OF AL-WUJH WA
AN-NADHIR AND
ITS SIGNIFICANCE
TO THE
CONTEMPORARY
QURANIC STUDIES
Fejrian Yazdadajird Iwanebel
Pendahuluan
studi ulm al-Qurn dalam era kontemporer ini mempunyai
relasi yang kuat dengan konsep-konsep keilmuan yang telah
dikonseptualisasikan oleh ulama klasik, khususnya dalam
bidang linguistik.
Muhammad Syahrur dalam al-Kitb wal Qurn; Qiraah
Muashirah telah mengemukakan teori l tarduf fi al-Qurn
(tidak ada sinonimitas dalam al-Qurn). Dia dengan tegas
membedakan arti dari al-Qurn, al-Kitb, ad-Dzikr, al-Furqn
dan masing-masing mempunyai spesifikasi dan penekanan
makna sendiri. Teori ini pada dasarnya tidaklah baru, melainkan
mengakar pada teori linguistik klasik yang digagas oleh Abd Ali
al-Faris, Ibnu Jinni, Imam al-Jurjani dan al-Hakim at-Turmudzi.
Konsep al-Wujh wa an-Nadhir, pada dasarnya mempunyai
peran sentral dalam kajian ulumul quran kontemporer: aspek
linguistik, multimeaning, musytarak, mutaradif.
Epistemologi Diferensiasi
Makna
Makna semantik: makna yang tetap atau dasar
(tsawabit) maupun makna relasional.
Ex: al-labs.
Dalam pandangan Yahya bin Sallam kata tersebut
mempunyai enam arti (wujh), yaitu bercampur (alkhalat), ketenangan (as-sakan), pakaian (ats-tsiyab),
amal saleh, menyerupakan (tasybih), keragu-raguan
(syak).
Ismail bin Ahmad ad-Dharir al-Hairy yang hanya
menyebutkan tiga makna.
Sedangkan Hakim at-Turmudzi mengatakan makna kata
tersebut hanya satu.
Pertanyaannya, bagaimana mereka menentukan makna?
Kenapa terjadi perbedaan?
SUMBER
Diriwayatkan dari Muqatil (hadis marfu sampai kepada
Nabi) bahwa Nabi bersabda: l yaknu ar-rajulu faqhan
kulla al-fiqhi hatt yar lilqurn wujhan katsratan,
yang artinya seseorang tidak disebut sebagai orang
yang benar-benar faham (faqh) akan al-Quran sebelum
menguasai makna-makna yang terkandung dari setiap
lafadz (wujh)
Dalam riwayat lain juga disebutkan tentang kisah Ibnu
Abbas ketika diutus Ali bin Abi Thalib menghadapi orangorang Khawarij, maka Ali berkata pergilah dan
berdebatlah dengan mereka, namun jangan kau debat
mereka dengan al-Quran karena di dalamnya
terkandung makna yang banyak (dz wujh), tapi
debatlah mereka dengan hadis.
Metode
Pertama, melihat konteks kalimat (siyq al-kalm) atau
analisis sintagmatik yaitu menelaah kata dari
perspektif kalimat sebelum dan sesudahnya.
Ex: Muqatil memaknai kata hud tidak hanya
bermakna petunjuk, melainkan penjelasan (al-bayn),
agama Islam, iman, dai, pengetahuan, para rasul dan
kitab-kitabnya, perintah Muhammad, al-Quran, Taurat,
Hujjah, dan lain sebagainya. Tergantung konteks kalimat.
Misalnya dalam QS. Maryam: 76, .
Muqatil: Allah akan menambahkan keimanan pada
orang yang telah mendapat petunjuk.
Metode
Kedua, melalui riwayat.
Ex: kata kanz dalam QS. Al-Kahfi tidak dimaknai dengan harta
karun, melainkan ilmu.
Mayoritas ulama menafsirkan kata kanz ini dengan harta karun,
karena memang makna dasar dari kanz adalah harta simpanan.
Namun dalam penafsiran Muqatil, kata tersebut justru dimaknai
dengan suhuf (lembaran-lembaran) yang berisi ilmu.
riwayat yang disampaikan oleh Muqatil dari Ubaidullah dari
Ayahnya, dari Muqatil, dari Dhahhak dan Mujahid yang
mengatakan bahwa bahwa makna dari kata kanz adalah
lembaran-lembaran (suhuf) yang berisi ilmu.
Sehingga takwil dari kata tersebut pembangunan rumah yang
hampir roboh itu dilakukan Khidir karena dia mampu melihat
secara futuristik bahwa anak tersebut suatu saat akan bermanfaat
bagi manusia lantaran ilmunya, bukan karena hartanya.
Metode
Ketiga, melalui kepekaan hati dalam menafsirkan.
As-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqn juga menjelaskan
bahwa metode pemaknaan terhadap al-wujh wa annadhair adalah dengan mengaplikasikan sensitifitas
batiniyah, yaitu dengan menggunakan daya imaginasi
kepakaan terhadap isyarat-isyarat batin untuk
menemukan makna yang relevan.
Validitas
Koherensi: kesesuaian hasil dengan fakta-fakta
sebelumnya (riwayat) dan logis (sesuai dengan logika
bahasa dalam konteks kalimat).
Kesimpulan
Dari fenomena ini, kiranya bisa dipahami bahwa
perbedaan mereka dalam menerjemahkan lafadz terjadi
karena perbedaan mereka dalam mendekati dan
memahami kata tersebut.
Penulis tidak bisa men-judge satu sama lain dengan
klaim kesalahan ataupun kebenaran, melainkan penulis
hanya sekedar mencoba memaparkan betapa
pentingnya kaedah atau konsep al-Wujh wa an-Nadhir
dalam relasinya dengan aspek penerjemahan maupun
penafsiran.
Tentunya bentuk penafsiran atau penerjemahan saat ini
perlu merujuk kembali pada makna-makna historis.
Signifikasinya adalah untuk melihat sejauh mana maknamakna kata dalam al-Quran muncul dalam variasi
pemahamannya.