BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Neglected Tropical Diseases (NTD) adalah sekelompok penyakit parasit dan
bacterial yang menginfeksi manusia lebih dari satu juta orang di dunia. NTD banyak
terdapat pada orang-orang miskin di dunia, NTD merusak fisik dan perkembangan
secara kognitif, penyakit ini juga mengkontribusi kematian ibu dan anak, sehingga
mempersulit mereka untuk mencari nafkah dan meningkatkan produktivitas.
Sehingga, NTD membuat masyarakat terbelenggu dengan kemiskinan dan penyakit.
(Hopkins, 2011)
Infeksi Parasit dan bakteri diketahui sebagai NTD termasuk infeksi cacing
(ascariasis, cacing tambang, dan trikuriasis), limfatik filariasis, onchocerciasis
dracunculiasis, schistosomiasis, Chagas disease, human African trypanosomiasis,
leishmaniasis, ulkus buruli, lepra, dan trachoma. Apabila diperluas dapat mencakup
DBD, treponematosis, leptospirosis, strongiloidiasis, neurocysticerosis, dan kudis,
serta penyakit tropis lainnya. (Peter J. Hotez, 2007)
NTD dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, kerugian ekonomi dan
menimbulkan dampak negatif terhadap pengembangan SDM kesehatan. "Jenis
penyakit NTD masih terabaikan. Kendalanya selama ini NTD terabaikan dari sudut
komitmen khususnya para pemimpin daerah, terabaikan dari segi pendanaan yang
disediakan untuk menyelesaikan permasalahan, ketersediaan SDM kesehatan dan
tenaga ahli juga lintas sektor, padahal meskipun tidak menyebabkan kematian
penyakit ini dapat menyebabkan kesakitan dan cacat seumur hidup. Jika tidak
dilakukan kerja sama lintas sektor untuk membantu menyelesaikannya, permasalahan
NTD dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, kerugian ekonomi dan
menimbulkan dampak negatif bagi pengembangan SDM kesehatan. WHO
menyatakan, bahwa penanggulangan NTD merupakan hak asasi manusia, karena
NTD memiliki dampak serius yang dapat mengakibatkan kelaparan, kemiskinan dan
kebodohan serta kehilangan pekerjaan. (Juliyah, 2012)
BAB II
PEMBAHASAN
tersebut
dapat
dilihat
sebagai
promotor
dari
kemiskinan
yang
Asacariasis
Global
Populasi
Prevalenc
yang
Tinggi
e (million)
807
Bersiko
4.2 juta
Trichuriasis
604
3.2 juta
Hookworm
576
3.2 juta
Schistomiasis
207
779 ribu
Limfatik
120
1.3 juta
Trachoma
84
590 ribu
Onchocercias
37
90 ribu
is
Leishmaniasi
12
350 ribu
Chagas
8-9
25 ribu
diseases
Leprosy
0,14
ND
Human
0,3
60 ribu
0.01
ND
infeksi
Filariasis
African
trypanosomia
sis
dracunculiasi
Sub-sahara Afrika
s
Buruli Ulcer
ND
ND
Sub-sahara Afrika
*ND denotes not determined (tidak teridentifikasi)
NTD menyebabkan sekitar 534 ribu kematian setiap tahunnya. Angka kematian
ini belum termasuk dari hasil penyakit infeksi saluran pernapasan, diare, HIV-AIDS
ataupun malaria. (Peter. J. Hotez, 2007)
Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi transisi
(epidemiological
triangle).
Hubungan
ketiga
faktor
tersebut
lebih
berat.
Apabila
faktor
lingkungan
berubah
menjadi
cenderung
menguntungkan agen penyebab penyakit, maka orang akan sakit. Pada prakteknya
seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut. (Widoyono,
2005)
1. Lingkungan
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik. Lingkungan fisik
terdiri dari:
a. Keadaan geografis (dataran tinggi/rendah, persawahan, dll.)
Keadaan geografis, seperti ketinggian, mempengaruhi penularan
penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000
m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga mempengaruhi daya tahan
tubuh seseorang. Semakin tinggi letak pemukiman, maka akan semakin
rendah kadar oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan
temperatur udara. Lingkungan persawahan juga bisa dihubungkan dengan
penyakit yang ditularkan oleh cacing, parasit, dan nyamuk. (Widoyono,
2005)
b. Kelembaban udara
Sebagian besar vektor penular penyakit dan agen penyebab penyakit
lebih menyukai lingkungan yang lembab. Nyamuk /Aedes aegypti biasanya
mencari tempat perkembangbiakan yang teduh dan terlindung dari sinar
matahari. (Widoyono, 2005)
c. Temperatur
Temperatur sering dihubungkan dengan cuaca dan letak negara. Di
negara tropis seperti Indonesia, temperatur yang lebih rendah lebih disukai
oleh vektor dan agen penyebab penyakit dibandingkan temperatur tinggi.
Sebagian besar bakteri akan mati pada pemanasan 80-90C kecuali
bakteri berspora yang baru mati pada temperatur 100C. Pada temperatur
40-50C atau 10-20C, mikroba hanya akan mengalami pertumbuhan yang
lambat karena pertumbuhan optimal mikroba terjadi pada temperatur 2040C Pada temperatur di bawah 0C tidak ada pertumbuhan mikroba.
(Widoyono, 2005)
d. Lingkungan tempat tinggal
Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan
penyakit.
Rumah
dengan
pencahayaan
yang
kurang
memudahkan
itu,
saluran
pembuangan
air
limbah
(SPAL)
juga
pertolongan
apabila
mengenai
sifat-sifat
agen
sangat
penting
untuk
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 10
ini muncul memiliki virulensi yang tinggi, misalnya SARS atau flu burung.
(Widoyono, 2005)
3. Pejamu
Hal yang perlu diketahui tentang pejamu meliputi karakteristik, gizi atau
daya tahan, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit, dan
pengobatan. Karakteristik pejamu dapat dibedakan sebagai berikut. (Widoyono,
2005)
a. Umur
Umur biasanya berhubungan dengan daya tahan tubuh seseorang
terhadap penyakit. Seorang bayi masih memiliki kekebalan pasif dari
ibunya. Namun dengan bertambahnya usia, kekebalan itu semakin
berkurang. Asupan gizi akan menggantikan fungsi kekebalan dalam
menghadapi penyakit. Keikutsertaan bayi dalam program imunisasi dasar
sangat berguna pada pencegahan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Karena sifat serangannya yang spesifik, demam berdarah
dengue jarang menyerang bayi. (Widoyono, 2005)
b. Jenis kelamin
Sebagian besar penyakit menular menyerang semua jenis kelamin.
