Anda di halaman 1dari 84

PENDIDIKAN KARAKTER KELOMPOK 5: - Inky Dian Anjanie (BAB 6) - Ayu Trichwanningsih (BAB 7) - Ita Wahyu Aini (BAB 8) - Yunita

Chao (BAB 9) - Kadek Anggita (LAMPIRAN)

BAB 6 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK

Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah adalah keberhasilan peserta didik dalam membangun karakter pribadinya, serta keberhasilan guru dalam membangun karakter peserta didik. Oleh karena itu, dalam bab ini dibahas secara khusus mengenai membangun karakter peserta didik.1

A. Membangun Karakter Peserta Didik yang Lamban (Slour Learner) Slow leanning atau lamban belajar merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar. Peserta didik yang lamban belajar akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran, menganalisis apa yang dipelajari, dan mengalami kesulitan dalam memahami isi pembelajaran, serta sulit membentuk kompetensi, dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Slow learning menunjuk pada peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akibat kelambanan dalam perkembangan, terutama perkembangan mental. Kemampuan peserta didik yang lamban belajar lebih rendah dibanding perkembangan rata-rata teman sebayanya.

Kelambanan perkembangan ini disebabkan oleh tingkat kecerdasan atau IQ di bawah ratarata umum atau di bawah normal. Peserta didik slow learner juga sering mengalami kelambanan dalam pertumbuhan jasmaninya.

1. Intelegensi Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang bersifat umum (general ability) untuk membuat atau mengadakan analisa, memecahkan masalah, menyesuaikan diri, dan menarik generalisasi, serta merupakan kesanggupan berpikir seseorang. Orang yang berintelegensi tinggi akan cepat dan tepat dalam mengadakan analisis, memecahkan masalah, dan dapat menarik suatu generalisasi dari suatu masalah dengan tepat, serta cepat dalam melakukan sesuatu, dan memberikan reaksi terhadap suatu stimulus. Intelegensi dapat diukur dengan alat-alat tes intelegensi. Dalam melakukan tes ini seseorang disuruh melakukan suatu perbuatan (performance test) atau menjawab sejumlah pertanyaan (verbal test). Melalui tes perbuatan, misalnya diminta mengulang suatu yang dilakukan komputer, melengkapi gambar, membuat bangun tertentu, menyempurnakan bentuk, dan menggambar bangun tertentu. Hasil perbuatan yang dilakukan atau jawabanjawaban yang diberikan menunjukkan kemampuan mental atau umur mentalnya. Selanjutnya umur mental ini dibandingkan dengan umur yang sebenarnya (umur kalender). Jika hasil tes sebanding dengan umurnya, maka menandakan peserta didik tersebut berintelegensi normal, jika lebih tinggi dari pada umur yang sebenarnya, maka menandakan peserta didik tersebut cerdas (di atas normal), sedang jika hasil di bawah umurnya, maka menandakan peserta didik tersebut intelegensinya di bawah normal.

Hasil tes yang diperoleh oleh peserta didik disebut Mental Age (MA) atau umur mental, sedangkan umurnya disebut Cronological ASe (CA). Dengan demikian, tingkat kecerdasan seseorang atau Intelegensi Question (IQ) dapat diformulasikan sebagai berikut. TINGKAT IQ 130 ke atas 110-129 90-109 70-89 50-69 30-49 Kurang dari 30 KELOMPOK Pandai sekali (Genius) Pandai Rata-rata atau normal Kurang pandai Lemah ingatan Debiel Imbeciel-ideot

2. Ciri-ciri Peserta Didik Lambat Belajar Peserta didik yang tergolong lambat belajar akan menampakan gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri sebagai berikut. a. Lamban. Peserta didik kelompok lambat belajar lambat dalam menerima dan mengolah pembelajaran, lamban dalam bekerja, lamban dalam memahami isi bacaan, serta lamban dalam menganalisis, dan memecahkan masalah. b. Kurang mampu. Peserta didik kelompok lambat belajar kurang mampu

berkonsentrasi, berkomunikasi dengan orang lain, mengemukakan pendapat, serta kurang kreatif, dan mudah lupa (susah ingat mudah lupa). c. Tidak berprestasi. Peserta didik kelompok lambat belajar prestasi akademisnya rendah, dan hasil kerjanya tidak memuaskan. d. Motoriknya lamban. Peserta didik kelompok lambat belajar pada umumnya lamban dalam belajar berjalan, terlambat dalam belajar berbicara, serta gerakan-gerakan ototnya kendor, dan tidak lincah. e. Perilaku negatif. Peserta didik kelompok lambat belajar sering memiliki perilaku yang kurang baik, kebiasaan jelek dan tidak produktif.

3. Memahami Latar Belakang Peserta Didik Lambat Belajar Untuk memberikan bantuan dan bimbingan secara tepat, dan berhasil kepada peserta didik yang lambat belajar, perlu dipahami berbagai hal yang melatarbelakanginya. untuk kepentingan tersebut berbagai usaha yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. a. Studi dokumentasi, mempelajari catatan-catatan pribadi, melalui : buku catatan pribadi, dokumen perkembangan pribadi, catatan kesehatan,

b. Mengumpulkan data baru sebagai pelengkap Dalam rangka memahami dan mengenal latar belakang peserta didik, sebagai upaya melengkapi informasi yang sudah ada, perlu ditempuh cara lain di samping mempelajari data pribadi siswa. Cara lain ini dapat dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut. a. Home uisit (kunjungan rumah), yakni mengadakan kunjungan ke rumah orang tua peserta didik untuk memahami situasi dan kondisi keluarga, dan lingkungannya. b. Tes psikologi, untuk memahami kemampuan psikisnya' Misalnya tes intelegensi, tes bakat dan tes minat' c. Wawancara dengan orang tua atau temannya' Kegiatan wawancara ini bisa dilakukan bersamaan dengan kunjungan rumah, bisa juga memanggil atau mengundang orang tua ke sekolah' d. Observasi terhadap kegiatan peserta didik pada waktu bermain atau bekerja melakukan tugas kelompok untuk memahami hubungan sosial dengan teman-temannya.

Dari berbagai usaha yang dilakukan di atas akan diperoleh data yang dapat menggambarkan latar belakang peserta didik' Perlu didasari bahwa tidak semua data yang diperoleh relevan dengan masalah, sehingga perlu dilakukan seleksi data. Seleksi data ini

diperlukan untuk memilah dan memilih data yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi dan dipecahkan, dengan data yang kurang atau tidak menunjang atau tidak berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

4. Usaha-Usaha Bimbingan Guru dan pembimbing dituntut kesabarannya dalam menghadapi peserta didik yang lambat belajar, karena ciri-ciri, sifat dan perilakunya selalu lambat.Tanpa kesabaran guru, peserta didik akan menjadi mudah putus asa, apalagi jika usaha-usaha bantuan yang diberikan tidak segera menampakkan hasilnya. Lebih dari itu, guru yang tidak sabar dan kurang telaten akan segera meninggalkan tugas bimbingan dan membiarkan peserta didiknya terlantar. Bentuk bimbingan yang diberikan kepada slow learner bergantung pada kemungkinan masalah atau latar belakang masalah masing-masing. Sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh peserta didik lambat belajar dan latar belakang peserta didik, maka bimbingan yang diberikan dapat diidentifikasikan sebagai berikut. a. Pemberian informasi tentang cata-cara belajar yang efektif, baik cara belajar di sekolah maupun di rumah. Misalnya, cara belajar yang efektif membuat singkatan, dan cara menggunakan atau mengisi waktu senggang. b. Bantuan penempatan Qtlacement), yakni menempatkan peserta didik dalam kelompokkelompok kegiatan yang sesuai, seperti kelompok belajar, kelompok diskusi, dan kelompok kerja. Bantuan penempatan ini dapat pula berfungsi sebagai perbaikan terhadap masalah dan kesulitan sosial yang dialami peserta didik. c. Mengadakan pertemuan dengan orang tua untuk melakukan konsultasi, mendiskusikan kesulitan-kesulitan peserta didik serta mencari cara-cara pemecahannya, terutama berkaitan dengan cara memberikan dorongan agar peserta didik giat belajar, dan caracara melayani atau memperlakukan peserta didik di rumah.

d.

Memberikan pembelajaran remidi (remidial teaching), yakni mengadakan pembelajaran kembali atau pembelajaran ulang secara khusus bagi para peserta didik yang lamban untuk mengajarkan ketinggalan dari kawan-kawannya.

e.

Menyajikan pembelajaran secara konkret dan aktual kepada peserta didik yang lamban, yakni dengan menggunakan berbagai variasi media dan variasi metode pembelajaran, untuk membantu mereka dalam memahami konsep-konsep pembelajaran.

f.

Memberikan layanan konseling bagi peserta didik yang menghadapi kesulitankesulitan emosional, serta hambatan-hambatan lain sesuai latar belakang masingmasing.

g.

Memberikan perhatian khusus kepada peserta didik yang lamban, dan berusaha untuk membangkitkan motivasi dan kreativitas belajarnya, misalnya melalui hadiah dan pujian.

B. Membangun Karakter Peserta Didik yang Cerdas di Atas Normal Peserta didik yang tergolong cerdas adalah mereka yang memiliki IQ di atas normal. Sistem pendidikan di Indonesia telah menyentuh anak-anak luar biasa melalui sekolah-sekolah luar biasa atau sekolah khusus. Meskipun demikian, sampai saat ini perhatian untuk menyelenggarakan pendidikan khusus kepada anak luar biasa masih terbatas pada anak luar biasa di bawah normal atau subnormal saja, yaitu sebagai berikut. SLB bagian A (Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tuna netra). SLB bagian B (Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tuna rungu dan wicara). SLB bagian C (Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak lemah ingatan). SLB bagian D (Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak cacat tubuh, invalid, lumpuh dan sejenisnya). SLB bagian E (Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak nakal).

Sedangkan pendidikan untuk anak-anak yang tergolong luar biasa di atas normal masih sangat terbatas dengan daya tampung yang masih kurang. Kondisi tersebut mengakibatkan peserta didik yang cerdas terpaksa mengikuti sekolah-sekolah biasa, yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Masuknya anak-anak "istimewa" ini di sekolah-sekolah biasa, tentu saja akan banyak membawa dampak negatif bagi perkembangan kemampuan peserta didik itu sendiri, bila kepadanya kurang perhatian serta perlakuan yang wajar, dan kurang adanya penyuluhan yang tepat. Untuk menghindari hal tersebut, guru dan tenaga kependidikan lain di sekolah perlu dibekali pula dengan teknik bimbingan atau teknik membimbing peserta didik secara tepat waktu dan tepat sasaran. Dikatakan demikian, karena seringkali tindakantindakan guru bukan memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik, tetapi menghambat bahkan mematahkan perkembangan peserta didik. Misalnya, memberikan jawaban yang tidak memuaskan, tidak tepat atau tidak sesuai dengan harapan peserta didik; menggunakan hadiah dan hukuman secara berlebihan atau tidak pada tempatnya. Sehubungan dengan itu, sedikitnya guru harus memahami ciri-ciri anak luar biasa di atas normal dan cara memberikan bimbingan yang tepat.

1. Ciri-ciri Anak Luar Biasa di Atas Normal Peserta didik yang memiliki kecerdasan di atas normal sebenarnya dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok, pertama, kelompok pandai sekali dengan IQ 130 ke atas, dankedua, kelompokpandai dengan IQ antara 110 sampai dengan 130. Kedua kelompok ini merupakan peserta didik luar biasa di atas normal, yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut. a. Belajar berjalan dan bicara lebih awal dan cepat menguasai kosa kata dalam jumlah yang banyak. b. Pertumbuhan jasmani lebih baik, otot-otot kuat, motoriknya gesit (lincah), dan energik.

c. Haus akan ilmu pengetahuan, dan menyukai, serta sering mengikuti berbagai perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. d. Mampu secara tepat menarik suatu generalisasi, dapat mengenal hubungan antara fakta yang satu dengna fakta yang lain, cakrawala berpikirnya luas, cara berpikirnya logis, kritis, dan suka berdebat. e. Memiliki rasa ingin tahu (natural curiousity) yang tinggi, sehingga nampak suka membongkar-bongkar alat-alat permainan dan membangunnya kembali. f. Cepat dalam menerima, mengolah, memahami dan menguasai pembelajaran, prestasinya baik sekali dalam seluruh bidang studi. g. Cepat mengerjakan tugas dengan hasil baik. h. Cepat dan tepat dalam bertindak. i. Kurang sabar mengikuti hal-hal yang rutine dan monoton. j. Cenderung tidak memiliki gangguan nervus (mudah bingung). k. Daya imaginasinya tinggi, dan mampu berpikir abstrak. l. Cepat dalam bekerja dan melakukan tugas sehingga banyak memiliki waktu luang.

2. Prinsip Dasar Bimbingan terhadap Peserta Didik yang Cerdas Beberapa halyang perlu diperhatikan dan dipahami guru dalam memberikan bimbingan kepada peserta didik cepat belajar adalah. a. Perlu diupayakan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar memperoleh perkembangan yang optimal, sehingga dapat dicapai suatu kebahagiaan. b. Bimbingan yang diberikan harus sesuai dengan ciri-ciri khusus serta kebutuhan peserta didik yang cepat belaiar.

c.

Setiap sekolah harus diatur sedemikian rupa, sehingga tercipta suasana yang aman dan nyaman, dan memungkinkan peserta didik cepat belajar mengembangkan seluruh aspek pribadinya.

d.

Dalam memberikan bimbingan jangan semata-mata menekankan pada perkembangan aspek intelektualnya saja, tetapi perlu dikembangkan aspek-aspek lain seperti sikap, nilai, mental, moral, emosional, sosial, spiritual, dan tanggung jawab.

e.

Perlu dikurangi

kegagalan dan pemborosan sejauh mungkin

dengan

jalan

mendayagunakan seluruh bakat dan kecerdasan serta kreativitas peserta didik.

Masalah-masalah yang dihadapi peserta didik cepat belajar pada umumnya bersumber dari kondisi-kondisi sebagai berikut. a. Kurang atau tidak adanya pengertian dari pihak pendidik (guru, orang tua, kepala sekolah, konselor), mereka tidak mengerti bagaimana memperlakukan peserta didik yang cerdas. b. Kurang adanya perhatian dari pihak pendidik. Perhatian pendidik umumnya ditujukan kepada peserta didik yang normal, paling-paling ditujukan kepada peserta didik yang lambat belajar. c. Anggapan yang keliru dari pendidik bahwa peserta didik yang cerdas akan mampu atau bisa memelihara, menjaga, dan mengembangkan dirinya sendiri tanpa bimbingan orang lain. d. Kurang tanggap guru terhadap perilaku peserta didik yang cerdas, bahkan sering

dianggap mengganggu pembelajaran, atau mencemoohkan guru. Misalnya mengajukan pertanyaan yang di luar kemampuan guru untuk menjawabnya.

