Anda di halaman 1dari 17

BUDAYA KONTEMPORER DAN PELAYANAN PEMUDA

PENDAHULUAN
Gereja-gereja masa kini pada umumnya sangat memperhatikan pelayanan pemuda.
Mereka seringkali kuatir, mengeluh, dan memuji mereka sekaligus. Para pemimpin gereja
seringkali dibingungkan dengan pemuda ini. Kebingungan dan perhatian ini membuat suatu
kombinasi yang unik dan menjadi sebuah tantangan sendiri bagi gereja.
Tantangan untuk memenuhi kebutuhan pemuda ini menjadi salah satu tantangan
pelayanan. Hal ini termasuk perkembangan musik kontemporer dan penggunaan Teknologi
dalam ibadah. Hal ini mungkin saja dapat membantu, namun sebenarnya bukan masalah yang
esensial.
Sejumlah gereja kemudian berusaha merespon tantangan ini dengan merekrut hamba
Tuhan khusus melayani pemuda untuk meredakan ketegangan dan menjadi jembatan
kepentingan antara gereja dan pemuda (sehingga gereja kemudian dapat menghela nafas dan
memusatkan diri pada hal-hal lain yang lebih penting). Hamba Tuhan yang dicari biasanya
adalah yang muda, lincah, berpengetahuan baik, dan luwes dalam pergaulan. Namun hal ini juga
tidak menjamin pelayanan pemuda dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan gereja.
[1]
Hubungan pemuda dan gereja adalah hal yang penting karena mereka adalah bagian
integral dari tubuh Kristus. Jika mereka tidak mendapatkan peran yang aktif dalam tubuh
Kristus, maka seluruh tubuh akan merasakan penderitaannya. Pemuda tidak hanya merupakan
masa depan gereja, tetapi mereka juga adalah bagian integral dari gereja. Dari perspektif Alkitab,
dapat dikatakan Apa yang baik bagi pemuda adalah baik juga bagi seluruh jemaat.
Dalam survey yang dilakukan oleh LifeWay Research, 7 dari 10 orang Kristen yang
berusia antara 18-10 tahun, yang pergi ke gereja secara teratur pada waktu mereka SMA,
berhenti pergi ke gereja pada usia 23 tahun. Dan 34% di antara mereka bahkan tidak pernah
menginjakkan kaki di gereja hingga usia 30 tahun. Dengan kata lain, 1 dari 4 pemuda Kristen
akan meninggalkan gereja.[2] Di Amerika, hanya 52% orang yang mengidentifikasikan diri
mereka sebagai orang Kristen pada tahun 2001, turun dari 60% pada tahun 1990, menurut
American Religious Identification Survey tahun 2001.
Di Indonesia, kita dapat dengan jelas melihat kebaktian/persekutuan pemuda di gerejagereja Injili nampak mulai mengosongkan bangkunya. Secara kasat mata dapat kita lihat ada
perbedaan yang jelas secara kuantitas dari kegiatan remaja ke kegiatan pemuda. Sementara di
pihak lain, gereja-gereja kharismatik nampaknya justru sedang kewalahan menangani
banyaknya para pemuda yang berkunjung di gereja mereka.

Fenomena apakah yang sedang terjadi? Mengapa gereja-gereja tradisional ditinggalkan


dan gereja-gereja baru diserbu? Mengapa mereka lebih tertarik pada gereja baru?

DEFINISI PEMUDA
Pemuda di sini adalah mereka yang dilahirkan antara tahun 1980-an dan awal tahun
1990-an, yang seringkali disebut sebagai generasi Milenium, dan dalam sejumlah artikel disebut
juga sebagai Buster, sebagai kelanjutan dari Boomer dan Baby Boomer.
Menurut Teori Psikologi Perkembangan dari Erik Erikson, dalam bukunya Childhood and
Society (1950), Pemuda (young adult) secara umum adalah seseorang yang berusia antara 20
dan 40 tahun, sementara Remaja (adolescent) adalah antara 13 dan 19 tahun.[3]
Sementara Jeffrey Arnett dalam artikelnya di American Psychologist menggunakan istilah
emerging adulthood (dewasa baru/muda). Istilah ini digunakan untuk merujuk pada pemuda
yang belum punya anak atau mereka yang baru mulai merintis karir hidupnya pada awal usia 20an tahun.[4] Kaum dewasa muda ini adalah kelompok demografis baru yang masih
diperdebatkan, dimana sejumlah ahli menyebutnya sebagai kelompok 20-an yang sedang
bergumul dengan identity exploration, instability, self-focus, and feeling in-between.[5]
Istilah Pemuda (youth) adalah istilah dari ahli sosiologi Kenneth Kenniston untuk merujuk pada
periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan
kondisi ekonomi dan pribadi sementara. Ia berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
jawabannya suatu saat akan menentukan masa dewasanya, yaitu pertanyaan-pertanyaan tentang
hubungan seseorang dengan masyarakatnya, tentang pekerjaannya, tentang peran sosial, dan
gaya hidupnya. Pemuda berbeda dengan Remaja karena mereka berjuang antara membangun
pribadi yang mandiri dan menjadi lebih terlibat secara sosial. Berbeda dengan perjuangan
Remaja yang bertujuan untuk mendefinisikan dirinya.[6]
Jadi, berbeda dengan remaja, pemuda tidak hanya sekedar dapat menimbangkan sesuatu, namun
mereka juga telah dapat untuk mengambil keputusan dan langkah nyata sesuai dengan
keinginannya. Mereka tidak lagi menunggu keputusan keluarga dalam mengeksekusi suatu
keputusan yang mereka ambil karena ketergantungan mereka, baik secara ekonomi maupun
secara sosiokultural, telah dapat mereka pertanggungjawabkan secara mandiri.
Meskipun demikian, para pemuda masih sangat terbuka untuk hal-hal yang baru dan tidak segan
untuk menggunakan hal-hal yang disukainya. Kemandirian ekonomi nampaknya juga
mendukung pengambilan keputusan ini. Sehingga para pemuda sangat rentan terhadap budaya
kontemporer. Mereka dengan mudah beradaptasi dan belajar akan hal yang baru hingga
menjadikannya gaya hidup mereka. Dan bagaimana serta sedalam apa mereka melibatkan dirinya
dalam budaya itu, kelak ini yang akan membentuk pemantapan pola pikir masa depan yang

biasanya tidak mudah untuk dirubah lagi. Dengan kata lain, apa yang dipelajari dan dilakukan
pada masa pemuda akan menjadi identifikasi dirinya pada masa dewasa.