Perbedaan prevalensi antara laki-laki dan wanita biasanya disebabkan oleh
gaya hidup (life style). Contohnya, penyakit HIV/AIDS lebih banyak
dialami oleh kaum laki-laki daripada wanita. (Widoyono, 2005)
c. Pekerjaan
Pekerjaan dapat berhubungan dengan penyakit menular yang dialami
seseorang. Petani akan mudah terserang penyakit cacing yang penularannya
melalui tanah atau daerah persawahan. Seseorang yang pekerjaannya
berhubungan dengan pembersihan got akan lebih mudah terserang
penyakit yang ditularkan melalui air kencing tikus (misalnya penyakit
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 11
Udara
Penularan melalui udara terbanyak adalah infeksi dengan
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 12
droplet. Penularan cara ini berasal dari percikan atau partikel ludah,
dahak, atau bersin. Jenis penyakitnya antara lain SARS, TBC, ISPA,
campak, dan difteri. Penularan melalui media ini sering tumpang tindih
dengan istilah via kontak langsung. (Widoyono, 2005)
3. Ma ka na n d a n minuma n
Penyakit diare adalah contoh penyakit yang paling sering
ditularkan melalui makanan dan minuman. Penyakit lainnya adalah
tifoid. Bibit penyakit mencemari makanan dan minuman melalui
berbagai cara yang akhirnya termakan oleh penderita. Pada KLB
kolera di salah satu provinsi di Sumatera pada sekitar tahun 1993
dilaporkan bahwa ratusan pasien mengalami diare akut. Setelah
diselidiki lebih Ianjut ternyata daerah-daerah yang terserang adalah
sepanjang satu daerah aliran sungai (DAS) Batang hari. (Widoyono,
2005)
Beberapa
bakteri
stafilokokus
dan
streptokokus
dapat
Vektor
Vektor penularan penyakit yang tersering adalah nyamuk
(nyamuk Aedes menularkan DBD dan Chikungunya, nyamuk
Anopheles menularkan penyakit malaria), pinjal untuk penyakit pes,
dan anjing, kucing, atau kera untuk penyakit rabies. (Widoyono, 2005)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 13
II.2.1. Filariasis
Penyakit ini dapat disebabkan oleh infestasi satu atau dua cacing jenis filaria
yaitu Wucheria bancrofti atau Brugia malayi. Cacing filaria ini termasuk famili
Filaridae, yang bentuknya langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran
darah limfe, otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada vertebrata. Cacing bentuk
dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan limfa pasien. (Sjaifoellah Noer,
2005)
Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan
penularan parasit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia
atau hewan kera dan anjing sebagai hospes definitif. Periodisitas beradanya
mikrofilaria di dalarn darah tepi bergantung pada spesies. Periodisitas tersebut
menunjukkan adanya filaria di dalam darah tepi sehingga mudah terdeteksi.
(Sjaifoellah Noer, 2005)
Mikrofilaria W. bancrofti ditemukan umumnya pada malam hari (nokturnal)
terutama di belahan bumi bagian selatan termasuk Indonesia, sedangkan di daerah
pasifik ditemukan siang dan malam (non-periodik). Sedangkan mikrofilaria B.
malayi mempunyai periodisitas nokturnal. Sebab timbulnya periodisitas ini belum
diketahui, mungkin dipengaruhi oleh tekanan zat asam dalam kapiler paru atau
lingkaran hidup cacing filaria. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Prevalensi mikrofilaria meningkat bersamaan dengan umur pada anak-anak
dan meningkat antara umur 20-30 tahun, pada saat usia pertumbuhan, serta lebih tinggi
pada laki-laki dibanding wanita. Lingkaran hidup filaria meliputi : 1). Pengisapan
mikrofilaria dan darah atau jaringan oleh serangga penghisap darah; 2). Metamorfosis
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 14
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 15
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 16
fibrosis. Dengan demikian terjadilah obstruksi limfatik dan penurunan fungsi limfatik.
(Sjaifoellah Noer, 2005)
Gejala Klinis
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, sedangkan bila sudah
lanjut akan menimbulkan gejala obstruktif. Mikrofilaria yang tampak dalam
darah pada stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti
limfangitis, limfadenitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah berdiam di
daerah endemik. Gejala peradangan tersebut sering timbul setelah bekerja berat
dan dapat berlangsung antara beberapa hari hingga beberapa minggu (2-3
minggu). Gejala dari limfadenitis adalah nyeri lokal, keras didaerah kelenjar limfe
yang terkena dan biasanya disertai demam, sakit kepala dan badan, lesu, dan tidak
nafsu makan. Stadium akut ini lambat laun akan beralih ke stadium menahun dengan
gejala-gejala hidrokel, dan elephantiasis. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Karena filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka ia
dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda. Reaksi pada manusia
terhadap infeksi filaria berbeda-beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan pasti,
sehingga seringkali kita membaginya atas dasar akibat infeksi filaria yaitu : 1).
Bentuk tanpa gejala; 2). Filariasis dengan peradangan; 3). Filariasis dengan
penyumbatan. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Umumnya
di
daerah
endemik,
pada
pemeriksaan
fisik hanya
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 17
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 18
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 19
Tingkat 3. Edema non pitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai diangkat, kulit
menjadi tebal.
Tingkat 4. Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).
Hubungan antara adanya mikrofilaria di dalam darah dan elephantiasis sangat
kecil, karena mikrofilaria menghilang setelah cacing niati. Bila saluran limfe kandung
kencing dan ginjal pecah akan timbul kiluria, sedangkan Episode berulang
adenolimfangitis pada saluran limfe testis yang mengakibatkan pecahnya tunika
vaginalis akan terjadi hidrokel atau kolakel, dan bila yang pecah saluran limfe
peritoneum terjadi asites kilus. Gambaran yang sering tampak adalah hidrokel (4050% kasus) dan limfangitis alat kelamin. Pemeriksaan transiluminasi biasanya
positif. Cairan hidrokel ini biasanya jernih namun pada beberapa kasus bisa keruh.
Limfangitis dan elephantiasis ini dapat diperberat dengan infeksi sekunder oleh
Streptococcus untuk kepentingan klinik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 20
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 21
limfoskintigrafi
dengan
radionuklir
pada
ekstremitas
dengan
manifestasi
klinis.
