1 Penepungan
1 Penepungan
Oleh
Nama
NRP
Kelompok
Meja
Tanggal Praktikum
Asisten
: Pika Apriyance
: 113020094
:E
: 4 (Empat)
: 15 April 2012
: Mugni Sri Novia
I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Percobaan,
(2) Tujuan Percobaan, dan (3) Prinsip Percobaan.
1.1. Latar Belakang
Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif
produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah
dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih
cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba praktis.
Prosedur pembuatan tepung sangat beragam dibedakan berdasarkan sifat dan
komponen kimia bahan pangan. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu bahan pangan yang tidak mudah menjadi coklat apabila
dikupas (kelompok serealia) dan bahan pangan yang mudah menjadi coklat
(kelompok aneka umbi dan buah yang kaya akan karbohidrat) (Widowati, 2009).
Serealia dan umbi-umbian banyak tumbuh di Indonesia. Produksi serealis
terutama beras sebagai bahan pokok dan umbi-umbian cukup tinggi. Begitu pula
dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan akan serealis dan umbi-umbian
sebagai sumber energi pun terus meningkat. Tanaman dengan kadar karbohidrat
tinggi seperti halnya serealia dan umbi-umbian pada umumnya tahan terhadap
suhu tinggi. Serealia dan umbi-umbian sering dihidangkan dalam bentuk segar,
rebusan atau kukusan, hal ini tergantung dari selera.
Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk
mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya
olahan kering yang mempunyai masa jual panjang seperti alen-alen, miler,
kerupuk tette dan lain-lain.
Salah satu cara yang digunakan untuk menghindari berbagai kerusakan dan
untuk memperpanjang masa simpan adalah dengan cara pengeringan dan
penepungan.
Pengeringan
merupakan
metode
pengawetan
bahan
pangan
dengan
menurunkan kadar air. Secara tradisional, bahan pangan dikeringkan dengan sinar
matahari tetapi saat ini beberapa bahan pangan didehidrasi di bawah kondisi
pengeringan yang terkendali dengan menggunakan aneka ragam metoda
pengeringan (Buckle, 1987).
Tepung merupakan bahan pangan yang awet disimpan dan bersifat luwes
untuk diolah menjadi berbagai jenis produk makanan. Secara komersial bentuk
tepung mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam sistem
agroindustri, oleh karena itu perlu dilakukan perakitan teknologi pengolahan
tepung ubi kayu atau singkong (Damardjati, et al., 1993).
1.2. Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menurunkan kadar air pada bahan
pangan sampai batas tertentu sehingga meminimalkan serangan mikroba atau
enzim dan insekta perusak dan menghasilkan bahan siap diolah lebih lanjut.
1.3. Prinsip Percobaan
Prinsip dari percobaan ini berdasarkan perpindahan panas secara konduksi dan
konveksi. Pengurangan kadar air sampai batas tertentu dan diteruskan dengan
proses reduksi sampai berukuran 100 mesh hingga bahan berbentuk tepung.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
penggilingan,
pengayakan,
penimbangan,
pengemasan
dan
dilakukan pengamatan.
Sortasi (pemilihan) dilakukan untuk memilih ubi kayu yang benar-benar bagus
fisiknya, dan mulus (tidak cacat). Jika cacat atau busuk maka tepung yang
dihasilkan tidak bagus.
Setelah dilakukan sortasi bahan, kemudian dilakukan proses trimming yaitu
pembersihan ubi kayu dari kotoran dan bagian yang tidak diperlukan lainnya.
Setelah itu dilakukan pencucian dengan air agar bahan terbebas dari kotoran yang
menempel pada ubi kayu. Pengirisan/reduksi ukuran dilakukan setelah pencucian.
Menurut Brennan (1974), reduksi ukuran adalah pemecahan bahan menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil, dimana proses pengecilan ukuran merupakan
suatu proses yang penting dalam industri pangan. Tujuan pengecilan ukuran ini
adalah untuk memperbesar luas permukaan bahan yang membantu dan
memperlancar proses, dalam hal ini mempercepat waktu pengeringan bahan dan
mempercepat proses blanching.
Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu blanching:
1. Tipe dari buah-buahan dan sayuran
2. Besarnya ukuran potongan makanan
3. Temperatur blanching
4. Metode Pemanasan
Blanching dapat digunakan menjadi dua metode, yaitu dengan menggunakan
bak air panas dan dengan menggunakan uap panas (Fellows, 1990).
Perendaman dengan Na2S2O5 untuk memucatkan tepung sehingga dapat
mencegah kerusakan pada warna bahan akibat pengeringan. Na2S2O5 merupakan
salah satu bahan tambahan makanan yang cukup efektif dan sering digunakan
untuk mempertahankan mutu dan mengawetkan produk yang dihasilkan selama
jenis
kerusakan yang sering terjadi sewaktu bahan tersebut masih dalam keadaan segar.
Selain itu bahan pangan yang berbentuk tepung lebih efesien dan efektif dalam hal
pengemasan dan transportasinya, karena volume bahannya menjadi lebih kecil
dan dapat memperpanjang masa simpannya (Winarno, 1992).
Standar ukuran partikel bahan yang berbentuk tepung yaitu 100 mesh,
sedangkan untuk ukuran partikel bahan yang berbentuk serbuk atau bubuk yaitu
berkisar antara 60-80 mesh. Kadar air yang masih tinggi pada produk tepung
adalah merupakan penyebab utama terjadinya proses kerusakan pada tepung. Hal
ini dapat diketahui dengan bersatunya partikel antara butiran tepung yang ditandai
dengan terjadinya poses penggumpalan. Kadar air yang sesuai untuk tepung yaitu
berkisar antara 4 11 % (Dep.Kes.RI., 1989).
Pengeringan dapat berlangsung apabila ada energi panas yang di berikan pada
bahan yang akan dikeringkan, juga aliran udara yang berfungsi untuk mengalirkan
uap air yang terbentuk supaya cepat keluar dari daerah pengeringan pengeluaran
uap air dapat pula dilakukan secara vakum. Pengeringan dapat dilakukan dengan
baik jika pemanasan terjadi secara merata atau menyebar pada setiap tempat dari
dikeringkan. Keadaan ini diterapkan pada spray drying dimana diameter partikel
atau penyemprotan hanya beberapa micron.
c. Unit Pemuatan
Beberapa hal penambahan muatan bahan basah pada rak pengeringan
dengan meningkatkan ketebalan potongan bahan, sehingga akan mengurangi
kecepatan dari pengeringan.
Perbedaan rasio muatan denga luas permukaan akan menurun selama
pengeringan berlangsung karena penyusutan volume. Struktur lapisan pada rak
akan lebih terbuka dan lebih tipis sehingga pengeringan terjadi pada seluruh
lapisan. Kapasitas pengeringan rak, yaitu berat basah yang dapat dikeringkan
persatuan waktu naik dari nol pada waktu tanpa muatan sampai maksimum pada
satuan muatan intermedit (Wirakartakusumah, 1992).
2. Faktor eksternal
a. Depresi Bola Basah
Depresi bola basah, yaitu perbedaan suhu udara (suhu bola kering) dengan
suhu bola basah, merupakan faktor eksternal paling penting dalam pengeringan.
Jika depresi bola basah udara yang melewati bahan nol, berarti udara jenuh dan
tidak akan terjadi pengeringan. Jika depresi bola basah besar, maka potensial
pengeringan tinggi dan kecepatan pengeringan pada tahap awal maksimum.
b. Suhu Udara
Jika depresi bola basah dijaga konstan pada berbagai suhu bola basah,
kecepatan pengeringan tahap awal hampir sama. Pada tahap selanjutnya,
kecepatan akan bertambah tinggi pada suhu udara yang lebih tinggi karena pada
kadar air yang rendah pengaruh penguapan terhadap pendinginan udara dapat
diabaikan dan pada suhu bahan mendekati suhu udara. Distribusi air dalam bahan
yang mempengaruhi kecepatan pengeringan pada tahap ini akan bertambah cepat
dengan meningkat suhu pengeringan.
c. Kecepatan Aliran Udara
Laju pengeringan bahan seperti halnya pada penguapan dari permukaan air
tergantung kecepatan udara yang melewati bahan. Pengaruh perbedaan kecepatan
sangat nyata pada kecepatan udara beberapa ratus kaki per menit. Peningkatan
kecepatan udara pada kisaran 1000 kaki per menit kecil pengaruhnya terhadap laju
pengeringan (Wirakartakusumah, 1992).
