Anda di halaman 1dari 24

MYELOPROLIFERATIVE NEOPLASMS

Myeloproliferative neoplasms (MPN) adalah suatu kelompok gangguan yang


terjadi dimana sel-sel sumsum tulang tumbuh dan berkembang biak secara abnormal.
Pada neoplasma myeloproliferative, sel-sel induk sumsum tulang yang abnormal
menghasilkan sejumlah kelebihan satu atau lebih jenis sel darah (sel darah merah, sel
darah putih dan / atau platelet). Sel-sel yang abnormal tidak dapat berfungsi dengan baik
dan dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius kecuali ditangani dan
dikendalikan.1,2
Myeloproliferative disorders (MPD) pertama kali diperkenalkan oleh William
Dameshek pada tahun 1951, dimana termasuk di dalamnya trombositosis esensial (TE),
polisitemia vera (PV), primary myelofibrosis (PMF), dan chronic myelogenous
leukaemia (CML). Dan pada tahun 2008, World Health Organization memperkenalkan
istilah MPN dimana termasuk di dalamnya 1,2,3:

Chronic myelogenous leukemia (CML), BCR-ABL1 positive

Chronic Neutrophilic Leukemia (CNL)

Polycythemia Vera (PV)

Primary Myelofibrosis (PMF)

Essential Thrombocytosis (ET)

Chronic Eosinophilic Leukemia (CEL)

MPN yang tidak terklasifikasikan


Patogenesis penyakit ini masih belum jelas sampai saat ini. Pada penyakit ini

seringkali terjadi komplikasi yang memperberat penyakit. Dimana 60-70% sering terjadi
thrombosis arteri, termasuk stroke iskemik, iskemik miokard akut, dan oklusi arteri
perifer. Penatalaksanaan dari pasien yang menderita MPN biasanya lebih bersifat
suportif, dimana standar terapi belum ditetapkan secara jelas.3

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK


DEFINISI
Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau disebut juga leukemia mielositik kronik adalah
suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit
mieloproliferatif. Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus
terkait dengan gen gabungan BCR-ABL. Penyakit mieloproliferatif adalah penyakit yang ditandai
oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi
dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, meta mielosit, mielosit
sampai granulosit.4,5,6
EPIDEMIOLOGI
Leukemia granulositik kronis merupakan 15 % dari seluruh kasus leukemia dan merupakan
leukemia kronis yang paling sering dijumpai di Indonesia. Sedangkan di negara barat leukemia
kronis lebih banyak dijumpai dalam bentuk leukemia limfositik kronis. Insiden LGK di Negara
barat: 1- 1,4/100.000/ tahun. Umumnya LGK mengenai usia pertengahan dengan puncak umur
40- 45 tahun.4,5
ETIOLOGI
Menurut Markman (2009), leukemia mielositik kronik adalah salah satu kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus. Transformasi
leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari gen BCR pada
kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang
dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen tersebut,
meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas. 6,8
PATOGENESIS
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom
22, yaitu kromosom Philadelphia (Ph). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)(q23;q11)
antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada
gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph,
ekson 5 BCR berfusi dengan ekson 3 ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu
protein fusi berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase melebihi produk
2

ABL 145 kDa yang normal. Dengan kemajuan teknologi dibidang biologi molekular, didapatkan
adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL
(Abelson) dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL.6,8,9
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem
hematopoiesis. Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan
gen ini dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya
klon-klon abnormal yang mendesak sistem hematopoiesis. 6,7,8
TANDA DAN GEJALA KLINIK
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik dibagi menjadi 3 fase yaitu fase kroik, fase
akselerasi dan fase krisis blast.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang
akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas diperut kanan atas
akibat peregangan kapsul limpa. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya rasa cepat lelah,
lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi
setelah

penyakit

berlangsung

lama.