Kegunaan
dari
limfoskintigrafi ini adalah: 1) Peragaan alur aliran limfe; 2). Evaluasi kecepatan aliran
limfe, kecepatan absorpsi, dari tempat injeksi, mengukur waktu akumulasi tracer di
daerah kelenjar limfe; 3). Peragaan kelenjar limfe; 4). Peragaan pusat inflamasi
dengan jaringan lunak dan kelenjar yang baru terbentuk pada proses inflamasi
menahun; 5). Menemukan kerusakan trauma saluran limfe; 6). Membedakan edema
tungkai limfe, trauma mekanik tungkai bawah; 7). Mengikuti proses perubahan
obliterasi limfe. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pengobatan
Perawatan Umum
Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan mengurangi
derajat serangan akut. (Aru W. Sudoyo dkk, 2009)
Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses. (Aru W. SUdoyo,
2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 22
ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian dosis satu kali
per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan
mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Dietilcarbamazine (DEC) sebagai satusatunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Pengobatan dilakukan dengan
pemberian DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini dapat diulang 1
hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8 mg/kgBB/
hari). (Inge Sutanto dkk, 2008)
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin
sangat efektif menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh
cacing dewasa (non-makrofilarisidal), sehingga terapi tersebut tidak dapat
diharapkan menyembuhkan infeksi secara
makrofilarisidal untuk W. bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu.
Namun, dari penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi untuk
mengobati individu, DEC masih digunakan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat farmakologis,
tergantung dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi filariasis
maupun tidak. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap
kematian parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obatnya tapi pada jumlah
parasit dalam tubuh hospes. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Ada 2 jenis reaksi: 1). Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa
sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia,
lemah, hematuria transien, reaksi alergi, muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi
karena kematian filaria dengan cepat dapat menginduksi banyak antigen sehingga
merangsang sistem imun dan dengan demikian menginduksi berbagai reaksi. Reaksi
ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari.
Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak terlalu hebat pada dosis kedua
dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya; 2). Reaksi lokal dengan
atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien limfedema, hidrokel,
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 23
funikulitis, dan epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian dan berlangsung
lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan. Reaksi
lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis; berhubungan dengan
keberadaan cacing dewasa atau larva stadium IV dalam tubuh hospes. Efek samping
pada pemberian ivermektin, patogenesisnya sama dengan pada pemberian DEC, hanya
lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibandingkan filariasis bankrofti. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Hampir semua usaha untuk membuat saluran limfe baru
mencapai keberhasilan yang terbatas. Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan
antara lain : 1). Limfangioplasti; 2). Prosedur jembatan limfe; 3). Anastomosis
pembuluh limfe tepi ke dalam; 4). Bedah mikrolimfatik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pencegahan
Kontrol penyakit pada popular adalah melalui kontrol vektor (nyamuk). Namun
hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8 tahun).
Baru-baru ini, khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal, sekali
pertahun, 2 regimen obat Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/kgBB cukup
efektif. Hal ini merupakan pendekatan alternatif dalam menurunkan jumlah
mikrofilaria dalam populasi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC
dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC
diberikan dengan dosis lebih rendah (6 mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian
yang lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk
garam DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali,
atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 tahun. Untuk pencegahan individu yaitu dengan
menghindari kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan
obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Peran serta masyarakat sangat diperlukan, seperti masyarakat diharapkan bersedia
datang dan mau diperiksa darahnya pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 24
darah; bersedia minum obat anti-penyakit kaki gajah secara teratur sesuai dengan
ketentuan yang diberitahukan oleh petugas; memberitahukan kepada kader atau petugas
kesehatan bila menemukan penderita filariasis; dan bersedia bergotong-royong
membersihkan sarang nyamuk atau tempat pembiakan nyamuk.
II.2.2. Ascarisiasis
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit
yang disebabkannya disebut askariasis. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa
hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan
manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran
darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus,
masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Pendenta
batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur
matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3
bulan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 25
Gambar 4.
siklus hidup Ascaris lumbricoides
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 26
Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk
perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat
10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 27
A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Daur hidupnya sebagai berikut: Telur > larva rabditiform > larva filariform
-> menembus kulit > kapiler darah > jantung kanan -> paru > bronkus > trakea
> laring >usus halus (Inge Sutanto dkk, 2008)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 28
II.2.4. Trichurisasis
Manusia merupakan hospes cacing ini Trichuris Trichuria. Penyakit yang
disebabkannya disebut trikuriasis. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Morfologi dan Daur Hidup
Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya
membulat tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 29
Mebendazol 100 mg (dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut) (Inge
Sutanto dkk, 2008)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 30
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 31
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 32
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 33
tidur, atau Human african trypanosomiasis, yang menyebar melalui gigitan lalat
tsetse. Selain gigitan lalat tsetse, penyakit ini dapat ditularkan dari ibu ke anak atau
lewat transfusi darah. (Agung Dwi Hartanto, 2010)
II.2.7. Leishmaniasis
Manusia merupakan hospes definitif parasit ini dan yang berperan sebagai
hospes reservoar adalah anjing, gerbil dan binatang pengerat lainnya. Hospes
perantaranya adalah lalat Phlebotomus. Parasit ini menyebabkan leismaniasis kulit
atau oriental sore. Ada dua tipe oriental sore yang disebabkan oleh strain yang
berlainan, yaitu: 1) leismaniasis kulit tipe kering atau urban yang menyebabkan
penyakit menahun; 2) leismaniasis kulit tipe basah atau rural yang menyebabkan
akut. (Inge Sutanto dkk, 2008)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 34
Daerah endemi penyakit ini terdapat di berbagai negeri sekitar Laut Tengah,
Laut Hitam, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, Arab, India, Pakistan dan Ceylon. Di
Indonesia penyakit ini belum pernah ditemukan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
L.tropica dalam sediaan apus dari lesi kulit terdapat intraselular dalam leukosit, sel
mononuklear, sel polinuklear dan sel epitel atau terdapat ekstraselular. Masa tunas
penyakit ini adalah 2 minggu sampai 3 tahun. Pada manusia penyakit ini terbatas
pada jaringan kulit dan kadang-kadang menyerang selaput mukosa. Pada porte
d'entree terjadi hiperplasia sel RE yang mengandung stadium amastigot; mula-mula
terbentuk makula kemudian menjadi papul. Papul lalu pecah dan terjadi ulkus. Ulkus
dapat sembuh sendiri dalam waktu beberapa bulan, kemudian meninggalkan parut yang
kecil. Bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, mungkin timbul gejala umum seperti
demam, menggigil dan bila ulkus sembuh dapat meninggalkan parut yang besar. Ulkus
pada leismaniasis kulit atau oriental sore dapat sembuh sendiri dalam beberapa bulan,
meskipun penderita tidak diobati. (Inge Sutanto dkk, 2008)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 35
di daerah wajah, dianjurkan untuk tidak diberi pengobatan sampai waktu tertentu
supaya penderita mendapat kekebalan. Untuk daerah non-endemik pengobatan harus
segera diberikan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Anjing, gerbil dan binatang pengerat lainnya merupakan sumber infeksi yang
penting bagi manusia. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya transmisi antara
penderita dan vektor, dianjurkan untuk menutup luka. Pemberantasan vektor (lalat
pasir) dilakukan dengan penyemprotan insektisida di rumah-rumah. Juga dianjurkan
memakai kelambu atau repelen waktu tidur agar terlindung dari gigitan lalat. Imunisasi
aktif dapat memberikan perlindungan yang efektif, meskipun imunitas baru didapat
setelah beberapa bulan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
II.2.8. Leprosy
Penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau
neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam, dengan
gejala-gejala klinis yang berspektrum luas.
