Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

DIABETES MELITUS TIPE II


DAN KOMPLIKASI

OLEH :
Tiffano Taufan Firdaus (1210211033)

Pembimbing :
dr. Djunaidi Ruray Sp.PD, MARS, FINASIM
Periode 11 Agustus 18 Oktober 2014

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT
SOEBROTO
1

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UPN VETERAN


JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi Kasus

Diabetes Melitus Tipe II dan Komplikasi

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun Oleh:

Tiffano Taufan Firdaus

121.0211.033

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Nama pembimbing

dr. Djunaidi Ruray, Sp.PD, MARS, FINASIM

Tanda Tangan

.......................

Tanggal

.............................

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan pembuatan presentasi kasus
dengan judul Diabetes Melitus Tipe II dan Komplikasi, yang merupakan salah satu
syarat dalam melaksanakan kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Djunaidi Ruray, Sp.PD, MARS, FINASIM selaku pembimbing dalam pembuatan presentasi
kasus ini dan berbagai pihak yang telah membantu pembuatan laporan kasus ini. Tidak lupa
pula penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan teman-teman sejawat
dokter muda yang telah membantu sehingga terselesaikannya referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini banyak terdapat
kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca.

Jakarta, 20 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
BAB I

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 4

1. Nefropati diabetikum.......................................................................... 4
a. Definisi Diabetes Melitus............................................................... 4
b. Klasifikasi Diabetes Melitus ......................................................... 4
c. Patofisiologi Diabetes Melitus....................................................... 4
d. Diagnosis Diabetes Melitus ........................................................... 6
e. Penatalaksanaan Diabetes Melitus................................................. 8
2. Nefropati diabetikum.......................................................................... 9
a. Definisi Nefropati diabetikum........................................................ 9
b. Etiologi Nefropati diabetikum ....................................................... 9
c. Patofisiologi Nefropati diabetikum................................................ 10
d. Gambaran Klinik Nefropati diabetikum ........................................ 12
e. Penatalaksanaan Nefropati diabetikum.......................................... 12
3. Ulkus Diabetikum ....................................................................................... 17

a. Definisi Ulkus diabetikum ............................................................. 18


b. Patofisiologi Ulkus diabetikum ..................................................... 19
c. Klasifikasi Ulkus diabetikum ........................................................ 23
d. Pengelolaan Ulkus diabetikum ...................................................... 25
e. Pencegahan Ulkus diabetikum ...................................................... 26
BAB III

STATUS PASIEN ............................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya dipikirkan bila ada keluhan khas diabetes
melitus berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae
pada wanita.1
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis diabetes melitus.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa
darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapati
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200
mg/dl.1
Penderita diabetes mellitus terjadi gangguan berupa kerusakan sistem saraf,
kerusakan sistem saraf (neurophati) dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu
kerusakan sistem saraf perifer, kerusakan sistem saraf otonom dan kerusakan sistem
saraf motorik. Kerusakan sistem saraf perifer pada umumnya dapat menyebabkan
kesemutan, nyeri pada tangan dan kaki, serta berkurangnya sensitivitas atau mati
rasa. Kaki yang mati rasa (insensitivity) akan berbahaya karena penderita tidak dapat
merasakan apa-apa sekalipun kakinya terluka, sehingga pada umumnya penderita
diabetes mellitus terlambat untuk menyadari bahwa telah terjadi luka pada kakinya,

hal ini semakin diperparah karena kaki yang terluka tersebut tidak dirawat dan
mendapat perhatian serius, serta ditambah dengan adanya gangguan aliran darah ke
perifer kaki yang disebabkan karena komplikasi makrovaskular, mengakibatkan luka
tersebut sukar untuk sembuh dan akan menjadi ulkus. Ulkus tersebut dapat
berkembang menjadi kematian jaringan, yang apabila tidak ditangani dengan baik
secara intensive dapat menyebabkan gangren, yang pada penderita diabetes mellitus
disebut dengan gangren diabetik.
Gangren diabetik merupakan suatu komplikasi yang ditimbulkan akibat infeksi atau
suatu proses peradangan luka pada tahap lanjut yang disebabkan karena perubahan
degeneratif atau perawatan yang kurang intensive, yang dikaitkan dengan penyakit
diabetes mellitus. Infeksi pada kaki diabetes dapat terjadi pada kulit, otot dan tulang
yang umumnya dapat disebabkan oleh kerusakan dari pembuluh darah, syaraf dan
menurunnya aliran darah kedaerah luka.
Nefropati diabetik terjadi akibat komplikasi diabetes yang menyebabkan timbulnya
penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan kegagalan fungsi ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
yang ireversibel dan pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.2
Diagnosis penyakit ginjal kronik dapat mengacu pada kriteria National Kidney
Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) didasarkan
atas 2 kriteria, yaitu:3
1. Kerusakan ginjal 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan
atau tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus; berdasarkan kelainan
patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti adanya kelainan pada
komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan.

2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama 3 bulan, dengan atau


tanpa kerusakan ginjal.
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien
diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau
200 g/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6
bulan.2
Nefropati diabetik dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal hingga tahap akhir,
oleh karenanya penanganan kasus ini harus dilakukan secara optimal agar dapat
mencegah perusakan ginjal ke tahap yang lebih buruk.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Melitus
a. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit metabolik berupa gangguan
metabolisme karbohidrat, yakni penurunan penggunaan glukosa yang rendah
sehingga mengkibatkan adanya

penumpukan glukosa di dalam darah

(hiperglikemia). Adapun penyebab terjadinya penimbunan kadar glukosa di


dalam darah tersebut ialah adanya gangguan berupa kurangnya sekresi enzim
insulin pada pancreas (DM tipe 1), atau terjadin gangguan fungsi pada enzim
insulin tersebut dalam metabolisme glukosa (DM tipe 2)1,2,3
b. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 diabetes melitus dibagi
menjadi 4 berdasarkan etiologinya yakni; diabetes melitus tipe 1 (DMT1) karena
defisiensi insulin absolut, diabetes melitus tipe 2 (DMT2) karena defek sekresi
insulin dan/atau resistensi insulin, diabetes melitus gestasional pada saat
kehamilan dan diabetes melitus tipe lain yang disebabkan oleh penyakit endokrin
pankreas, endokrinopati, penggunaan obat atau zat kimia, infeksi maupun
kelainan imunologi.
c. Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai
dengan resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik
dan berakhir dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai
ketidakmampuan jaringan target seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon
sekresi insulin endogen dalam tubuh. Lipotoxicity dapat berkontribusi terhadap
resistensi insulin.

