Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di kertas, diformulasikan dalam bentuk kalimatkalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula pengetahuan yang
terkait erat dengan perasaan, keterampilan dan bentuk bahasa utuh, persepsi pribadi,
pengalaman fisik, petunjuk praktis (rule of thumb) dan institusi. Pengetahuan terbatinkan
seperti itu sulit sekali digambarkan kepada orang lain. Mengenali nilai dari pengetahuan
terbatinkan dan memahami bagaimana menggunakannya merupakan tantangan utama
organisasi yang ingin terus menciptakan pengetahuan.
penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan
terjadinya penciptaan tersebut.
Apa yang dimaksud dengan konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan
pengetahuan adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang
muncul. Dalam konteks organisional, bisa berupa fisik, maya, mental atau ketiganya.
Pengetahuan bersifat dinamis, relasional dan berdasarkan tindakan manusia, jadi
pengetahuan berbeda dengan data dan informasi, bergantung pada konteksnya.
penciptaan pengetahuan melibatkan lima langkah utama,
1
2
3
4
5
Von Krogh, Ichiyo serta Nonaka (2000) bahwa penciptaan pengetahuan organisasional
terdiri dari lima langkah utama yaitu:
Berbagi pengetahuan terbatinkan;
Menciptakan konsep;
Membenarkan konsep;
Membangun prototype; dan
Melakukan penyebaran pengetahuan di berbagai fungsi dan tingkat di organisasi.
Konteks Dalam Organisasi Penelitian Dan Pengembangan
Riset adalah bagian dari upaya akademik untuk menemukan solusi ilmiah bagi persoalanpersoalan manusia atau proses penciptaan pengetahuan baru. Di dalam kegiatan riset,
terkandung sekaligus tiga aspek isi kognitif dari limu pengetahuan, yakni foci of
attention, tingkat perkembangan, dan isi intelektual (Cole, 1992). Ketiga aspek tersebut
tercermin di kegiatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bentuk berbagai
penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah tertentu.
Tingkat perkembangan dari masing-masing bidang penelitian tentunya berbeda, antara
lain ditentukan oleh jumlah hasil penelitian, paten yang dihasilkan, publikasi ilmiah yang
dihasilkan baik tingkat nasional,regional dan internasional, produk-produk baru atau
proses baru dan sebagainya. Demikian pula, isi intelektual dari berbagai penelitian di
LIPI akan memperlihatkan batas dan keragaman dari kegiatan riset lembaga ini. Proses
penelitian ditentukan oleh isi intelektual, karakteristik sosial peneliti dan proses sosial
dalam hal intellectual authority. Dalam lingkup LIPI, misalnya sebuah penelitian dapat
terlaksana setelah ada proses tertentu dalam pemeriksaan tidak saja terhadap isi penelitian
itu, tetapi juga terhadap para penelitinya. Mengenai hal ini Coles mengatakan bahwa
proses ini sangat dipengaruhi oleh konsensus sosial, dan bukan hanya oleh validitas
keilmiahan isinya. Lebih luas lagi, proses penelitian dan pengembangan suatu ilmu dan
teknologi tidak dapat dilepaskan dari kondisi tiga elemen dasarnya, yakni (1) komunitas
ilmuwan dan teknologi itu sendiri, (2) sistem ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tempat ilmu dan teknologi itu berkembang,
serta (3) organisasi yang menjadi semacam katalis bagi komunitas untuk tumbuh
kembang di dalam sistem yang lebih luas ini, baik dalam bentuk organisasi besar
semacam LIPI, maupun yang lebih kecil seperti lembaga-lembaga riset,unit-unit riset,
organisasi profesi dan sebagainya (Constant II, 1993).
Kondisi LIPI sebagai elemen organisasional yang memiliki karakteristik hubungan sosial
tertentu, dengan demikian, merupakan salah satu titik kunci perkembangan penelitian.
