Anda di halaman 1dari 69

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................ i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI..........................liii
PERNYATAAN.......................................................................................... iv
ABSTRAK....................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO..................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGA^TAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian.................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 9
E. Metode Penelitian ................................................................... 10
F. Sistematika Penelitian Hukum ............................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori ....................................................................... 16
a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ....................................... 16
b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
di Indonesia ...................................................................... 19
c. Tinjauan Umum tentang Waris di Indonesia.................... 21
d. Tinjauan Umum tentang Anak.........................................
e. Tinjauan Umum tentang Bayi Tabung............................. 26
f. Dasar Hukum, Status, dan Kedudukan Atas Anak Bayi Tabung terhadap Harta
Warisan...................................... 32
g. Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum.................... 33
2. Kerangka Pemikiran.....xii ....................................... 39
BAB III PEMBAHASAN
A. Kedududkan Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung dalam Perkawinan Orang Tua menurut UndangUndang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan............................. 42
1. Aturan Yuridis dan Problematika tentang
Anak Bayi Tabung.......................................... 42
1 a. Anak menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan...................................... 44
b. Proses Lahirnya Anak Bayi Tabung.................. 45
c. Legalitas Bayi Tabung melalui Akta atau
Pencatatan Kelahiran Anak............................ 50
2. Korelasi Alih Teknologi Berdasarkan Konsep Kedokteran dan Mekanisme Pengaturannya.............. 52
a. Konsep Alih Teknologi Bayi Tabung
Berdasarkan Ilmu Kedokteran......................... 52
b. Mekanise Pengaturan Anak Bayi Tabung............ 57
3. Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Bayi
Tabung di Indonesia.......................................... 60
4. Konsep dan Legalias Anak Bayi Tabung sebagai
Anak Sah ...................................................... 64
B. Hak Waris atas Anak Bayi Tabung dalam Pewarisan

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata................. 71


1. Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata............................ 71


2. Penggolongan Warisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata............................
3. Tinjauan Yuridis Anak Bayi Tabung dalam Hukum
Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 81
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasar atas konstitusi. Di dalam negara hukum maka
semua pola tindakan masyarakatnya diatur dengan hukum. Baik dalam bidang hukum pidana, perdata,
adat, hukum tata negara, maupun hukum administrasi negara. Mengenai hukum perdata pada intinya
bersumber pada Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan juga
peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Selain itu ada pula peraturan perundangundangan yang lainnya misalnya seperti undang-undang. Berkaitan dengan hukum waris di Indonesia
bahwa sampai pada saat ini di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga hukum
waris, yaitu hukum waris perdata, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris
masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia (Eman Suparman,
1991:7). Sehingga penduduk di Indonesia dapat memilih untuk tunduk pada salah satu hukum waris yang
ada tersebut.
Pada zaman Hindia Belanda terdapat penggolongan pen duduk menurut Pasal 163 Indische
Staatsregeling (I.S.) yang terbagi dalam tiga golongan yaitu golongan pribumu (Indonesia Asli), golongan
Eropa (Barat), dan golongan Timur Asing, maka hukum perdata yang berlaku juga terbagi dalam
beberapa golongan sebagaimana yang terdapa dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yaitu:
1. Bagi golongan Eropa, berlaku hukum perdata yang ketentuannya terdapat di dalam Burgerlijke
Wetboek/B.W. (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Wetboek Van Koophandel/W.v.k (Kitab UndangUndang Hukum Dagang) dan Failsementverordering (Peraturan Kepailitan);
2. Bagi Golongan Timur Asing, mula-mula berlaku hukum adanya masingmasing, kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur
Asing;
3. Bagi golongan Bumi Putera, pada pokoknya berlaku hukum adatnya masing-masing (Kussunaryatun,
dkk. 2008:21-22).
Mulanya Hukum Perdata Barat hanya berlaku bagi golongan Eropa saja. Bagi golongan Timur Asing dan
Indonesia masing-masing berlaku Hukum Perdata Timur Asing dan Hukum Perdata Adat. Kemudian
diadakan ketentuan dalam peraturan-perundang-undangan Hindia Belanda menurut Pasal 131 ayat (3) dan
(4) I.S. yang mana membuka peluang atau kemungkinan bagi golongan yang bukan Eropa untuk
menikmati Hukum Perdata Barat di Indonesia yang berlaku pula bagi golongan Eropa. Terdapat beberapa
cara bagi golongan selain eropa untuk tunduk pada Hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu antara lain
dengan Persamaan Hak, Pernyataan Berlakunya Hukum, serta penundukan sukarela Kepada Hukum
Perdata Eropa (Vrijwillige Onderwerping aan het Europese Privaatrecht). Pasal 131 I.S. ayat (4)
menyebutkan bahwa "Bagi orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum
diletakkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada
hukum yang berlaku untuk Eropa". Sehingga dibentuk Stb. 1917/No. 12 tentang Penundukan Sukarela
Kepada Hukum Perdata Eropa melalui Lembaga Penundukan Diri. Dalam peraturan ini menentukan
adanya 4 macam Penundukan Dengan Sukarela kepada hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu melalui
Lembaga Penundukan Diri yang terdapat dalam Buku I Hukum Perdata Barat. Penundukan tersebut
terdiri dari:
1. penundukan diri untuk seluruh hukum perdata Eropa;
2. penundukan untuk sebagian hukum perdata Eropa,;
3. penundukan mengenai suatu perbuatan tertentu; dan
4. penundukan diri anggapan, yang mana merupakan penundukan tidak sengaja untuk suatu perbuatan
tertentu (secara diam-diam) (C.S.T. Kansil, 1992:8-9).

Berdasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
ditentukan bahwa "segala badan negara dan peraturan yang masih berlangsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar". Adanya peraturan perlaihan tersebut dimaksudkan
agar tidak terjadi kekosongan hukum. Akan tetapi di Indonesia pada saat ini terdiri dari 2 golongan warga
Negara, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai Warga Negara
Indonesia (WNI) itu sendiri berdasarkan dari aspek biologis dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok yaitu
kelompok Warga Negara Indonesia Asli (Bumi Putera) serta Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa
dan keturunan yang lain. Untuk keturunan asing seperti Tionghoa
dan k_ yang lain dapat berkewarganegaraan Indonesia dengan cara
proses naturalisasi yang diatur sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No 3 Tahun 1946 sehingga Warga
Negara Asing tersebut Indonesia dapat menjadi Warga Negara Indonesia.
Oleh karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal adanya
pembagian penduduk menjadi golongan-golongan (tetapi hanya mengenal warga Negara dan bukan warga
Negara), maka di Indonesia sekarang ini sedang bersaha untuk membentuk hukum perdata nasional.
Sementara belum terbentuk hukum perdata nasional di Indonesia sehingga BW/Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata masih berlaku jika tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan maksud agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dengan
demikian bagaimanapun juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih diperbolehkan dan berlaku
terlebih dalam hal ini hukum waris selama belum ada hukum waris nasional maka dapat memilih untuk
menggunakan salah satu dari tiga hukum waris yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia menganut asas lex specialis de rograt lex generalis yang berarti peraturan hukum
yang khusus mengenyampingkan peraturan hukum yang umum. Sebagai contoh dalam Kitab UndangUndang

Hukum Perdata memuat pengaturan tentang perkawinan yang diatur dalam Titel Buku IV mulai dari Pasal
26. Selanjutnya perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai sumber hukum umum dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai sumber hukum umum sehingga isi dan muatan dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang harus didasarkan pada persetujuan kedua belah
pihak, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa. Akan tetapi berdasarkan pada Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa apabila telah ada hukum yang baru, maka peraturan hukum yang
lama menjadi tidak berlaku, sehingga dalam hal ini lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai hukum nasional yang menyebabkan tidak
winan
berlakunya lagi Pasal-pasal yang mengatur tentang Perkawinan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tersebut berlaku bagi siapapun yang
berada di Indonesia.
Berdasarkan aspek culture atau budaya di Indonesia, dalam suatu perkawinan memiliki tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selain itu tujuan
untuk terciptanya kebahagiaan dalam perkawinan salah satunya dengan memiliki anak dari pasangan
suami istri. Harapan untuk memiliki anak tersebut dengan maksud bahwa memiliki anak sebagai penerus
keturunan dari pasangan suami istri. Mayoritas penduduk di Indonesia beranggapan bahwa tidak lengkap
suatu keluarga tanpa memiliki anak dalam budaya Indonesia.
Sebagai contoh di suku Batak, dikenal sebuah filosofi kuno yang sampai saat ini masih dipegang teguh
dalam kehidupan generasi-generasi penerusnya yaitu, anakkonhi do hamoraon di au yang secara
sederhana dapat diberi arti, anaklah kekayaanku^^erkaciFdari filosofi itu, kehadiran anak

mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga Batak. Tanpa anak, maka tak lengkap
sebuah keluarga inti. Kehadiran anak pulalah yang membuat orangtua dipandang hormat di tengah-tengah
masyarakat. Meski dalam masyarakat Batak tak dikenal sistem kasta, anak secara tidak langsung ikut
menopang posisi orangtua (http://sosbud.kompasiana.com/ 2011/07/23/anak-harta-bagi-orang-batak/> [21
September 2011, pukul 03:25]). Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan dari pernikahan adalah membentuk
keluarga yang bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak serta
keturunan.
kehadiran anak d
Arti penting kehadiran anak dalam suatu keluarga juga dapat dipandang dalam ketentuan pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pada Pasal 852 yang menyebutkan tentang anak dalam hal waris.
Adanya pengaturan khusus tentang anak terutama dalam hal waris menunjukkan bahwa kehadiran anak
sangatlah penting, terlebih lagi anak dalam hal waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dikategorikan dalam golongan 1 yang hanya berdiri sendiri, tidak disatukan dengan janda, bapak, ibu,
kakek, nenek, atau ahli waris yang lain. Akan tetapi tidak semua keluarga dapat memiliki anak atau
keturunan.
Mayoritas dari pasangan suami istri di dunia i ni mengalami kemudahan untuk memiliki anak. Akan tetapi
sekitar ada juga pasangan suami istri yang mengalami masalah dalam memiliki anak atau keturunan.
Kesulitan dalam memiliki keturunan dikarenakan berbagai macam faktor dan kelainan sistem reproduksi
yang mungkin dimiliki, diantaranya yang disebut dengan infertilisasi (kelainan) yang dapat mencegah
pasangan suami istri yang ingin memiliki anak (Wiryawan Permadi, 2008:2).
Fenomena yang terjadi bahwa atas alasan ketidakmampuan atau kesulitan pasangan suami istri untuk
memiliki anak menjadi pemicu untuk melaksanakan program poligami atau bahkan perceraian. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kesulitan pasangan suami istri untuk memiliki anak. Sebagai contoh,
menurut Wiryawan Permadi (2008, 4) bahwa faktor yang sering tidak dapat dihindari cda^memilfkf peran
besar dalam menentukan

mampu tidaknya pasangan suami istri untuk memiliki anak yakni faktor usia. Dalam beberapa dekade
terakhir, ilmu kedokteran telah berupaya untuk dapat mengatasi setiap penyebab yang menghalangi
impian pasangan suami istri dalam memiliki keturunan (infertilisasi). Hasil yang diperoleh para ahli dan
penulis kedokteran dalam mengatasi infertilisasi adalah penerapan Fertilisasi In Vitro (FIV) atau program
bayi tabung. Teknologi bayi tabung di Indonesia dapat diterapkan atas dasar adanya proses alih teknologi
dari luar negeri ke dalam negeri, sehingga Indonesia dapat menikmati penemuan baru di bidang
kedokteran yaitu adanya proses bayi tabung. Proses alih teknologi tersebut dapat diterapkan di Indonesia
asalkan tidak bertentangan dengan nilai luhur bangsa dan konstitusi di Indonesia. Namun demikian,
adanya proses alih teknologi yang memunculkan teknologi bayi tabung tersebut belum ada suatu
ketentuan hukum yang mengatur mengenai bayi tabung terlebih dahulu sebelum diberlakukannya proses
bayi tabung di Indonesia. Sehingga hukum menjadi tertinggal atas fenomena yang terjadi dalam bidang
kedokteran itu yang mana anak bayi tabung telah terlahir lebih dahulu dari pada hukum yang mengatur
bayi tabung di Indonesia. Dengan demikian baik dilihat dari aspek culture di Indonesia, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maupun Undang-Undang No 1 Tahun 1974 bahwa keberadaan anak sangat
penting di dalam suatu keluarga.
Pada mulanya program pelayanan bayi tabung bertujuan untuk mengatasi pasangan suami istri yang tidak
mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopi istrinya mengalami kerusakan yang
permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan yang mana program atau teknologi bayi tabung ini
diterapkan pula pada pasangan suami istri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang
menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan. Otto Soemarwoto dalam bukunya
"Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global" dengan tambahan dan keterangan dari Drs.
Muhammad Djumhana, S.H. yang dikutip oleh bayitabung.blogspot.com, menyatakan bahwa bayi tabung
pada satu pihak merupakan hikmah. Ia dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi

karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel
telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi ditanam dalam kandungan
istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan
keturunan genetik suami dan istri (http://bayitabung.blogspot.com /2007/11/bayi-tabung-dari-sudutpandang-hukum.html> [20 September 2011 pukul 01:29 WIB]).
Setelah adanya penemuan baru mengenai bayi tabung menjadi kaitan
dalam hukum positif di Indonesia yakni menyangkut tentang kepentingan
keluarga dan pergaulan di dalam masyarakat. Dalam hubungan keluarga antara lain tentang kedudukan
yuridis anak, perkawinan, dan warisan. Sedangkan yang termasuk dalam pergaulan di dalam masyarakat
yang
menyangkut dengan bayi tabung ialah dalam hal perikatan (Salim HS,
1993:74). Problematik yang terjadi pada anak bayi tabung dalam hukum positif di Indonesia yang
menjadi acuan ialah dalam penentuan status dan kedudukan yuridis atas anak bayi tabung, apakah
termasuk dalam kategori anak sah ataukah anak luar kawin.
Hukum yang mengatur tentang kedudukan hukum serta hak mewaris bayi tabung di Indonesia belum ada,
sedangkan hukum yang mengatur tentang status hukum anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga terjadi kekosongan
hukum dalam hal hukum atas anak bayi tabung, baik terkait dengan hubungan hukum atas perkawinan
menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun mengenai hak mewaris atas anak
bayi tabung dalam hukum waris di Indonesia.
Berdasarkan atas arti penting dari kehadiran anak sebagai penerus keturunan keluarga berdasarkan pada
aspek culture dan juga pada Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu atas
pertimbangan bahwa di dalam aturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan mengenai
hak dan kewajiban anak bayi tabung terhadap pewarisan orang tua.
Berdasarkan problematik yang ada bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang hak
waris maupun Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan tidak menyebutkan pengaturan
tentang anak bayi tabung, maka penulis tertarik untuk mengadakan penulisan dalam bentuk karya ilmiah
skripsi dengan judul: "TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA".
B. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang
mengidentifikasikan mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti,
denga
dengan tujuan.
embua
sehingga ^ menemukan pemecahan masalah dengan tepat dan sesuai
n pemecah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penulisan
yang dilakukan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2. Bagaimana hak waris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata?
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah
memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan
masalah. Karena itu tujuan penulisan sebaiknya dirumuskan berdasarkan
rumusan masalahnya. Tujuan penulisan dicapai melalui serangkaian
metodologi penulisan (Subana dan Sudrajat, 2001: 71). Tujuan penulisan
diperlukan guna memberikan arahan dalam melangkah pada waktu penulisan.
Adapun tujuan dari dilakukannya penulisan ini antara lain sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan orang tua menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. Untuk mengetahui hak waris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
2. Tujuan Subyektif
a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun
penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam

^SL,
meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret;
b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai aspek
hukum di dalam teori maupun praktek pada lapan gan hukum.
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini yaitu sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penulisan ini dapat memberikan kegunaan guna pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum
perdata;
b. Memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diteliti oleh penulis;
c. Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penulisan lain yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir penulis sehingga dapat mengetahui kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu hukum yang dipelajari;

b. Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pihakpihak yang terkait dan terlibat dalam penanganan perkara waris;
c. Dapat memperluas cakrawala berpikir dan pandangan bagi civitas akademika Universitas Sebelas
Maret Surakarta, khususnya mahasiswa fakultas hukum yang menerapkan penulisan hukum ini.
E. METODE PENULISAN
Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan
tertentu untuk mencapai tujuan, artinya penulis tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang
diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan
dan tidak terkendalikan. Oleh karena itu metode ilmiah timbul dengan membatasi secara tegas bahasa
yang dipakai oleh ilmu tertentu (Johnny Ibrahim, 2005:294).
1. Jenis penulisan
Jenis penulisan hukum ini adalah jenis penulisan hukum normatif atau penulisan hukum doktrinal.
Penulisan hukum normatif adalah suatu prosedur penulisan ilmiah untuk menemukan pendapat
berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan ilmu hukum itu sendiri sebagai objeknya, dalam hal ini
yaitu peraturan-peraturan hukum (Johnny Ibrahim, 2006:57). Penulis memilih penulisan hukum normatif
dikarenakan sesuai dengan objek kajian dan isu hukum yang diangkat dan dianalisis melalui peraturan
hukum yang terkait dengan isu.
2. Sifat Penulisan
Sifat penulisan hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri yakni ilmu hukum yang bersifat
preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum , nilai-nilai
keadilan, validitas aturancchukum? koffsep-konsep hukum, dan norma

norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22). Penulisan hukum ini bersifat preskriptif karena
berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai
preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dalam penulisan hukum ini penulis
menjawab isu hukum hak waris atas anak bayi tabung menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan konsep anak bayi tabung sebagai anak sah dalam hubungan hukum dengan perkawinan menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2008: 93).
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam satu penulisan normatif akan memungkinkan seseorang
penulis untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk
kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu
normatif. Dalam kaitannya dengan penulisan normatif dapat digunakan beberapa pendekatan berikut:
pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach),
pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), pendekatan kasus (case
approach) (Johnny Ibrahim, 2005:300).
Dalam penulisan hukum ini, Penulis akan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan
dengan menelaah semua Undang-Undang dan peraturan yang

bersangkut paut dan isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 93). Isu hukum yang diangkat oleh
penulis dalam penulisan hukum ini yaitu mengenai hak mewaris dari anak bayi tabung menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang mana berkaitan dengan kedudukan hukum anak bayi tabung,
sehingga penulis meninjau perundang-undangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai
hukum warisnya, Undnag-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penulisan ini juga menggunakan pendekatan konsep dengan salah satu
fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan
praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu (Johnny Ibrahim, 2005: 306).
Penulisan ini menggunakan pendekatan konsep dengan alasan di dalam hukum positif Indonesia belum
ada suatu peraturan perundangan yang mengatur mengenai status dan kedudukan hukum atas anak hasil
bayi tabung yang dikategorikan dalam anak sah atau anak tidak sah.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penulisan yang berupa bahanbahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
autoritatif yang artinya bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan
dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan,
catatan resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamuskamus hukum,jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud
Marzuki, 2008: 141).
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sumber data sekunder yaitu sumber data yang
diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2ya*tur: to user

a. Bahan Hukum Primer


Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Meliputi peraturan
perundang-undangan dalam hal ini:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
b. Bahan Hukum Sekunder
Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer meliputi:
1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum;
2) Buku-buku ilmiah di bidang kedokteran;
3) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana;
4) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia;
5) Jurnal-jurnal hukum;
6) Literatur dan hasil penulisan lainnya.
c. Bah an Hukum Tersier

c. Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan hukum sekunder, misalnya; bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif
dan sebagainya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data dalam suatu penulisan merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik
pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini adalah menggunakan teknik studi pustaka atau
"collecting by library" yang mana menurut Lexy.J.Moleong (2005: 216-217) teknik ini untuk
mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan. Dalam penulisan ini teknik pengumpulan bahan
hukum dilakukan dengan jalan membaca perundang-undangalff^sepertlr Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan, serta Peraturan Menteri Kesehatan No.72/Menkes/Per/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, selain itu pengumpulan bahan hukum dengan
mempelajari literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang
dalam penulisan ini.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penulisan normatif menggunakan teknik analisis dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan
menggunakan pola pikir induktif. Silogisme dengan teknik analisis induksi yaitu proses analisis bermula
dari penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan khusus yang
diteliti. Penulisan hukum ini juga menggunakan interpretasi berdasarkan Undang-Undang, interpretasi
berdasarkan Undang-Undang yaitu merupakan suatu "interpretasi berdasarkan pada kata-kata yang
terdapat dalam undang-undang. Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat
mengenai makna yang dimaksud dalam undang-undang tersebut nantinya tidak mengandung multitafsir
atau arti yang bermacam-macam" (Peter Mahmud Marzuki, 2008:112).
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah, maka penulis
menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4
(empat) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini yaitu
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan hukum yang digunakan untuk
memberikan pemahaman terhadap isi dari penulisan ini secara garis besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan isu hukum yang diteliti yang memberikan
landasan teori terhadap penulisan hukum. Pada bab ini akan dibahas mengenai kerangka teori dan
kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang Undang-Undang No 1 tahun
1974; tinjuan umum tentang perkawinan di Indonesia; tinjauan umum tentang hukum waris di Indonesia;
tinjauan umum tentang anak, tinjauan umum tentang bayi tabung; dasar hukum, status, dan kedudukan
atas anak bayi tabung terhadap harta warisan; dan tinjauan umum tentang penafsiran hukum.
harta wari
entang lan
Kerangka pemikiran berisi tentang landasan berpikir penulis terhadap permasalahan yang diteliti untuk
mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut.
BAB III HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas sekaligus menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya,
yaitu mengenai kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan orang tua berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hak mewaris atas anak bayi tabung dalam
pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dan saran penulis atas pembahasan setelah melakukan
penulisan atau penulisan hukum ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan ditandatangani Presiden Republik
Indonesia Jenderal TNI Soeharto di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 dan hari itu juga diundangkan
yang ditandatangani Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, Mayor Jenderal TNI Sudarmono,
S.H., serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 no. 1 dan penjelasannya
dimuat dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia no. 3019 (Hilman Hadikusuma, 2003:4).
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan antara lain dinyatakan bahwa:
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang perkawinan
Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi barbagai golongan dalam masyarakat.
Diberlakukannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berarti bahwa keanekaragaman
hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga Negara
dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Namaun demikian ketentuan hukum
perkawinan sebelumnya masih tetap berlaku selama belum diatur sendiri oleh Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Rachmadi Usman, 2006:230).
Peraturan perundangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memuat kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai
peraturan pelaksananya. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berfungsi sebagai paying
hukum dan sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi
semua warga Negara di Indonesia (Rachmadi Usman, 2006:245).
Menurut Racmadi Usman (2006:247) kandungan materi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur persoalanp1)e rsMoaellaent apkokkaonk kyeariatun:g ka dan prinsip dasar pengaturan perkawinan yang
1) Meletakkan kerangka dan prinsip dasar pengaturan perkawinan yang
meliputi pengertian, tujuan dan dasar perkawinan, kesahan dan
pencatatan perkawinan, serta asas monogami dan poligami sebagai pengecualian (syarat-syarat dan alasan
berpoligami), diatur dalam
Pasal 1-5;
2) Syarat-syarat perkawinan, larangan perkawinan, waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya dan pelaksanaan perkawinan, diatur dalam Pasal 6-12;
3) Mengatur perkawinan yang dapat dicegah, pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan
perkawinan, dan penolakan perkawinan pencatat perkawinan, diatur dalam Pasal 13-21;
4) Pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, tempat
mengajukan pembatalan perkawinan, saat mulai berlakunya batalnya suatu perkawinan dan keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap beberapa hal, diatur dalam Pasal 22-28;
5) Kemungkinan mengadakan perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilansungkan,
diatur dalam Pasal 29;

6) Mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga , diatur dalam Pasal 30-35;
7) Pengaturan mengenai harta bersama dan status penguasaan harta bawaan, tanggung jawab suami istri
terhadap harta bersama maupun harta bawaan, dan pengaturan penyelesaian harta bersama bila
perkawinan putus karena perceraian, diatur dalam Pasal 35-37;
8) Mengatur mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan, tempat mengajukan permohonan atau gugatan
perceraian dan alasan-alasan perceraian, dan akibat-akibat hukumnya, diatur dalam Pasal 38-41;
9) Hal menyangkut pengerian anak sah dan anak tidak sah, hubungan nasab anak serta hak suami untuk
mengingkari sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, diatur dalam Pasal 42-44;
10) Hal -hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak dalam rumah tangga, kekuasaan orang tua terhadap anak, dan
pencabutan kekuasaan orang tua, diatur dalam ada Pasal 45-49;
11) Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian anak, penunjukan wali, kewajiban-kewajiban dan tanggung
jawab wali, dan pencabutan kekuasaan wali, diatur dalam Pasal 50-54;
12) Pembuktian dan penetapan asal usul seorang anak, diatur dalam Pasal
55;
13) Perkawinan di luar Indonesia, diatur dalam Pasal 56;
14) Pengertian perkawinan campuran, akibat hukum perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan
suami dan istri, syarat-syarat perkawinan campuran, sanksi pelanggaran ketentuan perkawinan campuran
dan kedudukan anak dalam perkawinan campuran, diatur dalam Pasal 5762;
15) Kewenangan pengadilan dalam hubungan dengan perkawinan, diatur dalam pasal 63;
16) Ketentuan yang berhubungan peralihan berlakunya Undang-Undang No 1 tahun 1974, yaitu
pernyataan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No 1 tahun 1974 berlaku dan
dijalankan

menurut peraturan yang lama serta poligami yang dilakukan berdasarkan hukum lama manapun, diatur
dalam Pasal 65;
17) Ketentuan pernyataan tidak berlakunya ketntuan-ketentuan hukum perkawinan yang lama dan
pernyataan mulai berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974, diatur dalam Pasal 66-67.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut
asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal;
2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu;
3) Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan;
4) Perkawinan berasas monogami;
5) Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan;
6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun;
7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka siding pengadilan;
8) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang (Hilman Hadikusuma,
2003:6).
b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan di Indonesia
Perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam titel buku IV Pasal 26 dan
seterusnya. Setelah berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beserta peraturan
pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 perkawinan yang diatur dalam buku I Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sebagian besar sudah tidak berlaku lagi. Hal ini diatur pada Pasal 66
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Cristen Indonesiers St. 1993 Nomor 74), Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken

St. 1898 Nomor 198), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dari
dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku (Kussunaryatun, 2011:31).
Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batn antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Mark Kammack menjelaskan ada dua tujuan dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu :
1) Untuk mengurangi frekuensi perkawinan, perceraian dan perkawinan dibawah tangan;
2) Untuk menyeragamkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia sebagai
bagian program persatuan Indonesia dibawah Ideologi Negara Pancasila (Baharuddin Ahmad 2008:51).
Legalitas perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
terkait dengan sahnya perkawinan yang dilakukan di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi perkawinan adalah sah, apabila dailakukan menurut h ukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) secara tegas
dikatakan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan agama. Sedangkan pencatataan
merupakan aspek administratif demi ketertiban sebagai warga Negara (Mudiarti Trisnaningsih 2007:5556).
Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
adalah pertalian yang sah antara laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Undang-Undang memandang perkawinan hanya dari
hubungan keperdataan (Pasal 26 Burgerlijk Wetboek).
c. Tinjauan Umum Hukum Waris di Indonesia
Di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga hukum waris, yaitu hukum waris
perdata, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris masih tergantung pada
hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia atau pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah hukum waris adat, sedangkan jika
pewaris termasuk golongan Eropa atau Timur Asing Cina, berlaku hukum waris Barat. Jika pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam maka mempergunakan peraturan hukum
waris berdasarkan hukum waris Islam. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing Arab atau
India, maka berlaku hukum adat masing-masing penduduk Timur Asing Arab
maupun India (Eman Suparman, 1991:7).
Dalam penulisan hukum ini, penulis akan meneliti tentang anak
dengan proses bayi tabung sebagai ahli waris dalam perspektif hukum
perdata sehingga pembahasan terfokus pada hukum waris berdasarkan
Hukum Perdata di Indonesia. Hukum waris ini merupakan bagian dari
hukum perdata dimana menurut Salim HS dalam buku yang dikutip oleh
Titik Triwulan Tutik (2006:212) bahwa:
Hukum Perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis)
yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Menurut Idris Ramulya yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:1), bahwa:
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian
terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat
hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah
masalah bagaimana kepengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.

Istilah waris sendiri berarti "orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah
meninggal" (Eman Suparman, 1991:2). Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya
(Effendi Perangin, 2005:3).
Definisi hukum waris menurut Pitlo yang dikutip oleh Eman
Suparman (1991:21):
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya
seseorang, yaitu mengenai peminahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Kekayaan yang dimaksud dalam
rumusan Pitlo adalah mengenai
sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pewarisan baru akan terjadi jika
terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:
1) ada seseorang yang meninggal dunia;
2) ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris
meninggal dunia;
3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris (Eman Suparman, 1991:21).
Berdasarkan Pasal 830 disebutkan bahwa "Pewarisan hanya berlangsung karena kematian". Terdapat dua
cara untuk mendapat suatu pewarisan menurut Undang-Undang yaitu:
1) Secara ab intestato (ahli waris menurut Undang-Undang);
2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat
dalam Pasal 899).
Dalam penulisan ini penulis akan membahas tentang ahli waris
mengenai anak sebagai ahli waris ab intestato atau ahli waris menurut
Undang-Undang. Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terdiri atas 4 (empat) golongan, yaitu:
Ahli waris golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu yang masih hidup, ayah atau ibu yang salah satunya
telah meninggal dan saudara
1) Golongan pertama
Ahli waris golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anakanak serta sekalian keturunan anak-anak. Ahli waris golongan pertama diatur dalam 852, 852 a Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai
anak hanya mengatur tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Tentang
anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi dalam hal ini
tidak ada pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung.
2) Golongan kedua
Ahli waris golongan kedua
idup
serta keturunan saudara. Ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856, dan 857 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Golongan ketiga
Ahli waris golongan ketiga terdiri atas kakek nenek garis ibu dan kakek nenek garis ayah. Menurut Pasal
853 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan
maupun suami atau istri maupun saudara, maka harta warisan dikloving (dibagi dua), satu bagian untuk
sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus keatas dan satu bagian lainnya untuk sekalian keluarga
sedarah dalam garis ibu lurus keatas.
4) Golongan keempat
Ahli waris golongan keempat terdiri atas sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat
keenam dan derajat ketujuh karena penggantian tempat (Anisitus Amanat, 2001:7).
d. Tinjauan Umum tentang Anak

Dalam lingkungan hukum Perdata Indonesia, anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan
yang terpenting dan yang utama.

