Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PRESENTASI KASUS

BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE III


Anemia Hemolitik

Dr. Yulia F, Sp.M

Alvita Mega Kumala

G1A011056

Aqmarina Rachmawati

G1A011057

Ahmad Albera P

G1A011058

Arrosy Syarifah

G1A011059

JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
PURWOKERTO

2014

I. PENDAHULUAN

Identitas Penderita
Nama

:SS

Umur

: 10 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Tamansari RT 45

Agama

: Islam

Suku

: Madura

Pendidikan

: SD

Tanggal masuk RS

: 5 November 2014

No. RM

: 262149

Anamnesis
Keluhan Utama
Badan lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh seluruh badan terasa lemas. Keluhan dirasakan sejak
setengah bulan yang lalu. Awalnya pasien merasa pandangan berkunangkunang, kemudian merasa pusing. Pasien tidak memiliki riwayat perdarahan
sebelumnya, tidak sedang menstruasi tidak mual, tidak muntah. Pasien
mengeluh batuk, seperti berdahak tetapi tidak dapat keluar. Pasien mengeluh
saat malam hari sering menggigil, dan merasa badannya demam. Tetapi
hilang saat siang hari. Sebelum pasien merasa badannya lemas, pasien
mengaku sering demam. BAK 3-4x sehari, warna kuning kemerahan dan
BAB 1x/ hari normal seperti biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya sering merasa badannya lemas seperti sekarang
Riwayat Pengobatan
Pasien belum minum obat apa pun
Riwayat Alergi
Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami gejala penyakit seperti yang
dialami oleh pasien saat ini.
Riwayat Sosial Ekonomi Dan Lingkungan
Pasien tinggal bersama orang tua dan adik. Ayah pasien bekerja sebagai
buruh. Pasien sehari-hari makan dengan memasak ibu (tidak beli di luar).
Pasien minum dari air sumur yang dimasak terlebih dahulu. Mandi dan
mencuci di kamar mandi.
Kesan : keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan kurang
Riwayat Gizi
Pasien makan 2-3 kali dalam sehari. Menu yang sering dikonsumsi berupa
nasi, lauk pauk (tahu dan tempe) dan sayur. Selama sakit, nafsu makan
menurun.
Kesan : kebutuhan gizi kurang

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum :
Keadaan umum

: Lemah

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda tanda vital


Tekanan darah

: 100/60 mmHg

Nadi

: 86 x/menit

Temperatur

: 37,1C

Respiration Rate

: 20 x/menit

Kulit

: Turgor dan elastisitas kulit normal

Kelenjar limfe

: Tidak ada pembesaran limfe colli, aksila, dan

Inguinal
Otot

: Tidak terdapat atrofi otot

Tulang

: Tidak ada deformitas

Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
Bentuk

: lonjong, simetris

Rambut

: hitam, bergelombang, tidak mudah dicabut

Mata
Konjungtiva

: anemis +/+

Sklera

: ikterik -/-

Refleks pupil

: normal, pupil isokor 3mm/3 mm, refleks cahaya


+/+

Sekret : (-)
Telinga

: sekret (-), perdarahan (-)

Hidung

: tidak terdapat secret, tidak terdapat perdarahan, napas


cuping hidung -/-

Mulut: Sianosis (-), bau (-), mukosa mulut pucat (-)


Kesan: didapatkan pada kedua mata anemis
2. Leher
Inspeksi

: tidak tampak pembesaran KGB leher

Palpasi

: tidak teraba pembesaran KGB leher

Kesan: tidak didapatkan kelainan pada leher

3. Dada
Jantung
Inspeksi

: Ictus Cordis tak terlihat

Palpasi

: Ictus Cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas kanan : redup pada ICS IV PSL D


Batas kiri

Auskultasi

: redup pada ICS V MCL S

: S1S2 tunggal

Kesan: tidak didapatkan kelainan pada jantung


4. Pulmo

Kesan: tidak didapatkan kelainan pada paru


5. Abdomen

Inspeksi

: cembung

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: hepar/ lien/ ren tidak teraba

Perkusi

: timpani

Kesan : abdomen tidak ada kelainan


6. Anogenital

: Anus (+)

Kesan : anogenital tidak ada kelainan


7. Extremitas :
Atas

: Akral Hangat : + / +
Oedem

Bawah

:-/-

: Akral Hangat : + / +
Oedem

:-/-

Kesan: tidak ada kelainan pada ekstremitas

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Tambahan
Combs test
Direct

:+

Indirect

:+

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh
karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti degan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut,
penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat
dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120 hari
menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun bila sumsum tulang
tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia (Price,
2005).

