Anda di halaman 1dari 10

Oleh : Rahma Amin

Bertuhan Tanpa Cerca , Hidup Rukun di Tana Toraja

Gumpalan asap dari hasil pembakaran membumbung di sela ketinggian


bukit Lembang Perindingan. Sebuah desa yang berada di Kecamatan
Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulsel. Dari kejauhan
asap itu tampak makin tebal, mendorong langkah penulis mendekati
lokasinya.

Di sepanjang perjalanan, wangi khas kopi toraja cukup merilekskan, dengan


suhu yang begitu sejuk namun dengan kondisi jalan yang sempit, curam ,
mendaki, dan berbelok-belok cukup tajam. Memakan waktu lama hingga
akhirnya penulis menemukan sumber api itu. Terdapat segerombolan orang
dengan pakaian serba hitam diturunkan dari truk 6 roda.

Jalan menuju sumber api itu tidak mampu dilalui kendaraan roda empat,
bahkan cukup sempit untuk dilewati dengan kendaraan roda dua di antara
orang yang berbondong-bondong ke situ. Jaraknya kira-kira 250 meter dari
ujung jalan tempat memarkir kendaraan.

Makin dekat, aroma daging makin tercium. Aroma itu terasa asing bagi
penciuman penulis. Itu bau daging babi yang dibakar, ujar Andarias Lowis,
seorang kawan yang menemani penulis ke tempat itu.

Ratusan orang dengan pakaian serba hitam di lokasi itu, duduk di bawah
kolom tenda yang terbuat dari anyaman bambu. Ada juga tenda dengan
dekorasi khusus semacam VIP, namun tidak membedakan dengan tenda
lainnya, yang duduk lesehan. Lowis bilang itu tempat khusus bagi tamu kelas
atas.

Di bagian pintu masuk tamu, berdiri papan ucapan turut berduka cita,
tertulis untuk keluarga besar Talondo yang ditinggal pergi nenek Asta (orang
yang meninggal) ke surga Tuhan.

Rambu Solo merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat. Keluarga


almarhum yang diwajibkan membuat pesta sebagai tanda penghormatan
terakhir kepada mendiang yang telah pergi. Upacara yang penulis datangi
setelah mendapat penjelasan dari Lowis.

Ada tokoh adat di hadapan para tamu yang sedang membawakan ceramah.
Di antara tenda-tenda, ada satu rumah yang juga ditempati untuk menjamu
tamu, masyarakat Toraja menyebutnya sebaga Tongkonan. Orang-orang
yang duduk di atas tongkonan bukanlah warga biasa, mereka setingkat lebih
tinggi kelasnya dibanding tamu yang duduk di deretan VIP. Namun, tampak
tidak ada pembeda dari mereka.

Lebih dalam penulis menelusuri upacara adat ini, melangkah menuju dapur,
tempat makanan yang dihidangkan itu tersaji. Ada yang unik, di dapur itu
tidak saja jemari perempuan yang berperan menghidangkan makanan, tetapi
juga keuletan pria mengiris daging hasil sembelihan. Mereka membaur di
dapur itu.

Pembagian kerja secara seksual seperti pada umumnya pesta, tidak terjadi
di tempat ini. Laki perempuan saling bekerja sama di dapur. Laki-laki
mengiris-iris daging, memanggang. Lalu yang menghidangkan perempuan,
tutur Kevil, salah seorang keluarga almarhum, seraya mengipas-ngipas
daging panggangannya yang telah dimasukkan ke dalam bambu.

Melihat penulis yang mengenakan jilbab, Kevin lalu menawarkan penulis


beranjak ke bagian tenda lain. Tempat makanan yang akan diberikan kepada
masyarakat. Kalau mau makan ambil di tempat ini, ya Dek. Ini halal, tidak
mengandung daging babi, Kevin menunjuk kea rah dapur umum bagi yang
beragama Islam.

Cerita Kevin, dapur umum selalu disediakan pada setiap upacara adat di
Toraja , baik upacara Rambu Tuka (pesta yang diadakan karena motif-motif
kegembiraan misalnya pesta perkawinan, kelahiran, dan syukuran), maupun
Rambu Solo. Dapur umum ini disediakan untuk tamu yang beragama
muslim, bahkan dapur umum ini kadang dibuat lebih besar, agar semua
hidangan bisa dinikmati bersama antara saudara-saudara kami yang
muslim, Kevin bercerita.