Khususnya untuk LIPI, maka kondisi ini merupakan salah satu aspek yang ditumbuh
kembangkan, termasuk dalam upaya menciptakan kondisi yang mendukung penelitian
ini, adalah pengembangan sarana fisik, peralatan laboratorium, peralatan teknologi
informasi, dan sebagainya. Di dalam konfigurasi yang demikian, dimungkinkan
pengembangan manajemen pengetahuan (knowledge management) KM dilingkungan
LIPI dalam bentuk :
Proses mengkoleksi, mengorganisasikan, mengklasifikasi, dan menyebarkan
informasi/pengetahuan ke seluruh unit di organisasi agar informasi/pengetahuan itu
berguna bagi siapa yang memerlukannya;
Kebijakan, prosedur dan teknologi yang dipakai untuk mengoperasikan pangkalan data
yang terhubungkan dalam jaringan intranet LIPI agar tetap uptodate;
Menggunakan teknologi informasi untuk menangkap pengetahuan yang terdapat didalam
pikiran para peneliti, pegawai sehingga pengetahuan itu bisa secara mudah dipakai
bersama di dalam organisasi. KM bertujuan mengumpulkan pengetahuan yang benarbenar diperlukan oleh peneliti atau pegawai di dalam sebuah tempat penyimpanan
terpusat (server besar), dan membuang informasi atau pengetahuan yang tidak perlu;
Memastikan adanya lingkungan yang lengkap untuk pengembangan penggunaan expert
systems;
Mengorganisasikan dan menganalisis informasi dalam database lembaga sehingga
pengetahuan dari hasil analisis tersebut dapat segera dipakai bersama oleh lembaga;
Mengidentifikasi kategori pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung keseluruhan
program penelitian, sinergi program/kegiatan penelitian, strategi penelitian, monitoring
dan evaluasi hasil penelitian yang terhimpun di lembaga, dan mentransformasi basis
pengetahuan yang saat ini ada ke basis yang baru yang lebih mapan dengan mengisi
knowledge gaps mungkin terjadi atau digital devide;
Mengkombinasikan pengindeksan, pencarian pengetahuan dan teknologi informasi untuk
membantu lembaga mengorganisasi data, informasi dan pengetahuan yang tersimpan di
berbagai sumber, sehingga yang disajikan adalah informasi atau pengetahuan yang
relevan saja;
Mengorganisasikan dan menyediakan know-how yang penting, kapan dan bilamana
diperlukan. Ini mencakup proses, prosedur, paten, bahan rujukan, formula, best practices,
ramalan dan cara-cara mengatasi masalah. Secara teknologis, intranet, groupware, data
warehouses, bulletin boards, dan sebagainya adalah sarana yang memungkinkan lembaga
menyimpan dan menyebarkan pengetahuan;
Memetakan sumber pengetahuan (knowledge mapping) baik secara online maupun
offline, pelatihan, penuntunan, dan perlengkapan untuk akses pengetahuan.
Pengembangan infrastruktur informatika dan telekomunikasi (telematika) seperti diatas
mengandung keyakinan terhadap potensi teknologi informasi untuk mendukung
kemampuan semua individu dalam organisasi untuk dapat akses pada gagasan, informasi,
dan pengalaman karyawan lain atau pihak lain diluar organisasi pada aspek ini ada dua
peran perpustakaan,dokumentasi dan informasi, yaitu :
1. peningkatan akses melalui penelusuran berbagai informasi dan pengetahuan dari
berbagai sumber dan secara proaktif, berdasarkan analisis historis permintaan para
pengguna, menyampaikan informasi dan pengalaman tersebut pada pengguna.
2. peningkatan akses melalui pemberian saran alternatif cara memperoleh dan bentuk
informasi serta pengalaman yang dibutuhkan pengguna.
2. Refleksi atas tindakan masa lalu .
Seperti kita ketahui bersama bahwa kemampuan penciptaan pengetahuan organisasi juga
bergantung pada evaluasi pengalaman masa lalu oleh karyawan, yang menyebabkan
peningkatan pemahamannya atas bagaimana suatu kejadian dan akibat pengalaman masa
lalu bermanfaat pada masa kini pada aspek ini peran nya adalah meningkatkan
kemungkinan untuk terjadinya refleksi melalui pemberian induksi berupa informasi dan
pengalaman pihak lain pada pengguna/peneliti internal untuk digunakan dalam proses
menggugat dan merekonstruksi perspektif, keputusan, dan pengalaman selama ini.
3. Kemampuan menyerap.
Diketahui bahwa kemampuan mengasimilasikan pengetahuan baru bergantung pada
kenyataan apakah individu-individu telah memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan
pengetahuan yang baru diterima sehingga memungkinkan mereka untuk memahami dan
menyerap informasi baru yang dipindahkan pada mereka peran perpustakaan adalah
meningkatkan kemampuan penyerapan pengetahuan melalui secara proaktif memberikan
informasi dan pengalaman orang lain yang relevan dengan bidang kompetensi yang
sedang didalami oleh pengguna/peneliti saat ini.
4. Kemampuan belajar.
Rekombinasi produktif yang terjadi di organisasi bergantung pada kemampuan karyawan
belajar dari perubahan-perubahan dan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh
karyawan dalam organisasi. Bila karyawan terus menerus belajar dan selalu mengikuti
perubahan-perubahan teknologi atau pengetahuan pada aspek ini adalah meningkatkan
kemampuan belajar individu-individu melalui pemberian informasi dan pengalaman
pihak lain yang terkini (up to date) atau (current information) pada para pengguna.
5. Persepsi bahwa kegiatan pertukaran dan kombinasi pengetahuan adalah
berharga.
Tidak semua peneliti atau karyawan aktif mencari informasi, bahkan informasi yang telah
tersediapun belum tentu dibaca, maka bila peneliti atau karyawan menggunakan
informasi yang dapat diakses, maka karyawan/peneliti harus percaya bahwa sesuatu yang
berharga akan dihasilkan dari upayanya mengkombinasikan dan mempertukarkan
pengetahuan pada aspek ini meningkatkan motivasi para pengguna untuk memanfaatkan
seluruh fasilitas perpustakaan yang ada dan menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa
perpustakaan akan meningkatkan kualitas dan kelancaran kerja para pengguna.
Seperti telah dikatakan oleh Prusak perpustakaan, pusat dokumentasi tidak akan dapat
menjalankan perannya tersebut bila tidak dikelola oleh pustakawan yang secara proaktif
mendukung terselenggaranya strategi organisasi melalui pemahamannya atas kompetensi
inti dan strategi organisasi, serta infomasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memperkokoh kompetensi inti organisasi dan terselenggaranya strategi organisasi.
Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) Yang Dinamis
Merebaknya fenomena manajemen pengetahuan merupakan kritik langsung kesalah
pahaman karena pengetahuan tidak diartikan sebagai benda mati, sebagaimana kalimat
berikut ini tentang pengetahuan:
the potentiality of values as it exists in various components or flows of overall
capital in a firm, the relationships and synergistic modulations that can augment the
value of that capital, and the application of its potential to real business tasks(it) in
cludes an organizations unrefined knowledge assets as well as wealth generating assets
whose main component is knowledge (Society of Management Accountants of
Canada,1999).
Potensi nilai yang ada pada berbagi komponen atau proses (aliran) keseluruhan modal
dalam sebuah perusahaan, antar hubungan dan penyesuian-penyesuian sinergis yang bisa
meningkatkan nilai modal tersebut, dan penerapan potensi tersebut pada tugas-tugas
bisnis yang sesungguhnya (ini) mencakup pula modal pengetahuan organisasi yang
belum diolah, dan modal yang mendatangkan keuntungan dan yang komponen utamanya
adalah pengetahuan.
Definisi di atas mengandung aktifitas dan dinamika serta penerapan pengetahuan kepada
tugas-tugas yang sesungguhnya, bukan sesuatu yang diam. Beberapa penulis, misalnya
Malhotra (2000) mengingatkan bahwa dinamika penerapan pengetahuan saat ini
merupakan konsekuensi logis dari kehidupan organisasi yang harus selalu menyiapkan
respon terhadap lingkungan yang bercirikan dua hal yaitu:
Kerumitan atau kompleksitas, disebabkan oleh peningkatan jumlah, keragaman dan
saling ketergantungan antara berbagai entitas di dalam lingkungan sebuah organisasi.
Gejolak lingkungan atau turbulensi, ditentukan oleh semakin cepatnya siklus (cycle-time)
dari setiap kejadian atau peristiwa.
Kompleksitas dan gejolak lingkungan, serta tingkat pertumbuhan absolut keduanya, akan
sangat meningkat dimasa mendatang. Dalam keadaan seperti ini, menurut Malhotra,
banyak organisasi memiliki sistem informasi yang pada umumnya memakai model
manajemen informasi untuk keperluan :
Mengupayakan agar pangkalan data pengetahuan dan para pemiliknya secara terus
menerus disesuaikan dengan perubahan lingkungan eksternal.
Memberitahu para pegawai atau anggota organisasi tentang perubahan-perubahan
terakhir, baik dalam produk maupun prosedur untuk menghasilkan sebuah produk.
Namun, didalam lingkungan yang kompleks dan bergejolak ada beberapa persoalan yang
muncul dari model seperti ini, yaitu:
Manajer mampu mengendalikan kegiatan organisasi kalau ia memiliki pengetahuan,
tetapi dalam lingkungan yang serba bergejolak dan perubahannya berita tidak sinambung
(discontinuous), maka seringkali manajer maupun organisasi tempatnya bekerja tidak
Jadi organisasi- organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya perhatian
kepada apa yang selama ini dikenal sebagai modal sosial yaitu:
Jaringan hubungan pribadi antar lintas, yang berkembang perlahan-lahan sebagai
landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan tindakan kolektif dari sebuah komunitas;
Dalam bidang perpustakaan, Abell dan Oxbrow (2001) mengidentifikasi lima hambatan
yang menyebabkan kurangnya keterlibatan profesional informasi dalam manajemen
pengetahuan. Pertama, adalah kenyataan bahwa manajemen pengetahuan hampir selalu
digerakkan oleh sebuah tim perencanaan strategis yang beranggotakan anggota-anggota
senior, sementara pustakawan tidak dilibatkan karena kedudukan mereka dianggap tidak
langsung behubungan dengan strategi organisasi. Kedua, konsep manajemen pengetahuan
kultur kerja dan lewat pembelajaran organisas sesuatu yang oleh pustakawan sendiri
dianggap berada di luar bidangnya. Ketiga, manajer senior dalam sebuah organisasi
cenderung menganggap bahwa pustakawan hanya bisa dikaitkan dengan perpustakaan
dalam pengertian tradisional. Keempat, pustakawan sendiri tidak merasa perlu
mengubah persepsi ini dan menganggap bahwa manajemen pengetahuan adalah sematamata buzzword yang akan hilang dengan sendirinya. Kelima, ada pola pikir yang sudah
baku (mindset) di kalangan pustakawan yang sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan lingkungan kerja organisasi. Salah satu pola pikir itu adalah bahwa
pustakawan menyediakan jasa, sementara lingkungan kerja yang baru membutuhkan
mitra kerja, bukan penyedia jasa saja.
Dari sisi pandang yang lebih kritis lagi, Birkinsaw (2001) bahkan mengidentifikasi 3 hal
dalam manajemen pengetahuan yang merupakan kegiatan lama dalam bungkus baru
yaitu:
Pengelolaan pengetahuan sudah berlangsung sejak awal berdirinya sebuah organisasi.
