Anda di halaman 1dari 76

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK ENDOKRIN
PENGLIHATAN TERGANGGU

KELOMPOK A-14
KETUA

: Kharisma Berlian Sjukri

(1102013150)

SEKRETARIS

: Arlita Mirza Dian Prastiwi

(1102013043)

ANGGOTA

: Arief Nurhidayah Saputro

(1102012028)

Ayu Mulyalestari

(1102012037)

Khalida Handayacita

(1102012140)

Abdul Rahman

(1102013001)

Abiyya Farah Putri

(1102013003)

Anita Indah Fitrianti

(1102013034)

Dhina Lorenza

(1102013082)

Fathonah Fatimatuzahra Said

(1102013108)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2015/2016
2

SKENARIO 1
PENGLIHATAN TERGANGGU
Tn. A, 56 tahun, mengeluh penglihatan terganggu di kedua mata sejak 2 bulan yang lalu.
Kadang-kadang terlihat bintik gelap dan lingkaran-lingkaran cahaya. Pasien sudah mengidap
DM tope 2 sejak 5 tahun. Saat ini telapak kaki terasa kesemutan dan nyeri bila berjalan.
Tekanan darah 130/90 mmHg, berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm dan indeks massa tubuh
(IMT) 29,4 kg/m2, lingkar perut 108 cm. Kulit teraba kering dan pada pemeriksaan sensorik
dengan Monofilament Semmes Weinsten 10 gram sudah terdapat penurunan rasa nyeri.
Pemeriksaan Ankle Brachial Index 0,9. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat mikroaneurisme
dan perdarahan dalam retina. Hasil laboratorium glukosa darah puasa 256 mg/dl, glukosa darah 2
jam setelah makan 345 mg/dl, HbA1c 10,2 g/dl dan protein urin positif 3.
Dokter mentarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat komplikasi kronik
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Pasien juga diberikan edukasi perencanaan
makan diet 1900 kalori yang halal dan baik sesuai ajaran Islam, jenis olahraga yang sesuai dan
pemberian insulin untuk mengontrol glukosa darahnya, serta efek samping yang dapat terjadi
akibat pemberian obat.

Kata sulit :
1. DM tipe 2
: Gangguan metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,kerja insulin atau kedua
duanya. Biasanya pada usia > 45 Tahun.
2. Monofilament Semmes Weinsten
: Uji sensibilitas untuk mengetahui adanya diabetic
peripheral neuropathy.
3. Mikroaneurisme
: Pembengkakan pembuluh darah berukuran mikro
dan dapat terlihat titik titik merah pada retina.
4. Ankle Brachial Index
: Membandingkan tekanan sistol pada betis dan
lengan.
5. Pemeriksaan Funduskopi
: Pemeriksaan mata bagian fundus untuk melihat
kelainan pada jaringan mata, pembuluh drah,dan saraf penglihatan. Pemeriksaan dengan
optalmuskopi.
6. Mikroangiopati
: Adanaya lipid/Gumpalan darah pada pembuluh
darah kecil.
7. Makroangiopati
: Adanya lipid/ gumpalan darah pada pembuluh
darah besar.
8. HbA1C
: Zat yang terbentuk dari reaksi glukosa dan
hemoglobin yang menggambarkan konsentrasi gula darah rata rata selama 1-3 bulan.
9. Insulin
: Polipeptida yang terdiri dari 2 rantai dibuat di sel
beta pancreas.
10. IMT
:untuk mengetahui ideal atau tidaknya massa tubuh
dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2).
11. Neuropati
: Gangguan syaraf yang menimbulkan rasa nyeri,
kesemutan dan mati rasa.

Pertanyaan:
1. Apa yang menyebabkan terlihatnya bintik gelap dan lingkaran cahaya pada mata?
2. Apa penyebab kesemutan yang dialami pasien?
3. Berapa kadar normal IMT?
4. Apa penyebab proteinuria pada pasien?
5. Apa tujuan dilakukannya ankle brachial index?
6. Mengapa pasien harus diet rendah kalori?
7. Apa saja komplikasi DM Tipe 2? Mengapa bisa terjadi?
8. Adakah terapi untuk pasien selain insulin dan diet rendah kalori?
9. Apa efek samping dari pemberian obat?
10. Mengapa terjadi perdarahan pada retina? Mengapa terjadi mikroaneurisme?
11. Apa faktor resiko dari DM tipe 2?
12. Bagaimana diet rendah kalori yang halal?
13. Apa jenis olahraga yang sesuai?
Jawaban:
1. Karena terjadi mikroaneurisme.
2. Karena aliran darah tidak lancar, maka terjadi neuropati dan menyebabkan kesemutan.
3. underweight: <18,5
- Normal : 18,5-22,9
- Overweight : > 23
- Resiko obesitas :24 -24,9
- Obesitas tingkat 1 : 25- 29,9
- Obesitas tingkat 2 : > 30
4. Insulin menghambat gluconeogenesis, karena insulin menurun, asam aminotidak
disintesis sehingga menumpuk di aliran darah lalu masuk ke ginjal dan keluar bersama
urin.
5. Karena adanya kelainan pembuluh darah dan untuk mengetahui resiko penyakit di
pembuluh darah.
6. Karena insulin terhambat sehingga menumpuk di pembuluh darah, untuk erhindar dari
komplikasi lainnya.
7. Retinopahy Diabetic: suplai darah terhambat sehingga suplai oksigen menurun.
- Ketoasidosis diabetic: insulinnya menurun
- Koma asidosis asam laktat
8. Ada , olahraga, oba obat hiperglikemi
9. Hipoglikemia, BB meningkat, edema
10. Aliran darah tersumbat lalu terjadi mikroangiopati yang mebentuk neovaskular yang
rapuh dan mudah patah.
11. Usia, lifestyle, jenis kelamin, obesitas, genetic.
12. Menurut ajaran agama islam: tidak makan berlebih, berhenti makan sebelum kenyang,
memilih makanan yang halal dan thoyiban, cuci tangan dan membaca doa sebelum dan
sesudah makan.

13. Yang bersifat : aerobic 30 menit selama 5 kali setiap minggunya, angkat beban, stretching
(supaya idak kaku).

Sasaran belajar :
LI 1. Memahami dan Menjelaskan Pernan Insulin dalam Tubuh Manusia
1.1.

Menjelaskan struktur kimia, sintesis, sekresi dan pengaturan insulin di dalam


tubuh manusia normal.

1.2 Menjelaskan factor factor yang menstimulasi dan menghambat sekresi insulin.
1.3 Menjelaskan faal insulin terutama efeknya terhadap metabolisme karbohidrat,lemak
dan protein
LI 2. Memahami dan menjelaskan penyakit Diabetes Melitus
2.1. Menjelaskan dasar dasar penyakit DM
klasifikasi dan pathogenesis

dengan menyebutkan definisi,etiologi,

2.2. Menjelaskan bagaimana mendiagnosis DM dari mulai anamnesis, tanda klinis dan
pemeriksaan penunjang.
2.3. Menjelaskan cara mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan komplikasi akut
pada penyakit DM : hipoglikemia, ketoasidosis diabetic, dan hyperosmolar nonketotik
2.4. Menjelaskan cara mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan komplikasi kronik
penyakit DM :mikroangiopati, makroangiopai dan neuropati
2.5. Menjelaskan penatalaksanaan DM : diet, olahraga dan obat
2.6. Menjelaskan prognosis DM
2.7. Menjelaskan pencegahan penyakit DM dengan cara edukasi, baik pencegahan primer
, sekunder maupun tersier
LI 3. Memahami dan menjelaskan retinopati diabetic
3.1. Menjelaskan definisi,epidemiologi,etiologi,klasifikasi dan patofisiologi
3.2. Menjelaskan gejala klinis dan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
3.3. Menjelaskan penatalaksanaan dan prognosis
3.4. Menjelaskan pencegahn retinopati diabetic
LI 4. Memahami dan menjelaskan cara menghiung kebutuhan kalori pada pasien DM
4.1. Menjelaskan perhitungan kebutuhan kalori total sesuai jenis kelamin, usia, berat
badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan factor stress, dengan metode Broca dan Harris
Benedict
4.2. Menjelaaskan presentasekomposisi makronutrien karbohidrat, protein, lemak dan
menterjemahkannya dalam bentuk gram
6

4.3. Menjelaskan jumlah gram karbohidrat, protein,lemak dalam bentuk bahan makanan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan Penukar (DKBM)
LI 5. Memahami dan menjelaskan farmakoterapi obat anti diabetes
5.1. Menjelaskan penggolongan , farmakokinetik, farmakodinamik, efek samping,dan
kontra indikasi obat anti hipoglikemik oral
5.2. Menjelaskan penggolongan , farmakokinetik, farmakodinamik, efek samping,dan
cara pemberian insulin.
LI 6. Memahami dan menjelaskan makanan yang halal dan baiksesuai ajaran Islam

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Pernan Insulin dalam Tubuh Manusia


1.1.

Menjelaskan struktur kimia, sintesis, sekresi dan pengaturan insulin di


dalam tubuh manusia normal.

Struktur Kimia Insulin


Secara kimia, insulin adalah protein kecil sederhana yang terdiri dari 51asam amino, 30 di
antaranya merupakan satu rantai polipeptida, dan 21 lainnya yang membentuk rantai kedua.
Kedua rantai dihubungkan olehikatan disulfida.Kode genetik untuk insulin ditemukan dalam
DNA di bagian atas lengan pendek dari kromosom kesebelas yang berisi 153 basa nitrogen (63
dalam rantai A dan 90 dalam rantai B). DNA yang membentuk kromosom, terdiridari dua heliks
terjalin yang dibentuk dari rantai nukleotida, masing-masingterdiri dari gula deoksiribosa, fosfat
dan nitrogen. Ada empat basa nitrogen 9 yang berbeda yaitu adenin, timin, sitosin dan guanin.
Sintesis protein tertentu seperti insulin ditentukan oleh urutan dasar tersebut yang diulang.

Sintesis Insulin

Insulin disintesis sebagai suatu preprohormon dan merupakan prototipe untuk peptida yang
diproses dari molekul prekusor yang lebih besar. Rangkaian pra atau rangkaian pemandu yang
bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna
retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan molekul proinsulin
dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukan
jembatan disulfida yang sempurna. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan
peptida yang tapakspesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C yang ekuimolar.

Proinsulin disintesis oleh ribosom pada retikulum endoplasma yang kasar, dan pengeluaran
enzimatik peptida pemandu (pre) memotong ikatan disulfide serta pelipatan terjadi di dalam
sisterna organel ini. Molekul proinsulin diangkut ke apparatus Golgi, di sini proteolisis serta
pengemasan ke dalam granul sekretorik dimulai. Granul terus mematangka n diri ketika
melintasi sitoplasma menuju membran plasma. Proinsulin dan insulin keduanya bergabung
dengan seng untuk membentuk heksamer, tetapi karena sekitar 95% dari proinsulin tersebut
diubah menjadi insulin, kristal hormon terakhir inilah yang memberikan keistimewaan
morfologik kepada granul tersebut. Peptida C dengan jumlah ekuimolar terdapat di dalam granul
ini, kendati molekul ini tidak membentuk struktur kristal. Dengan perangsangan yang tepat,
granul yang matur akan menyatu dengan membran plasma dan melepaskan isinya ke dalam
cairan ekstrasel lewat proses eksositosis.

Sekresi Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta
kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis
dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi
glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan
hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum
endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena
fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah.
Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan
terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino
dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya
rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami
secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh
molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat
melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses
metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar
kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke
dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul
ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan
9

K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian
oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca
sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.
( Gambar 1 )
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan
oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh
beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat
anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama
dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.

10

Mekanisme Kerja Insulin


Reseptor insulin dijumpai di berbagai jenis sel dalam tubuh, termasuk sel yang tidak
meningkatkan ambilan glukosanya meskipun dengan adanya insulin. Reseptor tersebut, yang
memiliki berat molekul sekitar 340.000, adalah suatu tetramer yang terdiri dari dua subunit
glikoprotein. Kesemuanya disintesis pada suatu mRNA dan kemudian mengalami pemisahan
secara proteolisis kemudian berikatan satu sama lain dengan ikatan disulfida. Gen untuk
reseptor insulin memiliki 22 ekson dan terletak di kromosom 19. Subunit mengikat insulin dan
11

terletak ekstrasel, sementara subunit melintasi membran. Ujung intrasel subunit memiliki
aktivitas tirosin kinase. Subunit dan mengalami glikosilasi, dengan residu gula meluas ke
dalam cairan interstisium.
Pengikatan insulin mencetuskan aktivitas tirosin kinase subunit
, menyebabkan
otofosforilasi subunit pada residu tirosin. Otofosforilasi, yang penting bagi efek biologik
insulin, memicu fosforilasi sebagian protein sitoplasma dan defosforilasi pada protein lainnya,
umumnya pada residu serin dan treonin. Telah ditemukan empat protein substrat reseptor insulin
(IRS) di sel : IRS-1, IRS-2, IRS-3, dan IRS-4. Masing-masing mungkin merupakan sebagian
kecil faktor dalam kaitannya dengan kerja insulin. Sebagai, contoh, tikus yang gen reseptor
insulinnya dirusak memperlihatkan retardasi pertumbuhan yang parah in-utero, mengalami
kelainan SSP dan kulit, dan mati saat lahir akibat kegagalan pernafasan. Namun tikus yang
mengalami perusakan IRS-1 hanya mengalami retardasi pertumbuhan tingkat sedang in-utero,
dapat bertahan hidup dan resisten insulin tetapi selain itu tetap normal. Dengan demikian, jalur
intrasel yang tidak melibatkan IRS-1 tampak ikut serta dalam kerja insulin.
Sewaktu berikatan dengan reseptornya, insulin menggumpal dalam bercakbercak dan
dimasukkan ke dalam sel melalui proses endositosis yang diperantarai reseptor. Akhirnya
kompleks insulin-reseptor masuk ke dalam lisosom, tempat reseptor diperkirakan terurai atau
didaur ulang. Waktu paruh reseptor insulin adalah sekitar 7 jam. Jumlah atau afinitas reseptor
insulin, atau keduanya, dipengaruhi oleh insulin dan hormon lain, olahraga, makanan, dan faktor
lain. Pajanan ke insulin dalam jumlah yang meningkat akan menurunkan konsentrasi (downregulation) reseptor, dan pajanan ke insulin dalam jumlah menurun akan meningkatkan afinitas
reseptor. Jumlah reseptor per sel meningkat pada kelaparan dan menurun pada obesitas dan
akromegali. Afinitas reseptor meningkat pada insufisiensi adrenal dan menurun oleh kelebihan
glukokortikoid.
Transporter Glukosa
Glukosa masuk ke dalam semua sel melalui difusi terfasilitasi atau di usus dan ginjal,
melalui transport aktif sekunder dengan Na+. Di otot, jaringan lemak, dan sebagain jaringan lain,
insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter
glukosa ke dalam sel.
Transporter glukosa yang berperan dalam difusi terfasilitasi glukosa melintasi membran sel
adalah sekelompok protein yang berkaitan erat dan 12 kali melintasi membran sel serta memiliki
terminal amino dan karboksil di dalam sel. Protein-protein ini berbeda, dan tidak memiliki
homologi, dengan transporter glukosa dependen natrium, SGLT, dan SGLT 2, yang berperan
dalam transpor aktif sekunder glukosa keluar usus dan tubulus ginjal walaupun SGLT juga
memiliki 12 ranah transmembran. Asam amino transporter fasilitatif, yang terutama terdapat
dalam segmen heliks transmembran 3,5,7, dan 11 tampaknya mengelilingi saluran tempat masuk
glukosa. Diperkirakan kemudian terjadi konformasi lalu perubahan, dan glukosa kemudian
dilepaskan ke dalam sel.
Telah diketahui tujuh transporter glukosa yang berbeda-beda, yang diberi nama sesuai urutan
penemuan GLUT 1-7. Molekul-molekul ini mengandung 492-524 residu asam amino, dan
afinitasnya terhadap glukosa di jaringan otot dan adiposa yang dirangsang oleh insulin. Dalam
vesikel di sitoplasma sel-sel peka insulin, terdapat cadangan molekul GLUT 4. Bila reseptor
insulin di sel-sel ini diaktifkan, vesikel tersebut bergerak cepat ke membran sel dan berfusi
12

