Anda di halaman 1dari 15

ON THE CONCEPT

OF AL-WUJH WA
AN-NADHIR AND
ITS SIGNIFICANCE
TO THE
CONTEMPORARY
QURANIC STUDIES
Fejrian Yazdadajird Iwanebel

Pendahuluan
studi ulm al-Qurn dalam era kontemporer ini mempunyai
relasi yang kuat dengan konsep-konsep keilmuan yang telah
dikonseptualisasikan oleh ulama klasik, khususnya dalam
bidang linguistik.
Muhammad Syahrur dalam al-Kitb wal Qurn; Qiraah
Muashirah telah mengemukakan teori l tarduf fi al-Qurn
(tidak ada sinonimitas dalam al-Qurn). Dia dengan tegas
membedakan arti dari al-Qurn, al-Kitb, ad-Dzikr, al-Furqn
dan masing-masing mempunyai spesifikasi dan penekanan
makna sendiri. Teori ini pada dasarnya tidaklah baru, melainkan
mengakar pada teori linguistik klasik yang digagas oleh Abd Ali
al-Faris, Ibnu Jinni, Imam al-Jurjani dan al-Hakim at-Turmudzi.
Konsep al-Wujh wa an-Nadhir, pada dasarnya mempunyai
peran sentral dalam kajian ulumul quran kontemporer: aspek
linguistik, multimeaning, musytarak, mutaradif.

Definisi al-Wujh wa an-Nadhir


Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H): sebuah kata-kata dalam alQuran yang mempunyai maksud atau makna yang berbedabeda karena penggunaannya dalam konteks yang berbeda
pula.
al-wujh: sebuah kata yang ditemukan dalam berbagai ayat,
namun mempunyai makna yang beraneka ragam.
an-nadhir: beberapa kata yang berbeda namun mempunyai
makna yang sama. Quraish Shihab memberi ilustrasi seperti
kata aku, saya, beta.
Az-Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulum al-Quran mendefinisikan:
al-wujh dengan lafadz musytarak yang mempunyai makna
lebih dari satu. Sedangkan an-nadhir adalah sebuah kata
yang berdekatan yang memiliki makna sama
Maka, al-wujh serupa dengan musytarak (polisemi/homonim),
dan an-nadhir sama dengan mutaradif (sinonim).

Beberapa Karangan Tentang alWujh wa an-Nadhir


Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H): al-Wujuh wa anNadhair fi al-Quran al-Karim.
Beberapa karya yang tidak sampai di tangan kita,
misalnya karya Ikrimah (w. 105 H), Ali bin Abi Talhah (w.
143 H), dan al-Kalbi (w. 146 H).
Abu Fadl al-Abbas al-Anshari,
Ali bin Wafid,
Yahya bin Sallam,
al-Hakim at-Turmudzi,
Ibnu al-Jauzi,
Salwa Muhammad al-Awa

Epistemologi Diferensiasi
Makna
Makna semantik: makna yang tetap atau dasar
(tsawabit) maupun makna relasional.
Ex: al-labs.
Dalam pandangan Yahya bin Sallam kata tersebut
mempunyai enam arti (wujh), yaitu bercampur (alkhalat), ketenangan (as-sakan), pakaian (ats-tsiyab),
amal saleh, menyerupakan (tasybih), keragu-raguan
(syak).
Ismail bin Ahmad ad-Dharir al-Hairy yang hanya
menyebutkan tiga makna.
Sedangkan Hakim at-Turmudzi mengatakan makna kata
tersebut hanya satu.
Pertanyaannya, bagaimana mereka menentukan makna?
Kenapa terjadi perbedaan?

SUMBER
Diriwayatkan dari Muqatil (hadis marfu sampai kepada
Nabi) bahwa Nabi bersabda: l yaknu ar-rajulu faqhan
kulla al-fiqhi hatt yar lilqurn wujhan katsratan,
yang artinya seseorang tidak disebut sebagai orang
yang benar-benar faham (faqh) akan al-Quran sebelum
menguasai makna-makna yang terkandung dari setiap
lafadz (wujh)
Dalam riwayat lain juga disebutkan tentang kisah Ibnu
Abbas ketika diutus Ali bin Abi Thalib menghadapi orangorang Khawarij, maka Ali berkata pergilah dan
berdebatlah dengan mereka, namun jangan kau debat
mereka dengan al-Quran karena di dalamnya
terkandung makna yang banyak (dz wujh), tapi
debatlah mereka dengan hadis.

Metode
Pertama, melihat konteks kalimat (siyq al-kalm) atau
analisis sintagmatik yaitu menelaah kata dari
perspektif kalimat sebelum dan sesudahnya.
Ex: Muqatil memaknai kata hud tidak hanya
bermakna petunjuk, melainkan penjelasan (al-bayn),
agama Islam, iman, dai, pengetahuan, para rasul dan
kitab-kitabnya, perintah Muhammad, al-Quran, Taurat,
Hujjah, dan lain sebagainya. Tergantung konteks kalimat.
Misalnya dalam QS. Maryam: 76, .
Muqatil: Allah akan menambahkan keimanan pada
orang yang telah mendapat petunjuk.

