Anda di halaman 1dari 14

KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA

DAN FENOMENANYA
Oleh: Almunadi, MA

ABSTRAK; Suatu kejaraan yang bermula dari perkumpulan kecil atau pengajian
tarekat beraliran syi'ah yang lambat laun berkembang dan bergerak
menjadi gerakan politik terbesar dan dapat mendirikan kerajaan besar
ketika itu, merupakan keunikan tersendiri bagi tumbuh kembangnya
peradaban Islam. Estapet kepemimpinan silih berganti, kemajuan dan
kemunduran merupakan dinamisasi cikal bakal negara Iran ini, hingga
sekarang negara tersebut masih menjadikan mazhab Syi'ah sebagai
konstitusi negara, peradaban pun menuju titik kemodernan dunia
Islam.
Kata Kunci; Daulah, safawiyah, dan Persia
A. Pendahuluan
Turki Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia adalah tiga
kerajaan besar Islam. Kerajaan Safawiyah berdiri pada tahun 1501 M, dimana Syiah
sebagai mazhhabnya dan ini merupakan peletak dasar negara Iran dewasa ini, yang
sampai sekarang Iran masih menganut Syiah sebagai mazhhab negaranya.
Kerajaan dengan paham Syiah, sangatlah menarik untuk dibahas, karena
kerajaan Islam pada waktu itu- didominasi oleh golongan Sunni. Dalam perjalanan
politik Islam antara Syiah dan Sunni saling berebut untuk menguasai sebuah daerah
atau kerajaan, akan tetapi hanya sebagian kecil kerajaan Islam yang beraliran Syiah,
seperti,

Daulah Buwaihi di Baghdad dan Daulah Fathimiyah di Mesir. Dengan

munculnya tiga kerajaan besar (Turki Usmani, Mughal dan Safawi), hanya kerajan
Safawi yang beraliran Syiah, sedangkan Turki Usmani dan Mughal beraliran sunni.
Pada awalnya Safawiyah merupakan perkumpulan tarekat yang beraliran
Syiah, dalam perkembangannya terlibat dalam gerakan politik, sehingga ia berhasil
membangun sebuah kerajaan. Ada hal yang menarik dari pembentukan kerajaan
Safawi yaitu ajaran tarekat, yang dalam kehidupannya berkecimpung dalam

kehidupan rohani dan hampir tidak menaruh perhatian kepada kehidupan duniawi,
kemudian berubah menjadi sebuah kekuatan politik atau memasuki gerakan politik
praktis. Bagaimana sepak terjang kerajaan safawi sehingga menjadi sebuah kerajaan
besar ketika itu? Dan peradaban apa saja yang telah dibangun dan diwariskan kepada
generasi berikutnya? Dalam tulisan ilmiah ini penulis akan mencoba membahas
tentang eksistensi kerajaan Safawi ditinjau dari aspek pembentukan, kemajuan dan
keruntuhannya. Tentunya masukan dan keritik yang membangun serta saran yang
konstruktif dari pembaca sangat penulis butuhkan dalam kesempurnaan karya tulis
ini.
B. Sejarah Pembentukan Kerajaan Safawi
Asal usul kerajaan

Safawi terdapat perbedaan pendapat dikalangan

sejarawan; namun pada hakekatnya perbedaan pendapat tersebut menuju pada satu
sumber. Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari Shafi yaitu gelar nenek
moyang raja-raja Safawi, Shafi al-Din Ishak al-Ardabily (1252-1334 M, pendiri dan
pemimpin tarekat Safawi. Alasannya adalah bahwa musafir, pedagang dan penulis
Eropa selalu menyebut raja Safawi dengan gelar safi agung Syed Amit Ali, tt;491).
Menurut P.M. Hotl dan Bernand Lewis bahwa nama Safawi berasal dari Shafi
yaitu bagian dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabil (PM. Holt dan Bernand Lewis,
1977,395).
Melihat dari dua pendapat di atas, pada hakekatnya pengambilan nama Safawi
tersebut sama yaitu masih kembali kepada pendiri dan sekaligus pemimpin pertama
tarekat Safawiyah yaitu Shafi al-Din Ishak al-Ardabil.
Tarekat -istilah ini secara etimologi berarti jalan; jalan menuju kebenaran,
cara atau aturan hidup dan atau persekutuan para penuntut ilmu tasawuf- khusus
dalam lapangan tasawuf sempai abad ke 11 M (5 H). Tim Penyusun Kamus, Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1990,678). Istilah tarekat dipahami dalam
pengertian jalan yang ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mendekatkan diri sedekat
mungkin kepada Allah. Namun selaras dengan perkembangannya sejak abad ke 12
2