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, lepra dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 36
Manifestasi klinis dari lepra sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit
Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang
sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun
jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu
seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa
rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta
tuberkuloid. Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula
kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).
Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis
kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan
penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun
pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak
menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul
Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak
sering menyebabkan luka atau lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah
pada penderita AIDS. Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah
bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif,
berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium. M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
II.2.9. Trachoma
Penyakit infeksi kronik pada konjungtiva dan kornea yang menimbulkan
fotofobia, nyeri, dan lakrimasi, disebabkan oleh galur Chlamydia trachomatis. Masa
inkubasi berlangsung selama 5 12 hari. Folikel-folikel kecil dan papila yang
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 37
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 38
Buruli adalah
kekeb alan ,
agen
necrotising
dan
penggerak
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 39
Infeksi ini sebagian besar pada tungkai, paling sering di daerah disinari
tetapi tidak di tangan atau kaki. Pada anak-anak semua wilayah mungkin
terlibat, termasuk wajah atau perut. Sebuah bentuk yang lebih parah
infeksi menghasilkan baur pembengkakan anggota badan, y a n g , t i d a k
seperti
papul
atau
nodul,
bisa
menyakitkan
dan
disertai
mungkin
memerlukan
pengobatan
lama
dengan
luas
ini
memainkan
peranan
kecil
dalam
menangani
ulkus
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 40
yang menyebabkan schistosomiasis hidup pada siput air. Infeksi yang terjadi pada
manusia disebabkan oleh Schistosoma mansoni, S. haematobium, atau S. japonicum.
Gambar 14. Kiri: Biomphalaria sp., the intermediate host for S. mansoni. Kan:
Bulinus sp., the intermediate host for S. haematobium and S. intercalatum. Tengah:
Adults of S. mansoni. The thin female resides in the gynecophoral canal of the
thicker male.
Schistosomiasis merupakan salah satu penyebab utama penyakit di dunia yang
terdapat pada tempat dengan sanitasi yang buruk. Anak-anak yang tinggal di daerah
dengan sanitasi yang buruk lebih berisiko terinfeksi karena mereka sering
menghabiskan waktu untuk bermain ataupun mandi pada air yang terdapat onfeksi
cercariae. Daerah yang banyak terdapat manusia terinfeksi schistosomiasis, yaitu:
A. Schistosoma mansoni
Tersebar di Afrika, terdapat beberapa tenpat yang berisiko terinfeksi
southern dan sub-Saharan Africa termasuk danau besar, sungai dan
selokan. Persebrannya juga terdapat di sungai Nil di Sudan dan Mesir. Di
amereika selatan; termasuk Brazil, Suriname, dan Venezuela.
B. S. haematobium
Tersebar di Afrika, terdapat beberapa tenpat yang berisiko terinfeksi
southern dan sub-Saharan Africa termasuk danau besar, sungai dan
selokan. Persebrannya juga terdapat di sungai Nil di Sudan dan Mesir,
serta terdapat pada daerha timur tengah.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 41
C. S. japonicum
Jenis ini ditemukan di Indonesia, cina dan asia tenggara.
D. S. mekongi
Ditemuakan di Cambodia dan Laos.
E. S. intercalatum
Ditemukan di afrika barat dan tengah.
Untuk mengetahui schistosomiasis menggunakan sampel urin dan feses.
Sampel urin ataupun feses ini diamati pada mikroskop untuk melihat adanya telur
parasit (feses untuk melihat telur S. mansoni or S. japonicum dan urin untuk telur S.
haematobium ). Telur yang terdapat pada sampel terdapat dalam jumlah yang sedikit
sehingga terkadang tidak dapat terlihat, sehingga untuk diagnose yang lebih tepat
dapat dilakukan serologi test.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 42
siput berkembang biak di dalam siput. Parasit meninggalkan siput dan masuk keda
lam air dimana parasit dapat bertahan hidup selama 48 jam. Pada beberapa minggu
awal, parasit berpindah melalui jaringan hospes dan berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam aliran darah. Ketika dewasa, cacing jantan dan betina bertemu,
cacing betina bertelur. Beberapa dari telur ini mengalir ke kandung kemih atau usus
dan keluar melalui urin ataupun feses.
Gejala yang terjadi pada schistosomiasis bukan hanya disebabkan oleh cacing
tetapi juga oleh reaksi tubuh oleh telur parasit. Telur parasit yang tidak keluar dari
tubuh menjadi obstruksi di usus atau kandung kemih sehingga menyebabkan
inflamasi dan lesi. Anak-anak yang terus menerus terinfeksi dapat mengidap anemia,
malnutrisi, dan lainnya. Setelah beberapa tahun terinfeksi dapat berdampak pada
liver, pencernaan, ginjal, paru-paru dan kandung kemih.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 43
bertahun-tahun. Tanda dan gejala yang terdapat pada schistosomiasis kronik yaitu
abdominal pain, pembengkakan liver, darah pada feses atau urin dan sulit buang air
kecil. Infeksi kronik juga dapat memicu resiko kanker vesika urinaria. Seringkali,
telur ditemukan pada otak atau saraf tulang belakang dan menyebabkan kejang,
lumpuh atau inflamasi saraf tulang belakang. Untuk pengobatan, gunakan
praziquantel sesuai resep selama 1-2 hari
II.2.12. Onchocerciasis
Onchocerciasis atau river blindness disebabkan oleh cacing parasit
Onchocerca volvulus. Cacing ini berpindah melalui gigitan yang berulang kali oleh
lalat hitam dengan genus Simulium. Penyakit ini disebut river blindness karena lalat
hitam berkembangbiak di dekat aliran sungai yang deras dan menyebabkan kebutaan.
Di dunia onchocerciasis merupakan urutan kedua setelah trachoma sebagia penyebab
kebutaan.
Infeksi Onchocercal
terdapat infeksi tersebut yaitu sub-sahara afrika, walaupun parasit ditemukan juga di
beberapa tempat di Amerika dan Yemen di timur tengah. WHO memperkirakan
bahwa 37 juta orang di dunia terinfeksi oleh O. volvulus; 270 ribu mengalami
kebutaan dan 500 ribu lainnya mengalami gangguan penglihatan. Sedangkan, 90 juta
orang beresiko terinfeksi oleh parasit ini.
