Anda di halaman 1dari 20

DASAR TEORI

Metode Spektroskopi Serapan Atom (SSA) atau Atomic Absorbtion Spectroscophy


(AAS) adalah metode spektrometri yang didasari oleh adanya serapan/absorpsi
cahaya ultra violet (uv) atau visible (vis) oleh atom-atom suatu unsur dalam
keadaan dasar yang berada di dalam nyala api. Cahaya UV atau vis yang diserap
berasal dari energi yang diemisikan oleh sumber energi tertentu.
Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada sifat unsurnya. Misalnya Natrium menyerap pada 589 nm, Uranium
pada 358,5 nm, sedangkan Kalium pada 766,5 nm. Cahaya pada panjang
gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu
atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorbansi energi,
berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan
tingkat energinya ke tingkat eksitasi.
Besarnya cahaya yang diserap oleh suatu atom dalam keadaan dasar sebanding
dengan konsentrasinya. Hal ini berdasarkan Hukum Lambert-Beer yang secara
sederhana dirumuskan sebagai berikut :

A=abC
Keterangan :

A = absorbansi/daya serap
a = absorftivitas
b = lebar kuvet (cm)

C = konsentrasi
Dengan cara kurva kalibrasi, yaitu hubungan linier antara absorbansi
(sumbu Y) dan konsentrasi (sumbu X) , kita dapat menentukan konsentrasi suatu
sempel.
Ada tiga komponen alat yang utama dalam SSA, yaitu (1) unit atomisasi, berupa
nyala api dari pembakaran bahan bakar tertentu dengan oksidan ; (2) sumber
energi, berupa hollow cathode; dan (3) unit pengukur fotometrik, terutama berupa
detektor yang dapat mendeteksi intensitas cahaya yang melaluinya.
Spektroskopi serapan atom ini didasarkan pada interaksi materi dengan
cahaya melalui absorpsi cahaya materi atau senyawa. Ketika suatu atom pada
keadaan dasar dikenai sinar maka atom tersebut akan tereksitasi dari keadaan

dasarnya ke tingkat energi yang lebih tinggi. Energi dari atom yang tereksitasi
tersebut dijadikan sebagai dasar pengukuran untuk AAS.
Proses Spektroskopi Serapan Atom ini meliputi :
1.

Atomic Absorption (Absorpsi Atom)

Logam akan mengabsorpsi energi cahaya. Cahaya yang diabsorpsi spesifik sekali
untuk tiap unsur tersebut.
2.

Atomic Emission (Emisi Atom)

Dalam atom, proses eksitasi terjadi setelah atom menerima energi. Sebagian energi
tersebut digunakan untuk mengeksitasi atom. Pada saat kembali pada keadaan
dasarnya, terjadi pelepasan energi yang berbentuk gelombang elektromagnetik.
Prinsip kerja instumentasi spektroskopi serapan atom
Atom-atom dari sampel yang berbeda menyerap cahaya dengan
panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom
tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum mekanika kuantum yang menyatakan bahwa
atom tidak naik ke tingkat energi yang lebih tinggi secara bertahap (tanpa harus
menjadi intermeditnya). Dan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi , atom akan
menyerap energi yang banyak. Saat absorbansi ini dilewatkan pada sinar UV,
beberapa dari sinar akan terserap. Serapan dari sinar UV iini yang menimbulkan
panjang gelombang yang spesifik. Dengan menyerap energi, atom dalam keadaan
dasar mengalami eksitasi dan keadaan ini bersifat labil, sehingga atom akan
kembali ke tingkat energi dasar sambil mengeluarkan energi yang berbentuk
radiasi.

