Farmakologi Eksperimental Analisis Obat Dalam Cairan Hayati
Farmakologi Eksperimental Analisis Obat Dalam Cairan Hayati
Kelas : C
Disusun oleh:
Golongan : IV
Kelompok : 3
Febri Wulandari
Anggita Tyaswuri
Naisbitt Iman Hanif
Candra Kirana M.
Lusy Andriani
FA/09284
FA/09305
FA/09308
FA/09311
FA/09314
..
..
..
..
..
Asisten Jaga
Asisten Koreksi
I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat di dalam cairan hayati.
2.
3.
1998).
Luas daerah di bawah kurva (AUC)
AUC adalah permukaan di bawah kurva yang menggambarkan naik turunnya
kadar plasma sebagai fungsi dari waku. AUC dapat dihitung secara matematis
dan merupakan ukuran untuk bioavaibilitas suatu obat. AUC dapat digunakan
untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan
kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu, antara kadar
diukur
oleh
metode
analisis
yang
digunakan.
Dalam
penelitian
terhingga. Karena itu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat
3.
suatu metode
untuk
Metode yang baik memberikan hasil recovery (perolehan kembali) yang tinggi
yaitu 75-90% atau lebih dan kesalahan sistematik kurang dari 10%. Perolehan
kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis, sedangakan kesalahan sistematik
merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa
kesalahan konstan atau proporsional. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu
hasil itu teliti (accurate) berarti purata sama dengan harga sebenarnya, walaupun
penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah lebih baik hasil yang
kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat. Ketepatan
menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil
(reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasilhasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui
pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui
pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada
hari yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata
kecil meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan
harga sebenarnya. Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan
penyebaran data, seperti standar deviasi atau koefisien variasi.
Kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis, dan dapat bersifat
positif atau negatif. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan
dicerminkan oleh tetapan variasi. Metode yang baik memiliki nilai kesalahan acak
4.
5.
b) Bahan :
1. Asam trikloroasetat (TCA)
2. Natrium nitrit 0,1 %
3. Amonium Sulfamat 0,5%
4. N(1-naftil) etilendiamin 0,1%
5. Antikoagulan (heparin)
6. Sulfametoksazol
7. Darah tikus
IV. CARA KERJA
a) Pembuatan kurva baku:
Diencerkan stok sulfametoksazol (1 mg/ml) dengan aquades sehingga diperoleh
kadar sulfametoksazol: 25, 50, 100, 200, 400 g/ml.
Ditambahkan 250 l darah yang mengandung antikoagulan ditambah 250 l aquadest,
campur homogen, dan tambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing.
Untuk pembuatan blanko kurva baku, 250 l darah yang mengandung antikoagulan
ditambahkan 250 l aquades (tidak ditambah sulfametoksazol), campur homogen dan
tambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing.
Blanko kurva baku dan sampel yang telah divortex disentrifugasi (5 menit; 2500 rpm).
Diambil 1,0 ml beningan (supernatan) dan diencerkan dengan aquades 2,0 ml.
Ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 3
menit.
Ditambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%), diamkan selama 2 menit.
Ditambahkan larutan N(1-naftil)etilendiamin (0,2 ml; 0,1%), campur baik-baik,
diamkan 5 menit di tempat gelap.
Larutan dipindahkan ke dalam kuvet, dibaca intensitas warna pada spektrofotometer
(545 nm) terhadap blanko darah yang telah diproses dengan cara yang sama dan
dibuat persamaan garis menggunakan persamaan y = ax + b.
b) Penetapan Kadar
Tikus diberi sulfametoksazol secara peroral dan ditunggu hingga 1 jam.
Diambil darah melalui vena lateralis pada ekor tikus sebanyak 1,5 ml, ditaruh
pada ependorf yang sebelumnya telah diberi heparin.
Diambil 250 l darah yang mengandung antikoagulan ke dalam tabung reaksi dan
ditambah 250 l aquadest, dicampur homogen.
Ditambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing.
Disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Diambil beningan (1,50 ml) dan diencerkan dengan aquadest 2,0 ml.
Ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) diamkan selama 3
menit.
Ditambahkan larutan ammonia sulfamat (0,2 ml; 0,5%) diamkan selama 2 menit.