BUDAYA KONTEMPORER
Budaya kontemporer, yang seringkali juga disebut sebagai budaya popular, adalah suatu budaya
yang dibentuk dari subkultur-subkultur yang merupakan usaha dari pemuda untuk
mengekspresikan diri dan komunitasnya. Dengan demikian, budaya kontemporer selalu berubah
dan bergerak. Bahkan makin berakselerasi dengan meningkatnya kemajuan teknologi informasi
yang mempermudah, mempercepat, dan memper-murah akses informasi.
Budaya kontemporer pada masa ini lebih banyak mempengaruhi dan membentuk gereja,
daripada gereja yang mempengaruhi dan membentuk budaya. Sehingga gereja banyak bergumul
dengan arti dari mengikut Kristus dengan iman dalam suatu lingkungan yang tidak bersahabat.
Namun tampaknya hal ini bukanlah hal yang baru karena banyak surat-surat Perjanjian Baru
yang ditujukan untuk pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat secara khusus atas kebutuhan mereka
yang unik.
Demikian juga gereja masa kini yang sedang berjuang keras untuk menajamkan apa yang
dimaksudkan dengan mengikut Kristus pada masa transisi budaya dari lingkungan modern ke
paskamoderen. Gereja bergelut dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan globalisasi,
pluralisme, relativisme, gaya hidup, dan sebagainya. Perubahan budaya ini, sebagaimana
berbagai hal lainnya, berpengaruh pada para jemaat. Sebagai contoh, apa yang disebut dengan
budaya pop pemuda, saat ini diproduksi dan dijual secara internasional serta ditujukan bagi
kelompok 20-an, 30-an, dan 40-an tahun, tidak hanya kepada pemuda saja. Setiap orang menjadi
konsumen dari budaya kontemporer, seperti udara yang dihirup; tidak ada yang dapat
menghindarinya.[7]
Salah satu teolog yang telah melihat secara luas bagaimana pertemuan budaya ini terjadi
adalah H. Richard Niebuhr. Dalam bukunya Christ and Culture, ia menyatakan beberapa
respon kekristenan terhadap kebudayaan. Pertama, menempatkan Kristus melawan Kebudayaan.
Kedua, Kristus diletakkan di dalam kebudayaan. Ketiga, Kristus melampaui Kebudayaan.
Keempat, Kristus sebagai paradoks dari Kebudayaan. Dan kelima, Kristus mengubah
Kebudayaan.[8]Ulasan dari Niebuhr ini akan sangat membantu dalam melihat bagaimana
Kebudayaan diletakkan dan mempengaruhi kekristenan pada saat ini.
Dengan karakteristik pemuda dan pergerakan kebudayaan seperti ini, maka pelayanan
pemuda tidak dapat dilepaskan dari budaya kontemporer. Pengetahuan akan budaya kontemporer
akan menolong pelayanan pemuda dalam berdialog dengan pemuda, untuk memahami
pergumulan mereka, dan berkomunikasi dengan bahasa yang sama.

Di sisi lain, tantangan dari budaya kontemporer ini tidaklah dapat dianggap mudah.
Banyak nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kekristenan yang terdapat dalam pluralisme,
relativisme, filsafat, media, gaya hidup, bahkan juga humanisme, rasionalisme, dan ilmu
pengetahuan yang mulai menggeser nilai-nilai kekristenan yang sejati.

PELAYANAN PEMUDA DAN BUDAYA KONTEMPORER


Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh gereja dalam pelayanan pemuda, yaitu:
Pelayanan Pemuda adalah Pelayanan yang Khusus dan Unik
Pelayanan yang dikhususkan ini adalah karena adanya keunikan dan pergumulan yang
berbeda dari kelompok umur lain. Pelayanan pemuda adalah misi lintas budaya yang
memerlukan panggilan yang khusus dan kemampuan yang sensitif terhadap pergumulan mereka.
Memang pelayanan gereja yang terintegrasi dan multigenerasi adalah gereja yang ideal, namun
kenyataan yang ada memang ada perbedaan pergumulan dan kebutuhan antar generasi.[9]
Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam persiapan pelayanan:[10]
Pertama, mengenali pemuda yang dilayani.
Pada umumnya ada dua kelompok yang dapat dikenali dengan mudah, yaitu kelompok
yang aktif, dimana mereka secara aktif melayani di dalam kelompok. Kepada kelompok inilah
(rasa) kepemilikan pelayanan pemuda harus dipercayakan dan ditingkatkan. Seringkali suatu
program pelayanan pemuda dipimpin dan direncanakan oleh orang dewasa dengan hasil dimana
pemuda harus dengan susah payah dibujuk untuk berpartisipasi di dalamnya.[11]
Sementara itu, kelompok kedua adalah mereka yang masih bergabung sebagai
penonton. Kelompok inilah yang menjadi sasaran pelayanan dari kelompok pertama.
Penjangkauan ini sangat efektif jika dilakukan oleh para pemuda itu sendiri dari kelompok yang
aktif. Dengan demikian, mereka akan saling mengaitkan diri, dilatih, dan dipersiapkan menjadi
pelayan dan pemimpin gereja masa datang.

Kedua, mengenali kebutuhan mereka.


