Anda di halaman 1dari 23

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional

diarahkan guna tercapainya kesadaran kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh

keluarga, kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan

keadaan tersebut, salah satu diantaranya yang mempunyai peranan yang cukup

penting adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan.1

Pada berbagai upaya pelayanan kesehatan, obat merupakan salah satu unsur

penting. Diantara berbagai alternatif yang ada, intervensi dengan obat merupakan

intervensi yang paling besar digunakan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.2

Anggaran belanja obat pada negara berkembang merupakan anggaran kedua

terbesar setelah gaji, yaitu sekitar 40% dari seluruh anggaran unit kesehatan

secara nasional, biaya untuk obat sekitar 40-50% dari seluruh biaya operasional

kesehatan. Sehingga ketidakefisien dalam pengelolaan obat akan berdampak

negatif secara medis maupun medic. Pengadaan obat (pasokan dan distribusinya)

harusnya menjadi agenda publik dan mendapatkan perhatian yang proposional.

Tujuan manajeman obat adalah tersedianya obat setiap obat dibutuhkan baik

mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efesien, dengan demikian

manajemen obat dapat dipakai sebagi proses penggerakan dan pemberdayaan

semua sumber daya yang dimiliki/potensial yang untuk dimanfaatkan dalam

1
rangka mewujudkan ketersedian obat setiap saat dibutuhkan untuk opersional

efektif dan efesien.3

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan

pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta

masyarakat di samping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan

terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 4

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan memberikan pelayanan pengobatan

(kuratif), pencegahan (preventif), peningkatan kesehatan (promotif) dan

pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Oleh karena itu obat-obatan merupakan salah

satu unsur penting di Puskesmas.1

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini


adalah Bagaimanakah Tentang Manajemen Pengelolaan Dehydroartemisin-
Piperaqoin (DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2015

1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimanakah Manajemen Pengelolaan

Dehydroartemisin-Piperaqoin (DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang

Tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimanakah perencanaan Dehydroartemisin-

Piperaqoin (DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2015.

2
b. Untuk mengetahui bagaimanakah pengadaan Dehydroartemisin-Piperaqoin

(DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2015.

c. Untuk mengetahui bagaimanakah distribusi Dehydroartemisin-Piperaqoin

(DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2015.

d. Untuk mengetahui bagaimanakah penggunaan Dehydroartemisin-Piperaqoin

(DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2015.

e. Untuk mengetahui bagaimanakah penghapusan Dehydroartemisin-

Piperaqoin (DHP) di Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2015.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Sebagai sumber ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam memperluas

wawasan dan pengetahuan penelitian tentang pengelolaan obat

Dehydroartemisin-Piperaqoin (DHP) di Puskesmas Bakunase.

2. Bagi Puskesmas Bakunase

Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Bakunase dalam hal

pengelolahan obat Dehydroartemisin-Piperaqoin (DHP)

3. Bagi Pemerintah Kota Kupang.

Sebagai sumber informasi bagi pemerintah Kota Kupang dalam rangka

pengawasan dan pengarahan kebijakan terkait pengelolahan obat

Dehydroartemisin-Piperaqoin (DHP) di Puskesmas.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tentang Manajemen

Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan memadukan penggunaan

ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi.3 Konsep ini dikenal dengan

POAC yaitu Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating

(pengarahan) dan Controling (pengendalian). Agar tujuan yang ditetapkan terlebih

dahulu dapat tercapai, maka manajemen memerlukan unsur atau sarana atau the

tool of management meliputi unsur 6M yaitu:

a. Man (manusia), yaitu sumber daya manusia organisasi, eksekutif dan operatif.

