Anda di halaman 1dari 25

Bagian Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran

Referat

Universitas Mulawarman

KANKER LEHER RAHIM

Disusun oleh:
Rina Rahayu
04.45380.00170.09

Pembimbing:
dr. Andriansyah, Sp.OG

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada


SMF/lab Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan
tubuh yang tidak normal dan dapat menyerang berbagai jaringan di dalam organ tubuh,
termasuk organ reproduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim, indung telur, dan
vagina. Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahun jumlah penderita
kanker bertambah 6,25 juta orang atau setiap 11 menit ada satu penduduk meninggal
dunia karena kanker dan setiap 3 menit terdapat satu penderita kanker baru.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit kanker
merupakan penyebab kematian nomor 5 di Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler,
infeksi, pernafasan dan pencernaan. Menurut data riset kesehatan dasar (Riskesdas)
tahun 2007, prevelensi tumor di masyarakat sebesar 4,3 per 1000 penduduk.1
Salah satu kanker yang menyebabkan kematian pada wanita adalah kanker leher
rahim. Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia
menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara di negara berkembang
termasuk Indonesia masih menempati urutan teratas sebagai akibat kematian.
Berdasarkan hasil penelitian WHO (2010), pada tahun 2008 kejadian kanker leher
rahim menempati urutan ketiga setelah kanker payudara dan kanker kolorektum pada
wanita, dimana terjadi 529.828 kasus baru dan 275.128 wanita meninggal karena
kanker leher rahim.2
Di Indonesia diperkirakan sekitar 90 sampai 100 kasus baru kanker leher rahim
diantara 100.000 penduduk pertahunnya, dan saat ini masih menempati urutan kedua
setelah kanker payudara. Data statistik rumah sakit dalam Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) Indonesia tahun 2006, menunjukkan bahwa kanker leher rahim
menempati urutan kedua (11,07%) setelah kanker payudara (19,64%). Mortalitas
kanker leher rahim di Indonesia masih tinggi karena 90% terdiagnosa pada stadium
invasif, lanjut bahkan terminal.3

Penyebab kanker leher rahim belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
ekstrinsik mempunyai hubungan erat dengan kejadiannya, diantaranya adalah jarang
ditemukan pada perawan (virgo), insiden tinggi pada wanita yang telah menikah,
terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda
(kurang dari 16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi apabila
jarak persalinan amat dekat, sosioekonomi rendah, hygiene seksual yang jelek,
aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang ditemukan
pada pasangan suami yang disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada wanita yang
mengalami infeksi HPV (human papilloma virus) tipe 16 dan 18 dan kebiasaan
merokok.4
Beberapa gejala yang ditimbulkan pada kanker leher rahim antara lain adalah
perdarahan melalui vagina, misalnya setelah melakukan koitus (pasca senggama), atau
perdarahan menstruasi yang lebih banyak dan lebih sering, ataupun timbul perdarahan
diantara siklus menstruasi. Selain itu terdapat pula gejala keputihan, terjadi perdarahan
pervaginam meskipun telah memasuki masa menopause dan timbul nyeri panggul
(pelvis). Gejala kanker leher rahim yang banyak terjadi menurut Aziz (2001) adalah
perdarahan pervaginam abnormal (56%), selanjutnya diikuti dengan nyeri pelvis (9%)
dan keputihan (4%).3
I.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk membahas dan mengetahui penyebab,
manifestasi klinis, diagnosis dan penatalaksanaan kanker leher rahim.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kanker Leher Rahim

Kanker leher rahim adalah tumbuhnya sel-sel abnormal yang terjadi pada daerah
leher rahim uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk kearah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dan liang senggama (vagina),
dan merupakan kanker primer yang berasal dari leher rahim (kanalis servikalis dan atau
porsio).5

Gambar 1: Genitalia Interna Wanita5


Secara histologik permukaan leher rahim dilapisi oleh epitel kolumnar pada
bagian proksimal dan epitel gepeng tanpa keratin pada bagian distal.

Zona

transformasi antara kedua jenis epitel tersebut disebut dengan zona squamocolumnar
junction (SCJ) dan merupakan daerah terbanyak kanker leher rahim dan lesi
prekursornya berasal.6
Sebagian besar kanker leher rahim (80-90%) adalah kanker sel skuamosa,
sedangkan 10-20% adalah adenokarsinoma. Selain itu, terdapat jenis histologi sel
kanker leher rahim yang lain yaitu yang berjenis sel kecil atau small cell. Gambaran
histologi small cell jarang ditemukan, namun sifatnya lebih progresif dan potensial
untuk menimbulkan metastase meski dalam stadium awal bila dibandingkan dengan
jenis hsitologi sel kanker leher rahim yang lain. Prognosisnya pun sangat buruk dengan

angka harapan hidup selama 5 tahun pada stadium awal sebesar 31,6% - 36,4%,
sedangkan untuk stadium lanjut sebesar 0% - 14%.6
2.2 Etiologi Kanker Leher Rahim
Penyebab terjadinya kanker leher rahim belum diketahui, tetapi terdapat
beberapa faktor ekstrinsik yang mempengaruhi terjadinya kanker ini, sebagai berikut :
2.2.1