Cara sebuah organisasi menentukan struktur dan hirarki anggota sudah merupakan upaya
mengelola pengetahuan dan menempatkan orang-orang yang berpengetahuan sama di
satu tempat. Kelompok-kelompok informal sudah sejak lama ada di berbagai organisasi,
dan menjadi tempat bagi petukaran informasi dan pengetahuan yang efektif, persoalannya
sekarang adalah mengidentifikasi hal-hal tersebut dan membuatnya lebih efektif lagi.
Manajemen pengetahuan merupakan proses panjang dan lama, yang mencakup
perubahan perilaku semua anggota sebuah organisasi. Upaya mengubah peilaku ini
bukanlah kegiatan masa kini saja, persoalannya sekarang adalah mensinkronkan upaya
perubahan ini dengan keseluruhan strategi pelaksanaan organisasi.
Beberapa teknik manajemen pengetahuan sudah dilakukan sejak dulu, misalnya
pengaktifan komunitas praktisi sudah sejak lama menjadi perhatian dari hubungan
masyarakat internal (internal public relations), dan pangkalan data pengetahuan
memperlihatkan cirri-ciri yang sama dengan pangkalan data dalam sebuah system
informasi, persoalannya sekarang adalah bagaimana teknik-teknik manajemen
pengetahuan ini yang mirip dengan teknik-teknik tradisional terus relevan dengan
perubahan organisasi.
Selain tiga hal diatas, Birkinsaw juga menggarisbawahi tiga kenyataan yang sangat
mempengaruhi berhasil-tidaknya manajemen pengetahuan. Pertama, penerapannya tidak
hanya menghasilkan pengetahuan baru tetapi juga mendaur-ulang pengetahuan yang
sudah ada. Kedua, teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsifungsi jaringan sosial antar anggota organisasi. Ketiga, sebagian besar organisasi tidak
pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui, banyak pengetahuan penting yang
harus ditemukan lewat upaya-upaya khusus, padahal pengetahuan itu sudah dimiliki
sebuah organisasi sejak lama.
Dalam hirarki tersebut, tingkat paling rendah adalah simbol (symbol) dan yang paling
tinggi adalah kapabilitas organisasi (organization capability), semakin keatas
pengertiannya semakin mendalam (terjadi proses pengayaan/enrichment).
Simbol hanya berupa kode-kode, seperti 9 , 5 , 0 , 0.
Simbol ini, apabila diberi sintaks akan menjadi Data, misalnya Rp 9500 yang berarti
nilai uang dari negara Indonesia, Rupiah.
Bila
Data
dikategorisasi
atau
diberi
konteks,
maka
ia
akan
menjadi Informasi (Information), misalnya nilai tukar Rupiah terhadap US$ adalah Rp.
9500.
Selanjutnya, apabila serangkaian Informasi saling dikaitkan dan distrukturkan hingga
pengetahuan ini sangat penting dalam proses kreasi dan akusisi pengetahuan dari satu
individu ke individu lainnya atau dari satu organisasi/perusahaan ke
organisasi/perusahaan lainnya. Terdapat 4 cara konversi pengetahuan, yaitu:
1) Sosialisasi; 2) Eksternalisasi; 3) Kombinasi; dan 4) Internalisasi. Ke-4 konversi
pengetahuan ini dikenal juga dengan spiral SECI (Socialization Externalization
Combination Internalization).
Sosialisasi, merupakan konversi pengetahuan terbatinkan ke pengetahuan terbatinkan.
Karena pengetahuan terbatinkan itu seifatnya sangat kontekstual dan melekat pada diri
seseorang serta sulit diformalkan, maka konversi dari satu individu ke individu lainnya
hanya bisa dilakukan melalui pengelaman dalam kegiatan bersama misalnya melalui
kerja magang, pendampingan, on-the-job-training atau kegiatan sejenis lainnya.
Eksternalisasi, merupakan konversi pengetahuan terbatinkan ke pengetahuan eksplisit.
Dalam proses eksternalisasi, pengetahuan terbatinkan diekspresikan dan diterjemahkan
menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga dapat
dimengerti oleh pihak lain. Sebagai contoh menyiapkan bahan presentasi dalam bentuk
slide power point. Akan tetapi, karena pengetahuan terbatinkan bersifat kontekstual,
maka proses konversinya tidak akan lengkap/sempurna.
Kombinasi, merupakan konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit. Dengan
cara ini, pengetahuan dipertukarkan melalui media-media, misalnya melalui majalah,
buku, media internet, dsbnya.
Internalisasi, merupakan konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan terbatinkan.
Salah satu caranya adalah dengan belajar sambil melakukan (learning by doing). Melalui
belajar sambil melakukan, pengetahuan eksplisit akan terinternalisasi menjadi
pengetahuan terbatinkan.
Proses Pengelolaan Pengetahuan (KMS Process). Setelah mengetahui apa itu
pengetahuan, jenis-jenisnya, tingkatannya serta proses konversinya, maka selanjutnya
akan dibahas mengenai proses pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management
System Process). Pengelolaan pengetahuan dalam organisasi terdiri dari 7 proses, yaitu:
1) Penetapan Sasaran Pengetahuan; 2) Evaluasi Pengetahuan; 3) Akusisi Pengetahuan;
4) Pengembangan Pengetahuan; 5) Distribusi Pengetahuan; 6) Pemanfaatan
Pengetahuan; dan 7) Pemeliharaan Pengetahuan.