dengannya, menyelipkan transporter ke dalam membran sel. Saat kerja insulin terhenti, bercak
membran yang mengandung transporter mengalami endositosis, dan vesikel siap untuk pajanan
insulin berikutnya. Pengaktifan reseptor insulin menyebabkan pergerakan vesikel ke membran
sel dengan mengaktifkan fosfo-inositol 3 kinase. Sebagian besar dari transporter GLUT lain yang
tidak peka insulin tampaknya tetap berada di membran sel.
Pada jaringan yang jumlah transporter glukosa di membran selnya ditingkatkan oleh insulin,
kecepatan fosforilasi glukosa, setelah masuk ke dalam sel, diatur oleh hormon lain. Hormon
pertumbuhan dan kortisol menghambat fosforilasi di jaringan tertentu. Proses ini dalam keadaan
normal berlangsung sedemikian cepat sehingga bukanlah merupakan reaksi penentu kecepatan di
sel B.
Insulin juga meningkatakan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi bukan melalui
peningkatan jumlah transporter glukosa GLUT-4 di membran sel, melainkan dengan memicu
glukokinase. Hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa bebas intrasel tetap rendah,
mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel.
Jaringan peka insulin juga mengandung populasi vesikel GLUT 4 yang bergerak ke dalam
membran sel sebagai respons dari berolahraga dan populasi vesikel ini tidak bergantung pada
kerja insulin. Hal ini merupakan penyebab mengapa berolahraga dapat menurunkan kadar gula
darah. Suatu kinase yang diaktifkan oleh 5AMP mungkin berperan dalam insersi vesikel ini ke
membran sel.
Hubungan dengan K+
Insulin menyebabkan K+ masuk ke dalam sel sehingga terjadi penurunan konsentrasi K+
ekstrasel. Pemberian infus insulin dan glukosa secaara bermakna menurunkan kadar K+ plasma
pada orang normal dan sangat efektif untuk mengatasi hiperkalemia secara temporer pada pasien
gagal ginjal. Hipokalemia sering terjadi pada pasien asidosis diabetikum yang mendapat insulin.
Penyebab migrasi intrasel K+ masih belum diketahui. Namun, insulin meningkatkan aktivitas
Na+K+ATPase di membran sel, sehingga lebih banyak K+dipompa ke dalam sel.
Efek lain
Efeknya pada glikogen sintase meingkatkan penyimpanan glikogen, dan efeknya pada enzim
glikolitik mendorong metabolisme glukosa menjadi dua fragmen karbon, dengan akibat
peningkatan lipogenesis. Perangsangan sintesis protein akibat masuknya asam amino ke dalam
sel dan hambatan pemecahan protein juga mendorong pertumbuhan.
Efek anabolik insulin dibantu oleh efek hemat protein karena pasokan glukosa intrasel yang
adekuat. Kegagalan pertumbuhan adalah salah satu gejala diabetes pada anak, dan insulin
merangsang pertumbuhan tikus imatur yang mengalami hipofisektomi sampai ke tingkat yang
mendekati hormon pertumbuhan.
1.2 Menjelaskan factor factor yang menstimulasi dan menghambat sekresi insulin.
Peningkatan kadar glukosa darah, seperti yang terjadi setelah penyerapan makanan, secara
langsung merangsang sintesis dan pengeluaran insulin oleh sel . Sebaliknya penurunan kadar
glukosa darah di bawah normal, seperti yang terjadi saat puasa, secara langsung menghambat
sekresi insulin. Selain konsentrasi glukosa plasma., berbagai masukan berikut juga berperan
dalam mengatur skeresi insulin:
Peningkatan kadar asam amino plasma, seperti yang terjadi setelah memakan makanan tinggi
protein, secara langsung merangsang sel untuk meningkatkan sekresi insulin. Melalui
13

mekanisme umpan balik negatif, peningkatan insulin tersebut meningkatkan masuknya asam
asam amino tersebut ke dalam sel, sehingga kadar asam amino dalam darah menurun
sementara sintesis proein meningkat.
Hormon pencernaan utama yang disekresikan oleh saluran pencernaan sebagai respons
terhadap adanya makanan, terutama gastric inhibotiry peptide (GIP), merangsang sekresi
insulin penkreas selain memiliki efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan. Melalui
kontrol ini, sekresi insulin meningkat secara feedforward atau antisipatorik bahkan
sebelum terjadi penyerapan zat gizi yang meningkatkan kadar glukosa dan asam amino
dalam darah.
Sistem saraf otonom secara langsung juga mempengaruhi sekresi insulin. Pulau pulau
langerhans dipersarafi oleh banyak serat saraf parasimpatis dan simpatis. Peningkatan
aktivits parasimpatis yang terjadi sebagai respons terhadap makanan dalam saluran
pencernaan merangsang pengeluaran insulin. Sebaliknya, stimulasi simpatis dan peningkatan
pengeluaran epinefrin akan menghambat sekresi insulin. Penurunan insulin meningkatkan
kadar glukosa darah, suatu respons yang sesuai untuk keadaan keadaan pada saat terjadi
aktivitas sistem simpatis yaitu, stres dan olahraga.
Faktor yang Mempengaruhi sekresi insulin
Stimulator
Glukosa
Manosa
Asam amino (leusin, arginin, lain-lain)
Hormon saluran cerna (GIP, GLP-1, gastrin,
sekretin, CCK, dll)
Asam beta-keto
Asetilkolin
Glukagon
CAMP
Stimulator adrenergik-beta
Teofilin
Sulfonilurea

1.3 Menjelaskan faal insulin


karbohidrat,lemak dan protein

Inhibitor
Somatostatin
2-deoksiglukosa
Manoheptulosa
Stimulator
adrenergik-alpha
(norepinefrin,
epinefrin)
Penghambat adrenergik-beta (propanolol)
Galanin
Diazoksid
Diuretik tiazid
Deplesi K+
Fenitoin
Aloksan
Inhibitor mikrotubulus
Insulin

terutama

efeknya

terhadap

metabolisme

Efek Metabolisme dari Insulin


Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini
bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar
glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada
diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan
metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin
14

(defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin),
disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1),
gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi
insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat).
Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis
glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni
peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau
minum).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang
bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan
cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar
glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara
klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar
glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk
peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi
insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin
sensitizer ).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin,
pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara
klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi
Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme
kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara
relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu
(TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g
glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga
dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 126 mg/dl, yang
disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ). Keadaan hiperglikemia yang
terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi
ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang
secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa
darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab
terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi
yang meluas.
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT
menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan
sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan
bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun
hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul
semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari
peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar
semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
15

proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi
glukosa dari hepar.
(Ganong, W.F., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.22. Jakarta: EGC)
Efek-efek insulin dalam tubuh
Insulin menurunkan kadar glukosa, asam amino, dan asam lemak darah serta meningkatkan
anabolisme molekul nutrien kecil ini.
Efek pada karbohidrat
1. Insulin memiliki empat efek yang dapat menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan
penyimpanan karbohidrat sebagai berikut.
2. Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sebagian besar sel. Beberapa jaringan
yang tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, yaitu otak, otot yang aktif, dan hati.
3. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, baik di otot maupun di
hati.
4. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati.
Efek pada lemak
Insulin mempunyai banyak efek untuk menurunkan kadar asam lemak darah dan medorong
pembentukan simpanan trigliserida sebagai berikut :
1. Insulin meningkatkan transportasi glukosa ke dalam sel jaringan adiposa. Glukosa berfungsi
sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk
membentuk trigliserida
2. Insulin mengaktifkan enzim enzim yang mengkatalisai pembentukan asam lemak dari
turunan glukosa
3. Insulin meningkatkan masuknya asam asam lemak dari darah ke dalam sel jaringan adiposa
4. Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), sehingga terjadi penurunan pengeluaran
asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam darah.
Efek pada protein
Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein sebagai berikut :
1. Insulin mendorong transportasi aktif asam asam amino dari darah ke dalam otot dan jaringan
lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menghasilkan bahan pembangun
untuk sintesis protein di dalam sel.
2. Insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam amino ke dalam protein dengan
merangsang perangkat pembuat protein di dalam sel.
3. Insulin menghambat penguraian protein. Akibat efek ini adalah efek anabolik protein. Karena
itu insulin esensial bagi pertumbuhan normal.
LI 2. Memahami dan menjelaskan penyakit Diabetes Melitus
2.1. Menjelaskan dasar dasar penyakit DM dengan menyebutkan definisi,etiologi,
klasifikasi dan pathogenesis

16

Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan
multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
Etiologi
Diabetes Tipe 1
Akibat destruksi autonom sel beta,bentuk diabetes tipe 1 yang parah memerlukan
insulin biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi penyakit ini juga
bermanifestasi pada orangdewasa dalam bentuk yang lebih ringan, mula-mula dalam
bentuk yang tidak memerlukaninsulin.
Terdapat 3 etiologi penyebab diabetes tipe 1:
1.Kerentanan genetik
Berkaitan dengan alel spesifik kompleks histo kompatibilitas mayor (MHC) kelas
2dan lokus genetik lainnya menyebabkan seseorang rentan terhadap timbulnya
autoimunitasterhadap sel beta islet.reaksi imun timbul secara spontan atau dipicu oleh
suatu kejadianlingkungan yang mengubah sel beta sehingga sel ini menjadi
imunogenik.
2.Autoimunitas
- Terjadi akibat serangan autoimun kronis terhadap sel beta
- Infiltrat peradangan limfosit
- Terdiri atas limfosit T CD8 dengan limfosit T CD4 dan makrofag dalam jumlah
bervariasi.
- Sel beta islet mengalami kerusakan secara selektif
- Limfosit CD8 sitotoksik tampaknya merusak sel islet melalui pengeluaran granula
sitotoksik
- Anggota keluarga asimtomatik dari pasien dengan DM tipe 1 membentuk
autoantibodi sel islet beberapa bulan sampai tahun sebelum memperlihatkan
gejalaklinis diabetes
- Sekitar 10-20% orang yang mengidap diabetes tipe 1 juga menderita penyakit
autoimun spesifik organ lain, seperti tiroiditis hasimoto, penyakit siliak, penyakit
graves, penyakit addision atau anemia pernisiosa.
3.Faktor lingkungan
Kerentanan genetik mempermudah terjadinya destruksi sel islet secara
autoimun,serangan lingkungan dapat memicu autoimunitas dengan merusak sel
beta,virus dapatmenjadi pemicu. Virus yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 adalah
coxsackievirus, parotitis, campak, rubela, mononukleosis infeksiosa. Bagaimana virus
berperan dalam patogenesis belum diketahui. Beberpa penelitian berpendapat bahwa
virus memicu penyakitdengan mimikiri virus (virus mengeluarkan protein mirip
dengan antigen) sehinggamenimbulkan respon imun terhadap suatu protein virus
yang memeiliki skeuensi asam amino yang sama dengan suatu protein sel beta.

17

Diabetes tipe 2
Patogenesis dari DM tipe 2 patogenesisnya lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini
sering di temukan,tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan, ada diabetes
tipe 2 ini faktor genetik jauh lebih berperan penting dibandingkan diabetes tipe 1.
Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan yaitu :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis
menurundengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko
pada penurunanfungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan
berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas disebabkan
karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk
mencukupi energi selyang terlalu banyak.
c. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik),
risikomenderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar daripada subjek (dengan usia
dan berat yangsama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak
seperti diabetes tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA.
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat
sejumlah defek genetif, masing-masing memberikontribusi pada risiko dan masingmasing juga dipengaruhi oleh lingkungan.(Robbins, 2007,hlm. 67).
d. Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang
kaya pengawet, lemak, dan gula.Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja
pankreas. Stres juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan
kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban
yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan
insulin.( Smeltzer and Bare,1996, hlm. 610).
Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang
kuat.Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Resiko
berkembangnya DM tipe2 pada saudara kandung mendekati 40%dan 33% nya untuk
anak cucunya. Transmisi geneticadalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam
diabetes awitan dewasa muda (mody), yaitusubtipe penyakit diabetes yang diturunkan
dengan pola autosomal dominan. Jika orang tuamenderita DM tipe 2 rasio diabetes
dan non diabetes pada anak adalah1:1, dan sekitar 90% pastimembawa (carier) DM
tipe 2.
Faktor Resiko :
1.Usia dewasa tua (>45 tahun)
2.Obesitas dengan BB > 120%, IMT >23 kg/m
3.Penderita hipertensi > 140/90 mmHg
18

4.Riwayat keluarga DM
5.Riwayat DM pada kehamilan
6.Riwayat kehamilan dengan BBL bayi > 4 kg atau bayi cacat
7.Disipidemia: cholesterol HDL > 40 mg/dl dan/ trigliserida >250 mg/dl
8.Pernah TGT
PuasaTerganggu

(Toleransi

Glukosa

Terganggu)

/GDPT

(Glukosa

Darah

Klasifikasi
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada konsensus diabetesmelitus
di Indonesia tahun 2011 membuat klasifikasi etiologis DM sebagai berikut :
Tipe 1(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2
Bervariasi,mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes mellitus gestasional

Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas


sel terhadap insulin.Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau beradadalam rentang
normal.Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes
mellitus tipe II dianggap sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus(NIDDM).
Diabetes melitus gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu keadaan intoleransi
glukosa atau karbohidrat dengan derajat yang bervariasi yang terjadi atau pertama

19

kali ditemukan pada saat kehamilan berlangsung.Keadaan ibu dan anak pada wanita
DM hamil tergantung pada berat dan lamanya perlangsungan penyakit.
Selanjutnya, Pyke dari Kings College Hospital London membuat klasifikasi
yangsederhana dimana DM hamil hanya dibagi atas tiga kelompok, yaitu :
1. Mereka yang DM diketahui saat hamill yang identik dengan DM gestasi.
2. DM pragestasi yang tanpa komplikasi atau dengan komplikasi ringan.
3. DM pragestasi yang disertai denngan komplikasi berat seperti nefropati, retiopati
dan penyakit jantung koroner.Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut
Pyke :
a.Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada waktu hamil dan
menghilang setelah melahirkan.
b.Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu diabetes mulai sejak sebelum hamil dan
berlanjut setelah hamil.
c.Klas III : Pregestasional diabetes yang disertai dengan komplikasi penyakit
pembuluh darah seperti retinopati, nefropati, penyakit pemburuh darah panggul dan
pembuluh darah perifer 90% dari wanita hamil yang menderita Diabetes termasuk ke
dalam kategori DM Gestasional (TipeII) dan DM yang tergantung pada insulin
(Insulin DependentDiabetes militus tipe IDDM tipe 1.
MODY
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)merupakan bentuk monogenik dari
diabetes. MODY merupakan kelainan yang diturunkan secara autosomal dominan.
MODY disebabkan oleh mutasi genetik padafaktor transkripsi nukleus dan
glucokinase yang mengakibatkan disfungsi sel pancreas sehingga produksi insulin
terganggu.
Klasifikasi subtipe MODY berdasarkan faktor transkripsi nukleus yang mengalami
mutasi genetik.
Beberapa subtipeMODY antara lain:
1. Hepatocyte Nuclear Factor 4 homeobox A (HNF4A) (MODY1)
2. Glucokinase (GCK) (MODY2)
3. Hepatocyte Nuclear Factor 1 homeobox A (HNF1A) (MODY3)
4. Insulin Promoter Factor 1 (IPF1)
5. Hepatocyte Nuclear Factor 1 homeobox B (HNF1B)
6. Neurogenic Diff erentiation 1 (NEUROD1)
7. Krueppel Like Factor 11 (KLF11)
8. Carboxyl Ester Lipase (CEL)
9. Paired Box 4 (PAX4)
Tabel 1 Subtipe MODY beserta Gen dan Manifestasi Klinisnya2
SUBTIPE
MODY

GEN

MANIFESTASI KLINIS

20

HNF4A

HNF4A

GCK

GCK

HNF1A

HNF1A

IPF1
HNF1B

IPF1
HNF1B

NEUROD1
KLF11
CEL

NEUROD1
KLF11
CEL

PAX4

PAX4

Makrosomia,
hiperinsulinemia
transien,
hipoglikemia,
hiperlipidemia,
peningkatan
sensitivitas terhadap sulfonylurea.
Defi esiensi insulin ringan, berat badan bayi lahir
rendah (dari ibu sehat), diabetes melitus neonatus
pada mutasi homozigot.
Kegagalan
kelenjar
eksokrin
pankreas,
peningkatan sensitivitas terhadap sulfonylurea,
glikosuria.
Agenesis pankreas.
Kelainan kongenital saluran urogenital, agenesis
badan dan ekor pankreas, kegagalan kelenjar
eksokrin pankreas.
Kelainan pankreas.
Keganasan pankreas.
Kegagalan kelenjar eksokrin dan endokrin
pankreas.
Diabetes Melitus.