Identifikasi, bukan inspirasi. Pendekatan yang salah sering dilakukan dengan
menyamakan generasi kini dengan generasi pemuda sebelumnya.
Pada generasi sebelumnya (baby boomers dimana kebanyakan sekarang menjadi pembina
pemuda) yang diperlukan adalah inspirasi. Suasana dipoles sedemikian rupa, lagu-lagu

dinyanyikan dan dipersiapkan dengan keren, drama disajikan secara profesional dan apik, dan
mereka yang memimpin tampil dengan antusias dan rapi. Segalanya disajikan dengan ideal,
Kamu dapat menjadi seperti ini. Orang-orang ini adalah teladan hidup yang baik untuk diikuti.
Namun tidak demikian dengan generasi masa kini (busters). Dengan adanya arus informasi yang
nyata, realistis, terbuka, dan blak-blakan. Pernyataan sikap mereka dapat merupakan suatu
despondensi/keputusasaan (saya tidak mungkin dapat berharap menjadi seperti itu), atau
detasemen/pembedaan (saya tidak tahu jika saya memang ingin seperti itu), atau
distrust/ketidakpercayaan (saya tidak tahu apakah saya harus mempercayainya atau hal ini
terlalu bagus untuk suatu kenyataan).[12]
Generasi ini tidak mencari jawaban-jawaban dari mereka yang dapat sekedar menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka, karena sebenarnya mereka juga sudah tahu jawaban tersebut
(secara idealnya), Mereka mencari orang-orang yang dapat mengenali pergumulan mereka dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yakni orang yang seperti mereka yang mungkin
juga hidup berantakan, sesuka hatinya sehingga reaksi yang diharapkan adalah Ah, mereka
seperti kami. Mereka melalui hal yang sama seperti yang kami alami. Inilah identifikasi yang
mereka harapkan.

Ketiga, mengenali cara interaksi kelompok.


Interaksi lebih dari sekedar partisipasi. Perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini, antara
lain yang disebut Web 2.0, dimana website tidak hanya menyajikan informasi, namun juga
memiliki interaksi dengan para penggunanya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan
social network, mulai dari Friendster hingga Facebook dan Twitter pada masa ini. Bersama
dengan karakteristik di atas, maka interaksi yang terjadi pada generasi ini juga berkembang dan
lebih realistis.
Pemuda saat ini, sebagaimana generasi-generasi sebelumnya, juga menyukai partisipasi, atau
keterlibatan dalam suatu kegiatan. Namun yang membedakannya, jika generasi sebelumnya suka
akan kerapihan dan tampilan dengan kualitas yang baik, maka generasi ini lebih suka tampil apa
adanya. Ibarat, sajian perjamuan kasih bersama dengan membawa makanan masing-masing dari
rumah. Generasi sebelumnya akan mendaftar dan mengatur agar makanan yang dibawa dan
dipersiapkan dengan tema yang sama, misalnya macam-macam sayur Chinese food. Meskipun
orangnya tidak datang, yang penting susunan set menunya lengkap dan tampil ideal dan terlihat
bagus. Namun generasi ini lebih suka membawa makanan sesuai dengan apa yang mereka
inginkan. Biasa saja ada yang membawa pizza, salad, Chinese food, sate, dan beragama makanan
lainnya. Yang penting adalah adanya interaksi, apa yang mereka bawa tidaklah penting.[13]
Generasi ini lebih mementingkan interaksi, tidak hanya sekedar sekedar bertemu saja, tetapi
mereka juga terlibat di dalamnya. Pengaruh pemikiran paskamoderen akan pluralisme dan
relativisme dapat terlihat sangat jelas di sini.

Keempat, mengenali sumber daya pemuda.


Sebagaimana yang telah disajikan di atas bahwa generasi ini berbeda dengan generasi
sebelumnya dan budaya kontemporer memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya pemuda
masa kini, maka kita harus menggunakan medium yang mereka kenali dengan baik dalam
budaya mereka.[14]
Medium-medium ini biasa dikenal sebagai subkultur-subkultur. Ada banyak subkultur, masingmasing berbeda menurut masyarakat dan perkembangan pendidikan serta pengetahuan yang
dimiliki setiap kelompok pemuda. Namun ada beberapa subkultur yang global dan dapat dilihat
dimana-mana. Antara lain, musik. Dimana perkembangan teknologi membuat akses terhadap
musik dapat dilakukan dengan murah, cepat, dan mudah membuat musik menjadi salah satu
kekuatan pengaruh terbesar bagi pemuda.
Demikian juga dalam pelayanan pemuda. Pengenalan akan subkultur akan memudahkan
penetrasi ke dalam pelayanan pemuda. Karena dengan demikian, mereka akan mengenal
pelayanan itu sebagai pelayanan yang memang ditujukan kepada mereka, bukan sekedar suatu
usaha gereja untuk mempertahankan eksistensi dari suatu program gereja.

Pelayanan Pemuda Harus Memiliki Pembina yang Baik


Berdasarkan penelitian yang disajikan dalam buku Merton Strommen, Youth Ministry That
Transform, ada tujuh kelompok hal yang dimiliki pembina yang efektif:[15]
Pertama, memiliki performa pelayanan yang kompeten;
Kedua, memiliki kepemimpinan yang penuh keyakinan;
Ketiga, memiliki relasi yang efektif dengan pemuda;
Keempat, memiliki dasar pengetahuan teologi yang baik;
Kelima, memiliki kemampuan untuk mempersiapkan para aktivis dewasa;
Keenam, memiliki motivasi dari panggilan Tuhan;
Ketujuh, memiliki respon yang kreatif atas budaya pemuda.
Dari penelitian ini, para pembina yang memiliki komitmen jangka panjang dalam
pelayanan pemuda adalah yang paling berhasil dalam pengembangan pelayanan pemuda. Mereka

