Anda di halaman 1dari 23

Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)

Dan Proses Penciptaan Pengetahuan


Setelah era efisiensi pada tahun 1950an dan 1960an, era kualitas pada tahun 1970an dan
1980an,serta fleksibilitas dalam tahun 1980an dan 1990an, maka kini hidup dalam era
inovasi (Janszen,2000). Era inovasi ini muncul karena situasi bisnis saat ini dipengaruhi
oleh banyak sekali perubahan yang berjalan cepat dan sulit diramalkan, perubahan
perubahan tersebut terutama disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi
informasi, terjadinya globalisasi, serta demokratisasi (Business Week,2001: Garvin,
2000 ; Schiro 2000). Disektor pemerintah, tuntutan terhadap pelayanan publik dan
transparansi menjadi suatu hal yang tak dapat dihindari (Schiro,2000), oleh sebab itu
organisasi harus terus menerus mencari cara untuk menciptakan dan mewujudkan nilai
(value) melalui inovasi (Janszen,2000 ; Yoffie,1997).
Istilah inovasi telah didefinisikan oleh Josepth Schumpeter sebagai : komersialisasi
semua kombinasi yang didasari oleh pemanfaatan (1) bahan dan komponen baru, (2)
proses baru, (3) pasar baru, dan (4) bentuk organisasi baru (Janszen,2000). Dengan kata
lain, menurut definisi ini,inovasi merupakan komposit dari kedua bidang ,yaitu bidang
teknis dan bidang bisnis. Bila hanya melibatkan teknologi, maka Schumpeter
menamakannya invensi (invention), begitu bidang bisnis dilibatkan, maka muncul inovasi
(innovation).
Berbagai rujukan mendukung adanya indikasi bahwa inovasi menjadi indicator adanya
proses penciptaaan pengetahuan baru di organisasi. Nonaka dan Takeuchi (1995)
mengemukakan bahwa penciptaan pengetahuan merupakan esensi dari inovasi :
organizational knowledge creation is the key to the distinctive ways of Japanese
companies innovate. They are especially good at bringing about innovation
continuously ,incrementally,and spirally.
Pengertian Pengetahuan
Davenport dan Prusak (1998) membedakan pengertian antara data, informasi dan
pengetahuan yaitu : knowledge is neither data nor information, though it related to
both, and the differences between these terms are often a matter of degree.
1. Data is a set of discrete,objective facts about events.
Seperti yang dicontohkan oleh Davenport dan Prusak, bila seseorang pelanggan datang
untuk mengisi tanki mobilnya ke pompa bensin, maka transaksi yang terjadi dapat
digambarkan sebagian oleh data, yaitu berapa uang yang harus dibayarkan, berapa liter
bensin yang diisikan, namun tidak menjelaskan mengapa pelanggan itu datang ke pompa
bensin, kualitas pelayanan pompa bensin, dan tidak dapat meramalkan kapan lagi
pelanggan tersebut akan kembali ke pompa bensin. Dalam organisasi, data terdapat dalam
catatan-catatan (records) atau transaksi-transaksi.

2. Information is data that makes a difference.


Kata inform sejatinya berarti to give shape atau untuk memberi bentuk, dan informasi
ditujukan untuk membentuk orang yang mendapatkannya, yaitu untuk membuat agar
pandangan atau wawasan orang tersebut berbeda (dibandingkan sebelum memperoleh
informasi). Sebagai contoh pelanggan mengisi tanki mobilnya dengan bensin premix,
bukan premium, pernyataaan tersebut merupakan informasi. Menurut Peter Drucker,
tidak seperti data, informasi mempunyai makna (meaning) yang ditimbulkan oleh
relevansi dan tujuan yang diberikan oleh penciptanya. Misalnya pembei informasi
menyampaikan bahwa pelanggan mengisi tanki mobilnya dengan bensin premix, bukan
premium, mengandung tujuan tertentu yang dikaitkan dengan lawan bicara, atau
mengandung relevansi tertentu yang dikaitkan dengan lawan bicara, atau mengandung
relevansi tertentu yang dikaitkan dengan topic pembicaraan. Davenport dan Prusak
memberikan metode mengubah data menjadi informasi melalui kegiatan yang dimulai
dengan huruf C: contextualized, calculated, corrected, dan condensed. Dalam organisasi,
infomasi terdapat dalam pesan (messages).
3. Knowledge is a fluid mix of framed experience, values, contextual information,and
expert insight that provides a framework for evaluating and incorporating new
experiences and information. It originates and is applied in the minds of knowers. In
organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories but also
in organizational routines, processes, practices, and norms.
Davenport dan Prusak memberikan metode mengubah informasi menjadi pengetahuan
melalui kegiatan yang dimulai dengan huruf C: comparation, consequences, connections,
dan conversation. Dalam organisasi, pengetahuan diperoleh dari individu-individu atau
kelompok orang-orang yang mempunyai pengetahuan, atau kadang kala dalam rutinitas
organisasi. Pengetahuan diperoleh melalui media yang terstuktur seperti: buku dan
dokumen, hubungan orang-ke-orang yang berkisar dari pembicaraan ringan hingga
ilmiah.
Dalam buku yang ditulis oleh Von Krogh, Ichiyo, serta Nonaka 2000,disampaikan
ringkasan gagasan yang mendasari pengertian mengenai pengetahuan:
pengetahuan merupakan justified true believe.
Seorang individu membenarkan (justifies) kebenaran atas kepercayaannya berdasarkan
observasinya mengenai dunia. Jadi bila seseorang menciptakan pengetahuan, ia
menciptakan pemahaman atas suatu suatu situasi baru dengan cara berpegang pada
kepercayaan yang telah dibenarkan. Dalam definisi ini, pengetahuan merupakan
konstruksi dari kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan
pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang
unik pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaaan pengetahuan
melibatkan perasaan dan system kepercayaan (belief systems) dimana perasaan atau
system kepercayaan itu bisa tidak disadari.
2. pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terbatinkan (tacit).

Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di kertas, diformulasikan dalam bentuk kalimatkalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula pengetahuan yang
terkait erat dengan perasaan, keterampilan dan bentuk bahasa utuh, persepsi pribadi,
pengalaman fisik, petunjuk praktis (rule of thumb) dan institusi. Pengetahuan terbatinkan
seperti itu sulit sekali digambarkan kepada orang lain. Mengenali nilai dari pengetahuan
terbatinkan dan memahami bagaimana menggunakannya merupakan tantangan utama
organisasi yang ingin terus menciptakan pengetahuan.
penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan
terjadinya penciptaan tersebut.
Apa yang dimaksud dengan konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan
pengetahuan adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang
muncul. Dalam konteks organisional, bisa berupa fisik, maya, mental atau ketiganya.
Pengetahuan bersifat dinamis, relasional dan berdasarkan tindakan manusia, jadi
pengetahuan berbeda dengan data dan informasi, bergantung pada konteksnya.
penciptaan pengetahuan melibatkan lima langkah utama,

1
2
3
4
5

Von Krogh, Ichiyo serta Nonaka (2000) bahwa penciptaan pengetahuan organisasional
terdiri dari lima langkah utama yaitu:
Berbagi pengetahuan terbatinkan;
Menciptakan konsep;
Membenarkan konsep;
Membangun prototype; dan
Melakukan penyebaran pengetahuan di berbagai fungsi dan tingkat di organisasi.
Konteks Dalam Organisasi Penelitian Dan Pengembangan
Riset adalah bagian dari upaya akademik untuk menemukan solusi ilmiah bagi persoalanpersoalan manusia atau proses penciptaan pengetahuan baru. Di dalam kegiatan riset,
terkandung sekaligus tiga aspek isi kognitif dari limu pengetahuan, yakni foci of
attention, tingkat perkembangan, dan isi intelektual (Cole, 1992). Ketiga aspek tersebut
tercermin di kegiatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bentuk berbagai
penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah tertentu.
Tingkat perkembangan dari masing-masing bidang penelitian tentunya berbeda, antara
lain ditentukan oleh jumlah hasil penelitian, paten yang dihasilkan, publikasi ilmiah yang
dihasilkan baik tingkat nasional,regional dan internasional, produk-produk baru atau
proses baru dan sebagainya. Demikian pula, isi intelektual dari berbagai penelitian di
LIPI akan memperlihatkan batas dan keragaman dari kegiatan riset lembaga ini. Proses
penelitian ditentukan oleh isi intelektual, karakteristik sosial peneliti dan proses sosial
dalam hal intellectual authority. Dalam lingkup LIPI, misalnya sebuah penelitian dapat
terlaksana setelah ada proses tertentu dalam pemeriksaan tidak saja terhadap isi penelitian
itu, tetapi juga terhadap para penelitinya. Mengenai hal ini Coles mengatakan bahwa
proses ini sangat dipengaruhi oleh konsensus sosial, dan bukan hanya oleh validitas
keilmiahan isinya. Lebih luas lagi, proses penelitian dan pengembangan suatu ilmu dan
teknologi tidak dapat dilepaskan dari kondisi tiga elemen dasarnya, yakni (1) komunitas
ilmuwan dan teknologi itu sendiri, (2) sistem ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan

kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tempat ilmu dan teknologi itu berkembang,
serta (3) organisasi yang menjadi semacam katalis bagi komunitas untuk tumbuh
kembang di dalam sistem yang lebih luas ini, baik dalam bentuk organisasi besar
semacam LIPI, maupun yang lebih kecil seperti lembaga-lembaga riset,unit-unit riset,
organisasi profesi dan sebagainya (Constant II, 1993).