B. Etiologi dan Presdiposisi


Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting
untuk terjadinya anemia hemolitik yaitu (Sudoyono et al., 2007):
1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler).
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu: a)
Kelainan membran, b) Kelainan molekul hemoglobin, c) Kelainan salah
satu enzim yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit. Sebagai
contoh, bila darah yang sesuai ditransfusikan pada pasien dengan
kelainan intra korpuskuler maka sel eritrosit tersebut akan hidup secara
normal, sebaliknya bila sel eritrosit dengan kelainan dengan kelainan
intra korpuskuler tersebut ditransfusikan pada orang normal, maka sel
eritrosit tersebut akan mudah hancur atau lisis.
2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu
disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal
ditransfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut
menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan

ekstra korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit


akan normal.
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan
anemia hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia
dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam
anemia hemolitik, diantaranya yaitu : a) leukemia, b) limfoma malignum,
c) gagal ginjal kronik, d) penyakit liver kronik, e) rheumatoid arthritis, f)
anemia megaloblastik.

C. Klasifikasi
1. Anemia Hemolitik Bawaan
a. Kelainan pada Membran Sel Eritrosit
1) Hereditary Spherositosis
Diturunkan secara autosom dominan, paling umum di
Eropa Utara disebabkan cacat protein struktural dari membran
sel darah merah / defek membran. Sumsum tulang membuat sel
darah merah normal yang bikonkaf tetapi sel darah kehilangan
membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio
permukaan sel terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih
sferis sehingga kurang elastic melalui mikrosirkulasi dimana
sferosit pecah lebih dini. Didapatkan dari tes khusus yaitu:
Fragilitas

osmotik

meningkat,

autohemolitik

meningkat,

coombs direct test negatif, dan Cr51 destruksi oleh limpa


terbanyak.

Gambar 1. Panah hitam menunjukan bentuk Serositosis

2) Hereditary Ellipstositosis

Gambar 2. Herediter Elliptositosis


3) Abetalipoproteinemia ( Acanthositosis )
4) Hereditary Stomacytosis

Gambar 3. Panah hitam menunjukan Herediter Stomacytosis

5) Defisiensi Lecithin-cholesterol acyl Transferase (LCAT)


6) Hereditary Pyropoikilositosis
7) High Phosphatydil-choline Hemolitik Anemia
8) Rh-nul Diseases
9) McLeod Phenotype
b. Defisiensi Enzim Glikolitik Eritrosit
1) Pyruvate Kinase C
2) Hexokinase
3) Glucose-phosphat Isomerase
4) Phosphofruktokinase
5) Triosephosphate Isomerase
6) Phosphoglyserate Kinase

c. Kelainan Metabolisme Nukleotida Eritrosit


1) Defisiensi Pyrimidine 5 nukleotidase
2) Adenosine Deaminase Excess
3) Defisiensi Adenosine Triphosphatase
4) Defisiensi Adenylate Kinase
d. Defisiensi dari Enzim yang terlibat dalam Metabolisme Pentose
Phosphate Pathway dan Glutatione
1) Glucose 6 Phosphate Dehyrogenase (G6PD)
2) Glutamyl-Cystein Synthetase
3) Glutathione Synthetase
4) Glutathione Reduktase
e. Kelaianan Sintesis dan Struktur Hemoglobin
1) Unstable Hemoglobin Disease
2) Sickle Cell Anemia
3) Hemoglobinopathies Homozygote (CC,DD,EE)
4) Thalassemia Mayor
5) Hemoglobin-H Disease
6) Double Heterozygous Disorders (SC-Dis Sickle-Thalass)
2. Anemia Hemolitik Didapat
a. Immuno-hemolytic Anemia
1) Incompatible Blood Transfusion
2) Hemolytic Disease of the Newborn
3) Anemia Hemolitik Autoimmune yang disebabkan Antibodi
Reaksi Hangat (Warm-Antibody)
a) Idiopatik
b) Sekunder
1. Infeksi Virus dan Mikoplasma .
2. Lyn1phosarcome
3. Immune Deficiency State
4. SLE dan Penyakit Autoimun yang lain
5. Penyakit Keganasan yang lain
c) Drug-induced.