tidak menyerah pada masa-masa sulit, mereka mengizinkan Tuhan untuk terus memimpin
mereka dengan iman untuk mencapai tujuan pelayanan mereka. Sebagian besar pembina pemuda
yang berhasil biasanya memiliki sikap yang rendah hati, tidak merasa bahwa diri mereka telah
mengetahui dan telah berpengalaman mengenai pelayanan pemuda. Mereka selalu terbuka untuk
belajar dan terus mendorong dirinya untuk secara konsisten belajar, terus bertumbuh dengan
dasar pengetahuan teologis. Mereka tahu dengan jelas bahwa ada banyak persiapan yang perlu
dilakukan dalam pelayanan pemuda dari sekedar suatu ide-ide yang cemerlang dan Ilustrasiilustrasi yang tajam. Mereka tahu pentingnya mempelajari nilai-nilai disiplin filosofis yang
fundamental. Mereka juga percaya dan berpegang teguh pada firman Tuhan, dan mereka
meresponnya dalam ketaatan dengan melengkapi diri, menginjili, dan mengasihi. Mereka tidak
bergantung pada pertumbuhan secara statistik saja, mereka hanya melayani dengan penuh iman
kepada Tuhan.[16]

Pelayanan Pemuda Harus Memiliki Perencanaan


Pelayanan pemuda bukanlah terjadi begitu saja, juga bukan pelayanan yang bersifat
insidensil. Pemuda berada di ambang masa dewasa penuh yang akan menjadi masa depan dari
gereja. Karena itu mereka harus diperhatikan dan dipersiapkan dengan baik serta direncanakan
dengan matang dan teliti. Bahkan sesungguhnya, perencanaan untuk pemuda ini sesungguhnya
jauh lebih mudah rentan dari pelayanan anak dan lebih terbuka terhadap ajakan daripada
pelayanan dewasa.[17]

Pertama, menghitung dan merencanakan kebutuhan serta keuntungan yang akan diperoleh.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Merton Strommen, dkk., gereja juga perlu untuk
mempersiapkan sumber dana yang cukup, selain sumber daya.[18] Keperluan dana ini untuk
membiayai kebutuhan personalia, program/aktivitas, fasilitas, juga termasuk biaya untuk para
aktivis, dan sebagainya. Semua biaya yang dikeluarkan ini akhirnya akan terbayar kembali
melalui antusias kehidupan pemuda dan juga perluasan Penjangkauan Penginjilan. Dalam
banyak situasi, dengan bertambahnya jumlah pemuda, biasanya pelayanan pemuda dapat
kemudian dibiayai secara mandiri oleh mereka sendiri.[19]

Kedua, menarik, relevan, dan benar.[20]


Perencanaan kegiatan pemuda tidak hanya cukup untuk mendidik mereka dalam
kebenaran firman Tuhan. Namun juga harus melalui komunikasi yang menarik. Di tengah
persaingan dengan dunia. Kita harus menyadari bahwa pemuda memiliki alternative yang banyak
serta kemandirian dalam mengambil keputusan. Ini yang membedakan mereka dengan remaja.

Sehingga mereka dengan mudah mengalihkan waktu mereka untuk hal-hal lain. Sehingga agar
mereka dapat mendengarkan kebenaran firman Tuhan, maka mereka harus ditarik.
Aspek relevan juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit, terutama dalam pemikiran paskamoderen. Sebagaimana karakteristik generasi masa kini, yang telah disampaikan di atas, mereka
tidak begitu peduli akan idealisme. Mereka lebih tertarik pada hal-hal yang nyata, yang relevan
dengan pergumulan hidup mereka. Karena itu, sudah saatnya kegiatan pemuda bukan
dikelompokkan menurut usia, seperti persekutuan pemuda, persekutuan dewasa muda, namun
lebih baik dikelompokkan menurut pergumulan mereka, misalnya persekutuan karyawan,
persekutuan pasangan muda, persekutuan mahasiswa, dan sejenisnya.
Dan saat aspek menarik dan relevan ini telah dilakukan, maka tujuan utama dari penyampaian
kebenaran akan mudah dicapai. Kebenaran akan firman Tuhan inilah yang harus menjadi satusatunya tujuan akhir dari segala kegiatan pelayanan pemuda.

Ketiga, waktu dan tempat yang tepat untuk pertemuan.


Waktu adalah hal yang mahal untuk generasi masa kini. Tidak mudah mencari waktu luang
diantara kesibukan mereka dalam mengejar karir dan mengerjakan hobi mereka (biasanya,
dengan mulai diperolehnya kemandirian finansial, maka hobi yang mereka ingin lakukan
menjadi mendapatkan perhatian yang lebih banyak). Maka pemilihan waktu yang tepat dengan
mempertimbangkan situasi dan pergumulan kebutuhan mereka juga harus direncanakan dengan
baik.
Tempat pertemuan juga dapat menjadi daya tarik tersendiri. Hal yang harus dipertimbangkan
adalah kenyamanan dalam bersekutu. Gedung gereja bukanlah satu-satunya pilihan. Ada banyak
tempat yang dapat dicoba dan mungkin jauh lebih memudahkan untuk menjangkau mereka yang
mungkin agak segan masuk ke gereja karena berbagai alasan. Namun pemilihan tempat juga
harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak membuat bingung mereka yang lemah imannya.

Keempat, suasana informal.


Pelayanan pemuda justru akan efektif jika dilakukan dalam suasana informal. Interaksi dan
keterbukaan lebih mudah dicapai. Dan ini yang membedakannya dengan ibadah resmi pada hari
Minggu. Selain itu. Suasana ini juga memberitahu mereka bahwa kegiatan pemuda ini berbeda
dengan ibadah Minggu, yang mana seharusnya mereka hadiri juga.