Cara kerja instumentasi spektroskopi serapan atom


Atom-atom dari unsur-unsur yang berbeda menyerap cahaya yang berasal dari
lampu katoda. Analisis dari suatu sampel yang mengandung unsur menggunakan
cahaya hasil emisi dari unsur tersebut. Misalnya tembaga, lampu yang mengandung
unsur tembaga memancarkan berkas cahaya hasil emisi yang diserap oleh tembaga
dari sampel. Kemudian cahaya menuju ke copper dilewatkan kedalam nyala api.
Dalam AAS, sampel diatomisasi menjadi atom-atom bebas keadaan dasar dalam
bentuk uap, dan sebuah cahaya radiasi elektromagnetik dihasilkan dari emisi atomatom tembaga yang tereksitasi pada lampu, yang diarahkan pada sampel yang
diuapkan. Sebagian radiasi diserap oleh atom pada sampel, semakin banyak atom
dalam keadaan bentuk uap semakin besar radiasi yang diserap oleh atom pada
sampel. Jumlah cahaya yang diserap sebanding dengan jumlah atom-atom
tembaga. Kemudian radiasi tersebut diteruskan ke detektor melalui monokromator.
Dari detektor menuju amplifier yang dipakai untuk membedakan kembali radisi

yang berasal dari sumber radiasi dan radiasi yang berasal dari nyala api.
Selanjutnya sinar masuk menuju read out untuk mencatat hasil. Kurva kalibrasi
dibentuk dari perjalanan sampel yang diketahui konsentrasinya.

Gambar diagram skema spektrometer serapan atom

Komponen-komponen instumentasi spektroskopi serapan atom


1.

Sumber Sinar

Berfungsi memberikan radiasi sinar pada atom-atom netral hingga terjadi absorbsi,
yang diikuti peristiwa eksitasi atom. Energi eksitasi atom bersifat terkuantisasi, oleh
karena itu sumber sinar harus memberikan radiasi sinar yang spesifik pula. Energi
sinar yang khas dapat diperoleh dari peristiwa emisi sinar dari lampu katoda
berongga (Hollow Cathode Lamp).
Karena lebar pita pada absorpsi atom sekitar 0,001 nm, maka tidak mungkin untuk
menggunakan sumber cahaya kontinyu, seperti pada spektrometri molekuler
dengan dua alasan utama sebagai berikut :
a)
Pita-pita absorpsi yang dihasilkan oleh atom-atom jauh lebih sempit dari pitapita yang dihasilkan oleh spektrometri molekul. Jika sumber cahaya kontinyu
digunakan, maka pita radiasi yang diberikan oleh monokromator jauh lebih lebar
dari pada pita absorpsi, sehingga banyak radiasi yang tidak mempunyai
kesempatan untuk diabsorpsi yang mengakibatkan sensitifitas atau kepekaan SSA
menjadi jelek.
b)
Karena banyak radiasi dari sumber cahaya yang tidak terabsorpsi oleh atom,
maka sumber energi cahaya kontinyu yang sangat kuat diperlukan untuk
menghasikan energi yang besar didalam daerah panjang gelombang yang sangat
sempit atau perlu menggunakan detektor yang jauh lebih sensitif dibandingkan
detektor photomultiplier biasa, akan tetapi didalam prakteknya hal ini tidak efektif
sehingga tidak dilakukan.
Dengan melakukan sumber cahaya tunggal, monokromator konvensional dapat
dipakai untuk mengisolasi satu pita spektra saja yang biasanya disebut dengan pita
resonanasi. Pita resonanasi ini menunjukkan transisi atom dari keadaan dasar ke