3. Reaksi Negatif Peserta didik yang tergolong cerdas di atas normal tidak berbeda dengan teman lain, dalam arti sebenarnya mereka juga memerlukan perhatian, penghargaan dan kasih sayang, karena hal tersebut merupakan bagian dari kebutuhan pokok (basic needs). Meskipun demikian, dalam kenyataannya apa yang dilakukan oleh pendidik baik orang tua maupun guru kurang sekali perhatian kepada mereka. Hal ini disebabkan oleh ketidakmengertian guru dan orang tua tentang cara memperlakukan anak, serta adanya anggapan-anggapan yang keliru seperti disebutkan diatas. jika peserta didik cerdas yang secara wajar juga membutuhkan perhatian, tetapi tidak diperhatikan oleh pendidik, maka akan timbul beberapa reaksi sebagai berikut: a. b. Melarikan diri, pendiam, dan bersifatintrovert;reaksi negatif ini disebut withdraw. Mencari perhatian (making attention). Dalam usahanya mencari perhatian dari pendidik setelah selesai melakukan tugas, maka adakalanya ditempuh dengan jalan berteriakteriak di kelas, membuat gaduh, menggoda teman, meledek guru, suka mondar mandir, dan mengganggu temannya. Hal tersebut dilakukan untuk menarik perhatian, baik perhatian dari teman maupun gurunya. fika kondisi semacam ini dibiarkan, maka akan sangat merugikan baik bagi dirinya maupun bagi kawan lain, bahkan sekolahnya, karena akan mengganggu konsentrasi belajar. Dalam konteks yang lebih luas dan umum, reaksi ini bisa berbentuk perkelahian pelajar, atau bahkan perkelahian antarkelompok pelajar, bila peserta didik ini telah melibatkan gengnya. c. Berpura-pura bodoh. Seringkali guru memperlakukan peserta didik yang cerdas secara kurang tepat. Misalnya setelah peserta didik selesai lebih dulu dalam mengerjakan tugas, disuruh menolong temannya, mendikte atau mengganti tugas guru, yaitu disuruh mengajar. Tindakan yang dilakukan peserta didik cepat belajar untuk menunaikan tugas guru ini kadangkala tidak disukai oleh kawannya, dianggap sok tahu, sok pintar, menggurui, dan memperbudak teman. Akibat sikap atau perlakuan dari teman inilah

maka peserta didik cepat belajar mencari cara lain agar tidak diperintah guru dengan berpura-pura bodoh. Kerjanya diperlambat, tidak suka memberikan jawaban atas pertanyaan guru sekalipun bisa, dan pasif dalam diskusi.

4. Bimbingan kepada Peserta Didik Cepat Belajar Pada kenyataannya, peserta didik yang cerdas juga sering mempunyai kesulitan, sehingga mereka perlu mendapat layanan bimbingan maupun layanan pendidikan secara tepat, agar dapat berguna bagi kepentingan dirinya sendiri maupun bagi kepentingan orang banyak. sehubungan itu, penting bagi setiap sekolah untuk memberikan layanan yang tepat sesuai dengan kondisi peserta didik dan kebutuhannya. Pemberian layanan yang dilakukan secara tepat diharapkan dapat membawa dampak positif bagi perkembangan setiap peserta didik dalam mengembangkan diri, dan memperoleh kepuasan dalam hidupnya. Sehubungan dengan uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa bentuk layanan yang dapat diberikan guru kepada peserta didik yang cepat belajar sebagai berikut. a. Usaha pencepatan (Akselerasi) Anak cerdas diberi kesempatan untuk menyelesaikan suatu program pendidikan dalam jangka waktu yang lebih singkat berbeda dengan yang seharusnya dilakukan. Misalnya untuk menyelesaikan program pendidikan SMA, jangka waktu yang biasa adalah 3 tahun, sedang bagi siswa yang cepat belajar bisa ditempuh hanya 2 tahun saja tidak perlu menunggu atau mengikuti prosedur umum. Kegiatan ini biasanya disebut program akselerasi, yang dapat ditempuh dengan jalan sebagai berikut. Bagi sekolah yang menggunakan pembelajaran dengan sistem modul, dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik yang pandai atau cerdas untuk menyelesaikan modul sebanyakbanyaknya, tanpa menunggu kawan yang lain.

Dengan kata lain, setiap peserta didik diberi kesempatan untuk mempelajari modul sesuai dengan kemampuan, kecepatan, dan tempo belajar masing-masing. Bagi sekolah dengan sistem tradisional, dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik yang pandai atau cerdas untuk naik kelas meloncat. Misalnya dari kelas I langsung naik ke kelas III, atau dari kelas II diperbolehkan mengikuti ujian terakhir. b. Menyediakan sekolah khusus yang menampung anak-anak cerdas atau berkualitas tinggi, sehingga mereka akan mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuannya. Dalam sekolah khusus ini perlu disediakan sarana yang memadai untuk menyalurkan bakat-bakatnya. Misalnya berupa penyediaan laboratorium beserta alat-alatnya, serta pengarahan dan binaan yang tepat dari guru yang berpengalaman' Akhir-akhir ini telah banyak didirikan sekolah-sekolah khusus sejenis ini, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swasta. Misalnya sekolah yang menggunakan waktu penuh sepanjang hari (full day school), sekolah alam, sekolah dengan penyelenggaraan program akselerasi atau percepatan belajar, sekolah dengan sistem lima hari kerja, dan sekolah dengan sistem moving class. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun tumbuhnya sekolah-sekolah ini paling tidak dapat menyelamatkan anak-anak yang cerdas di atas normal. c. Jika terpaks a anakharus mengikuti sekolah yang terintegrasi dengan anak-anak normal, maka kepadanya perlu diberi kesempatan untuk memperdalam, dan memperkaya pengetahuannya. Memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan bimbingan yang tepat serta melaporkan hasil pekerjaannya kepada guru. Misalnya tugas membaca, mengikuti perlombaan, melakukan percobaan-percobaan atau penelitian, baik untuk menguji hipotesis maupun untuk menemukan penemuan-penemuan baru.

d.

Menyalurkan

kemampuan

peserta

didik

dalam

kegiatan-kegiatan

ilmiah,

mengikutisertakan dalam lomba karya ilmiah yang diselenggarakan oleh instansiintansi tertentu, seperti lomba mengarang dan kegiatankegiatan lain yang sejenis. Melalui kegiatan ini, maka kelebihan energi yang dimiliki oleh peserta didik yang cerdas di atas normal dapat disalurkan dan akan lebih bermanfaat. e. Melibatkan dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengikuti kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas organisasi dan sosial. Misalnya Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Kelompok Diskusi, dan Kelompok Kesenian. f. Untuk mengurangi rasa superior (harga diri berlebih), sebaiknya guru dalam memberikan tugas atau pertanyaan-pertanyaan dilakukan secara proporsional. Dalam hal ini, tugas yang diberikan untuk anak cerdas haruslah tugas yang menantang dan memerlukan problem solving, sedang tugas-tugas yang biasa dan kurang menantang diberikan kepada anak yang normal. Dengan cara demikian, peserta didik yang cerdas di atas normal akan merasa bahwa sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kawan yang lain. Hal ini penting sekali bagi perkembangan sikap dan pribadi peserta didik. g. Jika diperlukan, maka pada saat-saat tertentu guru hendaknya memberikan reinforcernent pada peserta didik yang cerdas. Misalnya pada saat menemukan penemuan-penemuan baru, dan prestasi yang luar biasa. Dengan demikian, mereka akan memperoleh kepuasan, serta dapat meningkatkan semangat atau motivasi untuk lebih berprestasi lagi. Di samping beberapa hal yang dikemukakan di atas, untuk dapat memberikan layanan kepada peserta didik yang cerdas secara tepat, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak dan berbagai lembaga yang terlibat langsung dalam pergaulan peserta didik.

C. Komunikasi Orang Tua dan Guru dalam Membangun Karakter Komunikasi antara sekolah (kepala sekolah) dengan orang tua/wali merupakan salah satu realisasi dari akuntabilitas sekolah. Meskipun kita di sekolah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dan memengaruhi kehidupan peserta didik, pada akhirnya mereka akan kembali ke pangkuan orang tuanya. Jika kita gagal dalam menjaga komunikasi dengan orang tua tentang kemajuan anak mereka di sekolah, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk membuat jembatan komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan peserta didik. Pentingnya komunikasi antara orang tua dan guru terutama untuk memastikan bahwa anakanak belajar secara efektif dan mendapatkan yang terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi/karakter mereka. Salah satu cara untuk memastikan bahwa kita sebagai guru bisa berkomunikasi secara efektif dengan orang tua adalah dengan menggunakan formulir dan catatan yang dikirim ke rumah secara berkala untuk memberikan kesempatan kepada orang tua memantau sekaligus melaporkan perkembangan anak mereka di sekolah. Contoh-contoh formulir dan catatan mungkin mencakup: Pemberitahuan tugas yang belum selesai Catatan tentang perbuatan baik yang dilakukan anak Buku catatan setiap kali guru berkomunikasi dengan orang tua Kelas newsletter Surat untuk meminta orang tua datang dan membantu di dalam kelas

1. Manfaatkan pertemuan orang tua-guru. Tentu saja Anda akan memiliki informasi untuk berbagi dengan orang tua di pertemuan ini, tetapi anda harus menyadari bahwa orang tua akan memiliki pertanyaan yang ingin mereka tanyakan juga. Berikan mereka waktu untuk mengungkapkan pikiran mereka kepada Anda,

dan tidak membuat mereka merasa diburu-buru karena ada janji di belakang mereka. Jika ada orang tua yang tidak bisa hadir, anda harus membuat upaya untuk bertemu dengan mereka di waktu yang lain sehingga Anda dapat memberikan perhatian penuh.

2. Manfaatkan kemajuan teknologi. Anda hanya membutuhkan satu menit atau kurang untuk mengirim e-mail ke orang tua dan memberitahu perkembangan anak mereka. Anda bisa mengedarkan formulir permintaan alamat e-mail pada awal tahun ajaran, dan orang tua yang memilih untuk menerima pesan yang dikirim kepada mereka akan menghargai bahwa Anda benar-benar menindaklanjuti ini, setidaknya setiap bulan.

3. Jika sekolah Anda memiliki sebuah situs web, pastikan untuk memajang alamat situs di kelas Anda. Update situs mingguan dan biarkan orang tua tahu bagaimana menemukan kelas Anda. Ini adalah cara yang baik untuk berkomunikasi dengan orang tua, dan tidak perlu berbicara langsung kepada mereka sepanjang waktu. Mereka akan tetap mengikuti hal-hal baru yang terjadi, dan Anda akan memiliki kepuasan yang luar biasa. Kadang-kadang orang tua enggan menghubungi guru karena mereka merasa terlalu sibuk. Dalam situasi seperti ini, kita harus mengambil inisiatif. Mungkin kita dapat mengatur orang tua untuk berkunjung ke sekolah selama sehari. Biarkan orang tua melihat anak mereka di kelas dan apa yang diajarkan kepada mereka. Sedikitnya ada empat hal yang perlu diperhatikan agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang tua adalah sebagai berikut.

Lakukanlah sesering mungkin. Jangan biarkan bulan berlalu tanpa kabar dari sekolah rentang apa yang terjadi di kelas dan bagaimana anak mereka belajar.

Bersikaplah jujur. Panggillah orang tua ketika anak mereka memiliki perilaku atau kesulitan belajar di kelas.

Tetap teratur. Ingatlah bahwa ketika kita berbicara dengan orang tua tentang anak mereka, mereka benar-benar hanya tertarik pada anak mereka, tidak seluruh kelas. orang tua akan menjadi tidak sabar jika mereka harus menunggu kita untuk mencari catatan tentang anak mereka di bawah tumpukan kertas lainnya.

Tanamkan kesan bahwa kita tertarik pada anak mereka. Benar atau salah setiap orang tua tetap akan menyayangi anaknya, oleh karena itu dalam berkomunikasi dengan orang tua, kita harus menanamkan kesan yang baik dan menyenangkan.

Adakan kesepakatan tentang waktu. Setiap orang tua memiliki kesibukan masing-masing, demikian halnya dengan kita. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama dalam kaitannya dengan manajemen waktu, kita harus mengadakan kesepakatan tentang waktu untuk berkomunikasi dengan orang tua peserta didik.

OPINI BAB 6 (Inky Dian Anjanie) Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah adalah keberhasilan peserta didik dalam membangun karakter pribadinya, serta keberhasilan guru dalam membangun karakter peserta didik. Salah satu karakter adalah peserta didik yang lambat dalam menangkap materi (slow learner) atau menganalisis sesuatu. Akan lebih baik bila pendidik mengetahui IQ dari peserta didik, mengetahui ciri-ciri slow learner, mengetahui latar belakang dari peserta didik slow learner. Memberikan bimbingan yang extra sangatlah penting dalam membantu pembentukan karakter dan peningkatan akademik dengan cara pemberian bimbingan tambahan, menempatkannya di tempat yang nyaman, melakukan konsultasi dengan orang tua, member pujian, dll. Selain itu juga anak anak yang luar biasa cerdas yang juga dibutuhkan penanganan khusus seperti mengembangkan kemampuannya dibidang yang benar-benar disukainya, bimbingannya pun harus disesuaikan dengan karakternya, dalam memberikan bimbingan jangan semata-mata hanya menekankan pada intelegensia semata tapi juga emosional, social dan tanggung jawab. Terkadang usaha ini tidak selama direspon positif namun sebagai pendidik tidak boleh berputus asa dalam menjalankannya. Usaha pembentukan karakter ini harus diseimbangkan dengan komunikasi dengan orang tua. . Diharapkan hal ini dapat membantu peserta didik baik yang normal, slow learner, maupun extra cerdas dalam membentuk pribadi yang lebih baik.

BAB 7 MODEL PEMBELAJARAN BERKARAKTER

Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model. Model tersebut antara lain: pembiasaan dan keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman,CTL (contectual teaching and learning), bermain peran (role playing), dan pembelajaran partisipatif (participative instruction). Model-model pembelajaran tersebut disajikan sebagai berikut ini.

A. Pembiasaan Pendidikan merupakan usaha sadar manusia dalam mencapai tujuan, yang dalam prosesnya diperlukan metode yang efektif dan menyenangkan. Oleh karena itu, ada suatu prinsip umum dalam memfungsikan metode, bahwa pembelajaran perlu disampaikan dalam suasana interaktif, menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, motivasi, dan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada peserta didik dalam membentuk kompetensi dirinya untuk mencapai tujuan. Dari berbagai metode pendidikan, metode yang paling tua antara lain pembiasaan. Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan dalam setiap pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Pembiasaan dalam pendidikan hendaknya dimulai sedini mungkin. Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang tua, dalam hal ini para pendidik agar mereka menyuruh anak-anak mengerjakan shalat, tatkala mereka berumur

tujuh tahun. "Suruhlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Dawud). Membiasakan anak shalat, lebih-lebih dilakukan secara berjamaah itu penting. Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu merupakan hal yang sangat penting, karena banyak dijumpai orang berbuat dan berperilaku hanya karena kebiasaan semata-mata. Pembiasaan dapat mendorong mempercepat perilaku, dan tanpa pembiasaan hidup seseorang akan berjalan lamban, sebab sebelum melakukan sesuatu harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukannya. Dalam bidang psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal dengan istilah operan conditioning, mengajarkan peserta didik untuk membiasakan perilaku terpuji, disiplin, giat belajar, bekerja keras, ikhlas, jujur, dan bertanggung jawab atas setiap tugas yang telah diberikan. Metode pembiasaan ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan karakter, untuk membiasakan peserta didik dengan sifat-sifat baik dan terpuji, impuls-impuls positif menuju neokortek agar tersimpan dalam sistem otak, sehingga aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik terekam secara positif. Demikian halnya untuk membangkitkan apa-apa yang telah masuk dalam otak bawah sadar, peserta didik harus dilatih dan dibiasakan dalam setiap pembelajaran dan kehidupan sehari-hari. Pembiasaan akan membangkitkan internalisasi nilai dengan cepat, karena nilai merupakan suatu penetapan kualitas terhadap objek yang menyangkut suatu jenis aspirasi atau minat. Internalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar tertanam dalam diri setiap manusia. Karena pendidikan karakter berorientasi pada pendidikan nilai, perlu adanya proses internalisasi tersebut. Jadi internalisasi merupakan proses pertumbuhan batiniah atau rohaniah peserta didik. Pertumbuhan itu terjadi ketika mereka menyadari sesuatu "nilai" yang terkandung dalam pendidikan karakter, kemudian dijadikan suatu "sistem nilai diri" sehingga membentuk

karakter peserta didik yang menuntun segenap pernyataan sikap, perilaku, dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan. Tahap-tahap internalisasi nilai dalam pendidikan karakter mencakup (a).Transformasi nilai, pada tahap ini guru sekadar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal. (b).Transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan karakter dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dan guru bersifat timbal balik. Dalam tahap ini tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai baik dan buruk, tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari, dan peserta didik diminta memberikan respons, yakni menerima dan mengamalkan nilai itu. (c). Transinternalisasi, yakni bahwa tahap ini lebih dari sekadar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di hadapan peserta didik bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mental, dan kepribadiannya. Demikian juga peserta didik meresponsnya bukan hanya dalam gerakan dan penampilan, tetapi diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi dua kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif dan reaktif. Jadi, internalisasi nilai sangatlah penting dalam pendidikan karakter, agar apa-apa yang dilakukan dalam proses pendidikan dapat tertanam pada pribadi peserta didik secara utuh. Pendidikan melalui pembiasaan dapat dilaksanakan secara terprogram dalam pembelajaran, dan secara tidak terprogram dalam kegiatan sehari-hari. 1. Kegiatan pembiasaan terprogram dalam pembelajaran dapat dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu tertentu untuk mengembangkan pribadi peserta didik secara individual, kelompok, dan atau klasikal sebagai berikut.

Biasakan

peserta

didik

untuk

bekerja

sendiri,

menemukan

sendiri,

dan

mengkonstruksi sendiri pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru dalam setiap pembelajaran. b. Biasakan melakukan kegiatan inkuiri dalam setiap pembelajaran. c. Biasakan peserta didik untuk bertanya dalam setiap pembelajaran. d. Biasakan belajar secara kelompok untuk menciptakan "masyarakat belajar". e. Guru harus membiasakan diri menjadi model dalam setiap pembelajaran. f. Biasakan melakukan refleksi pada setiap akhir pembelajaran. g. Biasakan melakukan penilaian yang sebenarnya, adil, dan transparan dengan berbagai cara. h. Biasakan peserta didik untuk bekerja sama, dan saling menunjang. i. Biasakan untuk belajar dari berbagai sumber. j. Biasakan peserta didik untuk sharing dengan temannya. k. Biasakan peserta didik untuk berpikir kritis. l. Biasakan untuk bekerja sama dan memberikan laporan kepada orang tua peserta didik terhadap perkembangan perilakunya. m. Biasakan peserta didik untuk berani menanggung risiko. n. Biasakan peserta didik tidak mencari kambing hitam. o. Biasakan peserta didik terbuka terhadap kritikan. p. Biasakan peserta didik mencari perubahan yang lebih baik. q. Biasakan peserta didik terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya. 2. Kegiatan pembiasaan secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut. a. Rutin, yaitu pembiasaan yang dilakukan terjadwal, seperti: upacara bendera, senam, shalat berjamaah, keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri.

b. Spontan, adalah pembiasaan tidak terjadwal dalam kejadian khusus, seperti: pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, antre, mengatasi silang pendapat (pertengkaran). c. Keteladanan, adalah pembiasaan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, pembiasaan peserta didik untuk berperilaku baik perlu ditunjang oleh keteladanan guru dan kepala sekolah. Oleh karena itu pada hakikatnya metode atau model pembiasaan dalam pendidikan karakter tidak dapat dipisahkan dari keteladanan. Disana ada pembiasaan ada keteladanan, dan sebaliknya di sana ada keteladanan di sana ada pembiasaan, yang nantinya akan membentuk karakter.

B. Keteladanan Pribadi guru rnemiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter; yang sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk peserta didik mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya. Semua itu menunjukkan bahwa kompetensi personal atau kepribadian guru sangat dibutuhkan oleh peserta didik dalam proses pembentukan pribadinya. Oleh karena itu wajar, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke suatu sekolah akan mencari tahu dulu siapa guru-guru yang akan membimbing anaknya. Dalam pendidikan karakter pribadi guru akan meniadi teladan, diteladani, atau keteladanan bagi para peserta didik. Keteradanan guru sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan

perkembangan pribadi para peserta didik. Keteladanan ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan

Sumber Daya Manusia (SDM), serta menyejahterakan masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa pada umumnya. Oleh karena itu, dalam mengefektifkan dan menyukseskan pendidikan karakter di sekolah, setiap guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian yang memadai, bahkan kompetensi ini akan melandasi atau menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Dalam hal ini, guru tidak hanya dituntut untuk mampu memaknai pembelajaran, tetapi dan yang paling penting adalah bagaimana dia menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan karakter dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Dalam keteladanan ini, guru harus berani tampil beda, harus berbeda dari penampilanpenampilan orang lain yang bukan guru, beda dan unggul (different and distingtif). Sebab penampilan guru, bisa membuat peserta didik senang belajar, bisa membuat peserta didik betah di kelas, tetapi bisa juga membuat peserta didik malas belajar bahkan malas masuk kelas seandainya penampilan gurunya acak-acakan tidak karuan. Di sinilah guru harus menjadi teladan agar bisa ditiru dan diteladani oleh peserta didiknya. Sebuah pengakuan langsung muncul dari peserta didik, ketika penulis berhadapan dengan mereka dalam rangka diskusi tentang cara belajar yang efektif bagi siswa SMA dan SMK Jakarta Utara. Mereka mengungkapkan beberapa harapan dari guru dan beberapa kelemahan gurunya yang mereka rasa sebagai penghambat belajar. Mereka berharap bahwa guru dapat menjadi teladan bagi peserta didik baik dalam pergaulan di sekolah maupun di masyarakat. Beberapa sikap guru yang kurang disukai mereka antara lain: guru yang sombong (tidak suka menegur atau tidak mau ditegur kalau ketemu di luar sekorah), guru yang suka merokok, memakai baju tidak rapih, sering datang kesiangan, dan masih banyak ungkapan lain yang mengungkapkan kekurangsukaan mereka terhadap penampilan gurunya. Oleh karena itu, guru harus berusaha untuk tampil menyenangkan peserta didik, agar dapat

menjadi teladan dan mendorong mereka untuk belajar, dan membentuk pribadi yang berkarakter. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Sehubungan itu, beberapa hal di bawah ini perlu mendapat perhatian dan bila perlu didiskusikan dalam forum MGMP dan KKG. l. Sikap dasar, postur psikologis yang akan nampak dalam masalah-masalah penting, seperti keberhasilan, kegagalan, pembelajaran, kebenaran, hubungan antarmanusia, agama, pekerjaan, permaian, dan diri. 2. Bicara dan gaya bicara, penggunaan bahasa sebagai alat berpikir. 3. Kebiasaan bekerja, gaya yang dipakai oleh seseorang dalam bekerja yang ikut mewarnai kehidupannya. 4. Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, pengertian hubungan antara luasnya pengalaman dan nilai serta tidak mungkinnya mengelak dari kesalahan. 5. Pakaian, merupakan perlengkapan pribadi yang amat penting dan menampakkan ekspresi seluruh kepribadian. 6. Hubungan kemanusiaan, diwujudkan dalam semua pergaulan manusia, intelektual, moral, keindahan, terutama bagaimana berperilaku. 7. Proses berpikir, cara yang digunakan oleh pikiran dalam menghadapi dan memecahkan masalah. 8. Perilaku neurotis, suatu pertahanan yang dipergunakan untuk melindungi diri dan bisa juga untuk menyakiti orang lain. 9. Selera, pilihan yang secara jelas merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki oleh pribadi yang bersangkutan.

10. Keputusan, keterampilan rasional dan intuitif yang dipergunakan untuk menilai setiap situasi. 11. Kesehatan, kualitas tubuh, pikiran dan semangat yang merefleksikan kekuatan, prespektif, sikap tenang, antusias dan semangat hidup. 12. Gaya hidup secara umum, apa yang dipercaya oleh seseorang tentang setiap aspek kehidupan dan tindakan untuk mewujudkan kepercayaan itu.

Uraian di atas hanyalah ilustrasi, para guru dapat menambah aspek-aspek tingkah laku lain yang sering muncul dalam kehidupan bersama peserta didik. Hal ini untuk menegaskan berbagai cara pada contoh-contoh yang diekspresikan oleh guru sendiri dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Secara teoritis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah guru harus menjadi teladan baik di dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam seluruh kehidupannya? Dalam beberapa hal memang benar bahwa guru harus bisa menjadi teladan di kedua posisi tersebut, tetapi jangan sampai hal tersebut menjadikan guru tidak memiliki kebebasan sama sekali. Guru juga manusia, dalam batas-batas tertentu, tentu saja memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan. Pertanyaan berikut adalah, apakah model yang diberikan oleh guru harus ditiru sepenuhnya oleh peserta didik? Perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi setiap peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri. Oleh karena itu, tugas guru adalah menjadikan peserta didik sebagai peserta didik, sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya, bukan memaksakan kehendak.

Akhirnya tetapi bukan terakhir dalam pembahasan, haruskah guru menunjukkan teladan terbaik dan moral yang sempurna? Alangkah beratnya pertanyaan ini. Kembali seperti dikatakan di muka, guru juga manusia biasa yang tidak lepas dari kemungkinan khilaf. Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang dimilikinya, kernudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan perlu diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Dengan kata lain, guru yang baik adalah guru yang sadar diri, menyadari kelebihan dan kekurangannya (selfconsciousness)

C. Pembinaan Disiplin Peserta Didik Dalam rangka menyukseskan pendldikan karakter, guru harus mampu menumbuhkan disiplin peserta didik, terutama disiplin diri (self-discipline). Guru harus mampu membantu peserta didik mengembangkan pola perilakunya, meningkatkan standar perilakunya, dan

melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakan disiplin. Untuk mendisiplinkan peserta didik perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap dernokratis, sehingga peraturan disiplin perlu berpedoman pada hal tersebut, yakni dari, oleh dan untuk peserta didik, sedangkan guru tut wuri handayani. Soelaeman ( 1985 : 77) mengemukakan bahwa guru berfungsi sebagai pengemban ketertiban, yang patut digugu dan ditiru, tapi tidak diharapkan sikap yang otoriter. Membina disiplin peserta didik harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan memahami faktor-faktor yang memengaruhinya. Oleh karena itu, disarankan kepada guru untuk melakukan hal-hal sebagai berikut. Memulai seluruh kegiatan dengan disiplin waktu, dan patuh/taat aturan. Mempelajari pengalaman peserta didik di sekolah melalui kartu catatan kumulatif.

Mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui daftar hadir di kelas.

Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik. Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertele-tele. Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran sesuai dengan yang direncanakan, tidak terjadi banyak penyimpangan.

Bergairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran, agar dijadikan teladan oleh peserta didik.

Berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, jangan monoton, sehingga membantu disiplin dan gairah belajar peserta didik.

Menyesuaikan argumentasi dengan kemampuan peserta didik, jangan memaksakan peserta didik sesuai dengan pernahaman guru, atau mengukur peserta didik dari kemampuan gurunya.

Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya.

Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan tercipta iklim yang kondusif bagi implemeniasi pendidikan karakter, sehingga peserta didik dapat menguasai berbagai kompetensi sesuai dengan tujuan. Di antara pembiasaan yang bisa dilakukan di sekolah adalah disiplin dan mematuhi peraturan sekolah, terbiasa senyum ramah pada orang, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang menjadi aktivitas sehari-hari. Untuk bisa melakukannya memang menuntut orang tua dan guru bisa menjadi teladan pertama dan utama bagi anak. Jadi jika ingin membiasakan siswa kita taat aturan maka kita pertama harus lebih dulu taat aturan. Perlu diingat bahwa ketika melakukan proses pembiasaan, disiplin, dan ketelatenan harus konsisten dan

berkesinambungan, jangan kadang dilakukan kadang tidak. Hal itu akan mempersulit keberhasilan pendidikan karakter.

D. CTL (Contextual Teaching and Learning) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang sering disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengefektifkan dan menyukseskan pendidikan karakter di sekolah. Dengan kata lain, CTL dapat dikembangkan menjadi salah satu model pembelajaran berkarakter, karena dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan karakter daram kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan mereka akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. CTL memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktikkan karakter-karakter yang dipelajarinya dan yang telah dimilikinya secara langsung. pembelajaran kontekstual mendorong peserta didik memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin, dan termotivasi untuk senantiasa belajar; bahkan kecanduan belajar. Kondisi tersebut terwujud, ketika peserta didik menyadari tentang apa yang mereka perlukan untuk hidup, dan bagaimana cara menggapainya. Dalam pembelajaran kontekstual tugas, guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya setiap karakter peserta didik. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik

belajar. Lingkungan belajar yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual berkarakter, serta keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan. Dalam pendidikan karakter, lingkungan belajar memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam mengembangkan dan membentuk peribadi peserta didik secara optimal. Pentingnya lingkungan dalam pendidikan karakter tersebut dapat dianalisis dari beberapa hal sebagai berikut. Dalam pendidikan karakter yang efektif, lingkungan berfungsi membentuk pribadipribadi peserta didik secara optimal, mulai dari penyadaran, pemahaman, kepedulian, sampai dengan pembentukan komitmen yang tepat. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan yang berpusat pada peserta didik. Hal tersebut dimulai dari guru akting di depan kelas, peserta didik memerhatikan, menuju peserta didik yang aktif melakukan sesuatu, dan guru mengarahkannya sesuai dengan jenis karakter dan kompetensi dasar yang akan dibentuk. Pembelajaran harus berpusat pada apa yang dipelajari peserta didik dan bagaimana mereka menggunakan pengetahuan baru dalam kehidupan sehari-hari. Umpan balik sangat penting bagi peserta didik, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk diskusi dan kerja kelompok merupakan bagian dari pembelajaran efektif yang sangat penting.

Pelaksanaan pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dalam diri peserta didik (internal), dan dari luar dirinya atau dari lingkungan di sekitarnya (eksternal). Sehubungan dengan itu, Zahorik (1995) mengungkapkan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, sebagai berikut.

1. Pembelajaran harus memerhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik. 2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagian yang lebih khusus (dari umum ke khusus). 3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman dan pembentukan karakter tertentu, dengan cara: a. menyusun konsep sementara, b. melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain, c. merevisi dan mengembangkan konsep. 4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktikkan secara langsung apa-apa yang dipelajari. 5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.

Contextual Teaching and Learning (CTL) yang berusaha mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata peserta didik tampaknya patut dijadikan sebagai model alternatif pendidikan karakter. CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para peserta didik memahami makna dari materi pembelajaran yang dipelajari, dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat delapan komponen yang harus dipenuhi sebagai berikut: membuat hubungan-hubungan yang bermakna (making meaningful connections), melakukan pekerjaan yang berarti (doing significant work), melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self regulated learning), melakukan kerja sama (collaborating), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking),

membantu individu untuk tumbuh dan berkembang (nurturing the individual), mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), dan menggunakan penilaian yang real dan autentik (using real and authentic assessment).

Banyak cara efektif untuk menghubungkan pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari. Setidaknya enam metode berikut ini dapat ditempuh: menghubungkan pembahasan konsep nilai-nilai inti etika sebagai landasan karakter dengan keseharian peserta didik, memasukan materi dari bidang lain di dalam kelas, dalam mata pelajaran yang tetap terpisah terdapat topik-topik yang saling berhubungan, mata pelajaran gabungan yang menyatukan isu-isu moral, menggabungkan sekolah dan pekerjaan, penerapan nilai-nilai moral yang dipelajari di sekolah ke masyarakat.

Dalam catatan Johnson, implementasi dari langkah keenam ini di Tillamook Junior High School menunjukkan bahwa para peserta didik memiliki kemampuan luar biasa untuk mencapai standar kompetensi yang tinggi ketika mereka memahami bahwa apa yang mereka lakukan itu sangat penting. Kohlberg, dalam konsep pendidikan moralnya mengemukakan bahwa pendidikan karakter harus melibatkan berpikir aktif dalam menghadapi isu-isu moral dan menetapkan suatu keputusan moral. Upaya tersebut menunjukkan bahwa penerapan CTL dalam pendidikan karakter menghendaki adanya pembelajaran mandiri dan kerja sama. Pada tahap ini yang dikondisikan untuk dilakukan peserta didik adalah bagaimana mereka belajar langsung dengan mencari dan menggabungkan informasi secara aktif dari masyarakat maupun ruang kelas, lalu menggunakannya untuk alasan tertentu. Selanjutnya peserta didik

dirangsang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan menarik seputar karakter. Pertanyaanpertanyaan ini akan membantu peserta didik untuk menemukan hubungan antara pembelajaran di kelas dengan situasi nyata yang mereka alami baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat. Dalam hal ini, peserta didik diberi kesempatan membuat pilihan sendiri untuk memilih dan menentukan keterlibatannya dalam pendidikan karakter. Melalui proses demikianlah akhirnya peserta didik mampu membentuk kesadaran diri, yaitu kemampuan merasakan perasaan pada saat perasaan itu muncul. Pendidikan karakter mensyaratkan adanya kemampuan berpikir kritis untuk mempertimbangkan dan mengambil tindakan moral dalam bentuk karakter-karakter positif peserta didik. Peserta didik dibiasakan untuk bersikap kritis terhadap isu-isu moral yang terjadi dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut: (1) prinsip-prinsip apa yang dijadikan tuntunan dalam kehidupan sehari-hari?, (2) kewajiban apa yang timbul dari hubunganhubungan peserta didik dengan yang lain?, (3) apa konsekuensi yang didapatkan dari keputusan dan tindakan yang diambil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membelajarkan peserta didik untuk menunjukkan tanggung jawab moral sebagai anggota masyarakat. Selain itu berpikir kritis juga merupakan penjernihan nilai daram menghadapi berbagai pandangan hidup yang berkembang di masyarakat, baik yang sesuai maupun yang kurang. Dalam menguatkan kesadaran berkarakter positif, peserta didik perlu dibawa ke dalam pengalaman hidup bersama orang lain daram situasi yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Melalui pengalaman langsung seperti ini mereka dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai hidup. Membantu dan melayani anggota panti asuhan misalnya akan memberikan kesan berharga dan kesadaran pentingnya karakter peduli kepada orang lain. Upaya seperti ini disebut metode live in.

Hal terakhir yang sangat mendasar dalam pendidikan karakter adalah keteladanan. Tumpuan pendidikan karakter berada pada guru sebagai character educator. Konsistensi dalam pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru, dalam kehidupan nyatanya di luar kelas. Karakter guru sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi peserta didik. Bahkan bukan hanya guru, metode ini mengandaikan semua orang dewasa dalam komponen sekolah seperti kepala sekolah, karyawan, penjaga sekolah, laboran, pustakawan, petugas kebersihan, dan lain-lain merupakan model-model pendidikan karakter. Melalui model ini diharapkan peserta didik menemukan lingkungan nyata, ketika nilai-nilai etika dipegang teguh dan karakter tumbuh.

E. Bermain Peran Hampir dalam setiap pembelajaran, guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial. Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas, tanya jawab antara guru dan peserta didik, penemuan dan inkuiri. Guru kreatif senantiasa mencari pendekatan-pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih variasi lain yang tepat. Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah-masalah yang menyangkut hubungan antarmanusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik. Melalui bermain peran, para peserta didik mencoba mengeksplorasi hubunganhubungan antarmanusia dengan cara memperagakannya dan mendiskusikannya sehingga

secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikapsikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah. Sebagai suatu model pembelajaran berkarakter, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan sosial. Dari dimensi pribadi model ini berusaha membantu para peserta didik menemukan makna dari lingkungan sosial yang bermanfaat bagi dirinya. Dalam pada itu, melalui model ini para peserta didik diajak untuk belajar memecahkan masalah-masalah pribadi yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang beranggotakan teman-teman sekelas. Dari dimensi sosial, model ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi-situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut hubungan antarpribadi peserta didik. Pemecahan masalah tersebut dilakukan secara demokratis. Dengan demikian melalui model ini para peserta didik juga dilatih untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.

1. Konsep Peran Manusia merupakan mahkluk sosial dan individual, yang dalam hidupnya senantiasa berhadapan dengan manusia lain atau situasi-situasi di sekelilingnya. Mereka berinteraksi, berinterdepedensi dan pengaruh mempengaruhi. Sebagai individu manusia memiliki pola yang unik dalam berhubungan dengan manusia lain. Ia memiliki rasa senang, tidak senang, percaya, curiga, dan ragu terhadap orang lain. Namun perasaan tersebut diarahkan juga pada dirinya. Perasaan dan sikap terhadap orang lain dan dirinya itu mempengaruhi pola respons individu terhadap individu lain atau situasi-situasi di luar dirinya. Karena senang dan penasaran ia cenderung mendekat. Karena tidak senang dan curiga ia cenderung menjauh. Manifestasi-manifestasi tersebut disebut peran. Oleh karena itu, peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu terhadap individu lain.

Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik diperlukan pemahaman terhadap peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan, tetapi pada faktor penentunya, yakni, perasaan, persepsi dan sikap. Bermain peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap, dan nilai-nilai yang mendasarinya.

2. Tujuan Bermain Peran dalam Pendidikan Karakter Bermain peran dalam pendidikan karakter merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi, Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Dalam hal ini, setiap pemeran dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran-peran lainnya. Pemeran tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan diri secara emosional dan berusaha mengidentifikasi karakter-karakter dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeran. Bermain peran dalam pendidikan karakter, pemeranannya tidak dilakukan secara tuntas sampai masalah dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran peserta didik yang menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan ke luar. Dengan demikian, diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik. Hakikat bermain peran dalam pendidikan karakter terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui

bermain peran dalam pendidikan karakter, diharapkan para peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaan-perasaannya, (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.

3. Asumsi-Asumsi Bermain Peran dalam Pendidikan Karakter Sedikitnya terdapat empat asumsi yang mendasari bermain peran dalam pendidikan karakter untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model pendidikan karakter lainnya. Keempat asumsi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pembelajaran pada situasi "di sini pada saat ini." Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogi-analogi mengenai situasi-situasi kehidupan nyata. Terhadap analogi-analogi yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons-respons emosional sambil belajar dari respons-respons orang lain. Kedua,bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Meskipun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran, sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional

lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran keduanya memegang paranan yang sangat penting dalam pembelajaran. Ketiga, model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model pembelajaran ini berusaha mengurangi peran guru yang terlalu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara saksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi. Keempat, model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para peserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap-sikap dan nilai-nilai yang dimiliki.

4. Pelaksanaan Pembelaiaran Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pendidikan karakter, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.

a. Tahap Pembelajaran Shaftel dan Shaftel mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran: (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, (2) memilih partisipan/peran, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan pengamat, (5) pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi tahap dua, (9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Kesembilan tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1) Menghangatkan Suasana dan Memotivasi Peserta didik Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Pada tahap ini guru mengemukakan masalah. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah itu sebaiknya dipecahkan. Masalah yang dipilih sebaiknya masalah yang hangat dan aktual, langsung menyangkut kehidupan peserta didih menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternatif pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memerhatikan masalah yang diajukan guru. Setelah masalah diidentifikasikan, guru berusaha menjelaskannya secara lebih rinci. Selanjutnya dikemukakan peran-peran yang

harus dimainkan. Masalah yang akan dimainkan mungkin berbeda atau sama dengan cerita yang dimaksudkan untuk memotivasi kelompok.

2) Memilih Peran dalam Pembelajaran Pada tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara suka rela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.

3) Menyusun Tahap-Tahap Peran Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.

4) Menyiapkan Pengamat Sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Shaftel dan Shaftel, agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peranyang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkannya? Keterlibatan pengamat dapat

memperkaya model, terutama mengajukan alternatif pemeranan. Dengan demikian, pembelajaran akan lebih hidup, terutama pada saat mendiskusikan peran-peran yang telah dimainkan.

5) Tahap Pemeranan Pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masingmasing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan dan ditunjukkan.

Shaftel dan Shaftel mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan, serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama.

Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah di coba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaiknya pemeranan dihentikan pada saat terjadi pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.

6) Diskusi dan Evaluasi Pembelajaran Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis

terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Di sini diskusi dapat diarahkan pada pengajuan alternatif-alternatif pemeranan yang akan ditampilkan kembali. Dalarn kaitan ini, guru harus mengarahkan diskusi yang dilakukan para peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

7) Pemeranan Ulang Pemeranan ulang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatifalternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut, demikian halnya dengan para pelakunya. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran-peran yang lainnya.

8) Diskusi dan Evaluasi Thhap Dua Diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yangpasti dalam menghadapi masalah kehidupan.

9) Membagi Pengalaman dan Pengambilan Kesimpulan Tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalamanpengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temantemannya. Mereka bercermin pada

orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran, yang lebih ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman-teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan. Keberhasilan bermain peran bergantung pada kemampuan dalam mengungkap pengalaman pribadi peserta didik. Di samping terdapat aneka ragam pengalaman, dalam hal tertentu dimungkinkan ada kesamaan pengalaman di antara peserta didik. Berdasarkan kesamaan pengalaman ini ditarik suatu generalisasi. Melalui bermain peran para peserta didik dapat berlatih untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Kelas dapat diibaratkan sebagai suatu kehidupan sosial tempat para peserta didik belajar mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.

b. Sistem Sosial Sistem sosial dari model ini disusun secara sederhana. Guru bertanggung jawab minimal pada tahap permulaan. Selanjutnya guru membimbing para peserta didik untuk melanjutkan kegiatan sesuai langkah-langkah yang telah ditetapkan. Intervensi guru perlu dikurangi ketika bermain peran telah memasuki tahap pemeranan dan diskusi, dalam kedua tahap ini peserta didiklah yang harus lebih aktif. Pertanyaan dan komentar guru harus mendorong para peserta didik untuk mengekspresikan perasaan dan gagasannya secara bebas dan jujur. Guru juga harus menumbuhkan saling percaya antara dirinya dengan para peserta didik agar para peperta didik dapat melibatkan diri secara aktif dalam pembelajaran. Meskipun ada pembatasan terhadap peran guru dalam bermain peran, tetapi dialah sesungguhnya yang menjadi penggerak utama. Guru yang mula-mula melontarkan masalah,

memimpin diskusi, memilih peran, memutuskan kapan bermain peran harus dimulai dan diakhiri, membantu merancang pemeranan, serta yang lebih penting, guru menentukan aspekaspek masalah yang diperankan yang akan dieksplorasi lebih jauh.

c. Prinsip Reaksi Sedikitnya terdapat lima prinsip reaksi penting dari model pembelajaran bermain peran. Pertama, guru selayaknya menerima respons para peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pendapat dan perasaannya, tanpa penilaian terhadap baik atau buruk reaksi yang diberikannya. Kedua, guru seyogianya membantu para peserta didik mengeksplorasi situasi masalah dari berbagai segi, berusaha membantu mencari titik temu dan perbedaan dari pandanganpandangan yang dikemukakan para peserta didik. Ketiga, dengan cara merefleksikan, menganalisis dan menangkap respons-respons peserta didik, guru berupaya meningkatkan kesadaran peserta didik akan pandanganpandangan dan perasaan-perasaannya sendiri. Keempat, guru perlu menekankan kepada para peserta didik bahwa terdapat banyak cara untuk memainkan suatu peran; setiap cara memiliki konsekuensi yang berbeda dan beraneka ragam. Konsekuensi itulah yang harus dieksplorasi oleh para peserta didik. Kelima, guru perlu menekankan kepada para peserta didik bahwa terdapat berbagai cara untuk memecahkan suatu masalah; tidak ada satu cara pun yang paling tepat. Peserta didik perlu mengkaji hasil dari suatu pemecahan yang ditawarkan untuk mengetahui tepat atau tidaknya pemecahan masalah yang dilakukan.

d. Sistem Penunjang Sistem penunjang dalam pembelajaran bermain peran cukup sederhana, tetapi sangat penting. Hal yang sangat penting dalam bermain peran adalah situasi masalah, yang biasanya disampaikan secara lisan, tetapi dapat juga dikemukakan melalui lembaran-lembaran yang dibagikan kepada para peserta didik. Dalam lembaran tersebut dikemukakan perincian langkah-langkah yang akan diperankan lengkap dengan watak pemeran masing-masing. Model bermain peran sangat fleksibel, serba guna dan dapat diterapkan untuk mencapai sejumlah tujuan pembelajaran yang mungkin tidak dapat atau sulit untuk direalisasikan dengan model lain. Bermain peran sebagai model pembelajaran dikatakan berhasil apabila sebagian besar peserta didik mampu secara bebas mengungkapkan perasaanperasaannya, nilai-nilai, sikap-sikap, dan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi. Terdapat sejumlah masalah sosial yang layak diangkat dan dieksplorasikan melalui model ini, yaitu masalah konflik antarpribadi, relasi dalam kelompok, dilema pribadi dan masalah historis atau kontemporer. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan guru dalam memilih topik masalah yang akan dijadikan topik dalam bermain peran agar memadai bagi diri peserta didik. Faktor-faktor tersebut adalah (1) usia peserta didik, (2) latar belakang sosial budaya, (3) kerumitan masalah, (4) kepekaan topik yang diangkat sebagai masalah, dan (5) pengalaman peserta didik dalam bermain peran.