Sumber daya manusia meliputi tenaga kesehatan maupun non kesehatan dilihat

dari tingkat pendidikan, pengalaman bekerja di puskesmas dan motivasi dalam

bekerja.

b. Money (uang), yaitu dana operasional untuk mencapai tujuan. Dana

operasional meliputi jumlah yang diterima, jumlah yang digunakan dan sisa

baik kelebihan maupun kekurangan.

c. Methods (metode), yaitu cara-cara untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan

jenis pelayanan.

d. Materials (bahan), yaitu bahan-bahan untuk mencapai tujuan. Bahan yang

dimaksud adalah bahan yang habis pakai seperti obat, vaksin, kertas

e. Machine (mesin), yaitu mesin/ alat untuk mencapai tujuan.

4
f. Market (sasaran penduduk), yaitu sasaran berdasarkan ketepatan jumlah dan

persentase penduduk sasaran untuk mencapai tujuan.

Untuk dapat terselenggaranya manajemen yang baik, unsur-unsur tersebut

diproses melalui fungsi-fungsi manajemen. Prinsip manajemen tersebut

merupakan pegangan umum untuk terselenggaranya fungsi-fungsi logistik dengan

baik. 3

2.2 Pengelolaan Obat

Salah satu upaya yang dilaksanalakan di Puskesmas adalah pengelolaan

obat. Pengelolaan obat akan menjelaskan menngenai pengertian obat, Proses

pengelolaan obat di Puskesmas, Pembiayaan obat, dan Tugas pokok dan fungsi

(TUPOKSI) penngelola obat di Puskesmas.

2.2.1. Pengertian Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan

kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi. Obat merupakan komponen

yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan di Pusat Pelayanan Kesehatan

primer maupun di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Keberadaan obat

merupakan kondisi pokok yang harus terjaga ketersediaannya. Penyediaan obat

sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu menjamin tersedianya obat

dengan mutu terjamin dan tersedia merata dan teratur sehingga mudah diperoleh

pada tempat dan waktu yang tepat.

5
2.2.2. Proses Pengelolaan Obat di Puskesmas

Hal yang masih menjadi masalah di bidang pelayanan kefarmasian, obat,

sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah menyangkut ketersediaan, keamanan

manfaat, serta mutu dengan jumlah dan jenis yang cukup serta terjangkau dan

mudah di akses oleh masyarakat.4

Untuk memberikan/melaksanakan pelayanan kefarmasian yang berorientasi

pada penerapan hasil pengobatan yang optimal bagi pasien maka diperlukan

jaminan ketersediaan barang dan dana yang cukup sehingga pelayanan kepada

pasien berjalan lancar. Hal ini berarti operasional pelayanan yang telah disusun

harus dilakukan proses pengendalian persediaan obat-obatan yang tujuannya agar

tidak terjadi gangguan dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Sistem

pengendalian obat-obatan yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran

pelayanan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, sering didapat

masalah-masalah dalam sistem pengendalian persediaan obat-obatan yang

mempengaruhi kelancaran pelayanan itu sendiri.

Menurut Handoko yang dimaksud persediaan adalah suatu istilah umum

yang menunjukkan seagala sesuatu sumber daya-sumber daya organisasi yang di

simpan dalam antisipasi terhadap pemenuhan permintaan-permintaan akan sumber

daya internal atau external. Persediaan ini memungkinkan organisasi dapat

memenuhi permintaan langganan tanpa tergantung dari suplier. Proses

pengelolaan obat terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap perencanaan, tahap

pengadaan, penyimpanan, tahap distribusi dan tahap penggunaan.5

6
Pengadaan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam

pengelolaan obat. Tujuan pengadaan obat adalah tersedianya obat dengan jenis

dan jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan dengan mutu yang terjamin serta

dapat diperoleh pada saat yang diperlukan. Pengelolaan obat adalah suatu urutan

kegiatan yang mencakup perencanaan, permintaan obat, penerimaan obat,

penyimpanan, pendistribusian, pengendalian obat, pencatatan/pelaporan obat dan

pemantauan serta evaluasi pengelolaan obat.6

a. Perencanaan obat merupakan proses kegiatan seleksi obat untuk

menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan

Puskesmas yang mengacu pada Daftar Obat esensial Nasional (DOEN).