Ditambahkan larutan N(1-naftil) etilendiamin (0,2 ml; 0,1%), dicampur baik-baik,
diamkan 5 menit di tempat gelap.
Dipindahkan ke dalam kuvet, dibaca intesitas warna pada spektrofotometer (545 nm)
terhadap blanko darah (sebagai control) yang telah diproses dengan cara yang sama.
c) Validasi
Dimasukkan larutan stok 50,300 g/ml masing-masing ke dalam tabung reaksi
berbeda.
Ditambahkan darah/urin 250 L.
Ditambahkan TCA 10% sebanyak 2 ml pada tiap-tiap tabung reaksi.
Dicampur homogen dengan vortex selama 15 detik.
Disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit.
Beningan diambil 1,5 mL dan Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih.
Ditambahkan NaNO2 0,1 ml dan didiamkan 3 menit.
Ditambahkan ammonium sulfamat 1,5% sebanyak 0,2 ml dan didiamkan 2 menit.
Ditambahkan NED 0,2 ml lalu dibaca serapannya pada
menggunakan
spektrofotometer.
Dilakukan replikasi sebanyak 2 kali untuk masing-masing kadar.
Absorbansi
0,006
0,000
0,036
0,104
0,211
Penetapan kadar
Kelompok A
Replikasi Absorbansi
0,218
0,199
0,231
0,188
Kelompok B
Replikasi Absorbansi
1
0,136
0,134
0,147
0,144
0,130
Absorbansi I
Absorbansi II
Absorbansi III
0,104
0,182
0,104
0,200
0,100
0,198
Kelompok C
Replikasi Absorbansi
0,183
0,217
0,226
Kelompok D
Replikasi Absorbansi
1
0,118
0,102
0,107
0,122
0,132
Perhitungan
1. Perhitungan Pengenceran
V1.M1 = V2.M2
Keterangan:
V1 = Volume sulfadiazin yang diambil (ml)
V2 = Volume labu takar (ml)
M1 = Konsentrasi sulfadiazin stok (g/ml)
M2 = Konsentrasi sulfadiazin yang diinginkan (g/ml)
Dengan menggunakan V1 M1 = V2 M2, dapat ditentukan volume larutan stok yang diambil.
a. Larutan stok untuk penetapan kurva baku
Diketahui :
M1 = 1mg/ml = 1000 g/ml
V2 = 5 ml
Jadi, volume sulfadiazin yang diambil adalah sebagai berikut.
1) Jika kadar yang diinginkan 25 g/ml
V1.M1
= V2.M2
V1. 1000 g/ml = 10 ml. 25 g/ml
V1
= 0,25 ml
=
= 0,4943 ml
3. Pembuatan Kurva Baku Darah Tikus
Kadar sulfadiazin dalam
Absorbansi
darah (g/ml)
25
50
100
200
400
* ditolak
0,006
0,000*
0,036
0,104
0,211
Keterangan :
Y = absorbansi
X = kadar
Absorbansi I
Absorbansi II
Absorbansi III
0,104
0,182
0,104
0,200
0,100
0,198
= 205,3119 g/ml
x (g/ml)
205,3119
207,6992
200,5372
=
= 4,1350
=
= 2,0140 %
3) Perhitungan Recovery
Recovery =
Recovery 1 =
= 415,3384 %
Recovery 2 =
= 415,3384 %
Recovery 3 =
= 401,0744 %
d = |x - xx|
2,3873
5,6992
2,3873
5,6992
4,7747
22,7978
Rata-Rata Recovery
=
= 410,5837%
=
= -313,5837%
= 367,6515 g/ml
2) Perhitungan Kesalahan Acak
xx (g/ml)
x (g/ml)
367,6515
=
= 17,9177
=
= 4,8736 %
3) Perhitungan Recovery
Recovery =
Recovery 1 =
= 115,7863 %
Recovery 2 =
= 126,5294 %
d = |x - xx|
20,2925
411,7856
11,9367
142,4848
8,3557
69,8177
Recovery 3 =
= 125,3357 %
Rata-Rata Recovery
=
= 122,5505%
Kelompok A
Replikasi
Absorbansi (y)
Kadar (X)
0,218
411,8174
0,199
377,7977
0,231
435,0940
0,188
358,1021
Absorbansi (y)
Kadar (X)
Kelompok B
Replikasi
0,136
264,9955
0,134
261,4145
0,147
284,6911
0,144
279,3196
0,130
254,2525
Replikasi
Absorbansi (y)
Kadar (X)
0,183
349,1495
0,217
410,0269
0,226
426,1415
Replikasi
Absorbansi (y)
Kadar (X)
0,118
232,7663
0,102
204,1182
0,107
213,0707
0,122
239,9284
0,132
257,8335
Kelompok C
Kelompok D
= 4,9245 mg