Orang yang beresiko tinggi terkena infeksi onchocerciasis adalah mereka yang
hidup dekat dengan aliran sungai yang terdapat lalat hitam Simulium. Sebagian besar
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 44
daerah yang terdapat lalat hitam adalah daerah pertanian kumuh di sub-sahara Afrika.
Biasanya membutuhkan banyak gigitan agar terinfeksi, sehingga mereka yang hanya
singgah sementara waktu (kurang dari 3 bulan) pada daerah tersebut beresiko kecil
terinfeksi oleh O. volvulus. Para pendatang yang beresiko tertular adalah mereka yang
menetap lama seperti relawan atau ilmuwan.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 45
selam 15 tahun di dalam tubuh hospes dan larva dapat bertahan hidup selama 2 tahun.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 46
c. Infeksi pada mata dapat di diagnosis dengan slit-lamp pada bagian anterior
mata dimana larva atau lesi dapat terlihat.
d. Tes antibody telah dikembangkan untuk mendiagnosis infeksi, walaupun tidak
terdapat di seluruh amerika. Tes ini tidak dapat membedakan antara infeksi
yang telah lama atau baru, sehingga tidak terlalu berguna bagi mereka yang
tinggal di mana parasit tersebut hidup tetapi berguna bagi mereka yang
singgah.
Pengobatan yang disarankan yaitu menggunakan ivermectin yang diberikan
selama 6 bulan untuk masa hidup cacing dewasa selama orang yang terinfeksi
terdapat gejala pada kulit dan mata. Ivermectin membunuh larva dan mencegah
terjadinya gejala yang lain tetapi tidak membunuh cacing dewasa. Terdapat
pengobatan yang baru menggunakan doxycycline yang dapat membunuh cacing
dewasa dengan membunuh bakteri Wolbachia dimana cacing dewsa menggunakannya
untuk bertahan hidup. Sebelum menjalani pengobatan, pastikan bahwa pasien tidak
terinfeksi oleh LoaLoa, karena LoaLoa bertanggungjawab atas efek samping yang
terjadi selama pengobatan Onchocerciasis.
II.2.13. Dracunculiasis (Guinea worm)
Dracunculiasis atau disebut juga guinea worm disease (GWD) disebabkan
oleh parasit Dracunculus medinensis. Penyakit ini menyerang masyarakat miskin di
daerah Afrika yang tidak ada persediaan air bersih. Pada tahun 1986, terdapat sekitar
3.5 juta kasus GWD per tahun di wilayah Afrika, Asia dan Timur tengah. Dengan
adanya Program pemberantasan Guinea Worm, angka kasus menurun hingga 1800
kasus tercatat di seluruh dunia pada tahun 2010. Lebih dari 84% kasus pada tahun
2010 berasal dari Sudan Selatan. Sisanya bersaal dari Chad, Ethiopia, Mali dan
Ghana
Manusia terinfeksi oleh Guinea worm dengan meminum air tergenang yang
terdapat copepod (kutu air) yang membawa larva cacing Guinea (immatur). Larva
tersebut dimakan oleh copepod yang hidup di air tergenang. Larva tersebut
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 47
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 48
disebabkan karena penggunaan sumber mata air terkontaminasi yang sama terusmenerus dan kondisi yang membantu penyebaran penyakit ini tidak berubah.
Pada awalnya tidak terdapat gejala selama satu tahun. Kemudian, pasien
tersebut akan mersakan gejala, yaitu demam, ruam yang gatal, diare, pusing, mual,
muntah. Kulit melepuh,kullit melepuh bisa terdapat di mana saja. Terdapat 80%-90%
kasus mencatat bahwa lepuhan terdapat di bagian bawah tubuh. Kulit yang melepuh
ini berambah besar dalam beberapa hari dan menimbulkan rasa sakit panas. Ketika
orang yang terinfeksi tersebut meringankan rasa sakit panas tersebut dengan air,
cacing akan merasakan perubahan temperature dan melepaskan ratusan hingga ribuan
larva ke dalam air.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 49
Pada GWD tidak ada obat khusus ataupun vaksin untuk mencegahnya. Satusatunya cara agar terhindar yaitu dengan mencegah perkembangan larva cacing
guinea pada sumber mata air. Untuk pencegahan GWD terdapat beberapa langkah
yaitu:
a. Setiap hari pada bagian tubuh yang terdapat cacing benamkan pada air
untuk membuat cacing keluar. Untuk mencegah kontaminasi, orang yang
terinfeksi tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam air tersebut.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 50
d. Kemudian bungkus cacing dengan kain atau batang agar cacing tetap
tegang dan dapat mendorong cacing yang lain keluar
e. Setelah itu, berikan antibiotic pada luka agar tidak terkena bakteri.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 51
f. Beri kain kasa steril pada luka tersebut. Berikan ibuprofen atau aspirin
untuk meredakan rasa sakit dan inflamasi.
II.2.14. Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa saluran pernafasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk
membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 52
oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium dyphtheriae. Basil ini
juga disebut bakteri Klebs-Loffler karena ditemukan pertama kalinya tahun 1884
oleh bakteriologist dari German yaitu Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Loffler
(1852-1915). Basil ini termasuk jenis batang gram positif, pleomorfik, tersusun
berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak membentuk spora (kapsul), aerobik dan
dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu, diameternya 0,11 mm dan
panjangnya beberapa mm. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada kultur, kelompok basil ini akan berhubungan satu sama lain sehingga
seperti karakter (huruf) Cina. Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti:
medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada
medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni koloni yang
kecil, granular dan berwarna hitam dan dilingkari warna abu-abu coklat. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Menurut
bentuk,
besar
dan
warna
koloni
yang
terbentuk,
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 53
c. Intermediate: koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis
mitis. Karakteristik jenis gravis adalah dapat memfermentasikan tepung kanji
dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis basil ini dapat
memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Jenis yang banyak tidak virulen adalah grup mitis, kadang kadang ada
bentuk gravis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain
toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Patogenesis dan Patologi
Manusia
merupakan
satu-satunya
reservoir
dari
infeksi
difteri.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 54
laring, kadang-kadang di kulit, konjungtiva. atau genital. Basil ini kemudian akan
memproduksi eksotoksin, yang diabsorpsi melewati membran sel mukosa, yang
menyebabkan terjadinya peradangan dan destruksi sel epitel diikuti oleh nekrosis.
Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibria, kemudian diinfiltrasi oleh sel lekosit.
Keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya patchy exudate yang pada permulaan
masih bisa terkelupas. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin
meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam,
sehingga menimbulkan terbentuknya fibrous exsudate (membran palsu) yang terdiri
atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwama abu-abu
sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan
perdarahan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Membran palsu ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan
berat bisa meluas sampai ke trakea dan kadang kadang ke bronkus, kemudian diikuti
edema soft tissue di bawah mukosanya, Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi
saluran pernapasan sehingga memerlukan tindakan segera. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening
servikal dan edema pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema
muka menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bull's neck appearance. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya, diserap masuk ke dalam sirkulasi
darah menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ organ
tubuh berupa degenerasi, infiltrasi lemak dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal,
hati, kelenjar adrenal dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan
miokarditis, A-V disosiasi sampai blok total, dan payah jantung. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Akibat lain dari C.Diphtheriae adalah terjadinya trombositopenia dan
proteinuria. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan jantung atau asfiksia
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 55
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 56
Difteri laring
Pada jenis ini, ditemukan perluasan pembentukan membran dari faring ke daerah
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 57
laring. Gejala yang ditemukan adalah suara parau, batuk-batuk hebat dan membran
bisa menimbulkan sumbatan aliran pernafasan, dan menimbulkan kematian. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
klinisnya
yang
khas,
karena
keterlambatan
diagnosis
dapat
menyebabkan penyakit bertambah lanjut, berat dan fatal. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya C.Diphtheriae dengan
melakukan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai. Pemeriksaan ini
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 58
membutuhkan waktu dan media yang selektif, yaitu Media selektif Loffler, media
Tellurite, dan Agar Tindale: Tumbuh koloni C.dyphtheriae yang berwarna hitam yang
dikelilingi oleh warna abu-abu kecoklatan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
;
Pengobatan
ampisilin,
eritromisin,
trimetrofim,
kuinolon,
clindamisin
dan
sefalosporin. Pemberian antibiotik. a. Penisilin prokain: 1.200.000 unit/ hari, secara I.M, 2
kali sehari, selama 14 hari. b. Eritromisin: 40 mg/KgBB/hari, maksimal 2 gram/hari,
secara peroral 4 kali sehari selama 14 hari. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 59
Pemberian antitoksin
Diberikan sedini mungkin begitu diagnosis secara klinis ditegakkan, tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Antitoksin yang diberikan tidak mampu
menetralisir toksin yang sudah berikatan dengan jaringan, hanya bisa menetralisir toksin yang
masih beredar pada sirkulasi darah, sehingga keterlambatan pemberian antitoksin akan
meningkatkan angka kematian. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Dosis antitoksin yang diberikan tergantung kepada jenis difterinya, dan tidak
dipangaruhi oleh umur pasien, yaitui sbb: (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Difteri nasal atau fausial yang ringan diberikan 20.000-40.000 U, secara IV
dalam waktu 60 menit
Difteri fausial sedang diberikan 40.000-60.000 U, secara IV
Difteri berat (bullneck dyphtheria) diberikan 80.000-120,000U, secara I.V.
Pemberian anti toksin harus didahului dengan uji sensitivitas, karena
antitoksin dibuat dari serum kuda. Apabila uji sensitivitas positif, maka diberikan secara
desensitisasi dengan interval 20 menit, dosisnya sebagai berikut: (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
0,1
ml
larutan
1:20,
subkutan
(dalam
cairan
Na
Cl
0,9%)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 60
II.2.15. Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 61
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis
tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat di mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi
dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan
bakteri gram posotif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri
anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna,
berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan
selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari
dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20
menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan,
tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120C selama 15
menit Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan
bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan
lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.
Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.
Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin.
Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin
rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri
dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatnya dengan reseptor sel saraf dan
masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk
memblokade pelepasan neurotransmiter. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 62
Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamasi dan port d'entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi,
kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber
infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai
ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000
Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif
terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai
berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin
ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan
menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GDlb dan GTlb
pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat
memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf
di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon
dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan
masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori
spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal
retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 63
tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu
mekanisme yang tidak jelas. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitor, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai
ringan, efek toksik dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter.
Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel
intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin
merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik
tunggal, sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah
toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi,
sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih
panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik
juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan
perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip
dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun
demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada
berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus
mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada
penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermiten dan
serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler
dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis
saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah
pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa
paralisis flaksid. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak
akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 64
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkonstraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan
dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering
terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota
tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relative jarang terlibat.
(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya
kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma
yang berlebihan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan
di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung
saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke
dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal
sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut
saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut saraf di
kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Gambar
26.
Patogenesis
Tetanus
Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 65
dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan
ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi
intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat hanyalah
trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di dalam gedung yang tidak
dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan medis. Pada 15-25% pasien, tidak
terdapat bukti adanya perlukaan baru. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat,
median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus
terjadi setelah 14hari. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut,
sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus
atau 'rahang terkunci'. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang
menyebabkan ekspresi wajah yang khas, 'risus sardonicus' dan meluas ke otot-otot untuk
menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot
leher menyebabkanr etraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan
gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon
dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan
kesadaran tidak terpengaruh. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok
otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan
atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau
emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 66
frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur
tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat
generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi
berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering
diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan
obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata,
otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya
pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk
mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi orofaringeal,
reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin, dan histeria. Akibat trauma
perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan
rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefelik di mana tetanus lokal yang berasal dari
luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran
klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan
mortalitasnya tinggi tetanus neonatarum menyebabkan lebih dari 50% kematian akibat
tetanus di seluruh dunia, tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara maju. Neonatus, usia di
bawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat menerima
minuman. Kejang, meningitis dan sepsis merupakan diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat
generalisata dan mortalitasnya tinggi. Higiene umbilikal yang buruk merupakan
penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama
kehamilan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf simpatis. Peranan sistem saraf
parasimpatis kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nukleus vagus, di
mana pada saat yang bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang
berlebihan. Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan
aktivitas vagal. Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, ruptur
otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 67
Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya
fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas
potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat,
kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset
biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan
spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi,
90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup. (Aru W.Sudoyo
dkk, 2009)
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat
bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun
demikian secara umum prognosisnya baik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan
paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Perjalanan Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 710 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan
dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan
rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai
beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu Spasme berkurang setelah
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 68
2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuh
lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4
minggu. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 69
Pengobatan
Setiap penderita tetanus harus di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan
pelayanan dengan fasilitas tertentu. Setelah menemukan kasus ini, petugas
lapangan perlu segera merujuk penderita ke rumah sakit terdekat. Kecepatan
merujuk sangatlah berpengaruh pada angka kematian kasus. Pengobatan di rumah
sakit umumnya meliputi: (Widoyono, 2005)
1. Pemberian antibiotic untuk membunuh bakteri, biasanya dengan penisilin atau
tetrasiklin.