Lipotoxicity mengacu kepada tingginya konsentrasi asam

lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan hormone sensitive
lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan menghambat HSL,
namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari peningkatan

lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan
obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi
insulin dengan mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat
mengurangi aktivitas insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada
asam amino tirosin penting untuk mengaktifkan insulin signalling pathway, jika
tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk translocate, dan penyerapan glukosa ke
jaringan akan berkurang, menyebabkan hiperglikemia. Pada individu non-diabetik
sel beta mampu menangkal resistensi insulin dengan meningkatkan produksi dan
sekresi insulin. Pada penderita DM apabila keadaan resistensi insulin bertambah
berat disertai tingginya glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam jangka
waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup
untuk menurunkan kadar gula darah, disertai dengan peningkatan glukosa hepatik
dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi
kadar

gula

dara

puasa

dan

postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan
terjadi hiperglikemia berat

Gambar 2.2 Patofisiologi DM Tipe 2


Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan
resistensi adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal
ini menyebabkan C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin
yang memilik efek metabolik yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami
resistensi sehingga kemampuan gAd untuk meningkatkan translokasi GLUT-4,
penyerapan glukosa, penyerapan asam lemak dan oksidasi, serta fosforilasi AMPactivated protein kinase (AMPK) dan asetil-CoA karboksilase (ACC) mengalami
penurunan.
hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan sensitivitas full-length adiponectin
(fAd) melalui peningkatan eskpresi reseptor AdipoR2. Hiperinsulinemia
menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan penyerapan asam lemak dan
meningkatkan oksidasi asam lemak sebagai respon dari fAd

sehingga

meningkatkan resiko komplikasi vaskular pada DM-2.


d. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan dengan adanya gejala khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polofagi, lemas dan berat badan yang menurun.
Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata
kabur dan impotensia pada pasien pria serta pruritus vulvae pada pasien
wanita.4

10

Gambar 2. Algoritma diagnosis Diabetes Mellitus.


Diagnosis Diabetes Mellitus dapat ditegakkan jika5:
1. Kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL pada orang yang memiliki tanda
klinis diabetes mellitus, atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dL. Puasa berarti tidak ada asupan kalori
selama 10 jam sebelum pengambilan sampel darah vena, atau
3. Kadar glukosa plasma >200 mg/dL, pada 2 jam sesudah pemberian beban
glukosa oral 75g pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) hasilnya lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan darah puasa, namun
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang
dalam praktek karena membutuhkan persiapan khusus.
Cara pelaksanaan TTGO :

11

3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari


(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan

jasmani seperti biasa.


Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum

pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.


Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa), atau 1,75 gr/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.


Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.

e. Tata Laksana Diabetes Melitus


a. Obat hiperglikemik oral (OHO).
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan :
1) Pemicu sekresi insulin.
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin.
3) Penghambat glukoneogenesis.
4) Penghambat glukosidase alfa.
b. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat.
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
3) Ketoasidosis diabetik.
4) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah.

12

2. Nefropati Diabetika
a. Definisi Nefropati Diabetika
Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan
penyebab utama gagal ginjal di Eropa dan USA. 2 Ada 5 fase Nefropati Diabetika.
Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate)
dan hipertropi ginjal.

Fase II ekresi albumin relative normal (<30mg/24j) pada

beberapa penderita mungkin masih terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko


lebih tinggi dalam berkembang menjadi Nefropati Diabetik. Fase III, terdapat mikro
albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV, Dipstick positif proteinuria, ekresi albumin
>300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat.
Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.4
b. Etiologi Nefropati Diabetika
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM
dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati
Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk
mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).5
c. Patofisiologi Nefropati Diabetika
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran
ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan
sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM
dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan
menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes,
arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole
aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang
tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus.6

13

d. Gambaran Klinik Nefropati Diabetika


Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada penderita DM baik tipe I
maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah,
sehingga sulit untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan
tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20g/menit disebut juga sebagai
mikroalbuminuria. Hal

ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat

albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap
kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin
ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urine selanjutnya akan
menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Tingkat Kerusakan Ginjal2
Kategori

Kumpulan
24

Normal
Mikroalbuminuria
Albuminuria klinis

jam

jam)
<30
30-299
300

Urin Kumpulan

Urin Perbandingan

(mg/24 sewaktu
(g/menit)
<20
20-199
200

Albumin/Urin
Kreatinin (g/mg)
<30
30-299
300

Tahap I
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai
pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya
normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 5 tahun sejak awal diagnosis
DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya
kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.2
2. Tahap II
Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan struktur ginjal
berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk.

14

Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap
berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.
Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent stage).7
3. Tahap III
Ini

adalah

tahap

awal

nefropati

(insipient

diabetic

nephropathy),

saat

mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM
tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus.
LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah
dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis
dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering
meningkat secara LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15
20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti
retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.
Progresivitas ke arah tahap akhir penyakit ginjal hanya dapat diperlambat dengan
pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.2

5. Tahap V
Ini adalah tahap akhir penyakit ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga
penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan
khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.2

15

e. Penatalaksanaan Nefropati Diabetika


Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan kendali
lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti
pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, dan menghentikan
kebiasaan merokok. Semua tindakan ini adalah juga tindakan preventif terhadap
penyakit kardiovaskuler.
Secara non farmakologis terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu:2,8,9
1. Edukasi.
Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang
penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, dan masalah khusus
yang dihadapi.
2. Perencanaan makan.

16

Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik


disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis.
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah
protein sangat penting.
Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita DM Tipe I diberi diet
mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan resiko terjadinya
penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76 %. Pada umumnya
dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8
gr/kgBB/hari2 yaitu sekitar 10

% dari kebutuhan kalori pada penderita dengan

nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka pembatasan protein
dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat
penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan dalam terjadinya
dislipidemia. Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan
pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Untuk pembatasan
asupan garam adalah 4-5 g/hari. Penderita

DM sendiri cenderung mengalami

keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan.
Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada
penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskuler.8,9
3. Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi
tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita. Contoh
latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai,

joging, berenang.

Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).


Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan
sekitar 10-12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu.2
Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :

17

1. Pengendalian DM
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan
penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif
akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik
pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi
ini dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah
pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga
mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan
darah juga perlu diperhatikan.10,11
Tabel. 2. Pengendalian DM
Indikator
Gula darah puasa
Gula darah 2 jam post prandial
HbA1C
Kolesterol total
LDL
HDL
Trigliserida

Target
80-100 g/dl
80-144 g/dl
<6.5%
<200
<100
>45
<150

2. Pengendalian Tekanan Darah


Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan
terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi
efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap
organ kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula
renoproteksi.
Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam
pengendalian tekanan darah pada penderita diabetes.

18

Pada penderita diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan
oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute
adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat 1 gr/24 jam, maka
target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg.2
Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan
famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara
lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok,
serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini
tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai
efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau penderita. Hal terpenting
yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun
jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek
antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obatobatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada penderita DM. Pada penderita
hipertensi dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB
merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima
atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan
Non Dihydropyridine CalciumChannel Blockers (NDCCBs).12,13,14
3. Penanganan Gagal Ginjal
Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Terapi konservatif dan terapi pengganti.15
a. Terapi Konservatif
1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:
a. keseimbangan cairan
b. diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan
adanya oedema atau hipertensi
c. menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida,
tetrasiklin)

19

2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible


d. mengatasi anemia
e. menurunkan tekanan darah
f. mengatasi infeksi
3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah
fosfat.
4. Terapi penyakit dasar seperti DM.
5. Terapi keluhan:
g. untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid
h. untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin
6. Terapi komplikasi
i. payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap
pemberian digitalis
b. Terapi pengganti
1. Dialisis
a. hemodialisis
b. dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan
c. indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit. \
2. Cangkok ginjal

4. Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Copenhagen mendapatkan
bahwa penanganan intensif secara multifaktorial pada penderita DM tipe II dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi
penanganan sesuai panduan umum penanggulangan diabets nasional mereka. Juga
ditunjukkan bahwa penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskuler,
termasuk stroke yang fatal dan nonfatal. Demikian pula kejadian yang spesifik seperti
nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan
intensif adalah energi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan arah, kadar
gula darah, lemak darah dan mikroalbuminuria juga disertai pencegahan penyakit
kardiovaskuler dengan pemberian aspirin. dalam kenyataanya penderita dengan terapi
intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian juga
dengan obat hipoglikemik oral atau insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih
banyak mendapat statin. Bagi penderita yang sudah berada dalam tahap V gagal
ginjal maka terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, sepeti pemberian
20

diet rendah protein, pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan
pengobatan anemia dengan pemberian eritropoietin dan lain-lain.16

3. Ulkus Diabetikum
a. Definisi Ulkus Diabetikum
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti.
Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola
maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan
kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masih merupakan
masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali orang
berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum ada pendidikan khusus untuk
mengelola kaki diabetes. Di samping itu, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki
diabetes masih sangat mencolok, lagi pula adanya permasalahan biaya pengelolaan
yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah
peliknya, masalah kaki diabetes.
b. Patofisiologi Ulkus Diabetikum
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik
neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai
perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya

21

ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak


menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut
menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.1
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik
(Sumber: Sudoyo AW dkk.Kaki Diabetes.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III.Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;2009 p.1966)

c. Klasifikasi Ulkus Diabetikum


Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti
klasifikasi Edmonds dari King`s College Hospital London, klasifikasi Liverpool yang
sedikit lebih ruwet sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan
kaki diabetes, dan juga klasifikasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih
mengacu kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu klasifikasi mutakhir dianjurkan
oleh International Working Group on Diabetic Foot.1,4
Tabel 3 Klasifikasi Texas4

Stadium

Tingkat
0
1
Tanpa
tukak Luka

atau

Luka

pasca superfisial,

tukak,
intak/utuh

B
C
D

kulit tidak
tendon

sampai tendon

3
sampai Luka

sampai

atau tulang

atau kapsul sendi

atau

kapsul sendi

tulang
kapsul sendi
Dengan infeksi
Dengan iskemia
Dengan infeksi dan iskemia
Sumber: Sudoyo AW dkk.Kaki Diabetes.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III.Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;2009 p.1966
Tabel 4 Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003

Impaired Perfusion
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth

0 = None
1 = PAD + but no critical
2 = Critical limb ischemia
1 = Superficial full thickness, not deeper than
dermis
2 = Deep ulcer, below dermis, involving

22

subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon


3 = All subsequent layer of the foot involved
including bone and or joint
1 = No symptoms or signs of infection
2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 = Erytheme > 2 cm or infection involving
subcutaneous structure(s). No systemic sign(s) of
Infection

inflammatory response
4 = Infection with systemic manifestation: fever,
leukocytosis, shift to the left, metabolic instability,

Impaired Sensation

hypotension, azotemia
1 = Absent
2 = Present

Sumber: Sudoyo AW dkk.Kaki Diabetes.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid


III.Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;2009 p.1966
Tabel 5 Klasifikasi Wagner (Klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai) 4

0 = Kulit intak atau utuh


1 = Tukak superfisial
2 = Tukak dalam (sampai tendon, tulang)
3 = Tukak dalam dengan infeksi
4 = Tukak dengan gangrene pada 1-2 jari kaki
5 = Tukak dengan gangrene luas seluruh kaki
Sumber: Sudoyo AW dkk.Kaki Diabetes.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III.Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;2009 p.1966

Tabel 6 Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer
Klasifikasi sekunder

Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik
Tukak sederhana, tanpa komplikasi
Tukak dengan komplikasi

Sumber: Sudoyo AW dkk.Kaki Diabetes.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid


III.Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;2009 p.1966

23

Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima oleh semua pihak akan
mempermudah para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai
tempat di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa
yang lebih dominan, vascular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun
dapat tertuju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangrene dengan critical limb
ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki
keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu
pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik yang
dominan (insensitive foot, S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus
diutamakan.1
Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan pengelolaan
adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds
2004-2005):1
Stage 1: Normal Foot
Stage 2: High Risk Foot
Stage 3: Ulcerated Foot
Stage 4: Infected Foot
Stage 5: Necrotic Foot
Stage 6: Unsalvable Foot
Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun
oleh dokter umum maupun dokter keluarga.1
Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.1
Untuk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap dan jelas sekali
memerlukan suatu kerjasama tim yang sangat erat, dimana harus ada dokter bedah,
utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.1
Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat
berbagai faktor yang harus dikendalikan, yaitu:1
Mechanical control-pressure control
Metabolic control
Vascular control