Kondisi LIPI sebagai elemen organisasional yang memiliki karakteristik hubungan sosial
tertentu, dengan demikian, merupakan salah satu titik kunci perkembangan penelitian.
Khususnya untuk LIPI, maka kondisi ini merupakan salah satu aspek yang ditumbuh
kembangkan, termasuk dalam upaya menciptakan kondisi yang mendukung penelitian
ini, adalah pengembangan sarana fisik, peralatan laboratorium, peralatan teknologi
informasi, dan sebagainya. Di dalam konfigurasi yang demikian, dimungkinkan
pengembangan manajemen pengetahuan (knowledge management) KM dilingkungan
LIPI dalam bentuk :
Proses mengkoleksi, mengorganisasikan, mengklasifikasi, dan menyebarkan
informasi/pengetahuan ke seluruh unit di organisasi agar informasi/pengetahuan itu
berguna bagi siapa yang memerlukannya;
Kebijakan, prosedur dan teknologi yang dipakai untuk mengoperasikan pangkalan data
yang terhubungkan dalam jaringan intranet LIPI agar tetap uptodate;
Menggunakan teknologi informasi untuk menangkap pengetahuan yang terdapat didalam
pikiran para peneliti, pegawai sehingga pengetahuan itu bisa secara mudah dipakai
bersama di dalam organisasi. KM bertujuan mengumpulkan pengetahuan yang benarbenar diperlukan oleh peneliti atau pegawai di dalam sebuah tempat penyimpanan
terpusat (server besar), dan membuang informasi atau pengetahuan yang tidak perlu;
Memastikan adanya lingkungan yang lengkap untuk pengembangan penggunaan expert
systems;
Mengorganisasikan dan menganalisis informasi dalam database lembaga sehingga
pengetahuan dari hasil analisis tersebut dapat segera dipakai bersama oleh lembaga;
Mengidentifikasi kategori pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung keseluruhan
program penelitian, sinergi program/kegiatan penelitian, strategi penelitian, monitoring
dan evaluasi hasil penelitian yang terhimpun di lembaga, dan mentransformasi basis
pengetahuan yang saat ini ada ke basis yang baru yang lebih mapan dengan mengisi
knowledge gaps mungkin terjadi atau digital devide;
Mengkombinasikan pengindeksan, pencarian pengetahuan dan teknologi informasi untuk
membantu lembaga mengorganisasi data, informasi dan pengetahuan yang tersimpan di
berbagai sumber, sehingga yang disajikan adalah informasi atau pengetahuan yang
relevan saja;
Mengorganisasikan dan menyediakan know-how yang penting, kapan dan bilamana
diperlukan. Ini mencakup proses, prosedur, paten, bahan rujukan, formula, best practices,
ramalan dan cara-cara mengatasi masalah. Secara teknologis, intranet, groupware, data
warehouses, bulletin boards, dan sebagainya adalah sarana yang memungkinkan lembaga
menyimpan dan menyebarkan pengetahuan;
Memetakan sumber pengetahuan (knowledge mapping) baik secara online maupun
offline, pelatihan, penuntunan, dan perlengkapan untuk akses pengetahuan.
Pengembangan infrastruktur informatika dan telekomunikasi (telematika) seperti diatas
mengandung keyakinan terhadap potensi teknologi informasi untuk mendukung

komunikasi ilmiah (scientific communication). Infratruktur ini diharapkan untuk


menciptakan pola baru yang lebih efektif efisien terutama dalam hal tukar-menukar
informasi atau pengetahuan dalam memecahkan masalah dalam suatu penelitian,
penyimpanan dan penemuan kembali (storage and retrieval) informasi atau pengetahuan
ilmiah. Sebagai kesatuan penelitian (penelitian terpadu), teknologi informasi (intranet)
yang ada di LIPI memungkinkan pengembangan jaringan kerja yang dapat mempelancar
pengorganisasian kegiatan penelitian terpadu. Potensi ini beringgungan dengan konteks
organisasional sehingga infrastuktur telematika tidak dapat disebut sebagai alat (tools)
saja, melainkan adalah sebuah socio-technical networks, sehingga pengembangan
infrastuktur ini merupakan pengembangan social informatics (Kling,2000).
Pengembangan sistem KM-LIPI, dengan demikian,bukan semata pemasangan jaringan
fisik infrastruktur, melainkan pengembangan sebuah jaringan sosio-teknis yang secara
spefisik diarahkan bagi pengembangan sebuah lembaga riset. Kegiatan penelitian di LIPI
umumnya ,dan di penelitian Coastal Hinterland Interaction Programme (CHIP)
khususnya, adalah kesatuan informatika-sosial. Di dalam kesatuan ini, terdapat elemen
teknologi telematika maupun proses sosial yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh foci
of attention, pertumbuhan kegiatan, maupun kandungan intelektual dari
penelitianpenelitian tentang sistem CHIP yang menyangkut berbagai disiplin ilmu (multi
disiplin) untuk memecahkan suatu persoalan atau suatu solusi dari suatu permasalahan.
Dasar Pemikiran: Strategi Mengelola Pengetahuan
Hansen, Nohria dan Tierney (1999) mengemukakan pada dasarnya bagaimana strategi
organisasi mengelola pengetahuan terbagi atas dua ekstrim : strategi kodifikasi
( codification strategy) dan strategi personalisasi (personalization strategy). Bila
pengetahuan diterjemahkan dalam bentuk eksplisit secara berhati-hati (codified) dan
disimpan dalam basis data sehingga para pencari pengetahuan yang membutuhkannya
dapat mengakses pengetahuan tersebut, maka cara mengelola seperti ini dikatakan
menganut strategi kodifikasi. Namun pengetahuan tidak terdiri dari hanya eksplisit saja,
melainkan juga pengetahuan terbatinkan. Pengetahuan terbatinkan amat sangat sulit Di
terjemahkan ke dalam bentuk eksplisit. Oleh sebab itu pengetahuan-pengetahuan
dialihkan dari satu pihak ke pihak lain melalui hubungan personal yang intensif, jadi
disini fungsi utama jaringan komputer (intranet atau internet) disini bukan saja untuk
menyimpan pengetahuan melainkan juga untuk memfasilitasi lalu lintas atau komunikasi
di antara individu atau peneliti dalam organisasi yang sedang melakukan kegiatan
penelitian baik mencari informasi atau memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan baru
untuk menunjang kegiatan penelitiannya.
Peran perpustakaan,dokumentasi informasi
Berdasarkan dasar pemikiran diatas, ditambah dengan hasil studi dari Szulanski (1996)
yang mendiskusikan mengenai permasalahan dalam proses pengalihan pengetahuan dari
orang/kelompok ke orang/kelompok lain, serta pengamatan empiris dari peran
perpustakaan, pusat informasi atau pusat dokumentasi dalam proses penciptaan
pengetahuan, maka dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Akses pada informasi.
Diketahui bahwa kemampuan penciptaan pengetahuan organisisaional bergantung pada

kemampuan semua individu dalam organisasi untuk dapat akses pada gagasan, informasi,
dan pengalaman karyawan lain atau pihak lain diluar organisasi pada aspek ini ada dua
peran perpustakaan,dokumentasi dan informasi, yaitu :
1. peningkatan akses melalui penelusuran berbagai informasi dan pengetahuan dari
berbagai sumber dan secara proaktif, berdasarkan analisis historis permintaan para
pengguna, menyampaikan informasi dan pengalaman tersebut pada pengguna.
2. peningkatan akses melalui pemberian saran alternatif cara memperoleh dan bentuk
informasi serta pengalaman yang dibutuhkan pengguna.
2. Refleksi atas tindakan masa lalu .
Seperti kita ketahui bersama bahwa kemampuan penciptaan pengetahuan organisasi juga
bergantung pada evaluasi pengalaman masa lalu oleh karyawan, yang menyebabkan
peningkatan pemahamannya atas bagaimana suatu kejadian dan akibat pengalaman masa
lalu bermanfaat pada masa kini pada aspek ini peran nya adalah meningkatkan
kemungkinan untuk terjadinya refleksi melalui pemberian induksi berupa informasi dan
pengalaman pihak lain pada pengguna/peneliti internal untuk digunakan dalam proses
menggugat dan merekonstruksi perspektif, keputusan, dan pengalaman selama ini.
3. Kemampuan menyerap.
Diketahui bahwa kemampuan mengasimilasikan pengetahuan baru bergantung pada
kenyataan apakah individu-individu telah memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan
pengetahuan yang baru diterima sehingga memungkinkan mereka untuk memahami dan
menyerap informasi baru yang dipindahkan pada mereka peran perpustakaan adalah
meningkatkan kemampuan penyerapan pengetahuan melalui secara proaktif memberikan
informasi dan pengalaman orang lain yang relevan dengan bidang kompetensi yang
sedang didalami oleh pengguna/peneliti saat ini.
4. Kemampuan belajar.
Rekombinasi produktif yang terjadi di organisasi bergantung pada kemampuan karyawan
belajar dari perubahan-perubahan dan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh
karyawan dalam organisasi. Bila karyawan terus menerus belajar dan selalu mengikuti
perubahan-perubahan teknologi atau pengetahuan pada aspek ini adalah meningkatkan
kemampuan belajar individu-individu melalui pemberian informasi dan pengalaman
pihak lain yang terkini (up to date) atau (current information) pada para pengguna.
5. Persepsi bahwa kegiatan pertukaran dan kombinasi pengetahuan adalah
berharga.
Tidak semua peneliti atau karyawan aktif mencari informasi, bahkan informasi yang telah
tersediapun belum tentu dibaca, maka bila peneliti atau karyawan menggunakan
informasi yang dapat diakses, maka karyawan/peneliti harus percaya bahwa sesuatu yang
berharga akan dihasilkan dari upayanya mengkombinasikan dan mempertukarkan
pengetahuan pada aspek ini meningkatkan motivasi para pengguna untuk memanfaatkan
seluruh fasilitas perpustakaan yang ada dan menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa
perpustakaan akan meningkatkan kualitas dan kelancaran kerja para pengguna.
Seperti telah dikatakan oleh Prusak perpustakaan, pusat dokumentasi tidak akan dapat