Tabel 2 Manifestasi Klinis Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2 dan MODY2


MODY
2-5% pasien diabetes
yang tidaktergantung
insulin
Genetik
Poligenik
Poligenik
Autosomal dominan
Riwayat Keluarga
<15%
>50%
100%
Suku
Bermacam-macam
Asia,
Polinesia, Bermacam-macam suku
suku
Australia
Onset
Selama masa kanak30 thn
30 thn
kanak
Tingkat Keparahan Akut dan sangat Ringan
Ringan/asimptomatik
onset
parah
Ketosis
Sering
Jarang
Jarang
Obesitas
+/>90%
+/Acanthosis Nigricans Absen
Sering
Absen
Sindrom Metabolik
Absen
Sering
Absen
Autoimun
Positif
Negatif
Negatif
Patofisiologi
Destruksi sel
Resistensi insulin dan Disfungsi sel
insulinopenia relatif
Frekuensi

DIABETES TIPE 1
Sering

DIABETES TIPE 2
Meningkat

untuk mengetahui perbedaan tiga jenis diabetes ini melalui anamnesis, pemeriksaan fi
sik dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti glukosa acak, glukosa 2 jam post
prandial,
tes toleransi glukosa oral (TTGO), HbA1C, C-peptide, dan urinalisis.
21

LADA
Awitan penderita DM tipe 1 biasanya pada masa anak-anak dengan dijumpainya
antibodi antiinsulin sedangkan variasi DM tipe 1 yang dijumpai pada usia dewasa
disebut sebagai latent autoimmune diabetes in adult (LADA). Pasien LADA pada
awalnya tidak membutuhkan insulin, namun setelah enam bulan, biasanya jumlah sel
beta pankreas berkurang begitu pula dengan insulin sehingga akhirnya pasien
tergantung pada insulin.
istilah latentautoimmune diabetes of adults (LADA) untuk menjelaskan penderita
diabetes
tipe 2 yang memiliki antibodi anti-GAD dan tidak mengalami ketoasidosis dan
penurunan berat badan. Dengan ditemukannya antibodi autoimun pada penyandang
DM tipe 2 yang dikenal sebagai LADA, strategi pengobatan pasien pun berubah. Di
dunia saat ini diperkirakan sekitar 2-12% penderita DM adalah LADA. Awitan
penderita LADA klasik dimulai sejak usia 30 tahun, non-obese dan kontrol gula darah
awalnya baik hanya dengan diet namun dalam waktu yang singkat kontrol dengan
diet gagal dan membutuhkan obat hipoglikemik oral yang pada akhirnya menjadi
tergantung insulin. Progresifitas ketergantungan insulin pada LADA lebih cepat
dibandingkan dengan pasien dengan DM tipe 1 dan obese.
Menurut Immunology of Diabetes Society diagnosis LADA berdasarkan kriteria:
1. Awitan penyakit dimulai pada usia 30 tahun,
2. Ditemukan paling sedikit satu macam antibody dari empat antibodi yang biasa
ditemukan pada DM tipe 1 (ICAs, autoantibodi terhadap GAD65, IA-2, dan insulin),
dan
3. Terapi tanpa insulin hanya berlangsung selama enam bulan setelah diagnosis.
Akibat kerusakan sel beta yang bersifat progresif, pada akhirnya pasien LADA
memerlukan insulin untuk mencapai normoglikemik. Hal itu untuk membedakan
LADA dengan DM tipe 1, karena penyandang DM tipe 1 sejak didiagnosis sudah
memerlukan insulin. Terdapat kecenderungan penderita LADA memiliki BMI normal
bila dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 yang obese.
Uji diagnostik yang paling sensitive pada LADA adalah dengan menemukan antibodi
anti-GAD. Pemeriksaan serum C-peptide merupakan pilihan awal yang cukup baik.
C-peptide merupakan fragmen molekul pro-insulin yang tetap dapat ditemukan dalam
darah saat rantai alfa dan beta insulin terlepas. Terapi LADA Sampai saat ini terapi
yang terbukti efektif secara klinis hanya insulin, OHO golongan tiazolidindion dan
antigen-spesifik imunomodulator. Prinsip penatalaksanaan LADA terutama adalah:
mempertahankan fungsi sel beta pankreas, menekan kerusakan sel beta pankreas dan
mencegah komplikasi DM jangka panjang.
Pada prinsipnya pasien dengan LADA membutuhkan insulin untuk mencapai
normoglikemia mengingat defisiensi insulin yang progresif lambat.
Patofisiologi

22

Diabetes Tipe 1
Akibat destruksi autonom sel beta,bentuk diabetes tipe 1 yang parah memerlukan
insulin biasanya terjadi pada kanak-kanak dan remaja, tetapi penyakit ini juga
bermanifestasi pada orngdewasa dalam bentuk yang lebih ringan, mula-mula dalam
bentuk yang tidak memerlukan insulin.

23

Diabetes tipe 2

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :


1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel pancreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan
sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja
optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan
resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam
kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah,
sehingga terjadihiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan
euglikemia.

24

Pada fasetertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai
meningkatwalaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia, disamping itu juga
terjadi peningkatanasam lemak bebas dalam darah. Keadaan glukotoksistas dan
lipotoksisitas akibatkekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan
hiperinsulinemia)mengakibatkan sel pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah
gangguanmetabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan
Toleransi Glukosadan akhirnya DM tipe 2.
Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pancreasyang
menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar
padakeadaan puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus
berkembang,masih banyak hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak
pada pengobatanDM tipe 2 yang mengalami perkembangan yang sangat pesat,
sehingga para ahli masih bersikap hati-hati dalam membuat panduan pengobatan.
Diabetes gestasional

Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat


yangmenunjang pemasokan makan bagi janin serta persiapan untuk menyusui.
Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya
dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat
mencapai janin, sehingga kadar gula ibuyang mempengaruhi kadar pada janin.
Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin. Akibat lambatnya
reabsorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama danini menuntut
kebutuhan insulin.Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sehinggamencapai 3
kali dari keadaan normal.Hal ini disebut tekanan deabetogenik dalam
kehamilan.Secara fisiologis telah terjadi resistensi insulin yaitu bila ia ditambah
25

dengan insulin eksogen iatidak mudah menjadi hipoglikemia yang menjadi masalah
ialah bila seorang ibu tidak mampumeningkatkan produksi insulin sehingga ia relatif
hipoinsulin yang mengakibatkan hiperglikemiaatau diabetes kehamilan.
Resistensi insulin juga disebabkan adanya hormon estrogen, progesteron, kortisol,
prolaktin dan plasenta laktogen. Kadar kortisol plasma wanita hamilmeningkat dan
mencapai 3 kali dari keadaan normal hal ini mengakibatkan kebutuhan insulinmenjadi
lebih tinggi, demikian juga dengan Human Plasenta Laktogen (HPL) yang
dihasilkanoleh plasenta yang mempunyai sifat kerja mirip pada hormon tubuh yang
bersifat diabetogenik.Pembentukan HPL meningkat sesuai dengan umur
kehamilan.Hormon tersebut mempengaruhireseptor insulin pada sel sehingga
mempengaruhi afinitas insulin. Hal ini patut diperhitungkandalam pengendalian
diabetes.
Mekanisme
resistensi
insulin
pada
wanita
hamil
normal
adalah
sangatkompleks.Kitzmiller, 1980 (dikutip oleh Moore) telah mempublikasikan suatu
pengamatanmenyeluruh mekanisme endokrin pada pankreas dan metabolisme
maternal selama kehamilanyakni plasenta mempunyai peranan yang khas dengan
mensintesis dan mensekresi peptida danhormon steroid yang menurunkan sensitivitas
maternal pada insulin. Puavilai dkk (dikutip olehWilliams) melaporkan bahwa
resistensi insulin selama kehamilan terjadi karena rusaknyareseptor insulin bagian
distal yakni post reseptor. Hornes dkk (dikutip oleh Moore) melaporkanterdapat
penurunan respon Gastric Inhibitory Polipeptida (GIP) pada tes glukosa oral
dengantes glukosa oral pada kehamilan normal dan DMG. Mereka meyakini bahwa
kerusakan responGIP ini yang mungkin berperanan menjadi sebab terjadinya DMG.
Faktor-faktor di atas dan mungkin berbagai faktor lain menunjukkan bahwa
kehamilanmerupakan suatu keadaan yang mengakibatkan resistensi terhadap insulin
meningkat. Padasebagian besar wanita hamil keadaan resistensi terhadap insulin
dapat diatasi denganmeninggikan kemampuan sekresi insulin oleh sel beta.Pada
sebagian kecil wanita hamil,kesanggupan sekresi insulin tidak mencukupi untuk
melawan resistensi insulin, dengan demikianterjadilah intoleransi terhadap glukosa
atau DM gestasi.
2.2. Menjelaskan bagaimana mendiagnosis DM dari mulai anamnesis, tanda klinis
dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis
Hal-hal yang perlu dilakukan pada pengelolaan pasien DM.
Pada pertemuan pertama:
-

Anamnesis keluhan dan gejala hiperglikemia maupun keluhan dan gejala


komplikasi.
Pemeriksaan jasmani lengkap: TB, BB, TD, rabaan nadi kaki
Tanda neuropati dicari
Pemeriksaan keadaan kaki, kulit, kuku
Pemeriksaan visus
26

Manifestasi klinis
Gejala awalnya ditemukan : Poliuria (sering kencing), polidipsi (sering haus),
polifagi(sering makan), berat badan menurun, badan sering terasa lemah dan mudah
capai.
Gejala lanjutannya ditemukan : Luka yang tidak dirasakan, sering kesemutan,
seringmerasakan gatal tanpa sebab, kulit kering, mudah terkena infeksi, dan gairah sex
menurun.
Gejala setelah terjadi komplikasi : Gangguan pembuluh darah otak (stroke),
pembuluhdarah mata (gangguan penglihatan), pembuluh darah jantung (penyakit jantung
koroner), pembuluh darah ginjal (gagal ginjal), serta pembuluh darah kaki (luka yang
sukar sembuh/gangren).
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan, tergantung fasilitas yang tersedia:
-

Hb, hitung leukosit, LED, hitung jenis leukosit


Glukosa darah puasa dan sesudah makan
Urinalisis rutin
Albumin serum
Kreatinin
SGPT
Kolesterol total, kolesterol HDL, trigliserida
Albumin urin kuantitatif 24 jam atau mikroalbuminuria
HbA1c (opsional pada pertemuan pertama)
EKG
Foto paru
Funduskopi

Penyuluhan sepintas mengenai:


-

Apakah penyakit DM itu


Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM
Perencanaan makan
Kegiatan jasmani
Obat berkhasiat hipoglkemik dan hipoglikemia
Perawatan kaki

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan
hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan
asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Unutk diagnosis DM,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Untuk memastikan diabnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya
dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantapan kendali
mutu secara teratur). Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler.
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya
sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut
27

dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan, teruama untuk memantau kadar glukosa darah. Secara
berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering peru dibandingkan dengan cara
konvensional.
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass
screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi
mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM
dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring berguna untuk
menjaring pasien DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu), dan GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Peran aktif para
pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan sekunder dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk
DM, yaitu :
-

Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)


Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
Riwayat keluarga DM
Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
Riwayat DM pada kehamilan
Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
Pernah TGT atau GDPT

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu,
kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO)
standar (Lihat Skema langkah-langkah diagnostik DM).
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa
faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pasien dengan Toleransi Glukosa terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu merupakan
tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan
berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.

28

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)
B. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan
impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkn diagnosis klinis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1985) :
-

3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa


kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
puasa semalam, selama 10-12 jam
kadar glukosa darah puasa diperiksa
diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam 1air 250 ml, dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
diperiksa kadar glukosa darah 1 (satu) jam dan 2 (dua) jam sesudah beban glukosa;
selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Untuk kemudahan, PERKENI hanya menganjurkan pemeriksaan kadar glukkosa darah pada jam
ke-2 saja. Alasan untuk kemudahan ini disarankan juga oleh America Diabetes Association
(ADA), yang bahkan juga memakai hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl
untuk kriteria diagnosis.
Kriteria diagnostik diabetes mellitus*
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) >200 mg/dl atau
29

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) >126 mg/dl atau


3. Kadar glukosa plasma >200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk
keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat
badan yang menurun cepat.
** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian
epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah
puasa. Untuk DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama (Lihat : Buku
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Gestasional).
1. Secara berkala Menurut kebutuhan: pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam
sesudah makan.
Tiap tiga (3) bulan : HbA1c
Tiap tahun:
-

pemeriksaan jasmani lengkap


albumin urin, sedimen urin
kreatinin
SGPT
kolesterol total, kolesterol HDL, trigliserida
EKG
Funduskopi

Idealnya semua psien DM mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama pada semua tingkat
pengelola kesehatan, baik primer, sekunder, maupun tersier. Namun mengingat keterbatasan
yang ada pada berbagai tingkat pengelola kesehatan macam dan jumlah pemeriksaan penunjang
yang diperiksa disesuaikan dengan fasilitas yang ada. Demikian pula tingkat pelayanan yang
diperiksa disesuaikan dengan kapasitas dan fasilitas yang ada. Penyuluhan dan pencegahan
primer dapat dikerjakan pada semua tingkat pengelola kesehatan.
2.3. Menjelaskan cara mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan komplikasi
akut pada penyakit DM : hipoglikemia, ketoasidosis diabetic, dan hyperosmolar
nonketotik
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia didefinisikan berdasarkan kadar glukosa serum adalah sebagai berikut :

<50 mg / dL pada laki-laki

<45 mg/ dL pada wanita

<40 mg/ dL pada bayi dan anak-anak

30

PENATALAKSANAAN HIPOGLIKEMIA
1.

