Anda di halaman 1dari 11

Category: Teknik Eksplorasi

Metode Sampling Pada Jenis Jenis Endapan


Filed under: Mining, Teknik Eksplorasi 3 Comments
November 28, 2011
Konsep sampling
Sampel (contoh) merupakan satu bagian yang representatif atau satu bagian dari keseluruhan
yang bisa menggambarkan berbagai karakteristik untuk tujuan inspeksi atau menunjukkan buktibukti kualitas, dan merupakan sebagian dari populasi stastistik dimana sifat-sifatnya telah
dipelajari untuk mendapatkan informasi keseluruhan.
Secara spesifik, contoh dapat dikatakan sebagai sekumpulan material yang dapat mewakili jenis
batuan, formasi, atau badan bijih (endapan) dalam arti kualitatif dan kuantitatif dengan pemerian
(deskripsi) termasuk lokasi dan komposisi dari batuan, formasi, atau badan bijih (endapan)
tersebut. Proses pengambilan contoh tersebut disebut sampling (pemercontoan).
Sampling dapat dilakukan karena beberapa alasan (tujuan) maupun tahapan pekerjaan (tahapan
eksplorasi, evaluasi, maupun eksploitasi).
1. Selama fase eksplorasi sampling dilakukan pada badan bijih (mineable thickness) dan
tidak hanya terbatas pada zona mineralisasi saja, tetapi juga pada zona-zona low grade
maupun material barren, dengan tujuan untuk mendapatkan batas yang jelas antara
masing-masing zona tersebut.
2. Selama fase evaluasi, sampling dilakukan tidak hanya pada zona endapan, tapi juga pada
daerah-daerah di sekitar endapan dengan tujuan memperoleh informasi lain yang
berhubungan dengan kestabilan lereng dan pemilihan metode penambangan.
3. Sedangkan selama fase eksploitasi, sampling tetap dilakukan dengan tujuan kontrol kadar
(quality control) dan monitoring front kerja (kadar pada front kerja yang aktif, kadar pada
bench open pit, atau kadar pada umpan material).
Pemilihan metode sampling dan jumlah contoh yang akan diambil tergantung pada beberapa
faktor, antara lain :
1.
2.
3.
4.

Tipe endapan, pola penyebaran, serta ukuran endapan.


Tahapan pekerjaan dan prosedur evaluasi,
Lokasi pengambilan contoh (pada zona mineralisasi, alterasi, atau barren),
Kedalaman pengambilan contoh, yang berhubungan dengan letak dan kondisi batuan
induk.
5. Anggaran untuk sampling dan nilai dari bijih.

Beberapa kesalahan yang mungkin terjadi dalam sampling, antara lain :