Penetapan Sasaran Pengetahuan. Tujuan proses ini adalah menentukan jenis dan
tingkat pengetahuan yang diperlukan oleh suatu organisasi. Jenis dan tingkat pengetahuan
yang diperlukan tersebut dapat diketahui dengan melihat: 1) Sasaran dan strategi
organisasi; 2) Kelemahan organisasi; 3) Key sucess factor organisasi; 4) Value chain
organisasi. Penjelasannya adalah sbb: Pada dasarnya setiap organisasi (baik itu berupa
perusahaan, unit kerja dalam perusahaan maupun organisasi sosial) memiliki sasaran
yang hendak dicapai. Untuk mencapai sasaran tersebut, organisasi menyusun suatu
strategi. Agar strategi bisa berjalan, organisasi membutuhkan berbagai sumber daya
termasuk sumber daya pengetahuan. Jadi, pengetahuan yang dibutuhkan oleh suatu
organisasi dapat diperoleh dengan melihat sasaran dan strategi organisasi tersebut. Selain
itu, pengetahuan yang diperlukan oleh organisasi juga dapat diketahui dengan melihat apa
yang menjadi kelemahan organisasi tersebut dibandingkan dengan pesaingnya, hal ini
disebabkan pengetahuan yang seharusnya diperlukan tetapi tidak dimiliki organisasi akan
menjadi kelemahan organisasi tersebut. Selain itu, identifikasi pengetahuan yang
diperlukan oleh organisasi dapat juga dilakukan dengan melihat faktor kunci sukses (key
success factor KSF) dari organisasi tersebut. KSF merupakan faktor-faktor yang harus
dimiliki suatu organisasi agar bisa menjadi pemain yang diperhitungkan. Jadi dengan
mengetahui KSF, dapat diidentifikasi ragam pengetahuan yang diperlukan. Pendekatan
lainnya untuk mengetahui pengetahuan yang diperlukan organisasi adalah dengan
memanfaatkan diagram rantai nilai (value chain) yang dikembangkan oleh Michael
Porter. Dalam rantai nilai, terdapat 5 kegiatan utama (primary activities) dan 4 kegiatan
pendukung (support activities). Masing-masing kegiatan memiliki indikator kinerja.
Kinerja tersebut bisa dicapai jika organisasi tersebut memiliki pengetahuan yang yang
diperlukan, sebaliknya jika kinerja tidak tercapai, maka kemungkinan organisasi belum
memiliki pengetahuan yang diperlukan.
Evaluasi Pengetahuan. Proses ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi
pengetahuan yang sudah dimiliki organisasi dan sekaligus mengukur tingkat pengetahuan
yang dimiliki tersebut. Hasil evaluasi pengetahuan kemudian dibandingkan dengan
pengetahuan yang seharusnya dimiliki organisasi yang diperoleh dari proses sebelumnya
(penetapan sasaran pengetahuan), sehingga dapat diketahui apakah organisasi tersebut
sudah memiliki pengetahuan yang memadai atau tidak. Evaluasi pengetahuan yang
dimiliki organisasi dapat dilakukan dengan melihat: 1) Kekuatan dan kelemahan
organisasi; dan 2)Value chain organisasi. Kekuatan organisasi menunjukan bahwa
ragam pengetahuan yang dimiliki lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya, sebaliknya
kelemahan akan menunjukan bahwa pengetahuannya masih dibawah pesaingnya. Pada
diagram rantai nilai (value chain), setiap kegiatan (baik kegiatan primer maupun kegiatan
pendukung) memiliki indikator yang merupakan ukuran keberhasilan yang ditetapkan.
Jika kinerja tercapai berarti pengetahuan yang dimiliki organisasi sudah memadai,
sebaliknya jika tidak tercapai, maka berarti pengetahuan organisasi masih belum
memadai dibandingkan dengan yang dibutuhkan.
Akusisi Pengetahuan. Melalui penetapan sasaran pengetahuan dan evaluasi
pengetahuan, dapat diketahui jenis dan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki
organisasi dan pengetahuan yang belum dimiliki namun sangat diperlukan untuk
mencapai sasaran organisasi (kesenjangan pengetahuan). Akusisi pengetahuan
merupakan kegiatan untuk memperkecil/menghilangkan kesenjangan ini. Proses akusisi
pengetahuan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pelatihan, riset, kerja
sama dengan organisasi lain, perekrutan tenaga profesional, konsultasi,
seminar/workshop, dsbnya.
Pengembangan Pengetahuan. Perlu diketahui, bahwa tidak semua pengetahuan yang
diperlukan organisasi tersedia di lingkungan eksternal. Hal ini umumnya terjadi pada
perusahaan yang menjadi pemimpin pasar, atau pada perusahaan yang beroperasi pada
lingkungan yang sangat turbulen. Jika hal ini terjadi, maka organisasi harus
mengembangkan sendiri pengetahuan yang diperlukannya tersebut.
