Anda di halaman 1dari 92

Neglected Tropical Diseases |1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Neglected Tropical Diseases (NTD) adalah sekelompok penyakit parasit dan
bacterial yang menginfeksi manusia lebih dari satu juta orang di dunia. NTD banyak
terdapat pada orang-orang miskin di dunia, NTD merusak fisik dan perkembangan
secara kognitif, penyakit ini juga mengkontribusi kematian ibu dan anak, sehingga
mempersulit mereka untuk mencari nafkah dan meningkatkan produktivitas.
Sehingga, NTD membuat masyarakat terbelenggu dengan kemiskinan dan penyakit.
(Hopkins, 2011)
Infeksi Parasit dan bakteri diketahui sebagai NTD termasuk infeksi cacing
(ascariasis, cacing tambang, dan trikuriasis), limfatik filariasis, onchocerciasis
dracunculiasis, schistosomiasis, Chagas disease, human African trypanosomiasis,
leishmaniasis, ulkus buruli, lepra, dan trachoma. Apabila diperluas dapat mencakup
DBD, treponematosis, leptospirosis, strongiloidiasis, neurocysticerosis, dan kudis,
serta penyakit tropis lainnya. (Peter J. Hotez, 2007)
NTD dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, kerugian ekonomi dan
menimbulkan dampak negatif terhadap pengembangan SDM kesehatan. "Jenis
penyakit NTD masih terabaikan. Kendalanya selama ini NTD terabaikan dari sudut
komitmen khususnya para pemimpin daerah, terabaikan dari segi pendanaan yang
disediakan untuk menyelesaikan permasalahan, ketersediaan SDM kesehatan dan
tenaga ahli juga lintas sektor, padahal meskipun tidak menyebabkan kematian
penyakit ini dapat menyebabkan kesakitan dan cacat seumur hidup. Jika tidak
dilakukan kerja sama lintas sektor untuk membantu menyelesaikannya, permasalahan
NTD dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, kerugian ekonomi dan
menimbulkan dampak negatif bagi pengembangan SDM kesehatan. WHO
menyatakan, bahwa penanggulangan NTD merupakan hak asasi manusia, karena
NTD memiliki dampak serius yang dapat mengakibatkan kelaparan, kemiskinan dan
kebodohan serta kehilangan pekerjaan. (Juliyah, 2012)

Neglected Tropical Diseases |2

Kementerian Kesehatan RI memprioritaskan aspek promotif dan preventif


kesehatan menjadi kebijakan dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, sehingga
masyarakat memiliki pengetahuan dan sikap untuk mendukung dalam pencegahan
dan pengendalian penyakit menular, termasuk pencegahan dan pengendalian vektor
penyakit. (Depkes, 2012)
I.2 Tujuan dan Manfaat
I.2.1 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui berbagai
penyakit tropis yang berada di Indonesia dan memberikan wawasan
kepada mahasiswa lain tentang bagaimana cara penanganan dan
pencegahan pada penyakit tropis tersebut.
I.2.2 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini
adalah mampu memberikan pengetahuan dan wawasan tentang
penyakit tropis dari berbagai referensi.

Neglected Tropical Diseases |3

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Faktor Penyebab Terjadinya Neglected Tropical Disease


Infeksi Parasit dan bakteri diketahui sebagai NTD termasuk infeksi cacing
(ascariasis, cacing tambang, dan trikuriasis), limfatik filariasis, onchocerciasis
dracunculiasis, schistosomiasis, Chagas disease, human African trypanosomiasis,
leishmaniasis, ulkus buruli, lepra, dan trachoma. Apabila diperluas dapat mencakup
DBD, treponematosis, leptospirosis, strongiloidiasis, neurocysticerosis, dan kudis,
serta penyakit tropis lainnya. Parasit dan bakteri diidentifikasi sebagai penyakit yang
terabaikan diantara beberapa penyakit infeksi yang terdapat pada sekitar 2,7 juta
orang yang berpenghasilan kurang dari 2 dollar (18 ribu rupiah) per hari. Penyakit ini
bisanya terdapat pada kawasan pedalaman atau pedesaan dan masyarakat miskin di
Negara dengan pendapatan yang rendah seperti sub sahara Afrika, Asia dan Amerika
latin. Kemiskinan yang terjadi pada masyrakat memberikan dampak berkepanjangan
dari penyakit ini, kerusakan pada masa tumbuh kembang anak, dampak buruk bagi
ibu hamil dan menurunnya produktivitas. . Ada 149 negara dan teritori di mana
penyakit tropis terabaikan merupakan endemik, setidaknya 100 dari yang endemik
untuk 2 atau lebih penyakit ini, dan 30 negara yang endemik untuk 6 atau lebih.
Penyakit

tersebut

dapat

dilihat

sebagai

promotor

dari

kemiskinan

yang

melemahkan populasi miskin, menggagalkan pencapaian tujuan pembangunan


Milenium (The Millenium Declaration) yang berkaitan dengan tujuan kesehatan dan
menghambat hasil pembangunan global.
Table 1. The Major NTD ranked by prevalence
Diseases

Asacariasis

Global

Populasi

Negara dengan Resiko

Prevalenc

yang

Tinggi

e (million)
807

Bersiko
4.2 juta

Asia timur dan daerah pasifik, asia


selatan, sub-sahara afrika, Cina,

Neglected Tropical Diseases |4

Trichuriasis

604

3.2 juta

Hookworm

576

3.2 juta

Schistomiasis

207

779 ribu

Limfatik

120

1.3 juta

Trachoma

84

590 ribu

Onchocercias

37

90 ribu

is
Leishmaniasi

12

350 ribu

Chagas

8-9

25 ribu

diseases
Leprosy

0,14

ND

Human

0,3

60 ribu

0.01

ND

infeksi

Filariasis

amerika latin, dan caribean.


Sub-sahara afrika, asia timur dan
daerah pasifik, amerika latin, cina,
india, dan asia selatan.
Sub-Saharan Africa, East Asia
and Pacific Islands, India,
South Asia, Latin America
and Caribbean
Sub-Saharan Africa, Latin America
and Caribbean
India, South Asia, East Asia
and Pacific Islands, subSaharan Africa
Sub-Saharan Africa, Timur tengah
and Africa utara
Sub-Saharan Africa, Latin America
and Caribbean
India, South Asia, sub-Saharan
Africa, Latin America and
Caribbean
Amerika latin dan caribbean
India, sub-Saharan Africa, Latin
America and Caribbean
Sub-sahara afrika

African
trypanosomia
sis
dracunculiasi

Sub-sahara Afrika

s
Buruli Ulcer
ND
ND
Sub-sahara Afrika
*ND denotes not determined (tidak teridentifikasi)
NTD menyebabkan sekitar 534 ribu kematian setiap tahunnya. Angka kematian
ini belum termasuk dari hasil penyakit infeksi saluran pernapasan, diare, HIV-AIDS
ataupun malaria. (Peter. J. Hotez, 2007)
Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi transisi

Neglected Tropical Diseases |5

epidemiologi (epidemiological transition) yang harus menanggung beban berlebih


(triple burden). Meskipun banyak penyakit menular (communicable disease)
seperti penyakit cacar dan frambusia yang sudah bisa ditangani, namun masih
banyak penyakit lain seperti tuberkulosis, kusta, dan diare yang belum dituntaskan.
Pada sisi lain terjadi peningkatan penyakit tidak menular (non-communicable
disease) seperti penyakit jantung, diabetes melitus, kanker, dan obesitas. Masalah
di atas ditambah dengan masalah lain, yaitu munculnya penyakit baru (new
emerging disease) seperti SARS dan flu burung. (Widoyono, 2005)
Penyakit menular adalah penyakit yang ditularkan melalui berbagai media.
Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua
negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi
dalam waktu yang relatif singkat. Berbeda dengan penyakit tidak menular yang
biasanya bersifat menahun dan banyak disebabkan oleh gaya hidup (life style),
penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua
lapisan masyarakat. Penyakit jenis ini menyebabkan wabah dan menimbulkan
kerugian yang besar. (Widoyono, 2005)
Penyakit menular merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling
mempengaruhi. Faktor tersebut yaitu lingkungan (environment), agen penyebab
penyakit (agent), dan pejamu (host). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga
epidemiologi

(epidemiological

triangle).

Hubungan

ketiga

faktor

tersebut

digambarkan secara sederhana sebagai timbangan, yaitu agen penyebab penyakit


pada satu sisi dan pejamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai
penumpunya. (Widoyono, 2005)
Bila agen penyebab penyakit dengan pejamu berada dalam keadaan seimbang,
maka seseorang berada dalam keadaan sehat. Perubahan keseimbangan akan
menyebabkan seseorang sehat atau sakit. Penurunan daya tahan tubuh akan
menyebabkan 'bobot' agen penyebab penyakit menjadi lebih berat sehingga
seseorang menjadi sakit. Demikian pula bila agen penyakit lebih banyak atau
lebih ganas sedangkan faktor pejamu tetap, maka bobot agen penyebab menjadi

Neglected Tropical Diseases |6

lebih

berat.

Apabila

faktor

lingkungan

berubah

menjadi

cenderung

menguntungkan agen penyebab penyakit, maka orang akan sakit. Pada prakteknya
seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut. (Widoyono,
2005)
1. Lingkungan
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik. Lingkungan fisik
terdiri dari:
a. Keadaan geografis (dataran tinggi/rendah, persawahan, dll.)
Keadaan geografis, seperti ketinggian, mempengaruhi penularan
penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000
m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga mempengaruhi daya tahan
tubuh seseorang. Semakin tinggi letak pemukiman, maka akan semakin
rendah kadar oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan
temperatur udara. Lingkungan persawahan juga bisa dihubungkan dengan
penyakit yang ditularkan oleh cacing, parasit, dan nyamuk. (Widoyono,
2005)
b. Kelembaban udara
Sebagian besar vektor penular penyakit dan agen penyebab penyakit
lebih menyukai lingkungan yang lembab. Nyamuk /Aedes aegypti biasanya
mencari tempat perkembangbiakan yang teduh dan terlindung dari sinar
matahari. (Widoyono, 2005)
c. Temperatur
Temperatur sering dihubungkan dengan cuaca dan letak negara. Di
negara tropis seperti Indonesia, temperatur yang lebih rendah lebih disukai
oleh vektor dan agen penyebab penyakit dibandingkan temperatur tinggi.
Sebagian besar bakteri akan mati pada pemanasan 80-90C kecuali
bakteri berspora yang baru mati pada temperatur 100C. Pada temperatur
40-50C atau 10-20C, mikroba hanya akan mengalami pertumbuhan yang

Neglected Tropical Diseases |7

lambat karena pertumbuhan optimal mikroba terjadi pada temperatur 2040C Pada temperatur di bawah 0C tidak ada pertumbuhan mikroba.
(Widoyono, 2005)
d. Lingkungan tempat tinggal
Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan
penyakit.

Rumah

dengan

pencahayaan

yang

kurang

memudahkan

perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra


violet yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara (ventilasi)
berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan ventilasi yang baik akan
menyulitkan pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat
memecah dan mengurai konsentrasi kuman di udara. (Widoyono, 2005)
Bahan bangunan rumah berdampak pada sanitasi perumahan. Rumah
dengan lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin dan keramik bila
ditinjau dari segi kesehatan. Dinding tembok atau beton jauh lebih baik
daripada anyaman bambu atau dinding semipermanen. (Widoyono, 2005)
Sarana air minum merupakan bagian yang sangat penting dari
kesehatan lingkungan. Sumber air minum dapat berasal dari sumur gali,
perpipaan atau PDAM, penampungan air hujan (PAH), dan penampungan
mata air (PMA). Semua sumber tersebut harus memenuhi syarat kesehatan
air minum, yaitu kadar E. coli nol atau negatif. Sumur gali misalnya, harus
berjarak minimal 10 meter dari septic tank. Sarana ini sangat erat kaitannya
dengan penyakit diare. (Widoyono, 2005)
Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan mampu
mencegah penularan penyakit melalui lalat dan vektor lainnya. Tinja manusia
yang dibuang sembarangan merupakan media yang sangat baik bagi kuman
penyakit. (Widoyono, 2005)
Selain

itu,

saluran

pembuangan

air

limbah

(SPAL)

juga

berkontribusi pada sanitasi lingkungan. Halaman rumah yang becek karena


buruknya SPAL memudahkan penularan penyakit terutama yang ditularkan

Neglected Tropical Diseases |8

oleh cacing dan parasit. (Widoyono, 2005)


Lingkungan nonfisik meliputi sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya
(adat, kebiasaan turun-temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan kebijakan
lokal), dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan
pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit). (Widoyono, 2005)
Lingkungan sosial masyarakat berpengaruh pada tingkat pengetahuan,
sikap, dan praktek masyarakat dalam bidang kesehatan. Tingkat pendidikan
berhubungan dengan kemampuan menerima informasi kesehatan dari media
massa dan petugas kesehatan. Banyak kasus kesakitan dan kematian
masyarakat yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan penduduk.
Suatu laporan dari negara bagian Kerala di India Utara menyatakan bahwa
status kesehatan di sana sangat baik, jauh di atas rata-rata status kesehatan
nasional. Setelah ditelusuri ternyata tingkat pendidikan kaum wanitanya
sangat tinggi di atas kaum pria. Status pekerjaan seseorang juga berpengaruh
pada kesehatan. Lingkungan pemukiman yang sebagian besar terdiri dari buruh
pabrik akan berbeda dengan perumahan. (Widoyono, 2005)
Pengaruh budaya pada penularan penyakit memang belum banyak
diteliti. Beberapa kebiasaan lokal di daerah Sumatera seperti 'tidak turun ke
tanah' (tidak keluar rumah) bagi bayi bisa menyulitkan cakupan imunisasi dasar
rutin. Kebiasaan memberi ramuan tradisional pada tali pusat bayi yang baru
lahir tanpa mempertimbangkan sterilitas dapat meningkatkan risiko kasus
tetanus neonatorum. (Widoyono, 2005)
Faktor ekonomi yang berhubungan dengan daya beli masyarakat akan
berkaitan secara signifikan dengan penyakit menular. Kemampuan ekonomi
masyarakat biasanya tercermin pada kondisi lingkungan perumahan seperti
sarana air minum, jamban keluarga, SPAL, lantai, dinding, dan atap rumah.
Kemampuan anggaran rumah tangga juga mempengaruhi kecepatan untuk
meminta

pertolongan

apabila

anggota keluarganya sakit. Kebijakan

pemerintah nasional (misalnya kenaikan harga BBM) maupun lokal (PERDA

Neglected Tropical Diseases |9

berbagai macam restribusi ataupun bantuan modal pada masyarakat) yang


berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat akan berpengaruh secara
langsung (tidak dapat berobat sewaktu saat sakit) atau tidak langsung
(kenaikan harga). (Widoyono, 2005)
Situasi politik nasional maupun lokal (Pemilu, Pilkada, dsb.) akan
menyedot sumber daya masyarakat yang dapat mempengaruhi kejadian
kesakitan dan kematian pada masyarakat. Pemimpin dengan tingkat
kepedulian tinggi terhadap kesehatan masyarakat akan mendukung dalam
bentuk komitmen dan dana untuk penanggulangan penyakit. (Widoyono,
2005)
2. Agen penyebab penyakit
Agen penyebab penyakit terdiri dari bahan kimia, mekanik, stres
(psikologis), atau biologis. Penyakit menular biasanya disebabkan oleh agen
biologis seperti infeksi bakteri, virus, parasit, atau jamur. (Widoyono, 2005)
Pengetahuan

mengenai

sifat-sifat

agen

sangat

penting

untuk

pencegahan dan penanggulangan penyakit. Sifat-sifat tersebut termasuk ukuran,


kemampuan berkembang biak, kematian agen, atau daya tahan terhadap
pemanasan atau pendinginan. (Widoyono, 2005)
Kemampuan berkembang biak suatu agen penyakit memberikan
informasi jumlah mikroba dalam waktu tertentu. Bakteri tertentu pada kondisi
yang ideal dapat membelah diri menjadi dua setiap 20 menit. Dengan
kemampuan demikian, satu bakteri dapat tumbuh dalam waktu tujuh jam
menjadi 2.000.000 lebih. (Widoyono, 2005)
Salah satu sifat agen penyakit adalah virulensi. Virulensi adalah
kemampuan atau keganasan suatu agen penyebab penyakit untuk menimbulkan
kerusakan pada sasaran. Indikator untuk mengukur tingkat virulensi bibit penyakit
secara tepat sangat sulit dilakukan. Biasanya yang diukur adalah derajat
kerusakan yang ditimbulkan. Pada umumnya penyakit menular yang baru-baru