Meskipun keberadaan masyarakat muslim di Tanah Toraja minoritas,


perlakuan penganut agama nonmuslim tidak serta merta mendominasi
sistem sosial masyarakat Tana Toraja. Perlakuan spesial itu bukan karena
agama Islam lebih unggul ketimbang agama lainnya. Namun itu bagian dari
bentuk toleransi masyarakat Kristiani kepada penganut Islam yang
mengharamkan daging babi untuk dimakan. Kalau kami kan Kristen tidak
ada pantangan, jelas Kevin lagi.

Demikian juga sebaliknya masyarakat muslim kepada yang Kristen. Contoh


lain yang digambarkan Kevin sebagai bagian dari toleransi masyarakat di
sana, adalah saat penyembelihan kerbau. Meski yang menjadi tuang rumah
dan mayoritas tamu adalah kristiani atau penganut agama lainnya di luar
Islam, penyembelihan kerbau diberikan kepada umat Islam.

Bukan karena cara islam menyembelih dianggap lebih benar, namun lebih
pada menjaga penganut Islam terhindar dari apa yang dilarangkan dalam
ajaran mereka.

Inilah cara orang Toraja menghargai perbedaan, sehingga yang terbangun


adalah meski beda agama kita semua saling menjaga dalam berkeyakinan,
bukan saling menginterpensi, urainya.

Beranjak dari perbincangan bersama Kevin, penulis lalu menemui tokoh adat
Toraja yang bercemarah tadi. Namanya Marten Galigo Borotoding, seorang
pensiunan TNI yang diangkat sebagai tokoh adat oleh masyarakat setempat.
Ia bercerita kerukunan masyarakat Toraja bisa dilihat dari penyelenggaraan
upacara adat di Toraja. Tidak sama dengan kelompok masyarakat lain yang
cenderung sektarian terhadap kelompok berpenganut agama lainnya.

Di Toraja, kata dia, masyarakat saling membahu, tidak peduli dengan status
agama mereka. Islam, Kristen, atau agama lainnya, harmonis. Di Toraja,
adat dan kebudayaanlah yang mempersatukan masyarakat dalam satu
wadah yang disebut dengan Tongkonan, terangnya di sela-sela upacara
adat.

Dari sejumlah kasus konflik yang pernah terjadi di beberapa daerah di


Indonesia, banyak di antaranya yang dipicu karena selisih paham antara
orang atau individu dengan individu lain, kemudian saling menarik identitas
yang melekat pada diri masing-masing. Misalnya beda suku, agama, ras dan
lainnya.

Kondisi itulah, kadang konflik tersebut berubah menjadi konflik antar Suku,
Adat, Ras, dan Agama (SARA). Di Tana Toraja, kata Marten, meski konflik
antar individu beda agama pernah juga terjadi,namun kondisi konflik tidak
sampai berujung pada keterlibatan kelompok yang memiliki kesamaan
identitas.

Masyarakat beda agama sering juga ada yang bercekcok, namun sampai
membawa unsur keyakinan itu tidak. Konflik diselesaikan dengan baik oleh
keduanya, ujarnya.
Lanjutnya, upacara adat seperti Rambu Solo selain sebagai bentuk
penghormatan terakhir keluarga kepada yang meninggal, juga sebagai
wadah untuk mempererat kembali tali kekeluargaan yang terputus, termasuk
mengidentifikasi garis keluarga, karena lama tidak berjumpa. Apalagi
masyarakat Toraja banyak yang meninggalkan kampung halamannya.
Merantau.

Banyak tamu yang hadir di sini itu pulang dari perantauannya. Sesibuk
apapun anggota keluarga besar lainnya jika mendengar ada kematian pasti
mereka sempatkan untuk datang, katanya sambil menunjuk salah seorang
tamu. Dia berkata,Itu, bapak yang duduk di sana, dia itu dari Kalimantan
datang ke acara ini. Kalau yang itu dari Pulau Jawa.