Perencanaan obat di kabupaten dilakukan oleh tim perencana obat terpadu

kabupaten yang dibentuk dengan keputusan bupati atau pejabat yang

mewakilinya. Perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas setiap periode

dilaksanakan oleh Ruang Farmasi di Puskesmas. Proses perencanaan

kebutuhan obat pertahun dilakukan secara berjenjang (bottom up).

Puskesmas menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya

Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi dan analisa

terhadap kebutuhan Obat Puskesmas di wilayah kerjanya, memperhitungkan

waktu kekosongan obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih.

Perencanaan obat dapat dihitung menggunakan metode konsumsi obat dan

metode morbiditas.6

1) Metode konsumsi

7
Metode ini dilakukan dengan menganalisis data konsumsi obat tahun

sebelumnya dengan memperhatikan pengumpulan data dan pengolahan

data, analisis data untuk informasi dan evaluasi , serta perhitungan

perkiraan kebutuhan obat.

2) Metode morbiditas
Metode ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan obat berdasarkan

pola penyakit, perkiraan kunjungan dan waktu tunggu (lead time).

Langkah-langkah dalam metode ini antara lai dengan menentukan jumlah

penduduk yang akan dilayani, menentukan jumlah kunjungan kasus

berdasarkan frekuensi penyakit, menyediakan standar/pedoman

pengobatan yang digunakan, menghitung perkiraan kebutuhan obat,

penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.


b. Permintaan obat bertujuan memenuhi kebutuhan obat di Puskesmas, sesuai

dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan

kepada DInas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.


c. Penerimaan obat adalah suatu kegiatan dalam menerima obat dari Instalasi

Farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.

Tujuannya adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan

berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas

yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas

keterlibatan penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat

berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Petugas penerimaan wajib

melakukan pengecekan terhadap obat yang diserahkan, mencakup jumlah

kemasan/peti, jenis dan jumlah obat, bentuk obat sesuai dengan isi dokumen

8
(LPLPO, ditandatangani oleh petugas penerima, dan diketahui oleh Kepala

Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka petugas penerima dapat

mengajukan keberatan. Masa kadaluarsa minimal dari obat yang diterima

disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.


d. Penyimpanan obat setiap obat yang disimpan dilengkapi dengan kartu stok

untuk mencatat setiap mutasi obat. Penyimpanan obat harus sedemikian

rupa sehingga memudahkan distribusi obat secara FIFO (first in first out),

yaitu sisa stok tahun lalu digunakan lebih dahulu daripada pengadaan baru

untuk mencegah terjadinya obat rusak atau obat kadaluwarsa.6


e. Pendistribusian obat merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat

secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/ satelit

farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi

kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja

Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Sub unit di

Puskesmas dan jaringannya antara lain: Sub unit pelayanan kesehatan di

dalam lingkungan Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling,

Posyandu, dan Polindes. Pendistribusian ke sub unit dilakukan dengan cara

pemberian obat sesuai resep yang diterima (floor stock), pemberian obat per

sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan

pendistribusian ke jaringan Puskrsmas dilakukan dengan cara penyerahan

obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock) .6


f. Pengendalian obat adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya

sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah

ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/ kekosongan

obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi

9
kelebihan dan kekosongan obat yang terdiri dari pengendalian persediaan,

pengendalian penggunaan, dan penanganan obat hilang, rusak dan

kadaluwarsa.
g. Pencatatan/Pelaporan obat merupakan fungsi pengendalian dan evaluasi

administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, sampai

pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis

obat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan pengadaan obat.

Pencatatan penggunaan total semua jenis obat pada pasien puskesmas, sisa

stok obat, dan pola penyakit dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan

obat tahun mendatang.6


h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dilakukan secara periodik

dengan tujuan mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam

pengelolaan obat sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan

pelayanan, memperbaiki secara terus menerus pengelolaan obat dan

memberikasn penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.