menjalankan perannya tersebut bila tidak dikelola oleh pustakawan yang secara proaktif
mendukung terselenggaranya strategi organisasi melalui pemahamannya atas kompetensi
inti dan strategi organisasi, serta infomasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memperkokoh kompetensi inti organisasi dan terselenggaranya strategi organisasi.
Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) Yang Dinamis
Merebaknya fenomena manajemen pengetahuan merupakan kritik langsung kesalah
pahaman karena pengetahuan tidak diartikan sebagai benda mati, sebagaimana kalimat
berikut ini tentang pengetahuan:
the potentiality of values as it exists in various components or flows of overall
capital in a firm, the relationships and synergistic modulations that can augment the
value of that capital, and the application of its potential to real business tasks(it) in
cludes an organizations unrefined knowledge assets as well as wealth generating assets
whose main component is knowledge (Society of Management Accountants of
Canada,1999).
Potensi nilai yang ada pada berbagi komponen atau proses (aliran) keseluruhan modal
dalam sebuah perusahaan, antar hubungan dan penyesuian-penyesuian sinergis yang bisa
meningkatkan nilai modal tersebut, dan penerapan potensi tersebut pada tugas-tugas
bisnis yang sesungguhnya (ini) mencakup pula modal pengetahuan organisasi yang
belum diolah, dan modal yang mendatangkan keuntungan dan yang komponen utamanya
adalah pengetahuan.

Definisi di atas mengandung aktifitas dan dinamika serta penerapan pengetahuan kepada
tugas-tugas yang sesungguhnya, bukan sesuatu yang diam. Beberapa penulis, misalnya
Malhotra (2000) mengingatkan bahwa dinamika penerapan pengetahuan saat ini
merupakan konsekuensi logis dari kehidupan organisasi yang harus selalu menyiapkan
respon terhadap lingkungan yang bercirikan dua hal yaitu:
Kerumitan atau kompleksitas, disebabkan oleh peningkatan jumlah, keragaman dan
saling ketergantungan antara berbagai entitas di dalam lingkungan sebuah organisasi.
Gejolak lingkungan atau turbulensi, ditentukan oleh semakin cepatnya siklus (cycle-time)
dari setiap kejadian atau peristiwa.
Kompleksitas dan gejolak lingkungan, serta tingkat pertumbuhan absolut keduanya, akan
sangat meningkat dimasa mendatang. Dalam keadaan seperti ini, menurut Malhotra,
banyak organisasi memiliki sistem informasi yang pada umumnya memakai model
manajemen informasi untuk keperluan :
Mengupayakan agar pangkalan data pengetahuan dan para pemiliknya secara terus
menerus disesuaikan dengan perubahan lingkungan eksternal.
Memberitahu para pegawai atau anggota organisasi tentang perubahan-perubahan
terakhir, baik dalam produk maupun prosedur untuk menghasilkan sebuah produk.
Namun, didalam lingkungan yang kompleks dan bergejolak ada beberapa persoalan yang
muncul dari model seperti ini, yaitu:
Manajer mampu mengendalikan kegiatan organisasi kalau ia memiliki pengetahuan,
tetapi dalam lingkungan yang serba bergejolak dan perubahannya berita tidak sinambung
(discontinuous), maka seringkali manajer maupun organisasi tempatnya bekerja tidak

punya pengetahuan yang memadai. Sistem informasi cenderung menyimpan pengetahuan


yang tidak selalu sesuai dengan perubahan dilingkungan eksternal.
Dalam lingkungan yang bergejolak, lebih baik jika organisasi menyebarkan pengetahuan
dan otoritas secara lebih merata. Model manjemen informasi justru cenderung
memusatkan pengetahuan di sebuah pangkalan data yang cenderung statis pula.
Di masa yang penuh persaingan dan gejolak, diperlukan kemampuan mengantisipasi
masa depan yang didasarkan kepada multi interpretasi, sementara sistem informasi
cenderung mendukung kegiatan kemampuan menduga berdasarkan satu interpretasi
tentang bagaimana mengantisipasi masalah.
Pada artikel Malhotra itu semata-mata menegaskan perlunya profesi informasi
menghadapi tugas yang dinamik, kompleks dan bergejolak, bukan sesuatu yang sudah
selesai, dan terlebih-lebih bukan menyimpan atau mengelola simpanan. Cara kita
mengartikan mengelola informasi memerlukan perubahan fundamental agar sejalan
dengan perubahan fundamental dalam kehidupan berorganisasi, terutama dalam cara
organisasi menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Pemikiran tentang perubahan fundamental dalam cara berorganisasi telah melahirkan
pemikiran tentang manajemen perubahan. Menurut Worren,Ruddle dan Moore (1999)
istilah manajemen perubahan (change management) saat ini dipakai untuk mencakup
teori dan praktek yang berhubungan dengan pengembangan organisasi (organizational
development), sumber daya manusia, majemen proyek (project management), dan
perubahan strategi organisasi. Manajemen perubahan menjadi upaya perubahan
organisasional yang lebih besar, bersama dengan komponen lain, yaitu pengembangan
strategi, penyempurnaan proses bisnis, dan penerapan teknologi. Tujuan utamanya
seringkali adalah mengintegrasikan komponen-komponen ini, misalnya dengan
menciptakan kesetaraan antara penetapan tujuan-tujuan strategis dengan kebijakan SDM,
atau membangun infrastuktur teknologi informasi baru untuk mendukung terciptanya
kerjasama antar kelompok. Manajemen peubahan sebenarnya juga merupakan penerapan
teori yang menyatakan bahwa berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru yang sesuai
dengan masa depan memerlukan perubahan komprehensif dalam berbagai komponen,
termasuk perilaku, kultur, struktur organisasi, proses kerja dan infrastuktur teknologi
informasi. Prinsip pengembangan organisasi sebelumnya memusatkan perhatian kepada
keterampilan dan sikap individual, kurang memperhatikan peran struktur dan sistem.
Dalam pandangan klasik, organisasi yang ingin berubah harus mengupayakan perubahan
dalam sikap dan pandangan orang sebelum mengubah struktur organisasi atau teknologi
yang digunakan sebuah organisasi.
Dengan kata lain, pertama-tama harus ada perubahan dalam perilaku pegawai, sebelum
sikap, norma dan keterampilan terbentuk secara sempurna, lalu perubahan dalam struktur
formal dan sistem dapat berlangsung sebuah komitmen dan kompetensi berkembang
melalui keterlibatan semua anggota organisasi dalam proses perubahan.

Jadi organisasi- organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya perhatian
kepada apa yang selama ini dikenal sebagai modal sosial yaitu:
Jaringan hubungan pribadi antar lintas, yang berkembang perlahan-lahan sebagai
landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan tindakan kolektif dari sebuah komunitas;

Merupakan jaringan saling mengenal dan saling menghargai;


Mengandung kewajiban pada diri anggota yang timbul karena rasa terima kasih, respek,
dan persahabatan, atau adanya hak yang dijamin secara institusional;
Anggota jaringan memiliki akses ke informasi dan kesempatan;
Status sosial atau reputasi sosial bagi anggota jaringan, terutama kalau keanggotaannya
terbatas.
Social Capital dengan demikian adalah keseluruhan sumberdaya aktual maupun potensial
yang tertanam di dalam, tersedia melalui, diambil dari, jaringan hubungan yang dimiliki
oleh seseorang atau sebuah unit sosial. SC dengan demikian terdiri dari jaringan maupun
asset yang bisa dimobilisasi melalui jaringan tersebut.
Model Skandia juga memberikan penekanan kepada pentingnya human capital dalam
konteks organisasi atau komunitas, istilah ini bisa dipakai dalam pengertiannya sebagai
intellectual capital yang mengacu kepada pengetahuan dan kemampuan mengetahui
(knowing capability) dari sebuah kolektifitas sosial, misalnya organisasi, komunitas
intelektual, atau praktisi professional. IC ini pararel dengan konsep HC yang meliputi
pengetahuan, keterampilan, dan kapabilitas yang memungkinkan seseorang bertindak
dengan cara yang baru. IC dengan demikian, merupakan sebuah sumberdaya penting dan
sebuah kapabilitas untuk bertindak berdasarkan pengetahuan dan kemampuan
mengetahui.