Semua

keluhan

tersebut

merupakan

gambaran

hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan
yang diutarakan oleh pasien, maka seperti terlihat pada Tabel 1. 4,5,6,7
Tabel 1. Urutan Keluhan dan Gejala Pasien Berdasarkan Frekuensi
Keluhan dan Gejala

Frekuensi (%)

Splenomegali

95

Lemah badan

80

Penurunan berat badan

80

Hepatomegali

50

Keringat malam

45

Cepat kenyang

40

Perdarahan/purpura

35

Nyeri perut

30

Demam

10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami
akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan
3

hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah leukositosis yang sulit
di kontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit
>30%, dan trombosit<100.000/mm3. Secara klinis , fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya
sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul
petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi. 6,8,9
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 2060.000/mm3. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit
biasanya meningkat 500-600.000/mm3, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau
menurun.5,6
2. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian
juga presentasi eosinofil dan basofil.6
3. Apus Sum-sum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan
retikulin, tampak bahwa stroma sum-sum tulang mengalami fibrosis. 5,6
4. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi
kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19,
+21, i(17).4,5,6
PENGOBATAN
Terapi LGK tergantung dari fase penyakit, yaitu : 6,7
1. Fase kronis :
a. Busulfan
b. Hydroxyurea
c. Interferon alfa
2. Fase akselerasi : sama dengan leukemia akut, tetapi respon sangat rendah.
3. Transplantasi sumsum tulang.
4

4. Terapi memakai prinsip biologi molekuler dengan menggunakan obat baru Imatinib
mesylate.
A. Hydroxyurea (Hydrea)
Hydroxyurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida
reduktase sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat
terhentinya sintesis DNA. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang
mendekati 100%. Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi pada leukemia mielositik
kronik.4,6,8
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3
dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm 3, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari.
Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mm 3 atau trombosit <100.000/mm. 4,7,8
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala,
letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus.
B. Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis
rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi
terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga
pemeriksaan darah harus sering dilakukan. 9,11,12
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 26mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung
leukosit mencapai <10.000/mm3, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali
setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mm6,10,12
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia,
hipotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan. Selain itu juga dapat menyebabkan katarak,
fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang
terjadi tetapi bersifat fatal.9
C. Imatinib mesylate
Imatinib mesylate merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL
dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia
mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom
Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib
diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein
plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses. 8,9
5

Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit
terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan
dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg. 8,9
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah
membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat
dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni
(<500/mm3) atau trombositopeni (<50.000/mm 3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.
Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari. 4,7
D. Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/m2/hari
subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan
berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m 2/hari.6,9
E. Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi
sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak
dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif. 6
Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3- 5 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya obat- obat baru, median kelangsungan pasien dapat
diperpanjang secara signifikan.
Faktor-faktor yang dapat memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain :

Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat
badan, demam, keringat malam.

Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,


kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.5,9

TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Pendahuluan
6

Trombositosis/trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit di atas


350000/mm3 atau 400000/mm3. Terdapat 3 kelainan utama penyebab trombositosis,
yaitu : kelainan klonal (Trombositosis esensial/primer dan kelainan mieloproliferatif
lain), familial (mutasi trombopoietin) dan trombositosis reaktif terhadap berbagai
penyebab akut dan kronis.13
Trombositosis primer sering ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan
hematologi pada penderita yang asimtomatis. Trombositosis esensial pertama kali
dilaporkan oleh di Guglielmo pada tahun 1920 dan Epstein dan Goedel pada tahun 1934.
Pada saat itu, Trombositosis esensial dianggap merupakan bagian dari penyakit
mieloproliferatif yang lain (Polisitemia vera, Lekemi mielositik kronik, Mielofibrosis
dengan mieloid metaplasia).13,14 Pada tahun 1960, Trombositosis esensial ditentukan
sebagai suatu penyakit mieloproliferatif yang berbeda.13
Definisi
Trombositosis esensial adalah kelainan klonal sel induk hematopoietik multipotensial,
termasuk kelainan mieloproliferatif dengan ekspresi fenotipe predominan pada jalur
megakariosit dan trombosit .13
Gambaran klinis
Penderita Trombositosis esensial biasanya berusia 50-70 tahun, insidensi tidak berbeda
antara laki-laki dan perempuan. 13 Pada beberapa literatur, trombositosis esensial
dilaporkan ditemukan pada usia muda dan anak-anak.14 Berbeda dengan kelainan
mieloproliferatif yang lain, pada trombositosis esensial jarang ditemukan gejala
konstitusional atau metabolik seperti demam, berkeringat dan penurunan berat badan.13
Kelainan fisik yang dapat ditemukan : 13,14
Manifestasi perdarahan ( 13-37 % penderita) : epistaksis, easy bruising, petekie,
perdarahan traktus gastrointestinal berulang
Manifestasi trombosis (18-84 % penderita)
- banyak ditemukan pada orang tua
- trombosis vena : vena hepatica (sindroma Budd-Chiari), mesenterika, lienalis, priapism
(trombosis vena penis), emboli paru
7