2.2.3. Pembiayaan Obat

Pembiayaan obat mencakup biaya obat dan biaya pengobatan penyakit yang

harus dibayar masyarakat, juga pendapatan, kemampuan dan kemauan pasien

membayar. Ketersediaan obat pada unit Pelayanan Kesehatan sangat

mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan. Obat perlu dikelola secara efektif dan

efisien agar dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Berlakunya desentralisasi di

bidang kesehatan, sebagian kewenangan pusat diserahkan kedaerah otonom

termasuk kewenangan di bidang kesehatan. Penyerahan kewenangan di Bidang

Kesehatan ini berarti seluruh fungsi pengelolaan obat termasuk sistem

10
pendukungnya menjadi salah satu hal yang harus mendapat perhatian setiap

Pemerintah Daerah. Proses untuk mendapatkan alokasi anggaran pengadaan obat

menjadi fokus perhatian sesuai dengan kebutuhan Kabupaten/Kota. Proses alokasi

anggaran di pemerintah daerah ini sangatlah penting, sehingga diperlukan

kemampuan melakukan advokasi dan data berdasarkan hasil evaluasi terhadap

pengelolaan obat.8

Alokasi anggaran untuk kesehatan juga mengalami perubahan.

Kabupaten/Kota diberi kekuasaan untuk mengelola anggaran kesehatan sendiri.

Alokasi untuk kesehatan selama proses desentralisasi menjadi berkurang.9

Selain sistem pencatatan dan pelaporan obat, PAHO (Pan American Health

Organization) telah membuat pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat

yang tercantum dalam buku Rapid Pharmaceutical Management Assesement: an

Indicator-Based Approach, yang telah diuji coba di 10 negara Amerika Latin dan

Afrika. Pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat digunakan dalam

upaya efektivitas dan efisiensi, melalui peningkatan kemampuan tenaga

pengelolaan obat untuk menghitung dan menetapkan sendiri keberhasilan sistem

pengelolaan obat, pemanfaatan indikator sebagai data dasar untuk perencanaan

biaya, dan pemanfaatan indikator sebagai alat untuk membandingkan keberhasilan

pengelolaan obat dengan tahun sebelumnya, daerah lain, atau negara lain.10

Evaluasi memerlukan indikator yang tepat, valid, dan reliabel. Indikator

merupakan jenis data berdasarkan gejalayang dapat dihitung, yang digunakan

untuk menilai secara mudah dan cepat tanpa memerlukan data yang rumit.

Indikator digunakan untuk menetapkan prioritas, pengambilan keputusan, dan

11
untuk pengujian cara/ metode mencapai sasaran yang ditetapkan. Hasil pengujian

dapat digunakan oleh penentu kebijakan untuk mengevaluasi cara/ metode dan

sasaran yang ditetapkan karena perbedaan sistem pengelolaan obat antara satu

negara dan negara lain.10

Kenyataannya bahwa kurangnya obat-obatan akan mengakibatkan

ketidakefektifan pelayanan pada pasien. Demikian pula peran tenaga medis yang

ada masih memiliki keterbatasan kemampuan, baik kesadaran akan pentingnya

pelayanan serta sikap dan etika pelayanan yang masih jauh dari standar yang

diharapkan yang menjadi mutu pelayanan tidak tercapai sebagaimana yang

diharapkan.

Selain kemudahan akses atas pelayanan kesehatan dan tersedianya SDM

yang berkualitas merupakan komponen penting dalam sistem pelayanan

kesehatan, maka obat merupakan satu komponen yang sangat khusus. Alasan

mengapa obat merupakan komponen yang khusus adalah: Obat dapat

menyelamatkan kehidupan dan memperbaiki kesehatan, menjadi pendukung

dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, biaya obat tinggi, obat berbeda

dengan barang konsumsi lainnya, dan ada metodologi untuk memperbaiki

substansi pada supply dan penggunaan obat.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelayanan kesehatan perlu didukung

oleh ketersediaan obat yang harus tersedia dalam jumlah yang cukup setiap saat.