Dalam bidang perpustakaan, Abell dan Oxbrow (2001) mengidentifikasi lima hambatan
yang menyebabkan kurangnya keterlibatan profesional informasi dalam manajemen
pengetahuan. Pertama, adalah kenyataan bahwa manajemen pengetahuan hampir selalu
digerakkan oleh sebuah tim perencanaan strategis yang beranggotakan anggota-anggota
senior, sementara pustakawan tidak dilibatkan karena kedudukan mereka dianggap tidak
langsung behubungan dengan strategi organisasi. Kedua, konsep manajemen pengetahuan
kultur kerja dan lewat pembelajaran organisas sesuatu yang oleh pustakawan sendiri
dianggap berada di luar bidangnya. Ketiga, manajer senior dalam sebuah organisasi
cenderung menganggap bahwa pustakawan hanya bisa dikaitkan dengan perpustakaan
dalam pengertian tradisional. Keempat, pustakawan sendiri tidak merasa perlu
mengubah persepsi ini dan menganggap bahwa manajemen pengetahuan adalah sematamata buzzword yang akan hilang dengan sendirinya. Kelima, ada pola pikir yang sudah
baku (mindset) di kalangan pustakawan yang sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan lingkungan kerja organisasi. Salah satu pola pikir itu adalah bahwa
pustakawan menyediakan jasa, sementara lingkungan kerja yang baru membutuhkan
mitra kerja, bukan penyedia jasa saja.

Dari sisi pandang yang lebih kritis lagi, Birkinsaw (2001) bahkan mengidentifikasi 3 hal
dalam manajemen pengetahuan yang merupakan kegiatan lama dalam bungkus baru
yaitu:
Pengelolaan pengetahuan sudah berlangsung sejak awal berdirinya sebuah organisasi.
Cara sebuah organisasi menentukan struktur dan hirarki anggota sudah merupakan upaya
mengelola pengetahuan dan menempatkan orang-orang yang berpengetahuan sama di
satu tempat. Kelompok-kelompok informal sudah sejak lama ada di berbagai organisasi,
dan menjadi tempat bagi petukaran informasi dan pengetahuan yang efektif, persoalannya
sekarang adalah mengidentifikasi hal-hal tersebut dan membuatnya lebih efektif lagi.
Manajemen pengetahuan merupakan proses panjang dan lama, yang mencakup
perubahan perilaku semua anggota sebuah organisasi. Upaya mengubah peilaku ini
bukanlah kegiatan masa kini saja, persoalannya sekarang adalah mensinkronkan upaya
perubahan ini dengan keseluruhan strategi pelaksanaan organisasi.
Beberapa teknik manajemen pengetahuan sudah dilakukan sejak dulu, misalnya
pengaktifan komunitas praktisi sudah sejak lama menjadi perhatian dari hubungan
masyarakat internal (internal public relations), dan pangkalan data pengetahuan
memperlihatkan cirri-ciri yang sama dengan pangkalan data dalam sebuah system
informasi, persoalannya sekarang adalah bagaimana teknik-teknik manajemen
pengetahuan ini yang mirip dengan teknik-teknik tradisional terus relevan dengan
perubahan organisasi.
Selain tiga hal diatas, Birkinsaw juga menggarisbawahi tiga kenyataan yang sangat
mempengaruhi berhasil-tidaknya manajemen pengetahuan. Pertama, penerapannya tidak
hanya menghasilkan pengetahuan baru tetapi juga mendaur-ulang pengetahuan yang
sudah ada. Kedua, teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsifungsi jaringan sosial antar anggota organisasi. Ketiga, sebagian besar organisasi tidak
pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui, banyak pengetahuan penting yang
harus ditemukan lewat upaya-upaya khusus, padahal pengetahuan itu sudah dimiliki
sebuah organisasi sejak lama.

KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM


Dalam kegiatan commissioning suatu proyek pemasangan APC (Advanced Process
Control) di suatu unit operasi, seorang engineer senior hanya memerlukan waktu 1
minggu untuk menyelesaikannya. Jika pekerjaan yang sama diberikan kepada seorang
engineer muda maka waktu yang diperlukannya akan semakin panjang, bahkan pada
kondisi ekstrim jika engineer muda tersebut belum pernah melakukan kegiatan ini bisa
saja dia tidak berhasil menyelesaikannya, walaupun sebelum terjun ke lapangan engineer
muda ini sudah dibekali dengan training oleh seniornya dan membaca semua buku
manual APC serta teori process control yang terkait. Mengapa demikian? Karena kedua
engineer tersebut memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Engineer senior tentunya
dengan jam terbang yang tinggi memiliki pengetahuan yang lebih tinggi ketimbang
engineer muda.
Apa itu Pengetahuan ? Banyak definisi mengenai pengetahuan (knowledge) yang
dapat dilihat di berbagai literatur, salah satunya yang dibuat oleh Turban dkk (2004)
adalah pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang telah dianalisis dan
diorganisir sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan masalah serta
mengambil keputusan. Dari definisi ini (juga definisi dari literatur lainnya) terlihat
bahwa komponen utama pengetahuan adalah informasi (information). Lalu, apa bedanya
dengan data dan keahlian (skill)? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat hirarki
pengetahuan (knowledge hierarchy) yang dibuat oleh Liebowitz dan Beckman (1998),
seperti terlihat pada gambar berikut.

Dalam hirarki tersebut, tingkat paling rendah adalah simbol (symbol) dan yang paling
tinggi adalah kapabilitas organisasi (organization capability), semakin keatas
pengertiannya semakin mendalam (terjadi proses pengayaan/enrichment).
Simbol hanya berupa kode-kode, seperti 9 , 5 , 0 , 0.
Simbol ini, apabila diberi sintaks akan menjadi Data, misalnya Rp 9500 yang berarti
nilai uang dari negara Indonesia, Rupiah.
Bila
Data
dikategorisasi
atau
diberi
konteks,
maka
ia
akan
menjadi Informasi (Information), misalnya nilai tukar Rupiah terhadap US$ adalah Rp.
9500.
Selanjutnya, apabila serangkaian Informasi saling dikaitkan dan distrukturkan hingga

terlihat hubungan sebab akibat atau konsekuensi-konsekuensinya, maka akan


diperoleh Pengetahuan (Knowledge), misalnya: jika nilai tukar Rupiah terhadap US$
mengalami kenaikan, maka akan terjadi kenaikan harga berbagai komoditi/produk
terutama produk yang dalam proses produksinya langsung atau tidak langsung
memerlukan barang/jasa import. Selanjutnya kenaikan harga produk akan menurunkan
daya beli masyarakat.
Diatas Pengetahuan adalah Keahlian (Skill) yang didefinisikan sebagai penggunaan
pengetahuan secara pantas dan tepat untuk memecahkan masalah, meningkatkan kinerja
dan mencapai hasil yang luar biasa. Misalnya: dengan pengetahuan tentang pengaruh
nilai tukar Rupiah terhadap daya beli masyarakat yang dimilikinya, seorang manajer
bisa membuat keputusan strategik hingga omset penjualan produk perusahaannya tidak
menurun walaupun nilai tukar Rupiah terhadap US$ mengalami kenaikan.
Bila keahlian-keahlian dalam organisasi dikombinasikan, maka ia akan
menjadi Kemampuan Organisasi (Organization Capabilities). Misalnya : untuk
mendukung perencanaan strategik yang sudah dibuat oleh manajemen dalam mengatasi
dampak penurunan daya beli masyarakat (sebagai akibat naiknya nilai tukar Rupiah)
terhadap US$) terhadap perusahaan, maka fungsi produksi akan mengerahkan
keahliannya untuk meningkatkan efisiensi produksi sehingga harga jual produk bisa
ditekan, fungsi marketing dengan keahlian yang dimilikinya akan melakukan inovasiinovasi promosi/penjualan untuk menarik konsumen baru. Kesemuannya ini menunjukan
kemampuan perusahaan tersebut untuk meningkatkan (atau paling tidak
mempertahankan) keuntungan dalam kondisi daya beli masyarakat yang menurun sebagai
akibat kenaikan nilai tukar Ruapiah terhahap US$.
Dari hirarki pengetahuan diatas, juga dapat dilihat bahwa kemampuan suatu organisasi
sangat ditentukan oleh pengetahuan anggotanya, mulai dari anggota biasa sampai dengan
pimpinannya. Begitu pentingnya pengetahuan dalam organisasi maka ia harus dikelola
secara benar. Sistem pengelolaan pengetahuan dalam organisasi ini sering dikenal dengan
sebutan Knowledge Management System (KMS). Sebelum membahas lebih jauh tentang
KMS ini, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan
pengetahuan, seperti komponennya, jenis-jenisnya, tingkatannya dan proses konversinya.
Komponen Pengetahuan. Pengetahuan memiliki beberapa komponen pembentuknya,
yaitu: 1) Pengalaman (experience), yang merujuk pada apa yang pernah dilakukan
dan/atau dialami dimasa lalu. 2) Kebenaran mendasar (ground truth), yang merujuk
pada apa yang benar-benar terjadi dan apa yang tidak terjadi, jadi bukan berdasarkan
pada teori. 3) Penalaran (judgment), seperti dijelaskan diatas, untuk merubah informasi
menjadi pengetahuan perlu adanya penalaran untuk mengetahui hubungan sebab akibat
atau konsekuensi suatu informasi dengan informasi lainnya. 4) Petunjuk praktis (rule of
thumb), adalah panduan tindakan manusia yang terbentuk dari pengalaman coba-coba
yang berulang dalam waktu panjang. Petunjuk praktis merupakan solusi jalan pintas
untuk masalah-masalah yang mirip dengan masalah terdahulu yang pernah dipecahkan
dengan petunjuk praktis ini. 5) Intuisi (intuition), merupakan keahlian yang telah
dipadatkan/terpadatkan karena sering dilakukan (jam terbang yang tinggi). 6) Nilai dan
Keyakinan (values & beliefs), misalnya nilai dan keyakinan yang menganggungkan
keunggulan, kualitas, kejujuran, ketahanan dan lainnya.
Jenis Pengetahuan. Ada 2 jenis pengetahuan, yaitu: Pengetahuan Eksplisit (explicit
knowledge), yaitu pengetahuan yang dapat ditulis (diekspresikan dengan kata-kata dan