- trombosis arteri : transient cerebral ischemia, eritromelalgia (obstruksi mikrosirkulasi


jari-jari kaki/tangan), dapat berlanjut menjadi akrosianois
Spenonegali ringan dapat ditemukan pada 40 % penderita, splenonegali moderate
ditemukan pada 20-50 % penderita
Hepatomegali
Limfadenopati (jarang)
Ulkus peptikum, varises gaster dan esofagus
Gout
Abortus berulang dan gangguan pertumbuhan fetus, karena adanya infark multipel di
plasenta yang disebabkan thrombus trombosit yang mengakibatkan insufisiensi plasenta
Kriteria diagnostik Trombositosis Essensial.15
Jumlah trombosit > 600.000/mm3
Hematokrit < 0,46 atau massa eritrosit normal ( laki-laki < 36 ml/kg, wanita < 32
ml/kg)
Tidak didapatkan kromosom Philadelphia atau mutasi BCR/ABL
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang :
o tidak ada atau
o kurang < 1/3 area biopsi, tanpa disertai splenomegali yang menonjol dan
reaksi lekoeritroblastik
Tidak didapatkan kelainan morfologi atau sitogenetik sindroma mielodisplasi
Tidak didapatkan penyebab reaktif trombositosis
Pengelolaan
Pengelolaan Trombositosis esensial harus didasarkan pertimbangan besarnya risiko
terjadinya komplikasi trombosis. Faktor-faktor risiko yang menjadi pertimbangan
adalah :15
Stratifikasi risiko trombohemoragik pada Trombositosis esensial :
Risiko rendah : Umur < 60 tahun , dan
Tidak ada riwayat trombosis, dan
8

Jumlah trombosit < 1.500.000 /mm3


Risiko tinggi : Usia > 60 tahun, atau
Riwayat trombosis , atau
Jumlah trombosit > 1.500.000/mm3
Rekomendasi pengelolaan penderita Trombositosis esensial.16
Risiko rendah :
hindari obat-obatan sitoreduktif (dapat dipertimbangkan bila ada komplikasi)
aspirin dosis rendah (100-300 mg/hari) untuk gejala-gejala mikrovaskuler (misalnya
eritromelalgia)
Risiko tinggi :
Sitoreduksi
hidroksiurea sebagai pilihan pertama
pertimbangkan interferon atau Anagrelide pada penderita berusia muda ( < 40 tahun)
pertimbangkan Busulfan pada penderita usia tua ( > 70 tahun)
Aspirin dosis rendah bila ada riwayat trombosis

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki, umur 42 tahun dirawat di bangsal penyakit dalam RSUP
dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 februari 2015 dengan :
Keluhan utama: lemah dan letih meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
-

Lemah dan letih sudah dirasakan pasien sejak 1 bulan ini, meningkat sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Hal ini dirasakan pasien terutama dalam
aktifitas sehari-hari, semakin lama badan semakin terasa cepat lelah bila
beraktifitas.

Perut membengkak dirasakan pasien sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya dirasakan
sebesar tinju kemudian membesar hingga sebesar kepala bayi.