keadaan transisi pertama, yang biasanya sangat sensitif untuk mendeteksi logam
yang diukur.
Pada umumnya sumber cahaya yang digunakan adalah Hollow Cathode Lamp (HCL)
yang memberikan energi sinar khas untuk setiap unsur. Elektroda Hollow Cathode
Lamp biasanya terdiri dari wolfram dan katoda berongga dilapasi dengan unsur
murni atau campuran dari unsur murni yang dikehendaki. Hollow Cathode Lamp
dapat berupa unsur tunggal atau kombinasi beberapa unsur (Ca, Mg, Al, Fe, Mn, Cu,
Zn, Pb, dan Sn). Lampu katode terbuat dari gelas yang membungkus suatu katode
(suatu logam berbentuk silinder yang bagian dalamnya dilapisi dengan logam yang
jenisnya sama dengan unsur logam analit yang akan dieksitasi). Anoda tungsten
berbentuk kawat / batang, kedua elektrode diselubungi oleh tabung gelas yang diisi
gas inert seperti argon atau neon pada tekanan rendah (1-5 torr). Lampu ini
mempunyai potensial 500 V, sedangkan arus berkisar antara 2-20 MA. Sumber sinar
berfungsi untuk memberikan radiasi sinar pada atom-atom netral hingga terjadi
absorbsi yang diikuti peristiwa eksitasi atom. Keunggulan dari HCL adalah
menghasilkan radiasi yang sinambung dengan monokromator resolusi yang baik,
sehingga hukum Lambert-Beer dapat dipakai menghasilkan intensitas radiasi yang
kuat.
Pemancaran radiasi resonansi (sinar) terjadi bila kedua elektroda diberi tegangan,
arus lustrik yang terjadi menimbulkan ionisasi gas-gas pengisi. Ion-ion yang
bermuatan positif ini menembaki atom-atom yang terdapat pada katoda yang
menyebabkan tereksitasinya atom-atom tersebut. Atom-atom yang tereksitasi ini
bersifat tidak stabil dan akan kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan energi
eksitasinya dalam bentuk radiasi. Radiasi ini yang dilewatkan melalui atom yang
berada dalam nyala.

2.

Chopper

Merupakan modulasi mekanik dengan tujuan mengubah sinar dari sumber sinar
menjadi berselang-seling (untuk membedakan sinar dari emisi atom dalam nyala
yang bersifat kontinyu). Isyarat selang-seling oleh detektor diubah menjadi isyarat
bolak-balik, yang oleh amplifier akan digandakan, sedang emisi kontinyu bersifat
searah dan tidak digandakan oleh amplifier.

3.

Alat Pembakar (Proses Atomisasi)

Alat pembakar terdiri dari udara (O2), campuran O2 dan N2O, dan gas alam seperti
propana, butana, asetilen, dan H2 dan asilen. Ada tiga cara atomisasi dalam AAS :
a)

Memakai Nyala (pembakar)

Fungsi nyala adalah untuk memproduksi atom-atom yang dapat mengabsorpsi


radiasi yang dipancarkan oleh lampu katode tabung. Pada cara ini larutan
dikabutkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke pembakar atau burner. Udara
bertekanan (kompresor) sebagai oksidan ditiupkan ke dalam ruang pengkabut
(nebulizer) sehingga akan mengisap larutan sampel dan membentuk aerosol
kemudian dicampur dengan bahan bakar, diteruskan ke pembakar sedangkan butirbutir yang besar akan mengalir keluar melalui pembuangan (waste). Keunggulannya
adalah memberikan hasil yang bagus dan mudah cara kerjanya. Sedangkan
kekurangannya adalah efesiensi pengatoman didalam nyala rendah, sehingga
membatasi tingkat kepekaan analisis yang dapat dicapai.
Ada tiga jenis nyala dalam spektrometer serapan atom yaitu:

Udara Propana

Jenis nyala ini relatif lebih dingin (18000C) dibandingkan jenis nyala lainnya. Nyala
ini akan menghasilkan sensitifitas yang baik, jika elemen yang akan diukur mudah
terionisasi seperti Na, K, Cu.

Udara Asetilen

Jenis nyala ini adalah yang paling umum dipakai dalam AAS, nyala ini menghasilkan
temperatur sekitar 23000C yang dapat mengatomisasi hampir semua elemen.
Oksida-oksida yang stabil seperti Ca,Mo juga dapat dianalisa menggunakan jenis
nyala ini dengan memvariasi rasio jumlah bahan bakar terhadap gas pengoksidasi.