KESIMPULAN

Pelayanan pemuda masa kini tidaklah mudah dan sangat kompleks. Pelayanan yang
efektif diperlukan pengertian dan pengetahuan akan budaya kontemporer yang mempengaruhi
kehidupan pemuda saat ini. Budaya kontemporer yang terus bergerak membuat pelayanan
pemuda juga terus bergerak secara dinamis sehingga menuntut adanya perhatian yang penuh dan
sungguh. Hal ini harus disadari oleh para pimpinan gereja agar dapat mendukung dengan penuh
pengertian akan pelayanan pemuda, sehingga gereja dapat memenangkan hati pemuda dan
memiliki persiapan pemuda yang akan memimpin gereja kelak dengan perlengkapan rohani
yang benar dalam menghadapi tantangan perubahan dan pergerakan zaman dengan ketaatan dan
iman kepada Tuhan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

BUKU
Celek, Tim, dan Dieter Zander. Inside the Soul of a New Generation: Insights and Strategies for
Reaching Busters. Grand Rapids: Zondervan, 1996.
Hutchcraft, Ron, dan Lisa Hutchcraft Whitmer. Perjuangan untuk Sebuah Generasi:
Menjangkau Hati anak-anak muda yang Terhilang. Jakarta: Metanoia, 1994.
Niebuhr, Richard. Christ and Culture. New York: Harper & Row, 1975.
Santrock, John W. Life Span Development Jilid II, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 2002.
Stevens, Doug. Called to Care: Youth Ministry for the Church. Grand Rapid, Michigan:
Zondervan, 1985.
Strommen, Merton, et al. Youth Ministry That Transform: A Comprehensive Analysis of the
Hopes, Frustrations and Effectiveness of Todays Youth Worker. Grand Rapids, Michigan:
Zondervan, 2001.

JURNAL
Arnett, Jeffrey Jensen. Emerging Adulthood: A Theory of Development from theLate Teens
through the Twenties, American Psychologist Vol 55(5), May 2000.
Glassford, Darwin K. Reconnecting Young People with the Disconnected
Church, Perspectives Journal August/September (2007). Reformed Church Press, 2007.

INTERNET
Erikson, Erik. "The Theoretical Basis for the Life Model-Research And Resources On Human
Development". www.lifemodel.org/download/model building appendix.pdf.
Henig, Robin Marantz. "What Is It About 20-Somethings?", The New York Times(18
Agustus 2010). www.nytimes/2010/08/22/magazine/22adulthood-t.html.
LifeWay Research. www.usatoday.com.

[1]Darwin K. Glassford, Reconnecting Young People with the Disconnected

Church,Perspectives Journal August/September (2007). Reformed Church Press, 2007.


[2]LifeWay Research. http://www.usatoday.com. Survey dilakukan oleh LifeWay Research

terhadap 1.023 orang Kristen yang dilakukan antara April sampai Mei 2007. Margin
kesalahan adalah lebih kurang 3%.
[3]Erik Erikson, "The Theoretical Basis for the Life Model-Research And Resources On

Human Development". www.lifemodel.org/download/model building appendix.pdf.


[4]Jeffrey Jensen Arnett, Emerging Adulthood: A Theory of Development from

the LateTeens through the Twenties, American Psychologist Vol 55(5) (May 2000), 469480.
[5]Robin Marantz Henig, "What Is It About 20-Somethings?", The New York Times(18

Agustus 2010). www.nytimes/2010/08/22/magazine/22adulthood-t.html.

[6]John W. Santrock, Life Span Development Jilid II, Edisi Kelima. ( Jakarta: Erlangga,

2002), 73.
[7]Glassford, Reconnecting.
[8]Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Row, 1975).
[9]Doug Stevens, Called to Care: Youth Ministry for the Church (Grand Rapid, Michigan:

Zondervan, 1985), 148.


[10]Ron Hutchcraft dan Lisa Hutchcraft Whitmer, Perjuangan untuk Sebuah Generasi:

Menjangkau Hati anak-anak muda yang Terhilang (Jakarta: Metanoia, 1994), 164-179.
[11]Merton Strommen, Karen E. Jones, dan Dave Rahn, Youth Ministry That Transform: A

Comprehensive Analysis of the Hopes, Frustrations and Effectiveness of Todays Youth


Worker (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2001), 163-166.
[12]Tim Celek dan Dieter Zander, Inside the Soul of a New Generation: Insights and

Strategies for Reaching Busters (Grand Rapids: Zondervan, 1996), 111-112.


[13]Celek, Inside 113-114.
[14]Ibid., 115.
[15]Strommen, Youth Ministry, 234.
[16]Ibid., 255-256.
[17]Stevens, Called, 148.
[18]Strommen, Youth Ministry, 50-53.
[19]Stevens, Called, 149.
[20]Celek, Inside, 122.

Ulasan di bawah adalah tanggapan saya seputar Pelayanan Misi Holistik dan Transformasi, dengan
Bro Andry Pakan dan Sis Anne di forum milis Aliteia.

Demikian isinnya:

Menarik apa yg anda wacanakan seputar misi holistik kristen dan transformasi. Perkenankan sy ikut
menanggapi, line by line khususnya quote dari bro Andry. tks.
Andry Pakan:
Tentang mengurangi wacana di sekitar misi yang holistik atau transformasi yang tidak diikuti
langkah konkrit, begini : Saya menggunakan kata "menerobos (keluar dari tembok-2 Kristen)"
karena dari pengamatan saya, gereja terlalu berpusat kedalam, walaupun masih berwacana
tentang misi.
HMS:
Mungkin ada benarnya, apa yg anda katakan bhw umumya gereja2 dan kekristenan di Indonesia
dewasa ini mash ckp banyak yg terlalu berpusat ke dalam (urusan intern belaka). Pola pandang
Inward Looking. Istilah bro Harry Borneo, gereja masa kini sibuk dgn urusannya sendiri-sendiri. Ada
kesan, ingin maju sendiri-sendiri (tapi apakah benar maju?). Kecendrungan hanya ini berorientasi
pd kepentingan kalangan sendiri. Sibuk dgn urusan pembangunan gedung gereja, sibuk hanya dgn
hal-hal spiritual sakral saja: ibadah, kebaktian dll menafikan hal-hal yg profan. Sibuk dgn masalah
perbedaan2 (a.l doktrin), masalah funding, kesejahteraan pengerja gereja dan masalah
"perpecahan2" internal yg sebenarnya mgkn "tidak perlu", dll. Akibatnya, tantangan dan
permasalahan yg jauh lebih besar yg dihadapi Gereja dan Kekristenan dewasa ini, utamanya
menyangkut eksistensi di tengah masyarakat lokal-nasional, bangsa dan negara, dari Sabang
sampai Merauke jadi cendrung terabaikan.
Memang, sejatinya Kekristenan di indonesia, spt Kekristenan mula-mula, harusnya berpikir ke luar,
meliat keluar, mengantisipasi keluar. Pola pandang Outward Looking. Dilakukan semustinya dgn
derap bersama, alignment, spirit kebersamaan. Istilah yg srg digunakan para misionaris dari luar
yg saya kenal: "Harus berpendar keluar, bersinar ke luar, memancar keluar". Ini sebenarnya makna
inti Kekristenan/gereja yg misioner.
Memang kalau mau berperan lebih total, harus ada perubahan cara pandang yg mendasar.
Perubahan paradigma. Perlu ada gerakan pemahaman kembali, interpretasi kembali arti Misi. Baik
secara historis, spt yg disampaikan a.l. oleh David Bosch, maupun pengertian misi dalam
pemaknaan lebih kontemporer, dan sesuai konteks lokal, nasional dan global.