1. Salting, yaitu peningkatan kadar pada contoh yang diambil sebagai akibat masuknya
material lain dengan kadar tinggi ke dalam conto.
2. Dilution, yaitu pengurangan kadar akibatnya masuknya waste ke dalam contoh.
3. Erratic high assay, yaitu kesalahan akibat kekeliruan dalam penentuan posisi (lokasi)
sampling karena tidak memperhatikan kondisi geologi.
4. Kesalahan dalam analisis kimia, akibat contoh yang diambil kurang representatif.
Secara umum, dalam pemilihan metode sampling perlu diperhatikan karakteristik endapan yang
akan diambil contonya. Bentuk keterdapatan dan morfologi endapan akan berpengaruh pada tipe
dan kuantitas sampling. Aspek karakteristik endapan untuk tujuan sampling ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Pada endapan berbentuk urat
1. Komponen mineral atau logam tidak tersebar merata pada badan urat.
2. Mineral bijih dapat berupa kristal-kristal yang kasar sehingga diperlukan sample dengan
volume yang besar agar representatif.
3. Kebanyakan urat mempunyai lebar yang sempit (jika dibandingkan dengan bukaan stope)
sehingga rentan dengan dilution.
4. Kebanyakan urat berasosiasi dengan sesar, pengisi rekahan, dan zona geser (regangan),
sehingga pada kondisi ini memungkinkan terjadinya efek dilution pada batuan samping,
sehingga batuan samping perlu dilakukan sampling.
5. Perbedaan assay (kadar) antara urat dan batuan samping pada umumnya tajam,
berhubungan dengan kontak dengan batuan samping, impregnasi pada batuan samping,
serta pola urat yang menjari (bercabang), sehingga dalam sampling perlu dicari dan
ditentukan batas vein yang jelas.
6. Fluktuasi ketebalan urat sulit diprediksi, dan mempunyai rentang yang terbatas, serta
mempunyai kadar yang sangat erratic (acak/tidak beraturan) dan sulit diprediksi,
sehingga diperlukan sampling dengan interval yang rapat.
7. Kebanyakan urat relatif keras dan bersifat brittle, sehingga cukup sulit untuk mencegah
terjadinya bias akibat variabel kuantitas per unit panjang sulit dikontrol.
8. Sampling lanjutan kadang-kadang terbatas terhadap jarak (interval), karena pada
umumnya harus dilanjutkan melalui pemboran inti.
Pada endapan stratiform
Endapan stratiform disini termasuk endapan-endapan logam dasar yang terendapkan
selaras/sejajar dengan bidang perlapisan satuan litologi (litofasies), dimana mineral bijih secara
lateral dikontrol oleh bidang perlapisan atau bentuk-bentuk sedimen yang lain (sedimentary
hosted). Karakteristik umum tipe endapan ini yang berhubungan dengan metode sampling antara
lain :
1. Mempuyai ketebalan yang cukup besar.
2. Mempunyai penyebaran lateral yang cukup luas.

3. Kadang-kadang diganggu oleh struktur geologi atau tektonik yang kuat, sehingga dapat
menimbulkan masalah dalam sampling.
4. Arah kecenderungan kadar relatif seragam dan dapat diprediksi, namun kadang-kadang
dapat terganggu oleh adanya remobilisasi, metamorfisme, atau berbentuk urat.
5. Perubahan-perubahan gradual atau sistematis dalam kadar harus diikuti oleh perubahan
dalam interval sampling.
6. Dalam beberapa kondisi mungkin terdapat mineralisasi yang berbutir halus dan kemudian
berpengaruh pada besar volume material yang dilakukan sampling.
7. Pada tipe hosted by meta-sediment, perlu diperhatikan variabel ukuran conto akibat
perubahan ukuran, kekerasan batuan, atau nugget effect.
8. Setempat dapat terjadi perubahan kadar yang moderat dan dapat menyebabkan kesalahan
pada sampling yang signifikan.
9. Cut off kadar dapat gradasional (tidak konstan).
Pada endapan sedimen
Pada tipe endapan ini, termasuk endapan batubara, ironstones, potash, gipsum, dan garam, yang
mempunyai karakteristik :
1. Mempuyai kontak yang jelas dengan batuan samping.
2. Mempunyai fluktuasi perubahan indikator kualitas yang bersifat gradual.
3. Sampling sering dikontrol oleh keberadaan sisipan atau parting dalam batubara, sehingga
interval sampling lebih bersifat ply per ply.
4. Perubahan (variasi) ketebalan lapisan yang cenderung gradual, sehingga anomali-anomali
yang ditemukan dapat diprediksi lebih awal (washout, sesar, perlipatan, dll.), sehingga
pola dan kerapatan sampling disesuaikan dengan variasi yang ada.
5. Rekomendasi pola sampling (strategi sampling) adalah dengan interval teratur secara
vertikal, bed by bed (atau ply by ply), atau jika relatif homogen dapat dilakukan secara
komposit.
Pada endapan porfiri
Karakteristik umum dari tipe endapan ini yang perlu diperhatikan adalah :
1. Mempuyai dimensi yang besar, sehingga sampling lebih diprioritaskan dengan pemboran
inti (diamond atau percussion).
2. Umumnya berbentuk non-tabular, umumnya mempunyai kadar yang rendah dan bersifat
erratic, sehingga kadang-kadang dibutuhkan conto dalam jumlah (volume) yang besar,
sehingga kadang-kadang dilakukan sampling melalui winze percobaan, adit eksplorasi,
dan paritan.
3. Zona-zona mineralisasi mempunyai pola dan variabilitas yang beragam, seperti tipe
disseminated, stockwork, vein, atau fissure, sehingga perlu mendapat perhatian khusus
dalam pemilihan metode sampling.
4. Keberadaan zona-zona pelindian atau oksidasi, zona pengkayaan supergen, dan zona
hipogen, juga perlu mendapat perhatian khusus.
5. Mineralisasi dengan kadar hipogen yang relatif tinggi sering terkonsentrasi sepanjang
sistem kekar sehingga penentuan orientasi sampling dan pemboran perlu diperhatikan
dengan seksama.