M/6 H, istilah ini tidak lagi hanya mengandung arti jalan, melainkan juga berkonotasi
pada organisasi atau kesatuan jamaah sufi dengan para murid atau pengikutnya (Tim
Penyusun,1994,927)- yang merupakan dasar pembentukan kerajaan Safawi berpusat
di Ardabil yang dibentuk oleh Syeikh Shafi al-Din Ishak al-Ardabil, yakni seorang
keturunan suku Kurdi yang berasal dari Arab Selatan. Pengajaran tarekat ini
mendapat dukungan dari Rasyid al-Din, wazir kerajaan Ilkhan di Persia (Carl
Brockelmann, 1982, 318). Shafi al-Din lahir pada tahun 1252 M, di kota Ardabil,
sebuah kota yang paling Timur daerah Azerbaijan enam tahun sebelum Kolugu Khan
menghancurkan kota Baghdad. Sejak kecil ia gemar melakukan amal-amal yang
berkenaan dengan keagamaan dan mencintai kehidupan sufi. Pada waktu umurnya
mencapai 25 tahun, ia berguru kepada seorang sufi bernama Zahid Tajuddin Ibrahim.
Setelah gurunya meninggal tahun 1302 M. (K. Ali,1977,344). Shafi mendirikan
tarekat yang kemudian terkenal dengan tarekat Safawiyah yang berpusat di Ardabil,
hingga pada akhirnya ia dikenal sebagai seorang sufi besar (Firdaus dan
Desmaniar,2000,52).
Setelah Syekh Shafi al-Din meninggal, pengajaran tarekat dipimpin oleh
anaknya bernama Sadr al-Din. Pada periode ini Tarekat Syafawiyah mulai mengalami
perkembangan dan meluas ke luar daerah Ardabil. Sadral-Din mengorganisir dan
menyusun strukturnya serta mengangkat asisten atau wakil-wakilnya yang disebut
khalifah, untuk memimpin pengikut-pengikut di luar daerah Ardabil (Ira M.
Lafidus,1993,285).
Menurut Carl Brockelmann, perkembangan dan perluasan Tarekat Safawiyah
ini terjadi pada masa kepemimpinan Khawaja Ali atau setelah Sadr al-Din. Hal ini
berkaitan dengan penerimaan mereka atas wilayah Ardabil dari kerajaan Timuriyah,
setelah kerajaan ini dapat mengalahkan Bayazid dari kerajaan Usmani pada tahun
1402 (Carl Brockelmann, 1982, 318).
Pengembangan Tarekat Safawiyah tersebut, di samping sebagai hal yang
bersifat positif, tetapi juga mendatangkan dampak negatif, yakni mengakibatkan
timbulnya konplik dengan golongan Sunni. Ini mulai terjadi sejak masa
3