Pengeringan merupakan cara untuk menghilangkan sebagian besar air dari
suatu bahan dengan bantuan energi panas dari sumber alam (sinar matahari) atau
buatan (alat pengering). Biasanya kandungan air tersebut dikurangi sampai batas
dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi. Sedangkan dehidrasi adalah merupakan
pengurangan kadar air pada bahan pangan samapai mendekati titik nol, sehingga
tidak ada mikroba, enzin atau insekta yang dapat merusak prosuk tersebut
sehingga produk pangan tersebut akan lebih lama umur simpannya (Annonim,
2014)
Pada proses penepungan ini terjadi perubahan fisik dan perubahan kimia.
Perubahan fisik dapat diketahui dari ukuran, bentuk, dan tekstur. Sebelum diolah
menjadi tepung, ubi kayu ini memiliki ukuran yang besar dan panjang, dan
teksturnya pada bagian memanjang, halus, dan sedikit licin. Sedangkan pada
bagian atasnya sedikit kasar. Sedangkan setelah diolah ubi kayu menjadi tepung
ubi kayu yangmemiliki ukuran kecil kecil namun seragam yaitu antara 80 100
mesh, bentuknya juga seragam yaitu secara kasat mata terlihat bulat, dan
teksturnya juga halus. Sedangkan perubahan kimia yang terjadi adalah yaitu dari
kandungan air yang berkurang pada proses pengeringan, kemudian terjadinya
raksi beta karoten oleh larutan Na2S2O5, selain itu keluarnya senyawa senyawa
aromatik saat bahan diblanching, juga terjadinya gelatinisasi pada ubi kayu ketika
diblanching yang menyebabkan tekstur ubi kayu tersebut menjadi lunak (Angga,
2008).
Proses saat pembuatan tepung singkong, hal yang perlu diperhatikan yaitu
bahaya yang dapat muncul pada proses dan membuat mutu dari produk tersebut
menjadi kurang baik. CCP (critical control point) dimana merupakan bahaya
yang muncul saat proses dimana perlu ada pengendalian atau tindak lanjut agar
produk yang dihasilkan sesuai dan tidak gagal.
CCP pada pengeringan adalah dengan menggunakan suhu tinggi, agar proses
pengeringan berjalan dengan cepat, karena semakin tinggi suhu udara maka proses
pengeringan akan semakin cepat. CCP pada perendaman dengan Na 2S2O5
dilakukan tidak terlalu lama, karena harus sesuai dengan prosedur hal itu
disebabkan karena dapat memperpucat warna bahan sehingga terlihat tidak
menarik.
Pada proses penggilingan singkong dilakukan pada saat bahan dingin, ini
dilakukan karena jika dalam keadaan panas maka tepung yang dihasilkan akan
menggumpal sehingga menghambat proses pengolahan.
Natrium metabisulfit merupakan antioksidan. Menurut Tranggono (1986),
antioksidan
merupakan
suatu
senyawa
yang
mempunyai
sifat
dapat
warna krem, sedikit aroma singkong, tekstur halus, kenampakan keruh , dan
sedikit terasa singkong. Pembuatan tepung dengan cara direndam dengan air
didapatkan berat produk 52 gram dengan persentase produk 30,04%, dan lost
product sebanyak 0,9 gram, secara organoleptik tepung singkong mempunyai
warna agak putih(krem) , aroma khas singkong tidak begitu terasa, tekstur halus,
kenampakan agak keruh, dan rasa khas singkong begitu terasa.
4.2 Saran
Berdasarkan percobaan pembuatan tepung pisang kepok dapat disarankan
yaitu setelah diiris bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung harus
segera diberikan perlakuan misalnya direndam dengan air agar tidak terjadi
browning enzimatis, dan sebaiknya diiris setipis mungkin agar proses pengeringan
dapat berlangsung dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
(2014),
Tepung
Diakses : 18 April 2014.
Singkong,
http://warintek.progressio.or.id.