Di tempat yang sama, penulis juga bertemu dengan salah seorang anggota
DPRD Kabupaten Tana Toraja, asal Fraksi Golkar , Nikodemus Mangera. Lama
penulis berbincang dengan kakak mantan Kepala Bidang (Kabid)Humas Polda
Sulsel, Kombes Pol Frans Barung Mangera, itu.

Dalam pandangan masyarakat Toraja, agama atau keyakinan kata bukanlah


sesuatu yang harus mendapat intervensi dari orang lain. Sebab, orang Toraja
menganggap agama adalah urusan individu dengan Tuhan masing-masing.

Agama itu dipertanggungjawabkan oleh masing-masing individu kepada


Tuhan-nya, sehingga orang Toraja sebenarnya tidak tertarik mengurusi
ataupun mencerca keyakinan seseorang. Itulah makanya di Toraja rukun-
rukun saja meski berbeda agama, paparnya.

Pakaian yang dikenakan orang Toraja pada upacara Rambu Sulo yang serba
hitam, melambangkan kedukaan. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya.

Kita semua sama. Coba perhatikan, mana kita tahu orang yang duduk di
sana orang kaya atau bukan, karena melalui pakaian hitam yang saya
gunakan ini tidak mencerminkan apa-apa. Tidak ada yang mencolok dari kita
yang bisa membedakan orang itu orang kaya atau bukan. Jadi sifatnya lebih
kalau kita semua sama, tidak ada sekat yang memberikan kita jarak,
katanya

# Saling Bantu, Bangun Rumah Ibadah

Petang mengakhiri terik sang surya, Sabtu, akhir November lalu di Kota
Makale, Kabupaten Tana Toraja. Bunyi lonceng di Gereja Katolik Makale
menjadi pengiring kepergian cahayanya sore itu. Iring-iringan lonceng lalu
disambung kumandang azan di Masjid Raya Makale, yang letaknya tidak
jauh dari gereja. Ikut melepas tenggelamnya sang penyinar.

Kolaborasi nyanyian agama itu terasa merdu di telinga, tenteram


menyejukkan hati, sesejuk cuaca Tana Toraja yang letaknya berada di
ketinggian 300-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Hawa sejuk Kota
Makale dengan ketinggian 600-700 mdpl, menyimbolkan kesejukan
masyarakatnya yang toleran terhadap perbedaan.

Di Tana Toraja yang terletak di bagian utara Sulawesi Selatan, kira-kira 8 jam
dari Kota Makassar, warga bisa beribadah dengan tenang sesuai dengan
kepercayaan yang mereka yakini. Sebab, tidak ada intervensi, juga saling
cerca dalam berkeyakinan. Bahkan variasi keyakinan biasa terjadi dalam
sebuah rumpun atau keluarga besar di Toraja, menganut agama yang
berbeda merupakan hal yang lumrah dan biasa saja.

Di keluarga saya agama bukan menjadi persoalan, meski berbeda


keyakinan tetapi kita tetap hidup bersama sebagai sebuah keluarga. Kami
beranggapan bahwa agama adalah urusan seseorang dengan Tuhan
mereka, sepenggal kalimat dilontrakan dari mulut salah seorang warga
yang bermukim di Desa Buntu Burake, Maria Ata Patuggu.

Cerita Maria disambung Imam Masjid Raya Makale, Ahmad Gazali ketika
penulis beribadah di masjid itu . Selama 22 tahun menjadi penduduk Tanah
Toraja, banyak cerita dan pengalaman hidup tinggal bersama mayoritas
masyarakat kristiani di Toraja.

Umat Islam di Toraja hingga sekarang kira-kira hanya 13 persen, tetapi tidak
ada bentuk diskriminasi terhadap kami yang minoritas, baik dari pemerintah
begitu juga warga, kata Gazali usai salat berjemaah petang itu.

Hubungan masyarakat dengan penganut agama berbeda terjalin rukun,


hampir tidak pernah terjadi selisih paham, apalagi konflik menyoal tentang
agama masing-masing. Antara umat muslim dan kristiani, begitu juga
dengan penganut agama lainnya , bahu-membahu ketika ada pembangunan
rumah ibadah di Toraja.

Ketika Masjid Raya Makale masih sementara dibangun, umat Kristen ikut
membantu saat pengecoran. Makanan dan minuman tidak pernah habis
untuk pekerja, semuanya berkat pemberian warga nonmuslim, ungkapnya.
Begitu juga saat perayaan hari besar keagamaan, semua warga ikut larut
dalam peringatan. Misalnya saat Idulfitri atau hari keagamaan Islam lainnya,
umat kristiani ikut membantu pembersihan masjid, menyediakan
perlengkapan ibadah, memberikan makanan atau kue kepada muslim yang
merayakan. Hubungan beda agama terjalin sangat indah di setiap perayaan.

Ketika takbir keliling, anak-anak non muslim juga ikut, dan itu bukan suatu
masalah. Bahkan yang membantu pengamanan selain dari pemerintah
adalah saudara kami yang non muslim, tutur Gazali. Suasana itu juga
terjadi sebaliknya, ketika umat kristiani merayakan hari besar keagamaan
mereka.

Cerita Ahmad Gazali bisa dirasakan penulis saat berkunjung di salah satu
gereja di Makale, tepatnya di Gereja Kibaid. Di sana penulis menemukan
pengalaman yang berbeda saat mendapatkan penugasan meliput perayaan
Hari Natal di salah satu gereja di Makassar beberapa tahun silam.

Kala itu, hujan sangat deras pada malam Natal. Penulis yang mengenakan
jilbab yang umumnya dikenakan muslimat, menginjakkan kaki di gereja
dengan maksud mewawancarai jamaat dan pendeta kala itu, namun yang
terjadi penulis disambut pelototan tajam oleh sepasang ratusan mata.
Seolah saya dianggap akan menaruh bom di gereja itu.

Kejadian ini tidak penulis temukan di Toraja. Jemaat begitu ramah kepada
penulis, melepaskan senyum dengan keramahan yang melekat dari karakter
warga Toraja. Ayo, silakan masuk. Ada yang bisa kami bantu, tanya
seorang perempuan, jemaat yang ingin beribadah. Kedatangan penulis pada
Minggu pagi bertepatan dengan hari ibadah umat kristiani.

Setelah menyampaikan maksud dan tujuan penulis, tidak berselang lama


keluarlah sosok pria yang diperkenalkan kepada penulis bernama Teopilus
Pantandean, pendeta di geraja itu. Ia bercerita banyak ihwal rasa toleransi
yang terbangun di antara warga Toraja. Suasana itu bukan baru terjadi,
namun sudah menjadi sistem sosial Toraja yang dianut bersama sejak dahulu
kala.

Di sini kami saling menghargai perbedaan, hidup rukun walau berbeda


agama. Tidak pernah ada gangguan dalam menjalankan keyakinan baik
dilakukan umat Kristen maupun Islam. Bahkan keduanya saling membantu di
setiap upacara keagamaan, katanya.
Di tengah terusiknya toleransi beragama di beberapa tempat di Indonesia,
Toraja menjadi referensi yang patut menjadi contoh kerukunan di antara
penganut agama yang begitu beragam. Agama yang seringkali membuat
jarak karena perbedaan keyakinan, oleh masyrakat Toraja perbedaan itu
sama sekali tidak menjadi persoalan.

Dalam perayaan agama kami semua saling mengunjungi antara satu


dengan yang lain walau berbeda agama, membangun silaturahmi. Bahkan
jika ada malam tahlilan bagi tetangga muslim yang meninggal, umat nasrani
tidak sungkan untuk hadir, demikian juga sebaliknya, tuturnya.

Tidak saja toleransi itu terjalin antara lapisan masyarakat Toraja yang
berbeda keyakinan, namun juga dipraktikkan dalam tataran institusi di
pemerintahan, bahkan hingga di lembaga pendidikan, misalnya di bangku
sekolah.

Realitas penulis dapatkan setelah bertemu dan bercerita banyak dengan


Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Toraja, Herman Tahir
yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Makale.

Sekolah yang ia pimpin merupakan SMP terbesar di Makale, bisa juga


dikatakan sekolah ini punya segudang penghargaan dan piagam berkat
prestasi pelajar di sana. Tidak sama dengan sekolah umumnya yang ada di
kota atau daerah lain, di mana siswa dengan kepercayaan minoritas kadang
tidak mendapatkan fasilitas pendidikan keagamaan yang setara.
Kondisi ini banyak terjadi di sekolah-sekolah negeri, yang kadang siswa non
muslim jarang bahkan tidak pernah mendapat pelajaran agama sesuai
dengan kepercayaan yang dianut siswa. Itu karena pihak sekolah tidak
menyediakan sumber daya atau guru yang bisa mengajakan kepada
siswanya.

Dari 1.026 orang siswa, Herman menyebutkan 78 persen dari mereka


merupakan penganut agama kristen, selebihnya merupakan siswa
beragama Islam dan penganut agama lainnya. Kristen menjadi mayoritas di
sekolah tersebut, begitu juga dengan tenaga pengajar yang berjumlah 63
guru, yang beraga Islam hanya 4 orang termasuk kepala sekolah.

Siswa kami tidak banyak yang beragama Islam, namun pemberian


pendidikan agama diberikan selayaknya siswa mayoritas yang Kristiani.
Sekolah menyediakan guru dengan latar belakang pendidikan keagamaan
untuk siswa yang berbeda keyakinan, terang Herman.
Demikian juga pada pemberian fasilitas tempat ibadah di sekolah, ada
musala untuk siswa yang beragama Islam dan Gereja untuk yang Kristen.
Lulusan IKIP(yang sekarang menjadi UNM) itu mengungkapkan, jika mengacu
pada Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang syarat pembangunan rumah ibadah,
mungkin hngga kini masyarakat muslim Toraja tidak akan pernah memiliki
masjid sebagai tempat ibadah.

Namun berkat kerukunan dan toleransi yang terjalin di Toraja, warga Kristen
bisa dikata punya kontribusi besar atas berdirinya sejumlah masjid di Toraja.
Bagaimana tidak, dalam pasal 14 aturan tersebut menyebutkan syarat
khusus pembagunan rumah ibadah hanya bisa dilakukan ketika daftar nama
dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90
(sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3.

Poin kedua disebutkan, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60


orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Kalau mengacu pada
aturan tersebut jumlah penganut Islam di toraja dalam batas wilayah
tertentu tidak akan cukup memenuhi syarat untuk membangun masjid,
namun karena banyak saudara kami di Toraja yang beragama non muslim
mengumpulkan KTP mereka, alhamdulillah meski minoritas kami bisa
memiliki tempat ibada, tuturnya. Bahkan tidak jarang kita jumpai masjid
dan gereja bertetangga.

#Analisis Sosial Kerukunan di Toraja

Untuk mengetahui lebih lajut bagaimana sistem sosial masyarakat toraja


dengan segala bentuk toleransi dan kerukunannya, penulis lalu menemui
salah seorang Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas), yang tahu betul
karakteristik masyarakat Toraja. Selain menguasai betul seluk beluk Toraja,
dia juga lahir dan pernah menjabat sebagai Bupati Tana Toraja pada periode
1989-1995.

Namanya, Prof Dr TR Andilolo Pdh. Dosen yang akrab disapa Prof TR itu
menjelaskan, yang mempersatukan dan menjadi pererat di antara warga
Toraja meski berbeda keyakinan, adalah Tongkonan, sebuah rumah adat
yang juga menjadi cermin hubungan sosial kehidupan masyarakat Toraja.

Tongkonan, seperti yang dijelaskan Prof TR adalah berasal dari kata Tongkon
yang berarti duduk, kemudian diakhiri dengan an, yang artinya menjadi
tempat duduk bersama. Tongkonan oleh masyarakat Toraja, tidak sekedar
menjadi tempat duduk bersama, namun lebih luas memberikan pemaknaan
di segala aspek kehidupan.

Tongkonan itu menjadi tempat lahir dan dibesarkannya anak cucu Toraja,
yang telah menganut macam agama. Semua angggota keluarga yang ada di
dalamnya sama-sama memeliharanya tanpa melihat agama, katanya.

Dengan demikian fungsi Tongkonan, selain sebagai pusat budaya, oleh Prof
TR mengatakan juga menjadi pembinaan dalam keluarga, kegotong-
royongan dan pusat stabilisator sosial. Itulah mengapa konflik horizontal
yang melibatkan kelompok tidak pernah terjadi, sebab masyarakat Toraja
telah diikat oleh sistem kekerabatan yang sangat kuat dan dipelihara secara
turun temurun melalui Tongkonan.

Salah satu yang dihasilkan dari keberadaan Tongkonan, masyarakat Toraja


tidak akan memaksakan kehendak diri sendiri kepada orang lain. Termasuk
soal agama, dimana mereka meyakini bahwa masing-masing orang
bertanggungjawab sendiri dengan Tuhan-nya, sebab keselamatan tidak
ditentukan oleh keyakinan kelompok namun diri sendiri,papar Prof TR, saat
ditandangi di ruang kerjanya, di Jurusan Sosiologi FISIP Unhas.

Selain itu, lanjut Prof TR, konflik horizontal antar kelompok yang pernah
terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, pemicunya adalah tidak terlepas dari
perebutan Sumber Daya Alam (SDM) dengan keterlibatan para
korporasi/pemodal. Di Toraja salah satu yang membuat kerukunan dan
toleransi terjaga dan tidak terporak-porandakan oleh kepentingan ekonomi,
oleh karena Toraja tidak memiliki objek vital SDM yang bisa dikeruk.

Dulu masyarakat Toraja menganut kepercayaan yang disebut sebagai


Aluktudolo. Sebagai kepercayaan pertama yang dianut oleh masyarakat
Toraja, Aluktudolo telah mewariskan adat istiadat yang secara turun temurun
dijalankan oleh masyarakat, meski orang-orang di Toraja dalam
perkembangannya telah memeluk agama baik Islam, Protestan, maupun
Katolik.

Adat itu terus dipelihara oleh masyarakat terutama yang menyangkut hal-
hal yang cocok atau tidak bertentangan dengan agama yang mereka anut,
katanya. Oleh karenanya, menurut Prof TR, agama Islam dan Kristen yang
dianut masyarakat Toraja memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda
dengan negara atau daerah lain di Indonesia.
Islam dan Kristen yang masyarakat anut adalah Islam dan Kristen ala Toraja
yang berbeda di daerah lain yang disatukan melalui adat seperti upacara
Rambu Solo dan Rambu Tuka, jelasnya.

Dalam warisan kebudayaan dan adat Toraja yang bersumber dari ajaran
Aluktudolo itulah sikap saling menghargai di Toraja muncul, dimana tidak
bisa dipisahkan dengan agama. Sehingga meski telah menganut agama di
luar Aluktodolo, upacara kematian tersebut tetap dijalankan. Jumlah
penganut Aluktodolo sendiri makin terkikis, dan lebih kecil dari jumlah
penganut agama Islam. Bahkan Aluktolodo sudah menjadi sekte Hindu Bali
sejak keluarnya SK Dirjen Bimas Hindu dan Budha No.Dd-H/200-VI/69 tanggal
15 November 1969, meski cara beribadah Aluktodolo dan Hindu atau
Buddha sangat berbeda.

Jadi masyarakat Islam, tetap juga melakukan Rambu Solo, meskipun


pemakaman dilakukan dengan cara Islam, mereka tetap menyembelih babi
namun tidak dimakan, namun dibagikan kepada masyarakat non muslim
untuk dimakan, jelasnya.

Dilengkapi oleh H Nurdin Baturante, lulusan program Magister agama UMI


yang dalam tesisnya menulis tentang Islam di Tanah Toraja, menjelaskan,
keseluruhan dari aktivitas adat istiadat Toraja itulah yang berpusat di
Tongkonan. Semua tercermin dari keberadaan Tongkonan di Toraja,
jelasnya saat ditemui di kediamannya di Jalan Antariksa.

Satu prinsip yang selalu dipegang teguh oleh masyarakat Toraja adalah
bahwa manusia sebagai makhluk sosial cenderung akan hidup bersama,
sehingga meskipun berbeda, persaudaraan itu tetap akan terjaga melalui
bingkai Bhinneka Tunggal Ika, dan itu ada dalam Tongkonan, jelasnya. (***)

Anda mungkin juga menyukai