kepemimpinan Syekh Ibrahim, anak Khawaja Ali (Husain Yu'nis,1973,463) dan


lebih mengikat lagi pada masa Syekh Juneid (1447-1460) M).
Gerakan Tarekat Safawiyah pada mulanya bertujuan memerangi orang ingkar
dan ahli-ahli bidah. Tarekat yang dipimpin Shafi al-Din ini semakin penting
terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat dari pengajian tasawuf murni yang
bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang sangat besar pengaruhnya di Persia,
Suriah dan Anatolia (Badri Yatim,1993,139). Fanatisme pengikut Tarekat Safawiyah
yang menentang golongan selain Syiah, mendorong gerakan ini memasuki gerakan
politik (K. Ali,1997,344). Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya
kerap kali menimbulkan keinginan dikalangan penganut ajaran tersebut untuk
berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid Tarekat Safawiyah berubah
menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang
yang bermazhab selain Syiah.
Ada dua fase pergerakan tarekat ini yang sangat penting. Pertama, Fase ini
terjadi pada tahun 1301-1447 M, gerakan ini merupakan gerakan murni keagamaan,
dengan tarekat Safawiyah sebagai dasarnya serta mempunyai pengikut yang besar,
fase ini tidak bercampur dengan masalah politik. Dapat dimengerti mengapa Tarekat
Safawiyah bisa tumbuh dan mendapat simpatisan rakyat banyak, karena umat Islam
pada saat itu apatis, hanya dengan kehidupan agama lewat sufisme dan persaudaraan
tarekat, mereka mendapatkan kekuatan mental dalam menghadapi kehidupan dan
merasa aman serta dapat menjalin persaudaraan sesama muslim lainnya.
Kedua, Fase ini terjadi pada tahun 1447-1460 M, gerakan Safawiyah menjadi
gerakan politik di bawah kepemimpinan Juneid. Dalam hal ini gerakan Safawiyah
berpindah dari gerakan keagamaan memasuki kegiatan politk (Maidir Harun dan
Firdaus,2001,167), dengan maksud untuk mempertahankan diri dan memperluas
pengaruh Tarekat Safawiyah, atau juga bisa jadi karena ada keinginan untuk
membentuk suatu kekuasaan pemerintahan. Syeikh Juneid telah melibatkan tarekat
Safawiyah dalam aktivitas politik. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konplik
antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (Domba Hitam), salah satu suku
4

bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konplik tersebut Juneid kalah dan
mengasingkan diri ke suatu tempat. Di tempat ini ia mendapat perlindungan dari
penguasa Diyar Bakr, AK Koyunlu (Domba Putih), juga masih satu suku bangsa
Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar
Persia (PM. Holt dan Bernand Lewis,1977,396).
Selama dalam pengasingan, Juneid menghimpun para pendukungnya dan
membangun satu kekuatan militer. Dalam hal ini ia tidak hanya menanamkan fanatik
keagamaan (tarekat) dan kesyiahan, tetapi juga mengangkat issu kesukuan (Kurdi)
dan kedaerahan (Persia). Dengan demikian para pendukungnya tidak hanya para
pengikut tarekat atau suku Kurdi saja, melainkan mencakup Turki dan kepala-kepala
suku, para pastor, petani dan pekerja lainnya. Orang-orang yang direkrutnya
dinamakan dengan Qizilbash sebuah nama yang berasal dari nama baret merahnya
yang khas, yang menegaskan bahwa mereka pengikut dan pejuang setia keluarga
Safawiyah. Kemudian ia mengawini saudara perempuan Uzun Hasan (AK Koyunlu)
untuk menarik simpatik Uzun Hasan beserta pengikutnya.
Pada tahun 1460 M, Juneid mencoba merebut Sircilia, tetapi pasukan yang
dipimpinnya menghadapi pasukan Sirwan (Kara Koyunlu), dan mereka mengalami
kekalahan. Juneid sendiri tewas dalam petempuran tersebut (Badri Yatim,1993,140).
Sepeninggal Juneid pimpinan Tarekat Safawiyah digantikan oleh anaknya
bernama Haidar. Ia masih dalam asuhan Uzun Hasan ketika itu. Kepemimpinan
secara resmi diserahkan kepadanya tahun 1470 M. Hubungan Haidar semakin erat
setelah ia mengawini putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ali, Ibrahim dan
Ismail, yang kemudian Ismail sebagai pendiri kerajaan Safawi di Persia (Carl
Brockelman,1974,494).
Haidar berupaya mengorganisir kekuatan militernya secara baik dan memberi
identitas khusus berupa penutup kepala berwarna merah yang diberi jumbul sebanyak
12 buah, sebagai pertanda kelompok Syiah Isna Asyariyah. Kekuatan militer ini
digerakkan Haidar untuk melawan Circassia dan Sirwan (Kara Koyunlu). Ia berhasil
mengalahkan kedua kekuatan tersebut tahun 1476 M, yang membuat nama Safawiyah
5