6. Zonasi-zonasi internal (alterasi batuan samping) harus selalu diperhatikan dan direkam
sepanjang proses sampling.
7. Variasi dari kerapatan pola kekar akan mempengaruhi kekuatan batuan, sehingga interval
(kerapatan) sampling akan sangat membantu dalam informasi fragmentasi batuan
nantinya.
Grab sampling
Secara umum, metode grab sampling ini merupakan teknik sampling dengan cara mengambil
bagian (fragmen) yang berukuran besar dari suatu material (baik di alam maupun dari suatu
tumpukan) yang mengandung mineralisasi secara acak (tanpa seleksi yang khusus). Tingkat
ketelitian sampling pada metode ini relatif mempunyai bias yang cukup besar.
Beberapa kondisi pengambilan conto dengan teknik grab sampling ini antara lain :
1. Pada tumpukan material hasil pembongkaran untuk mendapatkan gambaran umum kadar.
2. Pada material di atas dump truck atau belt conveyor pada transportasi material, dengan
tujuan pengecekan kualitas.
3. Pada fragmen material hasil peledakan pada suatu muka kerja untuk memperoleh kualitas
umum dari material yang diledakkan, dll.
Bulk Sampling
Bulk sampling (conto ruah) ini merupakan metode sampling dengan cara mengambil material
dalam jumlah (volume) yang besar, dan umum dilakukan pada semua fase kegiatan (eksplorasi
sampai dengan pengolahan). Pada fase sebelum operasi penambangan, bulk sampling ini
dilakukan untuk mengetahui kadar pada suatu blok atau bidang kerja. Metode bulk sampling ini
juga umum dilakukan untuk uji metalurgi dengan tujuan mengetahui recovery (perolehan) suatu
proses pengolahan. Sedangkan pada kegiatan eksplorasi, salah satu penerapan metode bulk
sampling ini adalah dalam pengambilan conto dengan sumur uji (lihat Gambar).
Chip sampling
Chip sampling (conto tatahan) adalah salah satu metode sampling dengan cara mengumpulkan
pecahan batuan (rock chip) yang dipecahkan melalui suatu jalur (dengan lebar 15 cm) yang
memotong zona mineralisasi dengan menggunakan palu atau pahat. Jalur sampling tersebut
biasanya bidang horizontal dan pecahan-pecahan batuan tersebut dikumpulkan dalam suatu
kantong conto. Kadang-kadang pengambilan ukuran conto yang seragam (baik ukuran butir,
jumlah, maupun interval) cukup sulit, terutama pada urat-urat yang keras dan brittle (seperti urat
kuarsa), sehingga dapat menimbulkan kesalahan seperti oversampling (salting) jika ukuran
fragmen dengan kadar tinggi relatif lebih banyak daripada fragmen yang low grade.
Channel sampling
Channel sampling adalah suatu metode (cara) pengambilan conto dengan membuat alur
(channel) sepanjang permukaan yang memperlihatkan jejak bijih (mineralisasi). Alur tersebut
dibuat secara teratur dan seragam (lebar 3-10 cm, kedalaman 3-5 cm) secara horizontal, vertikal,
atau tegak lurus kemiringan lapisan (Gambar).