Pucat disadari pasien sejak 1 bulan yang lalu

Penurunan berat badan dirasakan pasien sejak 1 bulan yang lalu, penurunan berat
badan lebih kurang 10 kg

Penurunan nafsu makan dirasakan pasien sejak 1 bulan yang lalu, makan hanya
setengah dari porsi biasa (setengah piring)

Mual tidak ada, muntah tidak ada.

Demam tidak ada

Perdarahan dari hidung, mulut, gusi dan kulit saat ini tidak ada dan riwayat
perdarahan sebelumnya tidak ada

Riwayat makan obat-obatan jangka lama disangkal

Sesak nafas tidak ada

BAB dan BAK biasa

Pasien sebelunya dirawat di RS swasta 1 bulan yang lalu karena kelainan darah
dan telah mendapat transfusi dan telah dilakukan USG abdomen dan CT scan
abdomen dengan hasil hepatomegali

Riwayat Penyakit Dahulu:


-

riwayat diabetes melitus tidak ada

riwayat sakit jantung tidak ada


10

riwayat stroke sebelumnya tidak ada

riwayat sakit kuning tidak ada

riwayat penyakit keganasan sebelumya tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Riwayat anemia dalam keluarga tidak ada.

Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada

Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan :


-

Pasien sudah menikah dan memiliki 3 orang anak

Pasien bekerja sebagai seorang satpam

Riwayat merokok sejak 25 tahun yang lalu sebanyak 2 bungkus sehari, namun 2
bulan ini sudah tidak merokok lagi

Riwayat terkena radiasi disangkal

Riwayat terpapar pestisida disangkal.

Riwayat pemakaian jarum suntik secara bersamaan disangkal

Pemeriksaan Umum
Kesadaraan

: Komposmentis Kooperatif

Keadaan Umum : Sedang


Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 x/mnt, irama reguler, pengisian cukup
Frekuensi Nafas : 20 x/mnt
Suhu

: 36,80C

BB

: 48 kg

TB

: 155 cm

BMI

: 19,9 (normoweight)

Ikterus

: (-)

Edema

: (-)

Anemia

: (+)
11

Kulit

: Pucat (+), Turgor baik, ptekiae (-), ekimosis (-)

Kelenjar Getah Bening

: tidak ada pembesaran KGB

Kepala

: Normocephal

Rambut

: Hitam, tidak mudah patah, dan dicabut, tidak mudah


rontok

Mata

: Konjungtiva anemis (+), Sklera tidak ikterik

Telinga

: deformitas (-), tanda-tanda radang (-)

Hidung

: deformitas (-), tanda-tanda radang (-)

Tenggorokan

: Faring tidak hiperemis , pseudomembran (-), tonsil T1-T1,


tidak hiperemis

Gigi dan Mulut

: Caries (-), candida (-), atrofi papil lidah (-),hipertrofi


ginggiva (-)

Leher

: JVP 5-2 cmH2O, deviasi trakea (-), kelenjar tiroid tidak


membesar.

Dada :
Paru depan
Inspeksi

Simetris kanan = kiri, statis dan dinamis

Palpasi

Fremitus kanan = kiri

Perkusi

Sonor

Auskultasi

vesikuler, ronkhi -/-,wheezing (-)

Inspeksi

Simetris kanan = kiri, statis dan dinamis,

Palpasi

Fremitus kanan=kiri

Sonor

vesikuler, ronkhi -/-,wheezing (-)

Paru belakang

Perkusi
Auskultasi

Jantung
Inspeksi

: Iktus tidak terlihat


12

Palpasi

: Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: Batas atas RIC II, batas kanan LSD, batas kiri 1 jari medial
LMCS RIC V

Auskultasi

: Irama teratur, M1 > M2, P2 < A2, Bising (-)

Abdomen
Inspeksi

: perut tampak membuncit, kolateral (-), venektasi (-)

Palpasi

:Hepar teraba 9 jari bawah arcus costarum, 7 jari bawah proccesus


xiphoideus, pinggir tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal
padat, nyeri tekan tidak ada, bruit (-), lien S1