semakin besar, kemenangan ini tidak dikehendaki oleh AK Koyunlu. Persekutuan


Safawiyah dengan AK Koyunlu rusak dan pecah oleh sikap AK Koyunlu yang
memberikan bantuan kepada Sirwan (Kara Koyunlu), ketika terjadi pertempuran
antara Haidar dengan Sirwan. Pasukan Safawiyah mengalami kehancuran dan Haidar
sendiri terbunuh dalam pertempuran ini istri dan anak-anaknya ditawan oleh sultan
jafar dari Ak Koyunlu yang merupakan saudara sepupu Haidar dan mereka dibawa
ke Istakhir propinsi Favr (PM. Holt dan Bernand Lewis, 1977, 319-320). Dalam versi
lain yang menawan anak-anak Haidar adalah Yakub pemimpin AK Koyunlu karena
mencoba mengadakan perlawanan untuk menuntut balas atas kematian ayah mereka.
Mereka ini dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK Koyunlu dengan syarat mau
membantu memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam itu
dikalahkan Ali bersaudara kembali ke Ardabil, akan tetapi tidak lama kemudian
Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara dan Ali terbunuh dalam
serangan tersebut- (PM. Holt dan Bernand Lewis, 1977,397).
Gerakan Safawiyah dapat bangkit kembali dibawah kepemimpinan Ismail I,
setelah ia berhasil melepaskan diri dari kekuatan dan penekanan Rustam, pengganti
Yakub. Semula ia menyusun kekuatan di Ghilan, tetapi karena mendapat tantangan
dari Ali Berg Chakarlu, sultan Turki Usmani, maka ia menarik diri ke Astara daerah
Laut Caspia di sinilah ia membangun kekuatan secara lebih efektif (Carl
Brockelmann, 1974, 320).
Ismail

dalam

merekrut

pendukungnya,

-disamping

menggunakan

pendekatan yang telah dilakukan oleh pendahulunya dengan cara pendoktrinan-, Ia


juga mempelajari sesuatu yang bersifat sakral dan dogmatis dalam beberapa paham
dan agama, seperti; Sunni, Syiah, Nasrani, Buda dan Zoroaster, kemudian
meletakkannya pada dirinya. Ismail I menegaskan bahwa dirinya adalah reinkarnasi
dari imam syiah ketujuh yang tersembunyi dan memiliki api keabadian sifat-sifat
Tuhan. Hal ini didoktrinkan secara mutlak dan hampir tidak dipersoalkan para
pengikutnya, karena ajaran tersebut merupakan keyakinan mereka (Ira M,
Lapidus,1993,289).
6