Nitrous Oksida Asetilen

Jenis nyala ini paling panas (30000C) dan sangat baik digunakan untuk
menganalisis sampel banyak mengandung logam-logam oksida seperti Al, Si, Ti, W.

b)

Tanpa Nyala (memakai tungku Grafit)

Tungku grafit dipanaskan dengan listrik (electrical thermal). Suhu dari tungku dapat
diprogram, sehingga pemanasan larutan dilakukan secara bertahap:

Tahap pengeringan (desolvasi)

Tahap pengabuan (volatilisasi, disosiasi)

Tahap pendinginan

Tahap atomisasi

Keunggulannya adalah sensitivitas lebih baik, suhu dapat diatur, jumlah sampelnya
sedikit (6 L).
c)

Tanpa Panas (dengan penguapan)

Digunakan untuk menetapkan raksa (Hg) karena raksa pada suhu biasa mudah
menguap dan berada dalam keadaan atom bebas.

4.

Nebulizer

Berfungsi untuk mengubah larutan menjadi aerosol (butir-butir kabut dengan


ukuran partikel 15-20 m) dengan cara menarik larutan melalui kapiler dengan
pengisapan gas bahan bakar dan oksidan, disemprotkan ke ruang pengabut.
Partikel-partikel kabut yang halus kemudian bersama-sama aliran campuran gas
bahan bakar, masuk ke dalam nyala, sedangkan titik kabut yang besar dialirkan ke
saluran pembuangan.

5.

Spray Chamber

Berfungsi untuk membuat campuran yang homogen antara gas oksidan, bahan
bakar, dan aerosol yang mengandung sampel sebelum memasuki burner.

6.

Ducting

Merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa pembakaran AAS,
yang langsung dihubungkan pada cerobong asap bagian luar pada atap bangunan,
agar asap yang dihasilkan oleh AAS tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar.
7.

Kompresor

Merupakan alat yang terpisah dengan main unit, karena alat ini berfungsi untuk
mensuplai kebutuhan udara yang akan digunakan oleh AAS pada waktu
pembakaran atom.

8.

Burner

Burner merupakan sistem tempat terjadi atomisasi yaitu pengubahan kabut/uap


garam yang akan dianalisis menjadi atom-atom normal dalam nyala.
Merupakan bagian paling terpenting didalam main unit, karena burner berfungsi
sebagai tempat pencampuran gas asetilen, dan aquabides agar tercampur merata,
dan dapat terbakar pada pemantik api secdara baik dan merata. Lubang yang
berada pada burner merupakan lubang pemantik api, dimana pada lubang inilah
awal dari proses pengatomisasian nyala api. Warna api yang dihasilkan berbedabeda tergantung pada konsentrasi logam yang diukur.

9.

Monokromator

Setelah radiasi resonansi dari lampu katoda berongga melalui populasi atom
didalam nyala, energi radiasi ini sebagian diserap dan sebagian lagi diteruskan.
Fraksi radiasi yang diteruskan dipisahkan dari radiasi lainnya. Pemilihan atau
pemisahan radiasi tersebut dilakukan oleh monokromator.
Berkas cahaya dari lampu katode berongga akan dilewatkan melalui celah sempit
dan difokuskan menggunakan cermin menuju monokromator. Monokromator dalam
alat AAS akan memisahkan, mengisolasi, dan mengontrol intensitas energi yang
diteruskan ke detektor.
Monokromator berfungsi untuk mengisolasi sinar yang diperlukan (salah satu atau
lebih garis-garis resonansi dengan tertentu) dari sinar (spektrum) yang dihasilkan
oleh lampu katoda berongga, dan meniadakan yang lain. Monokromator dalam
AAS diletakkan setelah tempat sampel, hal tersebut guna menghilangkan gangguan
yang berasal dari spektrum kontinyu yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas
bahan bakar yang tereksitasi didalam nyala.