Semenjak dicanangkan desentralisasi ini maka organisasi pengelola obat untuk

pelayanan dasar di tingkat pusat maupun daerah telah mengalami perubahan

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah. Sebelum

12
desentralisasi maka pengadaan obat untuk pelayanan kesehatan dasar/primer

dilaksanakan oleh departemen kesehatan dan sekarang dilaksanakan oleh daerah

termasuk tanggung jawab atas ketersediaan dan kecukupan obat.

Dalam era desentralisasi sekarang ini perkembangan pelayanan kesehatan di

daerah sangat bervariasi sehingga tidak ada keseragaman lagi karena selain

dipengaruhi oleh kemampuan daerah juga dipengaruhi oleh persepsi para

pengambil kebijakan didaerah. Kondisi ini perlu dipahami karena desentralisasi

merupakan perubahan budaya yang sangat dipengaruhi oleh interaksi antar

manusia, arus globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi. Diakui bahwa

pelayanan kesehatan belum bisa sepenuhnya dilepas ke swasta sehingga

pemerintah wajib menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu dan

terjangkau oleh masyarakat.

Murray menyebutkan bahwa sejak tahun 1980 didalam pelayanan obat telah

ada kecenderungan ke arah privatisasi, pembebanan biaya langsung pada pasien,

desakan terhadap pemerintah untuk melonggarkan kontrol, serta dorongan ke arah

kemandirian dari pelayanan publik sebagai salah satu komponen penting dalam

pelayanan kesehatan. 11

Pergeseran nilai-nilai sosial obat kearah komoditas bisnis yang menggiurkan

dapat mendorong kenaikan harga yang tidak terkendali sehingga akan

mempersulit akses orang miskin ke pelayanan kesehatan. Adanya pengaruh

industri farmasi yang kuat, sangat mudah menimbulkan perubahan terhadap pola

peresepan karena tuntutan usaha pada sarana pelayanan kesehatan baik

pemerintah maupun swasta, persaingan yang tidak sehat dan penurunan kualitas

13
obat. Pola penggunaan obat yang kurang tepat, pada akhirnya akan berdampak

buruk terhadap kesehatan tubuh manusia.

Laporan WHO/DAP tahun 1996 menyebutkan bahwa sekitar 1/3 - 2/3

anggaran kesehatan di negara-negara sedang berkembang ternyata digunakan

untuk pembelian obat, bahkan berdasarkan laporan World Bank tahun 1993 di

Pakistan mencapai 90% lebih. Pembiayaan kesehatan di tingkat keluarga pada

umumnya masih melalui pembayaran langsung atas pelayanan yang diterimanya

(out of pocket) dan hasil survei di Mali diperoleh gambaran bahwa 80% adalah

untuk pembelian obat modern, 13% untuk obat tradisional, 5% untuk biaya jasa

provider, dan 2% untuk biaya transportasi. Data tahun 1990 di Indonesia diketahui

bahwa belanja obat telah mencapai 40 -60% dari biaya kesehatan per kapita.

Meskipun obat yang digunakan sebenarnya sudah cost effective, akan tetapi masih

dirasakan mahal bagi individu, keluarga, pelayanan kesehatan pemerintah, bahkan

suatu daerah yang bertanggung jawab atas ketersediaan dan kecukupan obat di

pelayanan kesehatan primer.

