH H

I H3 C C C H2 I

O + C OH H + I I

I H3 C C C H2 I I +

O C OH H

132

F. Pembahasan Alkohol adalah senyawa dimana molekulnya mempunyai gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon jenuh. Fenol adalah senyawa yang memiliki suatu gugus hidroksil yang terikat langsung pada cincin benzena. Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membedakan alkohol dan fenol. Uji pertama yaitu uji untuk mengetahui adanya gugus hidroksil pada senyawa alkohol dan fenol di dalam sampel. Sampel yang digunakan yaitu fenol, etanol dan benzil alkohol. Pereaksi yang digunakan adalah larutan NaOH. Larutan NaOH berfungsi sebagai basa kuat, dimana uji positif pada reaksi ini ditandai dengan terbentuknya larutan bening. Sampel pertama yaitu fenol, berdasarkan hasil pengamatan, ketika fenol ditambahkan NaOH, kemudian dilakukan pengocokan, terbentuk larutan bening. Hal tersebut terjadi dikarenakan fenol memiliki tingkat keasaman 10.000 kali lebih kuat daripada air sehingga dapat dengan mudah bereaksi dengan larutan basa. Hasil tersebut juga sesuai dengan BPOM yang menyatakan bahwa fenol merupakan asam lemah dengan pKa 9,8 yang dapat bereaksi dengan basa, dan diubah menjadi anion fenoksida. Ka merupakan konstanta keasaman. Semakin tinggi nilai pKa suatu senyawa, maka semakin kurang sifat asamnya. Cincin benzen pada fenol bertindak sebagai gugus penarik elektron sehingga atom O dan gugus OH bermuatan positif dan proton mudah dilepaskan. Adanya resonansi dari cincin benzen inilah yang menyebabkan ketidakstabilan pada cincin benzen sehingga mudah lepas dan bereaksi dengan basa. Sampel kedua yaitu etanol, ketika etanol ditambahkan dengan NaOH, kemudian dikocok, terbentuk larutan bening. Pengocokan berfungsi agar campuran terhomogenkan. Berdasarkan teori, seharusnya ketika etanol ditambahkan NaOH tidak larut dan membentuk 2 fasa. Hal tersebut dikarenakan etanol sukar bereaksi dengan NaOH karena tingkat keasamannya yang lebih mendekati netral, yaitu memiliki pKa yang cukup tinggi yaitu 16. Semakin panjang rantai karbon pada alkohol maka akan semakin sukar bereaksi dengan NaOH, karena pKa nya semakin tinggi maka alkohol akan
133

semakin bersifat basa dan sulit bereaksi dengan NaOH. Kemungkinan perbedaan hasil pengamatan pada etanol dengan teori disebabkan pada saat menambahkan NaOH ke dalam etanol yang terlalu banyak, karena seharusnya NaOH ditambahkan sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan. Sampel ketiga yaitu benzil alkohol, ketika ditambahkan dengan NaOH dan dilakukan pengocokan terbentuk 2 fasa. Pengocokan bertujuan agar campuran terhomogenkan. Berdasarkan hail pengamatan, benzil alkohol dan NaOH terbentuk 2 fasa, hasil tersebut sesuai dengan teori, karena benzil alkohol memiliki pKa yang cukup tinggi mendekati etanol yaitu 15,4, artinya sifat keasamannya sangat kecil dan cenderung bersifat basa, sehingga sukar bereaksi dengan basa. Uji diatas mengikuti ketentuan dari teori asam basa Lewis, yaitu asam bertindak sebagai penerima pasangan elektron dan basa sebagai donor pasangan elektron. Sampel yang memiliki pKa tinggi tidak mampu atau sukar bereaksi dengan NaOH, karena nilai pKa yang tinggi menunjukkan sifat keasaman yang lemah. Sampel yang mengandung gugus hidroksil bertindak sebagai asam dan NaOH sebagai basa. Nilai pKa merupakan minus logaritma terhadap konsentrasi ion H+ dalam larutan, definisi ini menyebabkan konsentrasi yang lebih tinggi memberikan nilai yang lebih rendah, artinya pKa merupakan ukuran kelarutan suatu asam atau basa dalam pelarut. Jadi, benzil alkohol dan etanol yang memiliki pKa tinggi sulit menerima elektron dari NaOH karena sifat keasamannya yang rendah. Uji kedua yaitu untuk mengidentifikasi gugus hidroksil pada alkohol dan fenol. Sampel pertama yaitu etanol encer, yang kemudian ditambahkan FeCl3, menghasilkan warna larutan kuning muda. Hasil tersebut sesuai dengan teori, karena apabila alkohol ditambahkan FeCl3 maka tidak beraksi. Terbentuknya warna kuning menunjukkan bahwa di dalam etanol terdapat gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon alifatik maupun atom karbon tak jenuh. Sampel kedua yaitu fenol encer, ketika fenol ditambahkan FeCl3 terbentuk larutan berwarna ungu. Hasil tersebut sesuai dengan teori karena FeCl3 merupakan pereaksi yang digunakan untuk menguji keberadaan
134