Volume darah
= 7, 5 % x 98,85 g
= 7, 41375 gram
= 7, 060714 ml (p=1,05)
= 38,5597 %
Rata-rata recovery :
x (g/ml)
264,9955
d = |x - xx|
3,9391
15,5165
7,5201
56,5519
284,6911
15,7565
248,2673
279,3196
10,3850
107,6462
254,2525
14,6821
215,5641
261,4145
268,9346
=
= 12,6841
=
= 4,7164
VI. PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa memahami penetapan kadar analisis obat di
dalam cairan hayati melalui metode Bratton-Marshall. Metode Bratton-Marshall bekerja
melalui prinsip reaksi diazotasi, yaitu reaksi pembentukan warna pada senyawa yang
memiliki gugus aktif amina aromatis primer. Pembacaan reaksi ini dilakukan menggunakan
metode Spektrofotometri UV-vis.
Metode Bratton-Marshall berjalan melalui 3 tahap yaitu :
1. Pembentukan Senyawa Diazo
Salah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina
aromatik primer. Sulfametoksazol memiliki struktur standar amina aromatik primer,
sehingga reaksi diazotasi dapat berlangsung dengan reaksi sebagai berikut:
+
NaNO2
TCA
+ H2O
N
+ (garam diazonum dari sulfametoksazol)
Untuk menguji ketepatan dan ketelitian metode yang digunakan, ditetapkan beberapa
analisis dari parameter farmakokinetika yang berhubungan dengan metode penetapan kadar
suatu obat dalam cairan hayati, seperti recovery (P%) dan kesalahan sistematik (100%-P%)
sebagai parameter ketelitian, serta perhitungan SD dan kesalahan acak (CV) sebagai
parameter ketepatan. Metode yang baik ialah metode yang dapat memberikan nilai recovery
yang tinggi >75% serta memiliki kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10%.
Parameter farmakokinetik merupakan tolak ukur yang digunakan untuk mengevaluasi
pola absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi suatu obat. Parameter farmakokinetik
merupakan besaran yang diturunkan secara sistematis dari hasil pengukuran kadar obat atau
metabolitnya dalam darah atau urin. Analisis ini dilakukan dengan membuat seri kadar obat
tertentu dalam darah dan urin yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga dpaat dibaca
absorbansi dan dibuat kurva bakunya.
Cairan hayati yang dapat digunakan sebagai media tolak ukur kualitatif maupun
kuantitatif suatu obat ialah darah. Hal ini disebabkan karena darah merupakan media utama
transportasi zat-zat di dalam tubuh, sehingga merupakan tempat dominan yang dilalui oleh
obat, bahkan faktanya, penghitungan kadar obat di dalam tubuh mengacu pada Volume
Distribusi (Vd) yang didasarkan oleh persebaran obat oleh darah.
Pada percobaan ini, obat yang di analisis adalah sulfametoksazol. Analisis dilakukan
dengan memberikan sulfametoksazol Per Oral (PO) dengan dosis 10 mg/200g BB dimana
larutan stok yang digunakan adalah 10mg/ml.
Berikut bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain:
1. Sulfametoksazol
Rumus molekul
Berat molekul
Pemerian
: C10H11N3O3S
: 253,28
: Serbuk hablur, putih
waktu paro 10-12 jam. Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dosis perawatan sampai
infeksi berakhir.
Sulfametoksazol merupakan golongan sulfonamid yang termasuk dari derivat
sulfanilamid dan mempunyai peranan sebagai agen bakteriostatik. Sulfametoksazol
merupakan sulfonamid yang mempunyai kecepatan absorpsi dan ekskresi cepat.