Menurut Dr. Wirjono dalam buku Hukum Waris di Indonesia yang dikutip oleh Soedharyo Soimin
(2002:31) menyebutkan bahwa "oleh karena mereka (anak-anak) pada hakikatnya merupakan satusatunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan
meninggalkan anak-anak". Pengertian anak dalam tata hukum negara Indonesia antara lain:
1) Pasal 250 KUHPerdata
Anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
2) Pasal 42 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
3) Pasal 280 dan 862 KUHPerdata dan Pasal 43 Undang-Undang No. 1
tahun 1974)
Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah
atau ibunya. Anak luar kawin berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind.
Menurut sistem yang dianut Burgerlijk Wetboek dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum
terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tua. Setelah ada pengakuan, baru terbitlah
suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibat dari pertalian kekeluargaan tersebut (terutama
hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof Subekti yang
dikutip oleh
Soedharyo Soimin (2004:40).
Fenomena yang ada mengenai perkawinan bahwa adanya perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut
hukum adat atau perkawinan-perkawinan yang tidak dicatat menurut ketentuan Undang-Undang
Perkawinan. Dengan tidak dilangsungkannya perkawinan menurut ketentuan hukum yang berlaku
mengakibatkan anak-anak

yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebut berstatus sebagai anak luar kawin.
Sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 280 dan 862) anak luar kawin hanya
mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang mengakui dan hanya berhak mewaris dari orang tua
yang mengakui tersebut. Sehingga sepanjang tidak terdapat pengakuan anak luar kawin oleh ayah dan
atau ibu maka anak luar kawin tersebut tidak berhak mewaris dari orang tuanya.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 menentukan bahwa anak luar kawin
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu dari anak luar kawin. Berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan maka seorang anak luar kawin mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu dan juga berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibu.
orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang
lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala
Negara. Dalam hal ini Presiden harus meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pengakuan anak
tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di hadapan Pencatatan Sipil
dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut atau dalam akta perkawinan orang tua atau dalam surat
akta tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris
(Soedharyo Soimin, 2006 :40).
Ditinjau dari Hukum Perdata akan terlihat adanya tiga tingkatan status hukum dari anak di luar
perkawinan yaitu:
a) Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu-bapak dari anak luar kawin itu;
b) Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tua dari anak luar kawin
tersebut;
pengakuan anak luar kawin bahwa jika kedua

c) Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tua melangsungkan
perkawinan yang sah (Soedharyo Soimin, 2006:40-41).
Mengenai pengesahan anak luar kawin menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000:
188-189) adalah status upaya hukum (rechtmiddel) untuk memberikan suatu kedudukan (status) sebagai
anak sah melalui perkawinna yang dilakukan orang tuanya. Pengesahan dapat dilakukan melalui
perkawinan orang tua anak yang bersangkutan atau dengan surat-surat pengesahan berdasarkan
pengakuan terlebih dahulu oleh orang tua yang bersangkutan. Pengesahan hanya dapat terjadi oleh:
a) Karena perkawinan orang tuanya (Pasal 272 BW);
Pasal 272 BW menyatakan anak-anak yang dibenihkan diluar perkawinan akan menjadi anak sah jika:
(1) Orang tua melangsungkan perkawinan; /
(2) Sebelum orang tua melangsungkan perkawinan terlebih dahulu telah mengakui anaknya atau
pengakuan tersebut dilakukan dalam akta perkawinan.
b) Adanya surat-surat pengesahan (Pasal 274 BW).
Pengesahan dengan surat-surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal yaitu:
(1) Jika orang tuanya lalai untuk mengakui anak-anaknya sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada
saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 274 BW); atau
(2) Jika terdapat masalah hubungan intergentil (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, 2000:
188-189).
e. Tinjauan Hukum tentang Bayi Tabung
Berdasarkan P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards dalam buku Birth After Reimplantation of Human
Embryo yang dikutip oleh Salim HS (1993:6) bahwa:

Proses bayi tabung pertama kali berhasil dilakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards atas
pasangan suami istri John Brown dan Leslie. Sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasangan
suami istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istrinya, sehingga pada tanggal 25
Juli 1978 lahirlah bayi tabung yang pertama yang bernama Louise Brown di Oldham Inggris dengan berat
badan 2.700 gram.
Momentum awal penemuan bayi tabung di Indonesia pada tanggal 2 Mei 1988 dengan lahirnya bayi
tabung bernama Nugroho Karyanto,
hasil dari pasangan suami istri Markus dan Chai Lian yang mana sperma dan ovum yang digunakan
berasal dari Markus dan Chai Lian dan embrio ditanamkan kembali ke rahim istri. Anak bayi tabung
Nugroho Karyanto merupakan hasil karya dari Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta
(Salim HS, 1993:19).
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo
ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pusat pelayanan program bayi tabung di Indonesia, maka
jenis bayi tabung yang dikembangkan di RSAB Harapan Kita Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto
Mangunkusumo adalah jeni bayi tabung yang sperma dan sel telurnya diambil dari pasangan suami istri
yang sah dan embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang menanamkan benih tersebut. Hal
demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekarang
diberlakukan dengan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Salim HS,
1993:19).
Menurut John David Gordon dan Michael DiMattina (2011:98) bahwa bayi tabung atau in vitro
fertilization secara harfiah berarti "pembuahan telur dengan sperma dalam kaca" yang diterjemahkan
menjadi pembuahan di luar tubuh di dalam laboratorium. Menurut Hanifa Wiknjosastro (1999:497),
Fertilitas ialah kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami
yang mampu menghasilkan istri. Fertilitas merupakan fungsi satu pasangan yang sanggup menjadikan
kehamilan dan kelahiran anak hidup. Pada beberapa

pasangan suami istri, ada yang mengalami berbagai macam faktor dan kelainan sistem reproduksi
(infertilisasi) yang mungkin dimiliki sehingga pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilisasi
dapat mengalami pencegahan atau hambatan untuk memiliki keturunan.
Teknologi reproduksi buatan atau program bayi tabung merupakan bagian dari pengobatan infertilitas.
Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau kondisi sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada
dasarnya mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi dari sakit
maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk
bereproduksi. Teknologi reproduksi buatan dalam program bayi tabung digunakan untuk mengatasi
infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan dilakukan maka teknik
reproduksi buatan dapat diterapkan. 5jjj(http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologireproduksi-buatan/> [29 November 2011 pukul 09:45 WIB]).
Berdasarkan Hanifa Wiknjosastro (1999:497), disebutkan bahwa
infertilisasi memiliki dua jenis, yakni:
Disebut infertilisasi primer apabila istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan
kepada kemunginan kehamilan selama 12 bulan. Infertilisasi sekunder terjadi apabila istri pernah amil,
akan tetai kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada
kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.
Bayi tabung itu sendiri di dalam istilah kedokteran dikenal dengan Fertilisasi In Vitro atau In Vitro
Fertilization. Menurut John David Gordon, Michael DiMattina (2011:98) bahwa "IVF secara harfiah
berarti pembuahan telur dengan sperma kaca yang diterjemahkan jadi pembuahan di luar tubuh di dalam
laboratorium".
Di Indonesia, salah satu program bayi tabung juga dilakukan oleh pasangan Inul Daratista dan Adam.
Pasangan suami istri Inul Daratista dan Adam berhasil menjalani program bayi tabung di Rumah Sakit
Siloam Surabaya dan melahirka%anak>hasiUprogram bayi tabung yang diberi

nama Yusuf Ivander Damares di Rumah Sakit Medistra Jakarta pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2009
pukul 21.29 WIB (http://showbiz.liputan6. com/read/230068/bayi-rp-400-juta-inul-daratista-lahir, [12
September 2011 pukul 12:17 WIB])
Program bayi tabung dilakukan dengan berbagai alasan yang menjadi sebab serta syarat
diperbolehkannya pelayanan program bayi tabung. Teknik Bayi Tabung diperuntukkan bagi pasangan
suami istri yang mengalami masalah infertilitas. Pasien Bayi Tabung umumnya wanita yang menderita
kelainan sebagai berikut :
1. kerusakan pada saluran telurnya;
2. lendir rahim istri yang tidak normal;
3. adanya gangguan kekebalan dimana terdapat zat anti terhadap sperma di tubuh istri;
4. tidak hamil juga setelah dilakukan bedah saluran telur atau seteleh dilakukan pengobatan
endometriosis; m
5. sindroma LUV (Luteinized Unruptured Follicle) atau tidak pecahnya gelembung cairan yang berisi sel
telur; dan
6. sebab-sebab lainnya yang belum diketahui.
Sedangkan alasan yang menjadi sebab pada suami untuk menjalankan program bayi tabung, teknik ini
diperuntukkan bagi pasien pria atau suami yang pada umumnya memiliki kelainan mutu sperma yang
kurang baik, seperti oligospermia atau jumlah sperma yang sangat sedikit sehingga secara alamiah sulit
diharapkan terjadinya pembuahan (http://pendidikanagamaislam07.blogspot.com/2009/12/setatus-anakzina-anak-angkat-bayi.html, [5 September 2011 pukul 01:54 WIB]).
Dewasa ini ilmu kedokteran berupaya untuk mengatasi setiap
penyebab yang menghalangi impian pasangan suami istri dalam memiliki
keturunan. Salah satu hasil kerja keras yang didapat para ahli dan penulis
kedokteran yang menjadi andalan dalam rangka mengatasi masalah
infertilisasi pada pasangan suami istri adalah Fertilisasi In Vitro (FIV).
Wiryawan Permadi (2008:1) istilah "bayi tabung" atau yang dikenal masyarakat, pada dasarnya mengacu
pada proses Fertilisasi In Vitro (FIV) dalam dunia kedokteran. Fertilisasi berarti pembuahan sel telur
wanita ole spermatozoa pria, sedangkan In Vitro berarti di luar tubuh. Sehingga Fertilisasi In Vitro berarti
proses pembuahan sel telur wanita oleh spermatozoa pria (bagian dari proses reproduksi manusia), yang
terjadi di luar tubuh.
Latar belakang dilakukan proses bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro dibagi menjadi dua bagian:
1) Faktor Pria
a) Gangguan pada saluran keluar spermatozoa;
b) Kelumpuhan fisik yang menyebabkan pria tidak mampu melakukan hubungan seksual seperti
kelumpuhan tubuh bagian pinggang ke bawah setelah terjadinya kecelakaan;
c) Sangat terbatasnya jumlah spermatozoa yang mampu membuahi sel telur (yang mengalami bentuk tubu
spermatozoa normal dan bergerak secara aktif);
d) Hal lain yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah.
2) Faktor Wanita
a) Gangguan pada saluran reproduksi wanita seperti pada perlengketan atau sumbatan tuba;
b) Adanya antibody abnormal pada saluran reproduksi wanita, sehingga menyebabkan spermatozoa pria
yang masuk ke dalam saluran reproduksi wanita tidak mampu bertahan hidup;
c) Hal lain yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah (Wiryawan Permadi, 2008:4).
Proses bayi tabung yang dilakukan yaitu pertama dilakukan pengumpulan atau pengambilan spermatozoa
dan sel telur yang telah matang dari organ reproduksi pria dan wanita yang hendak memiliki anak, dalam
hal ini pasangan suami istri yang sah. Kedua, spermatozoa dan sel telur yang memiliki kualitas baik
ditempatkan dalam sebuah cawan

khusus, berisi cairan yang serupa dengan cairan dalam saluran reproduksi wanita. Dengan cara demikian,
fertilisasi dapat berlangsung layaknya dalam saluran reproduksi wanita, yang karena suatu penyebab tidak
dapat berlangsung secara spontan pada pasangan suami istri yang bersangkutan. Kelanjutan proses setelah
terciptanya embrio sebagai hasil dari sel telur yang dibuahi oleh spermatozoa pada kehamilan spontan
(tanpa bantuan teknologi kedokteran) dan kehamilan dengan Fertilisasi In Vitro adalah sama yakni
embrio yang terbentuk akan tertanam dalam dinding rahim (istilah kedokteran : Implantasi). Jika tidak
terdapat gangguan, proses bayi
Setiap upaya untuk mencapai keberhasilan selalu memiliki resiko akan terjadinya kegagalan, seperti pada
hal proses bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro. Berdasarkan waktu terjadinya maka resiko proses
pelaksanaan bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro terdiri dari: 1) Resiko saat pelaksanaan tahap-tahap
fertilisasi in vitro
a) Sindrom Hiperstimulasi Ovarium
Pada tahap awal fertilisasi in vitro, ovarium istri dirangsang untuk memproduksi sel telur matang dalam
jumlah yang lebih banyak dibandingkan siklus reproduksi normal. Sekitar 5% dari wanita yang
mengalami stimulasi ovarium terjadi kelainan yang disebut syndrome hiperstimulasi ovarium dengan
gejala seperti perut mual, diare, kenaikan berat badan, warna utin lebih gelap, nyeri dada, serta dinding
perut menjadi tegang.
b) Resiko kegagalan embrio untuk tumbuh di laboratorium, hingga siap ditanamkan kembali ke dalam
rahim
Meskipun tata laksana proses Fertilisasi In Vitro dilakukan dengan baik akan tetapi masih ada
kemungkinan akan gagalnya pertumbuhan embrio di laboratorium yang penyebab kegagalannya belum
diketahui.
tabung atau Fertilisasi In Vitro akan terus berlangsung hingga lahirnya seorang bayi (Wiryawan Permadi,
2008:6).
c) Resiko kegagalan embrio untuk menanamkan diri dalam dinding rahim, setelah dilakukan transfer
embrio
Setelah dokter menempatkan embrio yang dihasilkan dari fertilisasi sel telur oleh spermatozoa di
laboratorium ke raim istri, maka kelanjutan hubungan antara embrio dan dinding rahim bergantung pada
embrio dan rahim istri. 2) Resiko kegagalan embrio untuk tumbuh di laboratorium, hingga ditanamkan
kembali ke dalam rahim
a) Resiko keguguraff