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 10

ini muncul memiliki virulensi yang tinggi, misalnya SARS atau flu burung.
(Widoyono, 2005)
3. Pejamu
Hal yang perlu diketahui tentang pejamu meliputi karakteristik, gizi atau
daya tahan, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit, dan
pengobatan. Karakteristik pejamu dapat dibedakan sebagai berikut. (Widoyono,
2005)
a. Umur
Umur biasanya berhubungan dengan daya tahan tubuh seseorang
terhadap penyakit. Seorang bayi masih memiliki kekebalan pasif dari
ibunya. Namun dengan bertambahnya usia, kekebalan itu semakin
berkurang. Asupan gizi akan menggantikan fungsi kekebalan dalam
menghadapi penyakit. Keikutsertaan bayi dalam program imunisasi dasar
sangat berguna pada pencegahan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Karena sifat serangannya yang spesifik, demam berdarah
dengue jarang menyerang bayi. (Widoyono, 2005)
b. Jenis kelamin
Sebagian besar penyakit menular menyerang semua jenis kelamin.
Perbedaan prevalensi antara laki-laki dan wanita biasanya disebabkan oleh
gaya hidup (life style). Contohnya, penyakit HIV/AIDS lebih banyak
dialami oleh kaum laki-laki daripada wanita. (Widoyono, 2005)
c. Pekerjaan
Pekerjaan dapat berhubungan dengan penyakit menular yang dialami
seseorang. Petani akan mudah terserang penyakit cacing yang penularannya
melalui tanah atau daerah persawahan. Seseorang yang pekerjaannya
berhubungan dengan pembersihan got akan lebih mudah terserang
penyakit yang ditularkan melalui air kencing tikus (misalnya penyakit

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 11

leptospira). (Widoyono, 2005)


d. Keturunan
Faktor keturunan atau genetik berhubungan dengan konstitusi tubuh
manusia, daya tahan tubuh, kepekaan terhadap zat asing, termasuk agen
penyebab penyakit. (Widoyono, 2005)
e. Ras
Kecenderungan penyakit menular tertentu untuk menyerang ras
tertentu masih banyak diperdebatkan karena faktor ini berbaur dengan
faktor lainnya seperti daya tahan tubuh, gaya hidup, lingkungan, dan lain
sebagainya. (Widoyono, 2005)
f. Gaya hidup
Seseorang yang sering keluar malam akan lebih mudah terkena malaria
karena lebih sering terkena gigitan nyamuk. Kebiasaan yang kurang
higienis juga mempermudah terjadinya infeksi. (Widoyono, 2005)

Metode Penularan Penyakit


Mekanisme penularan penyakit pada manusia adalah melalui pintu masuk
(entry point) bagian tubuh manusia seperti mulut, hidung, kulit, dan telinga.
Kedua bagian pertama adalah bagian tersering sebagai jalan masuk kuman
penyakit. (Widoyono, 2005)
1. Kontak langsung
Penularan penyakit secara kontak langsung adalah melalui
hubungan seks (HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), hepatitis B,
kontak kulit (kusta), atau varisela. (Widoyono, 2005)
2.

Udara
Penularan melalui udara terbanyak adalah infeksi dengan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 12

droplet. Penularan cara ini berasal dari percikan atau partikel ludah,
dahak, atau bersin. Jenis penyakitnya antara lain SARS, TBC, ISPA,
campak, dan difteri. Penularan melalui media ini sering tumpang tindih
dengan istilah via kontak langsung. (Widoyono, 2005)
3. Ma ka na n d a n minuma n
Penyakit diare adalah contoh penyakit yang paling sering
ditularkan melalui makanan dan minuman. Penyakit lainnya adalah
tifoid. Bibit penyakit mencemari makanan dan minuman melalui
berbagai cara yang akhirnya termakan oleh penderita. Pada KLB
kolera di salah satu provinsi di Sumatera pada sekitar tahun 1993
dilaporkan bahwa ratusan pasien mengalami diare akut. Setelah
diselidiki lebih Ianjut ternyata daerah-daerah yang terserang adalah
sepanjang satu daerah aliran sungai (DAS) Batang hari. (Widoyono,
2005)
Beberapa

bakteri

stafilokokus

dan

streptokokus

dapat

menyebabkan keracunan makanan karena kumannya sendiri ataupun


akibat toksin yang dilepaskan oleh bakteri tersebut. Seringkali kasus
keracunan makanan disebabkan oleh kedua jenis bakteri tersebut
mencemari makanan dan minuman. Parasit cacing gelang, cacing
tambang, atau cacing cambuk sering masuk melalui makanan yang
terkontaminasi. Hepatitis virus A sering ditularkan melalui makanan
dan minuman. (Widoyono, 2005)
4.

Vektor
Vektor penularan penyakit yang tersering adalah nyamuk
(nyamuk Aedes menularkan DBD dan Chikungunya, nyamuk
Anopheles menularkan penyakit malaria), pinjal untuk penyakit pes,
dan anjing, kucing, atau kera untuk penyakit rabies. (Widoyono, 2005)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 13

II.2 Jenis-Jenis NTD


Sejumlah jenis penyakit paling sering mengintai masyarakat miskin yang
tinggal di kawasan tropis seperti Indonesia. Penyakit rakyat miskin seperti kaki gajah
(filaris), difteri, rabies, tetanus, leptospirosis dan influenza. (Depkes, 2012)

II.2.1. Filariasis
Penyakit ini dapat disebabkan oleh infestasi satu atau dua cacing jenis filaria
yaitu Wucheria bancrofti atau Brugia malayi. Cacing filaria ini termasuk famili
Filaridae, yang bentuknya langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran
darah limfe, otot, jaringan ikat atau rongga serosa pada vertebrata. Cacing bentuk
dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan limfa pasien. (Sjaifoellah Noer,
2005)
Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan
penularan parasit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia
atau hewan kera dan anjing sebagai hospes definitif. Periodisitas beradanya
mikrofilaria di dalarn darah tepi bergantung pada spesies. Periodisitas tersebut
menunjukkan adanya filaria di dalam darah tepi sehingga mudah terdeteksi.
(Sjaifoellah Noer, 2005)
Mikrofilaria W. bancrofti ditemukan umumnya pada malam hari (nokturnal)
terutama di belahan bumi bagian selatan termasuk Indonesia, sedangkan di daerah
pasifik ditemukan siang dan malam (non-periodik). Sedangkan mikrofilaria B.
malayi mempunyai periodisitas nokturnal. Sebab timbulnya periodisitas ini belum
diketahui, mungkin dipengaruhi oleh tekanan zat asam dalam kapiler paru atau
lingkaran hidup cacing filaria. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Prevalensi mikrofilaria meningkat bersamaan dengan umur pada anak-anak
dan meningkat antara umur 20-30 tahun, pada saat usia pertumbuhan, serta lebih tinggi
pada laki-laki dibanding wanita. Lingkaran hidup filaria meliputi : 1). Pengisapan
mikrofilaria dan darah atau jaringan oleh serangga penghisap darah; 2). Metamorfosis

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 14

mikrofilaria di dalam hospes perantara serangga, dimana mula-mula membentuk


larva rabditiform lalu membentuk larva filariform yang aktif; 3). Penularan larva
infektif ke dalam kulit hospes baru, melalui probosis serangga yang menggigit, dan
kemudian pertumbuhan larva setelah masuk ke dalam luka gigitan sehingga menjadi
cacing dewasa. (Sjaifoellah Noer, 2005)

Gambar 1. Wucheria bancrofti


Kekebalan alami atau yang didapat pada manusia terhadap infeksi filaria
belum diketahui banyak. Cacing filaria mempunyai antigen yang spesifik untuk spesies
dan spesifik untuk kelompok (group spesific); memberi reaksi silang antara berbagai
spesies dan nematoda lainnya. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Hospes definitif adalah hanya manusia. Penularan penyakit ini melalui
vektor nyamuk yang sesuai. Cacing bentuk dewasa tinggal di pembuluh limfe dan
mikrofilaria terdapat di pembuluh darah dan limfe. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Pada manusia W. bancrofti dapat hidup selama kira-kira 5 tahun. Sesudah
menembus kulit melalui gigitan nyamuk, larva meneruskan perjalanannya ke pembuluh
dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu tahun.
Cacing dewasa ini sering menimbulkan varises saluran limfe anggota kaki bagian
bawah, kelenjar ari-ari, dan epididimis pada laki-laki serta kelenjar labium pada
wanita. Mikrofilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus dinding
pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau terbawa oleh
saluran limfe ke dalam aliran darah. (Sjaifoellah Noer, 2005)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 15

Gambar 2. Siklus Penularan Filariasis


Patologi
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah
bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria.
Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening
dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding
pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar
pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel
endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berlikunya sistem limfatik dan
kerusakan katup pembuluh getah bening. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Limfedema dan perubaban kronik akibat statis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-pembahan yang terjadi akibat
filariasis ini disebabkan oleh efek langsung dari cacing ini dan oleh respon Imun
pejamu terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses
granulomatosa dan proliferasi yang menyebabkan obstruksi total pembuluh getah
bening. Diduga bahwa pembuluh-pembuluh tersabut tetap paten selama cacing tetap
hidup dan bahwa kematian cacing tersebut menyebabkan reaksi granulomatosa dan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 16

fibrosis. Dengan demikian terjadilah obstruksi limfatik dan penurunan fungsi limfatik.
(Sjaifoellah Noer, 2005)
Gejala Klinis
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, sedangkan bila sudah
lanjut akan menimbulkan gejala obstruktif. Mikrofilaria yang tampak dalam
darah pada stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti
limfangitis, limfadenitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak menimbulkan
gejala sama sekali terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah berdiam di
daerah endemik. Gejala peradangan tersebut sering timbul setelah bekerja berat
dan dapat berlangsung antara beberapa hari hingga beberapa minggu (2-3
minggu). Gejala dari limfadenitis adalah nyeri lokal, keras didaerah kelenjar limfe
yang terkena dan biasanya disertai demam, sakit kepala dan badan, lesu, dan tidak
nafsu makan. Stadium akut ini lambat laun akan beralih ke stadium menahun dengan
gejala-gejala hidrokel, dan elephantiasis. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Karena filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka ia
dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda. Reaksi pada manusia
terhadap infeksi filaria berbeda-beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan pasti,
sehingga seringkali kita membaginya atas dasar akibat infeksi filaria yaitu : 1).
Bentuk tanpa gejala; 2). Filariasis dengan peradangan; 3). Filariasis dengan
penyumbatan. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Umumnya

di

daerah

endemik,

pada

pemeriksaan

fisik hanya

ditemukan pembesaran kelenjar limfe terutama di daerah inguinal. Pada


pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria dalam jumlah besar disertai adanya
eosinofilia. Pada waktu cacing dewasa mati, mikrofilaria menghilang tanpa pasien
menyadari adanya infeksi. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Filariasis Dengan Peradangan
Manifestasi terakhir yang biasanya terlihat di awal infeksi pada mereka
dengan infeksi primer adalah limfangitis. Limfangitis terjadi di sekitar larva dan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 17

cacing dewasa muda yang sedang berkembang, mengakibatkan inflamasi eosinofil


akut. Infeksi ini berdasarkan fenomen alergi terhadap metabolisme cacing dewasa
yang hidup atau mati, atau sekunder, infeksi oleh streptococcus dan jamur. Demam,
menggigil, sakit kepala, muntah dan kelemahan menyertai serangan tadi, dapat
berlangsung beberapa hari, sampai beberapa minggu, dan yang terutama terkena
adalah saluran limfe ketiak, tungkai, epitrochlear dan alat genital. Pada orang lakilaki umumnya terdapat funikulitis disertai dengan penebalan dan rasa nyeri,
epididimitis, orkitis dan pembengkakan skrotum. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Demam pada filaria terjadi karena adanya inflamasi yang berawal dari kelenjar
getah bening (biasanya KGB inguinal) dengan perluasan retrograd ke bawah aliran
getah bening dan disertai edema dingin. Di sini, inflamasi tampaknya diperantarai
oleh imun dan kadang (10-20% kasus) beberapa episode inflamasi diawali dengan
infeksi kulit. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Salah satu kepustakaan menyebutkan bahwa demam yang murni ditimbulkan
oleh filaria jarang terjadi. Demam yang sering terjadi akibat adanya infeksi sekunder
oleh bakteri. Gejalanya biasanya demam tinggi, menggigil, mialgia, dan sakit kepala.
Juga timbul plak edematosa yang mudah dibedakan dengan jaringan sehat
disekitarnya. Biasanya disertai dengan vesikel, ulkus dan hiperpigmentasi. Pada
filaria juga dapat timbul ulkus. Namun ulkusnya steril dan mengeluarkan cairan
serosan-guineous. Kadang disertai dengan riwayat trauma, terkena api, radiasi, digigit
serangga, dan juga terkena bahan kimia. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Serangan akut ini dapat terjadi selama satu bulan atau lebih. Pengobatan
dengan berbagai antibiotik tidak memberikan hasil. Bila keadaannya berat
dapat menyebabkan abses pelvis ginjal, pembengkakan, epididimis, jaringan
retroperitoneal, kelenjar ari-ari dan otot iliopsoas. Hal ini dapat terjadi karena cacing
yang mati mengalami degenerasi. Abses ini steril, tetapi dapat mengandung
bakteri piogen. Reaksi ini bersifat setempat dan alergi umum yang menyebabkan
pertumbuhan jaringan, pengikat yang berlebihan. Yang menahun akan
menimbulkan penyumbatan saluran limfe disertai serangan limfangitis yang