Distribusi Pengetahuan. Seorang karyawan yang baru pulang dari mengikuti pelatihan
atau workshop misalnya, seringkali hanya menyimpan saja pengetahuan yang baru
dimilikinya tersebut untuk dirinya sendiri dan tidak membaginya dengan karyawan
lainnya, sehingga di organisasi tersebut hanya dia sendiri yang mngetahui pengetahuan
baru tersebut. Dibanyak organisasi, kejadian ini sering kali ditemukan, jadi tidak heran
jika banyak organisasi yang memiliki anggaran pelatihan yang besar tetapi tidak mampu
menunjukan kinerja yang baik. Dalam proses distribusi pengetahuan, diharapkan setiap
karyawan dapat berbagi pengetahuan baru yang dimilikinya. Dengan distribusi
pengetahuan diharapkan agar pengetahuan yang dimiliki oleh seorang karyawan dapat
disebarkan ke sebanyak mungkin karyawan lainnya di organisasi. Distribusi pengetahuan
tidak hanya terjadi antara individu karyawan, tetapi bisa juga antara unit kerja. Banyak
organisasi yang memiliki keunggulan pada salah satu unit kerjanya. Unit kerja yang
unggul tersebut dapat menularkan keunggulannya melalui penyebaran pengetahuan dan
pengalamannya ke unit kerja lainnya.
Pemanfaatan Pengetahuan. Pengetahuan yang baru diperoleh baik melalui proses
akusisi (eksternal) maupun melalui proses pengembangan dan distribusi (internal) baru
akan bermakna jika pengetahuan baru tersebut dimanfaatkan atau diaktualisasikan dalam
kegiatan sehari-hari di organisasi. Proses pemanfaatan pengetahuan ini dilakukan melalui
asimilasi/kombinasi pengetahuan baru dengan pengetahuan/pengalaman yang sudah
dimiliki sebelumnya dalam bentuk cara pandang baru, cara kerja baru atau kebijakan
baru.
Pemeliharaan Pengetahuan. Pengetahuan yang sudah dimiliki organisasi baik melalui
akusisi maupun pengembangan harus dipelihara sehingga tidak hilang dan terlupakan.
Pengetahuan bisa hilang karena adanya perubahan personil yang memiliki pengetahuan,
misalnya karena promosi, mutasi, pensiun, mengundurkan diri atau karena meninggal
dunia. Pengetahuan yang ada juga bisa terlupakan jika tidak ada lagi kegiatan organisasi
yang membutuhkan pengetahuan tersebut. Proses penyimpanan pengetahuan merupakan
kegiatan yang ditujukan untuk memastikan bahwa pengetahuan organisasi selalu
terpelihara dan tersimpan dalam bentuk yang mudah diakses, misalnya dalam bentuk
electronic file, tata kerja, working file, dsbnya.
KMS dan Teknologi Informasi. Banyak orang menganggap Pengelolaan Pengetahuan
(KMS) identik dengan Teknologi Informasi. Anggapan ini merupakan kesalahan besar.
Memang benar teknologi informasi dapat sangat mendukung KMS, akan tetapi tanpa
teknologi informasipun proses KMS bisa dijalankan di organisasi. Begitu pula
sebaliknya, adanya teknologi informasi dalam suatu organisasi belum tentu proses KMS
sudah dijalankan di organisasi tersebut. Sehubungan dengan hal ini, kehadiran software
aplikasi KMS yang ada seperti Open Source CMS atau Microsoft Sharepoint
Portal menurut pendapat saya hanya mendukung sebagian proses KMS yakni proses
Distribusi Pengetahuan (Proses No 5) dan Pemeliharaan Pengetahuan
Diposkan oleh albi risya di 05.11 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Rekomendasikan
Google
ini
di
Mungkin salah satu pertanyaan yang paling menarik untuk dibahas seputar Knowledge
Management ialah judul artikel ini. Kapan kita butuh Knowledge Management ?
Pertanyaan ini menjadi penting bagi perusahaan atau organisasi yang baru mengenal
Knowledge Management dan sedang berfikir untuk menerapkan Knowledge
Management. Jawaban saya singkat saja. Anda membutuhkan Knowledge Management
ketika organisasi atau perusahaan anda ingin berkembang, tidak melakukan hal yang ituitu saja, membutuhkan profit tambahan atau sekedar bertahan dari serangan bisnis
pesaing yang terus menggerogoti pangsa pasar. Ok, saya tahu ini tidak masuk akal.
Semua organisasi dan perusahaan pasti menginginkan hal tersebut. Siapa yang tidak mau
eksis di bidangnya ? siapa yang mau neraca laba rugi menjadi minus ? siapa yang ingin
mengubur bisnis yang sudah dipertahankan bertahun-tahun lamanya. Tidak ada rasanya.
Jadi pertanyaannya bukan kapan kita butuh Knowledge Management tapi kenapa kita
belum melakukannya ? :)
Akan tetapi banyak perusahaan menginginkan jawaban yang lebih membumi. Berikut
beberapa alasan mendasar mengapa kita memang butuh Knowledge Management.
1. Ketika banyak terjadi reinventing the wheel.
Istilah reinventing the wheel sudah menjadi kalimat yang sering didengar, khususnya di
dunia konsultan. Bahkan untuk konsultan sekelas McKinsey Consulting dan Boston
Consulting Group, reinventing the wheeladalah masalah serius. Reinventing the
wheel secara singkat mengacu pada keadaaan dimana kita melakukan sesuatu yang sudah
pernah kita lakukan. Kita dalam perspektif ini bisa pribadi, kelompok atau perusahaan.