Usia
Kanker leher rahim terjadi mulai dari dekade kedua kehidupan. Setengah
dari perempuan didiagnosis dengan penyakit ini adalah antara 35 - 55 tahun dan
jarang mempengaruhi perempuan di bawah usia 20 tahun.6
Menurut Diananda (2007), usia lebih dari 35 tahun mempunyai risiko
tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin
meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker
leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan
bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin

2.2.2

melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.6


Usia pertama menikah
Usia pertama kali menikah atau berhubungan seksual merupakan salah
satu faktor yang cukup penting, karena terjadinya kanker leher rahim dengan
masa latennya memerlukan waktu 30 tahun sejak melakukan hubungan seksual
pertama, sehingga hubungan seksual pertama dianggap awal dari mula proses
munculnya kanker leher rahim. Menurut Aziz (2002), wanita menikah dibawah
usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar kemungkinan terjadinya kanker
leher rahim daripada yang menikah setelah berusia 20 tahun ke atas.4
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar
matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau
belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di
selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru
matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Hal ini berkaitan dengan
kematangan sel-sel mukosa pada leher rahim. Pada usia muda, sel-sel mukosa
pada leher rahim belum matang dan terjadi proses metaplasia skuamosa yang
aktif yang terjadi di dalam zona transformasi. Artinya, masih rentan terhadap
5

rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zatzat kimia yang dibawa sperma ataupun bahan karsinogenik.4
Metaplasia skuamosa merupakan suatu proses fisiologi, tetapi di bawah
pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga mengakibatkan
suatu zona transformasi yang tidak patologik. Perubahan ini menginisiasi suatu
proses neoplasia intraepitel leher rahim (Cervic Intraepithel Neoplasma = CIN)
2.2.3

yang merupakan fase prainvasif dari kanker leher rahim.4


Paritas
Kanker leher rahim dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin
sering partus semakin besar kemungkinan risiko mendapat kanker leher rahim.
Pada beberapa penelitian dengan metode case control didapatkan bahwa wanita
yang 3 atau 4 kali partus memiliki 2.6 kali risiko untuk terkena kanker leher
rahim, sedangkan wanita yang melahirkan lebih dari 7 memiliki risiko sebesar
3.8 kali.5
Alasan fisiologi adanya hubungan antara paritas dan kanker leher rahim
sampai saat ini belum jelas, namun kemungkinan faktor hormonal pada saat
kehamilan yang membuat wanita lebih peka terhadap infeksi HPV (human
papilloma virus) dan trauma serviks pada saat melahirkan diduga sebagai
alasannya.5

2.2.4

Kontrasepsi yang pernah digunakan


Diananda (2007) mengatakan bahwa penggunaan kontrasepsi oral yang
dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan
risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu
sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. 7 WHO melaporkan risiko
relatif pada pemakai kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai
dengan lamanya pemakaian.8
Pemakaian

alat

kontrasepsi

dalam

rahim/intrauterine

device

(AKDR/IUD) juga diduga dapat mempengaruhi terjadinya kanker leher rahim.


Penggunaan IUD berpotensi terhadap terjadinya erosi serviks akibat iritasi
kronik dari benang sehingga memudahkan terjadinya infeksi yang kemudian
6

menjadi radang yang terus-menerus. Iritasi kronik tersebut dapat menyebabkan


transformasi sel epitel normal menjdi epitel displastik yang reversibel setelah
pengangkatan IUD.7
2.2.5

Berganti-ganti pasangan seksual


Menurut Diananda (2007), berganti-ganti pasangan akan memungkinkan
tertularnya penyakit kelamin, salah satunya HPV.7 Risiko terjadinya kanker

2.2.6

leher rahim meningkat lebih dari 10 kali bila mitra seks 6 atau lebih.5
Penyakit menular seksual (PMS)
Penyakit menular seksual merupakan penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus,
diantaranya adalah HPV (human papilloma virus), HSV (herpes simplek virus),
HIV

(human

immunodeficiency

virus)

dan

Klamidia.

Pada

proses

karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen DNA sel
pejamu sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel.8
1. HPV (human papilloma virus)
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena
virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker
leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin
berisiko terkena kanker leher rahim.9
Menurut Rasjidi (2007), saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat
teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual.
Beberapa tipe HPV merupakan virus risiko rendah yang jarang menimbulkan
kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko
tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal
pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu
kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan
mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe
16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50%
kanker leher rahim.15 Sedangkan menurut Sjamsuddin (2001), dari berbagai

penelitian terdapat tiga golongan HPV yang berhubungan dengan kanker leher
rahim, yaitu : HPV risiko rendah (HPV tipe 6, 11 dan jarang tipe 46 pada
kanker invasif), HPV risiko sedang (HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58)
dan HPV risiko tinggi (HPV tipe 16, 18, dan 31).8
Menurut Dellas (1997) dan Cotrans dkk( 1999), HPV merupakan faktor
inisiator kanker leher rahim. Secara seluler, mekanisme terjadinya kanker leher
rahim berkaitan dengan siklus sel yang diekspresikan oleh HPV. Genom virus
ini terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein dan berperan pada
replikasi genom, sedangkan the late region (L) berisi gen-L yang mengkode
protein kapsid.10
Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan E7. Protein
E6 (oncoprotein) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan
dengan keberadaan tumor suppressor gene p53. Protein E7 (oncoprotein)
mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan
tumor suppressor gene pRb. Protein E7 akan mengikat gen Rb. Gen p53 adalah
gen yang mengkode phosphoprotein inti sel dan bertindak sebagai negatif
regulator dalam siklus sel, sehingga dikelompokkan dalam gen-gen penekan
tumor. Gen Rb adalah gen yang ditemukan bertanggung jawab pada tumor
retina mata (retinoblastoma) dan merupakan prototipe dari gen-gen penekan
tumor.10
Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linier dan
terpotong di antara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dan DNA
manusia menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2 tidak berfungsi akan
merangsang E6 dan E7 berikatan dengan gen p53 dan pRb. Protein E6 dari
HPV 16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme
pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP),
sehingga akan terjadi penurunan kadar protein p53 (wild type). Protein E7
(oncoprotein) akan mengikat gen pRb, sehingga akan berakibat sama seperti
pada protein p53. Ikatan E7 dengan pRb tersebut menyebabkan tidak terikatnya
gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb, sehingga gen E2F menjadi aktif

dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimuli
proliferasi sel.36 Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan proliferasi sel
melebihi batas normal sehingga berubah menjadi sel karsinoma.11

Gambar 2 : Perjalanan Infeksi HPV menjadi Kanker Leher Rahim 12

Prevalensi puncak infeksi HPV dimulai pada usia sekitar 20 tahun, yaitu
setelah wanita memulai aktivitas seksualnya. Kemudian menjadi kondisi prekanker setelah 10 tahun kemudian dan mencapai fase invasif pada usia 40-50
tahun.12
2. HSV (herpes simplek virus)
Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus ini berperan besar
dalam mengakibatkan kanker leher rahim. Oleh karena itu diduga hanya
sebagai ko-faktor atau dapat dianggap sama dengan karsinogen kimia atau
fisik.8
3. HIV (human immunodeficiency virus)
HIV merupakan virus penyebab AIDS (acquired immue odeficiency
syndrome) yang merusak system kekebalan tubuh dan pada wanita
meningkatkan risiko terjadinya infeksi HPV. Dengan kata lain, wanita yang
terkena AIDS akan meningkatkan risiko kanker leher rahim. Sistem imun
berfungsi penting dalam menghancurkan sel kanker dan memperlambat
pertumbuhan dan penyebarannya. Pada wanita dengan HIV, pre kanker leher
rahim lebih cepat berkembang menjadi kanker invasif dibanding wanita non
HIV.13
4. Klamidia
Klamidia merupakan bakteri yang dapat menginfeksi sistem reproduksi.
Bakteri ini dapat menyebar melalui kontak seksual. Infeksi Klamidia dapat
menyebabkan terjadinya infeksi pelvis yang mengakibatkan infertil. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa wanita yang pernah dan baru terinfeksi
Klamidia berdasarkan pemeriksaan tes darah memiliki risiko yang tinggi
terhadap kanker leher rahim. Infeksi Klamidia sering tidak menyebabkan gejala
apapun, sehingga wanita tidak tahu jika telah terinfeksi bakteri tersebut.13

2.2.7

Pasangan suami yang tidak sirkumsisi


Beberapa penelitian mengatakan bahwa pria yang sudah disirkumsisi
akan menurunkan risiko terjadinya infeksi HIV, HSV-2 dan HPV, selain itu

10

juga menurunkan risiko terjadinya trikomoniasis dan vaginosis bakterial pada


pasangan wanitanya.14
Sirkumsisi merupakan tindakan memotong atau menghilangkan sebagian
atau seluruh kulit penutup depan dari penis (preputium). Pria yang belum
disirkumsisi, ketika melakukan hubungan seksual akan mengakibatkan
terjadinya retraksi preputium sehingga paparan mukosanya mengenai langsung
vagina ataupun cairan leher rahim. Padahal rongga pada preputium kondisinya
lembab, sehingga menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan HPV dan HSV2.2.8

2, sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi.14


Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap
sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic
aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok,
konsentrasi nikotin pada getah leher rahim 56 kali lebih tinggi dibandingkan di
dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada leher rahim adalah
menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi
virus. Risiko wanita perokok terkena 4-13 kali lebih besar dibandingkan wanita

bukan perokok.8
2.3 Patologi Kanker Leher Rahim
Epitel leher rahim terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar,
kedua epitel tersebut dibatasi oleh squamocolumnar junction (SCJ). Yang letaknya
tergantung pada umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan aktivitas
seksual tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh
prostaglandin.8
Selama perkembangannya, epitel silindris penghasil mucus di endoserviks
bertemu dengan epitel gepeng yang melapisi eksoserviks, keseluruhan serviks yang
terpajan dilapisi oleh sel gepeng. Epitel silindris tidak tampak dengan mata telanjang
atau secara kolposkopi. Seiring dengan waktu pada sebagian besar perempuan muda,
terjadi pertumbuhan ke bawah epitel silindris dibawah eksoserviks (ektropion),
sehingga SCJ terletak di bawah eksoserviks dan epitel silindris menjadi terpajan.
Remodelling terus berlanjut dengan regenerasi epitel gepeng dan silindris pada zona

11

transformasi, sehingga SCJ kembali pada tempatnya dan epitel silindris tidak terpajan
lagi.15

Gambar 3 : Skema Pembentukan Zona Transformasi Serviks 15


Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks,
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas
metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia
ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang
menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.
Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi.8

12

Proses terjadinya kanker leher rahim sangat erat hubungannya dengan proses
metaplasia. Masuknya bahan-bahan yang dapat mengubah sifat sel secara genetik atau
mutagen pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi
ganas. Perubahan biasanya terjadi pada daerah SCJ atau daerah transformasi. Sel-sel
yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia. Dimulai dari
displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, kanker in situ dan kemudian
berkembang menjadi kanker invasif.8
2.4 Klasifikasi Kanker Leher Rahim
Terdapat dua klasifikasi kanker leher rahim, yaitu : 16
1. Berasal dari portio (leher rahim pars vaginalis) yang disebut skuamos sel atau
epidermoid kanker (ektoserviks rahim). Menurut gambaran klinisnya, epidermoid
kanker dibagi menjadi 4 stadium, yaitu:
a) Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronika biasa.
b) Stadium permulaan (early stage)
Sering tampak sebagai lesi disekitar ostium uteri externum, pada batas kedua
jenis epitel. Tampak sebagai daerah yang granuler, keras, lebih tinggi dari
sekitarnya dan mudah berdarah. Kadang-kadang permukaannya tertutup oleh
pertumbuhan yang papiler.
c) Stadium setengah lanjut (moderately advanced stage)
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir portio. Bentuknya seperti
bloemkool (=cauliflower growth). Bentuk ini disebut everting atau exophytic.
Bila tumbuhnya ke dalam jaringan leher rahim disebut inverting atau
endophytic. Teraba sebagai indurasi yang keras.
d) Stadium lanjut (advanced stage)
Terjadi pengrusakan oleh jaringan leher rahim, sehingga tampaknya seperti
ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah. Vagina disekitarnya
menjadi keras, juga ligamentum latum sebagai akibat infiltrasi jaringan kanker
dan juga karena infeksi. Selanjutnya jaringan kanker dapat mengenai rectum,
kandung kemih dan dapat menyembuhkan fistula.
2. Berasal dari kanalis servikalis yang disebut adenokarsinoma (endoserviks rahim)

13

Berdasarkan gambaran mikroskopis kanker leher rahim dibedakan menjadi dua,


yaitu :16
1. Kanker intraepithelial-kanker insitu (KIS)
Adalah keadaan dimana seluruh lapisan epitel gepeng diganti oleh sel abnormal
yang tidak berdiferensiasi, yang tidak dapat dibedakan dengan sel-sel kanker.
Perubahan-perubahan ini belum menembus membrane basalis atau pembuluh limfa.
2. Kanker invasif
Umumnya gejala belum sesuai dengan derajat ketidak matangan sel. Makin tidak
matang selnya-selnya, makin radiosensitif. Stadium dari tumor lebih penting dari
pada jenis selnya.
2.5 Gejala Klinis Kanker Leher Rahim
Pada stadium dini kanker leher rahim tidak menunjukkan gejala yang khas atau
bahkan tidak ada gejala sama sekali sehingga sulit diketahui. 1 Beberapa tanda dan
gejala pada kanker leher rahim antara lain keputihan, perdarahan vagina yang
abnormal, nyeri, anemia dan lain-lain.17
Keputihan merupakan keluarnya cairan mukus yang encer, yang keluar dari
vagina makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Sedangkan
perdarahan timbul sebagai akibat terbukanya pembuluh darah yang makin lama akan
lebih sering terjadi. Perdarahan ini dapat terjadi setelah coitus, dicurigai terjadi pada
menstruasi yang lama dan banyak dan dapat pula terjadi pada wanita menopause.
Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat stadium lanjut, terutama pada tumor
yang bersifat eksofitik.17
Gejala klinis lain pada kanker leher rahim yaitu nyeri, rasa nyeri timbul akibat
infiltrasi sel tumor ke serabut saraf. Rasa nyeri daerah pelvis dirasakan di perut bagian
bawah sekitar panggul yang biasanya unilateral yang terasa menjalar ke paha dan ke
seluruh panggul. Nyeri bersifat progresif, sering dimulai dengan low back pain di
daerah lumbal, menjalar ke pelvis dan tungkai bawah. Dapat pula terjadi nyeri pada
saat BAK (buang air kecil) atau BAB (buang air besar). Anemia juga dapat terjadi
karena adanya perdarahan pervaginam yang berulang. Pada kasus kanker leher rahim
yang telah metastasis dapat terjadi kegagalan faal ginjal (CRF= Chronic Renal