4) Anemai Hemolitik Autoimmune yang disebabkan Antibodi


Reaksi Dingin (Cold-Antibody )
a) Cold Hemaglutinin Disease
1. Idiopatik
2. Sekunder
b) Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
b. Anemia Hemolitik Mikroangiopatik dan Traumatik
1) Prosthetic Valve dan Kelainan jantung yang lain
2) Hemolitik -Uremia Syndrome
3) Trombotic Trombositopenia Purpura
4) DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation )
5) Hubungannya

dengan

Phenomena

Immunologic

(Graft-

rejection, Immune-complex Disease)


c. Infektious .
1) Protozoa: Malaria, Toxoplasma, Lheismaniasis,Trypanosomiasis
2) Bakteri: Bartonellosis, Infeksi Clostridial, Kolera, Typhoid
Fever dan lain-lain.
d. Zat Kimia, Obat dan Racun Bisa
1) Zat Kimia dan Obat-obat Oksidan
a) Napththalene
b) Nitrofurantoin
c) Sulfonamide
d) Sulfones
e) Para-aminosalicylate
f) Phenacetin
g) Phenylsemicarbazide
h) Resorcin
i) Phenylhydrazine
j) Aniline
k) Hydroxilamine
l) Nitrobenzene
m) Phenolderivate

n) Chlorates
o) Molekuler Oxygen
2) Zat Kimia Non-Oksidan
a) Arsine
b) Copper
c) Water
d) Hubungannya dengan Dialisis dan Uremia.
e) Venoms
e. Physical Agent
1) Thermal Injury
2) Ionizing Irradiation
f. Hypophosphatemia
g. Spur-cell Anemia pada Penyakit Hati .
h. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria ( PNH )
i. Defisiensi Vit.E pada Newborn

D. Epidemiologi
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat
berpengaruh di Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis
mengenai demua jenis etnis namun pada ras non kaukasian tidak diketahui.
Sferositosis herediter paling sering diturunkan secara dominan autosomal.
Pada beberapa kasus, sferositosis herediter mungkin disebabkan karena
mutasi atau anomali sitogenik (Schumacher et al., 2000).
Di Amerika, prevalensi eliptospirosis kira-kira 3-5 per 10.000.
eliptospirosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Eliptospirosis
sering terjadi pada daerah dengan endemik malaria. Di Afrika ppada area
ekuator, eliptospirosis terjadi sekitar 20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini
ditemukan pada Asia Tenggara yang ditemukan sekitar 30% darai populasi.
Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal (Schumacher et al., 2000).
Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi
terjadi pada daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350

varian. Ada banyak variasi pada expresi klinis pada varian enzim
(Schumacher et al., 2000).
Talasemia merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling
sering terjadi di dunia, sangat umum terjadi di sepanjang sabuk talasemia
yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Gen talasemia
sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik
manusia yang paling prevalen. Di beberapa Asia Tenggara sebanyak 40%
dari populasi memiliki satu atau lebih gen talasemia. Daerah geografi dimana
talasemia merupakan prevalen yang sangat paralel dengan Plasmodium
falciparum dulunya merupakan endemik (Schumacher et al., 2000).
Insiden anemia hemolitik autoimun kira-kira 1 dari 80.000 populasi.
Pada perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi
peningkatan pada umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang
hidup (Schumacher et al., 2000).
Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah
eritroblastosis fetalis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh trnsfer
transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia
hemolitik isoimun. Eritroblastosis fetalis disebut Hemolitik Disease of the
Newborn (HDN) (Childrens Hospital of Pittsburgh of UPMC, 2012).

E. Patogenesis dan Patofisiologi


Terjadinya

anemia

hemolitik

memiliki

prinsip

dasar

berupa

peningkatan pemecahan eritrosit. Adapun patomekanismenya terdiri dari :


1. Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem
retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel
ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit
mengalamai kerusakan masa hidup eritrosit <120 hari, baik di
membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit
dilisis oleh makrofag, maka akan pecah menjadi globin dan heme. Globin
akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti akan
pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk
disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan

terurai menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan
berikatan dengan albumin membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I),
mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin II),
dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di
feses dan urobilinogen di urin ikterik
2. Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit
mengalami lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma,
namun

haptoglobin

dan

hemopektin

akan

mengikatnya

dan

menggiringnya ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun


jika hemolisisnya berat jumlah haptoglobin turun, hemopektin
turun dan

kadar Hb <7mg/dl. Akibatnya, beredarlah hemoglobin

bebas dalam darah (hemoglobinemia/urin merah kecoklatan). Jika hal


ini terjadi, Hb tersebut akan teroksidasi menjadi methemoglobin,
sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di
glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa
hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel
epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu
saat epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin
tersebut ke urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda
hemolisis intravaskuler kronis.
3. Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer
akan memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang
eritropoiesis di sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan dipaksa
untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan retikulosit(sel eritrosit
muda) dalam darah retikulosis hepatomegali, splenomegali,
polikromasia.