2.

3.

Glukosa Oral
Sesudah diagnosis hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, 1020 gram glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly atau 150- 200
ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan nondiet cola. Sebaiknya
coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat mengabsorbsi glukosa. Bila belum
ada jadwal makan dalam 1- 2 jam perlu diberikan tambahan 10- 20 gram karbohidrat
kompleks.Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian
gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga hidung dapat dicoba.
Glukosa Intramuskular
Glukagon 1 mg intramuskuler dapat diberikan dan hasilnya akan tampak dalam 10
menit. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang
pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia
dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15
menit. Kecepatan kerja glucagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien
sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 gram (4 sendok
makan) dan dilanjutkan dengan pemberian 40 gram karbohidrat dalam bentuk tepung seperti
crakers dan biscuit untuk mempertahankan pemulihan, mengingat kerja 1 mg glucagon yang
singkat (awitannya 8 hingga 10 menit dengan kerja yang berlangsung selama 12 hingga 27
menit). Reaksi insulin dapt pulih dalam waktu5 sampai 15 menit. Pada keadaan puasa yang
panjang atau hipoglikemi yang diinduksi alcohol, pemberian glucagon mungkin tidak efektif.
Efektifitas glucagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
Glukosa Intravena
Glukosa intravena harus dberikan dengan berhati- hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi
40 % IV sebanyak 10- 25 cc setiap 10- 20 menit sampai pasien sadar disertai infuse dekstrosa 10
% 6 kolf/jam
2. Ketoasidosis Diabetik
A. DIAGNOSIS KETOASIDOSIS DIABETIK
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status
ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis
pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera
dimulai tanpa adanya penundaan. Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak
dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang
lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat
badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi
muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan
hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya,
khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik
dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.

31

Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association


KAD
Ringan
Sedang
Berat
Parameter
Gula
darah >250
>250
>250
(mg/dl)
pH arteri
7,25-7,30
7,00-7,24
<7,00
Serum
15-18
10- (<15)
<10
bikarbonat/HCO3
-(mEq/l)
Keton urine
+
+
Keton serum
+
+
Osmolalitas serum Variabel
variabel
Variabel
efektif (mOsm/kg)
Anion gap
>10
>12
>12
Perubahan
Alert
Alert/
Stupor/
sensorial atau
drowsy
coma
mental
obtundation
Catatan : - Pengukuran keton serum dan urine memakai metode reaksi nitroprusida
- Osmolalitas serum efektif (mOsm/kg) = 2X Na (mEq/l) + Glukosa (mg/dl)/18
- Anion gap = Na+ - (Cl-+HCO3- ) (mEq/l)
B. PENATALAKSANAAN KETOASIDOSIS DIABETIK
Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan terstruktur oleh
dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat banyak sekali pedoman penatalaksanaan KAD
pada literatur kedokteran, dan hendaknya semua itu tidak diikuti secara ketat sekali dan
disesuaikan dengan kondisi penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD setiap rumah sakit
hendaknya memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway. Pedoman ini harus
dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka mencapai tujuan terapi. Studi terakhir
menunjukkan sebuah integrated care pathway dapat memperbaiki hasil akhir penatalaksanaan
KAD secara signifikan. Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang
terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus. Berikut ini beberapa hal yang harus
diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.
1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya efektif jika
cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat kadar
gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih
dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi. Oleh karena itu, hal penting
pertama yang harus dipahami adalah penentuan difisit cairan yang terjadi. Beratnya kekurangan
cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake
cairan penderita. Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
32

Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)


Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan menghitung
osmolalitas serum total dan corrected
Osmolalitas serum total = 2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap kenaikan
100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/dl. Nilai corrected serum sodium
concentration > 140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan
yang berat. Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun
demikian beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan derajat dehidrasi adalah
:
- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia
- 10% : capillary refill time 3 detik, mata cowong
- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian
cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 - 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 - 16
jam berikutnya. Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD
sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 - 8 liter.Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung
diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi
ginjal.Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik
yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli menyarankan
pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Cairan
fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 - 20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam
pertama ( 1 - 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian cairan sebagai
berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam
sampai pasien terehidrasi. Sumber lain menyarankan 1 - 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250
- 500 ml/jam pada jam berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status hidrasi
pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan
pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi
(> 150 mEq/l), dan diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected
serum sodium) dengan kecepatan 4-14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra
dan ekstraselular terjadi secara gradual.
Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian normal saline dan berdasarkan
strong-ion theory untuk asidosis (Stewart hypothesis). Sampai saat ini tidak didapatkan alasan
yang meyakinkan tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika
kadar Na serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai,
infus cairan harus mengandung 20-30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien
stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik
(perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis.

33

Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam jangka
waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada
pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan
osmolalitas serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang
berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik. Untuk
itu pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong. Ketika kadar
gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan yang
mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5%
pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemungkinan edema
serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.
Tabel 2. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD
No Perkiraan Jumlah Defisit
Nilai
1
Total air (liter)
6
2
Air (ml/kg)
100
3
Na+ (mEq/kg)
7-10
4
Cl- (mEq/kg)
3-5
5
K+ (mEq/kg)
3-5
6
PO4- (mmol/kg)
5-7
7
Mg 2+ (mEq/kg)
1-2
8
Ca2+ (mEq/kg)
1-2
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD
ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar
hormon glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas
dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa
oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena,
intramuskular, ataupun subkutan.
Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena lebih
mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin
cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan
hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi
pilihan pada KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan
insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan.
Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg
BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 -7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l,
maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat
mengakibatkan aritmia jantung. Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 50 - 75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah
tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien.
Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 - 75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah

34

mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05- 0,1 u/kgBB/jam (3 - 6 u/jam), dan
tambahkan infus dextrose 5 - 10%.
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan
untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Pada kondisi klinik
pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu
(0,4 - 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau
subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama
seperti pemberian drip intravena.
Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama daripada hiperglikemia. Pengukuran
langsung -OHB (beta hidroksi butirat) pada darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk
pemantauan KAD. Selama terapi -OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan
bahwa ketosis memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN,
serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 - 4 jam, sumber lain
menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 - 2 jam. Pada KAD ringan, insulin
regular dapat diberikan secara subkutan atau intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang
sama dengan pemberian intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang
rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama, namun
injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD ringan harus
mendapatkan priming dose insulin regular 0,4 - 0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan
setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin
subkutan atau intramuskular 0,1 u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum
bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO,
lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan
sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap
kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu
untuk gula darah 300 mg/dl. Ketika pasien dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai
dengan memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long
acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah.
Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum
makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1 - 2 jam setelah pergantian
regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian insulin tibatiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol
yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan subkutan.
Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang diberikan
sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM yang baru,
insulin awal hendaknya 0,5- 1,0 u/ kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis
dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal tercapai,
duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai splitmixed dose. Akhirnya pasien DM tipe 2 dapat keluar rumah sakit dengan antidiabetik oral dan
terapi diet.
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah, oleh
karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100
35

mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah penyesuaian efek ini.
Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang diukur 130, maka
level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan koreksi
dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar natrium
dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal
saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping
oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar
natrium. Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl
0,45%.
4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3 - 5 mEq/kgBB),
hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini terjadi karena shift kalium dari
intrasel ke ekstrasel oleh karena asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi
insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium
serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum
kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 - 30 mEq kalium (2/3
KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum
dalam range normal 4 - 5 mEq/l. Kadang-kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang
signifikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l,
dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan. Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah
dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar
kalium > 6 mEq/l.
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0, pengembalian aktifitas
insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Studi
random prospektif telah gagal menunjukkan baik keuntungan atau kerugian pada perubahan
morbiditas atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien KAD dengan pH antara 6,9 -7,1.
Tidak didapatkan studi random prospektif yang mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD
dengan nilai pH < 6,9. Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular
yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa
dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis
dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50 mmol natrium
bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin
menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara
intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai
pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.
6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 1,0 mmol/kgBB,
kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun dengan terapi
insulin. Studi acak prospektif gagal untuk menunjukkan efek menguntungkan dari pemberian
36

fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menyebabkan hipokalemia
berat tanpa bukti adanya tetanus. Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan
jantung serta depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hatihati mungkin kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau
depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan,
20-30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara kontinu. Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium
fosfat rutin karena mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan
membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan hipokalsemia simtomatis
pada beberapa pasien.
7. Magnesium
Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1-2 mEq/l pada pasien KAD. Kadar magnesium
ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang dapat menurunkan kadar
magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat sulit dinilai dan sering tumpang tindih
dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala yang sering dilaporkan
adalah parestesia, tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien
biasanya menunjukkan gejala pada kadar 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal disertai
gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.
8. Hiperkloremik asidosis selama terapi
Oleh karena pertimbangan pengeluaran ketoacid dalam urine selama fase awal terapi, substrat
atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian defisit bikarbonat akan diganti dengan
infus ion klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada kebanyakan
pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang rendah dengan
anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak akan berbahaya
dalam waktu 12-24 jam jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu lama.
3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
A. Diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
Kriteria diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah :

Hiperglikemia > 600 mg%

Osmolalitas serum > 350 mOsm/ kg

pH > 7,3

Bikarbonat serum > 15 mEq/L

Anion gap normal

B. Penatalaksanaan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik


1.

Insulin

Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar hiperglikemik non ketotik
sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah pada

37

ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan
skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik.
2.

Kalium

Kalium darah harus dipantau dengan baik. Dengan ditiadakan asidosis, hiperglikemia pada
mulanya mungkin tidak ada kecuali bila terdapat gagal ginjal. Kekurangan kalium total dan
terapi kalium pengganti lebih sedikit dibandingkan KAD. Bila terdapat tanda fungsi ginjal
membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan.
3. Hindari infeksi sekunder
2.4. Menjelaskan cara mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan komplikasi
kronik penyakit DM :mikroangiopati, makroangiopai dan neuropati
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
Komplikasi Mikroangiopati
Komplikasi Makroangiopati
Komplikasi neurologis
1. Komplikasi Mikroangiopati
Nefropati
Retinopati
Neuropati
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi ini
spesifik untuk diabetes melitus.
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman
penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati
diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferative dan Proliferatif. Retinopati
non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat
dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan
pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah,
malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu
singkat.
Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab
terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke
dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif.
Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retino
pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme
dan kontrol tekanan darah.
38

2. Komplikasi Makroangiopati
Penyakit kardiovaskuler/ Stroke/ Dislipidemia
Penyakit pembuluh darah perifer
Hipertensi
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat
timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul
lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan
bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali
dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan control kadar gula darah
yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu
faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko
kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko
mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik
dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi Makroangiopati.
Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner.
Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada
koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pectoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih
benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang
timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda seetlah beristirahat atau mendapat nitrat
sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan
tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat tidak timbul pada
pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita diabetes.
Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan
dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri
karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat terjadi pada
seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya terjadi payah jantung. Kematian
dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan

39

meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau
merokok.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita
diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh
darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor factor
neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama
terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami
amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun kematian.
3. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM,
lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris,
motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi
serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya
adalah serabut saraf tungkai atau lengan.
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya
peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase,
sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.
2.5. Menjelaskan penatalaksanaan DM : diet, olahraga dan obat
Dalam mengelola diabetes mellitus langkah pertama yang harus dilakukan adalah
pengelolaan non farmakologis (perencanaan makanan dan kegiatan jasmani). Lalu jika
sasaran pengendalian diabetes belum tercapai dianjurkan dengan pengelolaan
farmakologis.
Terapi Non Farmakologis

Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup danperilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukansecara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

Perencanaan makanan
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan
berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah,
40

Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem


koagulsi darah.
Tujuan terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j

Kadar glukosa darah mendekati normal


Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.
Kadar A1c <7%.
Tekanan darah <130/80 mmHg.
Profil Lipid
Kolesterol LDL<100 mg/dl
Kolesterol HDL >40 mg/dl.
Trigliserida < 150 mg/dl.
Beran badan senormal mungkin.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang dalam hal
karbohidrat, protein, dan lemak.

o Karbohidrat 60 70%
o Protein 10 15%
o Lemak 20 25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan.
Pengaturan makanan dalam pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali
jumlah kalori dan waktu makanan yang terjadwal.
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang
(25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Usahakan untuk merubah
pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan penderita.
Jenis Bahan Makanan
KARBOHIDRAT
Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65%
dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan
41

dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty
acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori.
Rekomendasi karbohidrat :
o Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh
jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.
o Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH.
o Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari
total kebutuhan kalori perhari.
o Julah serat 25-50 gram per hari.
o Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih
dari total kebutuhan kalori perhari.
o Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin, aspartame,
acesulfame, dan sukralosa.
o Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari.
o Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
o Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori
perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein
sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial.
Protein mengandung energi sebesar 2 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:
o Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
o Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi
konsentrasi glukosa darah.
o Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg
BB/hari.
o Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari
dan tidak kurang dari 40gram.
o Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dibanding protein hewani.
LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini
sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K.
Berdasarkan rantai karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh.
Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena
terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak
tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu
42

asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA
pada diet diabetisi, dapat menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL,
dan meningkatkan kadar kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang
(polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar
trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3
yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan eningkatkan aktivitas enzyme
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat
menurunkan kadar kolestrol LDL.
Rekomendasi Pemberian Lemak:
o Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari
total kebutuhan kalori per hari.
o Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
o Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL 100 mg/dl, maka
maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
o Batasi asam lemak bentuk trans.
o Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang.
o Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori
perhari.
Penghitungan Jumlah Kalori
Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan
kegiatan jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau
rumus Brocca.
Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi
badan (dalam meter) kuadrat.
o Berat badan kurang <18,5
o Berat badan normal 18,5-22,9
o Berat badan lebih 23,0
o Dengan resiko 23-24.9
o Obes I 25-29,9
o Obes II 30
Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:
berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%.
Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%
o Berat badan kurang BB <90% BBI
43

o Berat badan normal BB 90-110% BBI


o Berat badan lebih BB 110-120% BBI
o Gemuk
BB>120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca.
Penentuan kebutuhan kalori perhari:
1. Kebutuhan basal:
o Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kalor
o Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
o Umur diatas 40 tahun
o Aktivitas ringan
o Aktifitas sedang
o Aktifitas berat
o Berat badan gemuk
o Berat badan lebih
o Berat badan kurus

: -5%
: +10%
: +20%
: +30%
: -20%
: -10%
: +10%

3. Stress metabolik
: +10-30%
4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori

Olahraga
PERAN OLAHRAGA BAGI PENDERITA DIABETES MELLITUS
Tipe I
DM tipe I mempunyai kadar insulin darah yang rendah akibat kurang atau tidak adanya
produksi insulin oleh pankreas. Pada DM tipe I mudah mengalami hipoglikemia selama
dan segera sesudah berolahraga. Meskipun olahraga pada DM tipe I tidak mempengaruhi
pengaturan kadar gula darah, namun mempunyai beberapa keuntungan, seperti dapat
mengurangi resiko penyakit jantung, gangguan pembuluh darah dan saraf.
Tipe II
Olahraga pada DM tipe II berperan utama dalam pengaturan kadar gula darah. Pada tipe
ini produksi insulin umumnya tidak terganggu terutama pada awal menderita penyakit ini.
Masalah utama adalah kurangnya respons reseptor insulin terhadap insulin, sehingga
insulin tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh.
Menurut Jonathan, K. dan Kathleen, L.K. (1992: 68-70) berdasarkan penemuan baru
dinyatakan bahwa kepekaan insulin berkurang sangat besar bila didapatkan lemak di dalam
darah, juga didapatkan tanda khusus bahwa penderita DM mempunyai kadar lemak yang
tinggi dalam darah. Dengan olahraga yang terus menerus kadar lemak dalam darah akan
berkurang, sementara kadar lemak makin menurun, insulin dalam tubuhnya makin
bertambah peka, dan akhirnya kadar gulanya akan menurun.
44