Andry Pakan:
Melayani ke pelosok-2 yang penduduknya beragama Kristen, juga disebut misi.

HMS:
Ini menurut sy tidak mjd problem, sepanjang pemahaman kita seluruh penduduk yg telah
beragama Kristen, belum sekuat yg kita perkirakan (dalam hal iman, cara pandang misioner,
kepemimpinan misi, pemaknaan akan arti persembahan dan atau konsekrasi, dll). Di kalangan
gereja Protestan old line churches/main line churches, dikenal istilah Reevanggelisasi. Di kalangan
profan entrepreneurship, dikenal istilah Reinventing. Di bidang engineering, dikenal istilah
Reengineering.
Pemaknaan Amanat Kristus "Pergilah ke Seluruh Dunia (Mrk 16), Dunia yg dimaksud tidak hanya
diartikan Dunia dalam pengertian Geografis, tapi juga dpt diartikan dlm 3pengertian berikut:
(1) Dunia dalam pengertian dunia Profesi.
(2) Dunia dalam pengertian dunia Domain/Spheres Kehidupan (Spiritual, Sosial, Politik, Tradisi
Budaya, Pendidikan, Ekonomi, Riset, Media, dst, dan
(3) Dunia dlm pengertian Dunia gereja Masa lalu, gereja Masa kini dan gereja Masa yg akan datang,
sesuai dgn zeitgeist atau garis waktu/garis jaman.
Istilah kata Misi (Mission) di masa kini, pun pula Misi Holistik (Whollistic Mission/Holistic Mission)
juga nampaknya tidak lagi mjd klaim sepenuhnya milik orang Kristen, dunia Kristen atau Gereja
(walau berawal sejarah dari histori dunia Kekristenan, ingat istilah Missio-Dei). Namun, telah
menjadi pemaknaan Universal. Seluruh dunia, seluruh lembaga sekuler, seluruh agama dan
kepercayaan, dan organisasi (Negara, Bisnis, LSM, Parpol, lembaga Pelayanan Agama: Kristen,
Hindu, Budha, dan sebagian Islam dlsb) sekarang memakai istilah Misi dan Holistic Mission ini,
terutama dlm pengungkapannya Visi Misi Beliefs Platform Strategi organisasinya. Jadi kita
memaknai arti Misi dan Misi Holistik itu dlm konteks sekarang, harus dlm view yg lebih luas, tidak
terll sempit memaknainya.

Andry Pakan:
Sepengatahuan saya, implementasi misi holistik yang sering diwacanakan di gereja/para gereja
belumlah memuaskan. Karakteristik masyarakat Nusantara yang sudah begitu banyak berubah
tidak mendapat perhatian yang seyogianya patut mendapat perhatian untuk menyesuaikan pola &
strategi misi yang tepat. Dulu, masyrakat/suku- 2didominisai oleh pandangan animisme & Hindu,
sekarang Islam.
HMS:
Sependapat dgn hal ini. Jika memakai konteks abad 18-19 benar, dulu animisme & Hindu, sekarang
Islam. Utk konteks abad ke-21, mmg tidak dpt dipukul rata demikian. Utk daerah2 mayoritas
Kristen, konfigurasinya adalah Kristen yg mgkn perlu dilakukan pembangunan paradigma, cara
pandang dan mindset Misi yg perlu direformasi terus menerus (Ecclesia reformata semper
reformanda est secundu Verbum Dei? (the reformed Church must be always reforming according
to the God's Words"). Berikutnya di daerah mayoritas Kristen masih ckp banyak dijumpai eksis
suku2 terabaikan di dalamnya, dan kelp2 masy yg mengalami smacam "shock budaya" akibat
pergeseran drastis dari budaya lokal pra modern langsung menuju budaya postmodern (tanpa

sentuhan modernisasi terlalu intens), akibat perkembangan teknologi informasi dan globalisasi yg
demikian cepat. Dan terakhir tantangan atau rambahan misi dakwah dan syiar Islam. Pola strategi
dan misi di tempat ini mmg mjd unik dan berbeda. Lain halnya dengan pola strategi dan misi di
daerah-daerah yang jelas2 mayoritas penduduknya Islam. Keduanya, spt yg telah disampaikan sis
Anne, mjd sama penting utk dilakukan.
Belum lagi, utk pola dan strategi misi ke Luar Negeri, utk pemenuhan Amanat Kristus pergi ke
seluruh dunia, dunia dalam pengertian geografis... Cepat atau lambat hal ini pun harus dilakukan
Kekristenan dan Gereja. Melakukan tugas misi ke Afrika misalnya, Timur Tengah, Israel, Asia
Tengah, Pakistan, India, RRC, Korut, Jepang, Asia Timur lainnya, Oceania, Amerika Latin bahkan ke
Eropa dan Amerika. Semua mjd tugas sama penting utk dijalankan Kekristenan Indonesia, baik di
masa kini maupun di masa-masa yad.