F. Penegakan Diagnosis
Untuk

membantu

menegakkan

diagnosis

anemia

hemolitik

pemeriksaan laboratorium memegang peranan yang sangat penting sekali,


selain pemeriksaan klinis dan fisik diagnostik, diagnosis hanya dapat

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan


laboratorium.
Kelainan fisik diagnostik yang umumnya didapat adalah berupa
adanya: a) anemia, b) ikterus dan c) pembesaran limpa (splenomegali) akan
memberikan kesan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Secara garis besar
kemungkinan anemia hemolitik dapat kita pertimbangkan bila pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti tersebut
dibawah ini yaitu (Handayani & Andi, 2008):
1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan
sel eritrosit yang berlebihan.
2. Kelainan laboratorium yang hubungannya dengan meningkatnya
kompensasi dalam proses eritropoesis.
3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat
diagnosis banding dari anemia hemolitik. Kelainan laboratorium yang
menunjukkan adanya tanda-tanda meningkatnya proses penghancuran
dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa
(Handayani & Andi, 2008):
a. Berkurangnya umur sel eritrosit.
Umur eritrosit dapat diukur dengan menggunakan Cr-Labeled
eritrosit, pada anemia hemolitik umur eritrosit dapat berkurang
sampai 20 hari. Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita
lihat dari tingkat anemia, ikterus dan retikulositosis yang terjadi,
oleh sebab itu pemeriksaan umur eritrosit ini bukan merupakan
prosedur pemeriksaan rutin untuk menegakkan diagnosis anemia
hemolitik.
b. Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
1) Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
2) Meningkatnya pembentukan CO yang endogen.
3) Meningkatnya kadar billirubin darah (hiperbillirubinemia).
4) Meningkatnya ekskresi urobillinogen dalam urin.
4. Meningkatnya kadar enzim Lactat Dehydrogenase (LDH) serum.

a. Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan
sel eritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.
b. Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang
isoenzim LDH-1 akan meninggi pada anemia megaloblastik.
5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu (Mehta,
2004):
a. Hemoglobinemia (meningkatnya kadar Hb.plasma).
b. Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
c. Hemoglobinuria (meningkatnya Hb.urin).
d. Hemosiderinuria (meningkatnya hemosiderin urin).
e. Methemoglobinemia.
f. Berkurangnya kadar hemopexin serum.
Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya
proses eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu (Handayani & Andi,
2008):
1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya:
a. Retikulositosis ( polikromatopilik, stipling )
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung
ribosom, pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan pengecatan
Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,82,5 % pada
pria dan 0,84,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi
dengan rasio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit
absolut dapat dihitung dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan
jumlah eritrosit. Perlu juga dihitung Retikulosit Production Index ( RPI )
yaitu:

Sebagai contoh nilai RPI : 5, ini menunjukkan adanya


peningkatan pembentukan eritrosit 5 kali dari normal.

b. Makrositosis
Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai
Mean Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
c. Eritroblastosis
d. Leukositosis dan trombositosis
2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
3. Ferrokinetik :
a. Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
b. Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
4. Biokimiawi darah :

Meningkatnya kreatin eritrosit

Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya


yaitu: urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT.

Tanda-tanda laboratorium lain yang digunakan untuk membuat diagnosis


banding diantaranya yaitu (Mehta, 2004):
1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi yang
sering kita lihat adalah bentuk:
a. Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik
anemia didapat, thermalinjury, hypophosphatemia, keracunan zat kimia
tertentu.
b. Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada
abetalipoproteinemia.
c. Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
d. Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada
keadaan penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada keracunan
alcohol.
e. Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan
post-splenektomi.
f. Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
g. Sickle Cell.
h. Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya
dengan trauma pada sel eritrosit.

2. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik sel


yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada
permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced komplement fixing
antibody, protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat kimia tertentu.
3. Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit
cold aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus dibedakan dengan
rouleaux formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan hal ini
sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah ( LED )
4. Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi
lisis oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline hipotonik
dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis mulai terjadi
pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna terjadi pada
konsentrasi 0730-0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility (MCF) yang
meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva ke kiri hal ini ada
hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF yang menurun
(fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat) maka kurva akan
bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada thalassemia, sickle cell
anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain osmotik fragiliti sitosis
penting dalam menentukan adanya kelainan morfologi eritrosit.8,12
Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan
mendapatkan informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap pasien
serta dari hasil pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan Antiglobulin Test
(Coombs Test) , dari data ini dapat kita bedakan lima grup pasien yaitu
(Karnath, 2004):
1. Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap
infeksi , zat kimia dan kontak fisik .
2. Hasil pemeriksaan Coombs Test positif menunjukan Anemia Hemolitik
Autoimune (AlHA).
3. Hasil pemeriksaan Coombs Test negatif kemungkinan adanya anemia
hemolitik spherositik yaitu pada hereditary spherositosis.
4. Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle
sel anemi .

5. Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan
morfologi eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan tambahan
yaitu Hemoglobin elektroforese dan heat denaturation test untuk unstable
hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan laboratorium tersebut diatas
menunjukan hasil normal maka diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit,
kelainan enzym-enzym eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang
kali dijumpai, namun perlu dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit
tersebut diantaranya yaitu enzim Glukose 6-phosphat dehydrogenase
dengan pemeriksaan secara enzimatik.

G. Penatalaksanaan
Orang dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak
membutuhkan pengobatan khusus selama kondisinya tidak jelek. Seseorang
dengan anemia hemolitik berat biasanya membutuhkan pengobatan
berkelanjutan. Anemia hemolitik yang berat dapat menjadi fatal jika tidak
diobati dengan tepat.
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:
a. Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
b. Meningkatkan jumlah sel darah merah
c. Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pengobatan tergantung pada tipe, penyebab dan beratnya anemia
hemolitik. Dokter mungkin mempertimbangkan umur, kondisi kesehatan dan
riwayat kesehatan.
Transfusi darah
Transfusi diberikan untuk mencegah komplikasi dari anemia berat
yang dapat menyebabkan gagal jantung. Pemberian oksigen saja belum cukup
apabila dilakukan tanpa transfusi. Pemberian transfusi harus dilakukan secara
hati-hati dan butuh pemantauan yang cukup ketat, karena pasien biasanya
akan mengalami inkompatibel cross-match. Pada kasus dimana transfusi
sangat dibutuhkan, apabila tidak cocok secara penuh, harus tetap diberikan.
Jumlah yang diberikan adalah 0,5-1 unit. Pemberian transfusi secara
berlebihan dapat menyebabkan peningkatan beban jantung. Pada pasien

dengan Rh negative cenderung bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan


yang memiliki Rh positif (Hoffman et al, 2012).
Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik,
khususnya anemia hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti
prednison dapat menekan sistem imun atau membatasi kemampuannya untuk
membentuk antibodi terhadap sel darah merah. Respon klinis dari pemberian
prednisone adalah menonaktifkan makrofag, inaktivasi C3b, atau eritrosit
yang disemlimuti oleh C3b. Kortikosteroid berefek pada ekspresi dan fungsi
dari Fc reseptor makrofag. Hal ini terjadi karena mekanisme prednison yang
mengurangi sistem imun. Prednison dapat mengurangi produksi auto antibodi
tetapi setelah beberapa minggu pemakaian. Efek samping dari penggunaan
prednison sering terjadi karena penggunaan yang jangka panjang dari
prednison. Osteoporosis, miopati, perubahan psikis, imunosupresi, dan risiko
perdarahan lambung sering terjadi (Meyer et al., 1997).
Splenektomi
Pada beberapa tahun ini splenektomi sudah dilakukan untuk terapi.
Teknik laparoskopik splenektomi telah dilakukan. Indikasi dilakukannya
splenektomi termasuk kegagalan terapi dengan prednisone yaitu telah
mencapai dosis lebih dari 20mg/hari ataupun munculnya efek samping dari
kortikosteroid. Prosedur ini cukup menjanjikan karena dapat mengurangi
destruksi dari eritrosit. Pada banyak kasus AIHA yang mengenai dewasa
muda, permintaan splenektomi banyak dilakukan. Akan tetapi pada pasien
dengan AIHA stabil, terapi dengan prednisone dosis 10mg/hari bisa menjadi
pilihan yang baik. Risiko infeksi banyak terjadi pada pasien berusia kurang
dari 6 tahun (Hoffman et al, 2012).
Plasmapheresis
Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi
dari darah. Pengobatan ini mungkin membantu jika pengobatan lain untuk
anemia imun tidak bekerja.
Operasi

Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan


operasi untuk mengangkat limpa. Limpa pada orang normal yang sehat
membantu melawan infeksi dan menyaring sel darah yang telah tua dan
menghancurkannya.