MANFAAT OLAHRAGA BAGI PENDERITA DIABETES MELLITUS


Mardi Santoso (2008: XII-XIII) menyatakan bahwa olahraga secara umum bermanfaat
bagi penderita DM, manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengontrol gula darah, terutama pada DM tipe II dengan meningkatkan sensitivitas
insulin serta meningkatkan GLUT4 (Glucose transporters), sedangkan bagi DM tipe I
masih merupakan problematik.
2. Terhindar dari komplikasi DM seperti cardiovascular diseases including coronary heart
disease (CHD), stroke, peripheral vascular disease, dan congestive heart failure. Serta
memperbaiki gejala-gejala muskuloskeletal otot, tulang sendi, yaitu gejala-gejala
neuropati perifer dan osteoartrosis.
3. Menurunkan berat badan atau memperbaiki profil lipid
4. Memberikan keuntungan psikologis.
5. Mencegah terjadinya DM yang dini, terutama bagi orang-orang dengan riwayat
keluarga DM tipe II dan diabetes kehamilan atau predicable test.
6. Mengurangi kebutuhan pemakaian obat oral dan insulin
JENIS LATIHAN
1. Aerobik
membuat jantung dan tulang kuat
menurunkan risiko penyakit jantung dan stroke dengan menjaga kadar gula,
kolesterol dan tekanan darah.
latihan aerobik selama 30 menit minimal 5 kali seminggu, 5- 10 menit sehari lalu
tingkatkan secara bertahap setiap minggu.
Untuk mencegah atau menghambat dan memperbaiki neuropati perifer pada
umumnya dan pada orang tua yang sudah menderita osteoartrosis dan neuropati,
maka latihan kaki harus lebih intensif. Tujuan latihan kaki adalah untuk memperbaiki
sirkulasi darah tungkai bawah pergelangan kaki, telapak kaki dan jari-jari.
Contoh : berjalan, jogging, senam atau mengikuti kelas aerobik, berenang, bersepeda
atau mendayung dsb.
2. Kekuatan (weight lifting)
meningkatkan kekuatan tulang dan otot sambil membakar lemak, serta menjaga
kepadatan tulang.
latihan beban 2-3 kali seminggu sebagai tambahan latihan aerobik.
Contoh : it up, push up, mengangkat barbel dsb.
3. Fleksibilitas (stretching)
mencegah kram otot, kekakuan dan cedera otot.
mengurangi stress
latihan peregangan 5 10 menit sebelum berolah raga (pemanasan) dan lakukan lagi
setelah berolah raga (pendinginan).
Contoh : yoga, tai chi dsb.
HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN
Penderita dengan masalah kaki disarankan menghindari lari
45

Memakai pakaian olahraga, kaos kaki yang nyaman dan biasanya dari katun cukup
baik
Gunakan sepatu yang baik/nyaman
sebaiknya pasien diperiksa gula darah sebelum, selama, dan sesudah latihan,
terutama pasien DM tipe I dan DM tipe II yang mendapat insulin. hindari olahraga
saat kadar gula darah dibawah 100mg atau >250 mg
Tidak menyuntikkan insulin pada otot yang akan digunakan
Hindari dehidrasi (Minum harus cukup pada saat dan sesudah olahraga)
Jika perlu, masukkan karbohidrat bisa ditambah.
Bawalah coklat yang dapat segera digunakan, seandainya terjadi hipoglikemi untuk
menanggulanginya

PORSI LATIHAN
a. Intensitas latihan
Target nadi/ Area latihan
Intensitas olahraga dihitung dengan 60-70% denyut nadi maksimum (DNM) per menit.
DNM di hitung dari 220 dikurangi umur.
Contoh bila seorang berumur 50 tahun, internsitas olahraga:
60% x (220 - 50) = 102 kali/menit
70% x (220 - 50 ) = 119 kali/menit
Berarti target denyut nadi nya selama berolahraga adalah antara 102 sampai 119
kali/menit.
Kadar gula darah
Sesudah latihan jasmani kadar gula darah 140 180 mg% pada usia lanjut dianggap
cukup baik, sedang usia muda sampai 140 mg%.
Tekanan darah sebelum dan sesudah latihan
Sebelum latihan tekanan tidak melebihi 140 mmHg dan setelah latihan maksimal tidak
lebih dari 180 mmHg
b. Lama latihan
Untuk mencapai efek metabolik, maka latihan inti berkisar antara 30-40 menit dengan
pemanasan dan pendinginan masing-masing 5 - 10 menit. Bila kurang, maka efek
metabolik sangat rendah, sebaliknya bila berlebihan menimbulkan efek buruk terhadap
sistem muskuloskeletal dan kardiovaskuler serta sistem respirasi.
c. Frekuensi
paling baik adalah 5 kali seminggu. Tiga kali seminngu sudah cukup baik, dengan
catatan lama latihan harus diperpanjang 5 sampai 10 menit lagi. Jangan sampai 7 kali
seminggu, karena tidak ada hari untuk istirahat, lagipula kurang baik untuk
metabolisme tubuh.
Terapi Farmakologi

46

1. GOLONGAN SULFONILUREA
MEKANISME KERJA.
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretstogues, kerjanya merangsang
sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pancreas. Rangsangannya melalui
interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membrane sel-sel yang menimbulkan
depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan terbukanya kanal
Ca maka ion Ca++ akan masuk sel-sel , merangsang granula yang berisi insulin dan akan
terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida C. kecuali itu
sulfonylurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. Pada penggunaan jangka panjang
atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.
FARMAKOKINETIK.
Berbagai sulfonylurea mempunyai sifat kinetic berbeda, tetapi absorpsi melalui saluran
cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi.
Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonylurea dengan masa paruh pendek akan
lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar 90%-99%
terikat protein plasma terutama albumin; ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan
paling besar untuk gliburid. Masa paruh dan metabolisme sulfonylurea generasi I sangat
bervariasi. Masa paruh asetoheksamin pendek tetapi metabolit aktifnya, 1hidroksiheksamid masa paruhnya lebih panjang, sekitar 4-5 jam, sama dengan tolbutamid
dan tolazamid. Sebaiknya sediaaan ini diberikan dengan dosis terbagi. Sekitar 10% dari
metabolitnya diekskresi melalui empedu dan keluar bersama tinja. Klorpropamid dalam
darah terikat albumin, masa paruhnya panjang, 24-48 jam, efeknya masih terlihat beberapa
hari setelah obet dihentikan. Metabolismenya di hepar tidak lengkap, 20% diekskresi utuh
47

di urin. Mula kerja tolbutamid cepat, masa paruhnya sekitar 4-7 jam. Dalam darah sekitar
91-96% tolbutamid terikat protein plasma, dan di hepar di ubah menjadi
karboksitolbutamid. Ekskresinya melalui ginjal.
Tolazamid, absorpsinya lebih lambat dari yang lain; efeknya pada glukosa darah belum
nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh sekitar 7 jam, di hepar di
ubah menjadi p-karboksitolazamid, 4-hidroksimetitolazamid dan senyawa lain, yang
diantaranya memiliki sifat hipoglikemik cukup kuat.
Sulfonilurea generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya hampir 100 kali lebih besar
dari generasi I. Meski masa paruhnya pendek, hanya sekitar 3-5 jam, efek hipoglikemiknya
berlangsung 12-24 jam, sering cukup diberikan 1 kali sehari. Alasan mengapa masa paruh
yang pendek ini, memberikan efek hipoglikemik panjang, belum diketahui.
Glibizid, absorpsinya lengkap, masa paruhnya 3-4 jam. Dalam darah 98% terikat protein
plasma, potensinya 100 kali lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik
maksimalnya mirip dengan sulfonilurea lain, metabolismenya di hepar, menjadi metabolit
yang tidak aktif, sekitar 10% diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh.
Gliburid (glibenklamid) potensinya 200 x lebih kuat dari tolbutamid, masa paruhnya
sekitar 4 jam. Metabolismrnya di ahepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25%
metabolitnya diekskresi melalui urun, sisanya melalui empedu. Pada penggunaan dapat
terjadi kegagalan primer dan sekunder, dengan seluruh kegagalan kira-kira 21% selama 1,5
tahun.
Karena semua sulfonilurea di metabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan
ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
EFEK SAMPING.
Insidens efek samping generasi I sekitar 4%, insidensnya lebih rendah lagi untuk generasi
II. Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat timbul.reaksi ini lebih sering terjadi
pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal, terutama yang
menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang. Efek samping lain,reaksi alergi jarang
sekali terjadi, mual, muntah, diare, gejala hematologi, susunan saraf pusat, mata dan
sebagainya.
Gangguan saluran cerna ini dapat berkurang dengan mengurangi dosis, menelan obat
bersama makanan atau membagi obat dalam beberapa dosis. Gejala sususnan saraf pusat
berupa vertigo, bingung, atraksia dan sebagainya. Gejala hematologik al. Leukopenia dan
agranulositosis. Efek samping lain gejala hipotiroidisme, ikterus obstruktuf, yang bersifat
sementara dan lebih sering timbul akibat klorpropamid (0,4%). Berkuarngnya toleransi
terhadap alkohol juga telah dilaporkan pada pemakaian tolbutamid dan klorpropamid.
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat dosis tepat, tidak makan
cukup atau dengan gangguan fungsi hepar dan/atau ginjal. Kecenderungan hipoglikemia
pada orang tua disebabkan oleh mekanisme kompensasi berkurang dan asupan makanan
yang cenderung kurang. Selain itu, hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua
karena timbul perlahan tanpa tanda akut (akibat tidak ada refleks simpatis) dan dapat
menimbulkan disfungsi otak sampai koma. Penurunan kecepatan ekskresi klo, propamid
dapat meningkatkan hipoglikemia.
INDIKASI.

48

Memilih sulfonilurea yang tepat untuk pasien tertentu sangat penting untuk suksesnya
terapi. Yang menentukan bukanlah umur pasien waktu terapi dimulai, tetapi usia pasien
waktu penyakit DM mulai timbul. Pada umumnya hasil yang baik diperoleh pada pasien
yang diabetesnya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun. Sebelum menentukan keharusan
penggunaan sulfonilurea, selalu harus dipertimbangkan kemungkinan mengatasi
hiperglikemia dengan hanya mengatur diet serta mengurangi berat badan pasien.
Kegagalan pasien dengan salah satu derivat sulfonilurea, mungkin juga disebabkan oleh
perubahan farmakokinetik obat, misal penghancuran yang terlalu cepat. Obat hasil terapi
yang baik tidak dapat dipertahankan dengan dosis 0.5 g klorpropamid, 0.75 g tolazamid,
sebaiknya dosis jangan ditambah lagi.
Selama terapi, pemeriksaan fisik dan laboratorium harus tetap dilakukan secara teratur.
Pada keadaan yang gawat seperti stres, komplikasi, infeksi dan pembedahan, insulin tetap
merupakan terapi standar.
1.1. MEGLITINID
Repaglinid dan nateglinid
Merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi
struktur kimianya sangat berbeda. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup
kanal K yang ATP-independent di sel pankreas.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam.
Masa paruhnya 1 jam, karena harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan.
Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme
di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara
berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi
alergi juga pernah dilaporkan.
1.2. BIGUANID
Sebenarnya dikenal 3 golongan ADO dari golongan biguanid : fenformin, buformin, dan
metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan
asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin.
MEKANISME KERJA.
Biguanid tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan
hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa dihepar dan menungkatkan
sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya
aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase). Meski masih kontroversial, adanya
penurunan produksi glukosa hepar, banyak data yang menunjukkan bahwa efeknya terjadi
akibat penurunan glukoneogenesis. Preparat ini tidak mempunyai efek yang berarti pada
sekresi glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin.
Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak.
Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan dengan
mekanisme yang belum jelas pula; pada orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul
penurunan berat badan dan kadar glukosa darah.
Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat protein
plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2 jam.
Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan (maintenance dose) 3 x 500 mg,
dosis maksimal 2,5 g. Obat diminum pada waktu makan. Pasien DM yang tidak
49

memberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan metformin, atau dapat pula
diberikan sebagai terapi kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
EFEK SAMPING.
Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami : mual; muntah, diare serta kecap
logam (metalic taste); tetapi dengan menurunkan dosis keluhan-keluhan tersebut segera
hilang. Pada beberapa pasien yang mutlak bergantung insulin eksogen, kadang-kadang
biguanid menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan hiperglikemia (starvation
ketosis). Hal ini harus dibedakan dengan ketosis karena defisiensi insulin.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular, pemberian
biguanid dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah, sehingga hal ini
dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh.
INDIKASI.
Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen, dan digunakan pada
terapi diabetes dewasa.
Dari berbagai derivat biguanid, data fenformin yang paling banyak terkumpul tetapi
sediaan ini kini dilarang dipasarkan di Indonesia karena bahaya asidosis laktat yang
mungkin ditimbulkannya. Di Eropa fenformin digantikan dengan metformin yang kerjanya
serupa fenformin tetapi diduga lebih sedikit menyebabkan asidosis laktat. Dosis metformin
ialah 1-3 gram sehari dibagi dalam 2 atau 3 kali pemberian.
KONTRA INDIKASI.
Biguanid tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyakit hepar berat, penyakit
ginjal dengan uremia dan penyakit jantung kongestif dan penyakit paru dengan hipoksia
kronik. Pada pasien yang akan diberi zat kontras intravena atau yang akan di operasi,
pemberian obat ini sebaiknya dihentikan dahulu. Setelah lebih dari 48 jam, biguanid baru
boleh diberikan dengan catatan fungsi ginjal harus tetap normal. Hal ini untuk mencegah
terbentuknya laktat yang berlebihan dan dapat berakhir fatal akibat asidosis laktat. Insidens
asidosis akibat metformin kurang dari 0.1 kasus per 1000 patient-years, dan
mortalitasnyalebih rendah lagi.
2. GOLONGAN TIAZOLIDINEDION
MEKANISME KERJA.
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPAR, mengaktifkan PPAR
membentuk kompleks PPAR-RXR dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adiposa
PPAR mengurangi keluarnya asam lemak menuju ke otot, dan karenanya dapat
mengurangi resistensi insulin. Pendapat lain, aktivasi hormon adiposit dan adipokin, yang
nampaknya adalah adiponektin. Senyawa ini dapat meningkatkan sensitivitas insulin
melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang transport glukosa ke sel dan
meningkatkan oksidasi asam lemak. Jadi agar obat dapat bekerja harus tersedia insulin.
Selain itu glitazon juga menurunkan produksi glukosa hepar, menurunkan asam lemak
bebas di plasma dan remodeling jaringan adipose.
Pioglitazon dan rosiglitazon dapat menurunkan HBA1c (1,0-1,5%) dan
berkecenderungan meningkatkan HDL, sedang efeknya pada trigliserid dan LDL
bervariasi.
50