Pasangan elektron bebas yang dimiliki Sulfametoksazol terdapat pada atom-atom Nprimer, N-sekunder, N-tersier, O pada SO dan rantai siklik serta S pada SO, sehingga
dimungkinkan untuk dapat mengikat tembaga(II) pada protein azurin yang dibutuhkan
oleh bakteri untuk proses fotosintesis (Anonim, 2012).
2. Heparin
Pemerian: Serbuk, putih atau putih daging agak
higroskopis Kelarutan: Larut dalam 2,5 bagian air.
juga
mempunyai
kerja
menjernihkan
plasma
yang
berlipid
Trombin
Ca2+
Heparin beraksi dengan mengikat anti trombin III membentuk kompleks yang
berafinitas lebih besar daripada anti trombin III itu sendiri terhadap beberapa faktor
pembekuan darah aktif (trombin dan faktor Xa/faktor stuart power). Heparin juga
menginaktivasi faktor VIIIa/AHG dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil. Oleh
karena itu, heparin mempercepat inaktivasi faktor pembekuan darah (Anonim, 2012).
3. TCA (Trichloro Acetic Acid / Asam Trikloro Asetat)
Rumus Molekul
: C2HCl3O2
Berat Molekul
: 163,39
Pemerian
: Massa hablur, sangat rapuh,
tidak berwarna, rasa lemah dan khas.
Kelarutan
: Sangat mudah larut dalam air,
dalam etanol, dan dalam eter P.
Asam trikloroasetat (nama sistematis: asam
trikloroetanoat) adalah analog dari asam asetat,
dengan ketiga atom hidrogen dari gugus metil digantikan oleh atom-atom klorin.
Senyawa ini merupakan asam yang cukup kuat (pKa = 0.77, lebih kuat dari disosiasi
kedua asam sulfat). Senyawa ini dibuat melalui reaksi klorin dengan asam asetat
bersama katalis yang cocok (Anonim, 1979).
4. Natrium Nitrit
Pemerian
atau serbuk
: Larut dalam 1,5 bagian air dingin, 0,6 bagian air mendidih.
(Windholtz, 1976)
5. Ammonium Sulfamat
Pemerian : Kristal higroskopis.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam etanol,
Kelarutan
proses absorbsi terjadi. Pada percobaan ini, praktikan menunggu selama satu jam setelah
pemberian dilakukan.
Setelah satu jam, tikus diletakkan di dalam holder dimana seluruh bagian badan tikus
kecuali ekor terperangkap di dalam holder. Penggunan holder bertujuan untuk membatasi
pergerakan tikus sehingga mempermudah proses pengambilan darah. Pada proses
pengambilan darah, volume darah tikus yang diambil sebanyak 1,5 ml per tikus pada dua
tikus, darah pada tikus pertama digunakan untuk pembuatan kurva baku internal, sedangkan
darah pada tikus kedua digunakan untuk pemrosesan sampel darah in vivo. Darah yang
diambil diletakkan di dalam tabung eppendorf berukuran 2 ml yang telah diberikan heparin
sebanyak 10 tetes untuk mencegah koagulasi darah. Pengambilan darah sebesar 1,5 ml ini
sebenarnya kurang tepat karena melebihi nilai batas atas volume darah yang dapat diambil
pada hewan uji dan tetap mempertahankan hidup hewan uji, yaitu 1% dari total bobot hewan
uji. Pada tikus yang digunakan kali ini, volume darah maksimal yang seharusnya dapat
diambil ialah 1% bobot tikus atau dengan kata lain 0,9885 gram atau 0,9414 ml ( p=1.05).
Namun, dikarenakan keterbatasan waktu percobaan dan volume minimal untuk replikasi
percobaan cukup tinggi, maka batas atas maksimal sekali pengambilan darah terpaksa
dilewati.
Metode pengambilan darah dilakukan dengan menyayat bagian ekor dengan
menggunakan skalpel. Sebelum bagian ekor disayat, dilakukan pembersihan dari bulu-bulu
halus tikus dengan tujuan agar darah tikus tidak tersangkut pada bulu ketika disayat,
melainkan langsung dapat ditampung di dalam eppendorf. Penyayatan ekor dilakukan dengan
melintang mengikuti ruas yang terdapat pada bagian ekor tikus dan tidak secara tegak lurus
untuk mencegah ekor tikus putus serta menyebakan darah menjadi tersendat keluar.