Andry Pakan:
Dulu, para misionaris sebelum datang ke Nusantara melakukan persiapan-2 yang matang dengan
mempelajari karakteristik masyarakat animist, Hindu. Misal, dalam hal penguasaan bahasa,
adat/budaya dan berbagai hal yang spesifik dari suatu suku. Sekarang, berapa banyak gereja dan
para gereja mempelajari Islam dan karakteristik masyarakat islami? Berapa banyak gereja yang
mengajak jemaatnya untuk mengenal ajaran Islam sebagai bekal untuk berinteraksi setiap hari?.
Mengucapkan 'assalamualaikum' saja kita alergi bukan? Akibatnya, tidak banyak jiwa-jiwa baru
yang dituai oleh gereja-2. Gereja atau para gereja yang patut dinilai melakukan misi dalam arti
yang sebenarnya dapat dibuktikan oleh adanya anggota baru usia dewasa yang sebelumnya non
Kristen di gereja tsb yang menjadi anggota bukan karena menikah dengan anggota gereja tsb.
Tanpa kehadiran orang-orang yang demikian, pada dasarnya gereja tsb tidak melakukan misi,
walaupun setiap tahun malaksanakan program 'bulan misi', 'pelatihan tenaga misi', dlsb.
HMS:
Menurut saya, bila Kekristenan warga masy Krsiten di Indonesia ingin "powerful" dalam kesaksian
dan misinya, sudah harus membagi diri, menurut visi, beban, potensi, karunia, resources, natur
passionate yg ada pada mereka masing-masing. Bersiap utk pergi ke Dunia, baik dlm pengertian
Geografis, Profesi, Spheres maupun ekspektasi Gereja masa Kini ke prospek Gereja masa datang.
Mana dari umat Kristen yg harus diperlengkapi (to be equipped), harus menyiapkan diri di dalam
pola strategi dan misi ke-3 bagian, yakni "terjun" dlm kesaksian dan pelayanan di:
(1) Daerah-daerah mayoritas Kristen utk misi perkuatan "kembali", continually reforming gereja2
kekristenan scr integratif-holistik,
(2) Daerah-daerah mayoritas Islam utk misi membangun jembatan komunikasi dan kedekatan serta
Kabar Baik, dan
(3) Daerah-daerah di Luar Negeri - Misi antar Bangsa antar Negara, utk memenuhi misi pencapaian
sampai ke Ujung-Ujung Bumi, sebelum Tuhan datang kembali. Ini harus menjadi "Visi Besar" dan
sekaligus "Misi Besar" yg harus disiapkan semua Gereja2.. Kekristen di Indonesia sejak masa
sekarang.

Andry Pakan:
Seandainya dilakukan riset yang memadai tentang urgensi misi bagi gereja-2 dan aktivitas misi
gereja-2 di Indonesia, mungkin hasilnya memprihatinkan. Seorang kawan yang mengkhususkan
dirinya melakukan PI pribadi ke masy. Muslim Sunda mengalami dua kali penolakan dari gereja.
Yang pertama, ketika dia membawa beberapa petobat baru ke gereja dimana dia menjadi
anggota, gereja tsb menolak menerima petobat-2 baru tsb. Kemudian dia ke gereja yang lain
dalam wilayah yang sama, dia juga mengalami penolakan. Mengapa gereja-2 tsb menolak? Takut,
takut terhadap reaksi masy. setempat, inilah tipikal gereja yang tidak peduli terhadap misi dan
tipikal gereja yang cari aman.
HMS:
Seperti yg telah saya sampaikan diatas, menjadi sangat urgen upaya pembalikan paradigma,
transformasi mindset. Dan ini butuh upaya memperlengkapi scr lebih seksama terutama dlm hal
Pola pandang Outword Looking dan Kepemimpinan Misi. Tentu harus disertai dgn contoh-contoh
dan keteladanan.

Andry Pakan:
Kemudian, lihatlah HKBP, gereja suku dan gereja terbesar di Asia (?), berapa orang sih anggota
HKBP di seluruh dunia yang non Batak dan/atau yang ex non Kristen?. Demikian juga dengan
gereja suku yang lain, seperti gereja Toraja. Pengaruh adat dalam kehidupan sehari-hari dari
anggota-2 kedua gereja tsb masih cukup kental bahkan dominan. Sejarahwan kondang dari UI, Dr.
Ong Hok Ham (salah eja?) alm, mengungkapkan keheranannya terhadap orang-orang Batak di
perantauan. Dari pengamatannya dia berkesimpulan, orang-2 Batak (pria & wanita) adalah tipikal
pekerja keras dalam profesi apapun. Tetapi, mengapa tidak banyak yang kaya (hidup pas-pas an),
dikemanakan penghasilan yang pasti jauh melebihi kebutuhan hidup sehari-hari? . Dr. Ong
menjawab : "high culture cost". Seandainya Dr. Ong melakukan riset di masyarakat Toraja yang 90%
lebih penduduknya beragama Kristen, dia akan menemukan hal yang sama, ongkos budaya telah
menguras harta benda yang dengan susah payah dikumpulkan.
Dari sini saya berkesimpulan, misi yang holistik yang berakibat kepada terjadinya transformasi
secara utuh kehidupan orang-2 yang dilayani tidak berhasil sepenuhnya dilakukan oleh para
misionaris yang ke Tapanuli dan yang ke Toraja. Walaupun tidak sedikit sekolah-2 yang dibuka oleh
para misionaris sebagai implementasi misi yang holistik, dan sekolah-2 tsb telah sangat berjasa
dalam mencerdaskan warga kedua suku tsb , tetapi semua pelayanan tsb belum dapat membuat
orang Batak dan Toraja yang Kristen melepaskan diri dari dominasi adat istiadat. Kalau Toraja yang
usia Kristennya jauh lebih muda dibanding Batak, mungkin masih bisa berdalih, "kami kan belum
terlalu lama menjadi orang Kristen, beda dengan gereja-2 Batak yang sudah lebih 100 th.
menerima Injil." Tapi, kalau meperhatikan apa yang ada dalam gereja Toraja sekarang, sampai
Tuhan Yesus datang pun tetap saja adat mendominasi kehidupan jemaat. Mengapa? Tidak /belum
ada terobosan (salah satunya semacam fatwa) dari institusi gereja yang patut diperhitungkan
dapat "menggiring" jemaat hidup secara Kristen yang utuh.Ada beberapa anggota gereja Toraja
yang melakukan terobosan secara pribadi dengan menititp pesan kepada anak-2nya agar supaya
kalau dia meninggal pemakamannya tidak dilakukan berdasarkan aturan-2adat yang salah satunya