24

Educational control
Wound control
Microbiological control-infection control
Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi yang berbeda pula. Misalnya pada
stadium 1 dan 2 tentu saja faktor wound control dan infection control belum
diperlukan, sedangkan untuk stadium 3 dan selanjutnya tentu semua faktor tersebut
harus dikendalikan, disertai keharusan adanya kerjasama multidisipliner yang baik.
Sebaliknya, untuk stadium 1 dan 2, peran usaha pencegahan untuk tidak terjadi ulkus
sangat mencolok. Peran rehabilitasi medis dalam usaha mencegah terjadinya ulkus
dengan usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki memakai alas kaki khusus, serta
berbagai usaha untuk non-weight bearing lain merupakan contoh usaha yang sangat
bermanfaat untuk mengurangi kecacatan akibat deformitas yang terjadi pada kaki
diabetes.1

d. Pengelolaan Ulkus Diabetikum


Infeksi adalah masalah yang penting dan sangat sering terjadi sebagai komplikasi
yang serius pada kaki diabetik, perlu penanganan segera yang dimulai dari lesi yang
minimal. Mudahnya terjadi infeksi pada penderita kaki diabetik diakibatkan oleh
adanya iskemia, mikrotrombus, sebelumnya hingga akhirnya terbentuk abses,
gangren, sepsis, dan osteomielitis.2,3
Setiap penderita DM memiliki respon terhadap infeksi yang berbeda-beda. Tandatanda infeksi yang umum dapat berupa demam, edema, eritema, pernanahan, atau
berbau dan leukositosis. Penderita DM dengan infeksi kaki sekalipun berat tidak
selalu diikuti dengan peningkatan temperature tubuh dan jumlah leukosit. Di samping
itu sering sekali luasnya infeksi melebihi yang tampak secara klinis. Menurut
Gibbons dan Eliopoulus, 1984 pada infeksi kaki yang berat pada 2/3 penderita DM
tidak dijumpai tanda-tanda infeksi seperti temperature tubuh < 37,8 dan jumlah
leukosit < 10,103/mm3.2,3
Faktor-faktor yang merupakan risiko timbulnya infeksi yaitu:2
a. Faktor imunologi
Produksi antibodi menurun
Peningkatan produksi steroid dari kelenjar adrenal

25

Daya fagositosis granulosit menurun


b. faktor metabolik
Hiperglikemia
Benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya
Glikogen hepar dan kulit menurun
c. Faktor angiopati diabetika
d. Faktor neuropati
Kuman penyebab infeksi meliputi polimikrobial yang bersifat aerob dan anaerob,
gram negative dan gram positif. Leicher dkk, 1988 mendapatkan hasil pemeriksaan
kultur bakteriologi dijumpai mikroorganisme yang tersering adalah gram positif 72%
(Staphylococcus dan Streptococcus grup B) dan gram negative 49% (E. coli,
Klebsiela species, Pseudomonas aeruginosa, Proteus species, Bacteriodes species, dan
Peptostreptococcus). Peneliti lain mendapatkan kuman yang tersering adalah kokus
gram positif aerobic 89% basil gram negative aerob 36% dan anaerob 17%. Penyebab
tersering yang lain adalah jamur candida albicans dan trichopiton walaupun tidak
bersifat sistemik.2,3
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui
adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah
dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya
insufisiensi arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah
menggunakan manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari
arteri akan dideteksi oleh probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan
normal tekanan sistolik di tungkai bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi
dibandingkan tekanan darah sistolik lengan atas (brachial). Pada keadaan di mana
terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka akan terjadi penurunan tekanan. ABI
dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachial.
Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,710,90 terjadi
iskemia ringan, ABI 0,410,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,000,40
telah terjadi obstruksi vaskuler berat.2
Pengobatan terhadap infeksi ditujukan kepada kuman penyebab yang bersifat
polimikrobial dengan antibiotic yang bersifat polifarmasi. Antibiotik yang
direkomendasi sebagai terapi empiris pada ulkus KD sebelum diperoleh hasil kultur
dan uji resistensi dapat dilihat pada tabel-1.

26

Tabel 7 Regimen terapi antibiotik empiris untuk ulkus pada kaki diabetic 5
Skenario

Drug of Choice

Alternatives

Mild to moderate,

Dicloxacillin (Pathocil)

Cephalexin (keflex); amoxicillin/clavulanate


potassium (augmentin); oral clindamycin

Localized cellulitis

(cleocin)

(outpatient)
Moderate to severe cellulitis

Nafcillin

(Unipen)

oxacillin

(inpatient)

or Cefazolin
(unasyn),

(ancef);

ampicilin/sulbactam

clindamycin

IV,

vancomycin

(vancocin)

Moderate to severe celulitis

Ampicilin/sulbactam

Ticarcilin/clavulanat

(timentin);

with ischemia or significant

piperacilin/tazobactam (zosyn); clindamycin

local necrosis

plus

ciprofloxacin

(fortaz)

or

orcefotaxime
(rocephin)
cefazolin

(cipro);

cefepime
(claforan)

plus
(for

cefreazidime
(maxipime)

or

ceftriaxon

metronidazole

(flagyl);

Staphylococcus

aureus);

nafcilin (unipen); oxacilin


Life or limb threatening

Ticarcilin/clavulanate

Clindamycin

infection

orpoperacilin/tazobactam,

tobramycin

with

or

without

aminoglycoside

plus

ciprofloxacin

or

(nebcin);

clindamycin

plus

an ceftazidime or cefepime or cefotaxime or


ceftriaxone; imipenem/cilastin (primaxin) or
meropenem (merrem);

vancomycin

plus

aztreonam (azactam) plus metronidazole;


vancomycin plus cefepime, ceftazidime plus
metronidazole.
Persons

with

serious

betalactam allergy may be


given alternative agents
Sumber: 3. Bronze

M.S.Diabetic

Foot

Infection.2011.

http://emedicine.medscape.com/article/237378-overview#showall Diakses tangal 8 Juli