F. Pembelajaran Partisipatif Pada hakikatnya belajar merupakan interaksi antara peserta didik dengan lingkungan. Oleh karena itu, dalam pendidikan karakter, untuk mencapai hasil belajar yang optimal perlu keterlibatan atau partisipasi yang tinggi dari peserta didik. Keterlibatan peserta didik merupakan hal yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. Sudjana

(1993:30) mengemukakan syarat kelas yang efektif adalah adanya keterlibatan, tanggung jawab dan umpan balik dari peserta didik. Keterlibatan peserta didik merupakan syarat pertama dalam kegiatan belajar di kelas. Untuk terjadinya keterlibatan itu peserta didik harus memahami dan memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan belajar. Keterlibatan peserta didik itu pun harus memiliki arti penting sebagai bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik oleh sumber belajar. Untuk mendorong partisipasi peserta didik dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain memberikan pertanyaan dan menanggapi respons peserta didik secara positif, menggunakan pengalaman berstruktur, menggunakan beberapa instrumen, dan menggunakan metode yang bervariasi yang lebih banyak melibatkan peserta didik. Pembelajaran partisipatif sering juga diartikan sebagai keterlibatan peserta didik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Indikator pembelajaran partisipatif, sebagaimana dikemukakan Knowles (1970) adalah sebagai berikut: (1) adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik, (2) adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan, (3) dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran partisipatif perlu memerhatikan beberapa prinsip sebagai berikut. Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs based) sebagai keinginan maupun kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua, berorientasi kepada tujuan kegiatan belajar (learning goals and objectives oriented). Prinsip ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pembelajaran partisipatif berorientasi kepada usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga,berpusat kepada peserta yang menunjukkan bahwa kegiatan belajar selalu bertolak dari kondisi riil kehidupan peserta didik. Keempat, berajar berdasarkan pengalaman (experiential learning), bahwa kegiatan belajar harus selalu dihubungkan dengan pengalaman peserta didik.

Pembelajaran partisipatif dapat dikembangkan dengan prosedur sebagai berikut. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar dapat saling belajar dan membelajarkan. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya. Membantu peserta didik menyusun karakter, kompetensi, dan tujuan belajar. Membantu peserta didik merancang pola-pola karakter yang sesuai dengan pengalaman belajar. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar berkarakter. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar pendidikan karakter. Pendidikan karakter melalui pembelajaran partisipatif menuntut guru berperan sebagai fasilitator dengan memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik melalui langkahlangkah di atas, sehingga membantu peserta didik dalam menemukan dirinya, membentuk kompetensi dan karakter pribadinya.

OPINI BAB 7 (Ayu Trichwanningsih) Berdasarkan apa yang telah dijelaskan dan disebutkan dalam bab 7 ini mengenai model pembelajaran berkarakter dimana Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model. Model tersebut antara lain: pembiasaan dan keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, CTL (contectual teaching and learning), bermain peran (role playing), dan pembelajaran partisipatif (participative instruction).Menurut saya Pendidikan merupakan usaha sadar manusia dalam mencapai tujuan, yang dalam prosesnya diperlukan metode yang efektif dan menyenangkan. Oleh karena itu, ada suatu prinsip umum dalam memfungsikan metode, bahwa pembelajaran perlu disampaikan dalam suasana interaktif, menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, motivasi, dan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada peserta didik dalam membentuk kompetensi dirinya untuk mencapai tujuan Pribadi guru rnemiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter; yang sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk peserta didik mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya. Semua itu menunjukkan bahwa kompetensi personal atau kepribadian guru sangat dibutuhkan oleh peserta didik dalam proses pembentukan pribadinya. Oleh karena itu wajar, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke suatu sekolah akan mencari tahu dulu siapa guru-guru yang akan membimbing anaknya. Dalam pendidikan karakter pribadi guru akan meniadi teladan, diteladani, atau keteladanan bagi para peserta didik. Dalam pembelajaran kontekstual tugas, guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya setiap karakter peserta didik. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan belajar yang kondusif

sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual berkarakter, serta keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan. Dalam pendidikan karakter, lingkungan belajar memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam mengembangkan dan membentuk peribadi peserta didik secara optimal sehingga dapat terciptanya model pembelajaran yang berkarakter baik.

BAB 8 SISTEM PENILAIAN PENDIDIKAN KARAKTER

A. Rasional Implementasi pendidikan karakter di sekolah dalam garis besarnya menyangkut tiga fungsi manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Fungsi pertama adalah perencanaan, yang menyangkut perumusan kompetensi dasar, penetapan jenis karakter, dan memperkirakan cara pembentukannya. Perencanaan dipandang sebagai fungsi sentral dari manajemen pendidikan karakter dan harus berorientasi ke masa depan. Dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, perencanaan ini dituangkan dalam program pendidikan, yang berkaitan dengan strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Hal tersebut tentu saja berkaitan erat dengan pembuatan dan pengambilan keputusan yang harus memberi gambaran tentang proses pembelajaran yang diinginkan. Guru sebagai manajer pendidikan dan proses pembelajaran harus mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengelola berbagai sumber, baik sumber daya, sumber dana, maupun sumber belajar untuk membentuk kompetensi dan karakter peserta didik, serta mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi kedua adalah pelaksanaan atau sering juga disebut implementasi, adalah proses yang memberikan kepastian bahwa program pembelajaran telah memiliki sumber daya manusia dan sarana, serta prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan, sehingga dapat membentuk kompetensi dan karakter yang diinginkan. Fungsi pelaksanaan ini mencakup pengorganisasian dan kepemimpinan yang melibatkan penentuan berbagai kegiatan, seperti pembagian pekerjaan ke dalam berbagai tugas yang harus dilakukan guru dan peserta didik dalam pembelajaran. Berbagai kegiatan manajemen pelaksanaan program pembelajaran

dibagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil sesuai dengan kebutuhan. Misalnya dalam satu proses pembelajaran, kegiatan dibagi menjadi pemanasan, apersepsi, eksplorasi, konsolidasi pembelajaran, pembentukan kompetensi, pembentukan karakter, dan penilaian. Kegiatan tersebut bisa juga dikelompokkan ke dalam tiga bagian utama, yaitu pembukaan, pelaksanaan, dan penutup. Fungsi ketiga adalah pengendalian, yang sering juga disebut penilaian dan pengendalian, bertujuan menjamin kinerja yang dicapai agar sesuai dengan rencana dan tujuan yang telah ditetapkan. untuk kepentingan tersebut, penilaian dan pengendalian perlu membandingkan kinerja aktual dengan kinerja standar. Guru sebagai manajer pembelajaran harus mengambil strategi dan tindakkan perbaikan apabila terdapat kesenjangan antara proses pembelajaran yang terjadi secara aktual dengan yang telah direncanakan dalam program pembelajaran. penilaian dan pengendalian merupakan salah satu aspek penting dalam proses pendidikan karakter, agar sebagian besar peserta didik dapat membentuk kompetensi dan karakter yang diharapkan secara optimal, karena banyaknya peserta didik yang mendapat nilai rendah, di bawah standar, atau berperilaku (karakter) yang tidak sesuai dengan norma kehidupan akan mempengaruhi efektifitas pendidikan karakter secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, pengendalian dan penilaian harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan, untuk mengetahui dan memantau perubahan serta kemajuan peserta didik, maupun untuk memberi skor, angka atau nilai yang biasa dikonversi dalam penilaian hasil belajar. Pendidikan karakter yang sarat dengan nilai, sangat dianjurkan untuk melakukan penilaian proses secara terus-menerus, dan mengungkap aspekaspek yang tidak dapat dilacak dengan baik tanpa pengamatan. Sehubungan dengan itu, bab ini secara khusus menyajikan sistem penilaian pendidikan karakter, yang mencakup penilaian program, penilaian proses, dan penilaian hasil pendidikan karakter, serta diakhiridengan model penilaian berkarakter.

B. Penilaian Program Pendidikan Karakter Berbagai cara untuk melakukan penilaian program pendidikan karakter, terutama berkaitan dengan aspek yang dinilai, alat pengumpul data dan prosedur yang digunakan, kriteria yang dipertimbangkan, serta penggunaan pemahaman untuk mengambil keputusan. Sehubungan dengan itu, sedikitnya terdapat dua pendekatan penilaian program pendidikan karakter, yakni pendekatan mainstream dan pendekatan transformatif. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian program pendidikan karakter bergantung pada bagaimana guru menjawab lima pertanyaan penting berikut ini: (1) siapakah yang membuat keputusan penilaian? (2) pertanyaan apakah yang harus dijawab dalam pengembangan program? (3) bagaimanakah data dikumpulkan dan dianalisis? (4) kriteria apakah yang akan digunakan untuk mengolah dan menafsirkan? serta (5) siapakah yang menganalisisdata, membuat keputusan, dan menggunakan keputusan? Jawaban guru mainstream terhadap pertanyaan di atas adalah sebagai berikut: (1) yang membuat keputusan penilaian adalah ahli penilaian dan ahli materi, bidik pada level nasional maupun lokal, (2) pertanyaan yang harus dijawab berkaitan dengan pendekatan mainstream terhadap program pendidikan karakter; mungkin menghasilkan pengembangan pembelajaran independen, demokratik dan menyenangkan, (3) data dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan tujuan dan standar penilaian, serta indikator-indikator karakter yang standar, (4) kriteria utama yang digunakan untuk mengolah dan menafsirkan data adalah keefektifan, yang diperluas dengan standar kelayakan. Hal tersebut diperlukan, karena akhir-akhir ini perhatian lebih diberikan terhadap isu persamaan terhadap akses dan keberhasilan, misalnya masalah ujian Nasional (UN), (5) pengolah data, pembuat, dan pengguna keputusan adalah guru-guru yang menggunakan data untuk mengidentifikasi standar, karakter atau tujuan-tujuan yang sulit

dicapai dan diwujudkan oleh peserta didik, serta mengidentifikasi peserta didik yang bermasalah. Berbeda dengan jawaban guru mainstream di atas; jawaban guru transformatif adalah sebagai berikut: (1) keputusan penilaian dibuat oleh peserta didik, guru, administrator, orang tua, dan anggota masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam menentukan standar nasional, dan standar lokal yang harus diprioritaskan, standar lain yang harus dimasukkan, bentuk inquiri yang digunakan, dan mereka yang terlibat dalam penafsiran data, (2) pefianyaan yang dijawab berkaitan dengan: (a) kualitas program dan praktik pendidikan karakter, (b) kualitas kehidupan atau lingkungan sekolah peserta didik, dan (c) kualitas belajar. penilai transformatif memandang program sebagai sesuatu yang kompleks dari suatu praktek, proses, dan keluaran (hasil) pembelajaran, (3) data dikumpulkan dan dianalisis oleh evaluator dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, (4) kriteria yang digunakan untuk mengolah dan menafsirkan data mencakup: (a) indikator teknis, seperti keseimbangan, kenyamanan, efisiensi, dan efektifitas; (b) kriteria pedagogis, seperti pengembangan kesempatan, tingkat kerumitan, keterlibatan daram berpikir kompleks, kreatif, dan kesempatan untuk belajar bersama, serta (c) indikator kritis, seperti kesempatan untuk seluruh peserta didik, tidak diskriminatif, dan bentuk penafsiran alternatif, (5) pengolah data, pembuat, dan pengguna keputusan adalah mereka yang terlibat dalam program pendidikan karakter. Beberapa hal yang harus dijadikan bahan pertimbangan adalah bahwa penilaian program transformatif mencakup tiga hal berikut: (1) penelitian tindakan, penilaian tranformatif mempromosikan pemahaman ke dalam program yang kompleks, (2) dialog; dialog merupakan sesuatu yang penting untuk menilai kurikulum transformatif (3) proses yang berkesinambungan, selama penilaian transformatif, guru, kepala sekolah, anggota masyarakat, dan orang tua, secara terus-menerus menumbuhkan bentuk ganda dari

penemuan, refleksi terhadap kepercayaan dan pandangan mereka sendiri, serta secara aktif mengembangkan iklim yang demokratis. Penilaian transformatif merupakan sesuatu yang berkesinambungan yang mempengaruhi perencanaan dan pengambilan kebijakan. Dengan menggunakan lima pertanyaan dasar tentang penilaian program pendidikan karakter di atas, kita dapat menganalisis dan mempertimbangkan bagaimanakah pendekatan transformatif dan mainstream terhadap perancangan program, serta mengembangkan program pembelajaran berkarakter di kelas. Penilaian program pendidikan karakter harus diarahkan dan diprioritaskan pada program pembelajaran berkarakter, dan layanan sebagai kerangka kerja untuk pengelolaan kelas. Dalam merancang dan mengembangkan program pendidikan karakter, guru harus dilibatkan secara langsung dalam proses dialog. Berikut adalah aspekaspek referensi yang dapat dipertimbangkan dalam mengembangkan kriteria program pendidikan karakter. 1. Keputusan penilaian seharusnya dibuat oleh setiap orang yang terlibat dalam perencanaan. Dalam hal ini warga sekolah, orang tua, administrator, anggota masyarakat, dan barangkali akademisi dari perguruan tinggi setempat dapat membentuk tim penilaian program. Jika dalam kelompok tersebut tidak ada yang terlatih dalam hal penilaian, maka langkah pertama adalah mengadakan pelatihan. 2. Beberapa pertanyaan berikut perlu dijawab dalam kaitannya dengan penilaian program pendidikan karakter: (1) siapa yang harus dan tidak harus dilibatkan dalam perancangan program? (2) masalah dan isu apa yang perlu dijadikan sasaran? (standar, tujuan, asumsi, organisasi kunci, ilustrasi skenario) (3) bagaimanakah kelompok membagi tugas dengan warga sekolah dan anggota masyarakat dalam menganalisis rancangan, rancangan alternatif, standar kompetensi nasional dan lokal, serta kaitannya dengan generasi sekarang dan masa depan? (4) bagaimanakah program pendidikan karakter dipadukan dengan program sekolah yang lain, dan

dengan program masyarakat? (5) apakah asumsi, konsep, dan kesan tentang peserta didik, belajar, pengetahuan, pembelajaran, kurikulum, dan persekolahan

dipertimbangkan dalam analisis program dan praktik pendidikan karakter, proposal, dan pernyataan program akhir pendidikan karakter? (6) apakah asumsi dan prinsip yang berkaitan dengan simpulan dari peserta didik tertentu yang dipertimbangkan dan digunakan? (7) dalam cara apakah peserta didik dan guru berkomunikasi? (8) bagaimana persamaan, keadilan, dan pelayanan terhadap seluruh peserta didik dipertimbangkan? (9) bagaimanakah pandangan alternatif yang menyenangkan, bagaimanakah konflik dipecahkan, untuk apakah partisipan merasakan bahwa mereka diperlakukan secara adil dan bijaksana? serta ( 10) kapankah perhatian direpresentasikan? 3. Pengumpulan data dilakukan untuk mendeskripsikan sebuah program kelompok termasuk observasi dan rekaman dari setiap pertemuan. Menganalisis data mentah, termasuk mengidentifikasi isu-isu program khusus mencakup hal-hal berikut: (l) platform: standar kompetensi, tujuan, jenis karakter, asumsi tentang belajar, peserta didih materi; kriteria seperti persamaan, inkrusi, kenyamanan, kekuasaan, dan rasa percaya diri peserta didik, (2) pengorganisasian kurikurum: jenis pengorganisasian, kapasitas untuk peserta didik, kemenarikan, dan kerumitan materi, (3) isi: presfektif program pendidikan karakter yang dikembangkan, (4) pengorganisasian materi dan kegiatan: cakupan dan urutan, (5) bahan-bahan: peralatan seperti komputer dan programnya, serta peralatan laboratorium untuk matematika dan sains, misalnya.