Penyayatan dilakukan sedalam setengah hingga dua per tiga tebal ekor dan darah yang keluar
segera ditampung dengan eppendorf. Apabila darah sulit keluar, dilakukan pemijatan
perlahan dari pangkal ekor untuk mempercepat pengeluaran darah. Bagian yang disayat ialah
vena lateralis yang keberadaanya dapat diketahui dengan memijat ekor tikus hingga terlihat
pembuluh darah yang berwarna ungu. Alasan digunakannya vena lateralis adalah pada bagian
itu merupakan tempat yang paling dekat dengan kulit sehingga pengambilannya dapat
mencegah kematian. Apabila darah sudah membeku dan tidak keluar lagi, maka dapat
dilakukan penyayatan pada bagian yang lebih atas dari ekor tikus tadi atau dapat pula luka
goresan tadi digores kembali agar luka dapat terbuka kembali dan darah dapat mengalir
keluar.
Penampungan darah tikus pada eppendorf harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak
ada darah yang terbuang. Setiap melakukan penampungan beberapa tetes, sebaiknya
eppendorf ditutup dan dilakukan penggojogan ringan. Hal ini bertujuan untuk meratakan
heparin pada seluruh bagian darah, sehingga tidak ada darah yang terkoagulasi. Jika darah
mengalami koagulasi, maka pada proses sentrifugasi akan diperoleh supernatan berupa serum
sedangkan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan adalah plasma darah sebagai cairan hayati.
Plasma darah dibutuhkan karena nantinya sulfametoksazol akan berikatan dengan
protein plasma dan membentuk kompleks obat makromolekul yang disebut kompleks
protein-obat. Kompleks protein-obat bersifat tidak aktif sehingga tidak lagi dapat dibaca
melalui absorbansi. Protein yang berperan dalam pengikatan obat di plasma darah antara lain
ialah albumin dan globulin. Albumin bertangggung jawab terhadap ikatan obat, sedangkan
globulin merupakan bagian terkecil dari keseluruhan protein plasma. Obat akan berikatan
dengan protein plasma jika plasma darah memebentuk suatu agregat besar. Oleh karena itu,
digunakan plasma darah yang tidak terkoagulasi.
Kelompok praktikan melakukan penyayatan sebanyak dua kali dikarenakan pada
lokasi pertama telah terjadi penjedalan yang tebal serta berkurangnya volume darah yang
dapat diambil secara drastis, sehingga tidak memungkinkan lagi pengambilan darah kecuali
dengan pergantian lokasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman dari
praktikan dalam menyayat hewan uji.
Setelah itu, dibuat larutan baku dengan tujuan agar persamaan regresi linier hubungan
kadar sulfametoksazol dengan absorbansi dapat dihitung sehingga praktikan dapat
menentukan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus. Untuk kurva baku, dibuat masingmasing seri kadar larutan baku dengan cara mengencerkan larutan sulfametoksazol dengan
kadar 1 mg/ml menggunakan aquadest dengan cara mengambil larutan stok menggunakan
mikropipet ataupun pipet volume dengan nilai volume tertentu. Kemudian, larutan stok
tersebut dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan aquadest hingga didapatkan
konsentrasi yang sesuai, yaitu 25, 50, 100, 200, 400 g/ml. Untuk blangko digunakan
aquadest dengan tujuan untuk mengkoreksi absorbansi senyawa yang terbentuk.
Pembuatan larutan stok dilakukan dengan rumus pengenceran yaitu:
V1.M1=V2.M2
Dimana V1 menunjukan volume sulfametoksazol yang diambil dalam satuan mililiter, serta
nilai V2 menunjukan nilai volume dari labu takar. Lalu, nilai M 1 menunjukan nilai kadar
sulfametoksazol yang tersedia dengan M2 menunjukan konsentrasi yang kita inginkan.
Dengan kadar sulfametoksazol sebesar 25 g/ml didapatkan volume sulfametoksazol yang
harus diambil sebesar 250 l. Dengan kadar sebesar 50 g/ml, didapatkan kadar
sulfametoksazol yang harus diambil sebesar 500 l. Berikutnya dengan kadar 100 g/ml,
didapatkan kadar yang harus diambil sebesar 1000 l. Lalu dengan kadar sebesar 200 g/ml,
didapatkan jumlah volume sebesar 2000 l. Serta yang terakhir dengan kadar sebesar
400mg/mL, didapatkan volume 4000 l yang harus diambil.