14

Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang
menyebabkan obstruksi total.14
2.6 Penyebaran Kanker Leher Rahim
Penyebaran kanker leher rahim terdiri atas 3 cara, yaitu : 1) melalui pembuluh
darah, 2) pembuluh limfe, 3) langsung menyebar ke parametrium, korpus uterus,
vagina, kandung kemih dan rektum.1
Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor
dapat menyebar ke kelenjar iliaka dalam (hipogastrika). Kanker leher rahim umumnya
terbatas pada daerah panggul saja tetapi tergantung dari kondisi imunologi tubuh
penderita. Kanker in situ (KIS) akan berkembang menjadi mikro invasive dengan
menembus membran basalis. Jika sel tumor sudah berada dalam pembuluh darah atau
limfa maka prosesnya sudah invasif penyebaran secara perkontinuitatum (menjalar)
menuju fornises vagina, korpus uterus, rectum dan kandung kemih dimana pada tingkat
akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih.9
Penyebaran secara limfogen kearah parametrium akan menuju ke kelenjar limfe
regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliaka interna, eksterna dan
komunis, obturator, hipogastrika, parasakral, paraaorta, melalui trunkus limfatikus di
kanan dan vena subklavia kiri mencapai paru, hati, ginjal, tulang dan otak.18
2.7 Stadium Klinik Kanker Leher Rahim

Gambar 4:
Stadium

Klinis

Kanker

Leher

Rahim19

15

Tabel 1: Stadium Klinik Kanker Leher Rahim Menurut FIGO 2000 20


Stadium
0
I
IA1

Kriteria
Lesi belum menembus membrane basalis
Lesi tumor masih terbatas di leher rahim
Lesi telah menembus membrane basalis kurang dari 3

IA2

mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm


Lesi telah menembus membrane basalis > 3mm tetapi <

IB1

5 mm dengan diameter permukaan tumor <7 mm


Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer <

IB2

4 mm
Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer >

II

4 mm
Lesi telah keluar leher rahim (meluas ke parametrium

IIA
IIB

dan sepertiga proksimal vagina)


Lesi telah meluas ke sepertiga vagina proksimal
Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai

III

dinding panggul
Lesi telah keluar dari leher rahim (menyebar ke

2.8
Diagnosis
Kanker
Leher
Rahim
IIIA

parametrium dan atau sepertiga vagina distal)


Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal/bawah

IIIB
IV
IVA

Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding pangul


Lesi menyebar keluar dari organ genitalia
Lesi meluas keluar rongga panggul, dan atau menyebar

IVB

ke mukosa vesika urinaria


Lesi meluas ke mukosa rectum, dan atau meluas ke

organ jauh
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut :
1.

Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan ini dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap). Pap smear
dapat mendeteksi lesi secara dini dengan tingkat ketelitian sampai 90% pada kasus
kanker leher rahim, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun
menurun sampai lebih dari 50%. Sitodiagnosis didasarkan pada kenyataan, bahwa
sel-sel permukaan secara terus menerus dilepaskan oleh epitel dari permukaan

16

traktus genitalis. Sel-sel yang dieksfoliasi atau dikerok dari permukaan epitel leher
rahim merupakan mikrobiopsi yang memungkinkan kita mempelajari proses dalam
keadaan sehat dan sakit. Sitologi adalah cara skrining sel-sel leher rahim yang
tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat
didiagnosis secara histologik.8
Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear
secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut
menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smear bisa
dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah
sebagai berikut: 12
a. Normal.
b. CIN I

: displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas),


dimana sel abnormal terbatas pada sepertiga luar lapisan
permukaan yang melapisi serviks. termasuk didalamnya adalah
perubahan sel yang disebabkan oleh virus HPV.

c. CIN II

: displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas),


dimana sel abnormal menempati setengah dari lapisan
permukaan serviks.

d. CIN III

: kanker in situ (kanker terbatas pada lapisan leher rahim paling


luar) dan kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan leher
rahim yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya), dimana
keseluruhan lapisan epitel tersusun oleh sel abnormal namun
belum menyebar ke bawah permukaan.