Keguguran berarti keluarnya buah kehamilan secara spontan (tanpa penyebab yang jelas), sebelum usia
kehamilan mencapai 20 minggu, atau sebelum bayi dapat hidup di luar kandungan (Wiryawan Permadi,
2008:52-57).
b) Resiko kehamilan lebih dari 1 janin/kembar
1 Menurut pendapat dari David Orentlicher (2010: 2, Vol 40, No 3) bahwa, any multiple birth raises
health risks. Among twins, more than 60% are born prematurely; among triplets or other multiples, more
than 95 % are premature. IVF twins, triplets, and other multiples are more likely than singletons to
require neonatal intensive care, to develop cognitive and physical disabilities, and to die. kehamilan lebih
dari satu dalam fertilisasi in vitro sangat rawan sekali dalam kesehatan, dapat membahayakan kesehatan
bahkan dampak yang terjadi dapat berupa kematian.
f. Dasar Hukum, Status, dan Kedudukan atas Anak Bayi Tabung terhadap Harta Warisan
Adanya alih teknologi dari luar negeri ke dalam negeri di bidang kedokteran yang menghasilkan program
bayi tabung yang akan diterapkan sesuai dengan budaya dan hukum di Indonesia. Dasar hukum yang
digunakan telah dipertegas dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang UndangUndang Kesehatan yang berbunyi:

(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah
dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c.
u; dan
nan keseha
pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut pandangan dari Sudikno Mertokusumo (Salim HS,
1993:77):
Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan bayi tabung, sepasang suami istri yang tidak
mempunyai anak dan menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh bayi tabung
daripada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan kesadaran). Kedudukan yuridis
bayi tabung pun seperti halnya anak angkat, yaitu "menggantikan" atau sama dengan anak kandung. Jadi
anak yang dilahirkan melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Ia berhak
atas pemeliharaan, pendidikan dan warisan dari orang tuanya.
Di Indonesia belum ada pengaturan mengenai bayi tabung secara spesifik, akan tetapi sudah ada suatu
persyaratan umum untuk dilakukannya proses bayi tabung sesuai dengan Pasal 127 Undang-Undang No
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu yang berhak untuk melakukan program bayi tabung di Indonesia
yakni suami istri dari perkawinan yang sah dan ditanamkan pada rahim si istri yang bersangkutan.
g. Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum
Penafsiran (interpretasi) menurut Soedjono Dirjosisworo yang
dikutip oleh Ishaq (2008:254) adalah "menentukan arti atau makna suatu
teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya". Berdasarkan pendapat dari

R. Soeroso dalam buku Ishaq (2008:254) menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi ialah mencari
dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang
dikehendaki serta dimaksud oleh pembuatan undang-undang.
Tujuan perbuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti sebenarnya dari
putusan kehendak pembuat undang-undang, yaitu seperti tertulis di dalam rumusan dari ketentuan pidana
di dalam undang-undang. hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan pidana dengan setepattepatnya, yakni apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumusan mengenai ketentuan pidana tersebut.
Dalam praktik penggunaan undang-undang sehari-hari, tidak selalu ditemukan pengertian dari suatu
istilah terdapat dalam suatu perumusan undang-undang yang sedang dihadapi. Akan tetapi, bagaimanapun
juga harus ditemukan tafsir atau pengertiannya. Adapun mengenai macam-macam penafsiran antara lain:
1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammatical interpretative), yaitu memberikan arti kepada suatu
istilah atau perkataan sesuai dengan tata
bahasa;
2) Penafsiran secara sistematis, yaitu apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu
pasal, atau pada undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula;
3) Penafsiran mempertentangkan (argentums acontrario), yaitu menemukan kebalikan dari pengertian
suatu istilah yang sedang dihadapi;
4) Penafsiran memperluas (extensieve interpretative), yaitu memperluas pengertian dari suatu istilah
berbeda dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. Contohnya aliran listrik ditafsirkan sebagai
benda;
5) Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretative), yaitu
mempersempit pengertian dari suatu istilah. contoh Kerugian
ditafsirkan tidak termasuk kerugian yang "tidak terwujud", seperti sakit, cacat, dan sebagainya;
6) Penafsiran historis (rects/wets-istoris), yaitu mempelajari sejarah yang berkaitan atau mempelajari
pembuatan undang-undang yang bersangkutan akan ditemukan pengertian dari suatu istilah sedang
dihadapi. Contoh: Seseorang yang melanggar hukum atau melakukan tindak pidana dihukum denda Rp
250,00 denda sebesar itu jika ditetapkan saat ini jelas tidak sesuai, maka harus ditafsirkan sesuai dengan
keadaan harga saat ini;
7) Penafsiran theologies, yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan undang-undang.
Misalnya tujuan dari pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Undang-undang No 16
Pnps Tahun 1963, ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu
perkara khusus;
8) Penafsiran logis, yaitu mencari pengertian dari suatu istilah atau
ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk di akal. Cara ini tidak banyak dipergunakan; 9) Penafsiran
analogi, yaitu memperluas pengertian atau cakupan dari
ketentuan undang-undang.
10) Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan
perbandingan hukum, agar dapat ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang;
11) Penafsiran futuristis, yaitu penafsiran dengan penjelasan undang-undang dengan berpedoman pada
undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang (Ishaq,
2008:255-256).
Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo (2005:157), beberapa
macam penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu:
1) Penafsiran gramatikal atau konteks, dengan cara mempelajari dan
menggunakan hubungan kalimat;
2) Penafsiran sistematis, konteks, dengan cara mempelajari sistem dan rumusan undang-undang, yang
meliputi:
a) Penalaran analogi dan penalaran a kontrario. Penggunaan a kontrario yaitu memastikan sesuatu yang
tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan
berlakunya kaidah undang-undang;

b) Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah yang terdahulu secara logis tak ada
perbedaan);
c) Penghalusan hukum atau rechsverfijning atau pengkhususan berlakunya undang-undang.
3) Penafsiran historis dengan cara mempelajari:
a) Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP dan BW;
b) Sejarah undang-undang, konteks, penjelasan-penjelasan dari pembentuk undang-undang pada
pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
4) Penafsiran teleologis, konteks, dengan cara pergaulan sosial.
Menurut Soeroso (2007:97) bahwa penafsiran hukum dapat dilakukan dengan cara:
1) Dalam pengertian subjektif dan objektif
Penggunaan cara penafsiran secara subjektif apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang, sedangkan pengertian objektif digunakan apabila penafsirannya lepas dari pendapat
pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sendiri;
2) Dalam pengertian sempit dan luas
Dalam pengertian sempit (restriktif) yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat
dibatasi sedangkan dalam pengertian secara luas (ekstensif) yaitu apabila dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian seluas-luasnya.

Selanjutnya menurut Soeroso (2007:98), dilihat dari sumbernya penafsiran hukum dapat bersifat:
1) Otentik, ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang dilampirkan
pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik mengikat umum;
2) Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain hasil karya para
ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis;
3) Hakim, penafsiran yang bersumber pada pendapat dan pertimbangan hakim dalam peradilan yang
hanya mengikat pihak-pihak yang
Dalam penulisan hukum ini, penulis akan menggunakan penafsiran gramatikal atau konteks, penafsiran
hukum sistematis, dan penafsiran analitik. Penggunaan penafsiran hukum gramatikal atau konteks dalam
penulisan ini dengan alasan bahwa penulisan hukum ini perlu menggunakan penafsiran menurut tata
bahasa atau kata-kata dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penulisan hukum ini.
Penafsiran gramatikal ini digunakan dengan mempelajari dan menggunakan hubungan kalimat yang
terdapat ada pasal-pasal yang diperlukan untuk penulisan ini baik dalam Undang-Undang No 1 Tahun
1974 beserta peraturan pelaksanaannya seperti pasal yang berkaitan dengan sahnya suatu perkawinan atau
pencatatan perkawinan di Indonesia, selain itu pada Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan seperti pada pasal yang mengatur mengenai kehamilan diluar cara alami. Penafsiran secara
gramatikal juga akan digunakan dalam memelajari tata bahasa pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengenai pengaturan tentang hukum warisnya.
Sedangkan penafsiran hukum secara sistematis digunakan apabila suatu istilah atau perkataan
dicantumkan dua kali dalam satu pasal atau pada undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula.
Selain itu,
bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (Pasal 1917 ayat
(1) KUHPerdata).

penafsiran sistematis itu memiliki arti bahwa suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu
dengan yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada peundang-undangan
hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan sehingga dapat dimengerti apa yang
dimaksud (Soeroso, 2007:102). Pada Undang-Undang Perkawinan, bahwa yang dimaksud perkawinan
dalam beberapa pasal pengertian dan maknanya sama, selain itu mengenai hal pencatatan perkawinan
mengandung arti yang sama pula dalam undang-undang perkawinan dan juga dalam peraturan pelaksana
dari undang-undang perkawinan itu.
Penafsiran selanjutnya yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu penafsiran analogi dengan cara
memperluas pengertian atau cakupan dari ketentuan undang-undang. Penafsiran analogi ini diterapkan
dengan cara memperluas pengertian dan maksud dari anak sah yang diatur dalam Pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan pada Pasal 42 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perluasan pengertian dan cakupan dari anak sah tersebut selanjutnya dihubungakan dengan
pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung atau kehamilan diluar cara alami yang termuat
dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sifat penulisan hukum ini
bersifat doktinair dimana penafsiran yang dilakukan menggunakan buku-buku dan literatur lain hasil
karya para ahli sehingga penafsiran ini mempunyai penafsiran teoritis.
2. Kerangka Pemikiran
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Hukum Waris)

Keterangan:
Kerangka pemikiran penulisan hukum ini berdasarkan atas kedudukan hukum anak bayi tabung dalam
hubungan hukum perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
selanjutnya menyangkut tentang hak mewaris atas anak bayi tabung menurut hukum perdata di Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada penelitan hukum ini meninjau pasal-pasal yang berkaitan
dengan hukum warisnya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu sumber hukum perdata
yang memuat mengenai pengaturan tentang perkawinan dengan ketentuan pada pasal-pasal yang masih
berlaku. Mengenai perkawinan diatur selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang sebagai Undang-Undang Perkawinan nasional lebih menitikberatkan

pada perkawinan sah. Tujuan dari perkawinan yaitu memperoleh kebahagiaan dan kekal atas dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa serta bertujuan untuk memiliki keturunan atau anak. Perkawinan yang sah
menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut menghasilkan anak yang sah
pula menurut hukum. Tujuan perkawinan erat sekali dengan hal memiliki anak sebagi penerus keturunan.
Namun ada beberapa pasangan suami istri di Indonesia yang tidak dapat memiliki keturunan atau anak
karena suatu hal seperti kelainan alat reproduksi dan juga faktor usia. Ketidakmampuan untuk memiliki
keturunan atau anak menjadi suatu permasalahan yang sering timbul dalam keluarga.
Perkembangan zaman yang semakin canggih menuntut para ahli dan kedokteran untuk memecahkan
permasalahan pasangan suami istri yang tidak mampu memiliki anak. Indonesia sebagai suatu negara
berkembang menyadari juga bahwa ilmu pengetahuan dan alih teknologi mempunyai peranan penting
dalam mempercepat pembangunan nasional (Dewi Astutty Mochtar, 2001:51). Sehingga dirasa perlu
untuk menerima teknologi karya dari negara lain yang belum dimiliki dan belum dikuasai oleh Indonesia
yang disebut dengan alih teknologi. Selanjutnya para ahli kedokteran Indonesia mengadopsi teknologi
luar negeri yakni program fertilisasi in vitro atau yang lebih dikenal dengan bayi tabung. Program bayi
tabung ini merupakan salah satu cara penanggulangan kesulitan memperoleh anak secara biologis dari
pasangan suami istri yang sah di Indonesia. Adanya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Kesehatan maka menjadi
dasar diperbolehkan program alih teknologi dari luar negeri ke dalam negeri.
Berdasarkan program alih teknologi tersebut maka melalui teknologi bayi tabung para ahli dan
kedokteran dapat mengatasi permasalahan pasangan suami istri atas ketidakmampuan memiliki anak atau
keturunan. Program bayi tabung merupakan upaya pasangan suami istri untuk memperoleh anak dengan
cara diluar alamiah dengan maksud bahwa pembuahan atas proses reproduksi menggunakan bantuan
teknologi. Akan tetapi dengan timbulnya

program bayi tabung ini menjadikan problematika dalam tata hukum di Indonesia sebab sebelumnya
belum diatur mengenai bayi tabung, terutama mengenai kedudukan yuridis dari anak hasil bayi tabung.
Penting untuk menelaah mengenai status dan kedudukan hukum, hak waris anak hasil bayi tabung, serta
hak dan kewajibannya dengan melihat dari sudut pandang ketentuan dalam sistem hukum di Indonesia.
Melalui kerangka pemikiran tersebut, maka dianggap perlu untuk melakukan penulisan mengenai anak
bayi tabung dalam hukum waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
yaitu tentang kedudukan hukum atas anak bayi tabung dan hak waris atas anak bayi tabung berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung dalam Perkawinan Orang Tua menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Aturan Yuridis dan Problematika tentang
Anak Bayi Tabung
Dewasa ini muncul beberapa penemuan baru di berbagai bidang di Indonesia, salah satunya di bidang
ilmu kedokteran yang mana para ahli kedokteran di luar negeri menemukan suatu solusi untuk mengatasi
ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Penemuan yang dimaksud tersebut
ialah adanya program bayi tabung atau dalam istilah kedokteran disebut dengan Fertilisasi in Vitro (in
vitro fertilization). Kemudian para ahli kedokteran di Indonesia mempelajari
pula penemuan program bayi tabung untuk diterapkan di Indonesia. Untuk dapat diterapkan di Indonesia
maka pelayanan program bayi tabung memerlukan perlindungan hukum oleh karena semua tindakan dan
perilaku yang dilakukan di Indonesia harus berdasar pada hukum.
Hukum yang mengatur tentang bayi tabung di Indonesia belum ada, sedangkan dalam hukum perdata
yang mengatur tentan g status hukum anak, baik anak sah maupun anak luar kawin diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian
anak sah yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut bertitik tolak dari hasil hubungan seksual yang dilakukan secara alami
antara pasangan suami istri dan pasangan suami istri tersebut terikat dalam perkawinan yang sah
sedangkan mengenai hal yang berkaitan dengan intervensi manusia yakni intervensi dokter atau ahli
seperti dalam hal membantu pasangan suami istri yang mandul belum pernah terpikirkan oleh pembuat
Undang-undang pada saat itu. Sehingga dalam pasal 4 ayat (2c) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatur tentang kewenangan Pengadilan untuk memberikan izin
kepada suami untuk melangsungkan perkawinan lebih dari satu apabila istri tidak dapat melahirkan
keturunan (Salim HS, 1993:74-75). Namun selain ranah pada hukum perdata, terdapat pengaturan
mengenai status hukum anak bayi tabung yang menegaskan bahwa anak bayi tabung tersebut
dikatgorikan dalam anak sah yaitu dalam hukum Islam pada Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam bahwa
"Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
Sampai saat ini belum ada ketentuan khusus dalam hukum positif di Indonesia mengenai bayi tabung.
Akan tetapi telah ada ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia yang telah
menyinggung tentang kehamilan diluar cara alamiah. Kehamilan diluar cara alamiah tersebut yakni
kehamilan yang ada turut campur dengan
tabung yang mana tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 127
yang berbunyi:
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah
dengan ketentuan: a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
membolehkan pelaksanaan kehamilan berasal;