2. Pemberian antikejang
3. Perawatan luka atau penyebab penyakit infeksi
4. Pemberian antitetanus serum (ATS)
Pencegahan
Dengan upaya pencegahan yang baik maka angka kesakitan dan angka kematian
yang disebabkan oleh tetanus dapat diturunkan. Upaya-upaya tersebut meliputi:
(Widoyono, 2005)
1. Imunisasi aktif dengan toksoid. Diharapkan semua wanita usia subur (WUS)
sudah mendapatkan suntikan toksoid selama lima kali sebelum ia hamil.
Status imunisasi yang demikian disebut tetanus toksoid (TT) 5 dosis yang
akan member perlindungan terhadap tetanus selama 25 tahun.
2. Perawatan luka. Dilakukan dengan pemberian hydrogen peroksida (H2O2)
untuk oksigenasi luka di jaringan tubuh.
3. Persalinan yang bersih. Persalinan dengan 3 bersih (yaitu bersih tempat, alat
dan tangan penolong persalinan) dengan perhatian pada saat pemotongan tali
pusat.
Program Pemberantasan
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 70
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 71
Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikasikan msnjadi 6
genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, Mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe
4, dan European bat lyssa-virus genotip 5 dan 6. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Transmisi
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing,
kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan
binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun
melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap
infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pemah dilaporkan.Infeksi rabies
pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet,
luka robek) atau mukosa. Paling sering infeksi terjadi melalui gigitan anjing, tetapi
bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala,
musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana
dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar
tanpa ada gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di
laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya
infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang
mungkin terinfeksi rabies. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Patogenesis dan Patologi
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 72
pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus berkembang biak atau
langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan
perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran
plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat
pengikatan adalah reseptor asetilkolin post-sinaptik pada neuromuscular junction di
susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui
endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis
dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan
kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan
serebrospinal. Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua
bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer
termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula),
ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar
ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin.
Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies
tipefarious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan
patologi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular,
neuronofagia, dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.
Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus
terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri
bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri,
batang otak, hipotalamus, sel Purkinje serebelum, ganglia dorsalis medulla spinalis. Pada
20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan
terjadinya aritmia pada pasien rabies. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Gejala Klinis
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 73
Masa inkubasi rabies 95 % antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi
antara 7 hari-7 tahun, hanya 1 % kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya
inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan.
Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya
masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan
(jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah
luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam
keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu: 1. gejala prodromal
non-spesifik; 2. ensefalitis akut; 3. disfungsi batang otak; 4. koma dan kematian. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala
spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh
demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia,
mual, muntah, diare dan nafsu makan menurun. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 74
fobia
terhadap
rangsangan-rangsangan
tersebut.
Bila
penderita diberi segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme
hebat otot-otot faring, akibatnya penderita menjadi takut terhadap air (hidrofobia)
yang khas untuk rabies. Keadaan yang sama dapat ditimbulkan oleh rangsangan
sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerofobia), atau dengan
menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) atau dengan menepuk tangan didekat telinga
pasien. Tanda-tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktivitas, halusinasi,
gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot dan
gerakan-gerakan involunter, fluktuasi suhu badan, dilatasi pupil. Lesi pada nukleus
amigdaloid memberikan gejala libido yang meningkat, priapismus, dan orgasme
spontan. Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil yang
ireguler, peningkatan lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi postural,
hipersalivasi. Gejala lain dalam fase neurologik akut ialah demam, fasikulasi otot,
hiperventilasi dan konvulsi. Meskipun sering kejang penderita tetap sadar. Gejalagejala stadium eksitasi dapat terus berlangsung sampai penderita menihggal.
Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal napas
yang disebabkan oleh kontraksi hebat otot-otot pemapasan atau keterlibatan pusat
pemapasan dan miokarditis, aritmia dan henti jantung akibat stimulasi saraf vagus.
Bila stadium ini dapat terlewati, penderita masuk ke stadium paralitik. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan masuk stadium paralitik
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 75
yang ditandai oleh demam dan sakit kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit,
mungkin difus atau simetri, atau dapat menyebar secara ascenden seperti pada
sindroma Guillain-Barre, dan kaku kuduk dapat dijumpai. Pada stadium paralitik dapat
tidak ditemui gejala hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas dan kejang. Pada keadaan ini
kesadaran dapat utuh, akan tetapi dapat memburuk secara gradual menjadi
bingung, disorientasi, paraplegia, gangguan menelan, kelumpuhan pernafasan, dan
akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi neurologik akut terjadi selama 2-7 hari dengan
fase paralitik lebih panjang. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Stadium Koma
Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologic, penderita dapat
mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah tampak gejala rabies dan
dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari
penanganan intensif. Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat segera
meninggal setelah terjadi koma, dan pada penanganan di Amerika Serikat rata-rata
lamanya perawatan sampai meninggal 13 hari. Beberapa komplikasi dapat terjadi dan
menjadi penyebab kematian. Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies
meninggal, hanya ada 4 laporan penderita ensefalitis rabies hidup. Dua penderita
diberikan vaksin tanpa imunoglobulin sesudah gigitan multipel dan bertahan hidup
lama (34 bulan pada 1 kasus) tetapi dengan gangguan neurologik yang berat. Dua kasus
lain didiagnosis sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin embrio bebek dan
suckling mouse vaccine tetapi diagnosis hanya berdasarkan tes serologi (tidak
dijumpai antigen/ virus). (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 76
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 77
efektif. Dalam dekade terakhir ini hampir tidak banyak perkembangan dalam
penanganan kasus rabies. Jackson menuliskan perlunya penanganan kasus rabies
secara lebih agresif yaitu dengan pemberian vaksin antirabies, imunoglobulin
(monoklonal). Antiviral agent yang dianjurkan adalah ribavirin, interferon alfa, dan
ketamin. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penanganan Luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan
untuk
debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%. Luka akibat gigitan
binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan
memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan
infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.
