Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Anemia Aplastik
oleh:
NIM. 0910015052
Pembimbing:
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2014
Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Anemia Aplastik
Oleh
0910015052
Mengetahui,
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
penulisan laporan kasus yang berjudul Anemia Aplastik dapat selesai tepat pada
waktunya.Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
1. dr. Kuntjoro Yakti Sp.PD selaku Kepala bagian Laboratorium Ilmu Penyakit
Dalam.
2. dr. Enny Pasolang Sp.PD FINASIM selaku Kepala bagian SMF Ilmu Penyakit
Dalam.
3. dr. Nirapambudi Sp.PD selaku Kepala bagian Koordinator Ilmu Penyakit
Dalam dan Pembimbing Klinik Utama serta Pembimbing laporan Kasus.
4. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga
tulisan ini bermanfaat.
Penyusun
BAB I
3
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah wawasan
penulis dan pembaca dalam studi kasus mengenai anemia aplastik serta
meningkatkan kemampuan dalam menganalisa kasus dan permasalaham yang
ditemukan pada kasus tersebut.
BAB II
4
LAPORAN KASUS
1.1. Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 30 April 2014 jam 08.54 WITA, anamnesis
dilakukan pada tanggal 2 Mei 2014 pukul 11.00 wita. Anamnesa yang dilakukan
berupa autoanamnesa dan alloanamnesa.
ANAMNESA UMUM
Identitas
Nama : Ny.PN
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. MT. Haryono Gg.I
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 30 April 2014
ANAMNESA KHUSUS
Keluhan Utama
Lemas
5
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.
- Pasien tidak memiliki riwayat transfusi sebelumnya
- Riwayat DM, asma, penyakit jantung disaagkal
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (-)
- Pasien jarang berolahraga
Status gizi :
Indeks Massa Tubuh (IMT)BB (kg) : TB (m)2
53kg : (1,55m)2 = 53kg : 2,4025m2=22,06 (Normal)
Kategori IMT Pengertian Keterangan
< 18,5 Berat Badan Kurang Kurus
18,5-25 Berat Badan Normal Normal
> 25 Berat Badan Lebih Kegemukan
Tanda Vital
6
TD : 130/70 mmHg (lengan kanan, berbaring)
N : 92 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat
RR : 22x/menit torakoabdominal
T : 36,40C (axila)
Kepala/leher
Umum
Ekspresi : sakit sedang
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : pucat (+), ikterus (-)
Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (+)
Sclera : ikterus (-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Septum deviasi (-)
Sekret (-)
Nafas cuping hidung (-)
Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
Mulut
Nafas : fetor hepatikum (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-)
7
Faring : hiperemis (-)
Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)
Thorax
Umum
Bentuk dan pergerakan dada simetris
Ruang interkostalis (ICS) tampak jelas
Retraksi (-)
Pulmo:
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dekstra
Kiri : ICS V midclavicular sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : Bentuk cembung, kulit normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), Organomegali (-) (hepar/lien/ginjal
tidak teraba), defans muscular (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Asites (-)
8
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas:
Superior
- Ekstremitas hangat
- Edema (-)
- Sianosis (-)
- Clubbing finger (-)
- Palmar eritema (-)
- Kekuatan otot : Dextra = Sinistra (5=5)
Inferior
- Ekstremitas hangat
- Edema tungkai (-)
- Sianosis (-)
- Kekuatan otot : Dextra = Sinistra (5=5)
- Tes nyeri dan sensorik halus (-)
Pemeriksaan penunjang :
9
Trombosit 34.000 36.000 34.000
LED 157 - -
1.4. Diagnosis
Anemia Aplastik
1.5. Tatalaksana :
- Inj.Ceftazidime 3 x 1 amp
- Inj.Leucogen 30mg SC selama 3hari
- Inj.Kalnex 3 x 500mg
- Transfusi PRC 1 kolf/hari
- Transfusi TC 4 fl
- Sebelum transfusi, cek apusan darah tepi
- Cek SGOT/SGPT, bilirubin direk/indirek
1.6. Prognosa :
Dubia
Follow up pasien :
Perawatan S O A P
Hari I Badan lemas (+), Compos mentis Anemia - RL 20 tpm
2 Mei 2014 pucat (+), nafsu TD: 130/70 mmHg Aplastik - Inj.Ceftazidime 3 x 1 amp
makan (-) N: 92 x/ - Inj.Leucogen 30mg SC
RR: 22 x/ selama 3hari (Hari I)
T: 36,40C - Inj.Kalnex 3 x 500mg
Anemis (+/+) - Transfusi PRC 2 kolf/hari
Ikterik (-/-) sampai Hb 10
Rho (-/-) - Transfusi TC 5 Unit
Whe (-/-) - Metilprednisolon 8mg 2-2-0
Bu (+) N - Cek DL ulang
NT (-) - Cek HDT ulang, HbS Ag
10
Edema (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Anemia aplastik adalah kegagalan hemopoiesis yang ditandai oleh
pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Pansitopenia pada darah tepi dapat
11
disebabkan oleh karena kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk
aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum
tulang. Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala manifestasinya.2
Anemia aplastik dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga system
hematopoiesis. Aplasia yang hanya mengenai system eritropoitik disebut anemia
hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai system granulopoietik
disebut agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariositik
disebut Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Pada anemia aplastik
tidak dijumpai adanya sistem keganasan hematopoietik ataupun kanker metastatik yang
menekan sumsum tulang.
