Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS PENDAMPING

Combustio Grade 1-2B TBSA 40%


INSTALASI GAWAT DARURAT

Disusun Oleh ;
dr. Jody Setiawan
Dokter Pembimbing ;
dr. Hj. Sumarmi

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui laporan kasus dengan judul :


Combustio Grade 1-2B TBSA 40%
Pada tanggal, 1 februari 2023

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Program Internship Dokter Indonesia
Rumah Sakit Umum Daerah 45 Kuningan

Disusun Oleh :
dr. Jody Setiawan

Mengetaui :
Pembimbing

dr. Hj. Sumarmi

2
BAB I

PENDAHULUAN

Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu
sumber panas pada tubuh, panas dapat dipindahkan oleh hantaran/radiasi electromagnet
(Brunner & Suddarth, 2002). Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontrak dengan sumber panas seperti api, air, panas, bahan kimia, listrik dan
radiasi (Moenajar, 2002). Luka bakar adalah kerusakan pada kulit diakibatkan oleh panas,
kimia atau radio aktif (Wong, 2003).

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur
panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan
menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan kerusakan
yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang
menyebabkan gangguan proses penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber
panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak,
semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat, 2003). Luka bakar
adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami
kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab
dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan
mempengaruhi kerusakan/ gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2003).
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung maupun tidak langsung,
juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena
api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga (Sjamsuidajat, 2004) Luka bakar yaitu luka yang disebabkan
oleh suhu tinggi, dan disebabkan banyak faktor, yaitu fisik seperti api, air panas, listrik
seperti kabel listrik yang mengelupas, petir, atau bahan kimia seperti asam atau basa kuat
(Triana, 2007). Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik
bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih
dalam (Kusumaningrum, 2008) Luka bakar bisa berasal dari berbagai sumber, dari api,
matahari, uap, listrik, bahan kimia, dan cairan atau benda panas. Luka bakar bisa saja
hanya berupa luka ringan yang bisa diobati sendiri atau kondisi berat yang mengancam
nyawa yang membutuhkan perawatan medis yang intensif (PRECISE, 2011)

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : An. C
b. Usia : 6 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Alamat : Kadugede
e. Suku : Sunda
f. Agama : Islam
g. Masuk Rumah Sakit : 21/01/2023
h. Tanggal Pemeriksaan : 21/01/2023
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri Luka Bakar Pada daerah dagu, dada, tangan kanan, kemaluan dan di
paha atas kanan kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD 45 dengan keluhan adanya luka bakar karena
korek api yang meledak sejak ± 1 jam yang lalu SMRS, saat pasien sedang
memainkan korek api di depan rumah nya. Os mengeluh luka terasa panas, nyeri
dan berdenyut. Kulit pada bagian dagu, tangan kanan, dada, kemaluan, dan paha
atas kanan kiri yang terkena semburan api dari korek api mengelupas hingga
berwarna kemerahan dan ada juga yang berbentuk gelembung-gelembung seperti 
berisi cairan. Pada saat kejadian os sadar. Sebelum dibawa ke rumah sakit pasien
sempat dibawa ke puskesmas, dipuskesmas di lakukukan kompres cairan Nacl
dan di infus RL, lalu pasien disarankan ke IGD RSUD 45.Riwayat Penyakit
Dahulu
Riwayat sakit sama sebelumnya(-), Riwayat kehamilan (-) Batu/pasir
Saluran kencing(-) DM (-), Hipertensi (-)

4
c. Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak mempunyai riwayat penyakit apapun.
d. Riwayat kebiasaan
Pasien jarang mengkonsumsi sayuran & buah
bersayur disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Tidak ada
C. PEMERIKSAAN FISIK

Airway Clear, stridor (-), gurgling (-)

Breathing Spontan, gerakan dada simetris kiri dan kanan, RR


24x/menit

Circulatio Akral hangat, Nadi 104x/menit


n

Disability GCS 15 (E4M6V5), Pupil isokor (diameter 3 mm), refleks


cahaya +/+

a. Status Interna
i. Keadaan Umum ; Tampak sakit sedang
ii. Kesadaran ; Compos Mentis
iii. Tanda-Tanda Vital;
 BB ; 19 Kg
 N ; 104 x/mnt
 RR ; 24 x/mnt
 T ; 36.0 ‘C
 SpO2 ; 98%

