Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan mempunyai jasa yang sangat besar bagi kelangsungan makhluk hidup
terutama manusia. Salah satu jasa hutan adalah mengambil karbon dioksida dari udara
dan menggantimya dengan oksigen yang diperlukan makhluk lain. Oleh karena itu hutan
disebut paru-paru dunia. Pentingnya peran hutan dalam kelangsungan hidup maka hutan
perlu dijaga.
Kebakaran hutan merupakan bencana yang bisa terjadi secara alami karena terlalu
panasnya kondisi di suatu hutan atau bisa juga terjadi karena akibat perbuatan manusia
yang ingin membuka lahan baru dengan cara membakar hutan. Hal tersebut akan
membahayakan bagi manusia. Apabila hal ini dibiarkan saja maka hutan akan semakin
habis dan oksigen pun akan semakin menipis.
Diperlukan suatu langkah untuk mengatasi hal tersebut, melalui disiplin ilmu
geomatika bisa dilakukan pemetaan keberadaan titik hotspot yang mungkin bisa memicu
terjadinya kebakaran hutan, membuat peta rawan bencana kebakaran, peta mitigasi saat
kebakaran. Diharapkan dengan disiplin ilmu tersebut bisa membantu dalam
menyelesaikan permasalahn kebakaran hutan.
1.2 Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui peran geomatika dalam kebakaran hutan.
2. Agar mahasiswa memahami pentingnya hutan bagi kehidupan.
3. Agar mahasiswa bisa tanggap apabila terjadi kebakaran hutan.
4. Untuk mengetahui langkah untuk melakukan evakuasi.
1.3 Manfaat
1. Mahasiwa dapat mengatahui peran geomatika dalam kebakaran hutan dan bisa
mengaplikasikannya.
2. Mahasiswa bisa memahami pentingnya hutan bagi kehidupan.
3. Mahasiswa tanggap saat terjadi kebakaran hutan.
4. Mengetahui langkah untu melakukan evakuasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

2.1 Hutan
Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis
pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan. Dalam Pasal 1 angka (4 s/d 11) UU No. 41 Tahun 1999, hutan dibagi kepada 8
(delapan) jenis, yaitu:
a. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
b. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
c. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
d. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan.
e. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
f. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi
pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
g. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi
pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
h. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
2.2 Hotspot
Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan
dalam titik koordinat. Pada kenyataannya, tidak semua hotspot mengindikasikan terjadinya
kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara khusus digunakan untuk
mengindikasikan titik terjadinya kebakaran. Namun istilah hotspot lebih umum digunakan.
Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang
menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire (FFPMP2, 2007).
2.3 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh (atau disingkat inderaja) adalah pengukuran atau akuisisi data dari
sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak
dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena
oleh sebuah alat dari jarak jauh.

2.4 Sistem Informasi Geografis


2

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang digunakan
untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis informasi geografi. Yang semula
informasi permukaan bumi disajikan dalam bentuk peta yang dibuat secara manual, maka
dengan hadirnya Sistem Informasi Geografi (SIG) informasi-informasi itu diolah oleh
komputer, dan hasilnya berupa peta digital. Sistem Informasi Geogafi (SIG) mampu
menyajikan keaslian dan kelengkapan sebuah informasi dibandingkan cara-cara yang
digunakan sebelumnya. Sistem informasi geografi menyimpan data sesuai dengan data
aslinya. Walaupun demikian, agar data yang disimpan itu akurat, maka data yang dimasukkan
haruslah data yang akurat.
2.5 GPS
Global Positioning System atau yang biasa disingkat dengan GPS adalah alat
navigasi elektronik yang menerima informasi dari 4 - 12 satelit sehingga GPS bisa
memperhitungkan posisi di mana kita berada di Bumi. Satelit GPS tidak mentransmisikan
informasi posisi kita, yang ditransmisikan satelit adalah posisi satelit dan jarak penerima GPS
kita dari satelit. Informasi ini diolah alat penerima GPS kita dan hasilnya ditampilkan kepada
kita. Dengan kata lain Global Positioning System (GPS)) adalah sistem untuk menentukan
letak di permukaan bumi dengan bantuan penyelarasan (synchronization) sinyal satelit. Sinyal
ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan
letak, kecepatan, arah, dan waktu.

BAB III
3

PEMBAHASAN
3.1 Kebakaran Hutan
Kebakaran merupakan bencana yang paling sering dihadapi dan
bisa digolongkan sebagai bencana alam atau bencana yang disebabkan
oleh manusia.Bahaya kebakaran dapat terjadi setiap saat, karena
banyak peluang yang dapat memicu terjadinya kebakaran.
Kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman
potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi
kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. (SNI 03
1736 2000)
Definisi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Data dan
Informasi Bencana Indonesia, kebakaran adalah situasi dimana bangunanpada
suatu tempat dilanda api, sehingga menimbulkan korban dan/atau kerugian.
Bangunan tersebut antara lain rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung, dan
lain-lain. Sedangkan kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana
hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan
lahan yang menimbulkan kerugian dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan
seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan
kesehatan masyarakat sekitar.

Pada dasarnya api sendiri terdiri dari 3 unsur dasar yang saling
terikat satu dengan yang lain yang disebut sebagai segitiga api atau fire
triangle, yaitu panas, oksigen, bahan bakar. Dengan ditambahnya reaksi
kimia berantai yang terjadi antara ketiga unsur tersebut, maka
terjadilah api yang menyala.
Kelas-kelas Kebakaran
NFPA membagi kebakaran menjadi beberapa jenis, sesuai dengan
bahan yang terbakar. Bahan pemadam untuk masing-masing kelas
tersebut pun berbeda-beda :
1. Kelas A
Termasuk dalam kelas ini adalah kebakaran pada bahan yang
mudah terbakar biasa contohnya kertas, kayu, karet, maupun
plastik. Cara mengatasinya bisa dengan menggunakan air untuk
menurunkan suhunya sampai di bawah titik penyulutan, serbuk
kimia kering untuk mematikan proses pembakaran, atau
menggunakan bahan halogen untuk memutus reaksi berantai
pembakaran.
2. Kelas B
Kebakaran pada kelas ini adalah yang melibatkan bahan seperti
pada cairan combustible dan cairan flammable, contohnya bensin,
minyak tanah, gemuk, oli,dan bahan serupa. Cara mengatasinya
dengan menggunakan bahan seperti foam lebih disarankan.
3. Kelas C
Yang termasuk dalam kebakaran ini adalah alat-alat yang
dijalankan oleh listrik. Untuk mengatasi kebakaran dengan
4

penyebab ini harus menggunakan bahan pemadam kebakaran


yang non konduktif agar terhindar dari sengatan listrik. Yang
terbaik adalah menggunakan CO2 atau Halon, namun karena sifat
dari Halon yang merusak lingkungan maka pemadam dengan
bahan Halon sudah tidak lagi di produksi. Sebagai catatan
kebakaran kelas C bisa dipadamkan oleh bahan pemadam
kebakaran kelas A dan B asalkan listrik terlebih dahulu dimatikan.

4. Kelas D
Termasuk dalam kelas ini adalah kebakaran pada bahan logam
yang mudah terbakar (contohnya magnesium, titanium, zirconium,
sodium dan potasium). Bahan pemadamnya adalah powder khusus
kelas D.
5. Kelas K
Yang termasuk dalam kebakaran kelas ini adalah yang melibatkan
media memasak misalnya minyak goreng (baik yang berbahan
dasar tumbuhan atau hewan). Untuk mengatasinya bisa
menggunakan serbuk kimia basah yang khusus untuk kebakaran
kelas ini.
3.2

Faktor Kebakaran
Faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran diantaranya ialah :
1. Faktor terjadinya kebakaran karena alam :
Petir (misal : sambaran petir pada bahan mudah
terbakar).
Gempa bumi (misal: gempa bumi yang mengakibatkan
terputusnya jalur gas bahan bakar)
Gunung meletus (dikarenakan lava pijar yang panas
membakar tumbuhan kering disekitarnya).
Panas matahari (misal : panas matahari yang memantul
dari kaca cembung ke dedaunan kering di sekitarnya).
2. Faktor terjadinya kebakaran karena manusia
:
Disengaja (pembalakan liar, balas dendam, dsj).
Kelalaian (lupa mematikan tungku pembakaran saat akan
meninggalkan rumah, dsb).
Kurang pengertian (membuang rokok sembarangan,
merokok di dekat tempat pengisian bahan bakar, dsb).
3. Faktor penyebab kebakaran karena binatang
: tikus, kucing dan binatang peliharaaan
lainnya yang berpotensi menimbulkan
kebakaran akibat terdapat sumber api di
sekitar rumah tanpa pengawasan.
Oleh karena sifat kebakaran dimana mengakibatkan banyak
kerugian, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran dapat
diupayakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengadakan penyuluhan
mengenai
bahaya
kebakaran dari pemerintah
kepada masyarakat.
2. Pengawasan
bersama
terhadap segala potensipotensi kebakaran secara
6

bersama-sama
saling
mengingatkan.
3. Menyediakan
sarana
pemadam kebakaran aktif
maupun pasif di area yang
berpotensi tinggi terjadi
kebakaran.
Dengan demikian dapat di upayakan pencegahan kebakaran
secara dini.
3.3

Peranan Ilmu Geodesi dalam Kebakaran


1) Sistem informasi geografis
Dengan SIG banyak manfaat yang didapat baik dalam tindakan
preventif maupun pasca kebakaran. Aplikasi SIG untuk tindakan
preventif adalah menyajikan di lokasi mana saja lokasi kebakaran
hutan atau titik-titik hot spot ditemukan serta informasi-informasi
terkait. Metode GIS (Geographic Information System) dapat
melakukan visualisasi secara efektif mengenai kondisi geografis yang
akurat, kejadian bencana kebakaran, ataupun perkiraan ancaman
kebakaran yang akan terjadi.
SIG digunakan untuk pembuatan Peta Rawan kebakaran. Peta
daerah rawan kebakaran, sangat berperan penting dalam
mendukung kinerja
penyuluh
kebakaran pada
pengambilan
keputusan tersebut. Penyajian informasi secara spasial akan lebih
membantu memberikan gambaran yang jelas dan akurat mengenai
lokasi, jarak, serta aksesibilitas antara lokasi rawan kebakaran
dengan sumber daya pemadaman yang ada di lapangan. Selain itu
untuk mengetahui bagaimana pola (pattern) kebakaran yang terjadi
serta bagaimana hubungan spasialnya dengan fitur-fitur yang ada di
sekitarnya.
2) Remote Sensing
a. Penerapan penginderaan jauh di bidang pemantauan bencana
alam
Sebelum bencana alam terjadi biasanya didahului oleh adanya
gejaIa-gejala tertentu. Contohnya, sebelum gunung api meletus
biasanya didahului oleh adanya peningkatan suhu permukaan bumi
di sekitar gunung api tersebut. Peningkatan panas ini dapat
diketahui dari perubahan yang terjadi pada citra Satelit Inderaja.
Bahaya longsoran tanah atau pergeseran tanah pada umumnya
diawali dengan adanya retakan atau rekahan atau patahan bidang
tanah secara vertikal. Gejala demikian dapat diketahui dari hasil
analisis citra foto atau citra radar. Bahaya badai atau angin ribut
sebelumnya dapat diketahui dari adanya dua blok massa udara
bertekanan sangat tinggi dan di lain pihak massa udara bertekanan
7

rendah. Gejata udara ini dapat diketahui dari citra satellt GMS
(Geostationary Meteorological Satellite). Demikian pula dengan
bencana alam lainnya seperti banjir, kebakaran hutan, secara tidak
langsung dapat diramalkan sebelumnya melalui perubahan gejala
tertentu pada lingkungan setempat. Perubahan gejata ini dapat
diketahui dari perubahan citra satelit dalam kurun waktu yang
relatif singkat.
Dengan citra satelit, kebakaran hutan dapat diketahui secara
dini, bahkan dapat diantisipasi. Guguran daun dari pohon-pohon
pada suatu areal hutan yang luas akibat kekeringan pada musim
kemarau sangat rentan menimbulkan kebakaran yang hebat
bilamana pada areal hutan tersebut berhembus angin kencang.
Kondisi tersebut dapat diketahui dari citra Satelit. Kita, bahkan
penduduk negara tetangga kita dapat mengetahui jumlah titik api
pada kebakaran hutan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dll.
b. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh dan SIG untuk identifikasi
Tingkat Kerusakan Hutan Akibat Kebakaran
Dalam rangka memecahkan salah satu permasalahan lahan
bekas kebakaran maka diperlukan suatu kajian aplikasi teknik
penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk
klasifikasi tingkat kerusakan akibat kebakaran. Kajian tersebut
bertujuan untuk menyediakan teknik identifuikasi lahan dan
klasifikasi tingkat kerusakan dalam rangka inventarisasi potensi
lahan yang tersisa. Kajian ini merupakan kegiatan lanjutan tahun
ke dua, dimana pada tahun pertama telah diamati perubahan
sebelum dan sesudah kebakaran yang terjadi pada suatu areal
pengujian. Analisis citra yang digunakan adalah metode PCA dan
bilinear interpolation. Tingkat kebakaran diklasifikasikan berdasar
jumlah hot spot yang ada di citra NOAA. Tingkat kerusakan lahan
diklasifikasikan berdasarkan persentase tanaman yang masih
hidup, yaitu > 75%, 50-75 %, 25-50%, dan < 25 % masing-masing
untuk tidak rusak, rusak ringan, rusak sedang dan rusak berat.
c. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kebakaran Hutan
Salah satu metode untuk mengetahui peluang terjadinya
kebakaran adalah pemantauan titik panas. Pemantauan titik panas
dilakukan dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan
satelit. Data titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu
indicator tentang kemungkinan terjadinya kebakaran, sehingga
perlu dilakukan analisa, pemantauan dan terkadang perlu
dilakukan cek lapangan (ground truthing) untuk mengetahui
apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini khususnya pada
saat musim kemarau dimana penyebaran api akan sangat cepat.
Satelit yang dapat digunakan untuk pemantauan titik panas
adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric
8

Administration) melalui sensor AVHRR (Advanced Very High


Resolution Radiometer) dan sensor satelit MODIS (Moderate
Resolution Imaging Spectro-Radiometer) yang di bawa oleh satelit
Terra dan Aqua.
Penanggulangan bencana kebakaran hutan dapat dilakukan dengan
cara pengurangan resiko yang dihasilkan melalui pengamatan titik hotspot
dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh serta pembuatan zonasi
rawan kebakaran menggunakan Sistem informasi Geografis. Dengan
metode ini, monitoring dan perekaman hotspot dapat dilakukan secara
real-time. Data ini nantinya dapat digunakan sebagai salah satu faktor
yang digunakan dalam penyusunan peta rawan kebakaran hutan dan
lahan. Selain itu, pemanfaatan citra penginderaan jauh memudahkan
dalam memperoleh/menghasilkan informasi lain mengenai kondisi wilayah
yang berpengaruh pada bencana kebakaran, seperti kondisi meteorologis,
aksesbilitas jalan dan sungai, kepadatan hotspot, kerapatan vegetasi, dan
penggunaan lahan. Data penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan
pengolahan data spasial SIG dapat digunakan untuk mengetahui lokasi
kebakaran yang terjadi, penentuan lokasi reservoir air berdasarkan
persebaran titik hotspot, serta zonasi dan analisa perluasan area
terdampak kebakaran dengan memperhitungkan pengaruh arah dan
kecepatan angin (Pusat Pengendalian Kebakaran dan Rehabilitasi Hutan
LPKM Universitas Palangkaraya, 2015).
Penggunaan GPS

Hotspot sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di lapangan saat ini
semakin banyak digunakan. Hotspot merupakan salah satu alat deteksi dini
kebakaran. Ketika koordinat hotspot telah diketahui maka pekerjaan selanjutnya
adalah menggerakkan tim pemantau lapang melakukan ground check. Pemantauan
ini perlu dilakukan mengingat tidak semua hotspot merupakan kejadian kebakaran
hutan di lapangan. Apabila memang terjadi kebakaran, maka peran tim
pemantau (ground check) ini adalah untuk memastikan dimanakah sebenarnya posisi
pasti kebakaran hutan yang sedang berlangsung dengan melihat tanda-tanda
keberadaan asap atau tanda-tanda kebakaran lainnya.
Data hotspot kadangkala diterima pengelola kawasan hutan dalam format shp atau
text (*.txt). Untuk format *.txt, data hotspot masih memerlukan pengelolaan lebih
lanjut agar terbaca di GPS dan analisis software pemetaan. khusus untuk pencarian
9

titik api di lapangan, petugas pengendalian kebakaran hutan selain mengamati posisi
hotspot pada peta kerja, dapat pula mencari titik api di lapangan dengan
memanfaatkan GPS. Berikut ini tutorial cara memasukkan titik hotspot ke dalam
GPS (Perangkat software yang diperlukan : ArcGIS dan DNRGPS).
3.4
Referensi
Kebakaran

Geodesi

yang

digunakan

dalam

Mitigasi

Bencana

1. Penanggulangan bencana diatur dalam Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2011Tentang Informasi Geospasial, di
dalamnya dijelaskan bahwa Informasi Geospasial Tematik
(Peta Kebencanaan) harus mengacu pada Informasi
Geospasial Dasar. Informasi Geospasial Dasar yang
dimaksud adalah :
1. Peta Dasar yang berupa :
Peta Rupabumi Indonesia
Peta Lingkungan Pantai Indonesia
Peta Lingkungan Laut Indonesia
2. Jaring kontrol Geodesi yang meliputi :
JKHN
JKVN
JKGN
2. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia
merupakan
pedoman
bagi
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD),
Instansi/Lembaga, dan
pemangku kepentingan penanggulangan bencana agar
pencatatan data bencana di seluruh Indonesia dapat
dilakukan secara efisien dan efektif.
Kerangka
hukum
Indonesia
tentang
kehutanan
mengatur
penggunaan lahan dan pengelolaan hutan, dan juga menyebutkan
tentang kebakaran hutan melalui undang-undang dan peraturan yang
relevan (Pusat Pengendalian Kebakaran dan Rehabilitasi Hutan LPKM
Universitas Palangkaraya, 2015),
1. Dasar Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan
2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4078)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453)
4. Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan
10

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059)
6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
7. Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 5 tahun 2003 tentang
Kebakaran Lahan dan Hutan
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
9. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
10.Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
11.Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
12.Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
13.Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota
14.Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
15.Instruksi Presiden RI No. 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
11

4.1 Kesimpulan
Dari laporan ini bisa kami simpulkan bahwa peran bidang ilmu geomatika dalam
kebakaran hutan sangatlah besar. Beberapa disiplin ilmu yang digunakan seperti penginderaan
jauh, sistem informasi geografis, dan GPS dapat digunakan untuk mengantisipasi saat terjadi
kebakaran hutan. Selain itu juga bisa untuk membuat rute evakuasi, pembuatan peta rawan
bencana kebakaran dan melakukan pengecekan di daerah daerah yang dicurigai dapat
menimbulkan kebakaran.
4.2 Saran
Saran dari kelompok 6 adalah sebagai berikut:
1. Evakuasi kebakaran adalah:
a) Penyelamatan korban yang masih selamat secepatnya ke daerah yang lebih
aman.
b) Mengevakuasi anak-anak dan wanita ke tempat pengungsian.
c) Pembagian masker dan oksigen untuk mencegah bertambahnya korban akibat
asap dampak kebakaran.
d) Koordinasi dengan aparat dan tim SAR secepatnya.
e) Penyelamatan harta benda yang mungkin masih dapat di selamatkan,
f) Menyiapkan tempat-tempat penampungan sementara bagi para pengungsi.
Pasca penanganan wilayah terdampak
Pasca penanganan wilayah terdampak yaitu mitigasi bencana. Mitigasi kebakaran
pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak korban dan kerugian fisik dari
bencana tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009 Tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan, penanganan pasca kebakaran adalah semua usaha,
tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi, serta
koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar.
1 Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket)
Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana kebakaran di
suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan tindakan
preventif terhindar dari bencana.
2 Identifikasi
Mengidentifikasi penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat
digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana
pengembangan wilayah.
3 Monitoring dan Evaluasi
Melakukan monitoring sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencana,
sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya. Sehingga
selanjutnya dapat dilakukan evaluasi dari monitoring yang tela dilakukan.
4 Rehabilitasi
Melakukan rehabilitasi pada area terdampak kebakaran untuk memulihkan
pada fungsi asli dari wilayah tersebut. Selain itu rehabilitasi penting untuk
memulihkan dan meningkatkan fungsi dan produktivitas hutan dan lahan dengan
melibatkan berbagai pihak secara terpadu dan transparan, sehingga terwujudnya
kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang
bermukim didalam dan di sekitar hutan yang kehidupannya tergantung pada
kegiatan kehutanan.
5 Penegakan Hukum
12

Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau


masyarakat umum, tentang UU Pembakaran hutan. Sosialisasi dilakukan dengan
berbagai cara antara lain, berita, poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara
langsung kepada aparat pemerintah. Jika ternyata kebakaran hutan disengaja oleh
pihak tertentu maka akan dilakukan penegakkan hukum sesuai dengan undangundang yang berlaku.
Selain itu, berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah
bencana kebakaran hutan terjadi kembali :
1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masingmasing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim
digunakan adalah 3 cara berikut :
Pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa
lalu maupun hasil prediksi
Pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa
( Partisipatory Rural Appraisal )
Pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System
atau citra satelit (Groundcheck Hotspot)
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan. Hal ini bisa
dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di
setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
Analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
pengolahan data hasil survei lapangan oleh petugas
3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada
masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap
wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang seringkali
memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa
menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan
terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya. Pembinaan merupakan kegiatan yang
mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran
hutan. Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya
yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan
awal dalam merespon kebakaran hutan.
4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP ( Standard Operating
Procedure )
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran
hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar
yang baku dalam berbagai hal berikut :
Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk,
khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem
pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang
masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan
sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.
Peralatan
13

Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa
diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali
sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah. Peningkatan keamanan sistem
infrastruktur dan utilitas, misal penyediaan sumur kebakaran atau reservoir air di
sekitar titik hotspot, serta pemasangan dan pemeliharaan alat sistem peringatan
dini.
Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan
kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani
kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan
petugas penanganan bencana kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang
tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan dan lahan.
5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan
langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah
tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan
langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon
dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan
hidup dibagi menjadi empat, yaitu :
Pemantauan terbuka :
Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati. Contoh :
patroli hutan
Pemantauan tertutup ( intelejen ) :
Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh
aparat tertentu.
Pemantauan pasif :
Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari
data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
Pemantauan aktif
Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan
secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran
hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
1. Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan
sebelum terjadinya perusakan lingkungan ( pembakaran
hutan ). Contohnya : pengawasan untuk menentukan
status ketika akan terjadi kebakaran hutan.
2. Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk
menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah
terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya
kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan upaya pencegahan yang sudah dikemukakan
diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan

14

Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada
berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi
yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2. Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan
dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya
pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta
kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan
terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi
antar tingkatan ( daerah sampai pusat ) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal
ini akan mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi
kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan.

15

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Pedoman Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009 Tentang


Pengendalian Kebakaran Hutan
Pusat Pengendalian Kebakaran dan Rehabilitasi Hutan LPKM Universitas
Palangkaraya. (2015). Sistem Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran
Berbasis Masyarakat Untuk Kawasan Hutan. Palangkaraya: Yayasan Puter
Indonesia, Starling Resources.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011Tentang Informasi Geospasial
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29541/4/Chapter%20II.pdf

Handy,Dilly.

2012.

Pengertian

Jenis,

Dan

Manfaatnya

Hutan

https://dillyhandy.wordpress.com/2012/01/06/pengertianjenisdan-manfaathutan/. diakses pada 29 Febuari 2016 pukul 18:32 WIB

Talago,Inyiak.2014.

Pengertian

Sistem

Informasi

Geografis.

http://www.cpuik.com/2014/11/pengertian-sistem-informasi-geografi.html.

diakses pada 29 Febuari 2016 pukul 19:22 WIB

16

Anda mungkin juga menyukai