Lalu, dilakukan pembuatan kurva baku internal menggunakan darah pada sampel bukan
aquadest. Caranya adalah menggunakan blanko (250 l) yang mengandung koagulan dan
ditambahkan 250 l larutan stok sulfametoksazol sehingga kadarnya 0, 25, 50, 200, dan 400
g/ml darah, setelah itu dicampur homogen dengan metode vortexing. Vortexing sendiri,
adalah sebuah metode pencampuran dengan prinsip pemutaran aliran fluida secara turbulen
sehingga seluruh bagian dapat tercampur homogen. Vortexing dilakukan menggunakan vortex
mixer atau seringkali juga dapat disebut vortexer. Prinsip kerja vortexer ialah ketika tabung
reaksi diletakkan pada bagian karet yang berosilasi dengan cepat, perputaran dari bagian
karet tersebut akan berpindah ke dalam cairan di dalam tabung sehingga pada cairan
terbentuk vortex.
Berikutnya adalah pemrosesan sampel darah in vivo dengan cara memasukan 250 l
darah yang mengandung anti koagulan berupa heparin. Maksud penambahan heparin ini
adalah agar darah tidak membeku. Campuran tersebut ditambahkan dengan 250 l aquadest
dan dihomogenkan. Setelah homogen, ditambahkan dengan 2,0 ml TCA 5% dengan
vortexing. TCA ialah senyawa yang mampu memprespitasi makromolekul seperti protein,
RNA, dan DNA. Pada percobaan kali ini, maksud dari penambahan TCA adalah agar protein
terdenaturasi. Keberadaan protein pada supernatan akan mengganggu proses absorbansi
sehingga perlu didenaturasi. Mekanisme denaturasi protein dilakukan melalui deprotonasi,
yaitu TCA mendenaturasi struktur sekunder dan tersier protein melalui ikatan disulfida yang
merupakan pembentuk kedua struktur tersebut sehingga bagian nonpolar dari protein akan
keluar serta protein mengendap. TCA juga berfungsi sebagai donor proton pada reaksi
berikutnya.
Selain itu, TCA juga berfungi sebagai pemberi suasana asam sehingga dapat berperan
dalam menghentikan kerja enzim pemetabolisme obat sekaligus menyebabkan denaturasi
protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam amino penyusunnya.
Pada reaksi diazotasi yang biasa, digunakan HCl (asam klorida) sebagai pemberi
suasana asam. Tetapi pada percobaan ini tidak digunakan HCl karena HCl berefek memecah
protein menjadi asam aminonya sehingga pada saat sentrifugasi asam amino tersebut tidak
akan memisah dari plasmanya karena terlalu kecil untuk bisa diendapkan. Asam amino
tertentu memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang akan memberikan serapan pada UV-Vis
sehingga akan mengganggu pembacaan absorbansi. Sedangkan bila digunakan TCA, TCA
akan mengikat protein sehingga protein dapat terdenaturasi dalam suasana asam tanpa
terpecah menjadi fragmen-fragmennya.
Berikut ini adalah proses denaturasi protein oleh TCA:
Kemudian, larutan kurva baku internal yang telah dibuat digabung dengan sampel
darah in vivo yang telah di-vortexing, dicampur, dan di-sentrifuge selama 5 menit dengan
kecepatan 2500 rpm. Prinsip sentrifugasi ialah pemisahan suatu campuran dengan basis
perbedaan bobot jenis. Pada percobaan ini, sentrifugasi dimaksudkan agar terjadi pemisahan
antara padatan dengan cairan, dimana padatan akan terprespitasi di bawah tabung sementara
cairan akan membentuk supernatan. Sentrifugasi juga menyempurnakan dan mempercepat
pemisahan endapan protein dari supernatan yang mengandung sejumlah sulfametoksazol
yang tidak ikut mengendap bersama protein. Sulfametoksazol yang berada pada supernatan
merupakan obat bebas yang tidak terikat protein, sedangkan obat yang terikat dengan protein
tidak aktif scara farmakologis dan tidak memberikan efek terapeutik.