5
b. Status Generalisata

6
Rambut Hitam, tidak mudah rontok

Kulit Turgor kulit baik

Kepala Inspeksi: hematom (-), VL (-),


normocephal

Mata Konjungtiva anemis -/-, sklera tidak


ikterik

Telinga Tidak ada perdarahan, tidak ditemukan


kelainan

Hidung Tidak ada perdarahan, Tidak ditemukan


kelainan

Tenggorokan Tidak hiperemis

Gigi dan mulut Tidak ditemukan kelainan, gigi patah (-)

Leher Tidak ada deviasi trakea, tidak


ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening

Dinding dada Tidak ditemukan kelainan, jejas (-),


tampak kemerahan di dinding dada
kanan kiri bagian depan, disertai kulit
terkelupas, vesikel (+) tampak bulae
(+)

Paru Inspeksi : Simetris, kiri = kanan, jejas


(-)

Palpasi : Fremitus kiri = kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-,


wheezing -/-

Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat 7

Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari


medial LMCS RIC V
Alat Vital tampak kemerahan di bagian alat vital, disertai kulit
terkelupas, vesikel (+) tampak bulae (-)

ekstremitas Akral Hangat, Crt < 2 dtk

Paha Atas sebelah kanan : tampak kemerahan di bagian alat


vital, disertai kulit terkelupas, vesikel (+) tampak bulae (-)

Paha Atas sebelah kiri : tampak kemerahan di bagian alat


vital, disertai kulit terkelupas, vesikel (+) tampak bulae (+)
Kesimpulan Status lokalis : Terdapat luka bakar grade 1-2B
pada area dada, perut, paha bagian atas kanan kiri (32%),
Area tangan kanan (4%), tangan kiri (2%), Area wajah
(2%), total TBSA 40%

8
9
HASIL Hasil Nilai rujukan
LAB DI
IGD
21/01/2023

Hemoglobi 14.8 12 – 16
n

Leukosit 33,24 4.0 – 10.0

Hematokrit 43.9 35.0 – 47.0

Trombosit 494.000 150 – 450

Eritrosit 6.00 4.10 – 5.10

MCV 73.2 80.0 – 96.0

MCH 24.7 28.0 – 33.0

MCHC 33.7 33.0 – 36.0

Basofil 0 0.0 – 1.0

Eosinofil 2 1.0 – 6.0

N. Batang 0 2.0 – 6.0

N.Segment 77 40.0 – 59.0

Limfosit 17 33.0 – 48.0

Monosit 4 2.0 – 9.0

Jumlah 5.62 > 1.5


Limfosit

Neutrofil 4.53 < 3.13


Limfosit
ratio

SGOT 44 5 – 31

SGPT 12 < = 34 10

Ureum 29 10 – 50
D. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD 45 dengan keluhan adanya luka bakar karena korek
api yang meledak sejak ± 1 jam yang lalu SMRS, saat pasien sedang memainkan korek
api di depan rumah nya. Os mengeluh luka terasa panas, nyeri dan berdenyut. Kulit pada
bagian dagu, tangan kanan, dada, kemaluan, dan paha atas kanan kiri yang terkena
semburan api dari korek api mengelupas hingga berwarna kemerahan dan ada juga yang
berbentuk gelembung-gelembung seperti  berisi cairan. Pada saat kejadian os sadar.
Sebelum dibawa ke rumah sakit pasien sempat dibawa ke puskesmas, dipuskesmas di
lakukukan kompres cairan Nacl dan di infus RL, lalu pasien disarankan ke IGD RSUD
45.
Pemeriksaan TTV Dalam batas normal, Kesimpulan Status lokalis : Terdapat luka
bakar grade 1-2B pada area dada, perut, paha bagian atas kanan kiri (32%), Area tangan
kanan (4%), tangan kiri (2%), Area wajah (2%), total TBSA 40%

E. DIAGNOSIS BANDINGS
Combustio Grade III
F. DIAGNOSIS KERJA
Combustio Grade I – IIB TBSA 40%
G. PENATALAKSANAAN
IGD;
H. IVFD RL Parkland Formula
1140 ml dalam 8 jam pertama dan 1140 ml pada 16 jam berikutnya
WT + Salep Burnaazine
Inj. Ketorolac 15mg IV extra
Inj. Ranitidine 1x1/2 amp IV
Advis dr. Reja, Sp.B
Cefotaxime 3x600 mg IV
Paracetamol 3x190 mg IV
Resusitasi Parkland
A. Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam

11
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

TGL Hasil Assesmen Pasien Instruksi Dokter

S: Nyeri luka bakar (+), demam (-)


O: keadaan umum : sakit sedang Obs. TTV
HR : 108 x/menit Maintenance :
RR : 20x/menit 4cc/kg/jam (10kg awal) :40 cc
22/01/2
Suhu : 36.5 C 2cc/kg/jam(10-20kg) : 18 cc =
3
SpO2 : 98% 58cc/jam/24 jam > IVFD RL 58cc/jam
BB : 19 Kg selama 24 jam, selanjutnya IVD RL 15
A : Combustio Grade I-IIB 40% Tpm Makro, Terapi lain lanjut
P : instruksi dr. Reja, Sp.B

S: Nyeri luka bakar (+), demam (-)


O: keadaan umum : sakit sedang
HR : 110 x/menit
RR : 20x/menit
23/12/2
Suhu : 36.5 C Terapi sementara lanjut
2
SpO2 : 98%
BB : 19 Kg
A : Combustio Grade I-IIB 40%
P : instruksi dr. Reja, Sp.B

24/01/2 S: Nyeri luka bakar (+), demam (-) Chana SYR 2x1 cth
3 O: keadaan umum : sakit sedang Terapi lain lanjut
HR : 108 x/menit Rencana Necrotomi debridement di
RR : 20x/menit ruang operaasi
Suhu : 36.5 C
SpO2 : 98%
BB : 19 Kg

12
A : Combustio Grade I-IIB 40%
P : instruksi dr. Reja, Sp.B

Meropenem 3x400 mg
S: Nyeri luka bakar (+), demam (-) PCT 4x200 mg
O: keadaan umum : sakit sedang OMZ 1x1/2
HR : 100 x/menit Drip ketorolac 10 mg dalam RL/12 jam
RR : 22x/menit Chana Sachet 2x1/2 P.O
25/12/2 Suhu : 36.3 C GV POD II diruang operasi
2 SpO2 : 98% Monitor produksi Urine
BB : 19 Kg Advice dr.Taufik,Sp.An :
A : Combustio Grade I-IIB 40% Fentanyl drip/infus 7,5mg
post Necrotomi Debridement PCT 4x200mg
P : instruksi dr. Reja, Sp.B Meropenem 3x400mg
Pasien boleh makan minum

S: Nyeri luka bakar (+), demam (-)


O: keadaan umum : sakit sedang
HR : 108 x/menit
RR : 20x/menit
26/01/2 Suhu : 36.5 C
Advis dr.Reja, Sp.B terapi lanjut
3 SpO2 : 98%
BB : 19 Kg
A : Combustio Grade I-IIB 40%
Post Necrotomi debridement
P : instruksi dr. Reja, Sp.B terapi lanjut

27/12/2 S: Nyeri luka bakar (+), demam (-) Advis dr.Reja,Sp.B :


2 O: keadaan umum : sakit sedang Meropenem 3x400 mg
HR : 100 x/menit PCT 4x200 mg
RR : 22x/menit OMZ 1x1/2
Suhu : 36.3 C Drip ketorolac 10 mg dalam RL/12 jam
SpO2 : 98% Chana Sachet 2x1/2 P.O

13
GV POD III diruang operasi
Monitor produksi Urine
BB : 19 Kg
Advis dr.Lukman Sp.An :
A : Combustio Grade I-IIB 40%
O2 : 2-3 Lpm NK
post Necrotomi Debridement
Boleh makan minum the manis post OP
P : instruksi dr. Reja, Sp.B
Tramadol 75mg + ketorolac 30 mg
dalam 500 ml/12 jam

S: Nyeri luka bakar (+), demam (-)


O: keadaan umum : sakit sedang Meropenem stop > cefotaxime 3x500mg
HR : 148 x/menit PCT 4x200mg
RR : 24x/menit Chana sachet 2x1/2 P.O
30/01/2
Suhu : 36.5 C Cek darah rutin,albumin,SGOT SGPT
3
SpO2 : 98% Diet nutrisi TKTP
BB : 19 Kg Monitor produksi urine
A : post necrotomi debridement ke 2 GV POD IV di OK
P : instruksi dr. Reja, Sp.B

S: Nyeri luka bakar (+), demam (-)


O: keadaan umum : sakit sedang
HR : 145 x/menit
RR : 24x/menit
31/12/2
Suhu : 39.5 C Advis dr.Reja,Sp.B terapi lanjut
2
SpO2 : 96%
BB : 19 Kg
A : post Debridement ke 3 POD I,
P : intruksi dr.Reja,Sp.B

BAB III.