Perawatan luka sangat diperlukan, yaitu pembersihan luka dengan air sabun
atau detergen selama 5-10 menit. Setelah bersih dan kering, luka diberi alcohol
atau betadin. Pasien perlu disuntik vaksin antirabies (VAR) atau serum antirabies
(SAR). (Widoyono, 2005)
Pencegahan
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan
virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka
rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti
rabies dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu
yang berisiko tinggi tertular rabies. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Vaksinasi anjing peliharaan dan eliminasi anjing liar perlu dilakukan. Orang
dengan resiko tinggi seperti dokter hewan, pekerja laboratorium, dan anak-anak
(yang dianggap sering berhubungan dengan hewan peliharaan) juga perlu di
imunisasi. Pada daerah endemic rabies, gigitan anjing tanpa provokasi (anjing tidak
diganggu) harus dianggap menularkan rabies. Dokter mengelola pasien yag tergigit,
sedangkan hewan yang menggigit akan ditangani oleh petugas dari dinas
peternakan. (Widoyono, 2005)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 78
II.2.17. Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonis yang disebabkan oleh mikro
organism Leptospira interogans tanpa memandang bentuk sereotipenya. Penyakit ini
pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious
jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Etiologi
Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira
merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil
(dapat bergerak aktif), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin
dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 m dan diameter 0,1-0,2
m. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 m. Jadi, ukuran bakteri
ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop
cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras.
Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur. Untuk mengamati lebih jelas gerakan
leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps
menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki
aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang
lembap, tanaman dan lumpur. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 79
Gambar 31.
Leptospira sp
Penularan
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water
borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini
merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.
Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu
faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan
deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan
bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh
namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk
semang. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah
yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus
terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang
terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan
sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan
memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba,
kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke
manusia tidak sebesar tikus. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke
penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui
kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit,
mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan
dari manusia ke manusia jarang terjadi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 80
Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan
barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan,
tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia
banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar
bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit
ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Gambar 32.
Penularan
Laptospira
Patogenesis
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi di dalam darah dan jaringan.
Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di
dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama
ginjal dan hati. Kemudian terjadi respon imunologik secara selular dan humoral
sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. (Aru W.Sudoyo
dkk, 2009)
Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberpa
minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Setelah
fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang
terlibat pada pathogenesis leptospirosis: invasi bakteri langsung, factor inflamasi non
spesifik, dan reaksi imunologik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 81
Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular
(kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus,
hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati
berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada kondisi ini akan
terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot
skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan
sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang
pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan
menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang.
Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh,
biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal
atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan
bahkan tahun. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Patologi
Pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Lesi inflamsi menunjukkan
edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma. Leptopira dapat masuk
kedalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia. Organ-organ yang sering
dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Pada ginjal; interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi
imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga
berperan menimbulkan kerusakan ginjal. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada hati; menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 82
limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestatis. Biasanya organism ini
terdapat diantara sel-sel parenkim. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada otot rangka; terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada pembuluh darah; terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan
perdarahan pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan
bawah kulit. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Gambar 33.
Laptospirosis
Gambaran Klinis
Masa inkubasi laptospirosis adalah 7-12 hari dengan rata-rata 10 hari. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah dan beredar
ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan dimana saja termasuk organ
jantung, otak dan ginjal. Sebagian kecil penyakit bersifat subklinis, 90% penyakit
tidak akan menyebabkan ikterik dan hanya tipe yang berat (10%) menyebabkan
ikterik (weil disease). (Widoyono, 2005)
Manifestasi klinis laptospirosis terbagi menjadi 3 fase:
1. Fase pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, malaise, nyeri otot, ikterus,
sakit kepala dan nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal dan
meningitis (merupakan salah satu penjelasan mengapa penyakit ini sering
misdiagnosis dengan meningitis dan ensefalitis). Fase ini berlangsung selama
4-9 hari. (Widoyono, 2005)
2. Fase kedua (imun)
Titer antibody IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan
klinis akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (laptopspira dalam urin)
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 83
selama satu minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
(Widoyono, 2005)
3. Fase ketiga (konvalesen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul
kembali dan berlangsung selama 2-4 minggu. (Widoyono, 2005)
Diagnosis
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan, apakah
termasuk kelompok berisiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam yang muncul
mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah, mual atau
muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot,
hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai
lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gamabaran neutrofilia dan laju
endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan torak
(cast). Bila organ hati terlibat, bilirubun direk meningkat tanpa peningkatan
tranaminase. BUN, Ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi
ginjal. Diagnose pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Melakukan kultur dengan mengambil specimen dari darah atau CSS segera
pada awal gejala. Dianjurkan mengambil spesiman pada fase awal serta belum diberi
antibiotic. Kultur urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya leptospira untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat
adalah dengan pemeriksaan PCR, silver stain atau fluroscent antibody dan mikroskop
lapangan gelap. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penatalaksanaan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian
intra vena penicillin G, amoksilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 84
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 85
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 86
empat
penyakit
cacing
utama
(filariasis
limfatik,onchocerciasis,
satu
set
kuat
obat-obatan
anthelminthic
dengan
catatan
keamanan
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 87
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 88
bagaimana
mencegah
dan
mengendalikan
mereka,
telah
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 89
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 90
prosedur
pemantauan.
Sebagai
contoh,
distribusi
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 91
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Penyakit tropis yang terabaikan (Negelected Tropical Diseases) adalah
kelompok penyakit menular yang berkembang didaerah miskin dan menghancurkan
kehidupan sekitar satu miliar orang di seluruh dunia, sementara mengancam jutaan
lebih kesehatan masyarakat. Infeksi Parasit dan bakteri diketahui sebagai NTD
termasuk infeksi cacing (ascariasis, cacing tambang, dan trikuriasis), limfatik
filariasis, onchocerciasis dracunculiasis, schistosomiasis, Chagas disease, human
African trypanosomiasis, leishmaniasis, ulkus buruli, lepra, dan trachoma.
Faktor penyebab penyebaran penyakit ini adalah sistem sanitasi atau
ketersediaan air bersih yang tidak memadai, menjadi peluang tertular. Kondisi
tersebut sulit didapat didaerah-daerah yang sistem sanitasi airnya belum terakriditasi
dalam rumah tangga, seperti didaerah pedalaman. Kondisi ekonominya semakin
jelek, maka perkembangannya menjadi akut. Meskipun penanganan pemerintah atas
penyakit tersebut sudah dilakukan secara berkelanjutan, namun kurangnya kesadaran
masyarakat kita untuk hidup sehat membuat kasus-kasus penyakit tropis terus
bermunculan.
III.2 Saran
Untuk menghindari penyakit tropis yang banyak ditemukan di Indonesia,
kami menyarankan untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih baik, seperti sanitasi
yang baik, minum air bersih, menggunakan masker dan makan-makanan yang bergizi
untuk meningkatkan system kekebalan tubuh. Cara ini cukup efektif untuk mencegah
terjadinya penyakit tropis, karena mencegah lebih baik dari pada mengobati.
N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 92
DAFTAR PUSTAKA
Noer, Sjaifoellah dkk. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Gaya Baru, Jakarta.
Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. EGC, Jakarta.
Sutanto, Inge dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Widoyono, 2005. Penyakit Tropis. EMS, Jakarta.