Pada pemberian oral absorpsi tidak dipengaruhi makanan, berlangsung 2


jam.metabolismenya di hepar, oleh sitokrom P-450 rosiglitazon dimetabolisme oleh isozim
2C8, sedangkan pioglitazon oleh 2C8 & 3A4. meski demikian, penggunaan rosiglitazon 4
mg 2 x sehari bersama nifedipin atau kontrasepsi oral (etinil estradiol + noretindron) yang
juga dimetabolisme isozim 3A4 tidak menujukkan efek klinik negatif yang berarti.
Ekskresinya melalui ginjal, keduanyadapat diberikan pada insufisiensi renal, tetapi
dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hepar (ALT>2,5 x nilai normal). Meski laporan
hepatotoksik baru ada pada troglitazon, FDA menganjurkan agar pada awal dan setiap 2
bulan sekali selama 12 bulan pertama penggunaan kedua preparat diatas dianjurkan
pemeriksaan tes fungsi hepar. Penelitian population pharmacokinetic, menunjukkan bahwa
usia tidak mempengaruhi kinetiknya.
Glitazon digunakan untuk DM tipe 2 yang tidak memberi respons dengan diet & latihan
fisik, sebagai monoterapi atau ditambahkan pada mereka yang tidak memberi respons pada
obat hipoglikemik lain (sulfonilurea, metformin) atau insulin.
Dosis awal rosiglitazon 4 mg, bila dalam 3-4 minggu kontrol glisemia belum adekuat,
dosis ditingkatkan 8mg/hari, sedangkan pioglitazon dosis awal 15-30mg bila kontrol
glisemia belum adekuat, dosis dapat ditingkatkan sampai 45 mg. Efek klinis maksimalnya
tercapai setelah penggunaan 6-12 minggu.
EFEK SAMPING.
Efek samping antara lain, peningkatan berat badan, edema, menambah volume plasma dan
memperburuk gagal jantung kongestif. Edema sering terjadi pada penggunaannya bersama
insulin. Kecuali penyakit hepar, tidak dianjurkan pada gagal jantung kelas 3 dan 4 menurut
klasifikasi New York Heart Association. Hipoglikemia pada penggunaan monoterapi jarang
terjadi.
3. PENGHAMBAT ENZIM -GLIKOSIDASE
MEKANISME KERJA.
Obat golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida (starch), dekstrin, dan
disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim -glikosidase di brush border
intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.
Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek
samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut
atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Di klinik sering digunakan bersama
antidiabetik oral lain dan/atau insulin.
Obat ini diberikan pada waktu mulai makan; dan absorpsi buruk.
Akarbose merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba, dan miglitol suatu derivat
deseksi nojirimisin, secara kompetitif juga menghambat glukoamilase dan sukrase, tetapi
efeknya pada -amilase pankreas lemah. Kedua preparat dapat menurunkan glukosa
plasma postprandial pada DM tipe 1 & 2, dan pada DM tipe 2 dengan hiperglisemia yang
hebat dapat menurunkan HbA1c secara bermakna. Pada pasien DM dengan hiperglisemia
ringan sampai sedang, hanya dapat mengatasi hiperglisemia sekitar 30%-50%
dibandingkan antidiabetik oral lainnya (dinilai dengan pemeriksaan HbA1c).
EFEK SAMPING.

51

Efek samping yang bersifat dose-dependent antara lain: malabsorpsi, flatulen, diare, dan
abdominal bloating. Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya dosis dititrasi, mulai
dosis awal 25 mg pada saat mulai makan untuk selama 4-8 minggu sampai dosis maksimal
75mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil dapat diberikan dengan makanan
kecil (snack). Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat,
mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila akarbose
diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan
hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada pemberian sukrose, polisakarida
atau maltosa.
OBAT HIPERGLIKEMIK
1.GLUKAGON
MEKANISME KERJA.
Glukagon menyebabkan glikogenolisis di hepar dengan jalan merangsang enzim
adenilsiklase dalam pembentukan siklik AMP, kemudian siklik AMP ini mengaktifkan
fosforilase, suatu enzim penting untuk glikogenolisis. Efek glukagon ini hanya terbatas
pada hepar saja dan tidak dapat dihambat dengan pemberian adrenoreseptor . Glukagon
juga meningkatkan glukoneogenesis. Efek ini mungkin sekali disebabkan oleh
menyusutnya simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen
dalam hepar proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Dengan meningkatnya
proses tersebut maka pembentukan kalori juga makin besar. Ternyata efek kalorigenik
glukagon hanya dapat timbul bila ada tiroksin dan adrenokortikosteroid.
Sekresi glukagon pankreas meninggi dalam keadaan hipoglikemia dan menurun dalam
keadaan hiperglikemia. Sebagian besar glukagon endigen mengalami metabolisme di hati.
INDIKASI.
Glukagon terutama digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan oleh
insulin. Hormon tersebut dapat diberikan secara IV, IM atau SK dengan dosis 1 mg. Bila
dalam 20 menit setelah pemberian glukagon SK pasien koma hipoglikemik tetapi tidak
sadar, maka glukosa IV harus segera diberikan karena mungkin sekali glikogen dalam
hepar telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang menetap.
Glukagon HCl tersedia dalam ampul berisi bubuk 1 dan 10mg.
2.DIAZOKSID
Obat ini memperlihatkan efek hiperglikemia bila diberikan oral dan efek antihipertensi bila
diberikan IV. Sediaan ini meningkatkan kadar glukosa sesuai besarnya dosis dengan
menghambat langsung sekresi insulin; mungkin juga dengan menghambat penggunaan
glukosa dan perifer dan merangsang langsung sekresi insulin; mungkin juga dengan
menghambat penggunaan glukosa di perifer dan merangsang pembentukan glukosa dalam
hepar. Diazoksid digunakan pada hiperinsulinisme misalnya pada insulinoma atau
hipoglikemia yang sensitif terhadap leusin. Diazoksid 90% terikat plasma protein dalam
darah. Masa paruh bentuk oral 24-36 jam, tetapi mungkin memanjang pada takar lajak atau
pada apsien dengan kerusakan dengan kerusakan fungsi ginjal. Karena masa paruh yang
panjang, diperlukan pengamatan jangka panjang. Takar lajak dapat menyebabkan
hiperglikemia berat, kadang-kadang disertai ketoasidosis atau koma hiperosmolar tanpa
ketosis.
52

Meskipun diazoksid termasuk golongan tiazid, obat ini meretensi air dan natrium.
Diuretik tiazid meninggikan efek hiperglikemi dan hiperurisemi obat ini. Diazoksid oral
menimbulkan potensiasi efek obat antihipertensi lain, meskipun bila obat ini digunakan
sendiri efeknya tidak kuat. Efek hiperglikemi diazoksid dilawan oleh obat penghambat
adrenoreseptor . Diazoksid dapat menimbulkan iritasi saluran cerna, trombositopeni dan
netropeni. Diazoksid bersifat teratogenik pada hewan (kelainan kardiovaskular dan tulang),
juga menyebabkan degenerasi sel pankreas fetus sehingga obat ini tidak boleh diberikan
pada wanita hamil.
Dosis pada orang dewasa adalah 3-8 mg/kgBB/hari, sedangkan pada anak kecil 8-15
mg/kgBB/hari. Obat ini diberikan dalam dosis terbagi 2-3 x sehari.
TERAPI INSULIN
KLASIFIKASI INSULIN
Jenis sediaan
Kerja cepat
Regular solube
(kristal)
Lispro
Kerja sedang
NPH (isophan)
Lente
Kerja panjang
Protamin zinc
Ultralente
Glargin

Bufer

Mula kerja

Puncak
(jam)

Masa kerja Kombinasi


(jam)
dengan (jam)

Fosfat

0,1-0,7
0,25

1,5-4
0,5-1,5

5-8
2-5

Semua jenis
lente

Fosfat
Asetat

1-2
1-2

Fosfat asetat 4-6


4-6
2-5

6-12
6-12

18-24
18-24

Regular
Senilente

14-20
16-18
5-24

24-36
20-36
18-24

Regular

INDIKASI dan TUJUAN.


Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe 1, DM tipe 2 yang tidak dapat diatasi
hanya dengan diet dan atau antidiabetik oral, pasien DM pascapankreaktomi atau DM
dengan kehamilan, DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis, atau komplikasi lain,
sebelum tindakan operasi (DM tipe 1 dan 2). Tujuan pemberian insulin pada semua
keadaan tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga memperbaiki
semua aspek metabolisme, dan yang terakhir inilah umumnya yang suka dicapai.
Keadaan mendekati normoglisemia dicapai pada DM dengan multipel dosis harian
insulin atau dengan infusion pump therapy, yang tujuannya mencapai glukosa darah puasa
antara 90-120 mg/dL (5-6,7 mM), glukosa 2 jam postprandial kurang dari 150 mg/dL (8,3
mM). Pada pasien yang kurang disiplin atau kurang patuh terhadap terapi, mungkin perlu
dicapai nilai glukosa darah puasa yang lebih tinggi (140 mg/dL atau 7,8 mM) dan
postprandial 200 sampai 250 mg/dL atau11,1-13,9 mM.
EFEK SAMPING.
Hipoglikemia, merupakan efek samping paling sering terjadi dan trjadi akibat dosis insulin
yang terlalu besar, tidak tepatnya waktu makan dengan waktu tercapainya kadar puncak
insulin, atau karena adanya faktor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
misal insufisiensi adrenal atau pituitary, ataupun akibat kerja fisik yang berlebihan.
53

Reaksi alergi dan resistensi, kadang-kadang reaksi ini terjadi akibat adanya bekuan atau
terjadinya denaturasi preparat insulin, atau kontaminan, atau akibat pasien sensitif terhadap
senyawa yang ditambahkan pada proses formulasi preparat insulin (misal: Zn2+, protamin,
fenol,dll). Reaksi alergi lokal sering terjadi akibat IgE atau resistensi akibat timbulnya
antibodi IgG.
Lipoartrofi dan lipohipertrofi. Lipoartrofi jaringan lemak subkutan ditempat suntikan
dapat timbul akibat variant respon imun terhadap insulin; sedangkan lipohipertrofi dimana
terjadi penumpukan lemak subkutan terjadi akibat efek lipogenik insulin yang kadarnya
tinggi pada daerah tempat suntikan. Hal ini diduga akibat adanya kontaminan dalam
preparat insulin, dan reaksi lebih jarang terjadi pada penggunaan insulin, dan reaksi lebih
jarang terjadi pada penggunaan insulin yang lebih murni. Pada kenyataannya lipohipertrofi
lebih sering terjadi dengan human insulin apabila pasien yang menyuntikan sendiri pada
tempat yang sama. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya absorpsi insulin yang kurang
baik atau tidak teratur.

54

Pencegahan
1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus
diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya
pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak
masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan
jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu
gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang
cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah
satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa,
dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :
i Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes
ii Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
55

iii Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler


iv Orang-orang yang gemuk
Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan
pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan
menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu
dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik
masih merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan
jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral.
Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu
dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta pancreas
atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.

Aktivitas Obat Hipoglisemik Oral

Obat

Lamanya jam

Dosis
lazim/hari

Klorpropamid
(diabinise)

60

Glizipid (glucotrol)

12-24

1-2

Gliburid
(diabeta,
micronase)

16-24

1-2

Tolazamid (tolinase)

14-16

1-2

Tolbutamid (orinase)

6-12

1-3

DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang
masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari.
Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara
makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe
II, cenderung kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan
hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat badan.
(Hendrawan,2002). Modifikasi dari faktor-faktor resiko
a Menjaga berat badan
b Tekanan darah
c Kadar kolesterol
d Berhenti merokok
e Membiasakan diri untuk hidup sehat

56

f Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik


yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang
berulang untuk mencapai kebugaran.
g Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena
hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
h Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam
yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat
dan lemak tinggi.
i Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai
penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien
dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan
holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi
yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).
2.6. Menjelaskan prognosis DM
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal.,
sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk meninggal lebih
cepat.
2.7. Menjelaskan pencegahan penyakit DM dengan cara edukasi, baik pencegahan
primer , sekunder maupun tersier
Kalau sudah terjadi komplikasi, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal
sangat sulit, kerusakan yang terjadi pada umumnya akan menetap. Oleh karena itu, usaha
pencegahan dini untuk komplikasi tersebut sangat diperlukan dan diharapkan akan sangat
bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan diabetes ada 3 jenis atau tahap yaitu:
Pencegahan Primer
Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang
berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
Pencegahan Sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama
pada populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya tidak terdiagnosa
dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun
sudah ada komplikasi masih reversibel.
57

Oleh karena itu, pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru
dengan cara skrining dimasukkan dalam upaya pencegahan sekunder supaya lebih diketahui
lebih dini komplikasi dapat dicegah karena dapat reversibel. Untuk negara berkembang termasuk
Indonesia upaya ini termasuk mahal.
Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Untuk
mencegah kecacatan tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi DM agar kemudian
penyulit dapat dikelola dengan baik disamping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan
kadar glukosa darah. Upaya ini meliputi:
a. Mencegah timbulnya komplikasi diabetes
b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus menjadi kegagalan organ
c. Mencegah terjadinya kecacatan tubuh disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan
LI 3. Memahami dan menjelaskan retinopati diabetic
3.1. Menjelaskan definisi,epidemiologi,etiologi,klasifikasi dan patofisiologi
Definisi
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan
dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus,1 meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler dan
vena. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1898/1/rodiah.pdf)
Retinopati diabetic adalah suatu mikroangiopati yang mengenai arteriola prekapiler
retina, kapiler dan venula, akan tetapi pembuluh darah yang besarpun dapat terkena. Keadaan ini
merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus yang menyebabkan kerusakan pada mata
dimana secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata sehingga
mengalami kebocoran.
(Kaji Y. 2005. Prevention of diabetic keratopathy. British journal of ophthalmology;89:254-255)
Patofisiologi
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi
melalui beberapa jalur.
Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxy- gen intermediates (ROIs) dan
advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh
darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin,
insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan mem- perparah kerusakan.
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan
ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol
kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC).
Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC.
VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhe- sion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu
terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan
58

kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur
tersebut me- nimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia
menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan
pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap
antarsel endo- telnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein
plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.9-11
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1898/1/rodiah.pdf)
Etiologi
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya
terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang
akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil
pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling
sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2,
tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.
Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan
prevalensi dan beratnya retinopati antara lain :

Adhesif platelet yang meningkat.


Agregasi eritrosit yang meningkat.
Abnormalitas lipid serum.
Fibrinolisis yang tidak sempurna.
Abnormalitas dari sekresi growth hormon
Abnormalitas serum dan viskositas darah.