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) N

Punggung

: Nyeri tekan dan nyeri ketok CVA tidak ada

Alat kelamin

: Tidak ada kelainan

Anus

: Tidak ada kelainan

Anggota Gerak

: Reflek fisiologis (+/+), Reflek Patologis (-/-), edem (-)

Laboratorium
Hemoglobin

: 5,8 gr/dl

Leukosit

: 91800/mm3

Trombosit

: 1.714.000/mm3

Hematokrit

: 25%

Hit Jenis

: 0/8/10/71/6/1 metamielosit 3%, mielosit 1%

LED

: 35 mm/jam

Gambaran darah tepi

13

Eritrosit

: Anisositosis, normokrom,

hipokrom (+),polikromasi, tampak

metamielosit, mielosit, sel target (+), cigar cell (+) eritrosit


berinti 2/100 leukosit
Lekosit

: Jumlah meningkat

Trombosit

: Jumlah sangat meningkat, large trombosit (+), Giant trombosit


(+)

Kesan: anemia, leukositosis, trombositosis


Urinalisis:
Protein

: Negatif

Glukosa

: Negatif

Leukosit

: 0-1/LPB

Eritrosit

: 0-1/LPB

Silinder

:-

Kristal

:-

Epitel

: gepeng +

Bilirubin

:-

Urobilinogen : +
Feses:
Makroskopis :

Mikroskopis:

Warna

: kuning

Leukosit

: 0-1

Konsisten

: lunak

Darah

:-

Amuba

Lendir

:-

Telur cacing : -

Eritrosit : 0-1
:-

EKG
Irama

: sinus

QRS Komplek

: 0,08 dtk
14

HR
Axis
Gel P
PR interval

: 88 x /menit
: normal
: normal
: 0,12 detik

Kesan

: sinus rhtym

ST Segmen
Gel T
SV1+RV5
R/S V1

: isoelektrik
: normal
<35
<1

Hasil USG Abdomen:


Hepar
: Ukuran membesar (ukuran potongan longitudinal 18,42cm), parenkim
normal, ekogenitas normal, tak tampak nodul, v. Hepatika dan v. Porta
Duktus biliaris
Vesika felea

tak melebar
: intra dan ekstrahepatal tak melebar
: ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu, tak tampak

Pankreas
Lien
Ginjal Kanan

sludge
: ukuran dan parenkim normal, tak tampak kalsifikasi
: parenkim dan ukuran normal, tak tampak kalsifikasi
: bentuk dan ukuran normal, batas kortikomedular jelas, tak tampak

Ginjal Kiri

penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak melebar


: bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas, tak tampak

penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak melebar


Paraaorta
: tak tampak pembesaran kelenjar limfe para aorta
Vesika Urinaria : dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak batu, tak tampak
Prostat

massa
: bentuk dan ukuran normal. Tak tampak kalsifikasi

Kesan:
Hepatomegali
Tak tampak kelainan pada organintraabdomen lainnya secara sonografi
Hasil CT scan Abdomen :
- hepar ukuran tampak membesar (ukuran 27,75 cm) yang tampak membentuk kissing
phenomenon dengan lien. Tampak pendesakan ginjal kanan ke inferior. Permukaan rata,
tepi kiri lancip. Parenkim homogen, tak tampak kalsifikasi, tak tampak nodul, tak tampak
pelebaran duktus intra maupun ektrahepatal.
- Gall bladder ukuran tak membesar, dinding tak menebal, regular, tak tampak masa, tak
tampak sludge, tak tampak batu

15

- ginjal kanan, bentuk, letak dan ukuran tampak normal, tak tampak penipisan korteks,
PCS,dan ureter tak melebar, tak tampak batu, tampak lesi hipoekoik (ukuran 1,87 cm)
pada interpole.
- Ginjal kiri bentuk, letak dan ukuran tampak normal, tak tampak penipisan korteks,
PCS,dan ureter tak melebar, tak tampak batu
- Lien ukuran tak membesar. Parenkim homogen, tak tampak nodul hipodens, dan
kalsifikasi
- Pankreas ukuran normal. Parenkim homogen, tak tampak nodul,duktus pangkreatikus
tidak melebar. Tak tampak kalsifikasi
- Aorta tidak melebar, kalsifikasi tidak ada
- Lymph nodes tak tampak jelas pembesaran paraaorta dan para iliaka
- tak tampak cairan bebas intra abdomen
Kesan : Hepatomegali
Daftar Masalah
Anemia
Leukositosis
Trombositosis
Splenomegali
Hepatomegali