angka), dalam bentuk formula ilmiah, spesifikasi, standard-prosedur, bagan, manual


dsbnya). 2) Pengetahuan Terbatinkan (tacit knowledge), yaitu pengetahuan yang ada
dalam benak manusia, bersifat personal, kontekstual dan sulit dirumuskan. Dari contoh
pelaksanaan commissioning APC diatas, walaupun kedua engineer mungkin sudah
memiliki pengetahuan eksplisit yang sama (karena berdasarkan pada sumber yang sama,
yaitu buku manual dan teori process control), akan tetapi mengapa engineer senior lebih
cepat menyelesaikan tugasnya dari engineer muda? Jawabannya adalah terletak pada
pengetahuan terbatinkan, dimana engineer senior memiliki pengetahuan terbatinkan lebih
banyak (yang diperoleh dari pengalaman bertahun-tahun) dibandingkan dengan engineer
muda. Karena pengetahuan terbatinkan lebih bersifat personal dan sulit untuk
dirumuskan/ditulis, maka juga sulit untuk ditransfer dari suatu individu ke individu
lainnya. Proses transfer pengetahuan terbatinkan yang paling efektif adalah melalui
magang kerja atau pendampingan. Misalnya dalam contoh diatas, jika dalam melakukan
commissioning engineer muda tersebut didampingi oleh engineer senior sebagai
supervisor-nya, maka penyelesaian pekerjaan menjadi lebih cepat dan proyek berikutnya,
mungkin si engineer muda tersebut sudah bisa mandiri.
Tingkat Pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh suatu organisasi/perusahaan
dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu: 1) Pengetahuan Inti (core knowledge), merupakan
tingkat pengetahuan yang dibutuhkan hanya sekedar agar organisasi/perusahaan tersebut
dapat beroperasi dan tidak menjamin organisasi tersebut dapat bersaing. 2) Pengetahuan
Lanjut (advanced knowledge), merupakan tingkat pengetahuan spesifik yang dimiliki
organisasi/perusahaan sehingga dapat menjadi pemain yang tangguh dalam bidangnya.
Dengan pengetahuan yang spesifik tersebut organisasi/perusahaan bisa melakukan
diferensiasi. 3) Pengetahuan Inovatif (inovative knowledge), merupakan pengetahuan
yang menjadikan organisasi/perusahaan sebagai pemimpin dalam persaingan. Yang perlu
diketahui adalah pengetahuan tidak statis, apa yang menjadi pengetahuan lanjut hari ini,
bisa berubah menjadi pengetahuan inti dihari mendatang. Oleh karena itu, suatu
organisasi/perusahaan harus selalu belajar dan menciptakan pengetahuan-pengetahuan
baru.
Selain pembagian tingkat pengetahuan seperti diatas, pengetahuan juga dapat dibagi
menjadi 5 tingkat, yaitu: 1) Know That, berhubungan dengan pengetahuan proposisi,
misalnya kebenaran, kita percaya bahwa sesuatu itu adalah demikian, bukan yang
lainnya. 2) Know What, merupakan definisi yang lebih luas dan mengandung banyak
know-that. Jika kita belajar tentang sesuatu maka yang kita pelajari adalah know that
atau know what. 3) Know How, merupakan jenis pengetahuan yang paling banyak
dimiliki oleh organisasi/perusahaan karena berhubungan dengan kemampuan melakukan
sesuatu kegiatan. Jika kita belajar untuk melakukan sesuatu, maka yang kita pelajari
adalah know how. 4) Know Why, merupakan level pengetahuan yang dapat membuat
organisasi/perusahaan memanfaatkan pengetahuan di tingkat know what dan know how
untuk menghasilkan penyempurnaan dan inovasi. 5) Care Why, merupakan budaya
organisasi/perusahaan yang terdiri dari nilai dan keyakinan yang membuat orang
bersemangat, fokus dan kreatif.
Konversi Pengetahuan. Seperti sudah dijelaskan diatas, bahwa terdapat dua jenis
pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit dan pengetahuan terbatinkan. Dalam diri setiap
individu, kedua jenis pengetahuan ini saling melengkapi. Selain itu, kedua jenis
pengetahuan ini juga bisa dikonversi dari satu jenis ke jenis lainnya. Konversi

pengetahuan ini sangat penting dalam proses kreasi dan akusisi pengetahuan dari satu
individu ke individu lainnya atau dari satu organisasi/perusahaan ke
organisasi/perusahaan lainnya. Terdapat 4 cara konversi pengetahuan, yaitu:
1) Sosialisasi; 2) Eksternalisasi; 3) Kombinasi; dan 4) Internalisasi. Ke-4 konversi
pengetahuan ini dikenal juga dengan spiral SECI (Socialization Externalization
Combination Internalization).
Sosialisasi, merupakan konversi pengetahuan terbatinkan ke pengetahuan terbatinkan.
Karena pengetahuan terbatinkan itu seifatnya sangat kontekstual dan melekat pada diri
seseorang serta sulit diformalkan, maka konversi dari satu individu ke individu lainnya
hanya bisa dilakukan melalui pengelaman dalam kegiatan bersama misalnya melalui
kerja magang, pendampingan, on-the-job-training atau kegiatan sejenis lainnya.
Eksternalisasi, merupakan konversi pengetahuan terbatinkan ke pengetahuan eksplisit.
Dalam proses eksternalisasi, pengetahuan terbatinkan diekspresikan dan diterjemahkan
menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga dapat
dimengerti oleh pihak lain. Sebagai contoh menyiapkan bahan presentasi dalam bentuk
slide power point. Akan tetapi, karena pengetahuan terbatinkan bersifat kontekstual,
maka proses konversinya tidak akan lengkap/sempurna.
Kombinasi, merupakan konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit. Dengan
cara ini, pengetahuan dipertukarkan melalui media-media, misalnya melalui majalah,
buku, media internet, dsbnya.
Internalisasi, merupakan konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan terbatinkan.
Salah satu caranya adalah dengan belajar sambil melakukan (learning by doing). Melalui
belajar sambil melakukan, pengetahuan eksplisit akan terinternalisasi menjadi
pengetahuan terbatinkan.
Proses Pengelolaan Pengetahuan (KMS Process). Setelah mengetahui apa itu
pengetahuan, jenis-jenisnya, tingkatannya serta proses konversinya, maka selanjutnya
akan dibahas mengenai proses pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management
System Process). Pengelolaan pengetahuan dalam organisasi terdiri dari 7 proses, yaitu:
1) Penetapan Sasaran Pengetahuan; 2) Evaluasi Pengetahuan; 3) Akusisi Pengetahuan;
4) Pengembangan Pengetahuan; 5) Distribusi Pengetahuan; 6) Pemanfaatan
Pengetahuan; dan 7) Pemeliharaan Pengetahuan.
Penetapan Sasaran Pengetahuan. Tujuan proses ini adalah menentukan jenis dan
tingkat pengetahuan yang diperlukan oleh suatu organisasi. Jenis dan tingkat pengetahuan
yang diperlukan tersebut dapat diketahui dengan melihat: 1) Sasaran dan strategi
organisasi; 2) Kelemahan organisasi; 3) Key sucess factor organisasi; 4) Value chain
organisasi. Penjelasannya adalah sbb: Pada dasarnya setiap organisasi (baik itu berupa
perusahaan, unit kerja dalam perusahaan maupun organisasi sosial) memiliki sasaran
yang hendak dicapai. Untuk mencapai sasaran tersebut, organisasi menyusun suatu
strategi. Agar strategi bisa berjalan, organisasi membutuhkan berbagai sumber daya
termasuk sumber daya pengetahuan. Jadi, pengetahuan yang dibutuhkan oleh suatu
organisasi dapat diperoleh dengan melihat sasaran dan strategi organisasi tersebut. Selain
itu, pengetahuan yang diperlukan oleh organisasi juga dapat diketahui dengan melihat apa
yang menjadi kelemahan organisasi tersebut dibandingkan dengan pesaingnya, hal ini
disebabkan pengetahuan yang seharusnya diperlukan tetapi tidak dimiliki organisasi akan
menjadi kelemahan organisasi tersebut. Selain itu, identifikasi pengetahuan yang
diperlukan oleh organisasi dapat juga dilakukan dengan melihat faktor kunci sukses (key