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 18

berulang-ulang dan kadang-kadang disertai dengan elephantiasis. Pemeriksaan


darah dalam hal ini biasanya menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia
sebesar 6-26%. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Salah satu gejala lain yang kadang timbul pada filariasis adalah hematuria.
Sekitar 40% pasien dengan mikrofilaremia terdapat hematuria dan proteinuria
yang menunjukkan adanya kerusakan ginjal derajat rendah. Hematuria yang
terjadi dapat makroskopik, namun lebih sering mikroskopik dan ditemukan pada
saat dilakukan pemeriksaan urin rutin. Kelainan ginjal ini mungkin disebabkan
oleh adanya mikrofilaria yang beredar dalam darah dibandingkan dengan adanya
cacing dewasa. Hal ini ditunjukkan dengan perbaikan dari fungsi ginjal bila
mikrofilaria hilang dari peredaran darah. (Sjaifoellah Noer, 2005)

Filariasis Dengan Penyumbatan


Dalam stadium yang menahun ini terjadi jaringan granulasi yang proliferatif serta
terbentuk varises saluran limfe yang luas. Kadar protein yang tinggi dalam saluran
limfe merangsang pembentukan jaringan ikat dan kolagen. Sedikit demi sedikit
setelah bertahun-tahun bagian yang membesar menjadi luas dan timbul elephantiasis
menahun. Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe perut bagian tengah turut
mempengaruhi skrotum dan penis pada laki-laki dan bagian luar alat kelamin pada
wanita. Infeksi kelenjar inguinal dapat mempengaruhi tungkai dan bagian luar alat
kelamin. Elephantiasis pada umumnya mengenai tungkai serta alat kelamin dan
menyebabkan perubahan bentuk yang luas. (Sjaifoellah Noer, 2005)
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu: (Sjaifoellah Noer, 2005)
Tingkat 1. Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat.
Tingkat 2. Pitting/non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (ireversibet)
bila tungkai diangkat.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 19

Tingkat 3. Edema non pitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai diangkat, kulit
menjadi tebal.
Tingkat 4. Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).
Hubungan antara adanya mikrofilaria di dalam darah dan elephantiasis sangat
kecil, karena mikrofilaria menghilang setelah cacing niati. Bila saluran limfe kandung
kencing dan ginjal pecah akan timbul kiluria, sedangkan Episode berulang
adenolimfangitis pada saluran limfe testis yang mengakibatkan pecahnya tunika
vaginalis akan terjadi hidrokel atau kolakel, dan bila yang pecah saluran limfe
peritoneum terjadi asites kilus. Gambaran yang sering tampak adalah hidrokel (4050% kasus) dan limfangitis alat kelamin. Pemeriksaan transiluminasi biasanya
positif. Cairan hidrokel ini biasanya jernih namun pada beberapa kasus bisa keruh.
Limfangitis dan elephantiasis ini dapat diperberat dengan infeksi sekunder oleh
Streptococcus untuk kepentingan klinik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 3. elephantiasis disertai hidrokel


Diagnosis
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasit dan hal ini
cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau kelenjar getah
bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan parasit.
Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah, cairan hidrokel, atau kadang-kadang cairan
tubuh lainnya. Cairan-cairan tersebut dapat diperiksa secara mikroskopik. Banyak
individu terinfeksi yang tidak mengandung mikrofilaria dalam darahnya sehingga

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 20

diagnosis pasti sulit ditegakkan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)


Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia
sampai 10-30%. Di sebagian besar belahan dunia, mikrofilaria aktif pada malam hari
terutama dari jam 10 malam sampai jam 2 pagi. Namun di beberapa daerah Asia dan
Pasifik seperti timbulnya subperiodik, yaitu timbul hampir sepanjang hari dengan
puncak beberapa kali sehari. Pada kasus dengan periodisitas subperiodik diurnal
(Infeksi Bancrofti di daerah Pasifik Selatan, Kepulauan Andaman, dan Pulau
Nikobar) puncaknya pada pagi hari dan sore hari. Sehingga pengambilan
spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan puncaknya
mikrofilaria aktif didalam darah. Mikrofilaria dapat ditemukan dengan pengambilan
darah tebal atau tipis pada yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Spesimen darah yang diambil lebih baik diambil dari darah kapiler dibanding
dengan darah vena, Terdapat beberapa bukti yang menyebutkan bahwa konseritrasi
mikrofilaria di darah kapiler lebih tinggi dibandingkan dengan darah vena. Volume
darah yang digunakan untuk pulasan sekitar 50 u1 dan jumlah mikrofilaria yang terdapat
sekitar 20mf/ml atau lebih merupakan petunjuk adanya mikrofilaria dalam darah. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Akhir-akhir ini penggunaan mikroskopik untuk mendeteksi mikrofilaria
sudah mulai tergantikan oleh penggunaan membran filtrasi yang dikemukakan oleh
Bell tahun 1967. Keuntungan dari alat ini bahwa sampel dapat disimpan dalam waktu
yang lama. Selain itu karena menggunakan formalin maka dapat memfiksasi
mikrofilaria dalam darah dan membuang organisme yang tidak diinginkan seperti
HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Pada episode akut, filariasis limfatik harus
dibedakan dengan tfomboflebitis, infeksi, dan trauma. Lirnfangitis retrograd
merapakan gambaran khas yang membantu membedakan dari limfangitis bakterial
yang bersifat asendens. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pemeriksaan terhadap antigen W. bancrofti yang bersirkulasi dapat
membantu penegakkan diagnosis. Dua tes yang tersedia yakni ELISA dan ICT.
Sensitivitas keduanya berkisar antara 96-100% dan spesifik mendekati 100%.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 21

Tekniknya dengan menggunakan antibodi monoklonal. Terdapat 2 jenis antibodi


yang digunakan yaitu AD12 dan Og4C3. Di Australia menunjukkan bahwa
penggunaan antibodi Og4C3 sensitifitasnya 100% pada pasien dengan jumlah
mikiofilaria yang tinggi namun sensitifitasnya menurun menjadi 72-75% pada
pasien dengan jumiah mikrofiiaria yang rendah. Spesifitasnya juga tinggi yaitu 99100%. Penggunaan AD 12 juga memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi yaitu
96-100% untuk sensitifitasnya dan 100% untuk spesifitasnya. Sayangnya, untuk
pemeriksaan antigen Brugia saat ini belum tersedia.
Pencitraan

limfoskintigrafi

dengan

radionuklir

pada

ekstremitas

menunjukkan abnormalitas sistem limfatik, baik pada mereka yang asimtomatik


mikrofilaremik dan mereka

dengan

manifestasi

klinis.

Kegunaan

dari

limfoskintigrafi ini adalah: 1) Peragaan alur aliran limfe; 2). Evaluasi kecepatan aliran
limfe, kecepatan absorpsi, dari tempat injeksi, mengukur waktu akumulasi tracer di
daerah kelenjar limfe; 3). Peragaan kelenjar limfe; 4). Peragaan pusat inflamasi
dengan jaringan lunak dan kelenjar yang baru terbentuk pada proses inflamasi
menahun; 5). Menemukan kerusakan trauma saluran limfe; 6). Membedakan edema
tungkai limfe, trauma mekanik tungkai bawah; 7). Mengikuti proses perubahan
obliterasi limfe. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pengobatan
Perawatan Umum

Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan mengurangi
derajat serangan akut. (Aru W. Sudoyo dkk, 2009)

Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses. (Aru W. SUdoyo,
2009)

Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema. (Aru W.Sudoyo dkk,


2009)
Pengobatan Spesifik
Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas. Hal

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 22

ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian dosis satu kali
per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan
mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Dietilcarbamazine (DEC) sebagai satusatunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Pengobatan dilakukan dengan
pemberian DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini dapat diulang 1
hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8 mg/kgBB/
hari). (Inge Sutanto dkk, 2008)
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin
sangat efektif menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh
cacing dewasa (non-makrofilarisidal), sehingga terapi tersebut tidak dapat
diharapkan menyembuhkan infeksi secara

menyeluruh. Albendazol bersifat

makrofilarisidal untuk W. bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu.
Namun, dari penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi untuk
mengobati individu, DEC masih digunakan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat farmakologis,
tergantung dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi filariasis
maupun tidak. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap
kematian parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obatnya tapi pada jumlah
parasit dalam tubuh hospes. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Ada 2 jenis reaksi: 1). Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa
sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia,
lemah, hematuria transien, reaksi alergi, muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi
karena kematian filaria dengan cepat dapat menginduksi banyak antigen sehingga
merangsang sistem imun dan dengan demikian menginduksi berbagai reaksi. Reaksi
ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari.
Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak terlalu hebat pada dosis kedua
dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya; 2). Reaksi lokal dengan
atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien limfedema, hidrokel,

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 23

funikulitis, dan epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian dan berlangsung
lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan. Reaksi
lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis; berhubungan dengan
keberadaan cacing dewasa atau larva stadium IV dalam tubuh hospes. Efek samping
pada pemberian ivermektin, patogenesisnya sama dengan pada pemberian DEC, hanya
lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibandingkan filariasis bankrofti. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Hampir semua usaha untuk membuat saluran limfe baru
mencapai keberhasilan yang terbatas. Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan
antara lain : 1). Limfangioplasti; 2). Prosedur jembatan limfe; 3). Anastomosis
pembuluh limfe tepi ke dalam; 4). Bedah mikrolimfatik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pencegahan
Kontrol penyakit pada popular adalah melalui kontrol vektor (nyamuk). Namun
hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8 tahun).
Baru-baru ini, khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal, sekali
pertahun, 2 regimen obat Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/kgBB cukup
efektif. Hal ini merupakan pendekatan alternatif dalam menurunkan jumlah
mikrofilaria dalam populasi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC
dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC
diberikan dengan dosis lebih rendah (6 mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian
yang lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk
garam DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali,
atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 tahun. Untuk pencegahan individu yaitu dengan
menghindari kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan
obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Peran serta masyarakat sangat diperlukan, seperti masyarakat diharapkan bersedia
datang dan mau diperiksa darahnya pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 24

darah; bersedia minum obat anti-penyakit kaki gajah secara teratur sesuai dengan
ketentuan yang diberitahukan oleh petugas; memberitahukan kepada kader atau petugas
kesehatan bila menemukan penderita filariasis; dan bersedia bergotong-royong
membersihkan sarang nyamuk atau tempat pembiakan nyamuk.

II.2.2. Ascarisiasis
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit
yang disebabkannya disebut askariasis. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa
hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan
manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran
darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus,
masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Pendenta
batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur
matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3
bulan. (Inge Sutanto dkk, 2008)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 25

Gambar 4.
siklus hidup Ascaris lumbricoides

Patologi dan Gejala Klinis


Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan
larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang
yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada
paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat
yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang
penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,
diare atau konstipasi. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah
dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke
saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 26

sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif. (Inge Sutanto dkk, 2008)

Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk
perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat
10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. (Inge
Sutanto dkk, 2008)

II.2.3. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale


Kedua parasit ini diberi nama "cacing tambang" karena pada zaman dahulu
cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan yang belum mempunyai
fasilitas sanitasi yang memadai. Hospes parasit ini adalah manusia; cacing ini
menyebabkan nekatonasis dan ankilostomiasis. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulutyahgbesarmelekat
pada mukosa dinding usus. Cacing betina N. americanus tiap hari mengeluarkan telur
5000-10000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000-25000 burir. Cacing betina
berukuran panjang 1 cm, cacing jantan 0,8 cm. Bentuk badan N.americanus
biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga
mulut kedua jenis cacing ini besar. N. americanus mempunyai benda kitin, sedangkan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 27

A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Daur hidupnya sebagai berikut: Telur > larva rabditiform > larva filariform

-> menembus kulit > kapiler darah > jantung kanan -> paru > bronkus > trakea
> laring >usus halus (Inge Sutanto dkk, 2008)

Gambar 19 Siklus Hidup Necator americanus


Patologi dan Gejala Klinis
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis
Stadium larva:

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 28

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi


perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya
ringan. Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan penyakit
wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher, dan
serak. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Stadium dewasa
Gejala tergantung pada (a) spesies dan jumlah cacing dan (b)
keadaan gizi penderita (Fe dan protein). Tiap cacing N.americanus menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale
0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom
mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya
tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
turun. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Pengobatan
Pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan memberikan hasil cukup baik, bilamana
digunakan beberapa hari berturut-turut. (Inge Sutanto dkk, 2008)

II.2.4. Trichurisasis
Manusia merupakan hospes cacing ini Trichuris Trichuria. Penyakit yang
disebabkannya disebut trikuriasis. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Morfologi dan Daur Hidup
Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya
membulat tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 29

Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian


anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir.
Patologi dan Gejala Klinis
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat
juga ditemukan di kolon asendens Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing
tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. (Inge
Sutanto dkk, 2008)
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat
perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap
darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun,
menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri, anemia, berat
badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Pengobatan
-

Albendazol 400 mg (dosis tunggal) (Inge Sutanto dkk, 2008)

Mebendazol 100 mg (dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut) (Inge
Sutanto dkk, 2008)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 30

Gambar 6. Siklus Hidup Trichuris Trichiura

II.2.5. Chagas disease


Penyebab penyakit Chagas adalah parasit Trypanosoma cruzi, yang ditularkan
ke manusia dari gigitan serangga triatomine. Serangga ini dapat terinfeksi oleh
T.cruzi ketika menelan darah dari hewan yang sudah terinfeksi parasit. Serangga
Triatomine hidup dalam lumpur, rumbia atau atap gubuk di Meksiko, Amerika
Selatan dan Amerika Tengah. Serangga ini bersembunyi di celah-celah dinding atau
atap di siang hari, kemudian keluar pada malam hari dan menggigit manusia ketika
tidur. Ketika serangga yang terinfeksi menggigit seseorang, parasit T. cruzi akan
tertinggal pada kulit dan kemudian dapat memasuki tubuh melalui mata, mulut, luka
atau goresan, atau luka dari gigitan serangga itu sendiri. Menggaruk atau menggosok
bekas gigitan justru membantu parasit masuk ke dalam tubuh. Setelah berada dalam
tubuh, parasit berkembang biak dan menyebar. Selain ini dapat pula terinfeksi dari: 1.
Makan makanan mentah yang terkontaminasi dengan kotoran serangga yang
terinfeksi T. cruzi 2. Dilahirkan dari ibu yang terinfeksi T. cruzi 3. Menjalani transfusi

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 31

darah yang terinfeksi 4. Melakukan transplantasi organ yang mengandung T. cruzi 5.