Diagnosis Kerja :
Primer :
Leukemia Granulositik Kronis fase kronik
Sekunder :
Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Trombositosis essensial
Diagnosis Banding :
Trombositosis reaktif
Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik ec non autoimun
Terapi :
16

Istrirahat / MB TKTP 1700 kkal ( karbohidrat 1000 kkal, protein 46 gram, lemak
516 kkal)
Asam asetilsalisilat 1x 80 mg

Pemeriksaan anjuran :

Darah perifer lengkap (retikulosit, MCV, MCH, MCHC)


Faal hepar (SGOT, SGPT, Bilirubin I dan II)
GDS
Faal Ginjal (ureum, kreatinin)
Asam urat
LDH
Faal hemostatis (prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (aPTT))
Coomb test
Bone Marrow Puncture
Immunofenotyping dan Sitogenetika

Follow Up
19 Februari 2015
S / Pucat (+), Perdarahan(-), Letih lesu (+),
O/ KU : Sedang
Nadi : 82x/

Kes
Nafas

: CMC
: 20x/

TD : 120/80 mmHg
Suhu : 37C

A/
Diagnosis Kerja :
Primer :
Leukemia Granulositik Kronis fase kronik
Sekunder :
Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Trombositosis essensial
Diagnosis Banding :
Trombositosis reaktif
Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik ec non autoimun
P/
Keluar hasil Labor :
17

Retikulosit
MCH
MCV
MCHC
GDS
Ureum/creatinin
SGOT
SGPT
Bilirubin total
LDH
Asam urat
PT/APTT
:
Coomb Test :

: 8,8 %
: 23 pg
: 85 fL
: 28 %
: 123 mg/dl
: 48/1,2 mg/dl
: 21 u/l
: 17 u/l
: 0,41 mg/dl
: 1325 u/l
:13,8 mg/dl
13,1/44,9 detik
Posistif : ICT (-) dan DCT (1+)

Kesan: Retikulositosis, peningkatan LDH, hiperurisemia


Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik :
Kesan

:
Susp. Myeloproliperative Neoplasm (MPN)
Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik autoimun

Anjuran :

Crossmatch WRC
Transfusi WRC 1 unit
Inj. Metil prednisolon 3x 125 mg hari I-III
Inj. Metil prednisolon 2x 125 mg hari IV,V
Inj metil prednisolon 1x 125 mg hari VI
Lanjut metilprednisolon oral 0,8 mg/KgBB/Hari
Lansoprazole 1x30mg
Osteocal 1x1 tab
Asam asetilsalisilat 1x80mg
Asam folat 1x5mg
BMP
Skrining antibodi

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi


Kesan

:
Hepatomegali ec MPN
18

Anjuran : terapi sesuai sub bagian Hematologi Onkologi Medik

Konsul Konsultan Reumatologi


Kesan: hiperurisemia asimtomatik
Advis: Allupurinol 2x100mg
Follow Up
23 januari 2015
S / Pucat (+), Perdarahan(-), Letih lesu (+)
O/ KU : Sedang
Nadi : 88x/

Kes
Nafas

: CMC
: 20x/

TD : 120/80 mmHg
Suhu: 37C

A/
-

Myeloproliperative Neoplasm

Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik autoimun

P/
Keluar hasil BMP :
Kesan : partikel ditemukan, selularitas hiperseluler
Aktivitas granulopoietik meningkat,dengan M:E rasio 24:1
Aktivitas eritropoietik tertekan
Aktivitas trombopoietik meningkat
Kesimpulan : gambaran sumsum tulang sesuai dengan leukemia granulositik kronis
dengan trombositosis berat
Anjuran