Setelah dipusingkan maka diambil beningan sebanyak 1,50 ml dengan menggunakan
mikropipet secara hati-hati agar endapan protein tidak terambil, sehingga didapatkan obat
bentuk bebas pada sampel. Selanjutnya, beningan tersebut dituang ke dalam tabung reaksi
dan diencerkan dengan aquadest sebanyak 2,0 ml. Lalu, dalam setiap tabung reaksi
ditambahkan larutan NaNO2 0,1% sebanyak sebanyak 0,1 mL dan diamkan selama 3 menit
agar terjadi reaksi secara sempurna. Maksud dari penambahan natrium nitrit adalah agar
terjadi reaksi diazotasi reaksi diazotasi merupakan reaksi antara amina aromatik primer
dengan natrium nitrit akan menghasilkan garam diazonium. Kondisi yang paling baik untuk
reaksi diazotasi pada pH sekitar 0-3. Suhu dalam reaksi diazotasi harus rendah, yaitu <150 C
karena garam diazonium mudah terurai menjadi fenol dan nitrogen apabila suhu reaksi terlalu
tinggi. Digunakan natrium nitrit sebab natrium nitrit lebih stabil dibandingkan asam nitrit
yang mudah rusak.
Setelah itu, ditambahkan larutan ammonium sulfamat 0,5% sebanyak 0,2 ml lalu
didiamkan selama 2 menit agar proses reaksi berlangsung dengan sempurna. Maksud dari
penambahan dari ammonium sulfamat agar sisa nitrit dari reaksi diazotasi dapat ditangkap
oleh ammonium sulfamat. Asam nitrit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi
senyawa hasil reaksi kopling diazo sehingga dapat lepas menjadi gas nitrogen dan fenol. Oleh
karena itu, kelebihan asam nitrit harus dihilangkan. Pada saat penambahan ammonium
sulfamat harus dilakukan secara hati-hati karena akan timbul gelembung gas nitrogen seperti
reaksi berikut:
1. Efisiensi
Recovery merupakan tolak ukur efisiensi analisis. Analisis memenuhi syarat jika
recovery berkisar antara 75-90%. Jika diluar rentang kadar tersebut maka
percobaan dianggap kurang efisien.
2. Akurasi
Akurasi dianggap baik jika kesalahan sistematik tidak lebih dari 10%. Harga
kesalahan sistematik menunjukan kemampuan metode ini memberikan hasil
pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sebenarnya.
3. Presisi
Presisi dianggap baik jika kesalahan acak tidak lebih dari 10%. Ketepatan
menunjukan hasil pengukuran yang berulang pada sediaan hayati yang sama.
Setelah dilakukan pembacaan, didapatkan data berupa nilai absorbansi. Pada percobaan
ini, didapat nilai absorbansi untuk kadar 20, 50, 100, 200, dan 400 g/ml berturut-turut
sebesar 0,006; 0,000; 0,036; 0,104; dan 0,211. Namun, nilai absorbansi untuk kadar 50 g/ml
terpaksa ditolak dari perhitungan sebab berupa pencilan dan tidak memenuhi teori yang
berlaku. Hal ini mungkin disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam pembuatan larutan stok
50 g/ml. Data yang diperoleh kemudian dilakukan regresi linier, dimana kadar
sulfametoksazol sebagai nilai X dan absorbansi yang diperoleh sebagai nilai Y, sehingga
didapatkan persamaan kurva baku, yaitu y = 5,5850 . 10-4 x 0.0120.
Lalu, dari data validasi percobaan didapatkan nilai absorbansi untuk kadar 50 g/ml
dengan 2 kali replikasi sebesar 0,104; 0,104; dan 0,100. Kemudian, nilai absorbansi tersebut
dimasukan ke dalam persamaan kurva baku sehingga didapat nilai 207,6992 g/ml untuk
nilai absorban pertama sebesar 0,104. Nilai kadar kedua memiliki nilai absorbansi yang sama,
sehingga nilai kadarnya pun sama. Kemudian, pada nilai absorbansi ketiga (0,100)
didapatkan kadar sebesar 200,5372 g/ml. Sehingga didapat nilai kadar rata rata sebesar
205,3119 g/ml dan nilai SD (standar deviasi) didapatkan 4,1350.