Anonim, (2014), Ketela Pohon atau Singkong, http://www.bptp-jatimdeptan.go.id/ temp/tepung%20kasava.pdf. Diakses : 18 April 2014.
Anonim,
(2014),
Singkong,
Diakses : 18 April 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong.
Anonim,
(2014),
Perbedaan
pengeringan
dan
dehidrasi,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16183/3/Chapter%20II.pdf .
Diakses : 18 April 2014.
Brennan, J.G, et. Al, (1969), Food Engineering Operations, Applied Science
Publishers Limited, London.
Buckle, K.A., R.A. Edwards., G.H. Fleet., M. Wootton., (1987), Ilmu Pangan,
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Damardjati, D.S., S. Widowati dan Suismono, (1993), Sistem Pengembangan
Agroindustri Tepung Kasava Di Pedesaan (Studi Kasus di Kabupaten
Ponorogo). Disampaikan pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.
Bogor, (Buku IV).
Dep.Kes.RI., (1989),
Kodeks Makanan Indonesia, Direktur Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
Desrosier, Norman W., (1988), Teknologi Pengawetan Pangan, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Fellows. P.J.,(1990), Food processing Technology, Ellis forwood. Limited.
England.
Muchtadi. Tien. R, dan Sugiyono, (1992), Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
SNI-01-2997-1995, Tepung Singkong, Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Sudarmadji, dkk, (1996), Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit
Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan UGM, Yogyakarta.
Suhardi, Widowati, Suhardjo, Yuniarti, (2006), Rakitan Teknologi Pengolahan
Tepung
Kasava,
http://www.bptp-jatim-deptan.go.id/
temp/tepung
%20kasava.pdf. Diakses : 22 April 2013.
Winarno F.G., (1992), Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya,
edisi ke-4, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
LAMPIRAN
Jenis uji
Keadaan
Bau
Rasa
Warna
Benda-benda asing
Serangga
Jenis pati
Abu, % b/b
Air, % b/b
Satuan
Persyaratan
Khas singkong
Khas singkong
Putih
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
Khas singkong
maks. 1,5
maks. 1,2
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
14.1
14.2
14.3
14.4
15.
16.
16.1
16.2
16.3
( Sumber : SNI 01-2997-1995 )
min. 85
maks. 4
maks.3
mg/kg
-
maks. 40
min. 90
min. 75
Sesuai SNI 01-0222-1995
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
koloni/g
koloni/g
koloni/g
maks. 1,0
maks. 10,0
maks. 40,0
maks. 0,05
maks. 0,5
maks. 1,0 x 105
maks. 10
maks. 1,0 x 104
menjadi lebih lunak dan permeabel terhadap air. Dengan demikian maka akan
mempercepat terjadinya proses penguapan air dari dalam bahan, dan berarti
drying rate-nya menjadi lebih besar sehingga dengan demikin proses
pengeringannya menjadi lebih cepat.
2. Jelaskan mengenai mekanisme reaksi terjadinya browning enzimatis dan
non enzimatis!
Jawab :
Browning enzimatis
Browning ini terjadi karena adanya senyawa fenolik . senyawa fenolik ada
yang bertindak sebagai substrat dalam proses pencoklatan enzimatis pada
buah dan sayuran. Proses ini memerlukan adanya fenol oksidase danoksigen
yang harus berhubungan dengan substrt tersebut.
waktu yang lama, membutuhkan tempat yang luas, bergantung pada cuaca,
tidak higienis, dan suhu tidak bisa diatur.
LAMPIRAN KUIS I
1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor pengeringan!
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan adalah dari faktor
internal dan eksternal. Diantaranya yaitu sifat bahan yang dikeringkan (komposisi
kimia dan struktur fisik) merupakan faktor utama yang mempengaruhi kecepatan
pengeringan. Komposisi kima struktur fisik bahan berpengaruh terhadap tekanan
uap dalam keseimbangan dan difusitas air dalam bahan tersebut pada suhu tertentu
Faktor internal lainnya adalah ukuran. Kecepatan pengeringan lempengan basah
yang tipis berbanding terbalik dengan kuadrat ketebalannya. Faktor internal
lainnya alah unit pemuatan. Perbedaan rasio muatan dengan luas permukaan akan
menurun selama pengeringan berlangsung karena penyusutan volume. Struktur
lapisan oada rak akan lebih terbuka dan lebih tipis sehingga pengeringan terjadi
pada seluruh lapisan. Kapasitas pengering rak, yaitu berat bahan basah yang dapat
dikeringkan per satuan waktu meningkat dari nol pada waktu tanpa muatan
sampai maksimum pada satuan muatan intermediet/Selain faktor internal, ada juga
faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan yaitu faktor eksternal. seperti
depresi bola basah, yitu perbedaan suhu udara (suhu bola kering) dengan suhu
bola basah, Faktor lainnya adalah suhu udara. Depresi bola basah jika dijaga
konstan pada berbagai suhu bola basah, kecepatan pengeringan tahap awal hampir
sama. Pada tahap selanjutnya, kecepatan akan lebih tinggi pada suhu udara yang
lebih tinggi karena pada kadar air yang rendah pengaruh penguapan terhadap
pendinginan udara dapat diabaikan dan suhu bahan mendekati suhu udara.
Distribusi air dalam bahan yang mempengaruhi kecepatan pengeringan pada tahap
ini bertambah cepat dengan meningkatnya suhu. Faktor eksternal yang terakhir
adalah kecepatan aliran udara. Laju pengeringan bahan seperti halnya pada
penguapan dari permukaan air tergantung kecepatan udara yang melewati (kontak
dengan) bahan. Pengaruh perbadaan kecepatan sangat nyata pada kecepatan udara
beberapa ratus kali per menit. Peningkatan kecepatan udara pada kisaran 1000
kaki permenit kecil sekali pengaruhnya terhadap laju pengeringan
2. Sebutkan tujuan prinsip dari penepungan!
Tujuan: tujuan pembuatan tepung adalah untuk menurunkan kadar air pada behan
pangan sampai batas tertentu sehingga meminimalkan serangan mikroorganisme,
enzim, dan insekta perusak yang dapat mengkontaminasi bahan.
Prinsip:: prinsip dari percobaan pembuatan tepung berdasarkan perpindahan panas
secara konduksi dan konveksi dan berdasarkan pengurangan kadar air sampai
batas tertentu lalu dilanjutkan dengan proses reduksi dampai berukuran 100 mesh
sehingga bahan berbentuk tepung.
3. Apa fungsi dari Na2S2O5 dan tentukan berapa disis maksimal untuk
penggunaannya!
LAMPIRAN KUIS II
LAMPIRAN PERHITUNGAN
Perhitungan Fomulasi
1. Tepung dengan Na2S2O5
W setelah trimming
W setelah dibagi 3
W setelah pengeringan
W tepung halus
W tepung kasar
% Produk tepung halus
: 560 gram
: 200 gram
: 84,4 gram
: 78,6 gram
: 3 gram
W Tepung Halus
x100%
W awal
78,6
x100% 39,3%
200
W Tepung Kasar
x100%
W awal
3
x100% 1,5%
200
=
W lost Produk
Lost product
W Lost Produk
x100%
W berat Kering
=
=
2,8
x100% 3,32%
84,4
W setelah trimming
W setelah dibagi 3
W setelah pengeringan
W tepung halus
W tepung kasar
% Produk tepung halus
: 560 gram
: 180 gram
: 52 gram
: 50 gram
: 1,1 gram
=
=
W lost Produk
W Tepung Halus
x100%
W awal
50
x100% 27,7%
180
W Tepung Kasar
x100%
W awal
1,1
x100% 0,61%
180
Lost product
=
=
3. Tepung Blanching
W setelah trimming
W setelah dibagi 3
W setelah pengeringan
W tepung halus
W tepung kasar
% Produk tepung halus
W Lost Produk
x100%
W berat Kering
0,9
x100% 1,73%
52
: 560 gram
: 180 gram
: 59,5 gram
: 45,8 gram
: 11,3 gram
=
=
W Tepung Halus
x100%
W awal
45,8
x100% 25,4%
180
=
W lost Produk
W Tepung Kasar
x100%
W awal
11,3
x100% 6,27%
180
Lost product
=
=
W Lost Produk
x100%
W berat Kering
2,4
x100% 4,03%
59,5