2012
27

e. Pencegahan Ulkus Diabetikum


Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan kaki
diabetes. Penyuluhan ini harus dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan
penyandang DM, dan harus selalu diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini
berlaku untuk semua pihak terkait pengelolaan DM, baik para perawat, ahli gizi, ahli
perawatan kaki, maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter,
sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang Dm sambil mengingatkan
kembali cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik. Berbagai
kejadian/tindakan kecil yang tampak sepele dapat mengakibatkan kejadian yang
mungkin fatal. Demikian pula pemeriksaan yang tampaknya sepele dapat
memberikan manfaat yang sangat besar. Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka
melepaskan sepatu dan kausnya.1
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasar risiko terjadinya dan risiko
besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetes berdasar risiko
terjadinya masalah (Frykberg):1
1. Sensasi normal tanpa deformitas,
2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi,
3. Insensitivitas tanpa deformitas,
4. Iskemia tanpa deformitas,
5. Kombinasi/complicated,
a. Kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau deformitas,
b. Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari
segi ortotik sangat besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan
memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor
mekanik akan dapat dicegah.1

28

Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki yang kurang
merasa/insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk
melindungi kaki yang insensitif tersebut.1
Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus
mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada
kaki.1
Untuk kasus dengan ketegori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.1
Untuk ulkus yang complicated, tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu
dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha
pencegahan sekunder.1
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi,
yakni pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah.1
a. Kontrol metabolik : kontrol kadar gula darah, kadar albumin serum, kadar Hb
dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal. Semua factor tersebut akan
dapat mneghambat kesembuhan luka jika tidak diperhatikan dan tidak
b.

diperbaiki.
Kontrol vaskular : kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali secara
sederhana seperti : warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis dan
arteri

tibialis

posterior

serta

ditambah

pengukuran

tekanan

darah.

Pengelolaannya bisa berupa modifikasi faktor risiko (memperbaiki faktor


risiko

arterosklerosis

dan

walking

program),

terapi

farmakologis

(memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM)


c.

dan revaskularisasi (terapi bedah).


Wound control : debridement yang adekuat dan terapi topical (cairan salin
sebagai pembersih luka, atau cairan yodine encer, senyawa silver sebagai
bagian dari dressing).

29

d.

Microbiological control : pemberian antibiotic dengan spectrum luas,


mencakup kuman Gram positif dan negative, dikombinasikan dengan obat

e.

yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).


Pressure control : jika tetap kaki dipakai untuk berjalan, luka yang selalu
mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, palagi kalau luka tersebut
terletak di bagian plantar seperti luka pada kaki Charcot. Untuk mencapai
kedaan non weight-bearing dapat dilakukan antara lain : removable cast

f.

walker, temporary shoes, wheelchair, total contact casting.


Education control : dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM atau
ulkus/gangrene diabetic maupun keluarganya diharapkan akan dapat
membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal.

BAB III

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. R
30

TTL

: 19-09-1973

Umur

: 41 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status

: Sudah Menikah

Alamat

: Kali pasir guru demar 04/01 cikini kec. menteng

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

No RM

: 440914

Tgl MRS

: 17 Agustus 2014, pk. 23.27 WIB (Datang ke IGD)

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan Aloanamnesis pada tanggal 23 Agustus 2014, pukul 15.00
Keluhan Utama

: Datang dengan nyeri pada luka kaki kanan sejak 2 minggu


SMRS

Keluhan Tambahan : nyeri dirasakan sampai tidak bisa untuk berdiri


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSPAD Gatot Soebroto hari Sabtu 17 agustus 2014
dengan keluhan luka pada kaki kanan yang dirasakan sangat nyeri. Nyeri
dirasakan terus-menerus. Pasien merasakan nyeri pada saat pasien mencoba
mengeluarkan nanah pada lukanya. Luka pada pergelangan kaki kanan tersebut
diawali dari sebuah luka lecet yang berukuran kecil yang diabaikan oleh pasien
dan tidak diketahui penyebabnya, namun pasien mengaku saat dirumah sering
duduk bersila mungkin akibat gesekan antara lantai dan kaki yg menyebabkan
luka tersebut timbul. Pasien kemudian berenang kurang lebih 1 jam. 2 hari
kemudian pasien merasakan luka pada pergelangan kaki kananya menjadi
semakin parah yg terdapat bengkak dan di dalamnya terdapat nanah. Pasien lalu
berobat ke dokter dan disarankan untuk di kompres. Namun, karena tidak
dirasakan membaik, pasien pun mengeluarkan sendiri nanah yang terdapat pada
lukanya tersebut. Setelah mengeluarkan nanah pada lukanya pasien pun

31

merasakan sangat nyeri. Waktu di temukannya luka sampai pasien datang ke IGD
waktunya 2 minggu. Pasien juga mengeluhkan sehari-hari sering merasa baal
pada kedua kaki, sampai saat memakai sendal pasien tidak menyadari sendal yang
dipakai terlepas sendiri.
Pasien memiliki riwayat sakit gula semenjak pasien berumur 19 tahun.
Pasien mengaku dahulu sering merasakan sering buang air kecil, sering
merasakan haus dan juga sering merasakan lapar. Pasien juga mengaku kalau
berat badannya turun dari 80 kg menjadi 55 kg.
Pasien juga merasakan keluhan, mata kabur sejak 2 tahun yang lalu dan
luka yang sulit sembuh sebelumnya, namun tidak sampai separah keluhan sperti
sekarang.

Pasien

tidak

rutin

memeriksakan

penyakit

gulanya.

Pasien

mengkonsumsi obat gula yaitu glukophag dan insulin namun karena pasien
pernah memeriksa gula darah saat turun pasien memutuskan untuk menghentikan
insulin tanpa instruksi dokter, pasien mengaku tidak mengkonumsi obat gulanya
secara teratur
Pasien juga mengaku 3 tahun yang lalu saat periksa ke dokter dinyatakan
ada kebocoran ginjal, namun saat itu pasien mengabaikan. Pasien lupa obat yang
diberikan untuk kebocoran ginjalnya, pasien mengaku sering merasa lemas,
menyangkal adanya sesak, pasien mengaku BAK suka terdapat busa, bengkak
pada kaki disangkal.
Pasien jarang berolahraga. Riwayat merokok dan minum alkohol
disangkal oleh pasien. BAB pada pasien normal.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat stroke disangkal

32

Riwayat penyakit keluaga


Pasien mengaku kalau keluarganya (ibu , kaka dan adiknya) mengidap penyakit
yang sama seperti pasien.
Habitus
Pasien tidak merokok maupun mengkonsumsi alcohol.
Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, tinggal bersama anaknya yang
sudah berkeluarga di rumah anaknya.
C. PEMERIKSAAN UMUM
o

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 76 x/mnt, reguler.