Metode
Kedua, melalui riwayat.
Ex: kata kanz dalam QS. Al-Kahfi tidak dimaknai dengan harta
karun, melainkan ilmu.
Mayoritas ulama menafsirkan kata kanz ini dengan harta karun,
karena memang makna dasar dari kanz adalah harta simpanan.
Namun dalam penafsiran Muqatil, kata tersebut justru dimaknai
dengan suhuf (lembaran-lembaran) yang berisi ilmu.
riwayat yang disampaikan oleh Muqatil dari Ubaidullah dari
Ayahnya, dari Muqatil, dari Dhahhak dan Mujahid yang
mengatakan bahwa bahwa makna dari kata kanz adalah
lembaran-lembaran (suhuf) yang berisi ilmu.
Sehingga takwil dari kata tersebut pembangunan rumah yang
hampir roboh itu dilakukan Khidir karena dia mampu melihat
secara futuristik bahwa anak tersebut suatu saat akan bermanfaat
bagi manusia lantaran ilmunya, bukan karena hartanya.

Metode
Ketiga, melalui kepekaan hati dalam menafsirkan.
As-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqn juga menjelaskan
bahwa metode pemaknaan terhadap al-wujh wa annadhair adalah dengan mengaplikasikan sensitifitas
batiniyah, yaitu dengan menggunakan daya imaginasi
kepakaan terhadap isyarat-isyarat batin untuk
menemukan makna yang relevan.

Validitas
Koherensi: kesesuaian hasil dengan fakta-fakta
sebelumnya (riwayat) dan logis (sesuai dengan logika
bahasa dalam konteks kalimat).

Signifikasi Konsep al-Wujh wa an-Nadhir


Terhadap Kajian Quran Kontemporer
Pertama, dalam metodologi maudh.
Membantu mengetahui makna-makna dalam al-Quran,
karena umumnya metode maudh sering
menggunakan pencarian tema berdasarkan kata.
Kedua, dalam terjemahan al-Quran.
Contoh QS. al-Kahfi: 40 tentang lafadz laarjumannaka.
Terjemah Depag: berkata bapaknya: bencikah kamu
kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak
berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan
tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.
Tarjemah Tafsiriyyah (koreksi atas Depag): Ayahnya
berkata: wahai Ibrahim apakah kamu membenci tuhantuhanku? Jika kamu tidak berhenti mencela tuhantuhanku, pasti kamu akan aku rajam, dan pergilah
engkau menjauh dariku untuk waktu yang lama.

Penerjemahan ini sedikit berbeda dengan pandangan


ulama semisal az-Zarkasyi yang mengutip pendapat Ibnu
Faris dalam kitab al-Afrd yang mengartikannya dengan
memaki-maki (laasytamannaka).
para ulama enggan untuk menerjemahkan kata
laarjumannaka dengan arti lahiriah merajam karena
konteks perbincangan yang ada dalam teks adalah
perdebatan antara Ibrahim dengan ayahnya sendiri
tentang tuhan-tuhan yang disembah ayahnya.
Ibrahim mengkritik ayahnya baik dengan nada celaan
maupun nada logis-persuasif (lihat ayat sebelumnya: 4245). Oleh karena itu Ibrahim akan mendapat ancaman dari
ayahnya yang berupa hinaan atau cacian, jika Ibrahim
terus mencecar ayahnya dengan tauhid yang diyakininya.
Dari konteks ayat ini bisa dilihat alasan logis para ulama
untuk tidak menerjemahkannya dengan merajam, sebab
perdebatan itu terjadi antara ayah dan anak.

Contoh lain, dalam QS. Al-Baqarah: 243 tentang kata


sakinah yang umumnya diartikan sebagai ketenangan.
Terjemah Depag: Dan nabi mereka mengatakan kepada
mereka: sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalankeluarga
Musa dan keluarga Harun; tabut (terdapat footnote yang
menjelaskan bawah tabut adalah peti tempat menyimpan
Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka) itu dibawa
oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
Tarjamah Tafsiriyyah: Nabi Bani Israil berkata kepada mereka:
Tanda kekuasaan Allah yang diberikan kepada Thalut yaitu
akan muncul kotak di hadapan kalian. Kotak itu berisi
penentram hati dari Tuhan kalian. Selain kotak itu, ada
barang-barang peninggalan keluarga Musa dan keluarga
Harun yang dibawa oleh apra Malaikat. Hal-hal demikian itu
benar-benar menjadi bukti bagi kalian, jika kalian benar-benar
mau beriman kepada kekuasaan Allah.

Muqatil: syaian karasi al-hirrah lah janahni knat f


at-tbt, yang artinya sesuatu yang bentuknya seperti
kepala kucing yang mempunyai dua sayap yang ada di
dalam Tabut.
Dari denotatif, abstrak -> konotatif, riil

Kesimpulan
Dari fenomena ini, kiranya bisa dipahami bahwa
perbedaan mereka dalam menerjemahkan lafadz terjadi
karena perbedaan mereka dalam mendekati dan
memahami kata tersebut.
Penulis tidak bisa men-judge satu sama lain dengan
klaim kesalahan ataupun kebenaran, melainkan penulis
hanya sekedar mencoba memaparkan betapa
pentingnya kaedah atau konsep al-Wujh wa an-Nadhir
dalam relasinya dengan aspek penerjemahan maupun
penafsiran.
Tentunya bentuk penafsiran atau penerjemahan saat ini
perlu merujuk kembali pada makna-makna historis.
Signifikasinya adalah untuk melihat sejauh mana maknamakna kata dalam al-Quran muncul dalam variasi
pemahamannya.

Anda mungkin juga menyukai