Gambar Sketsa pembuatan channel sampling pada urat (Chaussier et al., 1987)

Gambar Sketsa pembuatan channel sampling


pada endapan yang berlapis (Chaussier et al., 1987)
Ada beberapa cara atau pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengumpulkan fragmenfragmen batuan dalam satu conto atau melakukan pengelompokan conto (sub-channel) yang
tergantung pada tipe (pola) mineralisasi, antara lain :
1. Membagi panjang channel dalam interval-interval yang seragam, yang diakibatkan oleh
variasi (distribusi) zona bijih relatif lebar. Contohnya pada pembuatan channel dalam
sumur uji pada endapan laterit atau residual.
2. Membagi panjang channel dalam interval-interval tertentu yang diakibatkan oleh variasi
(distribusi) zona mineralisasi.
3. Untuk kemudahan, dimungkinkan penggabungan sub-channel dalam satu analisis kadar
atau dibuat komposit.
4. Pada batubara atau endapan berlapis, dapat diambil channel sampling per tebal seam
(lapisan) atau ply per ply (jika terdapat sisipan pengotor).

Gambar Sketsa pembuatan sub-channel pada mineralisasi berupa urat (Dimodifikasi dari
Annels, 1991)

Informasi-informasi yang harus direkam dalam pengambilan conto dari setiap alur adalah
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Letak lokasi pengambilan conto dari titik ikat terdekat.


Posisi alur (memotong vein, vertikal memotong bidang perlapisan, dll.).
Lebar atau tebal zona bijih/endapan (lebar horizontal, tebal semu, atau tebal sebenarnya).
Penamaan (pemberian kode) kantong conto, sebaiknya mewakili interval atau lokasi subchannel.
5. Tanggal pengambilan dan identitas conto.
Sedangkan informasi-informasi yang sebaiknya juga dicatat (dideskripsikan) dalam pengambilan
conto adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Mineralogi bijih atau deskripsi endapan yang diambil contonya.


Penaksiran visual zona mineralisasi (bijih, waste, pengotor, dll.).
Kemiringan semu atau kemiringan sebenarnya dari badan bijih.
Deskripsi litologi atau batuan samping.
Dan lain-lain yang dianggap perlu dalam penjelasan kondisi endapan.

Share this:

Email

Like this:

Like
Be the first to like this.
Tags: bulk sampling, channel sampling, chip sampling, eksplorasi, grab sampling, metode
sampling, metode sampling base metal, sample
Comment

Hubungan Busur Magmatik dan Asosiasi Mineralisasi Emas


dan Tembaga di Indonesia
Filed under: Mining, Teknik Eksplorasi Leave a comment
October 5, 2011
Hubungan Busur Magmatik dan Asosiasi Mineralisasi Emas dan Tembaga di Indonesia
Pendahuluan
Mineralisasi emas di Indonesia terbentuk pada busur andesitik yang terjadi dalam rentang
Cretaceous hingga Pliosen (3 -20 My tahun), terutama pada usia Neogen. Pada masa tersebut,
lempeng lempeng yang menyusun Indonesia mulai mengalami pertemuan dan membentuk
zonasi tertentu secara aktif. Setiap busur dicirikan oleh mineralisasi spesifik yang menunjukkan
bahwa dasar busur berhubungan dengan tumbukan awal dan perubahan dalam polaritas tektonik
dan tingkat erosi.
Tipe deposit emas yang teridentifikasi di Indonesia adalah porfiri tembaga emas, skarn, sistem
high dan low epithermal sulphidation, emas sediment-hosted, deposit Au-Ag-barite + base
metals dan tipe Kelian, yaitu peralihan tipe porfiri ke sistem epitermal.
Proses Tektonik Regional pada Sistem Busur di Indonesia
Proses utama tektonik di daerah geologi Indonesia untuk daerah busur magma dan asosiasinya
terhadap mineralisasi emas dan tembaga dibagi menjadi :
1. Pembentukan ophiolite, tumbukan, dan perubahan busur
Pembentukan ophiolit terjadi karena pengangkatan kerak samudera sebagai hasil pemekaran
lantai samudra, naik ke atas kerak benua yang pasif dan dipengaruhi juga aktivitas intrusi
andesitk pada kerak yang ditumpangi. Secara tektonik, ophiolit yang terbentuk mendorong
terjadinya pembentukan patahan pada busur belakang (C) sehingga mengakibatkan perubahan
subduksi pada ke arah baru (D). Pada kerak benua yang ditumpangi terjadi pemekaran (E)
sehingga terbentuk cekungan di busur belakang (F). Oleh karena lempeng terus bergerak,
pemekaran dan subduksi terjadi bersamaan (G) sehingga potensi cebakan endapan mineral
terbentuk tinggi karena aktivitas tersebut yang langsung berhubungan dengan magma. Setting
tektonik seperti ini terjadi pada daerah tektonik Sunda Banda yang menghubungkan Timor,
Wetar dan Sumba.
1. Busur magmatik

Tipe busur magmatik di Indonesia terbagi atas mafik dan andesitik. Batuan mafik volkanik
kebanyakan berada pada daerah bekas laut, yang didominasi basalt atau balastik andesite dan
generasinya. Akan tetapi dominasi busur magmatik Indonesia berupa busur andesitic yang
banyak ditemukan di sekitar daerah perairan dangkal. Dominasi rhyolit yang membatasi dan
menyusun lantai benua. Intrusi andesitik ini mengidikasikan bahwa terjadi stress lemah yang
mengakibatkan tarikan sepanjang busur dan mungkin berhubungan dengan mundurnya palung di
daerah subduksi lempeng samudera.
2. Lantai busur
Kebanyakan mineralisasi di daerah busur di Indonesia yang terekspos berupa batuan vulkanik.
Lantai busur kebanyakan tersusun atas batuan metamorfik (greenstone, phyllite, mica schist,
gneiss) dan ophiolit. Kerak busur kepulauan lebih tipis dibandingkan dengan daerah kerak benua.
3. Pemekaran busur belakang
Pemekaran busur belakang terbentuk di busur belakang selama subduksi juga terjadi pada kerak
samudera yang mengalami perubahan arah subduksi. Akibatnya terbentuk cekungan pada daerah
busur belakang.
4. Kompleks daerah metamorfik
Hipotesis yang dimungkinkan untuk menjelaskan kompleks daerah metamorfik adalah adanya
asosiasi dengan patahan bersudut rendah yang merupakan jalur dari metamorfik Papua Nugini.
Pemanjangan kerak terregional yang berasosiasi dengan pemindahan akibat patahan
menyediakan mekanisme yang memungkinkan pemendekan busur. Hal ini dapat dilihat
terbentuk pada daerah subduksi pada busur yang sangat berkaitan dengan aktivitas mineralisasi.
Busur Magmatik Indonesia
Sebagai daerah pertemuan tiga lempeng aktif, Indonesia juga memiliki daerah busur kepulauan
yang menyebar sepanjangan wilayah timur selatan Indonesia. Pergerakan lempeng lempeng
secara aktif pada masa neogen menyusun Indonesia menjadi beberapa jalur aktif busur
magmatik. Secara umum, sistem busur magmatik di Indonesia adalah hasil kompleks sejarah
aktivitas tektonik, termasuk di dalamnya subduksi dan busur magmatik, rotasi dan perpindahan
busur, pemekaran busur belakang, pembentukan ophiolit danpenumbukan yang akibatkan
perubahan arah busur, patahan stike-slip dan kemungkinan karena pemanjangan kerak.
Indonesia memiliki 7 jalur utama busur magmatik dan beberapa busur minor. Ketujuh busur
mayor tersebut adalah
1. Busur Sumatra-Meratus (Pertengahan dan Akhir Cretaceous)
Daerah busur Sumatera-Meratus melingkupi daerah Sundaland sepanjang sumatera bagian barat
dan selatan Kalimantan. Pada daerah ini, busur magmatik dimulai dengan perubahan polaritas
tektonik setelah penempatan Woyla. Saat terekspos, busur tidak termineralisasi dengan baik,