2.2.4. Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pengelola Obat di Puskesmas

Sesuai dengan pedoman pengelolaan obat publik dan perbekalan di

puskesmas menurut Depkes tahun 2003, bahwa Tugas dan Fungsi (TUPOKSI)

pengelola obat di puskesmas meliputi tahap kegiatan perencanaan, pengadaan,

pendistribusian dan penggunaan, dengan uraian tugas masing-masing tahap

kegiatan sebagai berikut:

a. Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat untuk menentukan

jumlah obat sesuai kebutuhan puskesmas. Tugas pengelola obat dalam kegiatan

14
perencanan ini adalah menyusun data obat yang masih tersedia (stok) dan

menghitung kebutuhan obat puskesmas

b. Pengadaan merupakan proses kegiatan penyediaan obat puskesmas sesuai

kebutuhan. Tugas pengelola obat dalam kegiatan pengadaan ini adalah pengadaan

rutin sesuai jadwal dari Dinas Kesehatan, pengadaan obat khusus bila terjadi

kebutuhan meningkat, menghindari kekosongan, penanganan Kejadian Luar Biasa

(KLB), setiap pengadaan obat petugas harus melakukan pengecekan (jumlah,

kemasan, jenis dan jumlah obat) disesuikan dengan dokumen pengedaan obat,

melakukan penyimpanan obat sesuai dengan memperhatikan: kondisi persyaratan

gudang, pengaturan penyimpanan obat, kondisi penyimpanan (kelembaban, sinar

matahari, temperatur/panas, kerusakan fisik, kontamians bakteri, pengotoran),

memperhatikan tata cara penyimpanan obat, dan pengamatan mutu obat

c. Distribusi merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat secara merata

dan teratur untuk memenuhi sub-sub unit pelayanan puskesmas. Tugas pengelola

obat dalam tahap distribusi adalah menentukan frekuensi distribusi, menentukan

jumlah dan jenis obat yang diberikan, melaksanakan penyerahan obat, dan

melakukan pengendalian obat untuk menghindari kelebihan dan kekosongan obat

di unit pelayanan.

d. Penggunaan adalah proses kegiatan yang meliputi penerimaan resep dokter

sampai penyerahan obat kepada pasien. Tugas pengelola obat pada tahap

penggunaan ini adalah penetapan ruang pelayanan obat, penyiapan obat,

penyerahan obat, memberikan informasi obat, memperhatikan etika pelayanan,

dan membuat daftar perlengkapan peracikan obat.

15
Tupoksi berdasarkan pengelolaan obat publik dan perbekalan di puskesmas

merupakan pedoman umum untuk seluruh unit pelayanan (puskesmas dan

puskesmas pembantu) di seluruh Indonesia, namun dalam pelaksanannya di

lapangan, setiap puskesmas dapat membuat tupoksi tersendiri dengan tetap

berpedoman kepada pedoman umum yang telah ditetapkan.

OBAT MALARIA

Berdasarkan kerjanya pada tahapan perkembangan plasmodium,

antimalarial dibedakan atas skizontosida darah dan jaringan, gametosid dan

sporontosid. Obat yang melenyapkan betuk hati yang sedang terbentuk atau

dorman disebut skizontisida jaringan. Obat yang bekerj pada parasite enterositik

dinmai skizontisida darah. Dan obat yang mematikan stasium seksual dan

mencegah penularan ke nyamuk adalah gaetosda. Belum ada satu obat yang

secara andal menghasilkan kesembuhan radikal, melenyapkan stadium hati dan

eritrosit. Beberapa oat yang tersedia adalah obat profilaktik kasual, mampu

mencegah infeksi eritrositik. Namun seua obat kemoprofilaksis yang efektif

mematikan parasite eritrosit sebelum mereka meningkat hingga ke jumlah yang

menimbulkan gejala klinis.12

Artemisinin adalah suatu seskuiterpen lakton endoperoksida, komponen

aktif suatu obat herbal yang telah digunakan sebagai antipiretik di cina.

artemisinin tidak larut dan hanya dapat diberikan peroral. Telah dibuat berbagai

analog untuk meningkatkan efikasi anti malarianya. Analog yang terpenting

adalah artesunat, artemeter dan dihidroartemisinin.12

16
Dihydroartemisinin (DHA)

Formula: Tablet mengandung 20 mg, 40 mg, 60 mg atau 80 mg DHA.

