Tujuan :
Mengidentifikasi dan mendiagnosis luka akibat kekerasan benda tumpul maupun
benda tajam.
Mengidentifikasi kasus KDRT
Mengetahui aspek medikolegal dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
menderita luka akibat kekerasan
Mengetahui pembuatan visum et repertum pada korban hidup
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
1
menimbulkan penyakit atau tidak menghalangi pekerjaan korban. Berdasarkan hasil
anamnesis ditemukan bahwa korban diseret dengan genggamanan yang sangat kuat
yang dilakukan oleh suaminya di daerah lengan tangan kanan serta hasil pemeriksaan
fisik tampak 1 (satu) luka memar di lengan atas kanan sisi depan.
2. Riwayat pengobatan:
Pasien belum pernah berobat ke dokter atau ke tempat pengobatan lainnya. Saat ini
pasien juga sedang tidak mengkonsumsi obat apa pun.
3. Riwayat penyakit:
Riwayat penyakit pasien tidak ditanyakan.
4. Riwayat keluarga:
Riwayat penyakit pada keluarga tidak ditanyakan.
5. Riwayat pekerjaan:
Tidak diketahui.
6. Lain-lain:
Pemeriksaan Fisik:
Pengamatan umum :
Seorang perempuan berkulit sawo matang
Pemeriksaan pakaian :
Mengenakan jaket berwarna abu-abu hitam dengan dalaman berwarna merah
maron, mengenakan rok panjang berwarna biru, dan menggunakan jilbab abu-abu.
Pemeriksaan umum :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 85x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 360C
Kesadaran : E4 M6 V5 Compos mentis (pasien sadar penuh)
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala dan wajah :
- CI -/-, CA -/-
Thoraks : VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-, krepitasi (-), hematom (-)
cor dalam batas normal
Abdomen : BU (+), NT (-), hematom (-)
Ekstremitas : Akral hangat, ditemukan 1 (satu) luka memar akibat kekerasan benda
tumpul di lengan atas kanan sisi depan yang berukuran 2 cm x 1 cm.
Daftar Pustaka:
1. Idris AM, 1997, PEDOMAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK, Edisi pertama, Binarupa
Aksara, Jakarta.
2. Sampurna, B., Samsu, Z., 2004, PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PENEGAKAN
HUKUM: Sebuah Pengantar, Edisi kedua, Bagian Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
3. Dahlan, S., 2003, PETUNJUK PRAKTIKUM Pembuatan VISUM ET REPERTUM, Edisi II
Cetakan I, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
4. Tim Kedokteran Forensik, 2005, PEDOMAN PENYUSUNAN VISUM ET REPERTUM DI
RS. DR. SARDJITO, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Instalasi Kedokteran Forensik RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.
2
5. UU NO. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, KUHP dan KUHAP
Hasil Pembelajaran:
1. Mengidentifikasi kelainan akibat kekerasan benda tumpul maupun benda tajam
2. