Rahma Amin (Kerukunan Toraja)
Rahma Amin (Kerukunan Toraja)
Jalan menuju sumber api itu tidak mampu dilalui kendaraan roda empat,
bahkan cukup sempit untuk dilewati dengan kendaraan roda dua di antara
orang yang berbondong-bondong ke situ. Jaraknya kira-kira 250 meter dari
ujung jalan tempat memarkir kendaraan.
Makin dekat, aroma daging makin tercium. Aroma itu terasa asing bagi
penciuman penulis. Itu bau daging babi yang dibakar, ujar Andarias Lowis,
seorang kawan yang menemani penulis ke tempat itu.
Ratusan orang dengan pakaian serba hitam di lokasi itu, duduk di bawah
kolom tenda yang terbuat dari anyaman bambu. Ada juga tenda dengan
dekorasi khusus semacam VIP, namun tidak membedakan dengan tenda
lainnya, yang duduk lesehan. Lowis bilang itu tempat khusus bagi tamu kelas
atas.
Di bagian pintu masuk tamu, berdiri papan ucapan turut berduka cita,
tertulis untuk keluarga besar Talondo yang ditinggal pergi nenek Asta (orang
yang meninggal) ke surga Tuhan.
Ada tokoh adat di hadapan para tamu yang sedang membawakan ceramah.
Di antara tenda-tenda, ada satu rumah yang juga ditempati untuk menjamu
tamu, masyarakat Toraja menyebutnya sebaga Tongkonan. Orang-orang
yang duduk di atas tongkonan bukanlah warga biasa, mereka setingkat lebih
tinggi kelasnya dibanding tamu yang duduk di deretan VIP. Namun, tampak
tidak ada pembeda dari mereka.
Lebih dalam penulis menelusuri upacara adat ini, melangkah menuju dapur,
tempat makanan yang dihidangkan itu tersaji. Ada yang unik, di dapur itu
tidak saja jemari perempuan yang berperan menghidangkan makanan, tetapi
juga keuletan pria mengiris daging hasil sembelihan. Mereka membaur di
dapur itu.
Pembagian kerja secara seksual seperti pada umumnya pesta, tidak terjadi
di tempat ini. Laki perempuan saling bekerja sama di dapur. Laki-laki
mengiris-iris daging, memanggang. Lalu yang menghidangkan perempuan,
tutur Kevil, salah seorang keluarga almarhum, seraya mengipas-ngipas
daging panggangannya yang telah dimasukkan ke dalam bambu.
Cerita Kevin, dapur umum selalu disediakan pada setiap upacara adat di
Toraja , baik upacara Rambu Tuka (pesta yang diadakan karena motif-motif
kegembiraan misalnya pesta perkawinan, kelahiran, dan syukuran), maupun
Rambu Solo. Dapur umum ini disediakan untuk tamu yang beragama
muslim, bahkan dapur umum ini kadang dibuat lebih besar, agar semua
hidangan bisa dinikmati bersama antara saudara-saudara kami yang
muslim, Kevin bercerita.
Bukan karena cara islam menyembelih dianggap lebih benar, namun lebih
pada menjaga penganut Islam terhindar dari apa yang dilarangkan dalam
ajaran mereka.
Beranjak dari perbincangan bersama Kevin, penulis lalu menemui tokoh adat
Toraja yang bercemarah tadi. Namanya Marten Galigo Borotoding, seorang
pensiunan TNI yang diangkat sebagai tokoh adat oleh masyarakat setempat.
Ia bercerita kerukunan masyarakat Toraja bisa dilihat dari penyelenggaraan
upacara adat di Toraja. Tidak sama dengan kelompok masyarakat lain yang
cenderung sektarian terhadap kelompok berpenganut agama lainnya.
Di Toraja, kata dia, masyarakat saling membahu, tidak peduli dengan status
agama mereka. Islam, Kristen, atau agama lainnya, harmonis. Di Toraja,
adat dan kebudayaanlah yang mempersatukan masyarakat dalam satu
wadah yang disebut dengan Tongkonan, terangnya di sela-sela upacara
adat.
Kondisi itulah, kadang konflik tersebut berubah menjadi konflik antar Suku,
Adat, Ras, dan Agama (SARA). Di Tana Toraja, kata Marten, meski konflik
antar individu beda agama pernah juga terjadi,namun kondisi konflik tidak
sampai berujung pada keterlibatan kelompok yang memiliki kesamaan
identitas.
Masyarakat beda agama sering juga ada yang bercekcok, namun sampai
membawa unsur keyakinan itu tidak. Konflik diselesaikan dengan baik oleh
keduanya, ujarnya.
Lanjutnya, upacara adat seperti Rambu Solo selain sebagai bentuk
penghormatan terakhir keluarga kepada yang meninggal, juga sebagai
wadah untuk mempererat kembali tali kekeluargaan yang terputus, termasuk
mengidentifikasi garis keluarga, karena lama tidak berjumpa. Apalagi
masyarakat Toraja banyak yang meninggalkan kampung halamannya.
Merantau.
Banyak tamu yang hadir di sini itu pulang dari perantauannya. Sesibuk
apapun anggota keluarga besar lainnya jika mendengar ada kematian pasti
mereka sempatkan untuk datang, katanya sambil menunjuk salah seorang
tamu. Dia berkata,Itu, bapak yang duduk di sana, dia itu dari Kalimantan
datang ke acara ini. Kalau yang itu dari Pulau Jawa.
Di tempat yang sama, penulis juga bertemu dengan salah seorang anggota
DPRD Kabupaten Tana Toraja, asal Fraksi Golkar , Nikodemus Mangera. Lama
penulis berbincang dengan kakak mantan Kepala Bidang (Kabid)Humas Polda
Sulsel, Kombes Pol Frans Barung Mangera, itu.
Pakaian yang dikenakan orang Toraja pada upacara Rambu Sulo yang serba
hitam, melambangkan kedukaan. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya.
Kita semua sama. Coba perhatikan, mana kita tahu orang yang duduk di
sana orang kaya atau bukan, karena melalui pakaian hitam yang saya
gunakan ini tidak mencerminkan apa-apa. Tidak ada yang mencolok dari kita
yang bisa membedakan orang itu orang kaya atau bukan. Jadi sifatnya lebih
kalau kita semua sama, tidak ada sekat yang memberikan kita jarak,
katanya
Petang mengakhiri terik sang surya, Sabtu, akhir November lalu di Kota
Makale, Kabupaten Tana Toraja. Bunyi lonceng di Gereja Katolik Makale
menjadi pengiring kepergian cahayanya sore itu. Iring-iringan lonceng lalu
disambung kumandang azan di Masjid Raya Makale, yang letaknya tidak
jauh dari gereja. Ikut melepas tenggelamnya sang penyinar.
Di Tana Toraja yang terletak di bagian utara Sulawesi Selatan, kira-kira 8 jam
dari Kota Makassar, warga bisa beribadah dengan tenang sesuai dengan
kepercayaan yang mereka yakini. Sebab, tidak ada intervensi, juga saling
cerca dalam berkeyakinan. Bahkan variasi keyakinan biasa terjadi dalam
sebuah rumpun atau keluarga besar di Toraja, menganut agama yang
berbeda merupakan hal yang lumrah dan biasa saja.
Cerita Maria disambung Imam Masjid Raya Makale, Ahmad Gazali ketika
penulis beribadah di masjid itu . Selama 22 tahun menjadi penduduk Tanah
Toraja, banyak cerita dan pengalaman hidup tinggal bersama mayoritas
masyarakat kristiani di Toraja.
Umat Islam di Toraja hingga sekarang kira-kira hanya 13 persen, tetapi tidak
ada bentuk diskriminasi terhadap kami yang minoritas, baik dari pemerintah
begitu juga warga, kata Gazali usai salat berjemaah petang itu.
Ketika Masjid Raya Makale masih sementara dibangun, umat Kristen ikut
membantu saat pengecoran. Makanan dan minuman tidak pernah habis
untuk pekerja, semuanya berkat pemberian warga nonmuslim, ungkapnya.
Begitu juga saat perayaan hari besar keagamaan, semua warga ikut larut
dalam peringatan. Misalnya saat Idulfitri atau hari keagamaan Islam lainnya,
umat kristiani ikut membantu pembersihan masjid, menyediakan
perlengkapan ibadah, memberikan makanan atau kue kepada muslim yang
merayakan. Hubungan beda agama terjalin sangat indah di setiap perayaan.
Ketika takbir keliling, anak-anak non muslim juga ikut, dan itu bukan suatu
masalah. Bahkan yang membantu pengamanan selain dari pemerintah
adalah saudara kami yang non muslim, tutur Gazali. Suasana itu juga
terjadi sebaliknya, ketika umat kristiani merayakan hari besar keagamaan
mereka.
Cerita Ahmad Gazali bisa dirasakan penulis saat berkunjung di salah satu
gereja di Makale, tepatnya di Gereja Kibaid. Di sana penulis menemukan
pengalaman yang berbeda saat mendapatkan penugasan meliput perayaan
Hari Natal di salah satu gereja di Makassar beberapa tahun silam.
Kala itu, hujan sangat deras pada malam Natal. Penulis yang mengenakan
jilbab yang umumnya dikenakan muslimat, menginjakkan kaki di gereja
dengan maksud mewawancarai jamaat dan pendeta kala itu, namun yang
terjadi penulis disambut pelototan tajam oleh sepasang ratusan mata.
Seolah saya dianggap akan menaruh bom di gereja itu.
Kejadian ini tidak penulis temukan di Toraja. Jemaat begitu ramah kepada
penulis, melepaskan senyum dengan keramahan yang melekat dari karakter
warga Toraja. Ayo, silakan masuk. Ada yang bisa kami bantu, tanya
seorang perempuan, jemaat yang ingin beribadah. Kedatangan penulis pada
Minggu pagi bertepatan dengan hari ibadah umat kristiani.
Tidak saja toleransi itu terjalin antara lapisan masyarakat Toraja yang
berbeda keyakinan, namun juga dipraktikkan dalam tataran institusi di
pemerintahan, bahkan hingga di lembaga pendidikan, misalnya di bangku
sekolah.
Namun berkat kerukunan dan toleransi yang terjalin di Toraja, warga Kristen
bisa dikata punya kontribusi besar atas berdirinya sejumlah masjid di Toraja.
Bagaimana tidak, dalam pasal 14 aturan tersebut menyebutkan syarat
khusus pembagunan rumah ibadah hanya bisa dilakukan ketika daftar nama
dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90
(sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3.
Namanya, Prof Dr TR Andilolo Pdh. Dosen yang akrab disapa Prof TR itu
menjelaskan, yang mempersatukan dan menjadi pererat di antara warga
Toraja meski berbeda keyakinan, adalah Tongkonan, sebuah rumah adat
yang juga menjadi cermin hubungan sosial kehidupan masyarakat Toraja.
Tongkonan, seperti yang dijelaskan Prof TR adalah berasal dari kata Tongkon
yang berarti duduk, kemudian diakhiri dengan an, yang artinya menjadi
tempat duduk bersama. Tongkonan oleh masyarakat Toraja, tidak sekedar
menjadi tempat duduk bersama, namun lebih luas memberikan pemaknaan
di segala aspek kehidupan.
Tongkonan itu menjadi tempat lahir dan dibesarkannya anak cucu Toraja,
yang telah menganut macam agama. Semua angggota keluarga yang ada di
dalamnya sama-sama memeliharanya tanpa melihat agama, katanya.
Dengan demikian fungsi Tongkonan, selain sebagai pusat budaya, oleh Prof
TR mengatakan juga menjadi pembinaan dalam keluarga, kegotong-
royongan dan pusat stabilisator sosial. Itulah mengapa konflik horizontal
yang melibatkan kelompok tidak pernah terjadi, sebab masyarakat Toraja
telah diikat oleh sistem kekerabatan yang sangat kuat dan dipelihara secara
turun temurun melalui Tongkonan.
Selain itu, lanjut Prof TR, konflik horizontal antar kelompok yang pernah
terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, pemicunya adalah tidak terlepas dari
perebutan Sumber Daya Alam (SDM) dengan keterlibatan para
korporasi/pemodal. Di Toraja salah satu yang membuat kerukunan dan
toleransi terjaga dan tidak terporak-porandakan oleh kepentingan ekonomi,
oleh karena Toraja tidak memiliki objek vital SDM yang bisa dikeruk.
Adat itu terus dipelihara oleh masyarakat terutama yang menyangkut hal-
hal yang cocok atau tidak bertentangan dengan agama yang mereka anut,
katanya. Oleh karenanya, menurut Prof TR, agama Islam dan Kristen yang
dianut masyarakat Toraja memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda
dengan negara atau daerah lain di Indonesia.
Islam dan Kristen yang masyarakat anut adalah Islam dan Kristen ala Toraja
yang berbeda di daerah lain yang disatukan melalui adat seperti upacara
Rambu Solo dan Rambu Tuka, jelasnya.
Dalam warisan kebudayaan dan adat Toraja yang bersumber dari ajaran
Aluktudolo itulah sikap saling menghargai di Toraja muncul, dimana tidak
bisa dipisahkan dengan agama. Sehingga meski telah menganut agama di
luar Aluktodolo, upacara kematian tersebut tetap dijalankan. Jumlah
penganut Aluktodolo sendiri makin terkikis, dan lebih kecil dari jumlah
penganut agama Islam. Bahkan Aluktolodo sudah menjadi sekte Hindu Bali
sejak keluarnya SK Dirjen Bimas Hindu dan Budha No.Dd-H/200-VI/69 tanggal
15 November 1969, meski cara beribadah Aluktodolo dan Hindu atau
Buddha sangat berbeda.
Satu prinsip yang selalu dipegang teguh oleh masyarakat Toraja adalah
bahwa manusia sebagai makhluk sosial cenderung akan hidup bersama,
sehingga meskipun berbeda, persaudaraan itu tetap akan terjaga melalui
bingkai Bhinneka Tunggal Ika, dan itu ada dalam Tongkonan, jelasnya. (***)