diluar cara alamiah atau dengan program bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan
suami istri yang sah kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri (Salim HS, 1993:76).
Sehingga unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yaitu:
1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah yang hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah;
2) Hasil pembuahan ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang bersangkutan;
3) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk program bayi
tabung;
4) Dilakukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Meskipun dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa "ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah" akan tetapi sampai pada saat ini belum ada pengaturan lebih
lanjut atau pengaturan khusus dalam hukum positif di Indonesia mengenai program bayi tabung di
Indonesia khususnya mengenai status dan kedudukan hukum dari anak bayi tabung, melainkan baru ada
pedoman pelayanan bayi tabung di rumah sakit.
a. Anak menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selain mengatur mengenai perkawinan itu sendiri
juga mengatur mengenai anak yang dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan. Berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata dalam Pasal 250 bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan
memperoleh suami sebagai ayah dari anak yang dilahirkan atau dibesarkan tersebut. Sedangkan dalam
Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa sahnya anak yang dilahirkan
sebelum hari keseratus delapan puluh (6 bulan) hari perkawinan dapat diingkari oleh

suami. Sehingga berdasarkan pada Pasal 250 sampai dengan pasal 251 Kiab Undang-Undang Hukum
Perdata tersirat untuk dapat menentukan status dan kedudukan seorang anak untuk dikategorikan sebagai
anak sah atau anak yang tidak sah.
Dengan demikian suatu perkawinan yang sah akan menentukan kedudukan anak, peranan, dan tanggung
jawab anak dalam keluarga. Mengenai kedudukan hukum anak diatur dalam Pasal 42 sampai dengan 44
dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini perlu diketahui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan anak dalam perkawinan atas
anak yag sah dan anak yang tidak sah. Keduanya mempunyai kedudukan hukum yang berbeda dalam
keluarga. Ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan
bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ini
berarti bahwa anak sah meliputi:
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, yakni anakanak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang sah dilangsungkan termasuk pula kawin hamil; b. Anak
yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah, yakni anak-anak yang dilahirkan sesudah
perkawinan yang sah dilakukan tetapi kemudian orangtua dari anak yang dilahirkan tersebut bercerai
(Rachmadi Usman, 2006:347).
b. Proses Lahirnya Anak Bayi Tabung
Perkembangan global ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran secara nyata telah sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan pelayanan atau asuhan
kedokteran di Indonesia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalam upaya
penyembuhan di Indonesia (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Komisi Bidang Ilmu Kedokteran,
1997:50).

Upaya penyembuhan suatu penyakit yang dilakukan oleh para ahli kedokteran dengan memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan biaya, tenaga dan waktu. Dalam upaya penyembuhan
tersebut ada yang memerlukan biaya yang banyak atau mahal dan ada pula yang memerlukan biaya yang
relatif sedikit murah atau terjangkau. Sehingga diperlukan cara pendekatan dalam rangka pemberian
pelayanan kedokteran.
Cara pendekatan dalam pemberian pelayanan atau asuhan kedokteran harus disesuaikan dengan keadaan
atau tingkat perkembangan golongan masyarakat. Selain itu juga disesuaikan dengan kebutuhan dari
setiap golongan masyarakat yang memerlukannya tersebut. Ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedoteran, pada perkembangan upaya penyembuhan di Indonesia terdapat variasi rentang
yang sangat lebar dari penyembuhan yang sifatnya sederhana dengan penyembuhan atau pemberian solusi
yang sifatnya lebih kompleks atau rumit, seperti diterapkannya teknologi di bidang reproduksi manusia
dengan dikembangakannya Assisted Reproductive Technology (ART) pada fertilisasi in vitro (IVF-in vitro
fertilization) memberi tanggung jawab kepada ilmuwan bidang kedokteran untuk memahami berbagai
masalah hukum, etik, dan agama, sebelum dimanfaatkan dalam pelayanan kedoteran (Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia Komisi Bidang Ilmu Kedokteran, 1997:53). Dengan adanya pemahaman
mengenai penyembuhan atau solusi di bidang reproduksi manusia dalam bentuk teknologi bayi tabung
yang berkaitan dengan masalah hukum, etik, dan agama maka besar kemungkinan bahwa penerapan
teknologi bayi tabung di Indonesia akan disesuaikan dengan nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Adanya teknologi sebagai bantuan dalam bidang kedokteran yang berkaitan dengan program pelayanan
bayi tabung maka dapat membantu pasangan suami istri yang tidak dapat memiliki keturunan

atau mengalami kendala untuk memperoleh keturunan, salah satu penyebabnya mengenai ketidaksuburan
sistem reproduksi pada istri. Bila saluran telur seorang istri sedemikian rusaknya sehingga tidak mungkin
lagi diatasi dengan pembedahan, atau yang tubanya rusak atau tertutup, masih ada harapan melalui teknik
pembuahan dalam tabung atau IVF (in Vitro fertilization) atau yang lebih dikenal dengan teknik bayi
tabung (Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:69). Akan tetapi ketidaksuburan sistem reproduksi
tersebut tidak hanya terjadi pada pihak wanita atau istri melainkan terjadi pula pada pihak
pria atau suami yang biasanya adalah sperma yang cacat. Penyebab

pria atau suami yang biasanya adalah sperma yang cacat. Penyebab sperma yang cacat atau adanya
masalah dengan pemindahan sperma ke dalam alat reproduksi wanita (Anne Charlish dan Kim Davies,
2005:66). Ketidaksuburan dalam sistem reproduksi yang terjadi pada pria/suami ataupun wanita/istri
diperlukan suatu solusi penyembuhan atau jalan keluar untuk mengatasi ketidaksuburan sistem reproduksi
tersebut. Sehingga ahli kedokteran beserta ilmu pengetahuan teknologi kedoteran sangat diperlukan dan
berperan besar untuk penanganan masalah sistem kesuburan reproduksi manusia.
Untuk mengatasi ketidaksuburan yang ada m aka perawatan kesuburan buatan akan disarankan oleh
dokter spesialis kepada pasangan suami istri yang tidak mungkin mendapatkan kehamilan secara alami.
Perawatan ini berupa inseminasi buatan atau fertilisasi in vitro atau yang lebih dikenal dengan teknologi
bayi tabung. Pasangan suami istri harus memahami secara pasti mengenai hal-hal yang termasuk dalam
perawatan fertilisasi in vitro dan memahami kesempatan keberhasilan serta beban finansial yang harus
ditanggung. Inseminasi buatan itu sendiri merupakan suatu proses pemasukan sperma ke dalam saluran
serviks (leher rahim) wanita atau langsung ke dalam rahim wanita. Semua prosedur tersebut dilakukan di
rumah sakit dengan menggunakan alat suntik. Inseminasi buatan ini berguna
untuk pasangan suami istri yang memiliki masalah antibodi

penghancur sperma pada tubuh si wanita serta bagi pasangan yang mengalami kesulitan seksual. Prosedur
dalam teknologi bayi tabung ini juga digunakan untuk kasus-kasus ketidaksuburan yang tidak diketahui
sebabnya (Anne Charlish dan Kim Davies, 2005:69).
Teknologi bayi tabung adalah hasil dari pembuahan in vitro yaitu mempertemukan sel telur dengan
sperma di luar tubuh wanita. Program bayi tabung ini berguna bagi pasangan yang memiliki masalah
antibodi penghancur sperma pada tubuh wanita serta bagi pasangan yang mengalami kesulitan seksual,
seperti impotensi atau ejakulasi dini, produksi sperma yang rendah, atau penyumbatan dalam organ-organ
reproduksi pria (Anne Charlish dan Kim Davies, 2005:6970).
Bagi pasangan tidak subur (infertil) dengan kasus adanya lendir mulut rahim yang abnormal, saluran telur
mengalami kerusakan, mutu sperma yang kurang baik, adanya antibodi terhadap sperma, tidak hamil juga
meskipun endometriosis telah diobati, serta adanya gangguan kesuburan yang tidak diketahui
penyebabnya akan disarankan oleh ahli kedokteran untuk melakukan program inseminasi buatan atau
prosedur bayi tabung. Namun karena pertimbangan masalah etika yang berkaitan dengan pembuahan
dalam tabung atau fertilisasi in vitro dan transfer embrio (IVF-TE), dan inseminasi buatan dengan sperma
donor, prosedur tersebut hanya dilakukan di pusat-pusat perawatan tertentu yang mempunyai pengawasan
ketat (Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:66).
Pada dasarnya program bayi tabung adalah pelaksanaan proses pembuahan yang seharusnya terjadi di
dalam saluran telur tatapi karena satu dan lain hal proses tersebut tidak dapat terjadi secara alamiah, maka
proses demikian dilakukan secara in vitro. Yang diperlukan dalam pelayanan program bayi tabung adalah
wanita yang bersangkutan mempunyai indung telur (ovarium) yang sehat dan dapat berfungsi, serta rahim
yang sehat pula. Teknik ini pertama kali

dilakukan di Inggris pada tahun 1978 dan setahun kemudian banyak Negara lain yang ikut berhasil
melakukan pelayanan teknik bayi tabung. Tetapi dalam In Vito Fertilization yang dilakukan hanya satu
kali, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 15%. Jika diulangi dua atau tiga kali pada wanita yang sama,
maka tingkat keberhasilannya meningkat menjadi 20%. Prosedur bayi tabung dimulai dengan
perangsangan indung telur dengan hormon. Hal ini dilakukan untuk memacu perkembangan sejumlah
folikel agar menghasilkan sel telur. Perkembangan pematangan sel telur tersebut dipantau secara teratur
dengan alat ultrasonografi dan dilakukan juga pengukuran kadar hormon ekstradional dalam darah
(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto,2007:68).
Perkembangan yang terakhir pengambilan sel telur matang dari permukaan indung telur tidak perlu lagi
melalui operasi kecil tetapi cukup lewat pengisapan cairan folikel dengan tuntunan alat ultrasonografi
transvaginal. Cairan folikel tersebut kemudian dibawa ke laboratorium dan seluruh sel telur yang
diperoleh kemudian dieramkan dalam inkubator. Beberapa jam kemudian kepada setiap sel telur
ditambahkan sejumlah sperma yang telah dioleh d an dipilih yang terbaik mutunya agar terjadi
inseminasi. Telur-telur tersebut dilihat dengan mikroskop untuk memastikan bahwa proses pembuahan
berjalan secara normal. Sekitar 18-20 jam kemudian akan terlihat proses pembuahan berhasil atau tidak.
Sel telur yang telah dibuahi sperma disebut zigot, dan akan dipantau lagi selama 22-24 jam untuk melihat
perkembangan prosesnya menjadi embrio. Biasanya dokter akan memilih empat embrio yang terbaik
untuk ditanamkan ke dalam rahim wanita. Jumlah tersebut adalah maksimal karena apabila keempatnya
berhasil dan terjadi kehamilan, risikonya akan besar bagi calon ibu dan janin yang dikandungnya. Embrio
yang terbaik itu kemudian diisap ke dalam sebuah kateter khusus untuk dipindahkan ke dalam rahim.
Terjadinya Ike^hmilan dapat diketahui melalui

pemeriksaan air seni 14 hari setelah pemindahan embrio. Walaupun umumnya hanya satu yang hidup.
Langkah-langkah selanjutnya adalah melakukan pemantauan kondisi wanita itu untuk memastikan embrio
sudah tertanam atau belum dan apakah kehamilan dapat berlangsung dengan normal (Syamsir Alam dan
Iwan Hadibroto, 2007:69).
Dalam beberapa kasus, seorang wanita yang sedang mengandung mengalami keguguran tanpa
menyadarinya. Sangat banyak kasus terjadi dalam sua bulan pertama kehamilan, bahkan sebelum wanita
tersebut menyadari bahwa dirinya sedang mengandung. Keguguran pada tahap-tahap awal kehamilan
lenih sering terjadi dari yang diduga. Hal inilah yang kemudian dalam beberapa kasus dianggap sebagai
tertundanya kehamilan. Bisa dikatakan bahwa lebih dari 50% kehamilan mengalami keguguran. Gejalagejala keguguran mencakup pendarahan vagina, kram di bagian perut, dan rasa pegal pada punggung
seperti yang biasa terjadi ketika menstruasi. Muntah berlebihan juga bisa merupakan gejala atau tandatanda awal keguguran. Hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikan keguguran akan tetapi
seseorang yang mengalami keguguran harus segera mendapatkan saran medis untuk mencegah infeksi
dan komplikasi (Anne Charlish dan Kim Davies, 2005:62).
c. Legalitas Anak Bayi Tabung Melalui Akta Atau Pencatatan Kelahiran Anak
Menurut pendapat dari Jonathan Todres dalam jurnalnya yang berjudul Birth Registration: An Essential
First Step toward Ensuring the Rights of All Children (2003:1) mengenai pencatatan kelahiran yaitu:
Birth registration is the process by which a child's birth is recorded in a civil register by the applicable
government authority. This step provides the first legal recognition of the child, and generally is required
for the child to obtain a birth certificate. A child's birth record typically includes the name of the child, the
names of his or her parents, the name of the

attending healthcare professional or birth attendant, and the date and place of birth. Once this information
is provided, the birth record is signed by the local registrar and filed with the relevant government agency
for that region. The birth record may also include the name, address, and nationality of each parent. Such
additional information, along with the child's place of birth, can help establish the nationality of the child.
Although birth registration can be achieved in a variety of ways, the registration of a newborn child
typically is facilitated by the local hospital where the child is born or the community healthcare worker
present at the birth. If the birth does not take place in a hospital or is not presided over by a community
health worker, the parents are expected to take their child to the local government office to register the
child as soon as possible
kelahiran anak dicatat dalam register sipil oleh pemerintah yang berlaku otoritas. Langkah ini
memberikan pengakuan hukum pertama dari anak, dan umumnya diberlakukan bagi anak untuk
mendapatkan akta kelahiran. Catatan kelahiran seseorang anak biasanya mencakup nama anak, nama
orang tuanya, nama dari professional kesehatan yang menghadiri atau bidan, dan tanggal serta tempat
lahir. Setelah informasi ini diberikan, catatan kelahiran ditandatangani oleh pendaftar lokal dan diajukan
dengan instansi pemerintah yang relevan untuk kawasan tersebut. Kelahiran juga dapat mencakup nama,
alamat, dan kebangsaan dari setiap orang tua. Seperti tambahan informasi bersama dengan tempat anak
lahir dapat membantu menentukan kewarganegaraan dari anak. Walaupun pencatatan kelahiran dapat
dicapai dalam beragam cara, pendaftaran bayi yang baru lahir biasanya difasilitasi oleh rumah sakit
setempat dimana anak lahir atau masyarakat pekerja kesehatan hadir pada kelahiran. Jika kelahiran tidak
terjadi di rumah sakit atau tidak dipimpin oleh suatu komunitas petugas kesehatan, orang tua diharapkan
untuk mendatangi kantor pemerintah daerah untuk mendaftarkan anak sesegera mungkin setelah kelahiran
mengingat begitupentingnya akta kelahiran bagi anak.
Pendaftaran kelahiran merupakan suatu proses dimana