3.2 Epidemiologi
Insiden anemia aplastik dapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2
sampai 6 kasus per 1juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian
The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis Study di awal tahun 1980-
an menemukan frekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta
penduduk. Penelitian di Prancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per
1 juta penduduk per tahun. Di Cina insidensi dilaporkan 0,74 kasus per 100.000
penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun,
puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan
jenis kelamin pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur
sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Di Cina perempua diatas 50
tahun, pria diatas 60 tahun. Di Prancis pada pria ditemukan pada dua puncak yaitu
15-30 tahun dan setelah umur 60 tahun, pada perempuan diatas 60 tahun.
3.3 Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat. Risiko morbiditas
dan mortalitas lebih berkolerasi dengan derajat keparahan sitopenia dibanding
12
selularitas sumsum tulang. Infeksi jamur dan sepsis bacterial merupakan penyebab
kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian
besar tidak membutuhkan terapi.
13
Penyebab yang diperantarai imun
Iatrogenik : transfusion associated graft-versus-host disease
Fasciitis Eosinofilik
Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit Intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat
yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran
atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastik
adalah benzena.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik adalah virus
Epstein-Barr, influenza A, dengue, tuberculosis (milier). Sitomegalovirus dapat
menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma
sumsum tulang. Infeksi oleh Human immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat
menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien dengan
defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia.
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia
sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh
estrogen pada seseorang dengn predisposisi genetic, adanya zat penghambat
dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering
sembuh setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya.
Namun sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik
yang masuk akal yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan
eksperimen laboratorium yang sistematik. Mathe et al memunculkan teori baru
berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang.
Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik
memperlihatkan kondisi defisiensi sel asla (stem cell).
14
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh
percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada
kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan
dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan interferon
dan TNF yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan
ekspresi Fas pada sel-sel CD34. Klon sel-sel T immortal yang positif CD4 dan
CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper 1 yang bersifat
toksis langsung ke sel-sel CD 34 positif autologus.
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisisologis ditandai oleh
destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan
respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau
pajanan obat tertentu atau zat kimia tertentu.
Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum
tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau
specimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic
resonance imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh
jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietic yang imatur
dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein
cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel
CD34 dideteksi secara fluoresens satu per satu, sehingga jumlah sel-sel CD34
dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplsatik, sel-sel CD 34+ juga hamper
tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakaryosit sangat kurang jumlahnya.
Destruksi Imun
Limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel
hematopoietik. Pada beberapa penelitian terbukti bahwa limfosit pasien menekan
15
hematopoiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor penghambat yaitu interferon .
Adanya aktivasi respon sel T-helper-1 (Th1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik
sel-sel T dan produksi interferon, TNF, dan IL-2 yang berlebihan. Deteksi
interferon intraseluler pada sampel pasien secara flow cytometry mungkin
berkorelasi terhadap respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian CD34
yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraseluler yang menyebabkan
penghentian siklus sel. Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik
dengan perilaku yang HLA-DR restricted melalui ligan Fas. Sel-sel hemopoietik
yang sedikit tersebut mengekspresikan HLA-DR atau Fas dan ekspresi keduanya
meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitive
yang normalnya < 10% sel-sel CD34 relatif tidak terganggu oleh sel-sel T
autoreaktif sehingga memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan pada
pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.