fenol. Gugus hidroksil yang melekat langsung, pada aromatiuk terdeteksi oleh FeCl3, dibuktikan dengan terbentuknya larutan berwarna ungu. Terbentuknya warna ungu disebabkan karena adanya reaksi kompleks antara ion Fe3+ dengan gugus fenol. Uji ketiga yaitu uji iodoform. Pereaksi yang digunakan adalah Kristal iodium dan NaOH. Kristal iodium berfungsi untuk menguji ikatan antara gugus OH dengan rantai hidrokarbon, kemudian penambahan NaOH untuk mengetahui kekuatan ikatan tersebut setelah ditambah iodium. Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah penambahan NaOH yang paling banyak adalah nbutanol dan yang paling sedikit adalah etanol. Berdasarkan teori, seharusnya jumlah NaOH yang ditambahkan hingga warna coklat hilang paling sedikit adalah metanol. Karena metanol memiliki jumlah atom karbon yang paling sedikit, sehingga kekuatan ikatan antara gugus OH dengan rantai hidrokarbon tidak sekuat etanol, isopropanol dan n-butanol. Hasil pengamatan yang tidak sesuai dengan teori ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi antara lain pada saat penetesan NaOH ke dalam sampel, tidak menggunakan pipet dengan ukuran yang sama. Kedua, jumlah kristal iodium yang dimasukkan ke dalam tiap sampel berbedabeda. Ketiga, proses pengocokan yang kurang benar dapat mempengaruhi hasil, pengocokan seharusnya dilakukan sambil penambahan NaOH menghilangkan warna coklat, kemudian terbentuk warna kuning dan bau iodoform. Bau iodoform terdapat pada semua sampel, hal tersebut dikarenakan alkohol bereaksi dengan hidrogen halida menghasilkan alkil halida ditandai dengan larutan berwarna kuning, berarti terbukti pada tiap sampel mengandung iodoform. Alkohol dan fenol dalam bidang farmasi digunakan dalam pembuatan desinfektan, obat-obatan, zat pewarna, antiseptik, plastik, bahkan peledak. Salah satu contoh tanaman obat yang mengandung fenol adalah daun Achyranthes aspera.

135

G. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Alkohol dan fenol keduanya mempunyai gugus hidroksil yang terikat pada rantai hidrokarbon. 2. Gugus hidroksil pada alkohol terikat pada rantai hidrokarbon alifatik, sedangkan gugus hidroksil pada fenol terikat pada hidrokarbon aromatik. 3. Kekuatan ikatan hidroksil dengan rantai hidrokarbon dibuktikan dengan tes iodoform, urutan dari yang kekuatannya rendah ke tinggi adalah etanol < metanol < isopropanol < n-butanol.

136

PERCOBAAN IX IDENTIFIKASI ASAM KARBOKSILAT

A.

Tujuan Mempelajari dan memahami sifat-sifat senyawa organik dan reaksi yang terjadi pada asam karboksilat.

B.

Dasar Teori Asam karboklsilat adalah suatu senyawa yang mengandung gugus karboksil. Suatu istilah yang berasal dari karboksil dan hidroksil gugus karboksil:

O C H

O COH CO2H COOH

Gugus yang terikat pada gugus karboksil dalam suatu asam karboksilat bila gugus apa saja, bahkan bisa suatu gugus karboksil lain. Suatu molekul asam karboksilat yang mengandung gugus -OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena adanya ikatan hidrogen, asam karboksilat yang mengandung atom karbon satu sampai empat dapat bercampur lebih banyak kebanyakan larut sebagai:

H O R C O H O H
( Fessenden, 2010 ) Asam karboksilat juga membentuk ikatan hidrogen dengan molekul asam karboksilat lainnya dimana terjadi dua ikatan hidrogen diantara dua
137

gugus karboksilat. Dalam larutan yang tidak mempunyai ikatan hidrogen, asam karboksilat aromatik seperti benzena atau cincin piridin, tanpa cincin samping alkil tidak mudah dioksidasi (Fessenden, 2010). Asam karboksilat mempunyai gugus fungsional yang mengandung oksigen merupakan tapak reaktif dalam mengikat logam (Wahjudin, 2006). Golongan asam karboksilat memiliki karakteristik gugus fungsi C-H stretching alifatik, C-H bending alifatik, dan gugus karbonil (C=O), serta menyerap sinar UV-vis pada panjang gelombang maximum 290,1 nm yang kemungkinan disebabkan karena adanya transisi n- (Suirta, 2007). Dalam air asam karboksilat berada dalam kesetimbangan dengan ion karboksilat dan ion hirdoalum
O O

H + HOH Asam Karboksilat ( lebih lemah )

RCO + HOH ion karboksilat ion hidronium ( lebih kuat )

(Fessenden, 2010) Suatu ukuran dari kekuatan asam adalah besarnya ionisasi dalam air. Lebih besar jumlah terionisasi, maka lebih kuat asamnya. Asam karboksilat umumnya asam yang lebih lemah daripada H3O+ dalam larutan air, kebanyakan molekul asam karboksilat tidak terionisasi (Fessenden, 2010). Kekuatan asam dinyatakan sebagai konstanta asam Ka, kekuatan kesetimbangan ionisasi dalam air, konsentrasinya berubah sedikit sekali dan dianggap konstan dan termasuk dalam Ka. Hanya Ka yang lebih besar,berarti asam tersebut lebih kuat sebab konsentrasi RCO2- dan H+ lebih besar. (Fessenden, 2010) Ketika membandingkan keasaman asam karboksilat yang mempunyai gugus halida penarik elektron yang terikat dekat dengan gugus karbon karbonil, ingatlah aturan umum berikut ini:
138

1. Semakin banyak halida terikat pada molekul asam, makin kuat asam tersebut. 2. Semakin dekat letak ikatan atom halida terhadap gugus fungsional karboksilat, maka akan semakin kuat asam tersebut pada gugus karboksilat. (Bresnick, 2004) Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh asam karboksilat adalah: 1. Reaksi Pembentukan Garam Garam organik yang membentuk dan memiliki sifat fisik dari garam anorganik padatannya, NaCl dan KNO3 adalah garam organik yang meleleh pada temperatur tinggi, larut dalam air dan tidak berbau. Reaksi yang terjadi adalah: HCOOH + Na+ HCOONa + H2O 2. Reaksi Esterifikasi Ester asam karboksilat ialah senyawa yang mengandung gugus COOR dengan R dapat berbentuk alkil. Ester dapat dibentuk berkat reaksi langsung antara asam karboksilat dengan alkohol. Secara umum reaksinya adalah: RCOOH + ROH RCOOR + H2O 3. Reaksi Oksidasi Reaksi terjadi pada pembakaran atau oleh reagen yang sangat kokoh dan kuat seperti asam sulfat, CrO3, panas. Gugus asam karboksilat teroksidasi sangat lambat. 4. Pembentukan Asam Karboksilat Beberapa cara pembentukan asam karboksilat dengan jalan sintesa dapat dikelompokkan dalam 3 cara yaitu: reaksi hidrolisis turunan asam karboksilat, reaksi oksidasi, reaksi Grignat. (Fessenden, 1997) Asam karboksilat umumnya bersifat polar, tetapi kepolaran berkurang dengan bertambahnya rantai karbon. Semakin panjang rantai atom karbon, maka akan semakin berkurang kepolarannya, akibatnya kelarutan dalam air
139

juga akan semakin berkurang. Asam karboksilat juga dapat larut dalam pelarut yang kurang polar, seperti eter, alkohol, dan benzena. Kelarutan asam karboksilat di dalam pelarut yang kurang polar ini akan semakin tinggi dengan bertambahnya rantai karbon. Oleh karena itu, lemak dapat larut dalam benzena dan eter (lemak adalah eter dari asam karboksilat). Akibat kepolaran struktur dimer dari molekul asam karboksilat ini dapat menimbulkan titik didih dan titik beku yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alkohol dengan massa molekul yang relatif sama (Suranya, 2007). Ikatan utama pada polimer superabsorben adalah gugus hidrofilik karena terdiri dari gugus asam karboksilat (-COOH) yang mudah menyerap air. Ketika polimer superabsorben dimasukkan ke dalam air atau pelarut akan terjadi interaksi antara polimer dengan molekul zat (Swantomo, 2008).