: imunofenotiping dan sitogenetik

Konsul Konsultan Hematologi Onkologi Medik :


Kesan

:
Myeloproliperative Neoplasm (MPN)
19

Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik autoimun

Anjuran :
Cek BCR-ABL
Cek JAK 2
Crossmatch WRC
Transfusi WRC 1 unit sampai Hb 10 gr/dl
Beri hidroxyurea setelah Hb 10 gr/dl

DISKUSI
Telah dirawat pasien laki-laki, 42 tahun di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
M Djamil Padang dengan diagnosis:
Myeloproliperative Neoplasm (MPN)
Anemia berat normositik normokrom ec hemolitik autoimun

20

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Diagnosis Myeloproliperative Neoplasm pada pasien ini ditegakkan karena
lebih dari 1 kelainan myeloproliperative yang terjadi pada pasien ini. Menurut WHO
tahun 2009, myeloproliperative neoplasm terdiri dari Leukemia Granulositik Kronik
(LGK), Trombositosis Esensial (TE), Polisitemia Vera (PV), dan Primary Myelofibrosis
(PMF), Chronic Eusenophilic Leeukemia (CEL) dan Chronic Neutrophilic Leukemia
(CNL).
Kelainan myeloproliperative pada pasien ini berupa Leukemia Granulositik
Kronik (LGK) dan Trombositosis Esensial (TE). Diagnosis LGK ditegakkan dari adanya
keluhan lemah dan letih yang sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, pucat, perut terasa
membengkak. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva anemis serta
hepatosplenomegali. Pada hasil laboratorium didapatkan kesan anemia dan leukositosis.
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan gambaran seri granulopoitik seperti
metamielosit, mielosit, neutrofil batang dan neutrofil segmen. Pada hasil BMP ditemukan
myeloblast 1% dan gambaran hiperseluler dengan perbandingan mieloid dan eritroid meningkat
(M : E = 24 : 1) dengan kesan leukemia granulositik kronik. Ditemukannya blast <5%, dan tidak
ada tanda-tanda akut seperti demam, tanda-tanda perdarahan seperti ptekie atau ekimosis
menggambarkan LGK pada fase kronik

Menurut WHO tahun 2008, kriteria patognomonik untuk LGK ini adalah
terdapatnya BCR ABL pada pemeriksaan sitogenetik. Pemeriksaan BCR ABL pada pasien
ini bertujuan untuk mengetahui terapi dan prognosis, dimana Fadjari, 2006 mengatakan bahwa
pasien LGK dengan BCR ABL (+) pada fase kronik dapat diberikan Imatinib mesylate dengan
dosis 400mg/hari, sedangkan pada fase krisis blas dapat langsung diberikan dosis 800mg/hari.
Trombositosis Esensial (TE) pada pasien ini ditegakkan dari pemeriksaan laboratoriuum
berupa trombositosis berat yaitu 1.700.000/mm3, ditemukannya Large trombosit dan Giant
trombosit serta tidak ditemukan bukti trombositosis reaktif seperti adanya infeksi, keganasan, dan
perdarahan. Menurut WHO tahun 2008, kriteria patognomonis TE adalah terdapatnya JAK2.
Penatalaksanaaan TE pada pasien ini dengan pemberian antiplatelet agregasi seperti asam
asetilsalisilat untuk mengontrol manifestasi trombosis dan pemberian hydroxiurea. Hidroxyurea
diberikan setelah Hb 10 g/dl.
Anemia hemolitik autoimun pada pasien ini ditegakkan berdasarkan adanya keluhan
badan letih-letih, pucat dan ditemukannya konjungtiva anemis dengan hepatosplenomegali. Pada
21

pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, terdapatnya polikromasi, retikulositosis dan