Penyebab anemia aplastik sendiri sebagian besar (50-70%) tidak diketahui
atau bersifat idiopatik disebabkan karena proses penyakit yang berlangsung
perlahan-lahan.2 Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab
yaitu faktor primer dan sekunder.3 Untuk faktor primer disebabkan kelainan
kongenital (Fanconi, nonFaconi dan dyskeratosis congenital) dan idiopatik.
16
Faktor sekunder yang berasal dari luar tubuh, bisa diakibatkan oleh
paparan radiasi bahan kimia dan obat, ataupun oleh karena penyebab lain seperti
infeksi virus (hepatitis, HIV, dengue), radiasi, dan akibat kehamilan.
17
mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga
mengeluh sakit kepala dan demam.
1. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi.
Pucat dapat ditemukan pada semua pasien yang diteliti, sedangkan perdarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien.
18
Tabel 3.4 Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
7
Hidung
6
Saluran Cerna 3
Vagina 16
Demam 7
Hepatomegali 0
Splenomegali
1. Pemeriksaan laboratorium
Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia
adalah normokrom normositer. Kadang-kadang ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit
ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,
persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi
terhadap beratnya anemia maka diperoleh persentase retikulosit normal atau
rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia
aplastik.
Laju Endap
Gambar 2.1 Gambarah apusan darah tepi Anemia
Darah
Aplastik Laju Endap
Darah selalu
19
meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju
endap darah lebih dari 100 mm jam pertama.
Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.
Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi,
maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi
sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan
sumsum tulang sesuai criteria diagnosis.
Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV,
parvovirus, dan sitomegalovirus.
Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan
imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.
Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan
pemeriksaan imunitas sel T.
Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan
pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin ditemukan meningkat
pada anemia aplastik.
Pemeriksaan Radiologis
20
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan
karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak
dan sumsum tulang berselular.
3.8 Penatalaksanaan
21
Terapi Konservatif
Terapi Imunosupresif
22
untuk keadaan-keadaan refrakter untuk mengkaji potensi pemanfaatannya sebagai
obat imunosupresif.
Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undertreatment atau
kelelahan cadangan sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietic. Di samping
itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau
adanya pathogenesis non imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat
disebabkan penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien sering masih
tergantung CsA. Terapi induksi dengan regimen ATG masa kini atau bahkan
siklofosfamid dapat pula tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun.
Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG multiple, yang dapat
menghasilkan kesembuhan (salvage) pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada
pasien yang refrakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan angka respons
50% dan kelangsungan hidup jangka panjang yang sangat baik.
Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertama yang
efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan
pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun sitopenia yang
berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi
neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow up jangka panjang pada
pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit
klonal dapat terjadi setelah terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid
hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian dari uji terkontrol dengan
spektrum indikasi yang sempit.
ATG atau ALG diindikasikan pada :
1. Anemia aplastik bukan berat
2. Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
3. Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahanatau dengan granulosit
lebih dari 200/mm3.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi
ringan sampai berat, sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum
23
intrinsic terhadap terapi ATG, yaitu prednisone 1mg/kgBB selama 2 minggu
pertama pemberian ATG. Di samping itu, neutropenia dan trombositopenia yang
ada akan semakin berat. Kira-kira 40-60% pasien berespons terhadap ATG dalam
2-3 bulan (hampir tidak pernah dalam 2-3 minggu pertama). Walaupun tidak
terjadi remisi total transfusi komponen darah tidak dibutukan lagi. Kira-kira 30-
50% dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam 2 tahun berikutnya. Pada
golongan pasien ini yang kebanyakan berespons lagi bila diberi ATG. Kira-kira
25% pasien yang semula tidak memberika respons, terjadi respons pada
pemberian ATG 2-4 bulan setelah pemberian pertama.
Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi precursor
limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah 3-10 mg/kgBB/hari per oral dan diberikan
selama 4-6 bulan. Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka
keberhasilan setara dengan ATG. Pada 50% pasien yang gagal dengan ATG dapat
berhasil dengan siklosporin.
Kombinasi ATG, siklosporin, dan metilprednisolon memberikan angka remisi
sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon
angka remisi sebesar 46%. Dosis siklosporin yang diberikan 6 mg/kgBB per oral
selama 3 bulan. Dosis metilprednisolon 5 mg/kgBB per oral setiap hari selama
seminggu kemudian berangsur-angsur dikurangi selama 3 minggu.