Pembesaaran

atau

penyakit

pada

limpa

dapat

menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jumlah yang normal
sehingga menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat menghentikan atau
menurunkan jumlah sel darah merah yang mengalami destruksi (Hoffman et
al, 2012).
Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang
tidak dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang
terbentuk dapat dihancurkan sebelum waktunya. Transplantasi darah dan
sumsum tulang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis
anemia hemolitik ini.transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan
stem sel yang sehat dari donor (Hoffman et al, 2012).
Perubahan pola hidup
Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif
terhadap dingin, coab untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir
dengan defisiensi G6PD harus menghindari hal yang dapat mencetuskan
anemia misalnya fava beans, zat oksidan, dan obat-obatan tertentu (Hoffman
et al, 2012).

KESIMPULAN

1. Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena pemecahan yang


berlebihan dari sel eritrosit (hemolisis) tanpa diikuti oleh kemampuan yang
cukup dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit dalam mengatasi
hemolisis yang berlebihan tersebut, sumsum tulang akan mengalami
hiperplasia.
2. Ada dua faktor yang mempengaruhi hemolisis yaitu: a) Faktor Instrinsik
(intra korpuskuler), kelainan terutama pada sel eritrosit, sering merupakan
kelainan bawaan, kelainan terutama pada enzim eritrosit, b) Faktor Ekstrinsik
(ekstra korpuskuler) kelainan umumnya didapat (acquired) dan biasanya
merupakan kelainan imunologi.
3. Klasifikasi dan etiologi anemia hemolitik yaitu: a) Penyakit hemolitik yang
diturunkan (Inherited Hemolytic Disorders) biasanya merupakan kelainan
membran, enzim glikolitik, kelainan metabolik nukleotida, defisiensi enzim
pentosa-phosphat, kelainan sintesis dan struktur eritrosit, b) Anemia
hemolitik didapat (Acquired Hemolitic Anemia): anemia hemolitik imun,
anemia

mikroangiopatik,

infeksi,

zat

kimiawi,

physical

agent,

hypophosphospatemia, defisiensi vitamin E, defisiensi pada newborns.


4. Pemeriksaan laboratorium yang penting diantaranya yaitu: a) Hitung sel
darah secara lengkap, b) Osmotic Fragility Test, c) Pemeriksaan biokimiawi
dan d) Pemeriksaan imunologi.
5. Pada kasus anak tersebut menderita anemia hemolitik autoimun. Tatalaksana
yang dilakukan yaitu dengan pemberian kortikosteroid (prednison),
splenektomi, imunosupresif (azathioprin) atau dapat dilakukan transfusi

DAFTAR PUSTAKA

Hoffman. R., Benz E. J., Shattil S. J., Furie B., Silberstein L. E., McGlave P.,
Heslop H. 2009. Haematology Basic Principle and Practice 5th edition.
New York: Elseiver
Meyer. O., Stahl D., Beokhove P., Huhn D., Salama A.1997. Pulsed High-dose
Dexamethasone in Chronic Autoimmune Haemolytic Anemia of Warm
Type. British Journal of Haematology. Vol. 98: 860-862
Schumacher, Harold R; Rock, William A; Stass, Sanford A, 2000. Handbook
Hematologic Phatology. New York: Marcel Dekker Inc
Childrens Hospital of Pittsburgh of UPMC, 2012. Hemolytic Disease of
Newborn Available from http://www.chp.edu
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I., et al. 2007. Anemia Hemolitik. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FK UI; 1862-5
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC. hal 98-125.
Handayani W dan Andi S. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Mehta BC, 2004. Approach to a patient with anemia. Indian J Med Sci;58:26-9.
Karnath BM, 2004. Anemia in the adult patient. Hospital Physician:32-6.

Anda mungkin juga menyukai