Pendoktrinan yang dilakukan oleh Ismail I tersebut sungguh cukup efektif


dalam membangun militansi dan perjuangan para pendukungnya, sehingga
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkannya. Pada tahun 1501 M, kekuatan
militer AK Koyunlu dan Turki Usmani yang selalu menghambat ambisi gerakan
Safawiyah dapat teratasi dan pada saat inilah Ismail memproklamirkan berdirinya
kerajaan Safawi dan ia sekaligus sebagai raja pertamanya, yang berpusat di Tabriz
(Carl Brockelmann,1977,329).
Ismail I berkuasa selama 23 tahun yakni antara tahun 1501-1524 M. Pada
permulaan pemerintahannya ia berhasil menumpas sisa Ak Koyunlu dan melakukan
ekspansi ke Khurasan propinsi Caspia di Nazandaran, Gurgun, Yazd, Diyan Bakar,
Baghdad dan wilayah Barat Daya. Hanya dengan masa 10 tahun ia telah menguasai
seluruh wilayah Persia dan wilayah Bulan Sabit Subur (yang dimaksud dengan bulan
sabit subur adalah meliputi Mesir, Palestina, Yordania, Syiria dan Libanon. Kawasan
tersebut termasuk yang paling bergolak terutama setelah Perang Dunia II dengan
berdirinya negara yahudi Israel 1948 M. (Ali Mufradi,1997,141).
Setelah syah Ismail meninggal dunia tahun 1524 M. Ada tiga raja yang naik
tahta sebelum Abbas I, yakni Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M)
dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Masa ketiga raja ini merupakan masa
yang tidak terlalu menggembirakan dalam perkembangan kerajaan. Namun, masa
syah Tahmasp I, sudah mulai adanya produksi jubah, perhiasan, sutera, pengolahan
logam dan keramik.
C. Kemajuan Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi yang berkuasa di Persia (Iran) selama lebih kurang 235 tahun
(1501-1736). Dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Namun dalam
waktu yang relatif cukup panjang, kerajaan ini telah memberi sumbangan yang sangat
besar terhadap kemajuan peradaban Islam. Kemajuan dimaksud terutama pada masa

pemerintahan syah Ismail I (1501-1524 M) dan syah Abbas I (1588-1628 M). Ini
dapat dilihat pada keterangan berikut ini:
1. Bidang Politik dan Militer
Sebagai
raja (syah) pertama yang berkuasa, Syah Ismail berupaya membangun
kerangka dasar kerajaan Safawi. Ia membentuk birokrasi pemerintahan dengan
mengangkat kepala-kepala suku yang turut berjuang menjadi wakil untuk mengatur
pemerintahan, memimpin militer dan mengepalai agama (Ira M. Lapidus,11993,289).
Pemberian wewenang kepada kepala-kepala suku, dimaksudkan untuk
membina dan mempertahankan solidaritas dan ashhabiyah. Ini dilakukannya, karena
mereka telah membantu Ismail I dalam memperluas kekuasaan.
Keputusan terpenting yang dikeluarkan Ismail I adalah penetapan ideologi
resmi kerajaan, yakni Syiisme. Pemerintah Safawi bersipat teokrasi. Syah Ismail I
berupaya menerapkan ajaran kedua belas imam Syiah. Ia berupaya memasukkan
rakyat yang kebanyakan menganut aliran sunni ke dalam aliran syiah. Syah Ismail I
juga berperan sebagai pemimpin sufi. Para pengikutnya adalah pasukan Qizilbash
bentukan Juneid- yang merupakan pasukan inti kerajaan. Dengan demikian
peraturan kerajaan mencerminkan nilai-nilai kesufian. Dan inilah awal mula
perkembangan aliran sufi (Akbar S. Ahmad, 1992,76).
Abbas I, setelah kerajaan ini mengalami kemunduran pada masa raja-raja
setelah Ismail I, berupaya membangun kembali kekuatan politik dan militer kerajaan
safawi dengan menempuh beberapa langkah yaitu:
a. Mengadakan perdamian dengan Turki Usmani yang disertai dengan persyaratan,
bahwa ia menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia dan sebagian wilayah
Luristan.
b. Menciptakan toleransi terhadap penganut paham sunni. Bahwa ia tidak akan
mencaci tiga khalifah Islam pertama (Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khattab dan
Usman ibn Affan).
8

c. Memindahkan pusat pemerintahan ke Isfahan, yang sebelumnya berada di Qazwin.