RR

: 18 x/mnt, thorakoabdominal,nafas kussmaul(-)

Suhu

: 36,5 C

BB

: 54 kg

TB

: 160 cm

IMT (Asia)

: 21,09 (Normoweight)

Gizi

: Baik

D. PEMERIKSAAN FISIK
-

Kulit

tidak ikterik, dan turgor kulit baik.


Kepala : Normocephal.

: Berwarna coklat muda, tidak terdapat kelainan warna kulit,

33

Rambut : Berwarna hitam dan beruban, distribusi merata, tidak mudah

dicabut.
Alis
Mata

: Hitam, tumbuh lebat.


: konjungtiva anemis, penurunan penglihatan +/+, sklera tidak

ikterik, pupil bulat dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan
-

bola mata baik.


Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum,

tidak ada sekret, dan tidak hiperemis.


Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, membran

timpani intak.
Mulut
: Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, mukosa mulut basah,

tonsil T1-T1.
Leher
:Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada
submentalis,

subklavikula,

pre-aurikula,

post-aurikula,

oksipital,

sternokleidomastoideus, dan supraklavikula. Trakea tidak deviasi.


Thoraks : Normal, Simetris kiri dan kanan perbandingan trasversal :
antero posterior = 2:1, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak terlihat
adanya massa.
Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat
statis dan dinamis, tidak terdapat retraksi dan pelebaran sela
iga.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, fremitus taktil dan
vokal kiri simetri kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru.
Auskultasi: Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis teraba.
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri pada ICS VI, 2 cm lateral linea midklavikula
sinistra, batas pinggang jantung pada ICS III linea sternalis
sinistra.
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat gallop dan
tidak terdapat murmur.

34

Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung, tidak terlihat massa, caput medusa (-),
sikatrik (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, turgor baik, tidak terdapat nyeri tekan. Tidak teraba
massa, hepatomegaly (-) splenomegaly (-), balotemen tidak
teraba ginjal.
Perkusi : Suara timpani di semua lapang abdomen, tidak terdapat nyeri

ketok CVA.
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
: akral hangat, edem (-)
Lihat status kaki diabetikum
ABI kanan : 0,9
ABI kiri : 1

Status kaki diabetikum:

35

o
o
o
o
o

Perfusion impairment
Extend
Depth
Infection
Sensation

: 1 (PAD+)
: luka kiri 3x5 cm. Luka kanan 8x4cm
:2
:3
:2

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab

36

Pemeriksaan

18/8

19/8

Nilai Rujukan

(01.00)

(08.29)

Hemoglobin

9.3

8.3

13 18 gr/dL

Hematokrit

27

26

37 47 %

Eritrosit

3.4

3.0

4.3 -6 juta/uL

Leukosit

28700

35410

6000 10.800/uL

Trombosit

647000

560000

150.000 400.000/uL

MCV

81

86

80 96 fl

MCH

28

28

27 32 pg

MCHC

34

32

32 36 g/dL

Hematologi

Kimia

18/8

19/8

(01.00)

(08.29)

Ureum

149

135

20 -50 mg/dL

Kreatinin

2.0

2.7

0.5 1.5 mg/dL

Natrium

136

135

135 - 145

Darah

Nilai Rujukan

mEq/L
Kalium

5.1

4.7

3.5 5.3 mEq/L

Klorida

107

106

97 107 mEq/L

Aseton

-/negatif

-/negatif

Protein total

6 8.5 g/dL

Albumin

3.5 5 g/dL

Globulin

2.5 3.5 g/dL

37

Kalsium (Ca)

8.6-10.3 mg/dL

Phosphate

2.5-5.0 mg/dL

Inorganic
Magnesium

1.8-3.0 mg/dL

Kimia Klinik

20/8

Nilai

(06.20)

Rujukan

Ph

7.320

7.37-7.45

pCO2

20.6

33-44 mmHg

pO2

98.8

71-104 mmHg

Bikarbonat (HCO3)

10.7

22-29 mmol/L

Base Excess

-12.9

(-2) 3 mmol/L

Saturasi O2

97

94%-98%

Analisa Gas Darah

Urinalisa

19/8
Nilai Rujukan

Urin lengkap

(11.48)

pH

6.0

4.6 8.0

Berat Jenis

1.010

1.010 1.030

Protein

Negatif

Glukosa

Negatif

Bilirubin

Negatif

Nitrit

Negatif

Keton

Negatif

38

Eritrosit

2-2-2

< 2 / LPB

Leukosit

4-4-4

< 5 / LBP

Kristal

Negatif

Epitel

Positif

Lain-lain

Negatif

Pemeriksaan Gula Darah

19/8/2014 pukul 06:00, GDS 289 mg/dL


20/8/2014 pukul 07:00, GDS 225 mg/dL
21/8/2014 pukul 07:00, GDS 246 mg/dL

PEMERIKSAAN KULTUR
1.Kultur Pus dan Resistensi
Didapatkan infeksi Coccus Gram positif
Streptococcus agalactie
Antibiotik Sensitif : Amikasin, Doxycycline dan Imipenem
2.Kultur Urine dan Resistensi
Jumlah kuman pada urine >1000/M
Didaptkan infeksi Coccus Gram positif
Granulicatella adiacens
Antibiotik Sensitif : Ampicilin, Amikasin, Doxycycline, Gentamycin, Imipenem,
Kanamycin, Diperacilin, Amoxicilin, Chloromycetin, Tobramycin, Ceftriazoxime dan
Amoxicilin kombinasi Clavunic Acid.
3.Kultur Darah dan Resistensi
Digunakan bahan Media BACTEC
Tidak ditemukan kuman dan tidak tampak pertumbuhan kuman
Tidak dilakukan pemeriksaan resistensi

39

Gambaran EKG

40

Sinus rhtym HR: 116X/min, Normoaxis, Gelombang P normal, PR interva 0,2s,


Kompleks QRS 0,08, ST segmen normal, tidak ada elevasi atau depresi.

Hasil Radiologi 18 Agustus 2014

Inspirasi kurang adekuat

Jantung kesan tidak membesar

Aorta dan mediastinum superior tidak melebar

Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal

Corakan bronkovaskuler baik

Tak tampak infiltrat atau nodul di kedua lapangan paru

Kedua hemidiafragma licin,sinus costofrenikus lancip

Tulang-tulang infark

41

Kesan : tak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru.

Pemeriksaan radiografi ankle AP/Lateral dengan hasil sebagai berikut :


o Kedudukan tulang-tulang ankle baik, tidak tampak dislokasi/subluksasi
o Struktur tulang-tulang ankle intak, tidak tampang fraktur/lesi titik
o Densitas tulang baik.
o Tidak tampak formasi osteofil
o Celah sendi ankle yang tervisualisasi baik
o Tampak soft tissue swelling regio ankle kanan.
KESAN : soft tissue swellingregio ankle kanan, tidak tampak tanda-tanda
osteomyelitis saat ini.

F. RINGKASAN MASALAH
Pasien datang ke RSPAD Gatot Soebroto hari Sabtu 17 agustus 2014 dengan
keluhan ulkus pada kaki kanan yang dirasakan sangat nyeri. Nyeri dirasakan
terus-menerus, sampai pasien tidak bisa untuk berdiri. Luka pada pedis dextra
tersebut diawali dari sebuah luka lecet yang diabaikan oleh pasien. Pasien
kemudian berenang kurang lebih 1 jam. 2 hari kemudian pasien merasakan ulkus
pada pergelangan kaki kananya menjadi bengkak dan di dalamnya terdapat pus.
Pasien lalu berobat ke dokter dan disarankan untuk di kompres. Namun, karena
tidak dirasakan membaik, pasien pun mengeluarkan sendiri pus yang terdapat
pada lukanya tersebut. Setelah mengeluarkan pus pada lukanya pasien pun
merasakan sangat nyeri. Waktu di temukannya luka sampai pasien datang ke IGD
waktunya 2 minggu. Pasien memiliki riwayat diabetes semenjak pasien berumur

42

19 tahun. Pasien mengaku dahulu sering merasakan sering poliuria, polifagia dan
polidipsi.Merasakan penurunan berat badannya dari 80 kg menjadi 55 kg . Pasien
juga merasakan keluhan berupa sering kesemutan pada kaki, mata kabur dan luka
yang sulit sembuh. Pasien tidak rutin memeriksakan penyakit gulanya. Pasien
mengkonsumsi obat gula yaitu glukophag , pasien tidak mengkonsumsi obat dan
memeriksakan gulanya secara teratur. Pasien juga di diagnosis sudah adanya
kebocoran ginjal sejak 3 tahun yang lalu, pasien mengaku sering merasa lemas,
dan pasien mengaku BAK suka terdapat busa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum
sakit sedang, Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, Laju pernafasan
20x/menit, Suhu 36.5 derajat Celcius, mata adanya penurunan penglihatan +/+,
conjunctiva anemis +/+.Paru dan Jantung dalam batas normal. Ulkus pada
ekstremitas bawah -/+
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, didapatkan gula darah sewaktu 246
mg/dl dengan aseton negatif. Pada hematologi klinik didapatkan hemoglobin 8,3
mg/dl dan leukosit 35410, dan kimia darah ureum 135 dan kreatinin 2.7. Pada
pemeriksaan AGD juga didapatkan Ph 7.320, Pco2 20.6 dan Bikarbonat 10.7,
serta pada pemeriksaan analisis urinalisis didapatkan protein +1.

G. DAFTAR MASALAH
1. Ulkus DM pedis dextra post debridement
2. DM tipe 2, normoweight, dengan gula darah tidak terkontrol
3. Anemia normositik normokrom
4. CKD stage IV
5. Asidosis Metabolik
6. Susp Retinopati e.c DM tipe 2

43

PENGKAJIAN :
1. Ulkus DM pedis post debridement
Menurut klasifikasi texas kasus ini adalah stadium 2
Menurut klasifikasi PEDIS

Stadium

o Perfusion impairment
o Extend

: 1 (none)
: luka kiri 3x5 cm. Luka kanan

8x4cm
o Depth
o Infection
o Sensation

:2
:3
:2

Pada Kultur Pus dan Resistensi


o Didapatkan infeksi Coccus Gram positif
o Streptococcus agalactie
o Antibiotik Sensitif : Amikasin, Doxycycline dan Imipenem
Konsultasi dengan spesialis bedah dan rehabilitasi medik
Kontrol hiperglikemia, tanda-tanda ketosis dan sepsis berat.
Antibiotik Meropenem 3x1 gr IV
Tingkat
0
1
Tanpa
tukak Luka

atau

Luka

pasca superfisial,

tukak,
intak/utuh

B
C
D

kulit tidak

sampai tendon

tendon

3
sampai Luka
atau tulang

atau kapsul sendi

sampai
atau

kapsul sendi

tulang
kapsul sendi
Dengan infeksi
Dengan iskemia
Dengan infeksi dan iskemia

2. Diabetes Melitus tipe II, Normoweight, dan Gula Darah Tidak


Terkontrol
Anamnesa :
- Riwayat diabetes melitus sejak berumur 19 tahun lalu dengan tidak
rajin meminum obat glukophag.

44

Gejala klasik Diabetes mellitus seperti sering haus, sering buang air

kecil terutama saat malam hari, cepat lelah dan mengantuk


- Berat badan turun
- Kaki baal
Pemeriksaan fisik :
- Tekanan darah 120/80 mmHg
- Konjungtiva terlihat anemis
Pemeriksaan labolatorium
- GDS 246 mg/dl
Rencana diagnosis : Cek kurva gula darah harian, HbA1c, profil lipid,
asam urat, cek kurva gula darah Harian
Tata Laksana Insulin pasien di rumah sakit
Kebutuhan harian total :
0,5 IU x kgBB/hari
0,5 IU x 54kg = 27IU/hari, dengan 50 persen prandial dan 50 persen basal
13,5 IU prandial
13,5 IU basal
Terapi : Prandial = Novorapid 3x4IU
Basal = tidak diberikan karena kerja menengah/panjang yang dpt
memperburuk fungsi ginjal.