14
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar
merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.
Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat
menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi
menjadi:
1. Paparan api
a. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan
cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru
mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa
cedera kontak.
b. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar
yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain
adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas
dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap

15
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan
nafas akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka
bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar
pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

EPIDEMIOLOGI
Dari laporan American Burn Association 2012 dikatakan bahwa angka morbiditas 96,1%
lebih banyak terjadi pada wanita (69%). Berdasarkan tempat kejadian, 69 % di rumah tangga dan
9% di tempat kerja, 7% di jalan raya, 5% di rekreasi atau olahraga 10% dan lain-lain.
Menurut surat kabar Tribun pada tanggal 8 Februari 2012, pada Simposium Indonesia
Burn and Wound Care Meeting yang diselengarakan Universitas Padjadjaran di Bandung
dilaporkan data terakhir yang dikeluarkan unit luka bakar RSCM Januari 1998 - Mei 2001
menunjukkan bahwa 60% karena kecelakaan rumah tangga, 20% karena kecelakaan kerja, dan
20% sisanya karena sebab-sebab lain. Dan angka kematian akibat luka bakar pun di Indonesia
masih tinggi, sekitar 40%, terutama diakibatkan luka bakar berat.

KLASIFIKASI LUKA BAKAR


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju
yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang
terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar
juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.

16
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I,
II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan
untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari
dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul
dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah
sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut
misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat
dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul
edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-
thickness burn atau luka bakar derajat III.

17
 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan
yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar
regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus
dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena
pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.

18
Derajat luka bakar berdasarkan kedalaman

BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR


Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 oC. Luasnya
kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan
koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan
pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga
menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat,
dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen
terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,
yaitu:

19
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak
tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung
pada pasien dengan derajat luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu
luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan,
ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan
kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu
menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh
lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas
permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-
15-20 untuk anak.

20
 Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada
anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila
tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan
lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

21
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface
area affected by burns in children.

PEMBAGIAN LUKA BAKAR


1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang
dari 10 %

22
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,
dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan
perineum

PATOFISIOLOGI

Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik. Pembuluh kapiler
yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut
rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar
derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:
1. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah potensial sel membran
istirahat, dan tetany memunculkan otot. 

23
2. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan jaringan besar dan
nekrosis coagulative.
3. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi otot kekerasan.
Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya energi yang disampaikan,
resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus listrik, jenis arus, jalur arus, dan lamanya
kontak. Efek sistemik dan kerusakan jaringan secara langsung proporsional dengan besarnya arus
yang. Jumlah arus (ampere) secara langsung berhubungan dengan tegangan dan berbanding
terbalik dengan perlawanan, sebagaimana ditentukan oleh hukum Ohm (I = V / R, dimana I =
arus, V = tegangan, R = resistansi). Dari parameter yang dijelaskan oleh hukum Ohm, tegangan
biasanya dapat ditentukan dan digunakan untuk mengukur besarnya potensi pemaparan saat ini
dan besarnya cedera yang disebabkan.
Sengatan listrik diklasifikasikan sebagai tegangan tinggi (> 1000 volt) atau tegangan
rendah (<1000 volt). Sebagai aturan umum, tegangan tinggi dikaitkan dengan morbiditas dan
kematian yang lebih besar, meskipun cedera fatal dapat terjadi pada tegangan rendah. Tubuh
memiliki tahanan yang berbeda-beda. Secara umum, jaringan dengan cairan yang tinggi dan
mengandung banyak elektrolit mampu mengkonduksi listrik lebih baik. Tulang memiliki tahanan
paling tinggi. Sedangkan jaringan saraf memiliki tahanan paling rendah, dan bersama-sama
dengan pembuluh darah, otot, dan selaput lender juga memiliki tahanan yang rendah terhadap
listrik. Kulit memberikan tahanan “intermediate” dan merupakan faktor yang paling penting
menghambat aliran arus. Kulit adalah resistor utama terhadap arus listrik, dan derajat resistensi
ditentukan oleh ketebalan dan kelembaban. Ini bervariasi dari 1000 ohm untuk kulit tipis lembab
untuk beberapa ribu ohm untuk kulit kapalan kering.