Kriteria yang digunakan untuk mengolah dan menafsirkan data merupakan pernyataan yang mendeskripsikan tentang kualitas. Oleh karena itu, kriteria untuk mengolah dan menafsirkan data mencakup: kejelasan bahasa dan pikiran, cakupan yang komprehensif,

kelayakan, koherensi, efisiensi, kenyamanan, keaslian, keterlibatan, keefektifan, keinklusifan, dan kesamaan. Sehubungan dengan itu, pengolah data, pembuat keputusan, dan pengguna keputusan tentang penilaian program pendidikan karakter memerlukan beberapa orang yang harus dilibatkan dalam menganalisis data. Tujuan utama pelibatan warga sekolah dalam pengembangan program terutama untuk menciptakan kondisi umum terhadap program pendidikan karakter. Karena perbedaan antara perancangan dengan perencanaan tidak terlalu mencolok dalam pengembangan program pendidikan karakter, banyak pertimbangan dalam pengembangan program juga dapat digunakan untuk menilai program. Tantangannya adalah bahwa pemecahan masalah dan pemikiran guru sering merupakan kegiatan pribadi, padahal semua itu akan mempengaruhi implementasi pendidikan karakter di sekolah, mengapa mereka menekankan pada suatu informasi atau bahan tertentu, atau bagaimana mereka memandang peserta didiknya dalam kaitannya dengan penafsiran terhadap program pendidikan karakter. Beberapa hal yang harus dijadikan bahan pertimbangan dalam menilai perancangan program pendidikan karakter adalah sebagai berikut. a. Pemain utama dalam penilaian adalah guru, tetapi kepala sekolah, pengawas sekolah, dan konsultan juga memiliki kepentingan dalam proses penilaian, karena itu mereka perlu memahami hubungan antara perancangan, perencanaan guru, dan kondisi kelas secara keseluruhan. b. Pertimbangkanlah beberapa pertanyaan berikut ini, (1) bagaimanakah guru menafsirkan tujuan, rasional, dan konsep kunci terhadap program pendidikan karakter, (2) bagaimanakah guru menafsirkan minat dan kesiapan peserta didik dalam memahami materi, membentuk kompetensi, dan membentuk karakter? (5) apakah guru merasa

nyaman dengan kompetensi dasar, jenis karakter dan materi standar, serta strategi belajar yang digunakan? c. Analisis dan pengumpulan data dapat dilakukan dengan (1) melakukan analisis terhadap standar isi untuk mengidentifikasi ide-ide yang dipertimbangkan, dan kriteria yang digunakan, serta (2) mewawancarai guru tentang alasan mereka memilih menjadi guru, dan apa yang mereka lakukan dalam kegiatan pembelajaran. d. Kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas guru dalam perencanaan program sama dengan kriteria yang disarankan dalam pelaksanaan program. e. Pengolah data, pembuat keputusan, dan pengguna keputusan bertugas mengumpulkan data. Dalam melaksanakan tugasnya mereka harus melibatkan guru, karena informasi yang dihasilkan adalah untuk guru dalam menilai pembelajaran yang dilakukannya.

C. Penilaian Proses Pendidikan Karakter Penilaian proses dimaksudkan untuk menilai kualitas proses pendidikan karakter dan pembentukan kompetensi peserta didik, termasuk bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan. Kualitas proses pendidikan karakter dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pendidikan karakter dikatan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (85%) peserta didik terlibat secara aktif baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pendidikan dan pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pendidikan dan pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (85%). Lebih lanjut proses pendidikan karakter dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan output yang

banyak dan berkarakter tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pembangungan. Dalam penilaian proses pendidikan karakter setiap guru harus memiliki kepercayaan, pemahaman, dan pandangan terhadap program pembelajaran berkarakter, serta mampu menguji dan merefleksikan program, yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Terdapat beberapa alasan untuk menilai pelaksanaan program dalam proses pendidikan karakter di kelas, terutama dalam kaitannya dengan guru dan kurikulum. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kerja kurikulum transformatif adalah membangun kelompok warga sekolah, oleh warga sekolah, kepala sekolah, dan masyarakat sekitar. Kedua, peserta didik mengalami kurikulum transformatif sebagai ruang lingkup materi, kegiatan, bahan, lingkungan, dan iklim. Ketiga, kurikulum transformatif diekspresikan melalui budaya sekolah. Pertanyaan berikut dapat membimbing evaluator terhadap pengembangan program pendidikan karakter: 1. apakah yang dikerjakan peserta didik? 2. jenis dan pola pikir apakah yang digunakan (ingatan, pemahaman, analisis, kritikal, evaluatif) ? 3. apakah bentuk materi yang dipelajari peserta didik dan guru (fakta, konsep, prosedur, analisis, teori, dan seterusnya)? 4. tipe pengorganisasian apakah yang digunakan? 5. bagaimanakah guru dan peserta didik mendeskripsikan iklim dan norma kelas? 6. dalam hal apa peserta didik secara khusus dilibatkan.

Dalam pelaksanaan penilaian proses pendidikan karakter, terdapat berbagai cara pengumpulan data tentang pemahaman pribadi peserta didik terhadap ide-ide, serta cara

berpikir dan berbuat. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan melakukan tes, baik tes lisan, tulisan, maupun tes perbuatan atau dengan cara non-tes seperti penilaian portofolio, wawancara, dan ceklist. Kriteria yang digunakan untuk menafsirkan dan mempertimbangkan data terutama berkaitan dengan tes yang telah distandardisasikan, harus memiliki norma validitas dan reliabilitas yang tinggi untuk menafsirkan dan mempertimbangkan data. Dalam hal ini, evaluator dapat mengumpulkan dan menganalisis data melalui observasi, wawancara, cek list, dan lain-lain. Oleh karena itu penafsiran merupakan bentuk utama dari pengumpulan dan analisis data dalam penilaian proses pendidikan karakter. Meskipun demikian, banyak alternatif yang dapat digunakan oleh pendidik untuk mengolah dan menafsirkan data berkaitan dengan proses pendidikan karakter. Dalam penilaian proses pendidikan karakter, pengolah data, pembuat keputusan, dan pengguna keputusan yang pertama adalah peserta didik yang harus aktif dalam menganalisis dan mempertimbangkan kegiatan belajarnya. Di samping itu, orang tua dan anggota masyarakat sebaiknya dilibatkan dalam pengolahan data, pembuatan keputusan dan penggunaan keputusan hasil penilaian proses pendidikan karakter ini. Hal ini diperlukan terutama untuk menciptakan proses pendidikan karakter yang berkesinambungan, sehingga akan terjadi perbaikan dan peningkatan karakter secara bertahap, menuju terbentuknya pribadi yang berkarakter utuh.

D. Penilaian Hasil Pendidikan Karakter Penilaian hasil pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku (karakter) yang telah terbentuk. Pada umumnya hasil pendidikan karakter akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk: (1) peserta didik akan

memiliki perspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya atas karakter yang diinginkan, (2) mereka mendapatkan bahwa karakter yang diinginkan itu telah meningkat baik setahap atau dua tahap, sehingga sekarang akan timbul lagi kesenjangan antara karakter yang sekarang dengan karakter yang diinginkan. Kesinambungan tersebut merupakan dinamika proses belajar sepanjang hayat, dan pendidikan karakter yang berkesinambungan. Dikatakan demikian karena kesenjangan itu akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman,dan hal tersebut perlu dikaji secara terus-menerus untuk mengetahui kecenderungan, dan kebutuhan berikutnya. Hal yang harus diperhatikan dalam menilai hasil pendidikan karakter adalah sebagai berikut. Pertama, apakah penilaian ini telah mengukur seluruh program pendidikan karakter. Kedua, apakah penilaian dilakukan secara rasional dan efisien. Ketiga, apakah penilaian yang dilaksanakan telah mengukur standar nasional dan lokal yang kompleks dalam berbagai cara. Dalam hal ini, guru, warga sekolah, orang tua, dan seluruh anggota masyarakat perlu dilibatkan dalam menilai hasil belajar peserta didik dan keluaran program lainnya. Orang tua dan anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam perencanaan dan penilaian hasil pendidikan karakter akan lebih menyadari tingkat kesulian alami dari penilaian pendidikan karakter di sekolah. Beberapa pertanyaan yang perlu dipertimbangkan dalam menilai hasil pendidikan karakter dan keluaran lainnya adalah sebagai berikut. 1. bagaimanakah penguasaan peserta didik terhadap ide, keterampilan, nilai dan cara berpikir berkarakter sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan dan rancangan program? 2. apa saja yang telah dipahami dan dimiliki peserta didik?

3. bagaimanakah peserta didik menghubungkan ide, keterampilan dan nilai dalam program pendidikan karakter? 4. bagaimanakah aktivitas belajar peserta didik? 5. bagaimanakah peserta didik menjelaskan cara mereka belajar? 6. bagaimanakah peserta didik menjelaskan ketika mereka mengetahui sesuatu? 7. bagaimanakah peserta didik lebih paham, terbuka dan sadar terhadap nilai-nilai dalam program pendidikan karakter? 8. bagaimanakah peserta didik menghubungkan apa yang telah dipelajari dengan kehidupan.

Dalam kaitannya dengan penilaian hasil pembelajaran, Moekijat (1992:69) mengemukakan teknik penilaian hasil belajar pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai berikut. (1) Penilaian belajar pengetahuan, dapat dilakukan dengan ujian tulis, lisan, dan daftar isian pertanyaan. (2) Penilaian belajar keterampilan, dapat dilakukan dengan ujian praktik, analis keterampilan dan analisis tugas, serta penilaian oleh peserta didik sendiri. (3) Penilaian belajar sikap, dapat dilakukan dengan daftar isian sikap dari diri sendiri, daftar isian sikap yang disesuaikan dengan tujuan program, dan Skala Diferensial Sematik (SDS).

Sesuai dengan namanya, penilaian pendidikan karakter lebih banyak menekankan pada aspek sikap, yang dapat dilakukan dengan daftar isian karakter diri sendiri, daftar isian karakter yang disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta skala

diferensial berkarakter. Skala deferensial berkarakter merupakan pengemba4gan dari SDS yang lebih ditekankan pada penilaian karakter tertentu dari setiap peserta didik.

1. Hal-hal yang Harus Diperhatikan Penilaian hasil pendidikan karakter tidak dilaksanakan seperti penilaian hasil belajar lainnya yang menyelenggarakan ulangan harian dan ulangan umum, tetapi lebih pada nontes. Dalam hal ini, guru bukan hanya dituntut untuk mengetahui karakter dan kompetensi peserta didik setelah proses pembelajaran pembentukan karakter dan kornpetensi, tetapi harus pula mengetahui bagaimana perubahan dan kemajuan perilaku peserta didik. Itulah hakikat penilaian hasil pendidikan karakter. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Hamalik (1995: 159), penilaian adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data. dan informasi), pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, hasil pendidikan karakter yang sebenarnya mungkin baru dapat diamati setelah lima tahun, atau bahkan mungkin setelah sepuluh bahkan lima belas tahun mendatang, ketika peserta didik mempraktikkan hasil pendidikan tersebut dalam kehidupan nyata di masyarakat. Hasil pendidikan karakter merupakan prestasi peserta didik secara keseluruhan, yang menjadi indikator kepribadian berkarakter dan derajat perubahan perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan implementasi pendidikan karakter di sekolah, kebiasaan sekolah dalam penentuan nilai mata pelajaran pada rapor peserta didik perlu direformasi, karena nilai itu hanya memerhatikan hasil ulangan tertulis yang notabene lebih mengamati "kemajuan" ranah kognitif daripada ranah-ranah lainnya. Dalam pendidikan karakter, ranah afektif dan ranah keterampilan atau psikomotorik harus lebih diprioritaskan, dan harus diamati kemajuannya, karena kedua ranah tersebut tidak mungkin dapat diketahui

hanya dengan tes tertulis pada ulangan, tetapi harus dengan tes perbuatan atau bahkan dalam bentuk nontes, seperti observasi, wawancara, dan angket. Eloknya, penilaian hasil pendidikan karakter dilakukan melalui nontes dan tes perbuatan, tidak dengan tes tertulis. Peserta didik diamati dan dinilai bagaimana mereka dapat bergaul, bersosialisasi di dalam masyarakat, dan menerapkan hasil pembelajaran di kelas dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang akan timbul: apakah mungkin

menyelenggarakan nontes dan tes perbuatan pada saat ulangan umum mengingat waktunya amat terbatas? Jawabnya: apabila tidak mungkin, selenggarakanlah pada ulangan harian atau bahkan pada kegiatan pembelajaran sendiri. Guru memberi tugas kepada seorang peserta didik dan memberi penilaian, atau secara klasikal, namun tetap memerhatikan dan sekaligus memberi nilai perorangan. Apa pun bentuk tes yang diberikan kepada peserta didik, tetap harus sesuai dengan persyaratan yang baku, yaitu sebagai berikut: 1) memiliki validitas (mengukur atau menilai apa yang hendak diukur atau dinilai, terutama menyangkut kompetensi dasar dan karakter yang telah dikaji), 2) mempunyai reliabilitas (keajekan, artinya ketetapan hasil yang diperoleh seorang peserta didik, apabila dites kembali dengan tes yang sama), 3) menunjukkan objektivitas (dapat mengukur apa yang seharusnya diukur, di samping perintah pelaksanaannya jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang tidak ada hubungannya dengan maksud tes), dan 4) pelaksanaan penilaian harus efisien dan praktis.

