Riswinda Meika Ardiani Rizky Rendi Wahyu Ahadi Siti Husnud Dzikrya
Latar Belakang
Burma adalah salah satu negara di dunia yang perekonomiannya sangat bertumpu pada pertanian dan sebagai akibatnya wajar bila negeri itu juga merupakan salah satu di antara negara-negara yang paling sedikit berindustri. Burma dikenal sebagai penghasil padi namun rakyatnya tidak bisa menikmati hasil dari negaranya tersebut. Keadaan seperti ini yang menguntungkan kaum yang mempunyai modal besar seperti India dan Inggris.
Agama yang dianut oleh seluruh rakyat di Burma adalah agama Budha Hinayana. Seluruh kehidupan politik dan sosial Burma dan istana hingga ke desa-desa berpusat kepada agama ini. Di Burma dan Siam, agama Budha Hinayana (Trawada) lebih dominan. Nampaknya Wisnu merupakan dewa utama yang disembah. Burma yang kini rata-ratanya beragama Buddha. Siwa dan Brahma kelihatan tidak begitu penting di Burma. Karena di Burma, Dewa Wisnu merupakan dewa yang paling popular. Di Burma ada suatu unsur yang lain yang juga memegang peranan penting yaitu dimana pendetapendeta Buddhis memainkan peranan penting sekali dalam mencetuskan perasaan nasional dalam pergerakan pada permulaannya.
Perang Burma I
Burma dihadapkan pada suatu masalah baik kekuatan moril dan materiil dan pastinya Burma akan ditundukkan oleh kekuatan dari luar seperti Inggris. Antara Inggris dan Burma ini mempunyai kebudayaan yang berbeda yang memungkinkan terjadinya pertentangan dan akhirnya memuncak pada perang Birma I pada tahun 1824-1826.
Perang Burma II
Pada tanggal 1 April 1852 terjadinya perang Burma II yang disebabkan karena insiden antara Gubenur Pegu dan Commodore Lambert. Pada permulaan perang ini orang Burma menunjukkan keberanian yang luar biasa, Rangoon dipertahankan di Pegu bahkan mereka tidak mau menyerahkan tanahnya sedikitpun.
Inggris melakukan perluasan daerah pertanian di Burma sampai tahun 1930 yang luas daerahnya 12.370.000 are. Pada akhir abad XIX Burma mengekspor 2,5 juta ton dan menjelang tahun 1940 produksi padi seluruhnya ada 4,94 juta ton. Burma dikenal sebagai penghasil padi namun rakyatnya tidak bisa menikmati hasil dari negaranya tersebut. Keadaan seperti ini yang menguntungkan kaum yang mempunyai modal besar seperti India dan Inggris.
Myat Thein, resident economist di Yangon, melakukan analisa historis yang lebih terinci terhadap masalah moneter dan fiskal yang memainkan peranan penting dalam proses kemunduran perekonomian. Studinya mengungkapkan bahwa sektor keuangan dari perekonomian Myanmar dewasa ini kurang berkembang dalam banyak hal daripada yang dialaminya sebelum nasionalisasi tahun 1963, bahwa defisit fiskal adalah biang keladi munculnya masalah kembar yaitu ketidakseimbangan eksternal dan internal dan bahwa perluasan sektor publik yang berlebihan, khususnya perusahaan negara, pada gilirannya merupakan biang keladi terjadinya defisit fiskal
Sebelum perang dunia II, perekonomian Myanmar sedikit lebih maju daripada perekonomian Thailand. Pada 1950, ekspor Thailand adalah sebesar US$ 304 juta dimana 2,2 kali ekspor Myanmar, dan pendapatan nasionalnya sebesar US$ 1.012 juta (US$ 4.086 juta dalam harga 1989) 28% lebih besar daripada pendapatan nasional Myanmar. Pada 1962, pendapatan nasional Myanmar hanya setengah dari pendapatan nasional Thailand, dan pada 1987 pendapatan nasional Myanmar jatuh menjadi kurang dari seperlima.
Perubahan yang paling dramatis adalah digesernya kedudukan Burma sebagai negara pengekspor beras yang utama sampai awal 1960-an menjadi negara penghasil yang sekedar mencukupi kebutuhannya sendiri sejak 1965-1966.