17

Gambar 5 : Histologi Cervic Intraepithelial Neoplasia (CIN)21

2.

Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan
atau luka pada leher rahim, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan
suatu abnormalitas atau kanker. 20
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika squamocolumnar junction (SCJ)
terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SCJ tidak terlihat seluruhnya atau
hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di kanalis servikalis tidak dapat dinilai,
maka contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan
tepat dan alat biopsy harus tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin
10%.8

3.

Kolposkopi (pemeriksaan leher rahim dengan lensa pembesar)


Pemeriksaan melihat porsio (juga vagina dan vulva) dengan pembesaran 1015x, untuk menampilkan porsio dipulas terlebih dahulu dengan asam asetat 3-5%.
Pada porsio dengan kelainan (infeksi HPV atau NIS) terlihat bercak putih atau

4.

perubahan corakan pembuluh darah.22


Konisasi
Konisasi leher rahim adalah pengeluaran sebagian jaringan leher rahim
sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus), dengan
kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, konisasi harus
dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan
pemeriksaan kolposkopi atau dapat pula dengan menggunakan tes Schiller. Pada
tes ini digunakan larutan lugol (yodium 5g, kalium yodida 10g, air 10 ml). Leher
rahim diolesi dengan larutan yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah
menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau
kuning.8
Konisasi diagnostic dilakukan pada keadaan dimana proses dicurigai berada
di endoserviks rahim, lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan
18

kolposkopi, diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar spesimen biopsi, dan


jika terdapat kesenjangan hasil sitologi dan histopatologik.8
5.

Tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)


IVA merupakan pemeriksaan skrining alternative dari Papsmear karena
murah dan praktis, sangat mudah dilakukan dengan peralatan sederhana.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat serviks yang telah diberi asam
asetat 3-5% secara inspekulo. Zat ini akan meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler epitel abnormal. Cairan ekstraseluler hipertonik ini akan menarik
cairan intraseluler sehingga membrane akan kolaps dan jarak antar sel semakin
dekat. Akibatnya jika permukaan epitel disinari maka sinar tersebut tidak akan
diteruskan ke stroma namun akan dipantulkan dan permukaan epitel abnormal
akan berwarna putih.11
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan juga akan berwarna
putih setelah pengusapan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan
cepat menghilang, ini yang membedakannya dengan proses pra-kanker dimana
epitel putih lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi
lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein yang lebih banyak.11
Makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan histologiknya.
Demikian pula makin makin tajam batasnya, makin tinggi derajat jaringannya,
sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks
yang normal (merah homogen) dan bercak putih (displasia). Dibutuhkan satu
sampai dua menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Serviks
yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat daripada larutan
3%. Efek akan hilang setelah sekitar 50-60 detik. Lesi yang tampak sebelum
aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih namun dikatakan suatu

leukoplakia.11
2.9 Penatalaksanaan Kanker Leher Rahim
2.9.1 Pencegahan
Kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari
faktor-faktor penyebab kanker. Pencegahan kanker didefinisikan sebagai
pengidentifikasian faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kanker pada

19

manusia dan membuat sebab-sebab ini tidak efektif dengan cara-cara apapun
yang mungkin.8
Pencegahan kanker leher rahim dapat berupa pencegahan primer sekunder
maupun tersier. Pencegahan primer merujuk pada kegiatan/langkah yang dapat
dilakukan oleh setiap orang untuk menghindarkan diri dari faktor-faktor yang
dapat menyebabkan tumbuhnya kanker. Pencegahan primer ini dapat berupa 1,8
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda,
pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks.
2. Dianjurkan untuk berperilaku hidup sehat, seperti menjaga kebersihan alat
kelamin dan tidak merokok.
3. Memperbanyak makan sayur dan buah segar serta berolahraga
Pencegahan sekunder diterapkan dengan pengidentifikasian kelompok
populasi berisiko tinggi terhadap kanker, skrining populasi tertentu, deteksi dini
kanker pada individu yang tidak bergejala (asimtomatik) dan pengubahan
perilaku manusia sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. 8
Skrining ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan pap smear pada wanita diatas
usia 25 tahun, telah menikah dan sudah mempunyai anak.1
Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining, dimana dengan
program skrining dapat memperoleh beberapa keuntungan yaitu : memperbaiki
prognosis pada sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian akibat
kanker, tidak diperlukan pengobatan radikal untuk mencapai kesembuhan, adanya
perasaan tentram bagi mereka yang menunjukkan hasil negatif dan penghematan
biaya karena pengobatan yang relatif murah. Di beberapa negara maju yang telah
melakukan program skrining penyakit kanker leher rahim dalam upaya
menemukan penyakit pada tingkat prakanker, dapat menurunkan kematian
sampai lebih dari 50%.23
Pencegahan tersier ditujukan pada seseorang yang telah positif menderita
kanker leher rahim dan menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena
pengobatan. Sehingga perlu dilakukan rehabilitasi untuk mengembalikan bentuk
dan atau fungsi organ yang cacat, supaya penderita dapat hidup dengan layak dan