Saya sudah menceritakan sedikit pengalaman tentang reinventing the wheel di sini.
Ketika kita melakukan pekerjaan atau project maka yang seringkali dilakukan adalah
mencari keluarorganisasi atau perusahaan terkait pengalaman atau sumber acuan.
Alasannya simple saja. Dengan era keterbukaan seperti sekarang, maka Google adalah
tools yang paling powerfull untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, kita tidak sadar
bahwa pengetahuan yang kita butuhkan mungkin saja ada di dalam organisasi atau
perusahaan kita sendiri. Dalam bukunya, The McKinsey Mind (buku tersedia di KM
Online Library), Ethan M Rasiel dan Paul N. Friga menyebutkan langkah pertama yang
harus dilakukan oleh konsultan McKinseyadalah mencari tahu apakah project yang
sedang dikerjakan sudah pernah dikerjakan oleh konsultanMcKinsey lainnya karena kita
tidak pernah tahu kemungkinan entah kapan atau dibagian mana dari organisasi kita yang
pernah atau bahkan saat ini sedang mengerjakan hal serupa. Reinventing the wheel juga
berlaku bagi kesalahan dan kegagalan. Pepatah mengatakan bahkan keledai pun tidak
akan jatuh dua kali pada lubang yang sama.
Untuk kasus ini, peranan Knowledge Management adalah membantu perusahaan dan
organisasi untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka ketahui. Dengan tidak
mengulang pekerjaan serta menghindari kesalahan dari pengalaman maka organisasi akan
belajar dan beradaptasi jauh lebih cepat dari pesaingnya. Don't reinvent the wheel, just
realign it. Reinventing the wheel adalah fenomena pasti dalam suatu bisnis. Kita tidak
bisa menghindarinya tetapi kita bisa mengurangi kemungkinan terulang secara terus
menerus.
menyimpan originalnya, maka lebih baik fokus untuk membuat tiruannya. Caranya dapat
dengan
melakukan team
up antara
anggota
senior
dengan
junior;
mendokumentasikan best
practice dan lesson
learnt;
membangun
kebiasaan sharing minimal 1 minggu sekali; konsisten menjalankan After Action Review;
menunjuk Knowledge Librarian untuk mendokumentasikan hasil project dan lainnya.
Inisiatif yang dipilih dapat disesuikan dengan budaya dan strategi perusahaan. Tidak
perlu mengubah, kita hanya perlu memastikan pengetahuan yang sudah dibangun dan
didapatkan perusahaan dengan susah payah keluar atau hilang karena kemalasan menjaga
pengetahuan itu sendiri.
Perusahaan-perusahaan Jepang adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang
berhasil mencegah terjadinya knowledge walkout. Dengan penghargaan tinggi pada
kesetian dan loyalitas, lingkungan yang mendukung pembelajaran terus menerus,
penciptaan ba atau ruang untuk mengalirkan pengetahuan telah membuat
tingkat knowledge lost ditekan hingga minimum. Matsushita, Toyota, dan Sony adalah
sebagian dari perusahaan tersebut.
3. Ketika inovasi menjadi prioritas
Setiap perusahaan dan organisasi pasti mengalami masa-masa ketika produk yang dijual
tidak laku dipasar; pesaing yang melakukan cara-cara radikal untuk mengikis portofolio
profit; business as usual tidak berlaku lagi; persaingan yang terjadi hanya dalam bentuk
harga paling murah dan keadaan ekstrim lainnya. Keadaan ini lebih dikenal sebagai red
ocean, samudra merah karena darah dari penghuninya yang setengah mati bertahan
hidup. Red ocean adalah mimpi buruk semua pebisnis. Saat itu, segala yang dilakukan
tidak lagi akan dilihat sebagai suatu kelebihan, hanya harga yang menjadi perhitungan.
Pertumbuhan terhenti karena kue yang diperebutkan hanya secuil itu saja. Pengusaha
dalam posisi tawar yang rendah sementara konsumen menikmati produk yang semakin
murah harganya. Solusi yang diperkenalkan secara luas oleh W. Chan Kim dan Renee
Mauborqne adalah dengan segera keluar dari red ocean, menciptakan pasar baru dan
secara nyaman berenang disana. Strategi ini dikenal sebagai blue ocean strategy. Dan
inovasi adalah salah satu nyawa paling penting untuk memastikan keberhasilan blue
ocean strategy.
Saya tidak akan membahas blue ocean strategy disini. Hal yang menarik justru bagi saya
ialah bagaimana Knowledge Management membantu perusahaan untuk menciptakan
inovasi. Jika melihat lebih detail, kita akan sadar bahwa inovasi adalah inti dari
Knowledge Management. Inisiatif Knowledge Management akan dinyatakan berhasil jika
memiliki nilai tambah. Artinya, seluruh tools, inisiatif dan kegiatan yang dilakukan atas
nama Knowledge Management haruslah memiliki nilai tambah sebagai hasil akhirnya.