2. Korelasi Alih Teknologi berdasarkan Konsep Kedokteran dan Mekanisme Pengaturannya


Teknologi menurut United Nations Conference on Transnational Corporations (UNCTC) dapat diartikan
secara sempit dan secara luas. Dalam arti sempit teknologi adalah "technical knowledge or know-how that
is knowledge related to the method and techniques of production of goods and services". Dalam
pengertian ini keahlian manusia yang diperlukan untuk penerapan teknik-teknik itu dapat dianggap
sebagai teknologi. Sedangkan dalam arti luas teknologi meliputi barang-barang modal yaitu alat-alat,
mesin-mesin, dan seluruh system produksi yang boleh dikatakan sebagai teknologi berwujud (Dewi
Astutty Mochtar, 2001:46). Terkait dengan program bayi tabung di Indonesia, bahwa bayi tabung dapat
dilaksanakan di Indonesia dengan adanya proses alih teknologi. Proses alih teknologi ini termasuk dalam
beralihnya teknologi atas keahlian dari ahli kedokteran di luar negeri kepada ahli kedokteran di dalam
negeri dengan mempelajari pelaksanaan program bayi tabung. Dengan adanya proses alih teknologi
tersebut maka program bayi tabung dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum positif
yang ada di Indonesia dan disesuaikan dengan nilai luhur budaya Indonesia.
a. Konsep Alih Teknologi Anak Bayi Tabung Berdasarkan Ilmu Kedokteran
Adanya penerapan teknologi bayi tabung di Indonesia diterima baik oleh masyarakat Indonesia, terlebih
oleh pasangan suami istri yang tidak kunjung memiliki keturunan dikarenakan mengalami suatu
infertilitas. Infertilitas tersebut menyebabkan pasangan suami istri tidak dapat memiliki keturunan secara
alami. Lahirnya teknologi canggih mengenai bantuan untuk kehamilan yang dibantu dengan campur
tangan teknologi salah satunya timbul program pelayanan bayi
tabung. "Menurut John C. Fletcher membagi jenis bayi tabung (fertilisasi in vitro) menjadi dua macam,
yaitu:
1) In vitro (outside the human body) fertilization (IVF) using sperm of husband or donor; and
2) Egg of wife or surrogate mother" (Salim HS, 1993:8). Apabila ditinjau dari segi sperma dan ovum serta
tempat
embrio ditransplantasikan maka bayi tabung dapat dibagi menjadi 8 (delapan) jenis, yaitu:
1) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami istri, kemudian embrio
ditransplantasikan ke dalam rahim
2) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami istri, kemudian embrio
ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother);
Bay
3) Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovum yang berasal dari donor, kemudian
embrio ditransplantasikan ke dalam rahim Urn;
4) Bayi tabung yang menggunakan sperma yang berasal dari donor dan ovum dari istri, kemudian embrio
ditransplanta sikan ke dalam rahim istri;
5) Bayi tabung yang menggunakan sperma yang berasal dari donor dan ovum dari istri, kemudian embrio
ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother);
6) Bayi tabung yang menggunakan sperma suami dan ovum dari donor, kemudian embrio
ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother);
7) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor, kemudian embrio ditransplantasikan ke
dalam rahim istri
8) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor, kemudian embrio ditransplantasikan ke
dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother) (Salim HS.1993:8).

Sedangkan menurut Dr. Yendi bahwa berdasarkan asal sumber sperma pada proses bayi tabung maka
secara teknis teknik bayi tabung terdiri dari empat jenis, yaitu:
1) Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan kedalam rahim isterinya
sendiri;
2) Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan ke dalam rahim selain
isterinya. Atau disebut juga sewa rahim (Surrogate Mother);
3) Teknik bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari bukan suami/isteri;
4) Teknik bayi tabung dengan sperma yang dibekukan dari suaminya yang sudah meninggal
(http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/
hukum-teknologi-reproduksi-buatan/> diakses pada tanggal 29 Desember 2011, jam 1:47 WIB)
1 Pelayanan bayi tabung mempergunakan teknologi mutakhir yang cukup rumit dengan biaya yang sangat
mahal. Oleh karena itu pasangan suami istri yang diterima untuk ikut pelayanan ini harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) telah dilakukan pengelolaan pelayanan infertilitas s elengkapnya di rumah sakit tersebut;
2) mempunyai indikasi yang sangat jelas;
3) memahami, menyadari dan menyetujui seluk beluk prosedur pelayanan FIV secara umum dengan
segala akibatnya termasuk kemungkinan untuk mendapatkan kahamilan ganda dengan segala akibatnya;
4) mampu membiayai prosedur pelayanan dan kalau berhasil mampu membiayai pemeliharaan
kehamilan, persalinan serta membesarkan bayinya;
5) dinyatakan bebas setelah diuji terlebih dahulu terhadap Hepatitis
V, HIV dan penyakit menular lainnya;
6) mampu memberikan izin atas dasar sukarela dengan mengisi formulir persetujuan terhadap tindakan
medis (informed consent) dan ditangani ileh suami istri tersebut (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993:11-12).
Dalam melakukan fertilisasi in vitro transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang
dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1) Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel
telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang;
2) Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah dan pemeriksaan
ultrasonografi;
3) Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan
ultrasonografi;
4) Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suami
yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik;
5) Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam
lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah
terjadi pembuahan sel;
6) Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian diimplantasikan ke dalam rahim
wanita. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan;
7) Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi dilakukan
pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan
ultrasonografi (http://yendi.blogdetik.com /2011/02/17/hukum-teknologi -reproduksi -buatan/> diakses
pada tanggal 29 Desember 2011,jam 1:47 WIB).

Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat,berkaitan dengan
kedudukan dan hak anak dalam keluarga dan perlakuan orang tua terhadap seorang anak, bahkan juga
dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada
berbagai cara pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak yang terus mengalami perkembangan
seiring dengan semakin dihargainya hak-hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
(Aris Bintania, 2008:153, Vol III). Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak
pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi
untuk menjadi dewasa.
Asal-usul seorang anak bisa dibuktikan dengan adanya akta kelahiran autentik oleh pejabat yang
berwenang, jika akta autentik tidak ada maka asal-usul anak ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan
pembuktian yang memenuhi syarat untuk kemudian dibuatkan akta kelahiran pada instansi pencatat
kelahiran. Akan tetapi pada kenyataannya masih ada penduduk Indonesia yang d alam peristiwa
kelahirannya tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau tidak mempunyai akta kelahiran melainkan
hanya memiliki surat keterangan lahir dari pejabat setempat atau dari bidan yang turut membantu dalam
proses melahirkan anak. Surat keterangan lahir ini hanya merupakan akta di bawah tangan yang mana
dalam surat keterangan lahir ini prosesnya belum diregisterkan ke Kantor Catatan Sipil sehingga surat
keterangan lahir ini tidak menjadi akta autentik.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil teknologi modern yang pada prinsipnya
bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya
guna tinggi teknologi ini juga rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika.^TeknoPogi^bayi
tabung merupakan upaya

kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya kehamilan di luar cara alamiah diatur
dalam pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan demikian yang
diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi
tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127
Undang-Undang Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa atau penitipan rahim, secara
hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia yang mana dalam hukum Islam sudah diatur mengenai
pelarangan sewa rahim (surrogate mother) di Indonesia seperti yang terdapat dalam Pasal 99 Kompilasi
Hukum Islam. T
b. Mekanisme Pengaturan Anak Bayi Tabung
Kehadiran teknologi bayi tabung lebih banyak diterima oleh berbagai kalangan di Indonesia seperti kaum
agamawan, moralis, saintis, yuris, dan lainnya. Hal ini bisa dimaklumi karena proses kejadian dan
kelahiran bayi tabung masih dianggap berada pada batas kewajaran. Lebih dari itu juga banyak
memperhatikan logika dan etika kedokteran (Halid Alkaf, 2003:26). Apabila dikaitkan dengan peraturan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa dasar adanya alih teknologi yaitu dalam Pasal
1320 serta Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di Indonesia, hukum dan perundangan
mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam:
1) Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar
cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
2) Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Reproduksi Buatan, yang berisikan:
ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan,
Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Pertimbangan atas Keputusan MenKes RI tersebut atas dasar adanya Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di
Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:
1) Pelayanan teknik reproduksi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan
suami-istri yang bersangkutan;
2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan
infertilitas secara keseluruhan;
3) Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak
lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
a) Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru
lahir;
b) Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi
reproduksi yang gagal;
c) Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun;
5) Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio;
6) Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penulisan, Penulisan atau sejenisnya
terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas;
7) Dilarang melakukan penulisan dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah
fertilisasi;
8) Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari
(tidak termasuk waktu impan beku);
9) Dilarang melakukan penulisan atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau
embrio tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal;
10) Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai
cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hibrid yang terjadi akibat
fertilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada

Setelah adanya peraturan hukum yang mengatur mengenai


program bayi tabung seperti dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No.
72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan dan Pedoman Pelayanan
Bayi Tabung di Rumah Sakit yang dibuat oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktoran
Jenderal Pelayanan Medik maka praktek bayi tabung di Indonesia sudah mulai mendapatkan pedoman
dasar dalam penyelenggaraannya. Dengan demikian dampak yang dapat dilihat adalah meningkatnya
populernya praktek atas program bayi tabung yang dilakuan di Indonesia.
Menurut pendapat dari Dr. Yendi dalam blogdetik.com bahwa teknologi bayi tabung jika ditinjau dari segi
hukum perdata di Indonesia yang mana benihnya berasal dari pasangan suami istri yang sah, dilakukan
proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim istri maka anak tersebut
baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah (keturunan genetik) dari
pasangan tersebut. Sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya. Sedangkan berdasarkan asas leg spesialis retrograde leg generale dalam ketentuan
hukum maka berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia teknologi bayi tabung yang diperbolehkan
adalah yang sesuai dengan ketentuan pasal 127 Undang-

Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami
istri dan ditanamkan dalam rahim istrinya tersebut. Dengan demikian, walaupun terdapat ketentuan lain
yang mengatur mengenai hubungan perdata dalam proses inseminasi buatan dan teknologi bayi tabung
selain yang diatur Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, ketentuan tersebut akan batal
dengan sendirinya demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang
lebih spesifik mengatur masalah tersebut, dalam hal ini Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan semakin berkembangnya dinamika
pemikiran masyarakat mengenai etika, norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi
perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat yang mengatur etika dan hukum
belum dapat mengikuti. Sebagai hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi
kepentingan saja. Gap yang terjadi ini memerlukan diskusi dan pemikiran dari para ahli dari lintas disiplin
sehingga hal-hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam
penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari
(http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologi -reproduksi-buatan/, diakses pada tanggal 29
November 2011 jam 9:29 WIB).
3. Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Program Bayi Tabung di Indonesia
Berdasarkan pada Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat terlihat bahwa
salah satu syarat pelaksanaan program bayi tabung hanya dapat dilaksanakan oleh pasangan suami istri
yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. "Sahnya suatu perkawinan akan menentukan kedudukan
anak, peranan, dan tanggung jawab anak dalam keluarga" (Rachmadi Usman, 2006:347). Setelah lahirnya
Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum perkawinan nasional, maka keabsahan
suatu ikatan perkawinan harus berdasarkan peratuan perundangan yang ada di Indonesia, yaitu UndangUndang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum perkawinan nasional di Indonesia. Seperti
yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.. Kalimat 'berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa' sesuai dengan falsafah Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang
Maha Esa diatas segala-galanya. Terlebih menyangkut masalah perkawinan yang merupakan perbuatan
suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani
mempunyai peranan yang penting (Hilman Hadikusuma, 2003:7). Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan
merupakan suatu peraturan perkawinan nasional yang menentukan sah
atau tidaknya atas pelaksanaan suatu perkawinan.
Sahnya suatu perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan 'perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu'. Perkawinan yang sah menurut hukum
perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Buddha. Kata 'hukum masing-masing agamanya'
berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti hukum agamnya masing-masing
yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.perkawinan yang sah jika terjadi
perkawinan antar agama adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu
agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap
agama yang dianut

oleh kedua calon suami istri dan atau keluarganya. Jika perkawinan itu telah dilaksanakan menurut
hukum Islam kemudian dilaksanakan lagi menurut hukum Kristen dan atau Hukum Hindu/Buddha maka
perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya (Hilman Hadikusuma,
2003:26).
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) ditentukan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun pencatatan perkawinan
dimaksud untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan,
maupun bagi orang lain dan masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan
termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan
dimana perlu terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik. Pelaksanaan pencatatan perkawinan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Peraturan Pelaksana) Pasal 2 dinyatakan bahwa
bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk sedangkan bagi masyarakat yang
tidak beragama Islam pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan.
Sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan nasional di Indonesia apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan calon suami dan calon istri, serta harus dilakukan pencatatan
perkawinan menurut perundangan yang berlaku. Apabila suatu perkawinan dilaksanakan hanya di
hadapan pegawai pencatatan sipil maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum perkawinan
nasional Indonesia oleh karena tidak dilaksanakan menurut tata tertib hukum agama.
Dalam menentukan status seseorang maka diperlukan 5 buah kejadian yaitu: a. Kelahiran;

b. Pengakuan (terhadap kelahiran);


c. Perkawinan;
d. Perceraian;
e. Kematian (Koerniatmanto Sutropawiro, 1996:142).
Kelima kejadian tersebut merupakan hal yang penting dan perlu
karena dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh
kepastian akan suatu kejadian-kejadian tersebut sehingga perlu diadakan
lembaga Catatan Sipil (Burgerlijke Stand = BS). Menurut pendapat dari
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1984:23) bahwa:
Lembaga Catatan Sipil bertujuan untuk memungkinkan dengan selengkap-lengkapnya dan sejelasjelasnya memberikan kepastian yang sebenar-benarnya mengenai kejadian-kejadian seperti
kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan sebagainya. Semua kejadian dibukukan seingga baik
yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti tentang kejadiankejadian tersebut. Oleh karena orang ketiga mempunyai juga kepentingan untuk mengetahui tentang
kelahran, perkawinan, perceraian, dan kematian orang itu, maka dafar kejadian-kejadian itu terbuka untuk
umum.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ketentuan-ketentuan tentang Catatan Sipil dimuat dalam
14 pasal yang berlaku hanya untuk warga negara keturunan Eropa dimana ke-14 pasal itu terdiri atas 3
bagian yakni:
a. Tentang daftar-daftar Catatan Sipil (Pasal 4 dan 5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
b. Tentang nama, penggantian nama, dan penggantian nama depan (Pasal 5a-12 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata);
c. Tentang pembetulan akta-akta Catatan Sipil dan tentang penambahan diktumnya.
Disamping itu hal yang perlu dikemukakan akan daftar-daftar atau
akta-akta Catatan Sipil yaitu tentang kekuatan pembuktian atas Catatan
Sipil yang tidak dijelaskan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Berdasarkan pendapat dari Asser-Scholten yang dikutip oleh
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1982:23) menyatakan