Bekerja di laboratorium dan terkena paparan parasit 6. Berinteraksi dengan binatang
liar yang terinfeksi, seperti musang 7. Berinteraksi dengan hewan peliharaan yang
terinfeksi. Jika tidak diobati, penyakit Chagas nantinya bisa menyebabkan masalah
jantung yang serius dan masalah pencernaan. (Laman Dailymail, 2012)

Gambar 7. Serangga triatomine


Gejala
Penyakit Chagas dapat bersifat akut atau kronis. Gejala berkisar dari ringan
sampai parah, meskipun banyak orang tidak mengalami gejala sampai tahap kronis.
Fase akut Fase akut penyakit Chagas dapat berlangsung selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan. Tanda-tanda dan gejala yang terjadi biasanya ringan dan dapat
mencakup: 1. Bengkak di tempat infeksi 2. Demam 3. Kelelahan 4. Ruam 5. Nyeri
tubuh 6. Sakit kepala 7. Kehilangan nafsu makan 8. Mual, diare atau muntah 9.
Pembengkakan kelenjar 10. Pembesaran hati atau limpa Tanda dan gejala yang
berkembang selama fase akut biasanya hilang sendiri. Namun, jika tidak diobati,
infeksi terus berlanjut dan maju ke fase kronis. Fase kronis Tanda dan gejala dari fase
kronis penyakit Chagas dapat terjadi 10 sampai 20 tahun setelah infeksi awal. Dalam
kasus yang parah, tanda dan gejala penyakit Chagas mungkin termasuk: 1. Denyut
jantung tidak teratur 2. Peradangan jantung 3. Gagal jantung kongestif 4. Kesulitan
menelan karena pembesaran kerongkongan 5. Sakit perut atau sembelit karena usus
membesar. (Laman Dailymail, 2012)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 32

Gambar 8. chagas disease kronis


Kondisi pasien pasca terinfeksi chagas di antaranya mengalami kardiomegali
sebelum akhirnya berhenti berfungsi. Untuk sementara, penyembuhan pasien yang
terinfeksi chagas harus meminum obat keras selama tiga bulan dan hanya manjur jika
penyakit ini terdeteksi sejak dini. Obat chagas belum semahal obat untuk menahan
rasa sakit penderita penyakit AIDS. Tetapi di negara miskin pasokannya mengalami
kekurangan. Penyakit chagas sangat berkaitan dengan stigma miskin di masyarakat.
Kebanyakan korbannya adalah imigran yang sulit mendapat akses perawatan medis.
Inilah yang membuat chagas cepat menyebar Karena penyakit ini identik dengan
penyakit kaum miskin, tidak banyak perusahaan yang mau berinfestasi untuk
menemukan pengobatan baru. (Laman Dailymail, 2012)
Pengobatan Pengobatan untuk penyakit Chagas berfokus pada membunuh
parasit dan mengelola tanda-tanda dan gejala. Selama fase akut penyakit Chagas,
obat-obatan resep benznidazole dan nifurtimox mungkin bermanfaat. Setelah
penyakit Chagas mencapai tahap kronis, obat tidak efektif untuk menyembuhkan
penyakit. Sebaliknya, pengobatan hanya dilakukan untuk meringankan gejala yang
muncul. (Laman Dailymail, 2012)

II.2.6. Human African Trypanosomiasis


Penyakit tidur atau African trypanosomiasis adalah penyakit yang disebabkan
oleh protozoa genus Trypanosoma dan ditularkan lalat tsetse. Penyakit tidur
merupakan penyakit mematikan. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
diperkirakan antara 50.000 dan 70.000 orang di Sub-Sahara Afrika terserang penyakit

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 33

tidur, atau Human african trypanosomiasis, yang menyebar melalui gigitan lalat
tsetse. Selain gigitan lalat tsetse, penyakit ini dapat ditularkan dari ibu ke anak atau
lewat transfusi darah. (Agung Dwi Hartanto, 2010)

Gambar 9. lalat tsetse


Gejala
Gejala awal antara lain demam, sakit kepala, dan sakit di sendi,
pembengkakan kelenjar limfa, anemia, dan penyakit ginjal. Selang beberapa hari
penderita mengalami perubahan siklus siklus tidur; ngantuk di siang hari dan tidak
dapat tidur di malam hari. Jika gejala awal ini tidak mendapat perawatan sesegera
mungkin dapat mengakibatkan kerusakan sistem syaraf, koma, dan akibat paling fatal
adalah kematian. (Agung Dwi Hartanto, 2010)
Pengobatan
Para ilmuan mengklaim menemukan obat untuk masalah ini. Meski demikian
masih dalam penelitian lebih lanjut untuk proses penyempurnaan. (Agung Dwi
Hartanto, 2010)

II.2.7. Leishmaniasis
Manusia merupakan hospes definitif parasit ini dan yang berperan sebagai
hospes reservoar adalah anjing, gerbil dan binatang pengerat lainnya. Hospes
perantaranya adalah lalat Phlebotomus. Parasit ini menyebabkan leismaniasis kulit
atau oriental sore. Ada dua tipe oriental sore yang disebabkan oleh strain yang
berlainan, yaitu: 1) leismaniasis kulit tipe kering atau urban yang menyebabkan
penyakit menahun; 2) leismaniasis kulit tipe basah atau rural yang menyebabkan
akut. (Inge Sutanto dkk, 2008)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 34

Daerah endemi penyakit ini terdapat di berbagai negeri sekitar Laut Tengah,
Laut Hitam, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, Arab, India, Pakistan dan Ceylon. Di
Indonesia penyakit ini belum pernah ditemukan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
L.tropica dalam sediaan apus dari lesi kulit terdapat intraselular dalam leukosit, sel
mononuklear, sel polinuklear dan sel epitel atau terdapat ekstraselular. Masa tunas
penyakit ini adalah 2 minggu sampai 3 tahun. Pada manusia penyakit ini terbatas
pada jaringan kulit dan kadang-kadang menyerang selaput mukosa. Pada porte
d'entree terjadi hiperplasia sel RE yang mengandung stadium amastigot; mula-mula
terbentuk makula kemudian menjadi papul. Papul lalu pecah dan terjadi ulkus. Ulkus
dapat sembuh sendiri dalam waktu beberapa bulan, kemudian meninggalkan parut yang
kecil. Bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, mungkin timbul gejala umum seperti
demam, menggigil dan bila ulkus sembuh dapat meninggalkan parut yang besar. Ulkus
pada leismaniasis kulit atau oriental sore dapat sembuh sendiri dalam beberapa bulan,
meskipun penderita tidak diobati. (Inge Sutanto dkk, 2008)

Gambar 10. Leishmaniasis


Diagnosis ditegakkan dengan: 1) menemukan parasit dalam sediaan apus
yang diambil dari tepi ulkus atau dari sediaan biopsi; 2) pembiakan daiam medium
NNN; 3) reaksi imunologi. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Obat yang dapat menghasilkan kesembuhan pada leismaniasis kulit adalah salep
yang mengandung paromomisin. Alopurinol juga efektif pada pengobatan
leismaniasis kulit. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Pengobatan lokal dilakukan bila hanya ada satu atau dua ulkus saja. Bila terjadi luka
multipel atau yang sudah lanjut diberi neoslibosan. Di daerah endemi bila terdapat luka

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 35

di daerah wajah, dianjurkan untuk tidak diberi pengobatan sampai waktu tertentu
supaya penderita mendapat kekebalan. Untuk daerah non-endemik pengobatan harus
segera diberikan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
Anjing, gerbil dan binatang pengerat lainnya merupakan sumber infeksi yang
penting bagi manusia. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya transmisi antara
penderita dan vektor, dianjurkan untuk menutup luka. Pemberantasan vektor (lalat
pasir) dilakukan dengan penyemprotan insektisida di rumah-rumah. Juga dianjurkan
memakai kelambu atau repelen waktu tidur agar terlindung dari gigitan lalat. Imunisasi
aktif dapat memberikan perlindungan yang efektif, meskipun imunitas baru didapat
setelah beberapa bulan. (Inge Sutanto dkk, 2008)
II.2.8. Leprosy
Penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau
neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam, dengan
gejala-gejala klinis yang berspektrum luas.
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, lepra dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

Gambar 11. Lepra pada kaki

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 36

Manifestasi klinis dari lepra sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit
Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang
sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun
jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu
seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa
rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta
tuberkuloid. Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula
kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).
Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis
kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan
penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun
pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak
menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul
Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak
sering menyebabkan luka atau lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah
pada penderita AIDS. Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah
bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif,
berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium. M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.

II.2.9. Trachoma
Penyakit infeksi kronik pada konjungtiva dan kornea yang menimbulkan
fotofobia, nyeri, dan lakrimasi, disebabkan oleh galur Chlamydia trachomatis. Masa
inkubasi berlangsung selama 5 12 hari. Folikel-folikel kecil dan papila yang

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 37

terbentuk di kelopak mata dan konjungtiva mengakibatkan kontraksi dan


pembentukan jaringan parut yang disertai dengan simblefaron, entropion, trikiasis,
dan pembentukan jaringan parut kornea yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Gambaran Klinis yang dapat dilihat yaitu 1)Kedua mata tampak merah dan
berair. Penderita sukar melihat cahaya terang (silau) dan merasa gatal di matanya;
2)Pada stadium awal, konjungtiva tampak meradang, merah dan mengalami iritasi
serta mengeluarkan kotoran (konjungtivitis); 3)Pada stadium lanjut, konjungtiva dan
kornea membentuk jaringan parut sehingga bulu mata melipat ke dalam dan terjadi
gangguan penglihatan. Gejala lainnya adalah pembengkakan kelopak mata,
pembengkakan kelenjar getah bening yang terletak tepat didepan mata, kornea
tampak keruh.

Gambar 12. Trachoma


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. Apusan
mata diperiksa untuk mengetahui organisme penyebabnya. Pengobatan meliputi

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 38

pemberian salep antibiotik yang berisi tetrasiklin dan erithromisin selama 4 6


minggu. Selain itu antibiotik tersebut juga bisa diberikan dalam bentuk tablet.
Doksisiklin; kapsul atau tablet 100 mg (HCl) dengan dosis dewasa 100 mg per oral 2
x sehari selama 7 hari atau Tetrasiklin; salep mata 1% (HCl) dengan dosis dewasa 2 x
sehari selama 6 minggu.
II.2.10. Buruli Ulcer
The ulkus

Buruli adalah

penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium ulcerans. Tahap awal infeksi ditandai oleh nodul tidak


menyakitkan, dengan non- piogenik, necrotizing lesi berkembang di kulit, dan
kadang-kadang dalam tulang yang berdekatan, seperti penyakit berlangsung.
ulcerans mengeluarkan racun lipid, mycolactone, yang berfungsi sebagai
penekanan

kekeb alan ,

agen

necrotising

dan

penggerak

s e l u l a r apoptosis pada jaringan mamalia.


Gejala

Gambar 13. Buruli Ulcer


Infeksi dalam kebanyakan kasus muncul sebagai subkutan nodul,
yang bersifat menyakitkan. Di Australia selatan presentasi lebih sering
sebagai papul (atau jerawat), yang berada dikulit (dermis) daripada subkutan.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 39

Infeksi ini sebagian besar pada tungkai, paling sering di daerah disinari
tetapi tidak di tangan atau kaki. Pada anak-anak semua wilayah mungkin
terlibat, termasuk wajah atau perut. Sebuah bentuk yang lebih parah
infeksi menghasilkan baur pembengkakan anggota badan, y a n g , t i d a k
seperti

papul

atau

nodul,

bisa

menyakitkan

dan

disertai

d e n g a n demam. I n f e k s i mungkin sering mengikuti trauma fisik , sering trauma


kecil seperti luka kecil.
Diagnosa
Diagnosis ulkus Buruli biasanya didasarkan pada munculnya karakteristik
ulkus di daerah endemik. Jika ada keraguan tentang diagnosis, kemudian
PCR menggunakan target IS2404 adalah membantu, tapi ini tidak spesifik untuk M.
ulcerans. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen stain hanya 40-8 0 % s e n s i t i f , d a n
budaya adalah 20-60% sensitif. Simultan menggunakan beberapa
m e t o d e mungkin diperlukan untuk membuat diagnosis.
Pengobatan
Terapi dengan eksisi bedah (penghapusan) dari lesi, yang mungkin hanya
sebuah operasi kecil dan sangat berhasil jika dilakukan lebih awal. Kemajuan
penyakit

mungkin

memerlukan

pengobatan

lama

dengan

luas

pencangkokan kulit. Bedah praktek bisa berbahaya dan hampir tidak


tersedia di negara-negara dunia ketiga (Asia) yang terkena dampak. A n t i b i o t i c
saat

ini

memainkan

peranan

kecil

dalam

menangani

ulkus

b u r u l i . WHO s a a t i n i merekomendasikan rifampisin dan streptomisin selama


delapan minggu dngan harapan mengurangi kebutuhan operasi. Kombinasi
rifampisin dan klaritromisin telah digunakan selama bertahun-tahun di
Australia.
II.2.11. Schistosomiasis
Schistosomiasis atau yang juga dikenal dengan bilharzias adalah penyakit
yang diakibatkan oleh cacing parisit. Berdasarkan dampaknya penyakit ini berada di
urutan kedua dibawah malaria sebagai penyakit parasit yang paling merusak. Parasit

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 40

yang menyebabkan schistosomiasis hidup pada siput air. Infeksi yang terjadi pada
manusia disebabkan oleh Schistosoma mansoni, S. haematobium, atau S. japonicum.

Gambar 14. Kiri: Biomphalaria sp., the intermediate host for S. mansoni. Kan:
Bulinus sp., the intermediate host for S. haematobium and S. intercalatum. Tengah:
Adults of S. mansoni. The thin female resides in the gynecophoral canal of the
thicker male.
Schistosomiasis merupakan salah satu penyebab utama penyakit di dunia yang
terdapat pada tempat dengan sanitasi yang buruk. Anak-anak yang tinggal di daerah
dengan sanitasi yang buruk lebih berisiko terinfeksi karena mereka sering
menghabiskan waktu untuk bermain ataupun mandi pada air yang terdapat onfeksi
cercariae. Daerah yang banyak terdapat manusia terinfeksi schistosomiasis, yaitu:
A. Schistosoma mansoni
Tersebar di Afrika, terdapat beberapa tenpat yang berisiko terinfeksi
southern dan sub-Saharan Africa termasuk danau besar, sungai dan
selokan. Persebrannya juga terdapat di sungai Nil di Sudan dan Mesir. Di
amereika selatan; termasuk Brazil, Suriname, dan Venezuela.
B. S. haematobium
Tersebar di Afrika, terdapat beberapa tenpat yang berisiko terinfeksi
southern dan sub-Saharan Africa termasuk danau besar, sungai dan
selokan. Persebrannya juga terdapat di sungai Nil di Sudan dan Mesir,
serta terdapat pada daerha timur tengah.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 41

C. S. japonicum
Jenis ini ditemukan di Indonesia, cina dan asia tenggara.
D. S. mekongi
Ditemuakan di Cambodia dan Laos.
E. S. intercalatum
Ditemukan di afrika barat dan tengah.
Untuk mengetahui schistosomiasis menggunakan sampel urin dan feses.
Sampel urin ataupun feses ini diamati pada mikroskop untuk melihat adanya telur
parasit (feses untuk melihat telur S. mansoni or S. japonicum dan urin untuk telur S.
haematobium ). Telur yang terdapat pada sampel terdapat dalam jumlah yang sedikit
sehingga terkadang tidak dapat terlihat, sehingga untuk diagnose yang lebih tepat
dapat dilakukan serologi test.