karena perluasan akibat pengangkatan dan erosi selama masa tertiary. Daerah mineralisasi ini
hanya menyumbang 1% dari sumber daya emas dan sangat sedikit tembaga Indonesia. Pada
daerah Sumatera, mineralisasi dibatasi oleh besi, dan skarn base metal, juga kombinasi emasperak dan emas-tembaga pada rasio rendah. Di daerah Kalimantan, emas yang ada diikuti kuarsa
dan vein, veinlets karbonat kuarsa akibat pembentukan secara epithermal.
2. Busur Sunda-Banda (Neogen)
Busur ini merupakan busur terpanjang di Indonesia, dari Sumatera Utara hingga timur Damar.
Mineralisasi yang terjadi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu berbentuk sistem urat epithermal
sulfidasi rendah di bagian barat busur dan porfiri emas-tembaga dan massive sulphide lenses
replacement bodies serta stockworks di timur. Hal ini terjadi karena perbedaan lempeng yang
menyusun daerah magmatik sepanjang busur. Daerah bagian barat cenderung terbentuk lebih
dulu dan stabil sehingga memungkinkan bentukannya adalah intrusi dangkal andesitik pada masa
neogen. Daerah timur merupakan daerah progresif lempeng dan aktif bergerak membentuk zona
subduksi yang menjadi tempat pembentukan intrusi besar berupa badan bijih seperti porfiri.
3. Busur Aceh (Neogen)
Busur Aceh berada pada palung di utara Sumatra yang tidak panjang. Busur ini berkaitan
langsung dengan dataran Sunda. Palung di sekitar busur menjadi daerah subduksi antara kerak
samudra hasil pemekaran dari cekungan Mergui yang menekan pada lantai lempeng Sumatera
bagian utara. Di daerah busur ini, mineralisasi yang terjadi berupa porfiri tembaga-molybdenum
dan tipe endapan sulfidasi tinggi.
4. Busur Kalimantan Tengah (pertengahan Tertiary dan Neogen)
Busur ini selama bertahun-tahun diperkirakan dari kehadiran kondisi sisa erosi selama akhir
Oligocene hingga awal Miosen yang sifatnya andesitik hingga trachy-andesitik di daerah sekitar
ativitas vulkanik. Kebanyakan dari yang ditemukan berasosiasi dengan emas. Mineralisasinya
berupa peralihan epitermal ke porfiri. Di bagian barat, mineralisasi berasosiasi dengan batuan
hasil erupsi dan intrusi dioritik.
5. Busur Sulawesi-Timur Mindanao (Neogen)
Pada busur ini, aktivitas magmatik cenderung berada pada daerah bawah laut dan juga tersusun
oleh batuan sedimen sebagai akumulasi kegiatan tektonik aktif di daerah ini. Dominasi busur ini
adalah aktivitas lempeng aktif yang membentuk lengan lengan kepulauan Sulawesi. Akibatnya,
mineralisasi yang terjadi meliputi porfiri emas-tembaga, endapan sulfidasi tinggi, sediment
hosted gold, dan urat sulfidasi rendah.
6. Busur Halmahera (Neogen)
Daerah busur Halmahera terdiri dari hasil intrusi andesitik yang berusia Neogen, termasuk
dengan batuan vulkanik. Pada daerah barat busur ini juga dipotong oleh sesar Sorong selama