Faktor resiko yang berpengaruh :


1. Lama menderita diabetes
Bila diabetes didiagnosa sebelum usia 30 tahun, resiko terjadinya retinopati diabetik
sekitar 2%. Dan apabila sudah menderita selama 7 tahun resiko untuk menderita retinopati 50%
sedangkan apabila menderita selama 25 tahun kemungkinan menderita retinopati diabetik 90%.
Penderita diabetes dengan durasi 25 sampai 50 tahun 26% kemungkinan akan mengalami bentuk
proliferatif. Penurunan penglihatan dibawah 20/40 dijumpai pada penderita diabetes tergantung
insulin sekitar 10% pada penderita diabetes anak, dan 38% pada penderita diabetes dewasa. Serta
24% pada penderita diabetes tidak tergantung insulin
2. Kontrol kadar gula darah
Berdasarkan suatu penelitian pemberian insulin untuk mengontrol kadar gula darah dengan ketat
mengurangi resiko terjadinya retinopati hingga sekitar 50%.
3. Ibu hamil, hipertensi, merokok, hiperlipidemia dan anemia.
Epidemiologi

59

Penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. Penelitian epidemiologis di Amerika,


Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat
dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya
terancam mengalami kebutaan. The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM
pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita
DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM
proliferative.
Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya
seseorang menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan
insulin pada penyandang DM tipe II, nefropati, dan hipertensi. Sementara itu, pubertas dan
kehamilan dapat mempercepat progresivitas retinopati DM. Kebutaan akibat retinopati DM
menjadi masalah kesehatan yang diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas
hidup dan produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat.
Masalah utama dalam penanganan retinopati DM adalah keterlambatan diagnosis karena
sebagian besar penderita pada tahap awal tidak mengalami gangguan penglihatan.
klasifikasi
Retinopati diabetik dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis:
1. Nonproliferatif retinopati diabetik (NPRD)
Pada nonproliferatif retinopati diabetik, perubahan mikrovaskular retina hanya terbatas pada
retina saja, tidak menyebar ke membran limitan interna. Karakteristik NPRD termasuk,
mikroaneurisma, area kapiler nonperfusi, infark dari nerve fibre layer, IRMAs, perdarahan dot
and blot intraretina, edema retina, hard eksudat, arteriol abnormalitas, dilatasi dan beading vena
retina. NPRD dapat mengganggu fungsi visual dengan 2 mekanisme:
Berbagai derajat sumbatan kapiler intraretina menimbulkan makular iskemik
Peningkatan permeabilitas vaskularisasi retina menimbulkan edem makula
Diabetik Makular Edema
Diagnosis diabetik makular edema (DME) sangat baik menggunakan slitlamp biomikroskopis,
untuk pemeriksaan segmen posterior menggunakan lensa kontak untuk memperjelas visualisasi.
Penemuan penting pada pemeriksaan termasuk:
- Lokasi retina yang menebal relatif terhadap fovea
- Adanya eksudat dan lokasinya
- Adanya cystoid makular edema

Fluoresein angiografi digunakan untuk melihat kebocoran pembuluh darah retina akibat
kerusakan barier pembuluh darah retina. Manifestasi diabetik makular edema berupa penebalan
retina secara fokal atau difus dengan atau tanpa eksudat. Karakteristik edem makula fokal adanya
kebocoran fokal dari lesi kapiler spesifik. Edem tersebut berkaitan dengan ring hard exudate.
Edem makula difus mempunyai karakteristik dengan kelainan kapiler retina yang luas
60

berhubungan dengan kebocoran yang luas dari kerusakan ekstensif barir darah-retina, dan sering
dengan cystoid macular edema.
Penanganan diabetik makular edema
Strategi pengobatan untuk diabetik makular edema meliputi modifikasi gaya hidup, olah raga,
berhenti merokok, kontrol gula darah, tekanan darah, kadar lemak darah dan massa indeks tubuh.
Penatalaksanaan laser pada diabetik makular edema
Beberapa paradigma pengobatan yang terbaru berasal dari Early Treatment
Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) menetapkan tentang clinically significant macular edema (CSME)
dan merekomendasi penatalaksanaan dengan laser fotokoagulasi fokal untuk berikut ini:
- Edema retina yang berlokasi pada atau dalam area 500 mikrometer dari sentralmakula.
- Hard exudates pada atau dalam area 500 mikrometer dari sentral jika berhubungan dengan
penebalan retina yang berdekatan.
- Daerah yang mengalami penebalan lebih besar dari 1 area diskus jika lokasinya dalam 1
diameter diskus dari sentral makula.
Penatalaksanaan medikal pada diabetik makular edema
- Pada pasien DM yang sulit disembuhkan, injeksi triamsinolon asetonid sub-tenon posterior
dapat memperbaiki penglihatan dalam 1 bulan dan menstabilkan penglihatan sampai satu tahun
dalam suatu penelitian retrospektif.
- Pada pasien CSME yang sulit disembuhkan, intra vitreal kortikosteroid dapat memperbaiki
penglihatan dalam jangka singkat dan mengurangi ketebalan makula selama 2 tahun folow up.
Pada masa yang akan datang, kortikosteroid dan anti VEGF dapat bermanfaat dalam penanganan
diabetik makular edem.
Penatalaksanaan bedah pada diabetik makular edema
Vitrektomi pars plana dan detachment posterior hyaloid juga bermanfaat untuk mengatasi
diabetik makular edema, khususnya dengan traksi hialoid posterior dan diabetik makular edema
difus. Diabetik Makular Iskemik
Kapiler retina nonperfusi merupakan gambaran yang berhubungan dengan NPRD yang progresif.
Angiografi fluoresein menunjukkan kapiler nonperfusi yang luas. Mikroaneurisma cendrung
berkelompok pada pinggir zona kapiler nonperfusi. Tertutupnya arteriol retina menimbulkan area
nonperfusi yang lebih besar dan iskemik progresif. Meluasnya zona avaskular fovea lebih besar
dari 1000 mikrometer diameter umumnya bermakna penurunan penglihatan.
Progresifitas menjadi PRD
NPRD berat ditetapkan oleh ETDRS dalam aturan 4:2:1, dengan karakteristik 1 dari yang
berikut:
1. Perdarahan intra retinal difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran
2. Venous beading pada 2 kuadran
61

3. IRMAs (intra retinal mikrovascular abnormality) pada 1 kuadran EDTRS mendapatkan


NPRD berat mempunyai peluang 15% progresif menjadi high risk PRD dalam kurun waktu 1
tahun. Very severe NPRD mempunyai 2 dari gambaran diatas dengan peluang 45% progresif
menjadi high-riskPRD dalam waktu 1 tahun.Pelepasan faktor-faktor vasoproliferatif meningkat
sesuai derajat iskemik retina. Satu faktor vasoproliferatif, VEGF, telah diisolasi dari spesimen
vitrektomi pasien PRD. VEGF ini dapat menstimulasi neovaskularisasi pada retina, papil nervus
optikus, atau segmen anterior.
2. Proliferatif retinopati diabetik(PRD)
Proliferasi fibrovaskular ekstra retina memperlihatkan variasi stadiumperkembangan PRD.
Pembuluh darah baru berkembang dalam 3 stadium:
Pembuluh darah baru dengan jaringan fibrous minimal yang melintasi dan meluas mencapai
membrana limitan interna.
Pembuluh darah baru meningkat ukurannya dan meluas, dengan meningkatnya komponen
fibrous.
Pembuluh darah baru mengalami regresi, meninggalkan sisa proliferasi fibrovaskular di
sepanjang hialoid posterior.
Berdasarkan luasnya proliferasi, PRD dibagi dalam tingkatan early, highrisk, atau advance.
Penatalaksanaan medikal pada retinopati diabetik
Prinsip utama penatalaksanaan medikal adalah memperlambat dan mencegah komplikasi. Ini
bisa dicapai oleh pelaksanaan pemeriksaan lokal dan menyeluruh yang mempengaruhi onset
NPRD dan progresifitasnya menjadi PRD. Hipertensi, bila tidak terkontrol selama beberapa
tahun sering menyebabkan progresifitas menjadi lebih tinggi dari DME dan retinopati diabetik.
Penyakit oklusi arteri karotis berat dapat menimbulkan PRD advance sebagai bagian dari
sindroma iskemik okular. Kehamilan dapat berkaitan dengan memburuknya retinopati, oleh
karena itu, wanita diabetes yang hamil memerlukan evaluasi retina yang lebih sering.
Faktor yang paling penting dalam penatalaksanaan medikal pada retinopati diabetik adalah
mempertahankan kontrol gula yang baik.
Penatalaksanaan laser pada PRD
Penanganan utama PRD meliputi penggunaan laser fotokoagulasi termal dalam pola panretina
untuk menimbulkan regresi. Penatalaksanaan scatter panretinal photocoagulation (PRP) hampir
selalu direkomendasikan. Tujuan scatter PRP adalah menyebabkan regresi dari jaringan
neovaskular yang ada dan menjaga progresifitas neovaskularisasi selanjutnya.
Penatalaksanaan bedah pada PRD
Ada dua kelainan utama pada advance PRD adalah perdarahan vitreous dan tractional retinal
detachment.
- Bedah vitrektomi, indikasinya pada pasien PRD dengan perdarahan vitreous yang tidak
membaik sampai lebih satu tahun. The diabetic retinopathy vitrectomy study (DRVS) telah
menetapkan vitrektomi di awal pada perdarahan vitreous sekunder dari PRD.

62

- Tractional Retinal detachment : vitrektomi bertujuan untuk memperbaiki traksi vitreoretina


dan memfasilitasi perlekatan kembali retina oleh penarikan atau pengelupasan vitreous kortikal
atau hialoid posterior.
3.2. Menjelaskan gejala klinis dan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
Manifestasi Klinis Retinopati Diabetik
Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :

Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :


Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan
bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus
posterior.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma dipolus posterior.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok.
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu
iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung.
Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna
putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia
retina.
Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan
jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan
ireguler. Mulamula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke
daerahpreretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan
badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga
sangat mengganggu tajam penglihatan
(Diabetic
http://www.kellogg.umich.edu/patientcare/conditions/diabetic.retinopathy.html.)

Retinopathy,

Pemeriksaan Retinopati Diabetik


Pemeriksaan Funduskopi Direk pada Retinopati DM
Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai saraf optik, retina, makula dan
pembuluh darah di kutub posterior mata. Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk
63

melepaskan kaca mata atau lensa kontak, kemudian mata yang akan diperiksa ditetesi
midriatikum. Pemeriksa harus menyampaikan kepada pasien bahwa ia akan merasa silau dan
kurang nyaman setelah ditetesi obat tersebut. Risiko glaukoma akut sudut tertutup merupakan
kontraindikasi pemberian midriatikum.
Pemeriksaan funduskopi direk dilakukan di ruangan yang cukup gelap. Pasien duduk berhadapan
sama tinggi dengan pemeriksa dan diminta untuk memakukan (fiksasi) pandangannya pada satu
titik jauh. Pemeriksa kemudian mengatur oftalmoskop pada 0 dioptri dan ukuran aperture yang
sesuai. Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan pemeriksa dan oftalmoskop dipegang di
tangan kanan.

Hasil OCT Normal (A) dan Edema Makula pada Retinopati DM (B)

Mula-mula pemeriksaan dilakukan pada jarak 50 cm untuk menilai refleks retina yang
berwarna merah jingga dan koroid. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada jarak 2-3 cm
dengan mengikuti pembuluh darah ke arah medial untuk menilai tampilan tepi dan warna diskus
optik, dan melihat cup-disc ratio. Diskus optik yang normal berbatas tegas, disc berwarna
merah muda dengan cup berwarna kuning, sedangkan cup-disc ratio <0,3. Pasien lalu diminta
melihat ke delapan arah mata angin untuk menilai retina. Mikroaneurisma, eksudat, perdarahan,
dan neovaskularisasi merupakan tanda utama retinopati DM. Terakhir, pasien diminta melihat
langsung ke cahaya oftalmoskop agar pemeriksa dapat menilai makula. Edema makula dan
eksudat adalah tanda khas makulopati diabetikum.

64

Retinopati DM Nonproliferatif Derajat sedang dengan Edema Makula (A) dan Retinopati DM
Proliferatif dengan Edema Makula dan Perdarahan Pre-retina (B)
Diagnosis dan Diagnosis Banding Retinopati Diabetik
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui pemeriksaan
funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi
kelainan retina.
Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology
(AAO) adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan ter tersebut adalah mudah
dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga mampu laksana di
pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati DM dikelompokkan sesuai dengan standar
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS). Di pelayanan primer pemeriksaan fundus
photography berperanan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan ditemukan
edema makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan retinopati DM proliferatif maka
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata.
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari pemeriksaan visus,
tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus
photography dengan pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila
perlu. OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit
terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi.
Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya terhalang oleh
perdarahan vitreous atau kekeruhan media refraksi.

65

3.3.Menjelaskan penatalaksanaan dan prognosis


Terapi retinopati diabetik adalah fotokoagulasi. Terapi ini menurunkan insidensi perdarahan dan
pembentukan parut dan selalu merupakan indikasi jika terjadi pembentukan pembuluh darah
baru. Juga berguna dalam therapi mikroaneurisma, perdarahan dan edem makuler bahkan jika
tahap proliferatif belum mulai. Fotokoagulasi panretina sering digunakan untuk mengurangi
kebutuhan oksigen retina dengan harapan stimulasi untuk neovaskularisasi akan berkurang.
Dengan tehnik ini beberapa ribu lesi terjadi selama 2 minggu.
Komplikasi fotokoagulasi masih dapat diterima. Sebagian kehilangan penglihatan perifer tidak
dapat dihindari dengan pembakaran luas. Tehnik pembedahan lainnya, vitrektomi, pars plana,
digunakan untuk terapi perdarahan vitreus dan pelepasan retina yang tidak teratasi. Komplikasi
pasca operasi lebih sering dibandingkan pada fotokoagulasi dan termasuk robekan retina,
pelepasan retina, katarak, perdarahan vitreus berulang, glaukoma, infeksi, dan kehilangan mata.
Ada harapan bahawa inhibisi angiogenesis oleh obat seperti beta-siklodekstrin tetradekasulfat
yang menyerupai heparin analog dalam percobaan dapat mencegah retinopati proliferatif.
Terapi utama untuk retinopati diabetik yang mengancam penglihatan adalah laser. Angiogram
fluoresein dapat dilakukan pada beberapa pasien untuk menilai derajat iskemia retina dan
mendapatkan area kebocoran baik dari mikroaneurisma maupun dari pembuluh darah baru.
Makulopati diabetik diterapi dengan mengarahkan laser pada titik-titik kebocoran.
Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi retinopati yang lebih
berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan iskemik yang bermakna akan
memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan
66

3.4. Menjelaskan pencegahn retinopati diabetic


Pencegahan retinopati diabetik merupakan upaya yang harus dilakukan bersama untuk mencegah
atau menunda timbulnya retinopati dan juga untuk memperlambat perburukan retinopati. Metode
pencegahan dan pengobatan retinopati diabetic saat ini meliputi :
a. Kontrol glukosa darah,
seperti
yang telah
disebutkan sebelumnya,
pengontrolan kadar glukosa darah yang baik secara signifikan menurunkan resiko perkem
bangan retinopati diabetik dan juga progresifitasnya.
b. Kontrol tekanan darah
c. Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan atau radiasi (jarang dilakukan)
d. Laser koagulasi
Perkembangan laser fotokoagulasi retina secara dramatis telah mengubah penanganan
retinopati diabetik. Penggunaan cahaya yang terfokus untuk mengkauter retina telah
dipraktiskan sejak beberapa tahun dan hasilnya telah dikonfirmasi melalui percobaan
klinikal yang ekstensif untuk kedua penyakit NPDR (Non-proliferatife Diabetic
Retinopathy) dan PDR ( Proliferative Diabetic Retinopathy ) dan juga untuk beberapa
tipe makulopati. Mekanisme kerja yang jelas tidak diketahui tapi telah dicadangkan
bahwa foto koagulasi lokasi sistemik mencegah pembebasan sesuatu yang belum
diidentifikasi,
faktor
vasoformatif pada penyakit proliferative. Penanganan ini harus dilakukan pada stadium
awal. Fotokoagulasi untuk NPDR dengan macula udem yang signifikan secara klinis dise
but fotokoagulasi macula, manakala fotokoagulasi luas untuk PDR disebut foto
koagulas panp-retinal.
LI 4. Memahami dan menjelaskan cara menghiung kebutuhan kalori pada pasien DM
4.1. Menjelaskan perhitungan kebutuhan kalori total sesuai jenis kelamin, usia,
berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan factor stress, dengan metode Broca
dan Harris Benedict
1. Metode Harrist Benedict