Gambar 15. Daur hidup Schistosomiasis


Infeksi terjadi ketika kulit bersentuhan dengan air yang telah terkontaminasi
oleh siput yang membawa parasit hidup. Air akan terkontaminasi oleh telur
schistosoma ketika orang yang terinfeksi buang air kecil atau buang air besar di air
tersebut. Telur menetas dan apabila terdapat siput di air, parasit akan berpindah ke

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 42

siput berkembang biak di dalam siput. Parasit meninggalkan siput dan masuk keda
lam air dimana parasit dapat bertahan hidup selama 48 jam. Pada beberapa minggu
awal, parasit berpindah melalui jaringan hospes dan berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam aliran darah. Ketika dewasa, cacing jantan dan betina bertemu,
cacing betina bertelur. Beberapa dari telur ini mengalir ke kandung kemih atau usus
dan keluar melalui urin ataupun feses.
Gejala yang terjadi pada schistosomiasis bukan hanya disebabkan oleh cacing
tetapi juga oleh reaksi tubuh oleh telur parasit. Telur parasit yang tidak keluar dari
tubuh menjadi obstruksi di usus atau kandung kemih sehingga menyebabkan
inflamasi dan lesi. Anak-anak yang terus menerus terinfeksi dapat mengidap anemia,
malnutrisi, dan lainnya. Setelah beberapa tahun terinfeksi dapat berdampak pada
liver, pencernaan, ginjal, paru-paru dan kandung kemih.

Gambar 16. Symptoms schistosomiasis


Pada orang yang baru pertama kali terinfeksi tidak akan terlihat gejala apapun.
Setelah beberapa hari setelah terinfeksi, akan terdapat ruam atau itchy skin. Selama
102 bulan terinfeksi, gejala akan bertambah seperti demam, menggigil, batuk dan
nyeri pada otot. Tanpa melakukan pengobatan, schistosomiasis dapat bertahan selam

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 43

bertahun-tahun. Tanda dan gejala yang terdapat pada schistosomiasis kronik yaitu
abdominal pain, pembengkakan liver, darah pada feses atau urin dan sulit buang air
kecil. Infeksi kronik juga dapat memicu resiko kanker vesika urinaria. Seringkali,
telur ditemukan pada otak atau saraf tulang belakang dan menyebabkan kejang,
lumpuh atau inflamasi saraf tulang belakang. Untuk pengobatan, gunakan
praziquantel sesuai resep selama 1-2 hari
II.2.12. Onchocerciasis
Onchocerciasis atau river blindness disebabkan oleh cacing parasit
Onchocerca volvulus. Cacing ini berpindah melalui gigitan yang berulang kali oleh
lalat hitam dengan genus Simulium. Penyakit ini disebut river blindness karena lalat
hitam berkembangbiak di dekat aliran sungai yang deras dan menyebabkan kebutaan.
Di dunia onchocerciasis merupakan urutan kedua setelah trachoma sebagia penyebab
kebutaan.

Gambar 16. Kanan/kiri: Blackflies, the vector of onchocerciasis. Tengah: Microfilariae of O.


volvulus from a skin nodule of a patient from Zambia.

Infeksi Onchocercal

ditemukan pada daerah iklim tropis. Daerah utama

terdapat infeksi tersebut yaitu sub-sahara afrika, walaupun parasit ditemukan juga di
beberapa tempat di Amerika dan Yemen di timur tengah. WHO memperkirakan
bahwa 37 juta orang di dunia terinfeksi oleh O. volvulus; 270 ribu mengalami
kebutaan dan 500 ribu lainnya mengalami gangguan penglihatan. Sedangkan, 90 juta
orang beresiko terinfeksi oleh parasit ini.
Orang yang beresiko tinggi terkena infeksi onchocerciasis adalah mereka yang
hidup dekat dengan aliran sungai yang terdapat lalat hitam Simulium. Sebagian besar

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 44

daerah yang terdapat lalat hitam adalah daerah pertanian kumuh di sub-sahara Afrika.
Biasanya membutuhkan banyak gigitan agar terinfeksi, sehingga mereka yang hanya
singgah sementara waktu (kurang dari 3 bulan) pada daerah tersebut beresiko kecil
terinfeksi oleh O. volvulus. Para pendatang yang beresiko tertular adalah mereka yang
menetap lama seperti relawan atau ilmuwan.

Gambar 17. Infeksi dari lalat hitam


Lalat hitam betina membutuhkan darah untuk makan, sehingga mereka
menggigit manusia. Apabila lalat hitam mengigit orang yang telah terinfeksi,
Onchocerciasis larva dapat termakan oleh lalat hitam yang kemudian berpindah ke
otot sayap. Larva berkembangbiak di dalam lalat hitam dan menjadi infektif bagi
manusia selama 10-12 hari. Larva tersebut berpindah ke bagian mulut lalat dimana
larva tersebut dapat ditransmisikan kembali pada manusia ketika digigit.
Manusia terinfeksi ketika lalat hitam menaruh Onchocerca infektif ke dalam
kulit ketika menggigit untukmengambil darah. Ketika berada dalam tubuh manusia,
larva matang menjadi dewasa selama 3 bulan hingga 1 tahun. Cacing betina dewasa
hidup fibrous nodules di bawah kulit dan terkadang berada di otot ataupun sendi.
Cacing jantan dewasa biasanya ditemukan di dekat cacing betina. Nodul yang
terbentuk di sekeliling cacing merupakan bagian dari interaksi antara parasit dan
hospes. Di dalam nodul cacing terlindungi dari respon imun yang dikeluarkan tubuh.
Cacing betina dewasa menghasilkan ribuan larva baru tiap harinya. Larva dapat
teridentifikasi pada kulit pada 10-20 bulan terinfeksi. Cacing dewasa apat hidup

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 45

selam 15 tahun di dalam tubuh hospes dan larva dapat bertahan hidup selama 2 tahun.

Gambar 18. Onchocerciasis pada mata


Gejala yang terjadi yaitu ruam kulit, nodul di bawah kulit, dan penglihatan
kabur. Gejala yang terjadi pada onchocerciasis biasanya disebabkan oleh respon
tubuh terhadap larva yang telah mati. Inflamasi yang terjadi di kulit menyebabkan
gatal yang apabila berkepanjangan dapan menimbulkan kerusakan pada kulit.
Kerusakan pad akulit yang terjadi yaitu warna kulit berubah seperti kulit leopard, dan
menyebabkan penipisan kulit dengan hilangnya jaringan elastic kulit. Inflamasi yang
disebabkan oleh larva yang mati di mata menyebabkan lesi reversible pada kornea,
dan apabila tidak dilakukan tindakan dapat menyebabkan penglihatan yang kabur
sehingga dapat menjadi kebutaan. Inflamasi juga dapat terjadi pada saraf otot mata
yang menyebabkan penglihatan kabur dan kebutaan.
Diagnosis dari Onchocerciasis dapat dibuat sebagi berikut:
a. Metode yang pertama yaitu dengan diagnosis dari potongan kulit. Lakukan
biopsy untuk mengidentifikasi larva yang timbul dari kulit. Biasanya diambil
6 potongan kulit dari tempat yang berbeda pada tubuh. PCR juga dapat
dilakukan untuk mendiagnosis jika larva tidak terlihat.
b. Pada psien dengan nodul di kulit, nodul dapat diambil dan diamati untuk
melihat cacing dewasa.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 46

c. Infeksi pada mata dapat di diagnosis dengan slit-lamp pada bagian anterior
mata dimana larva atau lesi dapat terlihat.
d. Tes antibody telah dikembangkan untuk mendiagnosis infeksi, walaupun tidak
terdapat di seluruh amerika. Tes ini tidak dapat membedakan antara infeksi
yang telah lama atau baru, sehingga tidak terlalu berguna bagi mereka yang
tinggal di mana parasit tersebut hidup tetapi berguna bagi mereka yang
singgah.
Pengobatan yang disarankan yaitu menggunakan ivermectin yang diberikan
selama 6 bulan untuk masa hidup cacing dewasa selama orang yang terinfeksi
terdapat gejala pada kulit dan mata. Ivermectin membunuh larva dan mencegah
terjadinya gejala yang lain tetapi tidak membunuh cacing dewasa. Terdapat
pengobatan yang baru menggunakan doxycycline yang dapat membunuh cacing
dewasa dengan membunuh bakteri Wolbachia dimana cacing dewsa menggunakannya
untuk bertahan hidup. Sebelum menjalani pengobatan, pastikan bahwa pasien tidak
terinfeksi oleh LoaLoa, karena LoaLoa bertanggungjawab atas efek samping yang
terjadi selama pengobatan Onchocerciasis.
II.2.13. Dracunculiasis (Guinea worm)
Dracunculiasis atau disebut juga guinea worm disease (GWD) disebabkan
oleh parasit Dracunculus medinensis. Penyakit ini menyerang masyarakat miskin di
daerah Afrika yang tidak ada persediaan air bersih. Pada tahun 1986, terdapat sekitar
3.5 juta kasus GWD per tahun di wilayah Afrika, Asia dan Timur tengah. Dengan
adanya Program pemberantasan Guinea Worm, angka kasus menurun hingga 1800
kasus tercatat di seluruh dunia pada tahun 2010. Lebih dari 84% kasus pada tahun
2010 berasal dari Sudan Selatan. Sisanya bersaal dari Chad, Ethiopia, Mali dan
Ghana
Manusia terinfeksi oleh Guinea worm dengan meminum air tergenang yang
terdapat copepod (kutu air) yang membawa larva cacing Guinea (immatur). Larva
tersebut dimakan oleh copepod yang hidup di air tergenang. Larva tersebut

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 47

membutuhkan waktu 2 minggu untuk menjadi dewasa di dalam copepod sebelum


mereka dapat menginfeksi manusia. Air tergenang yang berbahaya yaitu kolam,
kolam di pangkal sungai, dan sumur dangkal yang tidak ditutup. Siapapun yang
meminum air yang telah terkontaminasi dapat terinfeksi.

Gambar 19. Daur hidup Dracunculus medinesis.


Terdapat pola penginfeksian GWD. Pada daerah yang kering, orang biasanya
terinfeksi saat musim hujan ketika terdapat banyak genangan air. Pada daerah basah,
orang biasanya terinfeksi pada musim kemarau ketika air mulai mengering sehingga
terdapat genangan air.
Resiko penyakit ini dibagi sesuai jenis kelamin, profesi dan etnis. Hal ini
menunjukkan bagaimana dan dimana orang tersebut mendapatkan air minum pada
daerah dan Negara yang berbeda. Umumnya, infeksi antara wanita dan pria sama.
GWD terjadi pada seluruh usia tetapi umumnya terjadi pada usia 15-45 tahun. Petani,
pengembala, dan mereka yang bertugas mengambil air dapat terinfeksi. Banyak orang
yang telah terinfeksi GWD menderita GWD terus menerus. Hal ini mungkin

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 48

disebabkan karena penggunaan sumber mata air terkontaminasi yang sama terusmenerus dan kondisi yang membantu penyebaran penyakit ini tidak berubah.
Pada awalnya tidak terdapat gejala selama satu tahun. Kemudian, pasien
tersebut akan mersakan gejala, yaitu demam, ruam yang gatal, diare, pusing, mual,
muntah. Kulit melepuh,kullit melepuh bisa terdapat di mana saja. Terdapat 80%-90%
kasus mencatat bahwa lepuhan terdapat di bagian bawah tubuh. Kulit yang melepuh
ini berambah besar dalam beberapa hari dan menimbulkan rasa sakit panas. Ketika
orang yang terinfeksi tersebut meringankan rasa sakit panas tersebut dengan air,
cacing akan merasakan perubahan temperature dan melepaskan ratusan hingga ribuan
larva ke dalam air.

Gambar 20. Guinea Worm Diseases


Tanpa penanganan yang benar luka bekas pengambilan cacing dapat terinfeksi
bakteri. Infeksi luka ini dapat menimbulkan komplikasi yang lain seperti kemerahan
dan pembengkakan kulit (selulitis), abses, sepsis, septicarthritis dan tetanus. Apabila
cacing terputus ketika diambil akan berkakibat inflmasi yang hebat, sisa dari cacing
mati tersebut akan menghilang. Sehingga mengakibatkan rasa sakit, pembengkakan
dan cellulitis yang lebih parah.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 49

Pada GWD tidak ada obat khusus ataupun vaksin untuk mencegahnya. Satusatunya cara agar terhindar yaitu dengan mencegah perkembangan larva cacing
guinea pada sumber mata air. Untuk pencegahan GWD terdapat beberapa langkah
yaitu:
a. Setiap hari pada bagian tubuh yang terdapat cacing benamkan pada air
untuk membuat cacing keluar. Untuk mencegah kontaminasi, orang yang
terinfeksi tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam air tersebut.

b. Luka harus bersih.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 50

c. Kemudian tarik cacing dengan perlahan hingga keluar. Tahan tarikan


apabila terlihat cacing akan putus. Karena cacing dapat sepanjang 1 meter,
untuk mengelurakan semua cacing pada tubuh diperlukan waktu beberapa
hari hingga minggu.

d. Kemudian bungkus cacing dengan kain atau batang agar cacing tetap
tegang dan dapat mendorong cacing yang lain keluar

e. Setelah itu, berikan antibiotic pada luka agar tidak terkena bakteri.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 51

f. Beri kain kasa steril pada luka tersebut. Berikan ibuprofen atau aspirin
untuk meredakan rasa sakit dan inflamasi.

g. Langkah di atas dilakukan hingga seluruh cacing keluar dari tubuh.

II.2.14. Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa saluran pernafasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk
membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 52

oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 21. Corynebacterium diphtheria

Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium dyphtheriae. Basil ini
juga disebut bakteri Klebs-Loffler karena ditemukan pertama kalinya tahun 1884
oleh bakteriologist dari German yaitu Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Loffler
(1852-1915). Basil ini termasuk jenis batang gram positif, pleomorfik, tersusun
berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak membentuk spora (kapsul), aerobik dan
dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu, diameternya 0,11 mm dan
panjangnya beberapa mm. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada kultur, kelompok basil ini akan berhubungan satu sama lain sehingga
seperti karakter (huruf) Cina. Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti:
medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada
medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni koloni yang
kecil, granular dan berwarna hitam dan dilingkari warna abu-abu coklat. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Menurut

bentuk,

besar

dan

warna

koloni

yang

terbentuk,

C.Dyphtheriae yang dapat memproduksi eksotoksin dapat dibedakan atas 3 jenis,


yaitu: (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
a. Gravis

: koloninya besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 53

menimbulkan hemolisis eritrosit.


b. Mitis

: koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks dan dapat menimbulkan


hemolisis eritrosit.

c. Intermediate: koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis
mitis. Karakteristik jenis gravis adalah dapat memfermentasikan tepung kanji
dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis basil ini dapat
memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Jenis yang banyak tidak virulen adalah grup mitis, kadang kadang ada
bentuk gravis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain
toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Patogenesis dan Patologi
Manusia

merupakan

satu-satunya

reservoir

dari

infeksi

difteri.

C.Diphtheriae adalah mikroorganisme yang tidak invasif, hanya menyerang bagian


superfisial dari saluran pernafasan dan kulit yang dapat menimbulkan reaksi
peradangan lokal dan diikuti nekrosis jaringan. Penularan penyakit terjadi apabila
kontak langsung dengan pasien difteri atau dengan carrier difteri. (Aru W.Sudoyo
dkk, 2009)
C.diphtheriae ditularkan dengan kontak langsung melalui batuk, bersin atau
berbicara, atau dengan kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku ataupun
mainan yang terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi karena basil ini
cukup resisten terhadap udara panas f dingin dan kering, dan tahan hidup pada debu
dan muntah selama 6 bulan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
C.diphtheriae masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian bertumbuh/
berkembang pada mukosa saluran napas bagian atas terutama daerah tonsil, faring,

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 54

laring, kadang-kadang di kulit, konjungtiva. atau genital. Basil ini kemudian akan
memproduksi eksotoksin, yang diabsorpsi melewati membran sel mukosa, yang
menyebabkan terjadinya peradangan dan destruksi sel epitel diikuti oleh nekrosis.
Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibria, kemudian diinfiltrasi oleh sel lekosit.
Keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya patchy exudate yang pada permulaan
masih bisa terkelupas. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin
meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam,
sehingga menimbulkan terbentuknya fibrous exsudate (membran palsu) yang terdiri
atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwama abu-abu
sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan
perdarahan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Membran palsu ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan
berat bisa meluas sampai ke trakea dan kadang kadang ke bronkus, kemudian diikuti
edema soft tissue di bawah mukosanya, Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi
saluran pernapasan sehingga memerlukan tindakan segera. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening
servikal dan edema pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema
muka menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bull's neck appearance. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya, diserap masuk ke dalam sirkulasi
darah menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ organ
tubuh berupa degenerasi, infiltrasi lemak dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal,
hati, kelenjar adrenal dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan
miokarditis, A-V disosiasi sampai blok total, dan payah jantung. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Akibat lain dari C.Diphtheriae adalah terjadinya trombositopenia dan
proteinuria. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan jantung atau asfiksia

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 55

karena obstruksi saluran pernafasan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)


Pada daerah tropik, C.diphtheriae ini dapat menimbulkan infeksi
sekunder pada kulit (Difteri kutan), yang dapat menimbulkan epidemi pada populasi
yang dilakukan imunisasi yang tidak sempuma, dan pada pasien immunocompromis.
(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Bentuk kelainan kulit adalah berupa ulkus yang tidak nyeri, sukar sembuh dan
ditutupi membran berwarna abu-abu, Difteri kutan ini sebagian besar tidak
menimbulkan keadaan toksik. Beberapa jenis corynebacterium yang hidup pada
saluran nafas bagian atas atau konjungtiva ada yang tidak menimbulkan penyakit, jenis
ini disebut difteroid, misalnya Corynebacterium pseudodiphthericum, C. cerosis, C.
haemolyticum. Pemakaian obat obat imunosupresif dapat menyebabkan
beberapa jenis kuman ini menjadi invasif dan dapat menimbulkan kematian. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 22. Penularan dan kelainan pada difteri


Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi atas 3 tingkat, yaitu:
(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring
dan laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 56

yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan nefritis


Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis difteri tergantung kepada : 1). Lokasi infeksi, 2). Imunitas
penderitanya, 3). Ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah.
Manifestasi klinis penyakit difteria dibagi sesuai dengan tempat infeksinya, yaitu:
(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Difteri Nasal Anterior
Manifestasi klinis jenis ini mirip dengan penyakit common cold, Akan tetapi
mempunyai karakteristik yaitu adanya cairan mukopurulen keluar dari hidung yang
berisi lendir dan pus, dan kadang kadang disertai darah dan adanya membran
berwarna putih pada daerah septum nasal. Biasanya penyakit ini ringan karena
absorpsi toksin secara sistemik tidak banyak dan dapat sembuh dengan cepat dengan
pemberian antibiotika dan antitoksin. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Difteri Tonsil dan Faring
Ini merupakan daerah yang paling sering dikenai infeksi, difteria. Jenis ini
biasanya disertai penyerapan toksin secara sistemik. Gejala pertama berupa lesu, sakit
menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi tapi pasien keliatan toksik.
Dalam waktu 2-3 hari terbentuk membran yang berwarna putih kebiruan dan
menyebar sampai ke daerah tonsil dan menutupi hampir seluruh palatum mole.
Membran melekat pada jaringan dan berdarah kalau dilepaskan. Pembentukan
membran secara ekstensif dapat menimbulkan sumbatan pernafasan. Pada keadaan
berat, pasien kelihatan pucat, nadi cepat, stupor, dan bisa meninggal dalam waktu
6-10 hari. Pada keadaan berat juga dapat menimbulkan udema yang hebat pada
daerah submandibuler dan terjadinya limfadenopati kelenjar servikalis anterior.
Keadaan ini disebut bullneck appearance. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Difteri laring
Pada jenis ini, ditemukan perluasan pembentukan membran dari faring ke daerah

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 57

laring. Gejala yang ditemukan adalah suara parau, batuk-batuk hebat dan membran
bisa menimbulkan sumbatan aliran pernafasan, dan menimbulkan kematian. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 23. Difteri Laring


Difteri Kulit
Difteri kulit sering terjadi pada orang-orang yang tidak tinggal di rumah.
(gelandangan), sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada kulit. Lesi pada kulit
yang kronik ini memudahkan menempelnya C diphteria. Umumnya jenis penyakit
ini adalah jenis nontoksigenik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 24. Difteri Kulit


Diagnosis
Diagnosis difteri sebaiknya ditegakkan sedini mungkin berdasarkan
manifestasi

klinisnya

yang

khas,

karena

keterlambatan

diagnosis

dapat

menyebabkan penyakit bertambah lanjut, berat dan fatal. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya C.Diphtheriae dengan
melakukan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai. Pemeriksaan ini

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 58

membutuhkan waktu dan media yang selektif, yaitu Media selektif Loffler, media
Tellurite, dan Agar Tindale: Tumbuh koloni C.dyphtheriae yang berwarna hitam yang
dikelilingi oleh warna abu-abu kecoklatan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
;

Pengobatan

Perawatan umum. Pasien dirawat di ruangan Isolasi untuk menghindari


kontak dengan orang sehat. Istirahat di tempat tidur, minimal 2 3 minggu. Makanan
lunak atau cair, bergantung pada keadaan penderita. Kebersihan jalan nafas dan
pengisapan lendir. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Kontrol EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 4 6 minggu untuk
mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus istrahat total di
tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara gradual baru boleh dilakukan bila
tanda tanda miokardis secara klinis dan EKG menghilang. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif
bila keadaan membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi,
maka dianjurkan pemberian makanan cair melalui selang lambung. Pasien difteri dalam
keadaan berat, dianjurkan dirawat di ruang rawat intensif. Bila terjadi obstruksi laring,
secepat mungkin dilakukan trakeostomi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pengobatan khusus. Tujuan: 1. Membunuh basil difteri, 2. Menetralisasi
toksin yang dihasilkan basil difteri. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Membunuh basil difteri
C.Diphtheriae ini masih peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti
penisilin,

ampisilin,

eritromisin,

trimetrofim,

kuinolon,

clindamisin

dan

sefalosporin. Pemberian antibiotik. a. Penisilin prokain: 1.200.000 unit/ hari, secara I.M, 2
kali sehari, selama 14 hari. b. Eritromisin: 40 mg/KgBB/hari, maksimal 2 gram/hari,
secara peroral 4 kali sehari selama 14 hari. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 59

Pemberian antitoksin
Diberikan sedini mungkin begitu diagnosis secara klinis ditegakkan, tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Antitoksin yang diberikan tidak mampu
menetralisir toksin yang sudah berikatan dengan jaringan, hanya bisa menetralisir toksin yang
masih beredar pada sirkulasi darah, sehingga keterlambatan pemberian antitoksin akan
meningkatkan angka kematian. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Dosis antitoksin yang diberikan tergantung kepada jenis difterinya, dan tidak
dipangaruhi oleh umur pasien, yaitui sbb: (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Difteri nasal atau fausial yang ringan diberikan 20.000-40.000 U, secara IV
dalam waktu 60 menit
Difteri fausial sedang diberikan 40.000-60.000 U, secara IV
Difteri berat (bullneck dyphtheria) diberikan 80.000-120,000U, secara I.V.
Pemberian anti toksin harus didahului dengan uji sensitivitas, karena
antitoksin dibuat dari serum kuda. Apabila uji sensitivitas positif, maka diberikan secara
desensitisasi dengan interval 20 menit, dosisnya sebagai berikut: (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
0,1

ml

larutan

1:20,

subkutan

(dalam

cairan

Na

Cl

0,9%)

0,1 ml- larutan I : 10, subkutan


0,1 ml tanpa dilarutkan, subkutan
0,3 ml tanpa dilarutkan, intramuskular
0,5 ml tanpa dilarutkan,intramuskular
0,1 ml tanpa dilarutkan, intravena
Bila tidak ada reaksi, maka sisanya diberikan intravena secara perlahan-lahan.
Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian imunisasi
aktif pada masa anak-anak secara komplit. Antigen difteri secara tunggal belum ada,
biasanya pemberian vaksin difteri bersamaan. Dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti
Dyphtheria-tetanus-acellular pertussis vaccine (DTaP) untuk ana kanak dan Tetanus-

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 60

dyphtheria vaccine (Td) untuk dewasa.


Pemberian vaksin DTaP pada masa anak anak adalah pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan dan 15-16 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Booster setiap 10 tahun. Pada waktu
dewasa, perlu dilakukkan anamnesis yang baik, apakah pasien lengkap mendapatkan
imunisasi terhadap difteri. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Program Pemberantasan
Tujuan dari program ini yaitu untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
penderita difteria, terutama untuk memutuskan rantai penularan penyakit. Kegiatan yang
dilakukan pada program pemberantasan difteri, yaitu sebagai berikut:
a. Surveilans. Suatu pengamatan terus-menerus terhadap kasus ini melalui
laporan harian atau mingguan dari unit pelayanan kesehatan (puskesmas,
rumah sakit, praktik dokter dan klinik)
b. Penyelidikan epidemiologis. Kegiatan pelacakan untuk mencari sumber
penularan dan mencari adanya kasus baru yang mungkin terjadi serta
penanggukangan sementara. Pelacakan dilakukan pada orang yang kontak
dengan penderita yaitu tetangga sekitar rumah penderita, teman bermain, dan
teman sekelas di sekolah.
c. Pemeriksaan swab tenggorok. Specimen setiap orang yang kontak dengan
penderita perlu diambil dan diperiksa di laboraturium untuk mencari
kemungkinan tertular.
d. Pemberian obat profilaksis. Semua orang yang kontak dengan penderita perlu
diberi antibiotic (eritromisin 250 mg 3 kali sehari selama 5 hari) termasuk
guru yang mengajar di kelas penderita.

II.2.15. Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 61

yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis
tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat di mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi
dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan
bakteri gram posotif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri
anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna,
berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan
selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari
dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20
menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan,
tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120C selama 15
menit Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan
bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan
lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.
Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.
Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin.
Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin
rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri
dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatnya dengan reseptor sel saraf dan
masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk
memblokade pelepasan neurotransmiter. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 25. Clostridium tetani

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 62

Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamasi dan port d'entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi,
kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber
infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai
ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000
Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif
terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai
berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin
ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan
menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GDlb dan GTlb
pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat
memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf
di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon
dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan
masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori
spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal
retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 63

tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu
mekanisme yang tidak jelas. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitor, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai
ringan, efek toksik dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter.
Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel
intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin
merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik
tunggal, sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah
toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi,
sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih
panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik
juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan
perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip
dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun
demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada
berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus
mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada
penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermiten dan
serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler
dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis
saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah
pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa
paralisis flaksid. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak
akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 64

konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkonstraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan
dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering
terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota
tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relative jarang terlibat.
(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya
kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma
yang berlebihan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan
di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung
saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke
dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal
sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut
saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut saraf di
kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.(Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar

26.

Patogenesis
Tetanus

Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 65

dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan
ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi
intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat hanyalah
trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di dalam gedung yang tidak
dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan medis. Pada 15-25% pasien, tidak
terdapat bukti adanya perlukaan baru. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat,
median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus
terjadi setelah 14hari. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut,
sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus
atau 'rahang terkunci'. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang
menyebabkan ekspresi wajah yang khas, 'risus sardonicus' dan meluas ke otot-otot untuk
menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot
leher menyebabkanr etraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan
gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon
dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan
kesadaran tidak terpengaruh. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok
otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan
atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau
emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 66

frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur
tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat
generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi
berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering
diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan
obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata,
otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya
pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk
mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi orofaringeal,
reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin, dan histeria. Akibat trauma
perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan
rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefelik di mana tetanus lokal yang berasal dari
luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran
klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan
mortalitasnya tinggi tetanus neonatarum menyebabkan lebih dari 50% kematian akibat
tetanus di seluruh dunia, tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara maju. Neonatus, usia di
bawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat menerima
minuman. Kejang, meningitis dan sepsis merupakan diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat
generalisata dan mortalitasnya tinggi. Higiene umbilikal yang buruk merupakan
penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama
kehamilan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf simpatis. Peranan sistem saraf
parasimpatis kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nukleus vagus, di
mana pada saat yang bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang
berlebihan. Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan
aktivitas vagal. Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, ruptur
otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 67

Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya
fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas
potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat,
kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset
biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan
spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi,
90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup. (Aru W.Sudoyo
dkk, 2009)
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat
bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun
demikian secara umum prognosisnya baik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan
paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Perjalanan Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 710 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan
dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan
rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai
beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu Spasme berkurang setelah

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 68

2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuh
lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4
minggu. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 27. Komplikasi-Komplikasi Tetanus


Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah
mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap
dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur
pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C.tetani dapat diisolasi dari
luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur
yang positif bukan merupakan bukti bahwa, organisme tersebut menghasilkan toksin
dan menyebabkan tetanus. Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromyogram mungkin
menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval
tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Meningkatnya tonus
pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung dan perut) yang tumpang tindih
dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat
menyokong diagnosa tetanus. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 69

Pengobatan
Setiap penderita tetanus harus di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan
pelayanan dengan fasilitas tertentu. Setelah menemukan kasus ini, petugas
lapangan perlu segera merujuk penderita ke rumah sakit terdekat. Kecepatan
merujuk sangatlah berpengaruh pada angka kematian kasus. Pengobatan di rumah
sakit umumnya meliputi: (Widoyono, 2005)
1. Pemberian antibiotic untuk membunuh bakteri, biasanya dengan penisilin atau
tetrasiklin.
2. Pemberian antikejang
3. Perawatan luka atau penyebab penyakit infeksi
4. Pemberian antitetanus serum (ATS)