Dalam hubungannya dengan tes perbuatan, Leighbody (1996) mengemukakan elemen-elemen yang dapat diukur, yaitu (1) kualitas penyelesaian pekerjaan, (2) keterampilan menggunakan alat-alat, (3) kemampuan menganalisis dan merencanakan prosedur kerja

sampai selesai, (4) kemampuan mengambil keputusan berdasarkan aplikasi informasi yang diberikan, dan (5) kemampuan membaca, menggunakan diagram, gambar-gambar, dan simbol-simbol. Dalam pelaksanaannya elemen-elemen tersebut dapat dikembangkan ke dalam format berikut. FORMAT TES PERBUATAN NO 1. 2. 3. 4. 5. Keterampilan yang Diukur Kualitas penyelesaian pekerjaan Keterampilan menggunakan alat Kemampuan menganalisis dan merencanakan prosedur kerja Kemampuan mengambil keputusan Kemampuan membaca, menggunakan diagram, gambar, dan simbol Simpulan Akhir Tanggapan Guru Simpulan

Keterangan: Tanggapan guru adalah tanggapan dan penilaian guru terhadap karakter dan kompetensi peserta didik berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang diukur. Simpulan adalah penilaian guru terhadap setiap aspek keterampilan dan indikator karakter yang diukur, bisa secara kualitatif (baik, cukup, kurang), bisa juga secara kuantitatif, atau dikuantifikasi (9, 8, 7). Simpulan akhir adalah hasil kumulatif peserta didik dalam pembelajaran yang dilakukan atau kompetensi dan karakter yang dikuasai. Simpulan akhir ini merupakan akumulasi dari setiap aspek keterampilan yang diukur.

Dalam pendidikan karakter, tes perbuatan dapat dilakukan secara efektif dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. tetapkan karakter yang akan dites, b. buat daftar pekerjaan berkarakter yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dari rnasing-masing pembelajaran dan butir-butir yang dipertimbangkan untuk

menentukan apakah pekerjaan itu memenuhi standar yang telah ditetapkan, c. tentukan pekerjaan berkarakter untuk peserta didik yang mencakup semua elemen karakter yang diukur dar.l alokasi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikannya, d. buat semua daftar bahan, alat dan gambar yang diperrukan peserta didik untuk mengerjakan tes tersebut, e. siapkan petunjuk tertulis yang jelas untuk peserta didik, dan f. siapkan sistem penyekoran (scoring).

Pelaksanaan penilaian hasil pendidikan karakter melalui tes perbuatan perlu memerhatikan hal-hal sebagai berikut. a. Peserta didik telah memperoleh semua bahan, alat, instrurnen, gambar-gambar, atau semua peralatan penyelesaian tes. b. Peserta didik telah mengetahui apa yang harus dikerjakan dan berapa lama waktunya. c. Peserta didik harus mengetahui butir-butir yang akan dinilai. d. Bahan, mesin-mesin, dan alat-alat yang dig.unakan tiap peserta didik memiliki kondisi yang sama. e. Apabila waktu yang dinilai, cek terlebih dahulu dengan teliti. f. Apabila kemampuan merencanakan pekerjaan atau keterampilan pemakaian alat yang diukur, amati peserta didik selama bekerja.

g. Guru jangan memberi pertolongan kepada peserta didik, kecuali menjelaskan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan kepadanya.

Rambu-rambu penilaian di atas harus dianggap sebagai contoh, guru dapat mengubahnya dengan memerhatikan berbagai situasi dan kondisi sekolah, karakteristik peserta didik, dan kemampuan guru sendiri.

2. Pelaksanaan Penilaian Hasil Pendidikan Karakter Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Dalam hal ini, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku dan karakter bagi peserta didik. Fungsi penilaian hasil pendidikan karakter antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui tingkat penguasaan dan pembentukan karakter peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara individu maupun kelompok. 2) Untuk mengetahui karakter, kompetensi, dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai oleh peserta didik, serta karakter, kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasainya. Sehubungan dengan karakter, kompetensi dan tujuan yang belum dikuasai ini, apabila sebagian besar belum menguasainya maka perlu dilakukan pembelajaran kembali (remedial teaching).

3) Untuk mengetahui peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remedial, dan yang perlu mengikuti kegiatan pengayaan, serta untuk mengetahui tingkat kesulitan dalam mengerjakan modul (kesulitan belajar). 4) Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan terhadap komponen-komponen modul dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik terhadap perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian.

E. Teknik Penilaian Pendidikan Karakter Dalam pendidikan karakter, penilaian harus ditujukan untuk mengetahui tercapai tidaknya standar dan indikator yang telah ditetapkan. Penilaian dapat dilakukan terhadap program, proses, dan hasil belajar. Penilaian program bertujuan untuk menilai efektivitas program yang dilaksanakan, penilaian proses bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran, sedangkan penilaian hasil bertujuan untuk mengetahui hasil belajar atau pembentukan kompetensi, dan karakter peserta didik. Penilaian dapat dilakukan dengan tes dan nontes. Tes dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, dan perbuatan. Adapun penilaian non-tes dapat dilakukan dengan observasi, wawancara, jawaban terinci, lembar pendapat, dan lain-lain sesuai dengan kepentingannya. Dalam menyukseskan pendidikan karakter, penilaian disarankan melalui tes perbuatan atau non tes, untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan peserta didik, serta melihat perilaku pserta didik secara utuh dan menyeluruh. Penilaian pendidikan karakter dapat dilakukan dengan dengan berbagai model, seperti observasi, anecdotal record, wawancara, benchmarking, portofolio, skala bertingkat, dan evaluasi diri.

1. Observasi Observasi dapat digunakan sebagai salah satu model/strategi penilaian pendidikan karakter, melalui pengumpulan data yang pengisiannya berdasarkan pada pengamatan langsung terhadap sikap dan perilaku peserta didik dengan cara pembiasaan, keteladanan, dan pembentukan karakter peserta didik. Dalam penilaian pendidikan karakter, teknik observasi ini bisa dijadikan sebagai salah satu model penilaian pendidikan karakter. Observasi sebagai model penilaian, dalam pelaksanaannya harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1) direncanakan secara sistematis, 2) dilakukan sesuai dengan standar kompetensi dan tujuan pembelajaran, 3) dicatat dan diidentifikasi sesuai dengan kompetensi dan tujuan pembelajaran, 4) valid, reliabel dan teliti, 5) dapat dikuantifikasikan, 6) menggambarkan perilaku yang sebenarnya, dan 7) dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Menurut cara dan tujuannya, observasi dapat dibedakan menjadi: a. Observasi partisipatif Dalam observasi ini observer terlibat dalam kegiatan peserta didik yang diamati. b. Observasi sistematis Dalam observasi sistematis, pada umumnya struktur yang berisikan unsur-unsur yang hendak diamati telah diatur sebelumnya, dan jika terjadi ketidakteraturan maka dilakukan dengan observasi tidak sistematis. c. Observasi eksperimental Observasi eksperimental adalah observasi nonpartisipatif, tetapi sistematis, yang dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan atau gejala-gejala sebagai akibat dari suatu tindakan yang disengaja.

2. Anecdotal Record Anecdotal record merupakan kumpulan rekaman/catatan tentang peristiwa-peristiwa penting yang menonjol dan menarik perhatian berkaitan dengan karakter peserta didik dalam situasi tertentu. Dari hasil rekaman tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai kreativitas peserta didik, baik yang bersifat positif maupun negatif, kemudian ditafsirkan dan dimaknai oleh guru sebagai bahan untuk membuat penilaian akhir semester. Anecdotal record dapat dimanfaatkan oleh guru untuk beberapa hal berikut: a. b. c. memperoleh pemahamaan yang lebih tepat tentang peserta didik; memperoleh pemahaman tentang sebab-sebab perilaku peserta didik yang bersangkutan; mengembangkan cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi peserta didik dalam kegiatan belajarnya.

Anecdotal record dapat berbentuk penilaian, interpretasi, deskripsi khusus, dan deskripsi umum. 1) Penilaian Berupa pernyataan yang menerangkan penilaian guru berdasarkan ukuran baik-buruk, yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang diterima dan yang tidak dapat diterima. 2) Interpretasi Berupa penafisiran guru terhadap kegiatan, perilaku, dan situasi yang telah diamatinya. 3) Deskripsi Umum Berupa catatan tentang kegiatan, perilaku, dan situasi dalam bentuk pernyataan umum.

4) Deskrispsi Khusus Berupa catatan yang berisikan uraian tentang kegiatan, perilaku peserta didik, dan situasi khusus yang terjadi. Anecdotal record hendaknya dibuat dengan memerhatikan beberapa hal sebagai berikut. 1) Objektif dalam arti menilai apa adanya, yaitu dengan cara sebagai berikut: a) catatan dibuat oleh guru yang melakukan penyusunan; b) pencatatan dilakukan segera setelah peristiwa berlangsung; c) deskripsi peristiwa dipisahkan dari tafsiran guru. 2) Deskriptif, yaitu catatan tentang peristiwa tersebut hendaknya lengkap, disertai latar belakang, dinyatakan secara langsung, dan kejadian-kejadiannya dicatat sesuai dengan urutan terjadi. 3) Catatan hendaknya mengemukakan situasi satu persatu. 4) Selektif, maksudnya situasi yang dicatat berhubungan dengan tujuan dan masalah yang sedang menjadi perhatian guru ketika pada saat pengamatan.

Contoh Format Anecdotal Record Nama Peserta Didik Kelas Semester Tahun Pelajaran : : : : ............................................. .............................................. .............................................. ..............................................

3. Wawancara Wawancara dapat dijadikan sebagai salah satu teknik penilaian pendidikan karakter yang dilakukan terhadap peserta didik untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan dan

penalarannya mengenai suatu hal. Misalnya: "Saya membaca karanganmu bagus sekali! Maukah kamu menceritakan kembali! Penilaian melalui wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur. a. Penilaian melalui wawancara terstruktur Penilaian melalui wawancara terstruktur dilakukan secara sengaja oleh guru dengan menggunakan waktu khusus dan pedoman meskipun sederhana. Dalam wawancara ini guru sengaja menilai pemahaman peserta didik untuk kemampuan tertentu. Kemampuan yang dapat dinilai antara lain: (1) berdoa, (2) mengemukakan pendapat, (3) membaca sajak, puisi atau pantun, (4) bernyanyi, (5) mengucapkan nada dengan suku kata tertentu, (6) menyatakan rasa suka atau tidak suka, dan (7) menceritakan kembali suatu peristiwa yang dialaminya. b. Penilaian melalui wawancara tidak terstruktur Penilaian melalui wawancara tidak terstruktur yaitu menilai percakapan antara peserta didik dengan guru tanpa dipersiapkan terlebih dahulu, di mana saja, kapan saja, dan sedang melakukan kegiatan apa saja. Penilaian melalui wawancara tidak terstruktur biasanya dilakukan pada jam istirahat atau ketika peserta didik sedang mengerjakan tugasnya. Kemampuan yang dapat diungkap dengan cara ini antara lain: (1) mengucapkan salam saat bertemu, (2) berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan, (3) mengaktualisasikan diri dalam suatu kegiatan,

(4) menggunakan dan menjawab pertanyaan apa, mengapa, di mana, berapa dan bagaimana, (5) berbicara dengan baik, (6) bercerita tentang kejadian sekitarnya, dan (7) memberikan informasi mengenai suatu hal.

4. Portofolio Portofolio adalah kumpulan tugas-tugas yang dikerjakan peserta didik. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa penilaian portofolio adalah penilaian terhadap seluruh tugas yang dikerjakan peserta didik dalam mata pelajaran tertentu. Penilaian portofolio dapat dilakukan bersama-sama oleh guru dan peserta didik, melalui suatu diskusi untuk membahas hasil kerja peserta didik kemudian menentukan hasil penilaian atau skor. Popham (1999) mengemukakan, portofolio adalah pengumpulan pekerjaan seseorang secara sistematis. Berdasarkan pengertian ini guru dapat mengoleksi karya peserta didik berdasarkan aturan tertentu. Portofolio dipergunakan untuk mengukur prestasi belajar peserta didik yang bertumpu pada perbedaan individual. Penilaian portofolio dilakukan dengan membandingkan karya peserta didik dari waktu ke waktu dengan kemampuan dirinya sendiri. Karakteristik penilaian portofolio menurut Popham (1999): a. berpusat pada kemajuan peserta didik dalam memantapkan tujuan belajar; b. mengukur prestasi peserta didik dengan memerhatikan perbedaan individual; c. menggunakan pendekatan kolaboratif; d. mendorong peserta didik untuk dapat menilai sendiri karyanya; e. bertujuan untuk peningkatan karya dan prestasinya; f. memiliki keterkaitan erat dengan pembelajaran.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian portofolio (diadaptasi dari Mardhapi dkk. 2001), adalah sebagai berikut. 1. Karya yang dikumpulkan adalah benar-benar karya yang bersangkutan. 2. Menentukan contoh pekerjaan yang harus dikerjakan. 3. Mengumpulkan dan menyimpan sampel karya. 4. Menentukan kriteria untuk menilai portofolio. 5. Meminta peserta didik untuk menilai secara terus-menerus hasil portofolionya. 6. Merencanakan pertemuan dengan peserta didik yang dinilai. 7. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam menilai portofolio.

Pucket dan Black (1994) menyarankan apabila guru hendak menggunakan portofolio dalam penilaian, hendaknya mengacu kepada rambu-rambu berikut. 1) Hasil belajar yang dipilih bermakna penuh bagi peserta didik. 2) Hasil belajar merefleksikan semua dimensi perkembangan peserta didik selama pembelajaran berlangsung. 3) Hasil belajar terkait dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD). 4) Hasil belajar menunjukkan secara jelas kinerja yang diharapkan. 5) Hasil belajar sebagai media untuk pertukaran informasi yang bermakna antara peserta didik dengan orang tua, guru, dan teman.

Portofolio apabila digunakan sesuai dengan rambu-rambu seperti yang dikemukakan di atas atau menurut para pakar lainnya, akan dapat memberikan informasi yang menyeluruh tentang sikap dan perilaku peserta didik dalam belajar, serta ketercapaian perkembangan belajar dalam kurun waktu tertentu (satu bulan, satu semseter, atau satu tahun).