Diet DM dengan rumus Brocha


BBI = 90% x (TB 100) 1kg
= 90% x (160 100) 1kg
=54kg
Sehingga untuk wanita 25kal/kgBB : 25kal x 54kg : 1350kal
1350 (umur10% 135) + (aktifitas ringan 20% 270)
Dibutuhkan kalori total 1485kal
Diet rendah protein pada pasien nefropati 0,8g/kgBB/hari
Yaitu 0.8x54 = 43,2g/hari

45

3. Anemia normositik normokrom


Anamnesis : pasien merasa lemas
Pemeriksaan fisik : conjunctiva anemis
Lab : Hb : 8.3 gr/dL
Target Hb > 10 g/dL
Tata laksana : Terapi ESA 2000 IU subkutan, 2x seminggu selama
4 minggu.
Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu

4. CKD stage IV dengan asidosis metabolik


Anamnesis : mual, mengaku sering merasa lemas, dan pasien mengaku
BAK suka terdapat busa.
Pemeriksaan fisik : konjungtiva pucat

46

Pemeriksaan darah : Ureum 135 mg/dl, kreatinin 2.7 mg/dl, pH 7.320.


Laju filtrasi

glomerulus

dengan metode

Cockcroft Gault

23

mL/min/1.73m2

Tata
Laksana:
IVFD
NaCl 500cc/ 12 jam, Asam folat 1x15mg, B12 3x50mg, BicNat
1x2amp, ukur balance cairan/24 jam, Captopril 1x12,5mg
o Rencana diagnosis : Urine protein 24 jam, ureum, kreatinin,

elektrolit, urinalisis.
5. Susp. Retinopati e.c DM tipe 2
Anamnesis : penurunan penglihatan
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan lab : Konsul departemen mata
Rencana Edukasi
- Edukasi kepada pasien tentang penyakit tersebut, untuk mengikuti pola
makan

sehat,

meningkatkan

kegiatan

jasmani/aktivitas

fisik,

pengobatan yang sesuai dan rutin, serta melakukan pemantauan


-

melalui pemeriksaan secara berkala


Edukasi pasien untuk mengubah pola hidupnya agar menjadi lebih

sehat.
Edukasi kepada pasien untuk merawat kakinya agar tidak kering dan
melakukan aktivitas yang membuat kakinya luka.

Prognosis
Quo ad vitam
Qou ad functionam

= Dubia
= Dubia ad malam

47

Qou ad sanationam

19/08/2014

= Dubia ad malam

20/08/2014

S: pasien tidak nafsu S: Pasien


makan, makan seikit
makan
O: CM/TSS

21/08/2014

tidak

nafsu S: makan pasien tidak


habis.

O: CM/TSS

O: CM/TSS

TD 120/80mmHg, HR 80 TD 120/70mmHg, HR 84
x/m, RR 20 x/m, S x/m, RR 18 x/m, S 36 oC
36,5oC
Mata: CA +/+, SI -/Mata: CA +/+, SI -/Thorax: BJ I/II regular,
Thorax: BJ I/II regular, murmur (-) gallop (-), SN
murmur (-) gallop (-), SN vesikuler, rhonchi -/-,
vesikuler, rhonchi -/-, wheezing -/-.
wheezing -/-.
Abd: Bising usus (+)
Abd: bising usus (+)
Ext: Ulkus pedis dextra
Ext: Ulkus pd pedis
GDS 225 mg/dL
dextra
GDS: 289 mg/dl

A: Ulkus
dextra

dm

pedis

TD 120/70mmHg, HR 84
x/m, RR 18 x/m, S 36 oC
Mata: CA +/+ SI -/Thorax: BJ I/II regular,
murmur (-) gallop (-), SN
vesikuler, rhonchi -/-,
wheezing -/-.
Abd: Datar, supel, BU
dbn
Ext:
Akral
hangat,
edema (-) ulkis pedis
dextra

48

A:
Ulkus
dextra

dm

pedis

DM tipe II gula darah


dalam regulasi
Anemia
normokrom

DM tipe II gula darah


dalam regulasi
Anemia
normokrom

GDS 246 mg/dL

A: Ulkus
Normositik dextra

Normositik AKI dd Acute on CKD

dm

pedis

DM tipe II gula darah


dalam regulasi

P: KGDH, Debridemen Anemia


Normositik
P:KGDH, AGD, Keton, ulkus pedis dextra
normokrom
Debridemen ulkus pedis
Th/
AKI dd Acute on CKD
Th/
IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
P: KGDH, Debridemen
IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
ulkus pedis sinistra.
Transfusi
PRC
500cc
Transfusi
PRC
500cc target hb >10
Th/
target hb >10
Ampicillin sulbactam 1,5 IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
Ampicillin sulbactam 1,5 gr
Transfusi
PRC
500cc
gr
Novorapid 3 x 4 unit target hb >10, Ampicillin
Novorapid 3 x 4 unit
Diet DM 1700 kkal/hari
sulbactam 1,5 gr
Diet DM 1700 kkal/hari

Novorapid 3 x 4 unit,
Diet DM 1700 kkal/hari

DAFTAR PUSTAKA

1. Soegono S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus terkini. Dalam


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
2004:17-28
2. Frykberg RG, Armstrong DG, Giurini J et al. Diabetic foot Disorders: A clinical
Practice Guide. Data trace USA 2004
3. Levy J, Gavin JR, Sowers JR. Diabetes Mellitus : A Disease of Abnormal
Cellular Calcium Metabolism? The American Journal of Medicine 1994;96:260273
4. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia, Jakarta, 2006

49

5. Kadri.

Konsensus

Pengelolaan

Diabetes

Mellitus

Terpadu.

Subbagian

Endokrinologi-Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu penyakit Dalam Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM)
dalam buku penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta; FKUI 2002: h
161-167
6. Ketosis, diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Ketosis, updated : 1
Februari 2013, diambil tanggal 20 Juni 2014
7. Fitzgerald. M.G, OSullivan. D. J, Malins. J. M, Fatal Diabetic Ketosis , in
British Medical Journal, 1961, Birmingham: The General Hospital, page 1,
diunduh dari http://www.brmedj.com, diambil tanggal 20 Juni 2014
8. Pyke. D. A, Diabetic Ketosis and Coma, in Jornal Clinic Phatologic, London:
The Diabetic Department, Kings College Hospital, page 57 65, diunduh dari
http://www.pubmedcentral.nih.

gov/articlerender.fcgi?artid=1347541,

diambil

tanggal 21 Juni 2014


9. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, Edisi ke IV, 2006, Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI. Hal 1896 1899
10. Kitabchi. A. E, Fisher. J. N, Murphy. M. B, et all. Diabetic Ketoacidosis and
Hypergycemic, Hyperosmolar Nonketotic State in Joslins Diabetes Mellitus,
edisi 13, Pennsylvania : Lea & Febiger. Hal 738 745
11. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2.
PB. PERKENI, Jakarta 2006

50

Anda mungkin juga menyukai