Pencegahan
Dengan upaya pencegahan yang baik maka angka kesakitan dan angka kematian
yang disebabkan oleh tetanus dapat diturunkan. Upaya-upaya tersebut meliputi:
(Widoyono, 2005)
1. Imunisasi aktif dengan toksoid. Diharapkan semua wanita usia subur (WUS)
sudah mendapatkan suntikan toksoid selama lima kali sebelum ia hamil.
Status imunisasi yang demikian disebut tetanus toksoid (TT) 5 dosis yang
akan member perlindungan terhadap tetanus selama 25 tahun.
2. Perawatan luka. Dilakukan dengan pemberian hydrogen peroksida (H2O2)
untuk oksigenasi luka di jaringan tubuh.
3. Persalinan yang bersih. Persalinan dengan 3 bersih (yaitu bersih tempat, alat
dan tangan penolong persalinan) dengan perhatian pada saat pemotongan tali
pusat.
Program Pemberantasan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 70

Sesuai dengan ketetapan departemen kesehatan program pemberantasan


tetanus ini mempunyai tujuan agar tercapainya target maternal neonatal tetanus
elimination (MNTE) di setiap kabupaten/kota pada tahun 2005, sedangkan tujuan
khususnya yaitu semua WUS pada kabupaten berisiko tinggi mendapat TT 5 dosis;
serta semua WUS di SMA dan tempat kerja mendapat TT 5 dosis. Strategi yang
dilakukan untuk memberantas tetanus ini yaitu:
a. Prioritas imunisasi WUS pada daerah berisiko tinggi
b. Diarahkan pada WUS yang terkelompok (misalnya pada industry,
perdagangan, atau perkebunan).
c. Imunisasi TT pada anak SMA
d. Promosi kesehatan
e. Imunisasi pada calon pengantin dan ibu hamil tetap diteruskan.
II.2. 16. Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan
mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang
termasuk genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia
melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophobia,
la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di
Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Etiologi
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssa-virus dari famili
Rhabdoviridae. Dari genus Lyssa-virus ada 11 jenis virus yang secara antigenik mirip
virus rabies dan yang menginfeksi manusia adalah virus rabies, Mokola, Duvenhage
dan European bat lyssa-virus. Virus rabies termasuk golongan virus RNA. Virus
berbentuk peluru dengan ukuran 180 x 75 nm, single strmided RNA, terdiri dari
kombinasi nukleo-protein yang berbentuk koil heliks yang tersusun dari fosfoprotein
dan polimerasi RNA. Selubung virus terdiri dari lipid, protein matriks dan
glikoprotein. Virus rabies inaktif pada pemanasan pada temperatur 56 C waktu paruh
kurang dari satu menit dan pada kondisi lembab pada temperatur 37 C dapat bertahan
beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45 %, solusi jodium.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 71

Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikasikan msnjadi 6
genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, Mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe
4, dan European bat lyssa-virus genotip 5 dan 6. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 28. Virus Rabies

Transmisi
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing,
kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan
binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun
melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap
infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pemah dilaporkan.Infeksi rabies
pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet,
luka robek) atau mukosa. Paling sering infeksi terjadi melalui gigitan anjing, tetapi
bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala,
musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana
dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar
tanpa ada gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di
laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya
infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang
mungkin terinfeksi rabies. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Patogenesis dan Patologi
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 72

pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus berkembang biak atau
langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan
perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran
plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat
pengikatan adalah reseptor asetilkolin post-sinaptik pada neuromuscular junction di
susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui
endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis
dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan
kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan
serebrospinal. Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua
bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer
termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula),
ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar
ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin.
Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies
tipefarious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan
patologi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular,
neuronofagia, dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.
Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus
terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri
bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri,
batang otak, hipotalamus, sel Purkinje serebelum, ganglia dorsalis medulla spinalis. Pada
20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan
terjadinya aritmia pada pasien rabies. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gejala Klinis

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 73

Masa inkubasi rabies 95 % antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi
antara 7 hari-7 tahun, hanya 1 % kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya
inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan.
Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya
masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan
(jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah
luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam
keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu: 1. gejala prodromal
non-spesifik; 2. ensefalitis akut; 3. disfungsi batang otak; 4. koma dan kematian. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala
spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh
demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia,
mual, muntah, diare dan nafsu makan menurun. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 29. Tabel Perjalanan Penderita Rabies


Gejala yang lebih spesifik yaitu adanya gatal dan parestesia pada luka
bekas gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal dapat berlangsung
sampai 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut
yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium prodromal

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 74

dan menetap selama perjalanan penyakit. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)


Stadium Neurologi Akut
Dapat berupa gejala furious atau paralitik. Pada gejala furious penderita
menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah laku aneh.
Setelah beberapa jam-hari, gejala hiperaktif menjadi intermiteri setiap 1-5 menit
berupa periode agitasi, ingin lari, menggigit diselingi periode tenang. Keadaan
hiperaktif dapat terjadi karena rangsangan dari luar seperti suara, cahaya, tiupan
udara dan rangsangan lainnya yang menimbulkan kejang sehingga timbul
bermacam-macam

fobia

terhadap

rangsangan-rangsangan

tersebut.

Bila

penderita diberi segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme
hebat otot-otot faring, akibatnya penderita menjadi takut terhadap air (hidrofobia)
yang khas untuk rabies. Keadaan yang sama dapat ditimbulkan oleh rangsangan
sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerofobia), atau dengan
menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) atau dengan menepuk tangan didekat telinga
pasien. Tanda-tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktivitas, halusinasi,
gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot dan
gerakan-gerakan involunter, fluktuasi suhu badan, dilatasi pupil. Lesi pada nukleus
amigdaloid memberikan gejala libido yang meningkat, priapismus, dan orgasme
spontan. Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil yang
ireguler, peningkatan lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi postural,
hipersalivasi. Gejala lain dalam fase neurologik akut ialah demam, fasikulasi otot,
hiperventilasi dan konvulsi. Meskipun sering kejang penderita tetap sadar. Gejalagejala stadium eksitasi dapat terus berlangsung sampai penderita menihggal.
Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal napas
yang disebabkan oleh kontraksi hebat otot-otot pemapasan atau keterlibatan pusat
pemapasan dan miokarditis, aritmia dan henti jantung akibat stimulasi saraf vagus.
Bila stadium ini dapat terlewati, penderita masuk ke stadium paralitik. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan masuk stadium paralitik

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 75

yang ditandai oleh demam dan sakit kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit,
mungkin difus atau simetri, atau dapat menyebar secara ascenden seperti pada
sindroma Guillain-Barre, dan kaku kuduk dapat dijumpai. Pada stadium paralitik dapat
tidak ditemui gejala hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas dan kejang. Pada keadaan ini
kesadaran dapat utuh, akan tetapi dapat memburuk secara gradual menjadi
bingung, disorientasi, paraplegia, gangguan menelan, kelumpuhan pernafasan, dan
akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi neurologik akut terjadi selama 2-7 hari dengan
fase paralitik lebih panjang. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Stadium Koma
Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologic, penderita dapat
mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah tampak gejala rabies dan
dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari
penanganan intensif. Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat segera
meninggal setelah terjadi koma, dan pada penanganan di Amerika Serikat rata-rata
lamanya perawatan sampai meninggal 13 hari. Beberapa komplikasi dapat terjadi dan
menjadi penyebab kematian. Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies
meninggal, hanya ada 4 laporan penderita ensefalitis rabies hidup. Dua penderita
diberikan vaksin tanpa imunoglobulin sesudah gigitan multipel dan bertahan hidup
lama (34 bulan pada 1 kasus) tetapi dengan gangguan neurologik yang berat. Dua kasus
lain didiagnosis sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin embrio bebek dan
suckling mouse vaccine tetapi diagnosis hanya berdasarkan tes serologi (tidak
dijumpai antigen/ virus). (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 76

Gambar 30. Tabel Komplikasi pada Rabies dan Penanganannya


Penanganan Rabies
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan
gagal napas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan hasilnya
tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang
dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi
dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah
diagnosis ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat
menimbulkan spasme otot ataupun untuk mencegah penularan. Staf rumah sakit
perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan
lain, dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang
terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung
tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting
dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan
alektrolit, hipotensi, edema serebri. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat
untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti
serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 77

efektif. Dalam dekade terakhir ini hampir tidak banyak perkembangan dalam
penanganan kasus rabies. Jackson menuliskan perlunya penanganan kasus rabies
secara lebih agresif yaitu dengan pemberian vaksin antirabies, imunoglobulin
(monoklonal). Antiviral agent yang dianjurkan adalah ribavirin, interferon alfa, dan
ketamin. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penanganan Luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan
untuk

rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan

debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%. Luka akibat gigitan
binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan
memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan
infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.
Perawatan luka sangat diperlukan, yaitu pembersihan luka dengan air sabun
atau detergen selama 5-10 menit. Setelah bersih dan kering, luka diberi alcohol
atau betadin. Pasien perlu disuntik vaksin antirabies (VAR) atau serum antirabies
(SAR). (Widoyono, 2005)
Pencegahan
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan
virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka
rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti
rabies dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu
yang berisiko tinggi tertular rabies. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Vaksinasi anjing peliharaan dan eliminasi anjing liar perlu dilakukan. Orang
dengan resiko tinggi seperti dokter hewan, pekerja laboratorium, dan anak-anak
(yang dianggap sering berhubungan dengan hewan peliharaan) juga perlu di
imunisasi. Pada daerah endemic rabies, gigitan anjing tanpa provokasi (anjing tidak
diganggu) harus dianggap menularkan rabies. Dokter mengelola pasien yag tergigit,
sedangkan hewan yang menggigit akan ditangani oleh petugas dari dinas
peternakan. (Widoyono, 2005)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 78

II.2.17. Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonis yang disebabkan oleh mikro
organism Leptospira interogans tanpa memandang bentuk sereotipenya. Penyakit ini
pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious
jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Etiologi
Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira
merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil
(dapat bergerak aktif), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin
dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 m dan diameter 0,1-0,2
m. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 m. Jadi, ukuran bakteri
ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop
cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras.
Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur. Untuk mengamati lebih jelas gerakan
leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps
menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki
aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang
lembap, tanaman dan lumpur. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 79

Gambar 31.

Leptospira sp

Penularan
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water
borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini
merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.
Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu
faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan
deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan
bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh
namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk
semang. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah
yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus
terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang
terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan
sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan
memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba,
kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke
manusia tidak sebesar tikus. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke
penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui
kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit,
mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan
dari manusia ke manusia jarang terjadi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 80

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan
barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan,
tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia
banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar
bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit
ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)

Gambar 32.

Penularan

Laptospira
Patogenesis
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi di dalam darah dan jaringan.
Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di
dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama
ginjal dan hati. Kemudian terjadi respon imunologik secara selular dan humoral
sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. (Aru W.Sudoyo
dkk, 2009)
Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberpa
minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Setelah
fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang
terlibat pada pathogenesis leptospirosis: invasi bakteri langsung, factor inflamasi non
spesifik, dan reaksi imunologik. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 81

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular
(kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus,
hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati
berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada kondisi ini akan
terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot
skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan
sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang
pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan
menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang.
Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh,
biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal
atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan
bahkan tahun. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Patologi
Pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Lesi inflamsi menunjukkan
edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma. Leptopira dapat masuk
kedalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia. Organ-organ yang sering
dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. (Aru W.Sudoyo dkk,
2009)
Pada ginjal; interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi
imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga
berperan menimbulkan kerusakan ginjal. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada hati; menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 82

limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestatis. Biasanya organism ini
terdapat diantara sel-sel parenkim. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada otot rangka; terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pada pembuluh darah; terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan
perdarahan pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan
bawah kulit. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)

Gambar 33.
Laptospirosis
Gambaran Klinis
Masa inkubasi laptospirosis adalah 7-12 hari dengan rata-rata 10 hari. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah dan beredar
ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan dimana saja termasuk organ
jantung, otak dan ginjal. Sebagian kecil penyakit bersifat subklinis, 90% penyakit
tidak akan menyebabkan ikterik dan hanya tipe yang berat (10%) menyebabkan
ikterik (weil disease). (Widoyono, 2005)
Manifestasi klinis laptospirosis terbagi menjadi 3 fase:
1. Fase pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, malaise, nyeri otot, ikterus,
sakit kepala dan nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal dan
meningitis (merupakan salah satu penjelasan mengapa penyakit ini sering
misdiagnosis dengan meningitis dan ensefalitis). Fase ini berlangsung selama
4-9 hari. (Widoyono, 2005)
2. Fase kedua (imun)
Titer antibody IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan
klinis akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (laptopspira dalam urin)

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 83

selama satu minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
(Widoyono, 2005)
3. Fase ketiga (konvalesen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul
kembali dan berlangsung selama 2-4 minggu. (Widoyono, 2005)
Diagnosis
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan, apakah
termasuk kelompok berisiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam yang muncul
mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah, mual atau
muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot,
hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai
lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gamabaran neutrofilia dan laju
endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan torak
(cast). Bila organ hati terlibat, bilirubun direk meningkat tanpa peningkatan
tranaminase. BUN, Ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi
ginjal. Diagnose pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi. (Aru
W.Sudoyo dkk, 2009)
Melakukan kultur dengan mengambil specimen dari darah atau CSS segera
pada awal gejala. Dianjurkan mengambil spesiman pada fase awal serta belum diberi
antibiotic. Kultur urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya leptospira untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat
adalah dengan pemeriksaan PCR, silver stain atau fluroscent antibody dan mikroskop
lapangan gelap. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penatalaksanaan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian
intra vena penicillin G, amoksilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 84

Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin,


doksisiklin, ampisilin atau amoksili maupun sefalosforin. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penyakit sedang atau berat menggunakan penisilin 4x1,5 IU atau amoksisilin
4x1 gr selama 7 hari. Sedangakn untuk penyakit laptospira yang ringan menggunakan
ampisilin 4x500 mg, amoksisilin 4x500 mg atau eritromisin 4x500 mg. (Widoyono,
2005)
Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya pada daerah tropis sangat sulit. Bagi
mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan
perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak bahanbahan yang telah terkontaminasi dengan kemih reservoir. Pemberian doksisiklin 200
mg perminggu bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka
yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat. Vaksinasi terhadap
hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama direkomendasikan, tetapi untuk manusa
belum berhasil dilakukan. (Aru W.Sudoyo dkk, 2009)
Penyuluhan tentang hygiene pribadi dan penularan penyakit ini akan membantu
untuk mencegah KLB (Kejadian Luar Biasa). Kewaspadaan petugas kesehatan dapat
berupa pengawasan situasi pascabanjir, mengisolasi hewan sakit dari rumah penduduk dan
daerah wisata, vaksinasi hewan peliharaan dengan strain local, serta mengontrol vector
bila diperlukan. (Widoyono, 2005)
II.3. Dampak dari Neglected Tropical Diseases
Sebuah proxy untuk kemiskinan dan merugikan
Penyakit tropis yang terabaikan memiliki dampak yang sangat besar pada
individu, keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan negara dalam hal beban
penyakit, kualitas hidup, hilangnya produktivitas, tingginya biaya perawatan jangka
panjang dan memperburuk kemiskinan. Mereka merupakan hambatan serius untuk
pembangunan sosial ekonomi dan kualitas hidup di semua tingkat.
Mempengaruhi populasi dengan visibilitas yang rendah dan suara politik sedikit