Sangat sesuai dengan inovasi kan ? :)
Bagaimana Knowledge Management dapat menghasilkan inovasi ? Untuk menjawab hal
itu kita perlu melihat lebih jauh bagaimana proses inovasi terbentuk. Secara singkat,
inovasi dapat terbentuk dari berbagai cara. Inti dari inovasi sendiri adalah penciptaaan
nilai tambah secara konsisten, fokus dan terstruktur. Untuk menjelaskan bagaimana
inovasi terbentuk, penjelasan yang paling mudah adalah dengan mengacu pada SECI
yang dikenalkan oleh Nonaka dan Takeuchi dalam bukunya, The knowledge creating
company: how Japanese companies create the dynamics of innovation. Saya membahas
tentang SECI di artikel lainnya.
Proses terjadinya inovasi sendiri cukup sederhana. Ide-ide dikumpulkan dari seluruh
organisasi kemudian ide yang dianggap dapat memberikan nilai tambah diusulkan
menjadi inovasi baru dan dilanjutkan ke tingkat manajemen yang lebih tinggi seperti
RnD. Inovasi ini kemudian diuji lagi, dikembangkan lebih lanjut, penerapan skala kecil
hingga siap digunakan dalam proses bisnis. Rangkaian proses ini terlihat mudah dan
sederhana, tetapi penerapannya sangat sulit. Terkadang proses inovasi terhenti hanya
pada tahap uji coba atau bahkan hanya berupa saran tanpa tindak lanjut.
Disinilah peranan Knowledge Management menjadi terlihat. Dengan pendekatan
komunitas yang berfokus pada manusia, ide-ide dapat terjaring dari seluruh anggota
organisasi. Bentuk komunitas yang sering digunakan sebagai acuan adalah Community of
Practice (CoP). Melalui lingkungan komunitas yang terbuka dan mengedepankan
perbaikan, ide-ide awal dikumpulkan, disaring, didiskusikan, diuji. Pendekatan yang
mudah dan aplikatif, menjadikan CoP dapat digunakan oleh seluruh organisasi, bahkan di
tingkat pelaksana. Salah satunya ialah klien kami, perusahaan yang bergerak di
bidang food and beverages.
Sekitar 3 tahun yang lalu kami membantu mereka dalam menerapkan CoP di
organisasinya. Salah satunya ialah bagi sopir truk yang bertugas mengantar produk ke
pelanggan. Awalnya, sopir-sopir dikumpulkan di ruangan terbuka dimana kami dan
mereka duduk lesehan di karpet sederhana, dengan seteko kopi dan beberapa piring
pisang goreng. Sangat sederhana. Kami menjelaskan secara singkat apa maksud dan
tujuan acara kumpul-kumpul ini. Mereka hanya diminta berkenalan dan mengobrol apa
saja pada awalnya. Suasana dibangun dengan sederhana dan tanpa paksaan. Tidak ada
perintah untuk memberikan ide atau perbaikan. Hanya ngobrol selayaknya warung kopi
biasa. Setelah 1 jam, pertemuan selesai. Hasilnya tidak begitu menggembirakan. Semua
orang merasa tertekan dan tidak ada yang santai. Kami tidak menyerah. Pertemuan
dilakukan lagi minggu depan. Masih di tempat yang sama, karpet yang sama dan
makanan yang sama. Setelah 3 kali pertemuan, hasilnya masih kurang memuaskan. Tidak
ada yang didapatkan dari pertemuan ini. Perkembangannya hanya sopir-sopir yang sudah
saling mengenal dan mulai nyaman ngobrol. Pendekatan diubah. Manajemen dan kami
sebagai konsultan, tidak lagi ikut di CoP itu. Sebagai gantinya, kami mengundang
beberapa orang yang dinilai sebagai senior dan memiliki hubungan baik dengan sebagian
sopir. Kepada para core member ini kami menjelaskan makna dan tujuan CoP.
Selanjutnya terserah pada mereka untuk menjelaskan ke komunitas.
Hasilnya, setahun kemudian CoP sopir itu sudah jauh berbeda. Ketika kami datang,
mereka tidak lagi malu-malu atau takut. Bahkan kami dianggap tidak ada. Mereka asyik
diskusi tentang trik-trik memuat barang di salah satu toko, jalur-jalur yang perlu
diwaspadai, memperbaiki mesin dan topik aplikatif lainnya. Kini, manajemen
melaporkan bahwa tingkat efisiensi dan kecepatan pengantaran barang meningkat secara
drastis. Tidak hanya itu, turn over sopir juga menurun jauh. Dengan hanya seteko kopi,
beberapa piring pisang goreng, 1 jam waktu senggang serta paling penting sopir-sopir
yang ingin terus memperbaiki diri, klien kami mendapatkan apa yang tidak bisa
dilakukan dengan pendekatan manajemen biasa.
Itulah inovasi. Sebuah perjalanan dan tahapan yang terlihat mudah tetapi sangat sulit
diterapkan. Apa kunci dari ini semua ? Jawabannya adalah keterlibatan seluruh
organisasi, khususnya komunitas. Tapi komunitas tidak akan terwujud tanpa dukungan
manajemen yang menyeluruh dan konsisten. Hal yang sama juga dapat menjawab
pertanyaan kapan anda membutuhkan Knowledge Management. Semua harus dimulai
dari manajeman, khususnya pimpinan organisasi.