Relaps
24
dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada beberapa contoh, ATG
kelinci dapat dipakai disbanding ATG kuda. Siklofosfamid dosis tinggi telah
disarankan untuk imunosupresi yang mencegah relaps. Namun hal inibelum
dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamis memberikan lama
respons lebih dari 1 tahun. Sebaliknya 75% respons ATG adalah dalam 3 bulan
pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
25
pada kasus-kasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan
pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Namun, beberapa laporan
mengaitkan terapi G-CSF yang lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya
monosomi-7.
Steroid Anabolik
26
disease (GVHD). Transplantasi sumsum tulang antara umur 40-50 tahun
mengandung risiko meningkatnya GVHD dan mortalitas.
Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan
ATG, dan mempunyai saudara kandung sebagai donor yang cocok maka
pemberian transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan. Akan tetapi
dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan transfuse selama beberapa
bulan.
Kriteria Respons
a.
Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit 2000/mm 3, dan trombosit
100.000/mm3
b.
Remisi sebagian : tidak bergantung pada transfusi, granulosit < 2000/mm 3,
dan trombosit < 100.000/mm3
c.
Refrakter : tidak ada perbaikan
Terapi Suportif
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa
packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular. Risiko perdarahan menigkat bila
trombosit kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat
perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.000/mm3 (profilaksis). Pada
mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsetrat berulang
dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitasi, donor diganti dengan yang cocok HLA nya (orang tua atau saudara
kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitasi dapat
diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksismasih kontroversial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.
27
Masa hidup leukosit yang ditransfusikan amat pendek, pada infeksi berat
khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotic masih diutamakan.
3.9 Prognosis
Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa : 1) Berakhir dengan remisi
sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenic akibat kemoterapi atau
radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera. 2) Meninggal dalam 1 tahun.
Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3) Bertahan hidup selama 20 tahun atau
lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami
remisi tidak sempurna.
BAB IV
PEMBAHASAN
28
Anamnesis
Teori1 Kasus
29
Pemeriksaan fisik
Teori Kasus
Pucat (100%) o Pucat (+)
Perdarahan (63%) o Pasien sedang menstruasi hari
Kulit (34%)
ke 4
Gusi (26%)
o Bintik-bintik merah (-), gusi
Retina (20%)
Hidung (7%) berdarah (-), mimisan (-), BAB (+)
Saluran Cerna (6%) normal
Vagina (3%)
Demam (16%) o T = 36,4o C
Hepatomegali (7%) o Organomegali (-)
Splenomegali(0%)
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi.
Pucat dapat ditemukan pada semua pasien yang diteliti, sedangkan perdarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali yang sebabnya
bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali
tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati
justru meragukan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
30
Leukosit : 800
Hb : 3,0
Trombosit : 28.000
b. Normokrom Normositer
b. Normokrom Normositer c. Trombosit : 28.000
c. Granulosit dan trombosit
d. Jumlah leukosit sangat menurun
ditemukan rendah
d. Limfositosis relative didominasi oleh limfosit.
Penatalaksanaan
Teori Kasus
31
o Terapi imunosupresif - RL 20 tpm
o Transplantasi sumsum tulang
- Inj.Ceftazidime 3 x 1 amp
o Terapi supportif
- Inj.Leucogen 30mg SC selama 3hari
(Hari I)
- Inj.Kalnex 3 x 500mg
- Transfusi PRC 2 kolf/hari sampai
Hb 10
- Transfusi TC 5 Unit
- Metilprednisolon 8mg 2-2-0
32
atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya
sensitasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksismasih kontroversial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.
Masa hidup leukosit yang ditransfusikan amat pendek, pada infeksi berat
khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotic masih diutamakan. Dalam
mengatasi pendarahan transfuse TC dilakukan dengan dosis 0,1-0.2 unit/ kgBB,
diulang bila perlu sampai pendarahan dapat diatasi.
Prednison dapat digunakan sebagai tambahan untuk mengurangi kecenderungan
pendarahan.
BAB V
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34
8. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al
(eds). Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New
Jersey: Humana Press, 2007 ;207-16.
9. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow
failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle
of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.
10. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed.
New York: Lange McGraw Hill, 2005.
11. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds).
Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill,
2007;510-11.
35