Jalur arus menentukan jaringan yang berisiko dan apa jenis cedera yang dihasilkan. Arus
listrik yang melewati kepala atau dada lebih mungkin menghasilkan luka fatal. Arus
transthoracic dapat menyebabkan aritmia fatal, kerusakan jantung langsung, atau pernapasan.
Transcranial arus dapat menyebabkan cedera otak langsung, kejang, pernapasan, dan
kelumpuhan.
Cedera electrothermal mengakibatkan edema jaringan. Meningkatnya permeabilitas kapiler
akibat terpajan suhu tinggi menyebabkan terjadinya perpindahan cairan yang berasal dari
jaringan interstisial yang mengawali terjadinya edema yang akan menghasilkan sindrom
kompartemen. Ekstremitas adalah struktur yang paling sering terlibat untuk pengembangan

24
sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial pada kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang
menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis
jaringan lokal akibat hipoksia. Ketika tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah
dalam kapiler dan menyebabkan kapiler kolaps. Pertama-tama sel akan mengalami oedem,
kemudian sel akan berhenti melepaskan zat-zat kimia sehingga menyebabkan terjadi oedem lebih
lanjut dan menyebabkan tekanan meningkat.Aliran darah yang melewati kapiler akan berhenti.
Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya hipoksia menyebabkan
sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif yang meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam
kapiler-kapiler terjadi kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan
memperberat kerusakan disekitar jaringan dan jaringan otot mengalami nekrosis.
Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma kompartemen meliputi :
1. Pain : Nyeri pada pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena.
2. Pallor : Kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat.
3. Parestesia : Biasanya terasa panas dan gatal pada daerah lesi.
4. Paralisis : Diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi.
5. Pulselesness: Berkurang atau hilangnya denyut nadi akibat adanya gangguan perfusi arterial.
Selain itu panas yang dihasilkan oleh arus listrik akan merusak sarkolemma pada otot
rangka dan melibatkan kebocoran cairan intraseluler (myoglobin, creatinin kinase, kalium, fosfat
dan asam urat) dalam jumlah besar ke dalam plasma. Hal ini yang disebut rhabdomyolysis. Pada
orang dewasa, rhabdomyolysis mempunyai 3 ciri khas yaitu kelemahan otot,myalgia dan urin
yang berwarna kecoklatan gelap. Namun ketiga karakter ini terkadang jarang muncul bersamaan.
Myoglobin hasil dari kerusakan sel otot akan masuk ke aliran darah dan masuk ke ginjal.
Myoglobin ini mudah melewati glomerulus dan mudah di eksreksikan ke urin (myoglobinuria).
Dengan demikian, terjadi pengendapan mioglobin dalam tubulus ginjal yang akan
mengakibatkan gagal ginjal akut.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang
khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan

25
produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah
delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi
kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya
diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium
yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena
daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh
ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar,
selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas
dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat
berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat
invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik.
Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya,
dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi
di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih
vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut.
Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal,
kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan
mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus
menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun
karena kekurangan ion kalium.

26
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala
tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat dan cedera
termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang menjadi Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Mutli-
system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan
yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses
perbaikan perfusi (sirkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.
KRITERIA PERAWATAN
Kriteria perawatan luka bakar menurut American Burn Association yang digunakan untuk
pasien yang harus diadministrasi dan dirawat khusus di unit luka bakar adalah seperti berikut:
1. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka bakar derajat
III) dengan >10 % dari TBSA pada pasien berumur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 50
tahun.
2. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka bakar derajat
III) dengan >20 % dari TBSA pada kelompok usia lainnya.
3. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka bakar derajat
III) yang melibatkan wajah, tangan, kaki, alat kelamin, perineum, atau sendi utama.
4. Full-thickness burns (luka bakar derajat III) lebih >5 persen TBSA pada semua kelompok
usia.
5. Luka bakar listrik, termasuk cedera petir.
6. Luka bakar pada pasien dengan riwayat gangguan medis sebelumnya yang bisa
mempersulit manajemen, memperpanjang periode pemulihan, atau mempengaruhi
kematian.
7. Luka bakar kimia.
8. Trauma inhalasi
9. Setiap luka bakar dengan trauma lain (misalnya, patah tulang) di mana luka bakar tersebut
menimbulkan risiko terbesar dari morbiditas dan mortalitas.
10. Luka bakar pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit tanpa unit perawatan anak yang
berkualitas maupun peralatannya.