Penilaian pendidikan karakter harus dilakukan secara utuh dan berkesinambungan, yang mencakup seluruh kemampuan dasar dengan indikator yang dikembangkan oleh guru. Format penilaiannya dapat dikembangkan sebagai berikut. FORMAT PENILAIAN Kompetensi Dasar Jenis Karakter Indikator Materi Pokok Jenis Penilaian Keterangan

Format tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kompetensi dasar dan karakter yang akan dinilai, serta jenis penilaian yang digunakan. Satu hal yang harus diperhatikan, penilaian yang dilakukan harus mampu mengukur kompetensi dan karakter apa yang seharusnya diukur. Lebih dari itu, hasil penilaian harus dapat digunakan untuk memprediksi karakter peserta didik, dalam kaitannya dengan penyelesaipn pendidikan dan kehidupannya di masyarakat.

5. Skala Bertingkat Skala bertingkat juga dapat digunakan untuk melakukan penilaian pendidikan karakter. Skala penilaian memuat daftar kata-kata atau persyaratan mengenai perilaku, sikap, dan atau kemampuan peserta didik. Skala penilaian dapat berbentuk bilangan, huruf dan ada pula yang berbentuk uraian. Skala penilaian yang berbentuk bilangan terdiri dari pernyataan atau kata atau lainnya, dan di sebelahnya disediakan bilangan tertentu, misalnya 1 sampai 5. Pengamat tinggal memberi tanda checklist () pada kolom salah satu perilaku yang muncul dan lajur skala atau angka yang diamati. Skala berbentuk uraian juga terdiri dari pernyataan atau bentuk kemampuan di satu sisi dan di sebelahnya disediakan kolom titik untuk diisi oleh pengamat dalam bentuk kalimat.

Contoh: Bentuk skala penilaian bilangan

Aktivitas belajar peserta didik

Skala penilaian bentuk uraian Bagaimana usaha peserta didik dalam menyelesaikan pekerjaan ...........1 Lamban, kurang berusaha ...........2 Sering tidak menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan ...........3 Sekadar selesai ...........4 Rajin bekerja, kadang-kadang lebih dari yang diharapkan ...........5 Sangat rajin, selalu lebih dari yang diharapkan

6. Evaluasi Diri Gardner (2000) mengatakan bahwa evaluasi diri adalah penilaian yang dilakukan dengan menetapkan kemampuan yang telah dimiliki seseorang dari suatu kegiatan pembelajaran atau kegiatan lainnya dalam rentang waktu tertentu. Dapat diartikan, penilaian tersebut dapat dilakukan seseorang untuk menilai dirinya sendiri. Evaluasi diri dapat dilakukan untuk pendidikan karakter, karena adanya kritikan bahwa cara penilaian yang dilakukan belum menyeluruh. Evaluasi diri sendiri pada pendidikan karakter dilakukan peserta didik dengan bantuan guru. Peserta didik dibantu untuk menganalisis hasil kerja atau merasakan apa yang telah dilakukannya dengan bantuan guru, yaitu bisa dengan mengisi daftar isian dengan memberikan tanda check list terhadap hasil kerja dan proses pembelajaran yang telah dilaluinya. Format check list bisa dalam bentuk gambar yang menunjukkan ekspresi, atau setelah anak memiliki hasil kumpulan kerjanya.

Contoh penilaian diri sendiri

HARI INI AKU

F. Kriteria Keberhasilan Kualitas pembelajaran atau pembentukan karakter peserta didik dapat dilihat dari segi proses dan hasil. Dari segi proses, pembelajaran atau pembentukan karakter dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya 85% peserta didik terlibat secara aktif, khususnya dalam aspek mental, dan sosial dalam.proses pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Adapun dari segi hasil, pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya 80%. Dalam hal pemenuhan tuntutan tersebut, perlu dikembangkan pengalaman belajar yang kondusif untuk membentuk manusia yang berkarakter, baik ditunjukkan dalam mental, moral, maupun perilakunya sehari-hari. Hal ini berarti apabila tujuannya bersifat afektif psikomotorik, tidak cukup hanya diajarkan dengan modul, atau sumber yang mengandung nilai kognitif. Namun, perlu penghayatan yang disertai pengalaman nilai-nilai kognatif, afektif yang di manifestasikan dalam perilaku (behavioral skill) sehari-hari. Metode dan strategi pembelajaran yang kondusif untuk hal tersebut perlu dikembangkan, misalnya metode inquiry, discovery, problem solving, dan sebagainya. Dengan metode dan strategi tersebut diharapkan setiap perserta didik dapat mengembangkan potensinya secara optimal, sehingga akan lebih cepat dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat apabila mereka telah menyelesaikan suatu program pendidikan (Mulyasa: 1997). Keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilihat dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, dengan kriteria atau indikator-indikator sebagai berikut.

1. Kriteria Jangka Pendek a. Sekurang-kurangnya 85% isi dan prinsip.prinsip pendidikan karakter dapat dipahami, diterima, dan diterapkan oleh para peserta didik dan guru. b. Sekurang-kurangnya 85% peserta didik merasa mendapat kemudahan, senang, dan memiliki kemauan belajar yang tinggi. c. Para peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. d. Karakter yang ditanamkan sesuai dengan perkembangan peserta didik, dan mereka memandang bahwa hal tersebut akan sangat berguna bagi kehidupannya kelak. e. Pendidikan karekter yang dikembangkan dapat menumbuhkan minat belajar para peserta didik untuk belajar lebih lanjut (continuing).

2. Kriteria Jangka Menengah a. Adanya umpan balik terhadap para guru tentang pendidikan karakter yang diimplementasikan bersama peserta didik. b. Para peserta didik menjadi insan yang berkarakter, kreatif, dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapinya. c. Para peserta didik tidak mernberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat lingkungannya dengan cara apa pun.

3. Kriteria Jangka Panjang a. Adanya peningkatan mutu pendidikan yang dapat dicapai oleh sekolah melalui kemandirian dan inisiatif kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah.

b. Adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan penggunaan sumbersumber belajar pendidikan karakter, melalui pembagian tanggung jawab yang jelas, transparan, dan demokratis. c. Adanya peningkatan perhatian serta partisipasi warga dan masyarakat sekitar sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan karakter yang dicapai melalui pengambilan keputusan bersama. d. Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya berkaitan dengan mutu sekolah, terutama dalam pendidikan karakter. e. Adanya kompetisi yang sehat antar sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan karakter melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, mgsyarakat, dan pemerintah daerah setempat. f. Tumbuhnya karakter kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan warga sekolah, bersifat adaptif dan proaktif, serta memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi (ulet, inovatil dan berani mengambil risiko). g. Terwujudnya proses pembelajaran berkarakter yang efektif, yang lebih menekankan pada belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama secara harmonis (learning to live together). h. Tercipanya iklim sekolah yang aman, nyaman, dan tertib sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). i. Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi pendidikan karakter secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat pembentukan karakter peserta didik, tetapi untuk memanfaatkan hasil evaluasi tersebut bagi perbaikan dan penyempurnaan pendidikan karakter di sekolah.

OPINI BAB 8 (Ita Wahyu Aini) Implementasi pendidikan karakter di sekolah dalam garis besarnya menyangkut tiga fungsi manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Akan tetapi, ke tiga fungsi ini harus dilakukan secara terus-menerus sehingga diharapkan dapat membentuk kompetensi dan karakter secara optimal karena banyak peserta didik yang mendapatkan nilai rendah dibawah standar ataupun berperilaku (karakter) tidak sesuai dengan norma kehidupan. Menurut saya, penilaian program pendidikan karakter yang baik adalah dengan pendakatan transformative karena penilaian ini mencakup tiga hal yakni, (1) penelitian tindakan, penilaian transformatif mempromosikan pemahaman ke dalam program yang komplek, (2) dialog, (3) proses yang berkesinambungan. Penilaian pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model seperti, observasi, anecdotal record, wawancaran, benchmarking, portofolio, skala bertingkat dan evaluais diri. Suatu proses pendidikan karakter dikatakan berhasil apabila masukan merata, menghasilkan output yang banyak dan berkarakter tinggi serta sesuai dengan kebutuhan perkembangan masyarakat dan pembangunan. Dalam hal ini guru, warga sekolah, orang tua, dan seluruh anggota masyarakat perlu dilibatkan dalam menilai hasil belajar peserta didik karena proses penilaia pendidikan karakter tidak hanya tes tulis tetapi juga tes perbuatan. Dalam pendidikan karakter tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku dan karakter bagi peserta didik.

BAB 9 PENUTUP

Hakikat dan substansi pendidikan karakter sebenarnya sudah diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal I Undang-Undang tersebut dikemukakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Saat itu dikemukakan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Demikian halnya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, acuan operasional yang pertama dan utamanya adalah peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia. Untuk merealisasikan kepentingan tersebut, dirasakan perlu memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mempertegas pelaksanaan pendidikan karakter dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Pemerintah juga telah mengembangkan rencana strategis (renstra) pendidikan karakter yang disusun hingga tahun 2025, dengan harapan pembangunan karakter bangsa dapat berlangsung secara berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, dalam penutup sebagai bahasan akhir buku ini, penulis ingin mengungkapkan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan karakter

bahwa keberhasilan pendidikan karakter harus ditunjang oleh berbagai pihak, oleh seluruh warga negara, dan lebih khusus lagi oleh orang-orang yang duduk dalam jajaran pemerintahan. Hal tersebut sangat penting sebab akan sia-sia saja berbicara panjang lebar tentang pendidikan karakter, jika dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat anak selalu dihadapkan pada nilai-nilai yang bertentangan dengan karakter yang ditanamkan di sekolah. Tanaman guru dan kepala sekolah tidak akan berkembang dengan subur, dan tidak akan membuahkan apa-apa, tanpa didukung oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang sehat. Oleh karena itu, melalui kata-kata penutup buku ini, penulis ingin mengajak berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dengan menanamkan karakter-karakter baik di lingkungannya. Pendidikan karakter bukan hanya tangggung jawab pendidikan formal di sekolah, karena waktu anak di sekolah sangat terbatas. Di sinilah perlunya kerja sama antara orang tua sekolah, dan masyarakat dalam pendidikan karakter. Bukan saatnya lagi mencari kambing hitam terhadap kualitas pendidikan kita, tidak pada tempatnya pula saling rnenyalahkan kebobrokan generasi bangsa, bukan pada tempatnya lagi mencari siapa yang bersalah di balik tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa. Saatnya sekarang adalah melakukan sesuatu yang terbaik untuk generasi bangsa agar besok kita menjadi negara dan bangsa yang terhormat, dan bermartabat, bukan bangsa yang korupsi, kasar, dan yang suka kekerasan, juga bukan bangsa teroris seperti yang dituduhkan sekarang. Saatnya kita bangkit dan tunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa (YES I CAN). Kita harus yakin bahwa suatu saat kita bisa menjadi bangsa yang bermartabat,bangsa yang dihormati dan disegani oleh bangsabangsa lain di dunia, karena kita memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa, tinggal bagaimana mengolahnya dengan penuh amanah sehingga Tuhan tidak murka, dan bebas dari bencana, yang kini melanda di mana mana. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kemampuan berpikir dengan meluruskan pikiran kita, menyelaraskan antara kata-kata,

perbuatan dan kebiasaan hidup, serta melakukan sesuatu yang bernilai dan bermakna untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter. Belum terlambat untuk berbuat dan bertindak, marilah kita mulai memperbaiki kehidupan, kehidupan berbangsa, dan bernegara agar kita bisa menjadi negara maju, dan bangsa yang bermartabat, dengan masyarakat yang kuat. Hasil analisis terhadap perilaku kehidupan masyarakat di negara maju, dalam kehidupan sehari-hari mayoritas penduduknya mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut: (1) memiliki etika dalam kehidupan sehari-hari, (2) menjunjung tinggi kejujuran dan integritas, (3) bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya, (4) menghormati aturan dan hukum, (5) menghormati hak-hak orang lain, (6) menekuni dan mencintai pekerjaannya, (7) berusaha keras untuk menabung dan investasi, (8) mau bekerja keras, cerdas, dan ikhlas, (9) disiplin dan tepat waktu, (10) bertawakal dalam setiap perbuatan. Di negara kita. prinsip-prinsip tersebut banyak diabaikan, dan tidak dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam setiap kehidupan, tidak peduli apakah dia masyarakat biasa maupun pejabat kelas teras. Oleh karena itu, sangatlah tepat ketika pemerintah mencanangkan pendidikan karakter dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan. Kita berharap pendidikan karakter dapat membangunkan bangsa ini dari ketertiduran, dengan penuh harapan, mudah-mudahan program pendidikan karakter ini dilakukan dengan komitmen sepenuh hati, bukan hanya menjadi proyek raksasa yang hanya menghabiskan uang negara atau pinjaman dari bank dunia, yang harus dibayar oleh anak cucu kita tentunya. Kita miskin dan tertinggal bukan karena alam yang kejam kepada kita, karena kita kaya, dan memiliki sumber alam yang sangat luar biasa. Kita miskin dan tertinggal karena keserakahan kita, keserakahan pemimpin-pemimpin kita, dan karena perilaku manusianya yang kurang baik. Kita pun kurang memiliki kemauan untuk menjunjung tinggi dan mengajarkan prinsip-prinsip dasar kehidupan kepada generasi bangsa, yang dapat mendorong masyarakat untuk melakukan pembangunan dalam berbagai bidang

kehidupan. Prinsip-prinsip dasar kehidupan inilah yang menjadi kunci sukses pendidikan karakter yang harus dijunjung tinggi dalam setiap kehidupan, termasuk oleh guru, kepala sekolah, dan pengawas dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah. Demikian akhir dari tulisan ini, semoga mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama, khususnya bagi guru dan peserta didik dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah. Akhirnya, jika ada gading yang retak maka perlu dikaji dan dipertanyakan, jangan-jangan gajahnya tidak berkarakter; jika kehidupan bangsa ini banyak yang retak, moral masyarakatnya banyak yang rusak, perlu dipertanyakan, jangan-jangan manusianya sudah tidak berkarakter.

OPINI BAB 9 (Yunita Chao) Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk merealisasikan kepentingan tersebut, dirasakan perlu memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Supaya keberhasilan pendidikan karakter berhasil, maka harus ditunjang oleh berbagai pihak, oleh seluruh warga negara, dan lebih khusus lagi oleh orangorang yang duduk dalam jajaran pemerintahan. Sekarang adalah saatnya melakukan sesuatu yang terbaik untuk generasi bangsa agar besok kita menjadi negara dan bangsa yang terhormat, dan bermartabat, bukan bangsa yang korupsi, kasar, dan yang suka kekerasan, juga bukan bangsa teroris seperti yang dituduhkan sekarang. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kemampuan berpikir dengan meluruskan pikiran kita, menyelaraskan antara kata-kata, perbuatan dan kebiasaan hidup, serta melakukan sesuatu yang bernilai dan bermakna untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter.

Anda mungkin juga menyukai