140

C.

Alat dan Bahan 1. Alat a. Kaca arloji

b. Pipet tetes c. Plat tetes d. Rak tabung reaksi e. Sendok tanduk f. Tabung reaksi g. Timbangan analitik 2. Bahan a. Anilin b. Aquades c. Asam asetat d. Asam benzoat e. Asam salisilat f. Etanol g. Fenol h. Indikator universal i. NaOH 2N

D.

Prosedur Kerja 1. Uji Keasaman a. Dimasukkan asam salisilat, aquades, fenol, etanol, asam asetat dan anilin ke dalam plat tetes b. Diteteskan dengan menggunakan indikator universal c. Diamati perubahan yang terjadi dan ditentukan pH dari perubahan warna, dibandingkan dengan tabel indikator universal 2. Uji Kelarutan a. Diambil 3 buah tabung yang bersih dan kering b. Diisi tabung I dengan 0,2 gram asam benzoat, tabung II dengan asam salisilat dan tabung III dengan fenol
141

c. Ditambahkan NaOH 2N tetes demi tetes sampai asam-asam tersebut larut d. Dicatat jumlah tetesan NaOH untuk melarutkan asam

142

E.

Hasil Pengamatan 1. Tabel Hasil Pengamatan a. Tes Keasaman Sampel Air Suling Fenol Etanol Asam Asetat Asam Salisilat Anilin Pereaksi Indikator Universal Indikator Universal Indikator Universal Indikator Universal Indikator Universal Indikator Universal pH 4 3 5 <3 5 <3

b. Tes Kelarutan dalamNaOH Senyawa Asam Benzoat Replikasi 1 2 1 2 1 2 Jumlah TetesanNaOH 52 118 57 65 15 44

Asam Salisilat

Fenol

2.

Reaksi a. Asam Benzoat + NaOH


COOH + NaOH

143

O C O H + Na O H

COO- H+ + Na+ OH-

COONa + H2O

b.

Asam Salisilat + NaOH


OH + NaOH COOH

OH O C
OH + Na+ OHCOO- H+

+ Na O H

144

OH + H 2O COONa

c.

Fenol + NaOH
OH + NaOH

H + Na

O- H+ + Na+ OH-

ONa + H2O

Dinatrium Fenoksida

145

3. Urutan Tingkat Keasaman


OH

O
NH2

H3C

H2 C OH H

CH3

OH

OH

COOH

Anilin

Etanol

AirSuling

Fenol

Asam Asetat

Asam Salisilat

Semakin ke kanan, maka semakin kuat asamnya

4. Urutan Tingkat Kelarutan


OH

COOH

OH

COOH

Fenol

Asam Salisilat

AsamBenzoat

Semakin ke kanan, maka semakin mudah larut

146

F. Pembahasan Percobaan ini adalah tentang identifikasi asam karboksilat. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami sifat-sifat senyawa organik dan reaksi yang terjadi pada asam karboksilat. Sampel yang digunakan adalah anilin, asam asetat, asam benzoat, asam salisilat, aquades, etanol, dan fenol. Asam karboksilat adalah suatu senyawa yang mengandung gugus karboksil. Gugus karboksil adalah istilah yang berasal dari karbonil (C=O) dan gugus hidroksil (-OH). Gugus yang terikat pada asam karboksilat dapat mengandung gugus apa saja. Asam karboksilat dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul asam karboksilat lainnya. Asam karboksilat aromatik seperti asam benzoat atau asam salisilat tidak mudah dioksidasi. Pengujian pertama adalah penentuan tingkat keasaman senyawasenyawa organik termasuk asam karboksilat. Beberapa indikator asam basa yang sering digunakan di laboratorium antara lain kertas lakmus, fenolftalein (pH 8,3-10,0), dan metil merah (pH 3,2-4,4). Alat dan indikator yang digunakan dalam pengujian ini adalah plat tetes dan indikator universal. Indikator universal merupakan indikator yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi. Indikator universal terdiri atas berbagai macam indikator yang memiliki warna berbeda-beda untuk pH dari rentang 114. Cara kerjanya dengan memasukkan atau meneteskan larutan indikator universal ke dalam larutan yang hendak kita ketahui pH-nya. Warna yang terbentuk kemudian dicocokkan atau dibandingkan dengan warna standar yang sudah diketahui nilai pH-nya. Dengan mengetahui nilai pH maka dapat ditentukan apakah larutan bersifat asam, basa atau netral. Jika sampel berada pada suasana asam, larutan sampel yang ditambahkan indikator universal akan berubah warna cenderung ke warna merah, sedangkan jika sampel berada di suasana basa maka larutan sampel akan berubah warna cenderung ke warna biru. Sampel senyawa organik yang diteteskan indikator universal akan memberikan warna sesuai tingkat keasaman yang dimiliki. Sampel yang
147