KKB Pria : 66 + (13,7 x BB) + (5x TB) - (6,8 x U)


Wanita : 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB ) - (4,7 x U )
Kalori Total = KKB x Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik pada rumus Harris Benedict Equation ini digolongkan menjadi 4 yaitu :
Bed rest

: 1,2

Sedang

: 1,4-1,5

Ringan

: 1,3
67

Berat
Stress metabolic

: 1,75
: +10-30%

Hamil trimester 1dan2 :+300 kal


Hamil trimester 3dan4 : +500kal
2. Metoda Broca

Status gizi = BB/BBI X 100%


BBI = (TBcm-100)-10%) x AMB LK/PR

Rumus Brocca tersebut yaitu sebagai berikut :


Angka Metabolisme Basal (AMB)
Laki-laki
Perempuan

: 30 kal/kg bb/hari
: 25 kal/kg bb/hari

Faktor aktivitas ada rumus brocca ini juga digolongkan menjadi 4 yaitu
Sangat ringan

: 10% x AMB

Sedang

: 30% x AMB

Ringan

: 20% x AMB

Berat

: 40% x AMB

4.2. Menjelaaskan presentasekomposisi makronutrien karbohidrat, protein, lemak


dan menterjemahkannya dalam bentuk gram

Karbohidrat

= 60% x jumlah kalori total


= 60% x 1900
= 1140 kalori : 4 = 285 gram

Protein

= 15% x jumlah kalori total


= 15% x 1900
= 285 kalori : 4 = 71,25 gram

Lemak

= 25% x jumlah kalori total


= 25% x 1900
= 475 kalori : 9 = 52,78 gram

Kebutuhan makanan dalam gram

Karbohidrat = 1 gram-4
kalori
Protein
= 1 gram4 kalori
Lemak
= 1 gram-

68

4.3. Menjelaskan jumlah gram karbohidrat, protein,lemak dalam bentuk bahan


makanan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan Penukar (DKBM)

Karbohidrat : 240 gram

Bahan makanan sumer hidrat arang : (satu satuan penukar mengandung 175 kalori, 4 gr protein
dan
40
gr
karbohidrat)

Protein : 60 gram

Bahan makanan sumber protein hewani (satu satuan penukar mengandung 95 kalori, 10 gr
protein, dan 6 gr lemak)

69

Lemak : 45 gram

Rendah lemak (satu satuan penukar mengandung 7 gr protein, 2 gr lemak 50 kalori)

LI 5. Memahami dan menjelaskan farmakoterapi obat anti diabetes


5.1. Menjelaskan penggolongan , farmakokinetik,
samping,dan kontra indikasi obat anti hipoglikemik oral
1
-

farmakodinamik,

efek

Obat Antidiabetik Oral


a Sulfonylurea ( insulin secretagogues )
Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan
70

Mek. Kerja : berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel beta
depolarisasi membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel beta,
merangsang sekresi insulin.
Farmakokinetik :masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat bervariasi.
Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal, sediaan ini tidak
boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia,
agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.
Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun.
Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang
terlalu cepat.
Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile, pasien
yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan
gawat.
Interaksi : meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid,
kloramfenikol)
b Meglitinid
Pemberian : sesaat sebelum makan
Mek. Kerja : sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda. Merangsang
insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta pankreas.
Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa
paruh 1 jam, sehingga harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan.
Farmakokinetik : metabolism utama di hepar, 10% di ginjal.
ES : hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.
c Biguanid
Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan
Teridiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin,
metformin.
Mek. Kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi
glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin.
Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein kinase). Pada
DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB.
Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat protein
plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.
Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan.
Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi
dengan metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan insulin
eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.
KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit jantung
kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras intravena
atau yang akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.
d Tiazolidinedion
Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan

71

Mek. Kerja : berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor (PPAR ) suatu
resptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer.
ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung
kongestif, hipoglikemi.
KI : gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.
e Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose)
Pemberian : bersama makan suapan pertama
Mek. Kerja : memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin, dan disakarida) di
usus halus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Kerjanya
tidak mempengaruhi sekresi insulin.
ES : kembung, flatulens.
Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.
f DPP-4 Inhibitor
Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
Mek. Kerja : glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan
insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun, sekresi GLP-1
menurun pada DM-2.
5.2. Menjelaskan penggolongan ,
samping,dan cara pemberian insulin.

farmakokinetik,

farmakodinamik,

efek

Terapi Insulin
a Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin dulakukan
dengan IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke sirkulasi
perifer yang seharusnya langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung
hormone ini pada hepar menjadi kurang.
b Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat diatasi
dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain untuk
menormalkan kadar insulin juga untuk memperbaiki semua aspek metabolism.
c Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan
pasien.
Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB
Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan
pagi, dan 4-5 U sebelum makan malam.
DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.
d ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem,
kembung,dll.
e Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH, Tiroid,
estrogen, glucagon,dll)
72

LI 6. Memahami dan menjelaskan makanan yang halal dan baiksesuai ajaran Islam
Makan sehat
Makanan sehat di dalam Islam sangatlah penting untuk disimak, hal ini beliputi bukan
hanya pada persoalan hukum halal atau haram makanan, tetapi kualitas (bobot kandungan
gizi) dan efek kesehatan makanan terhadap tubuh.
Allah berfirman dalam Al Quran surat Al Araf ayat 31.
Hai anak Adam, kenakan pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid, makan
dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya allah tidak menyukai orangorang yang belebih-lebihan.
Hal senada dapat ditemukan di surat Al Baqarah 168:
Hai sekalian manusia makan-makanlah yang halal lagi baik dariapa yang terdapatdi
bumi dan jangan kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena syaitan musuh yang
nyata bagimu.
Sesungguhnya pangkal penyakit kebanyakan bersumber dari makanan. Maka tak heran
bila Rasulullah memberi perhatian besar dalam masalah ini, karena makanan yang sehat
akan membuat tubuh sehat.
Dalam Al-Qur'an prinsip makanan sehat adalah tidak berlebih-lebihan. Rasulullah
bersabda: Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya.
Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak
ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan (HR Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban).
Lalu prinsip lain yang disebutkan pada dalil lainnya adalah halal dan tayyiban, yang
dimaksud dengan halal yakni diketahui atau jelas riwayat makanannya (misalnya
bersumber dari mana dan diproses dengan cara seperti apa) selain itu memenuhi standar
halal makanan yang banyak disebutkan dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Sementara istilah
tayyiban disini yakni kualitas kandungan gizi/nutrisi dalam makanan.
Rasulullah melarang untuk makan lagi sesudah kenyang. Kami adalah kaum yang
tidak makan sebelum merasa lapar dan bila kami makan tidak pernah kekenyangan(HR
Bukhari Musim).
Suatu hari, di masa setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat mengunjungi Aisyah ra.
Lalu, sambil menunggu Aisyah ra, para sahabat, yang sudah menjadi orang-orang kaya,
saling bercerita tentang menu makanan mereka yang meningkat dan bermacam-macam.
Aisyah ra, yang mendengar hal itu tiba-tiba menangis. Apa yang membuatmu menangis,
wahai Bunda? tanya para sahabat. Aisyah ra lalu menjawab, Dahulu Rasulullah tidak
pernah mengenyangkan perutnya dengan dua jenis makanan. Ketika sudah kenyang dengan
roti, beliau tidak akan makan kurma, dan ketika sudah kenyang dengan kurma, beliau tidak
akan makan roti. Dan penelitian membuktikan bahwa berkumpulnya berjenis-jenis
makanan dalam perut telah melahirkan bermacam-macam penyakit. Maka sebaiknya
jangan gampang tergoda untuk makan lagi, kalau sudah yakin bahwa Anda sudah kenyang.
Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang
dicampur air untuk membersihan air liur dan pencernaan. Rasul bersabda, Hendaknya
kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran (HR. Ibnu Majah dan
Hakim).Yang selanjutnya, Rasulullah tidak makan dua jenis makanan panas atau dua jenis
73

makanan yang dingin secara bersamaan. Beliau juga tidak makan ikan dan daging dalam
satu waktu dan juga tidak langsung tidur setelah makan malam, karena tidak baik bagi
jantung. Beliau juga meminimalisir dalam mengonsumsi daging, sebab terlalu banyak
daging akan berakibat buruk pada persendian dan ginjal. Pesan Umar ra, Jangan kau
jadikan perutmu sebagai kuburan bagi hewan-hewan ternak!
Kiat Makan Sehat ala Rasulullah
Sekarang masuk pada tata cara mengonsumsinya. Ini tidak kalah pentingnya dengan
pemilihan menu. Sebab setinggi apa pun gizinya, kalau pola konsumsinya tidak teratur,
akan buruk juga akibatnya. Yang paling penting adalah menghindari isrof (berlebihan).
Rasulullah bersabda, Cukuplah bagi manusia untuk mengonsumsi beberapa suap makanan
saja untuk menegakkan tulang sulbinya (rusuknya). Makanlah dengan sikap duduk yang
baik yaitu tegap dan tidak menyandar, karena hal itu lebih baik bagi lambung, sehingga
makanan akan turun dengan sempurna. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya aku tidak
makan dengan bersandar.Prinsip ketiga berpuasa. Sebulan dalam setahun, umat Islam
diwajibkan bukan saja dengan mencapai ketaqwaan tetapi juga ksehatannya dapat terjaga.
Berpuasalah kamu supaya sehat tubuhmu (HR Bukhari)
Puasa akan membawa kita pada kesehatan yang sangat luar biasa. Secara fisiologis,
puasa sangat erat kaitannya dengan kesehatan tubuh manusia. Saluran pencernaan manusia
tempat menampung dan mencerna makanan, merupakan organ dalam yang terbesar dan
terberat di dalam tubuh manusia. Sistem pencernaan tersebut tidak berhenti bekerja selama
24 jam dalam sehari. Banyak hasil penelitian modern yang memaparkan bahwa puasa
sangat menyehatkan. Diantaranya, memberikan istirahat fisiologis menyeluruh bagi sistem
pencernaan dan sistem syaraf pusat, menormalisasi metabolisme tubuh, menurunkan kadar
gula darah, mengikis lipid jahat (kolesterol), detoksifikasi (membuang racun dari tubuh),
dan lain sebagainya.
Insulin dalam islam
Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup manusia, maka kebutuhan hidup
manusia terhadap insulin semakin bertambah. Karena secara alami, dengan bertambahnya
usia, maka fungsi pankreas akan semakin menurun. Dengan menurunnya fungsi pankreas,
maka menurun pula fungsi insulin yang dapat dihasilkan tubuh manusia. Dengan
menurunnya insulin dalam tubuh manusia, maka kemampuan tubuh manusia untuk
memecah gula dalam darah akan semakin turun. Pada saat itulah manusia terkena penyakit
yang disebut kencing manis (diabetes melitus), dan memerlukan suntikan insulin.
Pernah dicoba membuat insulin dari ekstraksi pankreas sapi. Namun hasilnya kurang
menggembirakan, meskipun gennya cocok dengan sapi. Dari seekor sapi, hanya dihasilkan
insulin 1/2 cc saja, yang berarti tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang sekali
suntik. Percobaan pembuatan insulin dari pankreas kera, menunjukkan gennya tidak cocok
dengan manusia.
Akhirnya dicoba membuat insulin dengan ekstraksi pankreas babi, dan ternyata
hasilnya selain gennya cocok dengan manusia, jumlah cc-nya pun mencukupi.
Mula-mula insulin dibuat dari gen pankreas babi yang diklon dalam bakteri. Dalam
waktu 24 jam, dari satu gen menghasilkan milyaran gen. Kini insulin dibuat dari gen
pankreas babi yang diklon dalam ragi. Karena organisme ragi lebih kompleks dari bakteri,
maka hasilnya lebih baik. Dari satu gen pankreas babi yang diklon dalam ragi pada tabung
74

fermentor kapasitas 1.000 liter dihasilkan 1 liter insulin. Insulin dari bahan dan proses
seperti itulah yang kini beredar di seluruh dunia.
Hal ini boleh-boleh saja selama tidak ditemukan obat yang lain. Yahya bin Syaraf
an-nawawi menerangkan dalam Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab



Adapun berobat dengan bahan-bahan najis selain khamr itu boleh. Hal ini berlaku
pada seluruh jenis najis selain yang memabukkan. Ini adalah pendapat al-Madzhab, alManshush dan Jumhur ulama memastikannya (sebagi keputusan hukum tunggal).Sebagai
pertimbangan dapat pula diqiyaskan apa yang termaktub dalam Al-Iqna fi Hill Alfazh Abi
Syuja karangan Muhammad Khatib as-Syirbini yang membolehkan seseorag
menggunakan tulang najis sebagai pengganti atau penyambung tulang yang telah rusak.






Dan bila seseorang menyambung tulangnya karena dibutuhkan, dengan tulang najis
yang selainnya tidak layak untuk dijadikan penyambung, maka ia dianggap udzur dalam
hal itu. Oleh karenanya, shalatnya sah besertaan tulang tersebut (berada di tubuhnya).
Atau juga apa yang disampaikan oleh Muhammad Khatib as-Syirbini dalam Mughni
al-Muhtaj ila Marifah Alfazh al-Minhaj mengenai kesucian barang najis yang telah
berubah bentuknya





Dan semua najis yang telah berubah bentuk menjadi hewan itu suci, seperti darah
telor yang telah berubah menjadi anak ayam, menurut qaul yang menganggapnya najis,
meski ulat dari anjing. Sebab, sifat hidup itu mempunyai dampak nyata dalam
menghilangkan najis. Oleh karenanya, maka najis itu hilang karena hilangnya sifat hidup.
Selain itu, karena ulat itu lahir dalam diri anjing, bukan berasal darinya.

75

DAFTAR PUSTAKA
Boulton M. The pathogenesis of diabetika retinopathy: old concepts and new questions.
Eye.2004; 16:242-260
Jaypee Brothers, Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi, 2007, p.205-211
Lisegang TJ, Deutsch TA, Grand MG, Ocular development, Fundamentals and principles of
ophthalmology section 2, Sanfransisco, American Academy of Ophthalmology, 2005-2006,
p.133-157.
(Kaji Y. 2005. Prevention of diabetic keratopathy. British journal of ophthalmology;89:254-255)
(Wong TY , Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski J. Global prevalence of
diabetic retinopathy: Pooled data from population studies from the United States, Australia,
Europe and Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and Opthalmology Annual
Meeting; 2011.)
(Soewondo P , Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A. 2010.
The DiabCare Asia 2008 study - Outcomes on control and complications of type 2 diabetic
patients in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43.)
(American Academy of Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course,Retinal Vascular
Disease in Retina and Vitreous, section 12, chapter 5, 2009-2010, p. 109-131)
(Sony P, Venkatesh P and all, Step by Step Optical Coherence Tomography,
(sherwood, Laurelee.2001.fisiologi manusia dari sel ke sistem Edisi 2.jakarta.EGC)
(Ganong, W.F., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.22. Jakarta: EGC)
(repository.unand.ac.id Insulin : Mekanisme sekresi dan aspek metabolisme)
(Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical Diabetes. 2009;27(4):140-5.
Westerfeld CB, Miller JW . Neovascularization in diabetic retinopathy. In: Levin LA, Albert
DM, editor. Ocular disease: mechanisms and management. USA: Saunders; 2010. p. 514-7)
http://www.makanansehat.web.id/2012/12/makanan-sehat-dalam-islam-dan-pola.html

76

77

Anda mungkin juga menyukai