bahwa "pembentukan undang-undang sengaja tidak menyebutkannya oleh karena hendak diberikan suatu
kekuatan pembuktian khusus terhadap kutipan-kutipan daftar Catatan Sipil itu".
Pasal 25 ayat 1 Reglement Burgerlijke Stand menentukan bahwa suatu kutipan atas dasar Catatan Sipil itu
merupakan suatu kekuatan pembuktian menurut hukum. Menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam
pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dinyatakan bahwa kekuatan pembuktian suatu
bukti tulisan terletak pada akta yang asli sedang dalam kutipan daftar Catatan Sipil itu kutipan yang
mempunyai kekuatan pembuktian menurut hukum Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin
(1982:24). 1
4. Konsep dan Legalitas Anak Bayi Tabung sebagai Anak Sah
Makin majunya masyarakat dan makin berkembangnya teknologi berakibat makin terlihatnya
kepentingan hukum di dalam masyarakat luas. Di dalam hubungan hukum satu sama lain orang harus
mengetahui kedudukan, hak, dan kewajiban seseorang sebagai anggota masyarakat (Soeroso, 2007:52).
Menurut Aristoteles dalam bukunya "Rhetorica" yang dikutip oleh Soeroso (2007:58) bahwa teori hukum
menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai hal
yang dikatakan adil dan yang tidak adil. Dalam teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah
keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang atas hal yang berhak diterima yang memerlukan
peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus.sehingga hukum harus membuat "Algemeene Regels" (peraturan
atau ketentuan-ketentuan umum). Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan
kepastian hukum. Terkait dengan kaidah hukum, bahwa adanya kaidah hukum diperlukan dalam rangka
melindungi kepentingan perorangan maupun umum sehingga terdapat tata tertib dalam masyarakat.
Munculnya penemuan baru di bidang kedokteran yaitu bayi tabung atau in vitro fertilization dengan
kenyataan bahwa sampai pada saat ini

belum ada pengaturan tentang kedudukan yuridis anak bayi tabung pada hukum positif di Indonesia. Akan
tetapi hukum positif di Indonesia hanya mengatur mengenai kedudukan yuridis anak yang dilahirkan
secara alamiah yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan masalah bayi tabung sendiri merupakan kepentingan
manusia yang perlu mendapat perlindungan hukum (Salim HS, 1993:74). Hal demikian dikarenakan anak
bayi tabung juga sebagai subjek hukum di Indonesia.
Perlu adanya suatu peraturan khusus tentang bayi tabung di Indonesia dalam rangka untuk mencapai
kepastian hukum serta perlindungan hukum di Indonesia, khususnya mengenai hal yang menyangkut
dengan kedudukan yuridis dari anak hasil bayi tabung di Indonesia. Dalam hukum positif di Indonesia
berkaitan dengan anak hanya terdapat pengaturan tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar
kawin yang diakui. Pengertian anak sah tertuang dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyebutkan bahwa "anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya". Selain itu dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa "anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah".
Sedangkan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa "upaya
kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim
istri dari mana ovum berasal". Pengertian anak sah pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diperluas berdasarkan penafsiran secara
luas ke dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa
pengertian pasangan suami istri yang sah adalah pasangan suami istri yang

dianggap perkawinannya sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Selain itu anak sah dapat
diperluas dengan pengertian anak yang dihasilkan atas pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
memiliki status perkawinan sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perluasan pengertian anak sah dapat diartikan anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang sah baik
secara alami dan anak yang lahir dengan proses bayi tabung (in vitro fertilization) berdasarkan UndangUndang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dengan adanya salah satu unsur dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 bahwa kehamilan
diluar cara alami hanya dapat dilaksanakan dari perkawinan yang sah. Sehingga syarat dilaksanakan
program bayi tabung di Indonesia yaitu dengan menunjukkan akta perkawinan autentik dari pasangan
suami istri baik akta perkawinan yang
Agama. Akta perkawinan tersebut sebagai bukti bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan oleh
pasangan suami istri tersebut adalah sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Sedangkan proses teknis dalam pelayanan teknologi bayi tabung dengan cara mengambil sperma dari
suami dan ovum dari istri yang selanjutnya sperma akan diproses sehingga sel-sel sperma suami yang
baik saja yang akan dipertemukan dengan sel-sel telur istri dalam tabung gelas di laboratorium. Sel-sel
telur istri dan sel-sel telur suami yang sudah dipertemukan itu kemudian dibiakkan dalam lemari
pengeram. Pemantauan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya
diharapkan sudah terjadi pembelahan sel" (Salim HS, 1993:34). Setelah diproses dalam tabung gelas
untuk laboratorium untuk proses fertilisasi maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah
menjadi beberapa sel yang disebut dengan embrio. Embrio tersebut kemudian dipindahkan melalui vagina
ke dalam rongga rahim istri 2 sampai 3 hari kemudian.
Pelayanan program pelayanan bayi tabung di Indonesia tetap berasal dari sperma suami dan ovum dari
istri atas perkawinan yang sah
yang disahkan

untuk diadakan pembuahan. Selanjutnya embrio di letakkan pada rahim istri untuk proses kehamilan.
Pelayanan program bayi tabung ada campur tangan dari teknologi dan tenaga ahli kedokteran yakni dalam
hal membantu proses pembuahan saja. Untuk proses kehamilan tetap pada rahim istri. Sperma dan ovum
yang digunakan berasal dari suami dan istri yang sah. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Problematika yang ada yaitu diperlukannya suatu perlindungan hukum mengenai kedudukan yuridis atas
anak bayi tabung yang sampai pada saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tentang status dan
kedudukan anak bayi tabung. Menilik dari pengertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa "anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat dan perkawinan yang sah". Dari b ' y i Pasal tersebut maka anak bayi tabung dapat
dikategorikan ke dalam anak sah sebab telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 42 Undang-Undang No
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
a. Anak sah;
b. Dilahirkan dalam perkawinan yang sah; atau
c. Dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan sah yang dibuktikan dengan akta perkawinan.
Anak bayi tabung telah memenuhi unsur "dilahirkan dalam perkawinan yang sah". Saat proses pelayanan
program bayi tabung salah satu syaratnya harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga pembuahan embrio yang dihasilkan
berasal dari sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah, bukan dari donor. Sedangkan unsur
"dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah" juga telah dapat terpenuhi atas anak bayi tabung.
Kelahiran seorang anak ditujukan unutk meneruskan keturunan dari darah daging pasangan suami istri
dari perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dimana dalam Perkawinan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
ditujukan untuk mewujudkan keluarga yang kekal dan bahagia. Kehadiran anak dapat mewujudkan
kebahagiaan dalam suatu keluarga. Sehingga kehadiran anak merupakan buah atau hasil dari suatu
perkawinan yang sah. Dapat dikatakan bahwa anak sebagai akibat dari perkawinan yang sah yang mana
sesuai dengan salah satu unsur dari ketentuan dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa "anak sah adalah anak yang
dilahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan sehingga memperoleh suami ibunya sebagai ayahnya".
Dalam hal ini berarti anak tersebut adalah anak sah dari ibu dan suami ibu dari
anak tersebut sehingga untuk dapat disebut anak sah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Dilahirkan;
b. Tumbuh sepanjang perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000:166).
Unsur atau syarat untuk dapat disebut sebagai anak sah ialah anak yang dilahirkan. Program pelayanan
bayi tabung mengenai keberhasilannya untuk dapat terlahirkannya anak ialah sekitar 15%, sehingga
apabila program pelayanan bayi tabung berhasil maka anak anak tersebut dapat dilahirkan setelah
dikandung ibu dari anak tersebut atau pihak istri yang melaksanakan program pelayanan bayi tabung.
Dengan demikian jika anak hasil dari program bayi tabung tersebut dapat terlahir di dunia maka telah
memenuhi unsur yang pertama dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan unsur
atau syarat untuk dapat dikatakan sebagai anak sah menurut Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ialah "tumbuh sepanjang perkawinan". Anak bayi tabung merupakan anak yang tumbuh
sepanjang perkawinan sebab anak bayi tabung yang berhasil dilahirkan tersebut tumbuh dalam
perkawinan yang sah. Oleh karena di dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan telah mengatur mengenai syarat yang boleh melakukan program pelayanan bayi
tabung hanya pasangan suami istri yang sah menurut hukum perkawinan nasional di Indonesia yaitu
sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga anak bayi tabung yang
dilahirkan merupakan hasil dari perkawinan yang sah dan tumbuh sepanjang perkawinan dari pasangan
suami istri yang sah. Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang ke-180 setelah perkawinan
dilangsungkan maka sebagai suami boleh menyangkal keabsahan anak tersebut.
Masa kehamilan (zwangerschapsperiod) yang dianggap paling
pendek yaitu 180 hari, sedangkan Pasal 255 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata menyatakan bahwa "anak yang dilahirkan 300
hari setelah perkawinan dibubarkan, adalah tidak sah". Menurut ilmu kedokteran sejak zaman Romawi
masa kehamilan paling panjang adalah 300 hari sehingga logikanya anak tersebut ditumbuhkan setelah
perkawinan bubar. Sehingga suami dianggap sebagai ayah sah dari anak-anak yang dilahirkan oleh
istrinya diantara hari dilangsungkannya perkawinan sampai dengan hari ke-300 atau terhitung dari
bubarnya perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000:166).
Pengertian anak sah yang disebutkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bertitik tolak dari hasil hubungan seksual yang dilakukan secara
alami antara pasangan suami istri dan pasangan suami istri tersebut terikat dalam perkawinan yang sah.
Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan intervensi manusia (dokter), misalnya dalam membantu
pasangan suami istri yang mandul belum pernah terpikirkan oleh pembuat undang-undang (Salim HS,
1993:75).
Anak hasil bayi tabung memenuhi persyaratan dalam pengertian mengenai anak sah menurut UndangUndang No 1 Tahun 1974 meskipun dalam Pasal 2 Undang-Uffdaffg No^^PTahun 1974 tentang
Perkawinan

tidak menyebutkan kedudukan tentang anak sah dengan proses kehamilan di luar cara alami. Selain itu di
dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang anak sah juga tidak
mengatur mengenai kedudukan anak bayi tabung atau anak yang dilahirkan dengan proses kehamilan di
luar cara alamiah. Menurut Rachmadi Usman (2006:347) pengertian anak yang sah ini hendaknya
termasuk pula anak-anak yang dilahirkan dari hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan
dilahirkan oleh istri yang melangsungkan perkawinan secara sah dengan suaminya. Sehingga ketika
pasangan suami istri yang sah secara hukum telah sepakat untuk melakukan progam bayi tabung yang
mana dalam prosesnya tidak melibatkan pihak ketiga sebagai pendonor sperma atau tidak mengambil
sperma dari bank sperma, kemudian tidak menyewa
rahim orang lain, maka program bayi tabung telah sesuai dengan peraturan
ada di
perundangan kesehatan yang ada di Indonesia. Dengan sesuainya penerapan program bayi tabung
menurut Undang-Undang Kesehatan di Indonesia maka berarti program bayi tabung tersebut
diperbolehkan dan sah untuk dipraktekkan menurut hukum positif di Indonesia.
Menurut Salim HS (1993:76) bahwa anak yang dilahirkan melalui teknik bayi tabung yang menggunakan
sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah kemudian embrionya ditransplantasikan ke rahim
istri yang bersangkutan maka secara hukum dapat dikatakan sebagai anak sah. Oleh karena anak yang
dilahirkan dengan bantuan teknologi bayi tabung itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sperma dan
ovum berasal dari suami dan istri yang sah, serta yang mengandung dan melahirkan adalah istri dari
suami yang bersangkutan. Sedangkan intervensi teknologi adalah semata-mata untuk membantu proses
pembuahannya saja. Proses selanjutnya embrio yang dihasilkan tetap berada dalam rahim istri.
Berdasarkan pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh
Salim HS (1993:77) bahwa:
Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan bayi tabung, sepasang suami istri yang tidak
mempunyai anak dan menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh

bayi tabung dari pada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan kesadaran).
Kedudukan yuridis bayi tabung pun seperti halnya anak angkat, yaitu menggantikan atau sama dengan
anak kandung. Jadi anak yang dilahirkan melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak
kandung. Ia berhak atas pendidikan, pemeliharaan dan pewarisan dari orangtuanya.
Pendapat serupa yang menyatakan bahwa anak bayi tabung dalam kadudukan hukumnya terkait dengan
hokum waris di Inonesia merupakan anak sah juga dikemukakan oleh Aris Bintania (2008:155) pada
definisi anak sah dari jurnal Hak dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga dan Setelah Terjadi Perceraian
Volume VIII No. 2 bahwa "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari,
perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut".
B. Hak Waris atas Ai nak Bayi Tabung dalam Pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata 1. Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 2 dalam Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bawa Indonesia adalah Negara hukum sehingga
segala tingkah laku yang dilakukan di Indonesia memiliki ketentuan hukum atau dasar hukum sebagai
pedoman untuk berperilaku. Dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih
memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hukum waris merupakan bagian
dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II Kitab UndangUndang Hukum Perdata tentang Benda.
Hukum waris merupakan satu peraturan-peraturan yang mengatur
mengenai perpindahan harata kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia kepada ahli waris dari orang yang meninggal dunia atau pewaris

tersebut yang mana asas dalam hukum waris bahwa yang berpindah di dalam suatu pewarisan adalah
kekayaan dari pewaris (Satrio, 1992:9). Dalam suatu kehidupan seseorang pasti terjadi proses kelahiran
dan juga proses kematian. Proses kelahiran dan kematian tersebut menuntut Negara untuk menciptakan
peraturan atau ketentuan dalam rangka mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kelahiran sampai pada
kematian seseorang dalam suatu Negara. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kematian diatur dalam
hukum waris.
Pengertian secara umum mengenai hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya atau
keluarganya. Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis, karena pada saat ini berlaku 3 (tiga)
sistem hukum waris, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), dan Hukum Waris Islam. Semua yang berhubungan dengan perkara warisan
khususnya di Indonesia merupakan perkara perdata yang kompleksitas masalahnya sangat beragam di
dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan perkara waris merupakan perkara yang menyangkut hubungan
antara pribadi yang satu dengan yang lain yang masing-masing bertindak sebagai ahli waris, yang mana
semua itu berujung pada satu masalah yaitu pembagian harta warisan, yang seringkali menimbulkan
perselisihan di dalam satu keluarga (Taufiq Tri Kustanto, 2007:1).
Sistem hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengikut pada sistem keluarga inti
dengan pembagian harta secara individual. Pokok-pokok kewarisan yang diatur dalam hukum perdata
dapat dilihat dalam Pasal 1066 KUH Perdata, hal- hal yang ditentukan yaitu:
a. Tidak seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima langsung
harta peninggalan itu dalam keadaan yang tak terbagi;
b. Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut, biarpun ada larangan untuk melakukannya;
c. Namun dapat diadakan persetujuan untuk selama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan;
d. Perjanjian ini dapat mengikat selama lima tahun, tetapi setelah tenggang waktu lewat, perjanjian itu
dapat diperbaharui.
Berdasarkan pokok-pokok sistem hukum waris menurut Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa ketentuan hukum yang mengutamakan kepentingan perorangan atas harta warisan ini
sering menimbulkan konflik diantara para ahli waris. Pada dasarnya semua harta
Para ahli waris sebelum dilakukan pembagian warisan dapat menentukan
Asas yang terdapat dalam Pasal 836 dan 899 Kitab Undangharus ada (sudah lahir) pada saat terbukanya warisan. Asas tersebut selanjutnya harus ditafsirkan bahwa
orang yang akan mewaris selain daripada ahli waris telah ada (telah lahir) ahli waris pun harus masih ada
(masih hidup) pada saat matinya pewaris. Oleh karena saat kematian dan kelahiran seseorang sangat
penting dan bersifat sangat menentukan. Saat tersebut menentukan siapa saja yang berhak mewaris dan
sejak kapan hak dan kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris. Disamping itu saat meninggalnya
pewaris mempunyai pengaruh yang penting sekali berhubung dengan adanya ketentuan yang mana sesuai
dengan Pasal 1083 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa tiap ahli waris setelah diadakan
pembagian dan pemecahan warisan dianggap menerima langsung pada saat pewaris mati. Dengan
demikian disini ada dikenal tindakan hukum yang befflaku ^ufiut^fterugwerkende kracht). Ketentuan

yang demikian itu berlaku pula bagi pembeli barang warisan menurut Pasal 1076 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Satrio. 1992:23).
Sedangkan asas hukum waris menurut Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada asasnya
bahwa untuk dapat mewaris orang harus mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Hubungan darah
tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Hubungan darah yang sah
adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah. Hubungan darah
yang tak sah timbul sebagai akibat pengakuan anak secara sah. Mengenai syarat suatu perkawinan yang
sah dan mengenai ketununan luar kawin diatur dalam Hukum Keluarga (Satrio. 1992:29). Selain anak
sah, anak luar kawin, serta anak luar kawin yang diakui, terdapat pula fenomena pengangkatan anak,
adopsi anak, serta memperoleh anak dengan teknis anak bayi tabung.
Mengenai anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka dianggap sebagai anak yang
dilahirkan dari perkawinan suami istri yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1). Sehingga anak tersebut
dianggap sebagai anak orang tua biologisnya. Demikian pula hubungan perdata antara orang tua biologis
dan sanak keluarganya di satu pihak, dengan anak tersebut di lain pihak menjadi putus sesuai dama Pasal
14. Bilamana anak adoptif tersebut mempunyai nama keluarga lain maka karena hukum memperoleh
nama keluarga ayah adoptifnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 11. Jika seseorang duda
mengadopsi seorang anak setelah perkawinannya putus maka anak itu dianggap dilahirkan dari
perkawinan duda tersebut yang terputus karena kematian istrinya (Soetojo Prawirohamidjojo, 1998:112113).
Ditinjau dari segi biologis setiap orang pasti mempunyai ayah dan ibu. Ibu dari anak tersebut adalah
wanita yang melahirkan, sedangkan ayahnya ialah yang membenihkan dia atau dalam hal inseminasi
buatan (konjugatige inseminatie) dengan benih/sperma dan ovum siapa anak itu dibenihkan. Apabila
seorang anak mempunyai ayah dan ibu yuridis, maka

terdapat hubungan hukum kekeluargaan terhadap ayah dan ibu dari anak yang dilahirkan tersebut.
Hubungan hukum kekeluargaan ini dapat menunjukkan gradasi yang berbeda-beda. Hubungan yang
paling kuat ialah antara anak yang sah terhadap orang tua dari anak itu, misalnya seorang anak yang
dilahirkan dari perkawinan orang tuanya (Soetojo Prawirohamidjojo, 1998:103). Anak mempunyai
kedudukan yang penting dalam keluarga, terlebih dalam hal pewarisan yang terkait dengan ahli waris oleh
karena anak merupakan keturunan langsung dari orangtuanya dan sebagai ahli waris dari orangtuanya.
Akan tetapi ada pula anak yang tidak dapat menjadi ahli waris menurut ketentuan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
Dalam pembahasan sebelumnya pada penulisan hukum ini, anak bayi tabung dikategorikan ke dalam
anak sah sehingga pewarisan dari anak bayi tabung tersebut sama dengan anak sah menurut UndangUndang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga anak
bsaayi tabung mempunyai status, kedudukan hukum, hak, serta kewajiban yang sama dengan anak sah.
Dengan demikian dalam sistem hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termasuk
dalam ahli waris pada golongan p ertama.
2. Penggolongan Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pewarisan berdasarkan Undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan dimana hubungan darah
merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara Pewaris dengan ahli waris. Berdasarkan
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukumm Perdata ada 2 cara mewaris yaitu berdasarkan Undangundang (ab-intestato) yang mana cara mewaris ini berdasarkan kedudukan dari ahli waris itu sendiri (Uit
Eigen Hoofde) dan cara yang selanjutnya yaitu mewaris berdasarkan penggantian (Bij Plaatsvervuling).
Cara mewaris bedasarkan kedudukan dari ahli waris itu senditi (Uit Eigen Hoofde) disebut juga dengan
pewaris langsung. Ahli waris dari Uit Eigen Hoofde adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris
berdasarkan

haknya/kedudukan dari ahli waris sendiri. Dalam pewarisan berdasarkan kedudukan sendiri pada asasnya
ahli waris mewaris kepala demi kepala (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah 2005:17-18).
Menurut pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berhak menjadi ahli waris adalah
keluarga sederajat baik sah maupun luar kawin yang diakui, serta suami istri yang hidup terlama. Dalam
bagian II bab XII diatur tentang pewarisan dari keluarga yang sah dan suami istri. Dalam bagian III diatur
tentang pewarisan dalam hal adanya anak luar kawin yang diakui. Para ahli waris yang sah karena
kematian terpanggil untuk mewaris menurut urutan dimana mereka itu terpanggil untuk mewaris. Urutan
tersebut dikenal ada 4 macam yang disebut golongan ahli waris, terdiri dari golongan pertama adalah
suami atau istri dan keturunan. Golongan kedua orangtua, saudara dan keturunan saudara. Golongan
ketiga adalah leluhur lain . golongan empat adalah sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang
sampai derajat ke enam. Mereka ini diukur menurut jauh dekatnya darah dengan si pewaris dimana
golongan yang lebih dekat menutup golongan yang lebih jauh (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah
2005:50). A T
Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 830
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berkaitan dengan cara ahli waris untuk mewaris terbagi menjadi:
a. Ahli Waris menurut Undang-Undang (4b Intestato).
Ahli waris menurut undang-undang, yang merupakan ahli waris dalam garis lurus kebawah, yang
dibedakan menjadi empat golongan ahli waris yaitu : 1) Golongan pertama,
Ahli waris golongan I menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 832 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini, maka yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun
di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Ahli waris golongan I ini terdiri dari:

a) Suami /istri yang hidup terlama;


b) Anak, dan keturunannya.
Golongan 1 terdiri dari anak-anak dan atau sekalian keturunannya. Yang dimaksud anak adalah anak sah
karena mengenai anak luar kawin diatur sendiri dalam bab bagian 3 buku ke dua pasal 862 KUH perdata
dan seterusnya. Termasuk golongan anak sah adalah anak yang disahkan yang diatur dalam pasal 277
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak- anak mewaris dalam derajat pertama artinya mereka
mewaris kepala demi kepala mereka masing-masing mempunyai bagian yang sama besar diatur dalam
pasal 852 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah 2005:51).
Kategori anak yang dimaksud dalam golongan I ini meliputi anak sah, anak yang disahkan dan anak luar
kawin yang diakui. Akan tetapi mengenai anak bayi tabung tidak disebutkan secara tersurat dalam
golongan I menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga yang menjadi permasalahan disini
bahwa permasalahan atas bayi tabung untuk dapat menjadi ahli waris atau tidak. Namun dalam
pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa anak bayi tabung memiliki kedudukan hukum sebagai
anak sah dan sama dengan anak kandung. Anak bayi tabung tersebut dapat dimasukkan dalam kategori
anak sah sehingga anak bayi tabung memiliki hak bagian atas harta kekayaan dari pewaris sama dengan
anak sah.
2) Golongan kedua
Golongan kedua terdiri dari :
a) Ayah dan Ibu;
b) Saudara.
3) Golongan ketiga yang terdiri dari :
a) Kakek dan nenek, baikdari pihak bapak maupun ibu;

b) Orang tua;
c) Kakek dan nenek itu, dan seterusnya keatas. 4) Golongan keempat yang terdiri dari :
a) Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu;
b) Keturunan Paman dan bibi sampai derajat keenam;
c) Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dari si meninggal.
b. Ahli Waris menurut Wasiat (Testamentair).
Ahli waris yang mendapat warisan berdasarkan penunjukan (erfstelling) pewaris (pembuat wasiat) pada
waktu pewaris masih hidup.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal empat golongan ahli waris yang
bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan
kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada
sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak.
Bagian masing-masing ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak
beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu
bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5
bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi
mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak
yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masingmasing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya
meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak
pewaris masih ada, baru apabila anak
pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau
cucu pewaris. b. Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu
orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka.
Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian
yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang
dari VV bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris
bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh V bagian dari
seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara,
masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah
meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
1) V (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya,
baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
2) 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara
pewaris;
3) V (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang
atau lebih saudara pewaris (http://darusnal.blogspot.com/search?q=waris+perdata>, [10 Januari 2012,
pukul 17.57 WIB])
Jika ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada
saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudarasaudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta
warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai
saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari
dua bagian yang dipisahkaffradi^

c. Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris,
apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam
keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya
separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang
separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing
separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek
pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada
nenek.
d. Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat
keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara
pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudarasaudara
sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian
pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat
(2) BW disebutkan: "Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka
seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang
peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi".
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :
a. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan
anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama;
b. V dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli
waris golongan kedua dan golongan ketiga;
c. % dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris
golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.
d. V dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersamasama dengan kakek atau nenek pewaris,
setelah terjadi kloving (http://darusnal.blogspot.com/search?q=waris+perdata>, [10 Januari 2012,
pukul 17.57 WIB]).
Dengan demikian, bagian anak yang lahir di luar nikah bukan %, sebab untuk ahli waris golongan
keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang
lahir di luar nikah akan memperoleh V dari bagian anak sah dari separoh warisan pancer ayah dan V dari
bagian anak sah dari separoh warisan pacer ibu, sehingga menjadi V bagian. Apabila pewaris sama sekali
tidak meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di luar
nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagai
ahli waris satu-satunya (http://darusnal.blogspot.com/ search?q=waris+perdata>, [10 Januari 2012, pukul
17.57 WIB])
Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya
sangat erat hubungan ke keluargaannya, menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan
dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah untuk hidup
seperlunya diatur dalam Pasal 867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Tinjauan Yuridis Anak Bayi Tabung dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada suatu ketentuan yang mengatur secara khusus
mengenai warisan anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung akan tetapi yang ada hanyalah
ketentuan yang mengatur tentang warisan anak yang dilahirkan secara alamiah seperti

warisan anak sah dan anak luar kawin yang diakui. Menurut Salim SH (1993:89) tidak berarti bahwa
ketentuan yang mengatur mengenai warisan atas anak yang dilahirkan secara alamiah tidak dapat
diterapkan terhadap anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung sesuai dengan Pasal 127 UndangUndang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Caranya yaitu dengan mengkaitkan dengan
kedudukan yuridis anak yang dilahirkan tersebut. Karena kedudukan yuridis mempunyai pengaruh dalam
menentukan berhak atau tidaknya seorang anak terhadap warisan yang ditinggalkan oleh orang tua.
Dengan adanya bagian yang berbeda-beda hak atas harta kekayaan
kedudukan hukum dari anak tersebut. Dengan demikian akan dapat ditentukan mengenai berhak atau
tidaknya seorang anak memperoleh harta kakayaan
pewaris serta dapat ditentukannya besar bagian harta kekayaan pewaris untuk
anak. Begitu pula dengan anak bayi tabung yang membutuhkan kepastian hukum dalam hal kedudukan
hukum anak bayi tabung untuk mewarisi harta kekayaan dari pewaris. Oleh karena anak bayi tabung ini
mendapatkan kedudukan yang sama dengan anak sah maka anak bayi tabung ini juga mendapatkan hak
yang sama pula dengan anak sah.

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dasar hukum diterapkannya pelayanan bayi tabung di Indonesia berdasarkan dengan pasal 127
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Akan tetapi di dalam pasal 127 Undang-Undang
No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut tidak menyebutkan mengenai kedudukan hukum dari anak
bayi tabung melainkan hanya menyebutkan tentang syarat umum dilaksanakannya teknologi bayi tabung.
Dengan menggunaan penafsiran analogi maka kedudukan hukum dari anak bayi tabung ialah sebagai
anak sah oleh karena anak bayi tabung merupakan anak hasil dari pasangan suami istri yang memiliki
ikatan perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikandung
oleh istri sah yang menanamkan ovum untuk anak bayi tabung tersebut. Selain itu teknologi bayi tabung
hanya merupakan bantuan kehamilan dalam proses pembuahannya saja yaitu diluar cara alamiah dengan
menggunakan in vitro;
2. Hak waris atas anak bayi tabung dalam hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yaitu sebagai ahli waris ab intestato golongan I oleh karena kedudukan anak bayi tabung sebagai anak
sah. Dengan demikian anak bayi tabung tersebut memiliki hak untuk mewaris yang sama dengan anak
sah. Anak bayi tabung berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris sebesar yang diterima oleh
anak sah.
B. Saran
1. Sebaiknya di Indonesia harus memiliki peraturan yang khusus mengatur tentang bayi tabung yang
disertai pula dengan kedudukan hukum anak bayi tabung sehingga dapat tercapai kepastian hukum dan
dalam rangka menerapkan perlindungan hukum terhadap anak bayi tabung. Dengan adanya kepastian
hukumcmengenai^dudukan hukum atas anak bayi
tabung maka dapat ditentukan pula mengenai hal pewarisan untuk anak bayi tabung menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Sebaiknya Indonesia segera membentuk peraturan mengenai hukum
waris anak bayi tabung yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sehingga dapat
diberlakukan untuk warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang bersumber dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau di dalam Kitab Undang-Undang hukum Perdata segera

Anda mungkin juga menyukai