10. Detektor

Berfungsi untuk menentukan intensitas radiasi foton dari gas resonansi yang keluar
dari monokromator dan mengubahnya menjadi arus listrik. Detektor yang paling
banyak digunakan adalah photo multifier tube. Terdiri dari katoda yang dilapisi
senyawa yang bersifat peka cahaya dan suatu anoda yang mampu mengumpulkan
elektron.
Ketika foton menumbuk katoda maka elektron akan dipancarkan, dan bergerak
menuju anoda. Antara katoda dan anoda terdapat dinoda-dinoda yang mampu
menggandakan elektron. Sehingga intensitas elektron yang sampai menuju anoda
besar dan akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik.

11. Rekorder
Sinyal listrik yang keluar dari detektor diterima oleh piranti yang dapat
menggambarkan secara otomatis kurva absorpsi.

12. Buangan pada AAS

Buangan pada AAS disimpan didalam drigen dan diletakkan terpisah pada AAS.
Buangan dihubungkan dengan selang buangan yang dibuat melingkar sedemikian
rupa, agar sisa buangan sebelumnya tidak naik lagi keatas, karena bila hal ini
terjadi dapat mematikan proses pengatomisasian nyala api pada saat pengukuran
sampel sehingga kurva yang dihasilkan akan terlihat buruk.

B.

ALAT DAN BAHAN

Alat :

1.

Labu takar 50 mL

2 buah

2.

Labu takar 25 mL

4 buah

3.

Pipet tetes

4.

Gelas kimia 100 mL

1 buah

5.

Gelas kimia 600 mL

1 buah

6.

Corong kecil

1 buah

7.

Pipet ukur 1 mL

1 buah

8.

Hot plate

9.

Kaca arloji

10. Instrumen AAS

1 buah

1 buah
1 buah
1 set

11. Batang pengaduk

1 buah

12. Corong dan statif

1 set

Bahan :
1.

Larutan stock Cu(II) 1000 ppm

2.

Larutan sampel

3.

Aquades

secukupnya

4.

Larutan HNO3 pekat

6 mL

5.

Kertas saring Whatmann

1 lembar

C.

1.

3 mL
50 mL

PROSEDUR KERJA

Preparasi sampel

Diambil 50 mL sampel dan dimasukkan ke dalam gelas kimia 100 mL. Ditambahkan
2,5 mL larutan HNO3 pekat, diaduk, kemudian diuapkan di atas hot plate sampai
volumenya menjadi 15 mL. Ditambahkan lagi 2,5 mL larutan HNO3 pekat, lalu

ditutup dengan kaca arloji, dan dipanaskan kembali sampai warna larutan menjadi
jernih. Kemudian larutan sampel didinginkan, ditambahkan sedikit aquades dan
dituangkan ke dalam labu takar 50 mL. Volume sampel di tepatkan / tanda batas
sampai dengan 50 mL dengan cara menambahkan aquades. Kemudian larutan
sampel disaring dengan kertas saring Whatmann.

2.

Pembuatan larutan blanko

Sebanyak 0,349 mL larutan HNO3 16 M dipipet dan diencerkan dengan


memasukannya ke dalam gelas kimia 600 mL yang berisi aquades dengan volume
500 mL. Larutan blanko berupa larutan HNO3 dengan pH 2.

3.

Pembuatan larutan kerja Cu(II)

Larutan kerja Cu(II) dibuat dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm,
dan 25 ppm. Larutan kerja konsentrasi 5 ppm dibuat dalam labu takar 50 mL,
sedangkan untuk larutan standar lainnya dibuat dalam labu takar 25 mL. Larutan
kerja Cu(II) dalam labu takar dengan masing-masing konsentrasi, diencerkan
dengan larutan blanko sampai tanda batas.

4.

Pembuatan kurva kalibrasi dan pengukuran konsentrasi sampel

Diukur absorbansi masing-masing larutan kerja yang telah disiapkan dimulai dari
konsentrasi terendah. Kemudian diukur absorbansi larutan sampel. Dibuat grafik
hubungan absorbansi vs konsentrasi dengan program Excell. Ditentukan persamaan
matematik hubungan linier antara absorbansi dengan konsentrasi. Ditentukan
konsentrasi (ppm) tembaga (II) dalam larutan contoh uji.