success factor KSF) dari organisasi tersebut. KSF merupakan faktor-faktor yang harus
dimiliki suatu organisasi agar bisa menjadi pemain yang diperhitungkan. Jadi dengan
mengetahui KSF, dapat diidentifikasi ragam pengetahuan yang diperlukan. Pendekatan
lainnya untuk mengetahui pengetahuan yang diperlukan organisasi adalah dengan
memanfaatkan diagram rantai nilai (value chain) yang dikembangkan oleh Michael
Porter. Dalam rantai nilai, terdapat 5 kegiatan utama (primary activities) dan 4 kegiatan
pendukung (support activities). Masing-masing kegiatan memiliki indikator kinerja.
Kinerja tersebut bisa dicapai jika organisasi tersebut memiliki pengetahuan yang yang
diperlukan, sebaliknya jika kinerja tidak tercapai, maka kemungkinan organisasi belum
memiliki pengetahuan yang diperlukan.
Evaluasi Pengetahuan. Proses ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi
pengetahuan yang sudah dimiliki organisasi dan sekaligus mengukur tingkat pengetahuan
yang dimiliki tersebut. Hasil evaluasi pengetahuan kemudian dibandingkan dengan
pengetahuan yang seharusnya dimiliki organisasi yang diperoleh dari proses sebelumnya
(penetapan sasaran pengetahuan), sehingga dapat diketahui apakah organisasi tersebut
sudah memiliki pengetahuan yang memadai atau tidak. Evaluasi pengetahuan yang
dimiliki organisasi dapat dilakukan dengan melihat: 1) Kekuatan dan kelemahan
organisasi; dan 2)Value chain organisasi. Kekuatan organisasi menunjukan bahwa
ragam pengetahuan yang dimiliki lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya, sebaliknya
kelemahan akan menunjukan bahwa pengetahuannya masih dibawah pesaingnya. Pada
diagram rantai nilai (value chain), setiap kegiatan (baik kegiatan primer maupun kegiatan
pendukung) memiliki indikator yang merupakan ukuran keberhasilan yang ditetapkan.
Jika kinerja tercapai berarti pengetahuan yang dimiliki organisasi sudah memadai,
sebaliknya jika tidak tercapai, maka berarti pengetahuan organisasi masih belum
memadai dibandingkan dengan yang dibutuhkan.
Akusisi Pengetahuan. Melalui penetapan sasaran pengetahuan dan evaluasi
pengetahuan, dapat diketahui jenis dan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki
organisasi dan pengetahuan yang belum dimiliki namun sangat diperlukan untuk
mencapai sasaran organisasi (kesenjangan pengetahuan). Akusisi pengetahuan
merupakan kegiatan untuk memperkecil/menghilangkan kesenjangan ini. Proses akusisi
pengetahuan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pelatihan, riset, kerja
sama dengan organisasi lain, perekrutan tenaga profesional, konsultasi,
seminar/workshop, dsbnya.
Pengembangan Pengetahuan. Perlu diketahui, bahwa tidak semua pengetahuan yang
diperlukan organisasi tersedia di lingkungan eksternal. Hal ini umumnya terjadi pada
perusahaan yang menjadi pemimpin pasar, atau pada perusahaan yang beroperasi pada
lingkungan yang sangat turbulen. Jika hal ini terjadi, maka organisasi harus
mengembangkan sendiri pengetahuan yang diperlukannya tersebut.
Distribusi Pengetahuan. Seorang karyawan yang baru pulang dari mengikuti pelatihan
atau workshop misalnya, seringkali hanya menyimpan saja pengetahuan yang baru
dimilikinya tersebut untuk dirinya sendiri dan tidak membaginya dengan karyawan
lainnya, sehingga di organisasi tersebut hanya dia sendiri yang mngetahui pengetahuan
baru tersebut. Dibanyak organisasi, kejadian ini sering kali ditemukan, jadi tidak heran
jika banyak organisasi yang memiliki anggaran pelatihan yang besar tetapi tidak mampu
menunjukan kinerja yang baik. Dalam proses distribusi pengetahuan, diharapkan setiap
karyawan dapat berbagi pengetahuan baru yang dimilikinya. Dengan distribusi

pengetahuan diharapkan agar pengetahuan yang dimiliki oleh seorang karyawan dapat
disebarkan ke sebanyak mungkin karyawan lainnya di organisasi. Distribusi pengetahuan
tidak hanya terjadi antara individu karyawan, tetapi bisa juga antara unit kerja. Banyak
organisasi yang memiliki keunggulan pada salah satu unit kerjanya. Unit kerja yang
unggul tersebut dapat menularkan keunggulannya melalui penyebaran pengetahuan dan
pengalamannya ke unit kerja lainnya.
Pemanfaatan Pengetahuan. Pengetahuan yang baru diperoleh baik melalui proses
akusisi (eksternal) maupun melalui proses pengembangan dan distribusi (internal) baru
akan bermakna jika pengetahuan baru tersebut dimanfaatkan atau diaktualisasikan dalam
kegiatan sehari-hari di organisasi. Proses pemanfaatan pengetahuan ini dilakukan melalui
asimilasi/kombinasi pengetahuan baru dengan pengetahuan/pengalaman yang sudah
dimiliki sebelumnya dalam bentuk cara pandang baru, cara kerja baru atau kebijakan
baru.
Pemeliharaan Pengetahuan. Pengetahuan yang sudah dimiliki organisasi baik melalui
akusisi maupun pengembangan harus dipelihara sehingga tidak hilang dan terlupakan.
Pengetahuan bisa hilang karena adanya perubahan personil yang memiliki pengetahuan,
misalnya karena promosi, mutasi, pensiun, mengundurkan diri atau karena meninggal
dunia. Pengetahuan yang ada juga bisa terlupakan jika tidak ada lagi kegiatan organisasi
yang membutuhkan pengetahuan tersebut. Proses penyimpanan pengetahuan merupakan
kegiatan yang ditujukan untuk memastikan bahwa pengetahuan organisasi selalu
terpelihara dan tersimpan dalam bentuk yang mudah diakses, misalnya dalam bentuk
electronic file, tata kerja, working file, dsbnya.
KMS dan Teknologi Informasi. Banyak orang menganggap Pengelolaan Pengetahuan
(KMS) identik dengan Teknologi Informasi. Anggapan ini merupakan kesalahan besar.
Memang benar teknologi informasi dapat sangat mendukung KMS, akan tetapi tanpa
teknologi informasipun proses KMS bisa dijalankan di organisasi. Begitu pula
sebaliknya, adanya teknologi informasi dalam suatu organisasi belum tentu proses KMS
sudah dijalankan di organisasi tersebut. Sehubungan dengan hal ini, kehadiran software
aplikasi KMS yang ada seperti Open Source CMS atau Microsoft Sharepoint
Portal menurut pendapat saya hanya mendukung sebagian proses KMS yakni proses
Distribusi Pengetahuan (Proses No 5) dan Pemeliharaan Pengetahuan
Diposkan oleh albi risya di 05.11 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Rekomendasikan
Google

ini

Selasa, 17 Desember 2013

di

Tiga Komponen Knowledge Management.