Dihydroartemisinin (DHA) adalah metabolit akhir dari derivat Artemisinin,

tetapi selain diberikan peroral dapat juga diberikan perektal. Senyawa ini tidak

larut dalam air dan memerlukan formula yang tepat untuk menjamin absorpsi

yang kuat. Untuk mencapai cure rate sama dengan artesunate oral. Formula

fixed dose dengan Piperakuin dapat menjadi ACT yang menjanjikan.13

DHA cepat diabsorpsi jika diminum oral, puncak level dicapai setelah 2,5

jam. Absorpsi melalui rektal lambat, dengan puncak level terjadi 4 jam setelah

digunakan. Ikatan protein plasma sekitar 55%. Eliminasi waktu paruh 45

menit melalui usus dan Glukuronidase hepatik.13

Piperakuin adalah derivat bisquinoline yang pertama disintesa pada

tahun 1960 dan digunakan luas di Cina dan Indochina sebagai profilaksis

dan pengobatan selama lebih dari 20 tahun. Sejumlah penelitian dari Cina

melaporkan bahwa obat ini ditoleransi baik daripada klorokuin untuk membunuh

P. falciparum dan P. vivax. Obat ini merupakan salah satu campuran yang

aman untuk ACT (Artemisinin Combination Therapy) dan mempunyai

beberapa keuntungan, antara lain murah, terapi jangka pendek dengan

penyembuhan yang sangat baik dan toleransi yang baik, serta dapat

menurunkan transmisi dan munculnya resistensi parasit. Beberapa studi

melaporkan hasil efikasi kombinasi DihydroartemisininPiperakuin kombinasi

(cure rate 28 hari >95%) dan regimen tidak berhubungan dengan sifat

17
kardiotoksik dan efek samping yang lain. Karakteristik Piperakuin baru-baru ini

diungkapkan bahwa obat ini larut dalam minyak (oil) dengan volume yang besar

untuk didistribusikan saat bioavailability dan waktu paruh yang panjang pada

anak dibanding dewasa. Toleransi, efikasi, profil dan biaya murah dari

piperakuin ini menjanjikan sebagai partner ACT.13

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini

mementingkan penguraian dan konteks makna yang melingkupi suatu realitas.

Pendekatan kualitatif berlangsung dalam latar alami, peneliti merupakan

instrumen utama,data-data yang dikumpulkan berupa data deskriptif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Bakunase Kabupaten

Kupang yang berlangsung selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Juni Juli 2015.

18
3.3. Sumber Data dan Sasaran

Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan tehnik Purposive

Sampling. Informan yang dipilih adalah yang mengetahui permasalahan dengan

jelas, dapat dipercaya untuk dapat menjadi sumber data yang baik serta mampu

mengemukakan pendapat secara baik dan benar (Notoatmodjo, 2005). Informan

yang akan diambil data paling utama ialah kepala puskesmas, penanggung

jawab gudang obat, petugas apotik.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah Manajemen Pengelolaan Obat

yang meliputi perencanaan, pengadaan, pendiatribusian, penggunaan dan

penghapusan obat.

3.4.2 Definisi Operasional

a. Permintaan obat bertujuan memenuhi kebutuhan obat di Puskesmas,

sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan

diajukan kepada DInas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah

daerah setempat.

b. Penerimaan obat adalah suatu kegiatan dalam menerima obat dari

Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah

19
diajukan. Tujuannya adalah agar obat yang diterima sesuai dengan

kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas.