Coomb test Direct yang positif.
Penatalaksanaan AIHA pada pasien ini adalah denga pemberian injeksi metil prednisolon
pulse dose selama 6 hari dilanjutkan metilprednisolon oral dengan dosis 0,8 1 mg/Kg/BB/hari.
Dikarenakan akan diberikan hidroxyurea untuk terapi LGK dan TE maka dilakukan transfusi
WRC sampai HB 10 g/dl untuk mencegah efek samping dari hidroxyurea.
Pada jurnal-jurnal epidemiologi disebutkan bahwa AIHA biasanya sebagai prediktor
untuk terjadinya Leukemia Granulositik Kronik. Namun hubungan secara langsung antara AIHA
dengan LGK sampai saat ini masih belum bisa dijelaskan. Askling (2005) dan Zheng (1993)
menyebutkan bahwa penyakit-penyakit autoimun berhubungan dengan peningkatan resiko
keganasan mieloid termasuk leukemia mielositik akut & leukemia mielositik kronik. Laporan
terakhir oleh Anderson (2009) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan resiko LGK pada pasien
dengan penyakit-penyakit autoimun seperti pada AIHA (OR 5,23 ), coeliac disease (OR 4,19),
dermatomyositis/polymyositis ( OR 3,97 ), dan polymyalgia rheumatika (OR 1,7). 11,12

DAFTAR PUSTAKA
1. Leukaemia Foundation. Understanding Myeloproliferative Neoplasms (MPN).
2013.
2. Koopmans S, Marion A, Schouten H. Myeloproliferative neoplasia: a review of
clinical criteria and treatment. The Netherland Journal of Medicines. 2012 (70) ;
4.
3. Falanga A, Marchetti M. Thrombotic disease in the myeloproliferative neoplasms.
American Society of Hematology. 2011; 571 8
22

4. Fadjari H. Leukemia granulositik kronis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Editor. Sudoyo A.W dkk. Ed 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006;698-7001.
5. Bakta IM. Leukemia dan penyakit mieloproliperatif. Dalam: Hematologi ringkas.
Editor. Khastifah dan Purba DL. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007; 137-44.
6. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Leukemia myeloid chronic dan
mielodisplasia. Dalam : Kapita selekta hematologi, ed 4. Penerbit buku
kedokteran EGC, 2002 .p.167- 76Anderson L.A,Pfeiffer R.M, Landgren O.G.S,
Engels E.A. Risk of myeloid malignancies in patients with autoimmune
conditions. Br J Cancer. 2009; 100(5):822-8
7. Ramadan S.M, Fauad T.M, Summa V, Hasan, S.KH. Acute myeloid leukemia
developing in patients with autoimmune disease. Haematologica 2012 ; 97 (6) :
805-817.
8. Robinowitz I, Larson RS. Chronic myeloid leukemia in Wintrobe Clinical
Haematology. Ed. Greer JP et al, 7 th edition. Lippincontt Williams and Wilkins,
Philadelpia. 2004.p.2235-53
9. Price S.A, Wilson L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6th
ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.2006.
10. Vardiman J.W, 2009. Chronic myelogenous leukemia, BCR-ABL1+, American
Journal Clinical Pathology, 132, 248-9.
11. Lichtman M.A, Liesveld JL. Chronic myelogenous leukemia and related
disorder.In : Wiliams Hematology. Ed. Lichtman MA et all, 7 th edition. Mc
Graw- hill medical publishing division. New York.p.1237- 68.
12. Markman, M. Chronic myeloid leukemia and BCR-ABL, Emedicine.2009.
13. Schafer AI. Thrombocytosis and Essential Thrombocythemia. In : Beutler E,
Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U, eds. William Hematology, 6th
ed. New York: McGraw Hill, 2001 : 1541-1549.
14. Levine SP. Thrombocytosis. In : Lee GR, Foester J, Lukens J, Parakevas F, Greer
JP, Rodgers GM. eds.Wintrobes Clinical Hematology, 10th ed. Volume
2.Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins, 1999 : 1648-1655.

23

15. Barbui T. What is the Standard Treatment in Essential Thrombocythemia.


International Journal of Hematology, Supplement II 2002 ;76: 311-317.
16. Gale ER. Basic Sciences of Myeloproliferative Diseases : Pathogenic Mechanisms
of ET and PV. International Journal of Hematology, Supplement II 2002 ;76: 305310.

24

Anda mungkin juga menyukai