D.

HASIL DAN ANALISIS DATA

Percobaan yang telah dilakukan adalah penentuan kadar tembaga Cu(II) pada
sampel air limbah dengan menggunakan metode spektrometer serapan atom.
Sampel yang akan dianalisa berupa air limbah yang diperoleh dari daerah Leuwi
Gajah, yang berasal dari pabrik. Pengambilan sampel diambil dari tiga titik, dengan

kedalaman yang sama. Sampel yang diperoleh berupa cairan berwarna coklat
keruh.
Untuk dapat dianalisa dengan instrumen AAS, sampel dipreparasi terlebih dahulu.
Tahap ini dilakukan agar memenuhi Hukum Lambert-Beer. Dalam tahap preparasi
dilakukan penambahan HNO3 pekat dan pemanasan. Penggunaan HNO3 pekat ini
bertujuan untuk mempermudah proses destruksi agar logam Cu dalam keadaan
bebas, karena dalam sampel, logam dalam keadaan kompleks; dalam sampel tidak
hanya terdapat logam Cu saja tetapi terdapat pula logam-logam yang lain; dan agar
garam-garam yang mungkin terbentuk dapat larut, sehingga tidak terbentuk
endapan dan larutannya pun menjadi jernih. Selain itu, digunakannya larutan HNO3
yang bersifat asam, agar terhindar dari terjadinya pengendapan dari ion Cu2+, jika
ditambahkan basa akan terbentuk endapan Cu(OH)2. Dan fungsi pemanasan yaitu
untuk mempercepat dan mengefektifkan proses pemutusan ikatan atau destruksi
berlangsung. Setelah sampel dilakukan penambahan HNO3 pekat dan pemanasan,
larutan sampel disaring dengan kertas saring Whatmann, agar didapat larutan yang
homogen.
Larutan blanko yang digunakan merupakan larutan HNO3, karena larutan HNO3
sebagai pelarut dalam larutan sampel dan larutan standar, dengan demikian
keberadaan HNO3 tidak mempengaruhi data absorbansi yang diperoleh dari proses
pengukuran larutan standar dan larutan sampel. Dalam pengukuran sampel ini,
digunakan metode adisi standar. Karena diduga adanya kadar Cu2+ dalam larutan
sampel sedikit. Sehingga jika larutan diukur dikhawatirkan bahwa absorbansinya
tidak terbaca. Larutan blanko yang dibuat, diencerkan sampai pH 2 yang bersifat
asam, agar atom Cu dalam keadaan bebas/netral dan tidak terbentuk endapan.
Pada pembuatan larutan kerja Cu(II), dibuat dengan berbagai konsentrasi yaitu 5
ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, dan 25 ppm. Maka analisis kuantitatif dilakukan
dengan cara kurva kalibrasi antara absorbansi (sumbu y) dengan konsentrasi Cu
(sumbu x).
Kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi sampel dan pembuatan kurva
kalibrasi. Dari data pengamatan nilai absorbansi yang didapat, semakin besar
konsentrasi suatu larutan, maka semakin besar pula nilai absorbansi atau
penyerapan cahaya oleh atom.
Dari hasil pengamatan, diperoleh persamaan garis y = 0,0455x dengan R2 =
0,9794. Dari kurva tersebut, dilihat bahwa absorbansi berbanding lurus dengan
konsentrasi. Hal ini sesuai dengan Hukum Lambert-Beer A = a b C . Dari persamaan
garis ini diperoleh kadar Cu(II) dalam sampel sebesar 0,2198 ppm.
E.

KESIMPULAN

Pengambilan sampel dari beberapa titik dengan kedalaman yang sama, kemudian
dihomogenkan agar diperoleh sampel yang dapat dianalisis oleh instrumen AAS.
Preparasi sampel dilakukan proses destruksi dengan penambahan larutan HNO3
pekat dan proses pemanasan. Larutan kerja dibuat dari larutan stock Cu(II) 1000
ppm dan larutan blanko, dibuat berbagai konsentrasi yaitu 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm,
20 ppm, dan 25 pppm. Prinsip pengukuran dengan instrumen spektrometer serapan
atom adalah penyerapan/absorbansi cahaya oleh atom Cu dalam keadaan
bebas/netral yang berada pada nyala api. Pengukuran dengan spektrometer
serapan atom menghasilkan data absorbansi, dan untuk pengukuran kadar Cu(II)
dilakukan dengan metode kurva kalibrasi dari larutan kerja. Berdasarkan hasil
percobaan penentuan kadar Cu(II) pada sampel air limbah, dengan metode
spektrometer serapan atom diperoleh kadar Cu(II) dalam sampel air limbah sebesar
0,2198 ppm.

F.

DAFTAR PUSTAKA

Hendayana, Sumar. (1994). Kimia Analitik Instrumen. Edisi Kesatu. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Sabarudin, Ahmad, dkk. (2000). Kimia Analitik. Bandung: IKIP Semarang.
Wiji, dkk. (2012). Penuntun Praktikum Kimia Analitik Instrumen. Bandung: Jurusan
Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.

G.
1.

LAMPIRAN
Cara pembuatan larutan

a.
Sampel limbah

Pembuatan larutan sampel

Dimasukkan 50 mL ke dalam gelas kimia 100 mL

Ditambahkan 2,5 mL larutan HNO3 pekat

Diaduk

Diuapkan diatas hot plate sampai volumenya menjadi 15 mL

Ditambahkan lagi 2,5 mL larutan HNO3 pekat

Ditutup dengan kaca arloji

Dipanaskan kembali sampai warna larutan jernih

Didinginkan

Ditambahkan sedikit aquades

Dituangkan ke dalam labu takar 50 mL

Ditambahkan aquades sampai tanda batas

Disaring dengan kertas saring Whatmann

Larutan sampel homogen

b.
Larutan HNO3 pekat

Pembuatan larutan blanko

Dipipet 0,349 mL

Diencerkan dengan aqudes sampai volume 500 mL

Larutan blanko pH 2

c.

Pembuatan larutan kerja Cu(II)

Dipipet masing-masing 0,25 mL (5 ppm), 0,25 mL (10 ppm), 0,375 mL (15


ppm), 0,5 mL (20 ppm), 0,625 mL (25 ppm)

Dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL, untuk konsentrasi 5 ppm


dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL

Diencerkan dengan larutan blanko sampai tanda batas

Larutan kerja Cu(II)

2.

Data pengamatan

a.

Tabel pengamatan

Cara Kerja
Pengamatan
a.

Preparasi sampel

Dimasukkan 50 mL ke dalam gelas kimia 100 mL

Ditambahkan 2,5 mL larutan HNO3 pekat

Diaduk

Diuapkan diatas hot plate sampai volumenya menjadi 15 mL

Ditambahkan lagi 2,5 mL larutan HNO3 pekat

Ditutup dengan kaca arloji

Dipanaskan kembali sampai warna larutan jernih

Didinginkan

Ditambahkan sedikit aquades

Dituangkan ke dalam labu takar 50 mL

Ditambahkan aquades sampai tanda batas

Disaring dengan kertas saring Whatmann

Sampel berupa air limbah berwarna coklat keruh

Air limbah diadisi, ditambahkan larutan Cu 1000 ppm, sebanyak 10 mL

Larutan HNO3 pekat = larutan tidak berwarna

Campuran air limbah + HNO3 pekat = larutan berwarna coklat

Ditambahkan lagi HNO3 pekat = campuran berwarnakuning muda

Setelah selesai dipanaskan, campuran berupa larutan berwarna kuning

Ketika didinginkan, daerah dinding gelas kimia berwarna kuning

Larutan sampel berwarna kuning

Larutan sampel homogen berwarna kuning

b.

Pembuatan larutan blanko

Dipipet 0,349 mL

Diencerkan dengan aqudes sampai volume 500 mL

Larutan HNO3 = larutan tidak berwarna

Larutan blanko = larutan tidak berwarna

c.

Pembuatan larutan kerja Cu(II)

Dipipet masing-masing 0,25 mL (5 ppm), 0,25 mL (10 ppm), 0,375 mL (15


ppm), 0,5 mL (20 ppm), 0,625 mL (25 ppm)


imasukkan ke dalam labu takar 25 mL, untuk konsentrasi 5 ppm dimasukkan
ke dalam labu takar 50 mL

Diencerkan dengan larutan blanko sampai tanda batas

Larutan stock Cu 1000 ppm = berwarna biru muda

Laruta kerja Cu(II) berbagai konsentrasi = larutan tidak berwarna

d.

Pembuatan kurva kalibrasi dan pengukuran konsentrasi sampe

Diukur absorbansi larutan kerja dimulai dari konsentrasi terendah

Diukur absorbansi larutan sampel

Dibuat grafik hubungan absorbansi vs konsentrasi

Ditentukan persamaan matematik hubungan linier

Ditentukan konsentrasi (ppm) Cu(II) dalam larutan contoh uji

data terlampir

b.

Kondisi instrumen

Parameter
Pengamatan
Asal
Limbah pabrik daerah Leuwi Gajah
Wujud
Cair
Warna
Coklat keruh
Bau
Tidak berbau
Logam yang di uji

Logam Cu
Volume
50 mL
c.

Kondisi sampel

Parameter
Pengamatan
Kuat arus
15 Ampere
Hollow Cathode Lamp
Cu
Panjang gelombang
324,8 nm
Energi
66 %
Intergrated time
0,7 s
Reflicated
3 (triplo)
Oksidan dan fuel
Oksidan : udara dan fuel : asetilen
Slit atau celah
0,7 nm
Warna nyala
Biru

d.

Data hasil absorbansi

larutan ppm
A
0
0
5
0,23
10
0,443
15
0,589
20
0,866
25
1,235
sampel
0,465

3.

Perhitungan

# Pembuatan larutan blanko


HNO3 = 1,39 Kg/L
Mr NO3 = 63
% HNO3 = 65 %
V HNO3 = 65% x 100 mL = 65 mL = 0,065 L
Massa HNO3 = V x
= 0,065 L x 1,39 Kg/L
= 0,09035 Kg

= 90,35 g
n HNO3 =
= 1,434 mol
M HNO3 =
=
= 14,34 M
pH larutan = 2 maka [larutan] = 1x 10-2 M
[HNO3] = 14,34 M ; V HNO3 = 500 mL
[larutan] x V larutan = [HNO3] x V HNO3
V HNO3 = = 0,349 mL
# Pembuatan larutan kerja Cu (II)

5 ppm

V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 1000 ppm = 50 mL x 5 ppm
V1 = 0,25 mL

10 ppm

V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 1000 ppm = 25 mL x 10 ppm
V1 = 0,25 mL

15 ppm

V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 1000 ppm = 25 mL x 15 ppm
V1 = 0,375 mL

20 ppm

V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 1000 ppm = 25 mL x 20 ppm

V1 = 0,5 mL

25 ppm

V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 1000 ppm = 25 mL x 25 ppm
V1 = 0,625 mL

# Perhitungan kadar Cu(II)


Persamaan garis y= 0,0455x

R2 = 0,9794

Absorbansi sampel = 0,0465


y = 0,0455x
0,0465 = 0,0455x
x = 10,2198 ppm
Karena pada preparasi sampel ditambahkan larutan stock Cu dengan konsentrasi 10
ppm, maka kadar Cu dalam air limbah adalah 10,2198 ppm 10 ppm = 0,2198
ppm.
Diposkan 9th January 2013 oleh Novie Nurlaeli
http://noviechemist.blogspot.co.id/2013/01/laporan-praktikum-aas_8.html

Anda mungkin juga menyukai