daerah timur terjadi subduksi di Laut Molluca. Busur Halmahera belum dieksplorasi dan
dimungkinkan hipotesis terbentuk mineralisasi berupa porfiri tembaga-emas.
7. Busur Tengah Irian Jaya (Neogen)
Daerah busur tengah Irian Jaya memanjang dari kepala burung hingga Papua Nugini. Hal ini
berkaitan dengan pergerakan sabuk New Guinea, sebuah zona sabuk metamorfik dan
pembentukan ophiolit. Busur diikuti juga dengan subduksi di selatan dan diikuti penumbukan.
Kegiatan vulkanisme yang mengikuti adalah bersifat andesitik. Busur tengah Irian Jaya terbentuk
di lempeng aktif Pasifik. Deformasi yang terus terjadi mengakibatkan pembentukan deposit pada
daerah benua pasif yang terbentuk sebelumnya dengan dasar berupa batugamping jalur New
Guinea. Mineralisasi yang terjadi berupa porfiri yang kaya akan emas, badan bijih skarn.
Keberadaan ketujuh busur mayor ini berkaitan dengan mineralisasi aktif di Indonesia, terutama
terhadap emas dan tembaga. Jumlah endapan per km panjang busur tergantung pada masing
masing busur dan kontrol lain yang berkaitan dengan mineralisasi. Pada gambar di atas
ditunjukkan daerah mineralisasi aktif sepanjang busur magmatik di Indonesia.
Busur mayor ini juga diikuti dengan keberadaan busur minor di sekitar. Busur minor tersebut
terdiri atas :
1. Busur Schwaner mountain (west Kalimantan, tonalitic granodioritic batholiths, early
cretaceous)
2. Busur Sunda shelf (Karimata island, granitic, late cretaceous)
3. Busur Moon utawa (northern head of Irian Jaya, andesitic sedimentary rocks intruded
dioritic, middle miocene)
4. Busur West sulawesi (western Sulawesi, granitic, late miocene pliocene)
5. Busur Northwest Borneo ( andesitic, middle miocene)
6. Busur Sumba Timor (andesitic andesite porphyry intrusions, palaeogene)
7. Busur Coastal Irian Jaya (Mamberamo, diorites, neogene possibly)
8. Busur Talaud (Northeast Sulawesi, andesitic-andesite blocks in melange, neogene)
Bentuk utama Mineralisasi Emas dan Tembaga di Indonesia
Secara umum, bentuk mineralisasi emas dan tembaga di Indonesia berupa :
1. Porfiri
2. Endapan ephitermal sulfidasi tinggi
3. Endapan ephitermal sulfidasi rendah

4. Mineralisasi Au-Ag-Cu base metals


5. Skarn
6. Sediment Hosted
Berdasarkan aktivitas tektonik yang terjadi di sepanjang busur magmatik, daerah bagian timur
Indonesia didominasi oleh bentukan porfiri dan skarn, serta sebagian kecil endapan hidrotermal
sulfidasi tinggi dan sediment hosted. Daerah barat Indonesia memiliki mineralisasi cenderung
berupa endapan epitermal sulfidasi rendah yang terjadi di daerah paparan Sunda yang relatif
dangkal. Aktivitas busur magmatik dan bentuk mineralisasi memiliki hubungan yang
menunjukkan identifikasi perbedaan antara lingkungan tektonik selama pembentukan porfiri
emas-tembaga, skarn dan deposit sulfidasi tinggi. Pembentukan mineralisasi Au-Ag-Cu base
metals terjadi di lingkungan submarine dangkal saat larutan sulfida yang hasilnya juga
menghasilkan mineralisasi sulfidasi tinggi di sekitar sub-aerial batuan vulkanik, dan daerah lantai
samudera.
Kontrol Regional terhadap Mineralisasi
Mineralisasi endapan Au-Ag-Cu base metals dipengaruhi oleh kontrol regional terhadap
kondisi tektonik yang ada. Kontrol yang terjadi dibagi menjadi hubungannya mineralisasi dengan
busur magmatik, asal kerak dan umur busur, serta berhubungan syn-mineralization regional.
Terhadap hubungan dengan busur magmatik, deposit di Indonesia berhubungan dengan busur
magmatik andesitik yang terbentuk selama dan secara cepat dalam aktivitas magma. Ini
menunjukkan bahwa mineralisasi yang terjadi berkaitan dengan subduksi lantai samudera.
Deposit epithermal Indonesia terbentuk di sepanjang busur benua yang merupakan busur
kepulauan yang bergabung dengan Sundaland selama masa mineralisasi karena penebalan kerak
dan pemanjangan intensif. Porfiri emas terjadi baik pada kondisi busur kepulauan dan benua.
Kebanyakan mineralisasi terjadi pada masa Neogen yang mengindikasikan bahwa mineralisasi
juga sebenarnya tidak bergantung pada umur kerak yang tersubduksi. Hubungan antara usia
busur dijelaskan dengan erosi sebagai akibat pengangkatan selama aktivitas vulkanik dan erosi
yang berhubungan dengan kegiatan orogenik yang pengaruhi selama pasca mineralisasi saat
perubahan polaritas busur. Syn-mineralization regional berkaitan dengan perbedaan jenis
mineralisasi di daerah timur dan barat Indonesia karena perbedaan aktivitas lempeng yang
mendominasi.

Anda mungkin juga menyukai