d. Merenovasi militer dengan merekrut para tawanan perang yang terdiri dari bangsa
Georgia, Armenia dan Circassia. Syah Abbas I menghilangkan dominasi pasukan
Qizilbash terhadap kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang diberi
nama Ghulam. Disamping usaha-usaha tersebut ia memakai politik luar negeri
yang terbuka, sehingga terwujud hubungan diplomatik dengan Eropa, dan
dilakukan kerjasama dan kontak dagang. Ia juga mewujudkan keamanan dalam
negeri, sehingga memungkinkan untuk mencapai kemajuan di segala bidang dan
pertahanan di dalam negeri semakin kuat.
Setelah kondisi politik dan militer benar-benar mantap. Abbas I mulai
mengadakan ekspansi, memperluas kekuasannya. Pertama sekali, pada tahun 1598
M, ia menyerang kekuatan Uzbekistan dan menguasi Herat, Marv dan Balk.
Kemudian pada saat Turki Usmani dibawah kekuasaan Muhammad III tahun 1602
Abbas I dapat menguasi Tabriz, Sirwan serta Baghdad dan pada tahun 1605-1606
M, menguasi kota-kota Nahriwan, Eriwan, Hanja dan Tifis. Selanjutnya atas
bantuan kapal-kapal Inggris, tahun 1622 M, Abbas I dapat merebut kepulauan
Hurmuz dari tangan Portugis dan merubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan
Hurmuz atau Bandar Abbas. Dengan keberhasilan Abbas ini, maka kerajaan
safawi memasuki masa kejayaannya, karena itu Abbas I diberi gelar Abbas The
Great atau Abbas yang Agung (Ciryl Glasse,1989, 141).
2. Bidang ekonomi
Keberhasilan Abbas I menata administrasi pemerintahan, membangun politik
dan militer serta hubungannya dengan orang-orang Eropa, telah membuka peluang
baginya untuk membangun perekonomian kerajaan. Abbas I mendorong dan
mengontrol kerajinan-kerajinan tangan rakyat yang telah tumbuh sejak masa
Tahmasp I sebagaimana disebutkan sebelumnya- yakni produksi jubah, perhiasan,
sutera, pengolahan logam dan keramik. Abbas I, juga mendirikan pabrik-pabrik milik
kerajaan yang memproduksi barang-barang mewah, seperti karpet, sutera, kain
9

beludru, satin, dan taff. Kemudian mendatangkan orang-orang China untuk


membangun pabrik porselin yang sebelumnya di import dari China, sehingga
kerajaan Safawi dapat memproduksi sendiri (Ira M. Lapidus,1993,290-294).
Pelabuhan Abbas merupakan salah satu jalur perdagangan antara Barat dan Timur,
disamping itu

Abbas I juga membangun sejumlah toko pusat perdagangan

(Caravansari) untuk menunjang kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.


3. Bidang Sarana Fisik dan Seni
Abbas I setelah berhasil menata politik, militer dan perekonomian ia juga
mempokuskan pembangunan sarana fisik dan seni arsitek yang megah. Di kota
Isfahan terdapat bangunan masjid yang sangat besar, istana cihil sutun, jembatan
panjang yang melewati Zende Rud dan empat buah taman yang luas. Di sekitar kota
Madyan Yopi terdapat alun-alun yang sangat besar. Dan hampir diseluruh kota
tersebut terdapat gedung-gedung megah. Misal masjid Syekh Lutf Allah, masjid
kerajaan, istana Ali Qafu atau bangunan maha mulia, yang menjadi markas
pemerintahan, monumen lengkung (gapura) sebagai jalan menuju pasar amal
kerajaan, yang di dalamnya terdapat sejumlah toko, masjid, penginapan dan
akademik. Selain itu kerajaan safawi juga mengembangkan seni sastra (syair) dan
seni lukis yang mulai dirintis sejak masa Ismail I. Dalam bidang seni sastra terdapat
sejumlah penyair ternama, di antaranya Hilali al-Astaabady serta Nawawiy.
Sedangkan dalam bidang seni lukis Ismail I mentransper lukisan aliran ketimuran dari
Herat ke Tibriz. Salah seorang pelukis yang terkenal bernama Bahzad, yang
kemudian dipercayakan sebagai direktur perpustakaan kerajaan dan pengawas
ruangan kerja produksi manuskrip-manuskrip (Ira M. Lapidus,1993,290-294).
Ketika Abbas I meninggal di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 118
perguruan, 1802 penginapan dan 173 pemandian umum (K. Ali,1997,356).
4. Bidang Ilmu Pengetahuan