27
11. Luka bakar pada pasien yang membutuhkan rehabilitasi khusus seperti sosial, emosional,
termasuk kasus yang melibatkan keganasan pada anak.

PENATALAKSANAAN
Primary Survey
 Airway, yakni membebaskan jalan nafas agar pasien dapat tetap bernafas secara normal

 Breathing, mengecek kecepatan pernafasan yakni sekitar 20x/ menit

 Circulation, melakukan palpasi pada nadi untuk mengecek pulsasi yang pada orang normal

berkisar antar 60 – 100x/ menit

 Disability
o Periksa kesadaran.
o Periksa ukuran pupil.
 Environment
o Jaga pasien dalam keadaan hangat.
Secara sistematik dapat dilakukan 6c : clothing, cooling, cleaning, chemoprophylaxis,

covering and comforting. Untuk pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan

cooling, baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan

 Clothing : singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang

menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.

 Cooling : Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir

selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal, terutama pada

anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar –

Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin)

sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan

pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi)

sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar
28
karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir yang banyak

selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa bubuk, maka singkirkan

terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir.

 Cleaning : pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit.

Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan

risiko infeksi berkurang.

 Chemoprophylaxis : Pemberian krim silver sulvadiazin untuk penanganan infeksi, dapat

diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat

alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2

bulan

 Covering : penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka

bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya.

Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi

pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan

berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan

meningkatkan risiko infeksi.

 Comforting : dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri.

Resusitasi cairan (jika berindikasi)


Resusitasi cairan diindikasikan bila luas luka bakar > 10% pada anak-anak atau > 15%
pada dewasa. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:
 Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh vaskuler regional
sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
 Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.
 Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival seluruh
sel

29
 Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi pasien
secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
Formula yang sering digunakan untuk manajemen cairan pada luka bakar mayor yaitu
Parkland, modified Parkland, Brooke, modified Brooke, Evans dan Monafo’s formula.
Parkland formula
1. 24 jam pertama: cairan Ringer Laktat (RL) 4 mL/kgBB untuk setiap 1% permukaan
tubuh yang terbakar pada dewasa dan 3 mL/kgBB untuk setiap 1% permukaan tubuh
yang terbakar pada anak. Cairan RL ditambahkan untuk maintenance pada anak:
- 4 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 0-10 kg
- 40 mL/jam + 2 mL/jam untuk anak dengan berat 10-20 kg
- 60 mL/jam + 1 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 20 kg atau lebih.
Formula ini direkomendasikan tanpa koloid di 24 jam pertama.
2. 24 jam selanjutnya: koloid diberikan sebesar 20-60% dari kalkulasi volume plasma.
Tanpa kristaloid. Glukosa pada air ditambahkan untuk mempertahankan output urin
0,5 – 1 mL/jam pada dewasa dan 1 mL/jam pada anak.
Tekanan darah kadang sulit diukur dan hasilnya kurang dapat dipercaya. Pengukuran
produksi urin tiap jam merupakan alat monitor yang baik untuk menilai volume sirkulasi darah.
Pemberian cairan cukup untuk dapat mempertahankan produksi urin 1,0 mL/kgBB/jam pada
anak-anak dengan berat badan 30 kg atau kurang, dan 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang dewasa.
Resusitasi luka bakar yang ideal adalah mengembalikan volume plasma dengan efektif
tanpa efek samping. Kristaloid isotonic, cairan hipertonik, dan koloid telah digunakan untuk
tujuan ini, namun setiap cairan memiliki kelebihan dan kekurangan. Tak satupun dari mereka
ideal, dan tak ada yang lebih superior dibanding yang lain.
1. Kristaloid isotonik
Kristaloid tersedia dan lebih murah dibanding alternative lain. Cairan RL,
cairan Hartmann (sebuah cairan yang mirip dengan RL) dan NaCl 0,9% adalah cairan
yang sering digunakan. Ada beberapa efek samping dari kristaloid: pemberian
volume NaCl 0,9% yang besar memproduksi hyperchloremic acidosis, RL
meningkatkan aktivasi neutrofil setelah resusitasi untuk hemoragik atau setelah infus
tanpa hemoragik. RL digunakan oleh sebagian besar rumah sakit mengandung

30
campuran ini. Efek samping lain yang telah didemonstrasikan yaitu kristaloid
memiliki pengaruh yang besar pada koagulasi.
Meskipun efek samping ini, cairan yang paling sering digunakan untuk
resusitasi luka bakar di Inggris dan Irlandia adalah cairan Hartmann (unit dewasa
76%, unit anak 75%). Sedangkan RL merupakan tipe cairan yang paling sering
digunakan di US dan Kanada.
2. Cairan hipertonik
Pentingnya ion Na di patofisiologi syok luka bakar telah ditekankan oleh
beberapa studi sebelumnya. Na masuk ke dalam sel shingga terjadi edema sel dan
hipo-osmolar intravascular volume cairan. Pemasangan infus cairan hipertonik yang
segera telah dibuktikan meningkatkan osmolaritas plasma dan membatasi edema sel.
Penggunaan cairan dengan konsentrasi 250 mEq/L, Moyer at al. mampu mendapatkan
resusitasi fisologis yang efektif dengan total volume yang rendah dibandingkan cairan
isotonic pada 24 jam pertama. Namun Huang et al. menemukan bahwa setelah 48 jam
pasien yang diterapi dengan cairan hipertonik atau RL memberikan hasil yang sama.
Mereka juga mendemonstrasikan bahwa resusitasi cairan hipertonik berhubungan
dengan peningkatan insidens gagal ginjal dan kematian. Saat ini, resusitasi dengan
cairan hipertonik menjadi pilihan menarik secara fungsi fisiologis sesuai teorinya,
tetapi memerlukan pemantauan ketat dan resiko hipernatremi dan aggal ginjal
menjadi perhatian utama.
3. Koloid
Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar komparemen vaskular
memberikan kontribusi pada pembentukan edema. Kebocoran kapiler bisa bertahan
hingga 24 jam setelah trauma bakar. Peneliti lain menemukan ekstravasasi
ekstravasasi albumin berhenti 8 jam setelah trauma bakar. Koloid sebagai cairan
hiperosmotik, digunakan untuk meningkatkan osmolalitas intravascular dan
menghentikan ekstravasasi kristaloid.
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-

31
60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan
pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
Perawatan luka bakar
Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg
setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang
menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi
penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih
merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement) yang
dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar
dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya
jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama
dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya
terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat
mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses
penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin
lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi
luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan
“burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator
inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang
terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar
saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko

32
kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga
eskar yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui
infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat
III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split
thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien
luka bakar yang luas. Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka

PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak
daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.

KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS), dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh
karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara

33
berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik,
menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya;
MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ
(Multi-system Organ Failure/MOF).
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama
beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO 2 < 32
mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau
dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya
gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat
dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat
dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya
SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan
penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan
disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami
translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik;
khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan

34
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya
imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari
kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses
degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat
keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIRS.
Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi
serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN)
yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan
produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke
kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan
produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas
ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun
pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat
lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh
khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai
respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi
juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena
luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada
SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia
nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena
dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular
coagulation (DIC). Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.

35
DAFTAR PUSTAKA

Advances Trauma Life Support untuk Dokter. 2004.


Mehmet H, Ebru SA, Hamdi K. Fluid Management in Major Burn Injuries. Indian J Plast Surg.
2010: S29-S36.
David G. Burn Resuscitation. Journal of Burn Care & Research. 2007: 4.
WHO. Management of Burns. WHO Surgical Care at the District Hospital. 2003: 1-7.
Shehan H, Peter D. Pathophysiology and Types of Burns. BMJ. 2004;328:1427–9.
New Zealand Guidelines Group. Management of Burns and Scalds in Primary Care. Accident
Compensation Corporation. 2007: 4-6.
James M, Mahambrey T, Andrews F, Jeanrenaud P, Yao S, Wilkinson D. Adult Acute Burn Fluid
Resuscitation Guidelines. NHS: 1-4.
The Dudley Group. Clinical Guideline Burn Injury. 2012
Steffen Rex.Burn Injuries. 2012

36

Anda mungkin juga menyukai