memiliki tingkat keasaman tinggi berdasarkan hasil pengamatan adalah asam asetat, air suling, fenol, dan anilin, pH ketiga senyawa tersebut < 3 dimana suasana sangat asam. Selanjutnya sampel lainnya yaitu etanol dan asam salisilat menunjukkan nilai pH 5. Berdasarkan teori, tingkat keasaman senyawa organik dapat dilihat dari mudahnya melepas ion H+ dalam air dan membentuk basa konjugasi yang stabil. Apabila diurutkan berdasarkan teori tersebut maka urutannya dari yang paling asam adalah asam salisilat, asam asetat, fenol, aquades, etanol, dan anilin. Teori ini didasarkan pada nilai pKa dari masing-masing senyawa dimana semakin kecil nilai pKa, maka semakin kuat tingkat keasaman suatu senyawa. Nilai pKa senyawa dalam percobaan ini yaitu asam salisilat (pKa = 3,0), asam asetat (pKa = 4,75), fenol (pKa = 10), etanol (pKa = 16), dan anilin (pKb = 9,3). Sedangkan untuk aquades memiliki pH yang netral (pH = 7). Apabila dibandingkan dengan teori, hasil pengamatan yang dilakukan tidak sesuai dengan teori yang ada. Ketidaksesuaian ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu penambahan pelarut, warna dari sampel, serta pemberian indikator. Seperti pada fenol, larutan fenol didapat dari kristal fenol dengan dilarutkan dalam aquades. Penambahan aquades yang tidak sesuai akan menyimpangkan hasil pengukuran pH,selain itu pH aquades yang ditambahkan setelah diuji ternyata bersifat asam, berbeda dengan teori yang seharusnya bersifat netral.Hal ini bisa terjadi karena kondisi wadah tempat penyimpanan aquades yang tidak steril dan sesuai sehingga dimungkinkan kontaminasi dengan zat-zat lain yang dapat merubah sifat aquades.Warna dasar sampel seperti anilin yang seharusnya berwarna hijau kebiruan namun berwarna merah akibat warna dasar anilin yang berwarna merah. Selain itu juga penambahan tetesan indikator universal yang berbeda-beda pada setiap sampel akan memberikan pengukuran pH yang kurang akurat karena jumlah yang ditambahkan tidak sama banyak. Pengujian kedua adalah pengujian kelarutan dengan NaOH. Sampel yang digunakan adalah asam benzoat, asam salisilat, dan fenol. Larutan NaOH digunakan sebagai pereaksi yang akan menguji kelarutan sampel.
148