Setelah itu dicari nilai CV dengan memasukkan rumus :
Sehingga didapat angka 2,0140 %. Kesalahan acak yang ditunjukkan dengan besarnya nilai
koefisien variansi (CV) merupakan suatu parameter presisi atau ketepatan pengukuran yang
menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran secara berulang pada cuplikan hayati yang
sama.
Kemudian dilakukan perhitungan recovery (perolehan kembali) dengan rumus :
Recovery =
Dimana nilai kadar diketahui sebesar 50 g/ml dan nilai kadar terukur merupakan besar dari
kadar yang kita dapat berdasarkan data validasi dalam percobaan yaitu besar nilai X.
Recovery (perolehan kembali) merupakan parameter efisiensi dari suatu metode analisis.
Nilai recovery yang dipersyaratkan adalah 7590%. Dengan kadar terukur
didapat nilai recovery sebesar 415,3384 %. Lalu dengan nilai kadar terukur sebesar
didapat nilai recovery sebesar 401,0744 %. Sehingga rata rata dari nilai
recovery sebesar 410,5837%. Berikutnya dilakukan perhitungan kesalahan sistematik dengan
rumus :
Kesalahan Sistematik = 100% - Recovery
Kesalahan sistematik merupakan parameter akurasi dari suatu penetapan kadar. Harga
ini menunjukkan kemampuan metode analisis untuk memberikan hasil pengukuran yang
sesuai dengan nilai aslinya. Nilai kesalahan sistemik yang dipersyaratkan adalah kurang dari
10%. Pada nilai recovery 415,3384% didapatkan nilai kesalahan sistematik -315,3384%.
Pada nilai recovery 410,0744% didapatkan nilai kesalahan sistematik sebesar -310,0744%
sehingga didapatkan nilai rata rata kesalahan sistematik sebesar -313,5837%.
Dengan cara yang sama juga dilakukan pada kadar sebesar 300 g/ml yang
mendapatkan angka absorbansi sebesar 0,182 ; 0,200 ; dan 0,198. Pada nilai absorbansi
sebesar 0,182 didapatkan nilai x sebesar 347,3590 g/ml. Lalu pada absorbansi 0,200
didapatkan nilai x sebesar 379,5882 g/ml, serta yang terakhir pada nilai absorbansi 0,198
g/ml didapatkan nilai x sebesar 376,0072 g/ml. Setelah itu dirata-rata dan didapatkan nilai
rata rata sebesar 367,6515 g/ml dengan nilai SD sebesar 17,9177. Kemudian, dicari
besarnya nilai CV sehingga didapat 4,8736% dan dicari nilai recovery sehingga didapat nilai
berturut turut 115,7863 % ; 126,5294 % ; dan 125,3357 % dengan rata rata recovery
122,5505 %. Setelah mendapat nilai recovery, maka dihitung besarnya kesalahan sistematik
sehingga didapat nilai kesalahan sistematik secara berturut-turut -15,7863% ; -26,5294 % ;
dan -25,3357%. Dengan rata rata kesalahan sistematik sebesar -22,5505%.
Nilai X yang didapatkan begitu besar sehingga berimbas kepada nilai recovery serta
nilai kesalahan sistematik. Nilai recovery didapat jauh diatas nilai recovery yang ideal yaitu
sebesar 75-90%. Sedangkan pada kesalahan sistematik memang nilainya di bawah 10%
namun besarnya nilai pun kurang rasional yaitu mencapai minus ratusan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode percobaan yang digunakan memiliki tingkat ketepatan yang
tinggi tetapi juga dianggap kurang efisian dan kurang akurat.
Selanjutnya dilakukan analisis data pada hasil percobaan dari sampel in vivo.
Kelompok praktikan, kelompok B, melakukan percobaan dengan replikasi sebanyak empat
kali sehingga didapatkan nilai seperti berikut:
Replikasi Absorbansi (y)
Kadar (X)
0,118
232,7663
0,102
204,1182
0,107
213,0707
0,122
239,9284
0,132
257,8335
5. Pada
percobaan
ini
didapat
nilai
recovery
sebesar
dengan
purata
Mengetahui,
Asisten Koreksi
FA/09284
FA/09305
..
..
FA/09308
FA/09311
FA/09314
..
..
..