20

wajar di masyarakat. Rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk penderita kanker


leher rahim pasca menjalani operasi contohnya yaitu dengan melakukan gerakangerakan untuk membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk mengurangi
pembengkakan, bagi penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat
kemoterapi dan radioterapi bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara
karena umumnya rambut akan tumbuh kembali.23
2.9.2 Pengobatan
Kanker leher rahim dapat ditangani dengan pembedahan, terapi radiasi atau
kemoterapi. Penentuan terapi yang digunakan berdasarkan stadium, ukuran dan
lokasi kanker, usia dan kondisi kesehatan pasien. Terapi kanker leher rahim
dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara histologik. 24 Pengobatan
pada kanker leher rahim dapat berupa :
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun
paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya
sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan
tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita.
Pembedahan dipilih hanya untuk kanker leher rahim stadium I atau II.24
Ada beberapa macam bentuk terapi bedah, antara lain : a) radical
trachelectomy, merupakan suatu cara pembedahan dimana leher rahim,
sebagian vagina dan limfonodi pelvis diangkat. Pembedahan ini ditujukan
untuk tumor yang kecil dan pada pasien kanker leher rahim yang ingin
memiliki keturunan lagi; b) total hysterectomy, dilakukan pengangkatan uterus
dan leher rahim; c) radical hysterectomy, dilakukan pengangkatan leher
rahim, beberapa jaringan disekitar leher rahim, uterus dan sebagian vagina.
Pembedahan secara radikal dan total histerektomi harus diikuti dengan
pengangkatan jaringan tuba dan ovarium yang dikenal sebagai salpingooophorectomy, dan pengangkatan limfonodi yang berada didekat tumor.24
2. Terapi penyinaran (radioterapi)
21

Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih


terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi
tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. 24
Terdapat dua macam terapi penyinaran untuk kanker leher rahim, yaitu : a)
terapi radiasi eksternal, dilakukan sebanyak lima kali dalam seminggu (sekali
dalam sehari) selama 6 minggu, b) terapi radiasi internal (brachytherapy),
terapi ini dilakukan dengan menempatkan kapsul radioaktif di vagina atau
dekat leher rahim. terapi ini dapat diulang dua kali atau lebih selama beberapa
minggu.24
3. Kemoterapi
Apabila kanker telah menyebar ke luar panggul, maka dianjurkan
menjalani kemoterapi. Kemoterapi menggunakan obat obatan untuk
membunuh sel-sel kanker. Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan
intravena atau melalui mulut.9,24
4. Terapi biologis
Terapi biologi berguna untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam
melawan penyakit. Terapi biologis tersebut dilakukan pada kanker yang telah
menyebar ke bagian tubuh lainnya.9
2.10 Prognosa
Prognosa kanker leher rahim tergantung dari tingkatan klinik dan jenis histologik
tumor. Biasanya penyakit ini ditemukan dalam stadium lanjut, maka angka harapan
hidupnya tidak seberapa baik.20 Harapan hidup selama 5 tahun pada pasien kanker
leher rahim yaitu 100% pada stadium prainvasif, 90% pada stadium I, 82% pada
stadium II, 35% pada stadium III dan 10% pada stadium IV.15
Pasien kanker leher rahim yang tidak diobati atau tidak memberikan respons
terhadap pengobatan, 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul
gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki risiko tinggi terjadinya
rekurensi harus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan
radioterapi. Setelah histerektomi radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun.24
BAB III

22

KESIMPULAN

Kanker leher rahim adalah tumbuhnya sel-sel abnormal yang terjadi pada daerah
leher rahim uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk kearah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dan liang senggama (vagina), dan
merupakan kanker primer yang berasal dari leher rahim (kanalis servikalis dan atau porsio).
Gejala kanker leher rahim yang banyak terjadi adalah perdarahan pervaginam
abnormal (56%), selanjutnya diikuti dengan nyeri pelvis (9%) dan keputihan (4%). Kanker
leher rahim dapat ditangani dengan pembedahan, terapi radiasi atau kemoterapi. Penentuan
terapi yang digunakan berdasarkan stadium, ukuran dan lokasi kanker, usia dan kondisi
kesehatan pasien. Terapi kanker leher rahim dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan
secara histologik.
Prognosa kanker leher rahim tergantung dari tingkatan klinik dan jenis histologik
tumor. Biasanya penyakit ini ditemukan dalam stadium lanjut, maka angka harapan
hidupnya tidak seberapa baik. Harapan hidup selama 5 tahun pada pasien kanker leher
rahim yaitu 100% pada stadium prainvasif, 90% pada stadium I, 82% pada stadium II, 35%
pada stadium III dan 10% pada stadium IV.