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 85

Kelompok penyakit ini sebagian besar mempengaruhi orang berpenghasilan


rendah dan seringsecara politik terpinggirkan tinggal di daerah pedesaan terisolasi
dan perkotaan dibawah pelayanan. Orang-orang seperti tidak bisa dengan mudah
mempengaruhi administrasi dankeputusan pemerintahan yang mempengaruhi
kesehatan mereka, dan sering tampaknya tidak memiliki konstituen yang berbicara
atas nama mereka. Penyakit yang berhubungan dengan kemiskinan pedesaan dan
perkotaan mungkin berdampak kecil terhadap pengambilan keputusan dalam kota
golongan kapitalis dan perkembangan populasi mereka.
Tidak Menyebar Secara Luas
Tidak seperti influenza, HIV / AIDS, dan malaria dan, pada tingkat lebih
rendah, TB,kebanyakan penyakit tropis terabaikan umumnya tidak menyebar luas,
dan sedikit ancaman hadir untuk negara berpenduduk dengan pendapatan tinggi.
Sebaliknya, distribusi mereka dibatasi oleh iklim dan dampaknya terhadap distribusi
vektor dan host reservoir, karena sebagian besar penyakit, ada sedikit risiko
penularan di luar daerah tropis.
Penyebab aib dan diskriminasi, khususnya yang mempengaruhi perempuan muda dan tua
Banyak penyakit tropis terabaikan menyebabkan pengrusakan dan kecacatan,
yang menyebabkanaib dan diskriminasi sosial. Dalam beberapa kasus, dampaknya
tidak proporsionalmempengaruhi anak perempuan dan wanita, yang dapat
mengurangi prospek pernikahan atauyang dapat dibiarkan rentan terhadap pelecehan
dan pengabaian. Beberapa penyakit tropisterabaikan berkontribusi merugikan
kehamilan.
Memiliki dampak penting terhadap morbiditas dan mortalitas
Meluasnya pengaruh dari asumsi masyarakat internasional bahwa orang yang
beresiko penyakit tropis terabaikan mengalami morbiditas relatif kecil, dan bahwa
penyakit ini memiliki tingkat kematian yang rendah, secara komprehensif telah
dibantah. Sebuah bukti besar yang dipublikasikan dalam peer-review medis
dan jurnal ilmiah, telah menunjukkan sifat dan besarnya dampak buruk penyakit
tropis terabaikan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 86

II.4. Penanggulangan Neglected Tropical Diseases


Bagian penting dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
adalah memutus rantai penularan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara
menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Faktor pencegahan
penularan menitik beratkan pada penanggulangan faktor risiko penyakit seperti
lingkungan dan perilaku. Sanitasi lingkungan yang tidak higienis mempermudah
penularan penyakit.
Perilaku seseorang merupakan akumulasi dari pengetahuan dan sikap
terhadap kesehatan. Contohnya, sumber air minum yang bersih saja tidak cukup bagi
seseorang untuk terbebas dari penyakit selama tangan yang digunakan untuk
minum atau makan tidak bersih. Selain tangan, peralatan makan juga harus
terbebas dari kontaminasi.
Apabila sumber air minum, peralatan, dan tangan sudah bersih, perilaku
untuk merebus air minum sampai mendidih tetap diperlukan untuk menjamin
sterilitas. Sebagian besar status kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh
faktor perilaku dan faktor lingkungan. (Widoyono, 2005)
Strategi pertama digunakan untuk menyampaikan obat-obatan anthelminthic
dengan menggunakan pendekatan berbasis populasi berfokus pada optimasi
penggunaan obat tunggal administrasi ditargetkan secara bersamaan di lebih dari
satu bentuk helminthiasis. Upaya untuk mengatasi infeksi cacing secara terkoordinasi
dapat ditelusurikembali ke resolusi World Health Assembly (WHA) 2001 pada
schistosomiasis, dan infeksicacing melalui media tanah, yang menetapkan tujuan
umum dan tujuan untuk pencegahan dan kontrol. pada tahun 2006, konsep ini
dikembangkan lebih lanjut ketika WHO menerbitkan manual pada pengetahuan
preventif untuk helminthiasis merekomendasikan pelaksanaan terpadu intervensi
terhadap

empat

penyakit

cacing

utama

(filariasis

limfatik,onchocerciasis,

schistosomiasis dan cacing usus media tanah) berdasarkan penggunaanterkoordinasi


dari

satu

set

kuat

obat-obatan

anthelminthic

dengan

catatan

keamanan

yangmengesankan. Pengetahuan preventif sekarang diterapkan di seluruh dunia dan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 87

digunakan untuk meningkatkan efektivitas, efektivitas biaya, kesehatan ekologi dan


keberlanjutan tindakan pengendalian penyakit terhadap vektor penyakit tropis
terabaikan.
Dengan berkembangnya penggunaan obat masal (Mass Drug Administration;
MDA) sebagai target terapi, sehingga mempunyai peluang untuk mengendalikan
ataupun memberantas NTD. Penggunaan MDA untuk mengontrol NTD atau
kemoterapi dipelopori oleh Cina. Awalnya Cina, memulai dengan penggunaan garam
dengan diethylcarbomizin yang dapat memberantas limfatik filariasi serta
penggunaan praziquantel yang telah tersebar dan menjadi tolak ukur (termasuk
pengendalain siput dan penyuluhan kesehatan). Mesir juga telah berhasil mengurangi
limfatik filariasis dan Scistomisais.
Langkah pertama diawali oleh Merck, pada akhir 1980-an ketika Merck
pertama kali membentuk kerjasama untuk mengendalikan NTD, kerjasama ini
dibentuk untuk menyalurkan sumbangan ivermectin untuk onchocerciasis. Dengan
program pengontrolan Onchorcherciasis yang bekerjasama dengan program di
pengontrolan di Amerika dan Afrika kerja sama ini telah berhasil mendonasikan lebih
dari 300 ribu terapi. Pfizer bekerjasama dengan lembaga internasional yang
menangani Trachoma untuk mendonasikan azithromycin sebagai bagian dari program
untuk memberantas Trachoma dan Glaxo smith kline bekerjasama dengan WHO,
Merck dan lembaga internasional yang menangani LImfatik filariasis untuk
mendonasikan albendazol serta diethylcarbamazine atau ivermectin ke MDA. Usaha
ini telah cukup berhasil memberantas limfatik filariasis sebagai masalah kesehatan di
Mesir, Samoa, dan Zanzibar dan Trachoma di Maroco. (NEJM, Peter J. Hotez, 2007)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan lima strategi


kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan:
1. Memperluas pengetahuan tentang pencegahan
2. Mengintensifkan penemuan kasus dan manajemen kasus
3. Meningkatkan pengendalian vektor
4. Tindakan kesehatan masyarakat mengenai penyakit hewanyang sesuai, dan

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 88

5. Persediaan air bersih, sanitasi dan kebersihan


Meskipun satu pendekatan mungkin mendominasi untuk mengontrol penyakit
atau kelompok penyakit tertentu, bukti menunjukkan bahwa kontrol yang lebih
hasilnya efektif bila semua lima pendekatan dikombinasikan dan diberikan secara
lokal.Tindakan untuk mengatasi penderitaan yang disebabkan oleh penyakit tropis
terabaikandan menilai bagaimana dampak meluasnya pada sektor lain selain
kesehatan; 1) Mempromosikan pembangunan dengan memutus siklus kemiskinan dan
penyakit; 2) Memelihara keamanan dengan mengurangi kerentanan populasi manusia
dan ternak mereka terhadap infeksi, dan 3) Memperkuat sistem kesehatan dengan
menanamkan strategi pendekatan dan campur tangan yangsesuai secara lokal dalam
program kesehatan nasional.
Sebuah sistem kesehatan terdiri dari semua organisasi, orang dan tindakan yang
utama untuk mempromosikan, memulihkan atau mempertahankan kesehatan. Sistem
ini mencakup langsung kegiatan peningkatan aktivitas dan upaya untuk
mempengaruhi faktor-faktor penentu kesehatan. Sebuah sistem kesehatan terdiri dari
lebih dari piramida dari fasilitas yang dimiliki publik yang memberikan layanan
kesehatan pribadi. Ibu merawat anak yang sakit, penyedia layanan kesehatan swasta,
kampanye vektor-kontrol, organisasi kesehatan asuransi dan kesehatan kerja dan
peraturan keselamatan, semua merupakan bagian dari sistem kesehatan. WHO misal
untuk mendorong Departemen Pendidikan untuk mempromosikan pendidikan
perempuan merupakan penentu mengenal lebih baik kesehatan. Tumbuh pengakuan
oleh masyarakat global tidak bisa diterima skala dan tingkat keparahan morbiditas
akibat dari penyakit tropis terabaikan, ditambah dengan perubahan dalam berpikir
tentang

bagaimana

mencegah

dan

mengendalikan

mereka,

telah

memberikankesempatan untuk berkontribusi untuk memperkuat sistem kesehatan di


negara-negara di mana penyakit ini telah berefek merugikan pada kesehatan dan
produktivitas. WHO pendukung pencegahan dan pengendalian penyakit tropis
terabaikan menggunakan enam komponen (atau inti blok bangunan) yang akan
memperkuat sistem kesehatan dari negara endemik. Komponen tersebut adalah:
a. Pengiriman yang efektif

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 89

Kesehatan aman, kualitas yang terjamin intervensi untuk individu dan


masyarakat yang membutuhkan mereka, kapan dan di mana mereka
membutuhkan mereka, dengan minimum pemborosan sumber daya;
b. Kesehatan tenaga kerja
Mampu melakukan tanggung jawab, adil dan efisien untuk mencapai
hasil kesehatan terbaik, mengingat sumber daya yang tersedia dan keadaan,
dengan staf yang cukup terlatih dan kompeten tepat didistribusikan untuk
memenuhi kebutuhan;
c. sistem informasi kesehatan
Untuk memastikan produksi, analisis, penyebaran dan penggunaan
dapat diandalkan dan tepat waktu informasi mengenai faktor-faktor penentu
kesehatan, kinerja sistem kesehatan dan status kesehatan;
d. Akses yang Adil
Terhadap obat-obatan esensial, vaksin dan kualitas teknologi terjamin,
keamanan, khasiat dan efektivitas biaya, dan pengiriman mereka ilmiah dan
hemat biaya; sistem pembiayaan
e. Kesehatan
Untuk mengumpulkan dana yang memadai untuk kesehatan dengan
cara yang menjamin akses ke layanan untuk semua dan bahwa orang-orang
dilindungi dari bencana keuangan atau pemiskinan oleh biaya kesehatan;
f.

Kepemimpinan dan pemerintah


Untuk memastikan bahwa kerangka kebijakan strategis adadan
digabungkan dengan pengawasan yang efektif, koalisi-bangunan, peraturan,
perhatian kedesain sistem akuntabilitas dan transparan.Kolaborasi tertutup
antara negara-negara WHO, dan mitra mulai menunjukkan bahwa
integrasikontrol penyakit tropis terabaikan dapat membantu memperkuat
sistem kesehatan. Pada tahun 2007, dengan dukungan dari Kongres Amerika

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 90

Serikat, program dimulai untuk memperluas kontrol dipilih penyakit tropis


terabaikan di masyarakat di lima negara di Afrika (Burkina Faso, Ghana,
Mali, Niger dan Uganda). Program ini dimulai seperti peningkatan kesadaran
pengendalian penyakit tropis yang terabaikan bisa menjadi mekanisme untuk
memperkuat sistem kesehatan. Pada tahun 2007, menjelang akhir tahun
pertama program, evaluasi independen dilaporkan bahwa, sementara tingkat
integrasi pengendalian penyakit tropis terabaiakan ke dalam sistem kesehatan
dari lima negara adalah variabel (dari parsial untuk sepenuhnya terintegrasi),
ada bukti penguatan melalui peningkatan kapasitas tenaga kerja kesehatan dan
melalui pengenalan

prosedur

pemantauan.

Sebagai

contoh,

distribusi

Albendazole, ivermectin, praziquantel dan azitromisin, yang berjumlah sekitar


37 juta dosis, untuk mereka yangmembutuhkan tidak akan mungkin terjadi
tanpa latihan lebih dari 100.000 orang. Sekarang banyak digunakan
pengaturan untuk merawat anak-anak untuk schistosomiasis dancacing usus
transmisi tanah melalui pengiriman di sekolah dasar juga memberikan
kesempatan untuk pendidikan kesehatan. Memberikan instruksi kepada orangorang tentang cara merawat kerabat atau orang lain dalam komunitas mereka
menderita dari morbiditas menonaktifkan daridracunculiasis dan filariasis
limfatik memperkuat sistem kesehatan, dengan demikianmeningkatkan
pengiriman dan akses yang adil.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 91

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Penyakit tropis yang terabaikan (Negelected Tropical Diseases) adalah
kelompok penyakit menular yang berkembang didaerah miskin dan menghancurkan
kehidupan sekitar satu miliar orang di seluruh dunia, sementara mengancam jutaan
lebih kesehatan masyarakat. Infeksi Parasit dan bakteri diketahui sebagai NTD
termasuk infeksi cacing (ascariasis, cacing tambang, dan trikuriasis), limfatik
filariasis, onchocerciasis dracunculiasis, schistosomiasis, Chagas disease, human
African trypanosomiasis, leishmaniasis, ulkus buruli, lepra, dan trachoma.
Faktor penyebab penyebaran penyakit ini adalah sistem sanitasi atau
ketersediaan air bersih yang tidak memadai, menjadi peluang tertular. Kondisi
tersebut sulit didapat didaerah-daerah yang sistem sanitasi airnya belum terakriditasi
dalam rumah tangga, seperti didaerah pedalaman. Kondisi ekonominya semakin
jelek, maka perkembangannya menjadi akut. Meskipun penanganan pemerintah atas
penyakit tersebut sudah dilakukan secara berkelanjutan, namun kurangnya kesadaran
masyarakat kita untuk hidup sehat membuat kasus-kasus penyakit tropis terus
bermunculan.
III.2 Saran
Untuk menghindari penyakit tropis yang banyak ditemukan di Indonesia,
kami menyarankan untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih baik, seperti sanitasi
yang baik, minum air bersih, menggunakan masker dan makan-makanan yang bergizi
untuk meningkatkan system kekebalan tubuh. Cara ini cukup efektif untuk mencegah
terjadinya penyakit tropis, karena mencegah lebih baik dari pada mengobati.

N e g l e c t e d T r o p i c a l D i s e a s e s | 92

DAFTAR PUSTAKA
Noer, Sjaifoellah dkk. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Gaya Baru, Jakarta.
Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. EGC, Jakarta.
Sutanto, Inge dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Widoyono, 2005. Penyakit Tropis. EMS, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai