Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME


,bahwa kami telah menyelesaiakan tugas mata kuliah Imunologi
Serologi 2 dengan membahas materi Hipersensitivitas 1 .
Dalam penyusunan dan penulisan tugas atau makalah
ini,tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.Sehingga dalam
penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangankekurangan baik dalam penulisan maupun materi,mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi menyempurnakan
pembuatan makalah ini.
Dalam

pembuatan

makalah

ini

penulis

juga

menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang


telah mendukung dan membantu dalam memberikan informasi
tentang materi yang terkait.
Semoga materi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan
menjadi motifasi,khususnya bagi kami.

Bandung, 02 Januari 2016

Penulis

1 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

Daftar Isi
Kata Pengantar .......................................................................................1
Daftar isi .................................................................................................2
BAB 1 Pendahuluan ...............................................................................3
1.1 Latar Belakang ........................................................................3
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................4
1.3 Tujuan .....................................................................................4
BAB 2 Pembahasan ................................................................................5
2.1 Definisi Hipersensitivitas ........................................................5
2.2 Klasifikasi Hipersensitivitas ...................................................6
2.3 Hipersensitivitas tipe 1 ............................................................6
2.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 ...............................................8
2.5 Urutan Fase Hipersensitifitas Tipe 1 .......................................9
BAB 3 Kesimpulan ................................................................................17
Daftar Pustaka ........................................................................................18

2 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi.

Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi


terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan
hidup.
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi
atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk
melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai
mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang
mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada
antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan
mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan
dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini,
dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan
didapat secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen
sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekulmolekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen
dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan
antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan
untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis
berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua
dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang
bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan

3 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam
tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya
menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi
atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas
atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T.
Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan

suatu

keadaan

imunopatologik

yang

disebut

reaksi

hipersensitivitas.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut beberapa masalah
diantaranya :
1.
2.
3.
4.

Apa defenisi hipersensitivitas?


Berapa klasifikasi hipersensitivitas?
Apa Definisi Hipersensitivitas 1?
Bagaimana siklus hipersensitivitas type 1?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi Hipersensitivitas
2. Mengetahui klasifikasi hipersensitivitas type 1
3. Mengetahui siklus hipersensitivitas type 1

4 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas menunjukkan suatu kondisi respon imunitas yang

menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang
berbahaya bagi penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara
khas terjadi setelah kontak yang kedua dengan antigen spesifik(alergen).
Kontak yang pertama kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk
menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut.
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig
E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan
efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan
yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui
pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan
terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah

5 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian.
2.2

Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan

menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang


terjadi, yaitu Hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan
Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

2.3

Hipersensitivitas Type 1
Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang

terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) stelah
terjadi interaksi antara alergen dengan antibody IgE yang sebelumnya
berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang
tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1
dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya
6 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada
suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan
dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi
kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada
individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. Reaksi ini seringkali
disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen.
Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma
dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling
sering terjadi.
Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari
perlindungan. Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis
merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan
terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan
untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara
lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan.
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi
IL-4 yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang
kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa
IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan
kompleks HLA.
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase
sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu
yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor
spesifik (Fc-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil
melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan
reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
7 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan


aktivitas farmakologik.
2.4

Reaksi Hipersensitivitas tipe 1 berdasarkan waktu


1) Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa

menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa
refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat
terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang
kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
2) Reaksi intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini
melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan
melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang
disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK.
Manifestasinya berupa:
a) Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
b) Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.
3) Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi
akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas
sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium
tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

2.5

Urutan Fase Reaksi Hipersensitivitas tipe 1

1. Fase Sensitisasi

8 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen


yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas,
selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi.
Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen
dari udara. Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen
MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh
limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang
senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak
berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu
tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam
jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam
darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan
bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu
yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.
2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan
derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit
dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya
disebabkan alergen yang diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang
terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus
dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.
Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau
basofil mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE
dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan
hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:

9 | H i p e r s e n s i t y v i t a s Ty p e 1

1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab


molekul IgE
2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor
Namun,

aktivasi

mastosit

tidak

hanya

melalui

mekanisme

keterlibatan IgE atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang


merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin
dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik
seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti
pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.
Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor
diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi
fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca ++ dalam sel. Kandungan cAMP dan
cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam
sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat
meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang
mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam
peristiwa anafilaksis.
3. Fase Efektor
Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik
aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat
sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase
efektor.

10 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I


Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain
histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat
memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT
dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan
mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:
1) Respon

awal

ditandai

dengan

vasodilatasi,

peningkatan

permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4,


protease

netral

yang

mengaktivasi

komplemen

dan

kinin,

prostaglandin D2. Biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga


30 menit stelah terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60
menit.
2) Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan
berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai
dengan infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya,
sitokin ( kemokin, TNF ), dan leukotrien B 4, yang lebih hebat pada

11 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam


bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang
terjadi karena adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat
disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi, atau reaksi anafilaksis.
Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut :
a. Alergen berikatan silang dengan IgE
b. Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan
mediator kimiawi lainnya
c. Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan dari reaksi ini berupa anafilaksis, urtikaria,
asma bronkial atau dermatitis atopi.

12 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)


Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase
aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa

13 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

enzim diaktifkan dan menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar


cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan
cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan
memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan
tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi
akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar
10% dari berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3,
H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan
histamin, menunjukan berbagai efek.
Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di
antaranya adalah bintul dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti
perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada
saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otototot polos dan kelenjar saluran pernafasan.
Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor
H1. Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat
berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan
histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh
sel mastosit tersebut. Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan
secara cepat saat mastosit teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil
chemotactic factor id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A
(neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil.
Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan
basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit. Meski
dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat
sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.

14 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan
sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang
memecah fosolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam
arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk
untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.

Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor


asam

arakhidonat

dan

sangat

penting

dalam

pathogenesis

hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C 4 dan D4 merupakan


vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar
molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin
dalam

meningkatkan

permeabilitas

vaskular

dan

dalam

menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B 4 sangat


kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan


oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan
bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mucus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,


mengakibatkan

agregasi

trombosit,

pelepasan

histamin,

dan

bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil


dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam
arakhidonat.

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan
IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas
tipe 1 melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai
macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten

15 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan


faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan
sintesis IgE oleh sel B.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau
reaksi local. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen.
Emberian antigen protein atau obat (misalnya bias lebah atau penisilin)
secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa
menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa
gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti
kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan
diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat
persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas.
Salian itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera,
dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.
Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru
(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara
genetic, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan
familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi
nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang
menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara
jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin
pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

16 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

17 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

BAB 3
Kesimpulan
Jadi, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme
memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan
secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap
reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti
anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab
terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang
yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan,
tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.

18 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

Daftar Pustaka
Kumar. Cotran. Robbins. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC. 2007
Baratawidjaja KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2004
http://www.medicinesia.com/kedokterandasar/imunologi/hipersensitifitastipe-i/
http://qurratulaeni48.blogspot.co.id/2015/07/hipersensitivitas-tipe-1.html

19 | H i p e r s e n s i t y v i t a s T y p e 1

Anda mungkin juga menyukai