DAFTAR PUSTAKA
23

1.

Yellia M. Mengenal Kanker. Solusi Sehat Mencegah dan Mengatasi Kanker. Depok :
PT Agromedia Pustaka; 2009. h. 1,9.

2.

Bustan, MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Penerbit Rinneka; 1997.
h. 71

3.

Depkes. Obesitas dan Kurang Aktivitas Fisik Menyumbang 30% Kanker. 2009.
(Online)
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=9398&Itemid=698, diakses 15 Mei 2011).

4.

Aziz, M. F. Skrining dan deteksi dini kanker serviks. Dalam H. M. Ramli, R. Umbas,
& S. S. Panigoro, editor. Deteksi dini kanker. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. h. 97-110

5.

Tapan E. Kanker Leher Rahim. Kanker, Antioksidan dan Terapi Komplementer.


Jakarta: PT Elex Media Komputindo; 2005. h. 13-20.

6.

Crum CP. The Female Genital Tract. Dalam : Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins
and Cotran, editor. Pathologic Basis of Disease. Edisi 7. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2005. h. 1072-1073

7.

Wiyono S, Iskandar TM, Supriyono. Inspeksi Visual Asam Asetat untuk Deteksi Dini
Lesi Prakanker Serviks. Medika Media Indonesia; 2008. 43(3).

8.

Sjamsuddin S. Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks. Cermin Dunia


Kedokteran; 2001. 133: 9-13.

9.

Setyarini E. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kanker Leher Rahim


di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan; 2009.

10. Prayitno A, Darmawan R, Yuliadi I, Mudigdo A. Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-myc
pada Kanker Serviks Uteri dengan Pengecatan Imunohistokimia. Biodiversitas.
Surakarta: Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD dr. Muwardi Surakarta;
2005. 6: 157-159.
11. Novel SS, Safitri R, Nuswantara S. Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Uji Sitologi
dan DNA HPV. Cermin Dunia Kedokteran; 2010. 37: 91-92.
12. Schiffman M, Castle PE. The Promise of Global Cervical Cancer Prevention. The New
England Journal of Medicine; 2005. 353: 2102-2103.

24

13. American
Cancer
Society.
Cervical
Cancer.
2009.
(Online).
(http://documents.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003094-pdf.pdf,
diakses 15 Mei 2011)
14. Gray RH, Kigozi G, Serwadda D, et al. The effects of male circumcision on female
partners genital tract symptoms and vaginal infections in a randomized trial in Rakai,
Uganda. Am J Obstet Gynecol; 2009. 200(1): 42.e1-42.e7.
15. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Dalam : Hartanto H.,Darmaniah N., Wulandari N.,
editor. Buku Ajar Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta : EGC; 2007. h. 765-766.
16. Bagian Obstetri dan Ginekologi. Ginekologi. Bandung: FK UNPAD; 1981. h. 129-132.
17. SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Karsinoma Serviks Uteri. Pedoman
Diagnosis dan Terapi RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda Kallimantan Timur. Edisi
VI. Samarinda; 2006. h. 93-94.
18. Jonathan SB, Neville F, Hacker. Practical Gynecologic Oncologic. Edisi 3.
Philadelphia: Lippincott William; 2000. h.349.
19. Funlifebeauty. Mari Cegah kanker Serviks Sedini Mungkin. 2009. (Online).
(http://www.beritaterkinionline.com/2009/12/mari-cegah-kanker-serviks-sedinimungkin.html, diakses tanggal 15 Mei 2011).
20. Andrijono, Dr. Sp.OG(K). Sinopsis Kanker Ginekologik. Jakarta: Divisi Onkologi
Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI; 2004. h. 56,66.
21. Epocrates
online.
Abnormal
Pap
Smear.
2009.
(Online).
(https://online.epocrates.com/data_dx/reg/1123/img/1123-3-iline.gif, diakses 15 Mei
2011).
22. Kusuma F, Moegni EM. Penatalaksanaan Tes Pap Abnormal. Cermin Dunia
Kedokteran; 2001. 133: 23.
23. Sukarja IDG. Onkologi Klinik. Airlangga. Edisi II. Surabaya: University Press; 2000.
24. National Cancer Institute. What You Need To Know About Cervical Cancer. 2008.
(Online). (http://www.cancer.gov/cancertopics/wyntk/cervix.pdf, diakses tanggal 15
Mei 2011).

25

Anda mungkin juga menyukai