harus mengorbankan puluhan ekor kerbau dan babi.


HMS:
Ini menjadi tugas bersama kita Warga Masy Kristen tmsk Aliteia, bukan hanya jadi tugas pengerja
atau petinggi HKBP dan Gereja Toraja utk terus menerus Reforming, transformasi mindset. Kita
harus melihatnya ini sbg tantangan yg positif bagi kemajuan bersama, bukan sbg aspek kelemahan
yg negatif. Apa yg diungkap oleh Ong Hok Ham, mungkin ada benarnya sbg high culture cost, tapi
juga saya melihat tidak sepenuhnya benar. Nilai-nilai budaya lokal, kearifan lokal, tidak
seluruhnya keliru.
Ukuran nilai Kebudayaan (Culture), tidak serta merta "apple to apple" utk diperbandingkan dgn
nilai cost atau high cost dalam prinsip Ekonomi. Ong meliatnya dari segi Ekonomi. Jika orang
Budaya disuru meliat pola behavior komunitas Ekonomi/pebisnis, juga akan mengatakan mereka
ini minim budaya, miskin nilai-nilai Keutamaan kultur. Sama saja. Lebih baik kita meliat segi
positif hubungan antara Sosial-Ekonomi dan Budaya. Demikian juga sebaliknya.

Andry Pakan:
Berbicara tentang misi yang holistik, terhadap petobat-2 baru sekarang ini perlu sekali
diperhatikan hidupnya. Kita ketahui bahwa kalau seorang Islam meninggalkan agamanya, dia akan
dikucilkan, bahkan tidak sedikit yang dikejar-kejar dan diancam dibunuh. Misi yang holistik juga
hemat saya, tidak harus dimulai dengan pemberitaan Injil secara verbal terlebih dahulu, tetapi
mungkin pelayanan lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari dari objek yang dilayani. Bisa
berupa pelayanan kesehatan, pemberdayaan kehidupan ekonomi masyarakat, pendidikan , dlsb.
Kemudian, pada saat yang tepat, Injil yang diberitakan harus menyentuh/mempengar uhi seluruh
aspek hidup orang-orang yang dilayani, termasuk kebiasaan-2 yang dianggap baik sebagai wujud
ketaatan kepada leluhur (adat istiadat yang tidak sesuai dengan prinsip-2 Alkitab). Kalau ini
terjadi barulah dapat dikatakan Injil telah mentransformasi secara utuh kehidupan seseorang.
HMS:
Secara historis, apa yg bro sampaikan ini sudah mulai ckp banyak disadari dan mulai dilakukan
oleh ckp banyak kalangan Kristen. Saya dan bersama-sama dengan teman-teman lain (ada
sebagian di milis ini), sdh menyadari sejak kami lulus dari perguruan tinggi di masa lalu. Sebab itu
kami katakan, bentuk kongkrit sangat kongkrit, holistik mission atau apapun namanya (christian
resource center, dsjnsnya) ini, sbg "A Tribute for The Nation".
Di beberapa majalah, tmsk majalah DIA Pkts, di edisi-edisi tahun 1986-1987 saya sdh ungkapkan
dan presentasikan panjang lebar mengenai Pola Pewartaan yang Membangun Jembatan Komunikasi
dan Kedekatan trtm dgn saudara-saudara2 kita yg berlainan agama. Berikut hasil-hasil yg bisa
dicapai. Spt contoh pengalaman di daerah2 pelayanan Bugis Makassar Selayar dan Mandar
(mayoritas Islam dan sinkretis Mukdi Akbar), di Bali (mayoritas Hindu), di Bengkulu (mayoritas
Islam), di Sulawesi bagian Timur (utk daerah2 mayoritas Islam), dll. Upaya program
Entrepreneurship sosial, UKM, microfinance, Comm. Dev (kesehatan, pendidikan), Pertanian, dll
boleh disebut sbg Pre Evangelism utk menyuburkan tanah-tanah bagi upaya tabur benih Kabar
Baik. Membangun jembatan, membangun relasi, membangun kedekatan dgn umat yang berbeda
keyakinan Agama. Hasil-hasil di beberapa daerah ini dan banyak daerah lainnya, saya kira, telah

menunjukkan hasil yang ckp baik. Tentu perlu ditingkatkan lagi utk tantangan2 hari ini dan masa
yad.

Maka, ini mjd tugas kita bersama, agar bilamana dari rekan2 Kristiani kita di manapun, belum
menyadari akan tantangan yg sdg kita hadapi sekarang, belum menyadari akan signifikansi
penting..esensi dari Misi, Misi Holistik dan Transformasi, mulai saat ini dapat lebih terbuka bagi
suatu perubahan dan kemajuan bersama. Sekali lagi ini menjadi tugas kita bersama! Kiranya Tuhan
akan terus menyertai dan memimpin kita menjadi Orang Kristen, warga gereja, warga Masy
Kristen yang Misioner.

Anda mungkin juga menyukai