Sampel-sampel yang berupa padatan diteteskan NaOH hingga seluruh padatan larut. NaOH adalah senyawa basa yang termasuk dalam golongan basa kuat, sehingga apabila direaksikan dengan suatu asam, gugus hidroksil pada NaOH akan bereaksi dengan H+ membentuk air dan garam natrium yang mudah larut dalam air. Hasil pengamatan yang dilakukan sebanyak 2 kali. Pada replikasi I, asam benzoat memerlukan 52 tetes NaOH, asam salisilat memerlukan 53 tetes NaOH, dan fenol memerlukan 15 tetes NaOH. Pada replikasi II, asam benzoat memerlukan 118 tetes NaOH, asam salisilat memerlukan 65 tetes NaOH, dan fenol memerlukan 44 tetes NaOH. Data pada replikasi I dan II dikatakan tidak sesuai dengan teori. Menurut teori HSAB, suatu senyawa dikatakan semakin asam apabila dalam senyawa terdapat ikatan rangkap polar sehingga memiliki kutub positif yang dapat menarik pasangan elektron, seperti O=C(R)2. Bila dilarutkan dalam NaOH, semakin asam suatu senyawa maka akan semakin mudah larut dalam NaOH. Ketika suatu asam karboksilat bereaksi dengan basa maka reaksi tersebut akan menghasilkan garam natrium karboksilat dan menjadi larut dalam air. Pada asam benzoat, cincin benzena hanya terikat dengan gugus karboksil sehingga NaOH akan bereaksi, saat NaOH bereaksi dengan asam benzoat, atom H+ akan lepas dari gugus karbonil asam benzoat, dan bereaksi dengan gugus hidroksil dari NaOH membentuk air, dan Na+ akan bereaksi dengan COO- yang terikat pada benzena membentuk garam natrium benzoat yang lebih mudah larut, sehingga asam benzoat dapat terlarut dalam NaOH. Sedangkan pada asam salisilat terdapat gugus hidroksil dan karboksil, NaOH bereaksi dengan karboksil namun tidak bereaksi dengan hidroksil, gugus hidroksil pada NaOH akan menyerang atom H+ pada gugus karboksil (COOH) dari asam salisilat, bukan atom H+ dari gugus hidroksil pada asam salisilat. Ini dikarenakan pada gugus karboksil, atom O yang pada bagian gugus karbonil (C=O) bersifat elektrofilik atau suka akan elektron, sehingga atom O akan menarik elektron dari atom C menjadi bermuatan positif karena kekurangan elektron, sehingga untuk menstabilkan atom C, atom C
149

tersebut akan menarik elektron dari atom O yang berada disampingnya, sehingga atom O menjadi kekurangan elektron, untuk menstabilkan kembali atom O tersebut, atom O akan menarik elektron dari atom H sehingga atom H akan lepas dan atom O menjadi bermuatan negatif. Atom H yang lepas tersebut akan bereaksi dengan gugus hidroksil dari NaOH membentuk air, dan gugus COO- akan bereaksi dengan Na+ membentuk suatu garam natrium karboksilat. Adanya gugus hidroksil pada natrium salisilat menyebabkan sifat polar asam salisilat kurang sama dengan NaOH dan menjadi agak sukar melarut dalam NaOH bila dibandingkan kelarutan asam benzoat dalam NaOH. Sedangkan pada fenol, senyawa ini sukar melarut karena fenol kurang asam bila dibandingkan dengan asam salisilat dan asam benzoat sehingga fenol memiliki kelarutan yang kecil dalam NaOH. Fenol pada hasil pengamatan mudah larut karena mungkin disebabkan oleh sifat higroskopis dari fenol sehingga fenol hanya butuh sedikit NaOH karena fenol telah mencair terlebih dahulu akibat kontak dengan udara bebas. Berdasarkan teori tersebut, urutan kelarutan dari paling tinggi ke paling rendah dalam NaOH adalah asam benzoat, asam salisilat, dan fenol. Urutan tersebut didasarkan pada tingkat keasaman dari senyawa dimana semakin asam suatu senyawa maka akan semakin mudah larut dalam NaOH. Ketidaksesuaian hasil pengamatan yang dilakukan dengan teori disebabkan oleh beberapa kesalahan yaitu volume penetesan, karena volume tetesan dalam setiap tetes NaOH tidak sama, selain itu kemurnian dari sampel dan sifat-sifat sampel seperti mudah menguap dan higroskopis sehingga mempengaruhi kelarutan yang diinginkan dalam teori. Dalam bidang farmasi, pengujian asam karboksilat bermanfaat untuk mengetahui tingkat keasaman suatu senyawa, dimana hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada stabilitas suatu sediaan farmasi agar dapat menentukan tingkat kestabilan suatu sediaan.

150

G.

Kesimpulan Berdasarkan percobaan disimpulkan bahwa: 1. Urutan tingkat keasaman dari yang paling kuat hingga paling lemah adalah asam salisilat, asam asetat, fenol, aquades, etanol, dan anilin. 2. Urutan tingkat kelarutan dari yang mudah larut ke sukar larut dalam NaOH adalah asam benzoat, asam salisilat, dan fenol. yang telah dilakukan, maka dapat

151

Anda mungkin juga menyukai