Pelaksanaan knowledge management dalam organisasi melibatkan tiga komponen yaitu:
[if !supportLists]1.
[endif]Manusia. Penerapan knowledge management yang berhasil
harus didukung dengan ketersediaan manusia yang kompeten. Oleh sebab itu hal pertama
yang perlu dikembangkan adalah kompetensi manusia yang ada dalam organisasi dan
kemudian memastikan individu dalam organisasi mengetahui dengan jelas peran dan
tanggung jawab masing-masing dalam mengelola pengetahuan dan menjalankan proses
knowledge management (mempelajari, meningkatkan, atau mengalirkan pengetahuan).
[if !supportLists]2.
[endif]Proses. Proses knowledge management yang jelas akan
mempermudah inovasi/penciptaan pengetahuan dan mempermudah transfer pengetahuan.
Oleh karena itu perlu dibuat proses transfer dan aliran pengetahuan yang baik melalui
identifikasi dan pemetaan pengetahuan serta analisa jejaring sosial.
[if !supportLists]3.
[endif]Teknologi. Teknologi akan membantu kolaborasi dan
komunikasi yang terjadi dalam proses knowledge management diantaranya dengan
menangkap, menyimpan, dan mempermudah menggunakan informasi. Oleh sebab itu
perlu dibangun sarana pendukung kolaborasi dan komunikasi berbasis teknologi seperti
misalnya basis data penyimpanan(database), server, portal, atau perangkat teknologi
informasi lainnya.
Proses Knowledge Management.
Knowledge Management dibangun melalui empat pilar proses knowledge management
yaitu:
[if !supportLists]1.
[endif]Penciptaan pengetahuan; saat pengetahuan baru diciptakan
melalui proses inovasi.
[if !supportLists]2.
[endif]Transfer pengetahuan; saat menyamakan tingkat
pengetahuan melalui transfer pengetahuan.
[if !supportLists]3.
[endif]Penggunaan pengetahuan; saat pengetahuan digunakan
dalam organisasi.
[if !supportLists]4.
[endif]Penyimpanan pengetahuan; saat menyimpan pengalaman
saat ini dan yang telah lalu untuk pemanfaatan atau penciptaan pengetahuan baru di masa
depan. tahap ini merupakan tahap yang paling mudah dilaksanakan.
Tahap transfer pengetahuan dapat dikatakan sebagai tahap yang paling sulit dilaksanakan
dalam proses knowledge management. Kadang individu yang memiliki kompetensi atau
pengetahuan merasa enggan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya karena takut
menghilangkan nilai kompetitif pribadinya dalam organisasi. Selain itu untuk mentransfer
pengetahuan dibutuhkan pengetahuan mengenai komunikasi sehingga menyulitkan
individu yang sebenarnya mau mentransfer pengetahuan yang dimilikinya namun kurang
memahai cara mengkomunikasikan pengetahuan tersebut dengan efektif.
Meskipun sulit, transfer pengetahuan harus terus diusahakan karena tahap ini merupakan
pilar terpenting proses knowledge management. Kegagalan dalam tahap transfer
pengetahuan akan menimbulkan masalah diantaranya mengakibatkan berulangnya proses
penciptaan pengetahuan yang sebenarnya sudah ada dalam organisasi atau kurang
optimalnya pemanfaatan pengetahuan yang ada di organisasi.
KAPAN KITA BUTUH KNOWLEDGE MANAGEMENT

Mungkin salah satu pertanyaan yang paling menarik untuk dibahas seputar Knowledge
Management ialah judul artikel ini. Kapan kita butuh Knowledge Management ?
Pertanyaan ini menjadi penting bagi perusahaan atau organisasi yang baru mengenal
Knowledge Management dan sedang berfikir untuk menerapkan Knowledge
Management. Jawaban saya singkat saja. Anda membutuhkan Knowledge Management
ketika organisasi atau perusahaan anda ingin berkembang, tidak melakukan hal yang ituitu saja, membutuhkan profit tambahan atau sekedar bertahan dari serangan bisnis
pesaing yang terus menggerogoti pangsa pasar. Ok, saya tahu ini tidak masuk akal.
Semua organisasi dan perusahaan pasti menginginkan hal tersebut. Siapa yang tidak mau
eksis di bidangnya ? siapa yang mau neraca laba rugi menjadi minus ? siapa yang ingin
mengubur bisnis yang sudah dipertahankan bertahun-tahun lamanya. Tidak ada rasanya.
Jadi pertanyaannya bukan kapan kita butuh Knowledge Management tapi kenapa kita
belum melakukannya ? :)
Akan tetapi banyak perusahaan menginginkan jawaban yang lebih membumi. Berikut
beberapa alasan mendasar mengapa kita memang butuh Knowledge Management.
1. Ketika banyak terjadi reinventing the wheel.
Istilah reinventing the wheel sudah menjadi kalimat yang sering didengar, khususnya di
dunia konsultan. Bahkan untuk konsultan sekelas McKinsey Consulting dan Boston
Consulting Group, reinventing the wheeladalah masalah serius. Reinventing the
wheel secara singkat mengacu pada keadaaan dimana kita melakukan sesuatu yang sudah
pernah kita lakukan. Kita dalam perspektif ini bisa pribadi, kelompok atau perusahaan.
Saya sudah menceritakan sedikit pengalaman tentang reinventing the wheel di sini.
Ketika kita melakukan pekerjaan atau project maka yang seringkali dilakukan adalah
mencari keluarorganisasi atau perusahaan terkait pengalaman atau sumber acuan.
Alasannya simple saja. Dengan era keterbukaan seperti sekarang, maka Google adalah
tools yang paling powerfull untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, kita tidak sadar
bahwa pengetahuan yang kita butuhkan mungkin saja ada di dalam organisasi atau
perusahaan kita sendiri. Dalam bukunya, The McKinsey Mind (buku tersedia di KM
Online Library), Ethan M Rasiel dan Paul N. Friga menyebutkan langkah pertama yang
harus dilakukan oleh konsultan McKinseyadalah mencari tahu apakah project yang
sedang dikerjakan sudah pernah dikerjakan oleh konsultanMcKinsey lainnya karena kita
tidak pernah tahu kemungkinan entah kapan atau dibagian mana dari organisasi kita yang
pernah atau bahkan saat ini sedang mengerjakan hal serupa. Reinventing the wheel juga
berlaku bagi kesalahan dan kegagalan. Pepatah mengatakan bahkan keledai pun tidak
akan jatuh dua kali pada lubang yang sama.
Untuk kasus ini, peranan Knowledge Management adalah membantu perusahaan dan
organisasi untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka ketahui. Dengan tidak
mengulang pekerjaan serta menghindari kesalahan dari pengalaman maka organisasi akan
belajar dan beradaptasi jauh lebih cepat dari pesaingnya. Don't reinvent the wheel, just
realign it. Reinventing the wheel adalah fenomena pasti dalam suatu bisnis. Kita tidak
bisa menghindarinya tetapi kita bisa mengurangi kemungkinan terulang secara terus
menerus.

Bagaimana Knowledge Management bisa membantu kita mengatasi reinventing the


wheel ? Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menghubungkan pengetahuan
dan manusia yang memiliki pengetahuan tersebut dengan seluruh lini organisasi yang
membutuhkan. Secara aplikatif bisa dimulai dengan membangun budaya untuk
memberikan tanggapan secara cepat jika ada anggota yang membutuhkan,
mengidentifikasi orang-orang yang memiliki pengetahuan melalui Experience Locator,
membangun komunitas yang secara aktif saling membantu melalui Community of
Practice atau meningkatkan akses pada individu yang berpengalaman dan dokumen yang
sudah ada dengan membangun repository dan forum maya.
McKinsey adalah salah satu perusahaan yang dikenal berhasil dalam
menangani reinventing the wheel. Mereka memiliki sistem yang memastikan
seluruh project yang pernah dikerjakan tersimpan dengan rapi. Dokumen ini adalah
dokumen yang telah dibersihkan (cleansed document) dari nama perusahaan, sumbersumber confidential. Menyisakan pola pikir, data, struktur penelitian, metodologi dan
semua yang dibutuhkan seorang konsultan untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa
mengulang semua dari awal lagi.
2. Ketika banyak terjadi knowledge walkout
Pernah mendengar cerita bisnis yang menurun atau hilang sama sekali ketika PIC nya
keluar dari perusahaan ? atau pekerjaan yang terhambat karena tidak adanya orang
penting yang bisa mengerjakan project tertentu ? atau seorang CEO yang dipaksa
untuk bekerja setelah masa pensiunnya tiba. Kejadian-kejadian ini sangat sering kita
temui di lingkungan kita, khususnya di dunia bisnis. Sebagai sebuah entitas, perusahaan
dan organisasi tidak akan berjalan tanpa ada manusia sebagai penggeraknya. Tumpukan
barang di gudang akan berdebu ketika sales dan marketing tidak bekerja; alat tidak bisa
dijalankan ketika operatornya sakit; laporan keuangan tidak selesai ketika senior
analyst terlalu sibuk; atau portofolio yang hilang ketika account officerdibajak oleh
pesaing. Kasus-kasus ini adalah contoh nyata bahwa perusahaan hanyalah bangunan
kantor, meja, sistem, alat dan benda mati lainnya yang tidak akan berguna tanpa peranan
manusia yang memberikan nilai tambah. Untuk itu, manusia-manusia spesial ini perlu
diwaspadai keberadaannya. Bukan untuk dikekang tetapi digunakan secara maksimal.
Pengetahuan adalah milik manusia dan pasti akan terus dibawa oleh manusia. Ini
adalah nature dari bisnis. Yang bisa kita lakukan adalah mengalirkannya ke seluruh
organisasi. Dan inilah fungsi Knowledge Management.
Melalui serangkaian tools nya, Knowledge Management bertugas menjaga, menyimpan
dan mengalirkan pengetahuan ke seluruh organisasi. Yang perlu diperhatikan bahwa
pengetahuan paling banyak disimpan dalam kepala manusia. Sekeras apapun usaha kita
berusaha mengeluarkan dan mendokumentasikan pengetahuan dari kepala kita,
hasilnya tidak akan mencatat 100% pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu,
pendekatan yang diutamakan dalam menghindari knowledge walkout dan knowledge
lost ialah dengan membangun lingkungan yang nyaman bagi orang penting ini.
Pendekatan yang paling efektif selain mempertahankan mereka adalah dengan
membuat copy sebanyak mungkin orang-orang penting ini. Jika kita tidak bisa