Masa kadaluarsa minimal dari obat yang diterima disesuaikan dengan

periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.


c. Penyimpanan obat setiap obat yang disimpan dilengkapi dengan kartu

stok untuk mencatat setiap mutasi obat. Penyimpanan obat harus

sedemikian rupa sehingga memudahkan distribusi obat secara FIFO

(first in first out), yaitu sisa stok tahun lalu digunakan lebih dahulu

daripada pengadaan baru untuk mencegah terjadinya obat rusak atau

obat kadaluwarsa.
d. Pendistribusian obat merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan

obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/

satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk

memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di

wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang

tepat.
e. Pengendalian obat adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya

sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah

ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/

kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah

agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat yang terdiri dari

pengendalian persediaan, pengendalian penggunaan, dan penanganan

obat hilang, rusak dan kadaluwarsa.


f. Pencatatan/Pelaporan obat merupakan fungsi pengendalian dan evaluasi

administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan,

20
sampai pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah

dan jenis obat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan

pengadaan obat.
g. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat merupakan mengendalikan

dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan obat sehingga

dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan, memperbaiki

secara terus menerus pengelolaan obat dan memberikasn penilaian

terhadap capaian kinerja pengelolaan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan, maka peneliti

mengumpulkan data sebagai berikut:

1. Data Primer

Data mengenai perencanaan, pengadaan, pendistribusian

danpenggunaan obat diperoleh dari informan kunci yakni kepala

puskesmas, penanggung jawab gudang obat, penanggung jawab apotik,

melalui wawancara langsung yang mendalam dengan menggunakan

pedoman wawancara yang telah disiapkan dan alat bantu berupa

handphone

2. Data Sekunder

Data yang dikumpulkan berupa data sekunder mengenai

perencanaan obat dan mengenai hasil laporan penggunaan obat di

Puskesmas Bakunase. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data.

Tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini guna

membahas permasalahan yang dirumuskan digunakan tehnik analisis

21
kualitatif. Dalam teknik analisis kualitatif, untuk menganalisis

peramasalahannya dilakukan secara deskriptif.

DAFTAR PUSTAKA

1. D Sarlin, A Muh. Alwy, Darmawansyah. Studi Manajemen Pengelolaan

Obat di Puskesmas Labakkang Kabupaten Pangkep.

2. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi

Kapubaten/Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.

Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Kerjasama

Kementrian Kesehatan RI dengan Japan International Coorperation

Agency. 2010.

3. Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Pembekalan Kesehatan

Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1121/MENKES/SK/XII/2008. Departemen Kesehtan RI;2008. Dalam:

D Sarlin, A Muh. Alwy, Darmawansyah. Studi Manajemen Pengelolaan

Obat di Puskesmas Labakkang Kabupaten Pangkep.

4. Depkes, 2004, Pedoman Pengelolaan Obat Program Kesehatan, Ditjen

Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, Depkes RI, Jakarta

22
5. Quick, J.D, Rankin, J.R., Laing R.O., OConnor, R.W., Horgerzeil, H.V.,

Dukes, M.N.G and Garnet, A, 1997, Managing Drug Supply 2nd edition,

378-482, Kumarian Press, West Harford

6. Depkes RI. Jakarta, 2000. Jasa Konsultan Pelatihan Manajemen Obat

Puskesmas Pengelolaan dan pelayanan obat di Puskesmas.

7. Makalah puskesmas

8. Trisnantoro, L., 2001. Sistem Kesehatan Wilayah Pasca Desentralisasi,

Makalah Seminar, PMPK FK UGM, Yogyakarta.

9. Jeppson 2001

10. PAHO, 1995

11. Murray, 2000. Pembiayaan Obat di Pelayanan Kesehatan, Jakarta

12. Rosenthal PJ. Obat Anti Protozoa. In Farmakologi dasar dan klinik ed.12.

editor. Katzung Et al. 2013, Jakarta: EGC.p 1035-48

13. Depkes RI. Pedomana Tatalaksana malria. 2012. P 56.

23

Anda mungkin juga menyukai