10

Persia adalah salah satu bangsa yang telah melahirkan peradaban tinggi, yang
gilang-gemilang, di antaranya yang telah di rintis oleh kerajaan Safawi ini, dalam
keberhasilannya mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari pertemuan-pertemuan
ilmiah di istana kerajaan, muncul beberapa ilmuan dan pemikir, yang paling terkenal
di antaranya; Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad menguasai filsafat, sejarah,
teologi, dan pernah mengadakan observasi sejumlah besar ilmu pengetahuan
kontemporer dan Sadr al-Din ash-Shirazi menguasai filsafat dari seluk beluk
metafisika.
D. Keruntuhan Kerajaan Safawi
Setelah berakhirnya kekuasaan Abbas I, kerajaan safawi secara berturut-turut
diperintah oleh Shafi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1666 M), Sulaiman
(1667-1692 M), Husein (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III
(1732-1736 M). Pada masa pemerintahan raja-raja ini, kondisi politik kerajaan Safawi
mengalami penurunan dan berakibat pada kehancurannya. Hal ini disebabkan oleh
keperibadian, sikap dan tindakan mereka yang kurang mendukung serta adanya
serangan dari kerajaan Turki Usmani, Mughal dan Rusia.
Ada dua faktor -interen dan eksteren- penyebab kemunduran dan kehancuran
kerajaan Safawi yaitu:
Pertama, faktor interen:
a. Kerusakan moral yang melanda sebagian penguasa kerajaan safawi disebabkan
oleh minuman dan candu narkotika.
b. Pasukan Ghulam yang telah dibentuk oleh Syah Abbas I tidak memiliki
semangat berperang lagi sebagaimana halnya pasukan Qizilbash. Hal ini
disebabkan pasukan Ghulam tidak disiapkan secara terlatih dan tidak dibekali
pendidikan rohani secara mantap.
c. Timbulnya konplik interen dalam perebutan kekuasaan di kalangan keluarga
istana (Carl Brockelmann,1974,320).
Ira M. Lapidus,1993,299 menambahkan:
11

a. Keadaan raja yang kurang berpendidikan, tidak memahami kondisi kehidupan


masyarakat secara mendalam dan larut dalam kemegahan hidup di istana.
b. Menurunnya perhatian raja-raja terhadap pembangunan militer, administrasi
pemerintahan dan ekonomi.
c. Bangkitnya pemimpin-pemimpin kepala suku dan beberapa golongan yang
mengurangi otoritas pemerintah pusat.
Kedua, faktor Eksteren. Shafi Mirza yang merupakan cucu Abbas I dalam
menjalankan pemerintahannya lebih banyak berdiam di istana dan selalu bertindak
kejam terhadap pembesar-pembesar dan sekte-sekte yang ada. Dengan kelemahannya
ini, ia tidak mampu secara maksimal menghadapi serangan Mughal yang dapat
menguasai Qandahar; serta Turki Usmani menguasai Baghdad dan mematahkan
perlawanan orang-orang kristen Georgia, Shafi Mirza adalah

seorang raja yang

kecanduan minuman keras hingga membawanya pada kematian. (Ira M.


Lapidus,1993,326).
Kecanduan terhadap minuman keras dan kekejaman terhadap para pembesar
ini berlangsung hingga masa raja Sulaiman, sehingga masyarakat kurang simpatik
kepada pemerintah. Sedangkan Husein yang alim, memberikan kepercayaan yang
sangat besar kepada ulama dan membiarkan mereka mengadakan pemaksaan paham
Syiah kepada masyarakat Sunni yang berasal dari suku-suku Afghan (Ira M.
Lapidus,1993,326). Oleh sebab itu pada tahun 1709 bangsa Afghan mengadakan
pemberontakan yang dipimpin oleh Mir Vays dan berhasil menguasai Qandahar. Hal
ini diikuti pula oleh suku Afghan Ardabil yang berhasil menguasi Mashad. Setelah
itu, Mir Mahmud yang menggantikan Mir Vays menggabungkan kekuatannya dengan
kekuatan Ardabil. Dengan kekuatan gabungan ini mereka berhasil menguasai
sejumlah wilayah kerajaan, hingga mengancam kekuasaan Safawi. Melihat kondisi
tersebut Husein terpaksa mengakui keberadaan Mir Mahmud dan mengangkatnya
menjadi gubernur di Qandahar. Dengan kesempatan ini Mir Mahmud lebih leluasa
bergerak untuk menguasai bahagian kekuasaan Husein, hingga pada tahun 1721 M, ia
12

dapat menguasai Kirman, tahun 1722 M menguasai Isfahan dan memaksa Husein
menyerahkan jabatan tanpa syarat. Dengan demikian Mir Mahmud menerima
mahkota kerajaan safawi. Seiring dengan itu, Turki Usmani dan Rusia melakukan
penyerangan ke Iran, tahun 1724, yang kemudian mereka sepakat membagi wilayah
transcaucasia. Usmani mendapat wilayah Armenia dan sebagian Azerbaijan,
sedangkan Rusia memperoleh propinsi Jilan di daerah laut Caspia, Mazandaran dan
Astarabat. Dengan demikian runtuhlah pendirian kerajaan Safawi yang pernah
mencapai masa keemasannya pada masa Abbas I. Setelah kerajaan Safawi runtuh
lahirlah Dinasti Hajar 1904-1971 dan Dinasti Fahlevi 1976-1979, pada masa Dinasti
Fahlevi inilah terjadinya revolusi Iran.
E. Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kerajaan Safawi muncul
dengan keunikan, yakni bermula dari ajaran tarekat yang kemudian menjadi gerakan
politik, hingga pada akhirnya menjadi sebuah kerajaan adikuasa ketika itu. Berdiri
pada tahun 1501 M, yang diproklamirkan oleh Ismail I. dengan ideologi mazhab
syiah. Dalam perjalanan masa kerajaan safawi ayang berkuasa selama 235 tahun,
kerajaan ini telah dapat menoreh peradabahn dunia Islam yang gilang-gemilang,
puncaknya pada masa pemerintahan Abbas I tahun 1588-1628 M. karena banyak
factor intern dan ekstern- yang tidak memihak kepada keabadian kerajaan ini. Ia
runtuh pada tahun 1736 M. ditangan Abbas III.

13

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S., Discopering Islam Making Sense of Muslim History and Society,
terj., Nuning Ram, Jakarta: Erlangga, 1992
Ali, Syed Amir, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah al-Adabiyah tt.
Ali, K., Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), judul asli A Study of Islamic History,
Jakarta: Raja Grafindo, 1997
Brockelmann, Carl, History of The Islamic Peoples, London: Routledge dan Kegan
Paul, 1982
-------, Tarikh al-Suub al-Islamiyah, Beirut: Dr al-Ilmi, 1974
Firdaus dan Desmaniar, Negara Adikuasa Islam, Padang: IAIN-IB Press, 2000
Glasse, Ciryl, The Concise Encyclopedia of Islam, London: Stacy Internasional, 1989
Harun, Maidir, dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN-IB Press, 2001
Holt, P.M. dan Bernand Lewis, The Cembridge History of Islam, Combridege at The
University Press, 1977
Lapidus, Ira M., A Histori of Islamic Societies, terj. Sejarah Sosial Umat Islam),
Combridge University Press, 1993, bagian ke- 1 dan 2
Mufradi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1994
Yunis, Husaini, Alam al-Islamy,Mesir: Dr al-Maarif, 1973
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1993

14

Anda mungkin juga menyukai