menyimpan originalnya, maka lebih baik fokus untuk membuat tiruannya. Caranya dapat
dengan
melakukan team
up antara
anggota
senior
dengan
junior;
mendokumentasikan best
practice dan lesson
learnt;
membangun
kebiasaan sharing minimal 1 minggu sekali; konsisten menjalankan After Action Review;
menunjuk Knowledge Librarian untuk mendokumentasikan hasil project dan lainnya.
Inisiatif yang dipilih dapat disesuikan dengan budaya dan strategi perusahaan. Tidak
perlu mengubah, kita hanya perlu memastikan pengetahuan yang sudah dibangun dan
didapatkan perusahaan dengan susah payah keluar atau hilang karena kemalasan menjaga
pengetahuan itu sendiri.
Perusahaan-perusahaan Jepang adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang
berhasil mencegah terjadinya knowledge walkout. Dengan penghargaan tinggi pada
kesetian dan loyalitas, lingkungan yang mendukung pembelajaran terus menerus,
penciptaan ba atau ruang untuk mengalirkan pengetahuan telah membuat
tingkat knowledge lost ditekan hingga minimum. Matsushita, Toyota, dan Sony adalah
sebagian dari perusahaan tersebut.
3. Ketika inovasi menjadi prioritas
Setiap perusahaan dan organisasi pasti mengalami masa-masa ketika produk yang dijual
tidak laku dipasar; pesaing yang melakukan cara-cara radikal untuk mengikis portofolio
profit; business as usual tidak berlaku lagi; persaingan yang terjadi hanya dalam bentuk
harga paling murah dan keadaan ekstrim lainnya. Keadaan ini lebih dikenal sebagai red
ocean, samudra merah karena darah dari penghuninya yang setengah mati bertahan
hidup. Red ocean adalah mimpi buruk semua pebisnis. Saat itu, segala yang dilakukan
tidak lagi akan dilihat sebagai suatu kelebihan, hanya harga yang menjadi perhitungan.
Pertumbuhan terhenti karena kue yang diperebutkan hanya secuil itu saja. Pengusaha
dalam posisi tawar yang rendah sementara konsumen menikmati produk yang semakin
murah harganya. Solusi yang diperkenalkan secara luas oleh W. Chan Kim dan Renee
Mauborqne adalah dengan segera keluar dari red ocean, menciptakan pasar baru dan
secara nyaman berenang disana. Strategi ini dikenal sebagai blue ocean strategy. Dan
inovasi adalah salah satu nyawa paling penting untuk memastikan keberhasilan blue
ocean strategy.
Saya tidak akan membahas blue ocean strategy disini. Hal yang menarik justru bagi saya
ialah bagaimana Knowledge Management membantu perusahaan untuk menciptakan
inovasi. Jika melihat lebih detail, kita akan sadar bahwa inovasi adalah inti dari
Knowledge Management. Inisiatif Knowledge Management akan dinyatakan berhasil jika
memiliki nilai tambah. Artinya, seluruh tools, inisiatif dan kegiatan yang dilakukan atas
nama Knowledge Management haruslah memiliki nilai tambah sebagai hasil akhirnya.
Sangat sesuai dengan inovasi kan ? :)
Bagaimana Knowledge Management dapat menghasilkan inovasi ? Untuk menjawab hal
itu kita perlu melihat lebih jauh bagaimana proses inovasi terbentuk. Secara singkat,
inovasi dapat terbentuk dari berbagai cara. Inti dari inovasi sendiri adalah penciptaaan
nilai tambah secara konsisten, fokus dan terstruktur. Untuk menjelaskan bagaimana
inovasi terbentuk, penjelasan yang paling mudah adalah dengan mengacu pada SECI

yang dikenalkan oleh Nonaka dan Takeuchi dalam bukunya, The knowledge creating
company: how Japanese companies create the dynamics of innovation. Saya membahas
tentang SECI di artikel lainnya.
Proses terjadinya inovasi sendiri cukup sederhana. Ide-ide dikumpulkan dari seluruh
organisasi kemudian ide yang dianggap dapat memberikan nilai tambah diusulkan
menjadi inovasi baru dan dilanjutkan ke tingkat manajemen yang lebih tinggi seperti
RnD. Inovasi ini kemudian diuji lagi, dikembangkan lebih lanjut, penerapan skala kecil
hingga siap digunakan dalam proses bisnis. Rangkaian proses ini terlihat mudah dan
sederhana, tetapi penerapannya sangat sulit. Terkadang proses inovasi terhenti hanya
pada tahap uji coba atau bahkan hanya berupa saran tanpa tindak lanjut.
Disinilah peranan Knowledge Management menjadi terlihat. Dengan pendekatan
komunitas yang berfokus pada manusia, ide-ide dapat terjaring dari seluruh anggota
organisasi. Bentuk komunitas yang sering digunakan sebagai acuan adalah Community of
Practice (CoP). Melalui lingkungan komunitas yang terbuka dan mengedepankan
perbaikan, ide-ide awal dikumpulkan, disaring, didiskusikan, diuji. Pendekatan yang
mudah dan aplikatif, menjadikan CoP dapat digunakan oleh seluruh organisasi, bahkan di
tingkat pelaksana. Salah satunya ialah klien kami, perusahaan yang bergerak di
bidang food and beverages.
Sekitar 3 tahun yang lalu kami membantu mereka dalam menerapkan CoP di
organisasinya. Salah satunya ialah bagi sopir truk yang bertugas mengantar produk ke
pelanggan. Awalnya, sopir-sopir dikumpulkan di ruangan terbuka dimana kami dan
mereka duduk lesehan di karpet sederhana, dengan seteko kopi dan beberapa piring
pisang goreng. Sangat sederhana. Kami menjelaskan secara singkat apa maksud dan
tujuan acara kumpul-kumpul ini. Mereka hanya diminta berkenalan dan mengobrol apa
saja pada awalnya. Suasana dibangun dengan sederhana dan tanpa paksaan. Tidak ada
perintah untuk memberikan ide atau perbaikan. Hanya ngobrol selayaknya warung kopi
biasa. Setelah 1 jam, pertemuan selesai. Hasilnya tidak begitu menggembirakan. Semua
orang merasa tertekan dan tidak ada yang santai. Kami tidak menyerah. Pertemuan
dilakukan lagi minggu depan. Masih di tempat yang sama, karpet yang sama dan
makanan yang sama. Setelah 3 kali pertemuan, hasilnya masih kurang memuaskan. Tidak
ada yang didapatkan dari pertemuan ini. Perkembangannya hanya sopir-sopir yang sudah
saling mengenal dan mulai nyaman ngobrol. Pendekatan diubah. Manajemen dan kami
sebagai konsultan, tidak lagi ikut di CoP itu. Sebagai gantinya, kami mengundang
beberapa orang yang dinilai sebagai senior dan memiliki hubungan baik dengan sebagian
sopir. Kepada para core member ini kami menjelaskan makna dan tujuan CoP.
Selanjutnya terserah pada mereka untuk menjelaskan ke komunitas.
Hasilnya, setahun kemudian CoP sopir itu sudah jauh berbeda. Ketika kami datang,
mereka tidak lagi malu-malu atau takut. Bahkan kami dianggap tidak ada. Mereka asyik
diskusi tentang trik-trik memuat barang di salah satu toko, jalur-jalur yang perlu
diwaspadai, memperbaiki mesin dan topik aplikatif lainnya. Kini, manajemen
melaporkan bahwa tingkat efisiensi dan kecepatan pengantaran barang meningkat secara
drastis. Tidak hanya itu, turn over sopir juga menurun jauh. Dengan hanya seteko kopi,

beberapa piring pisang goreng, 1 jam waktu senggang serta paling penting sopir-sopir
yang ingin terus memperbaiki diri, klien kami mendapatkan apa yang tidak bisa
dilakukan dengan pendekatan manajemen biasa.
Itulah inovasi. Sebuah perjalanan dan tahapan yang terlihat mudah tetapi sangat sulit
diterapkan. Apa kunci dari ini semua ? Jawabannya adalah keterlibatan seluruh
organisasi, khususnya komunitas. Tapi komunitas tidak akan terwujud tanpa dukungan
manajemen yang menyeluruh dan konsisten. Hal yang sama juga dapat menjawab
pertanyaan kapan anda membutuhkan Knowledge Management. Semua harus dimulai
dari manajeman, khususnya pimpinan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai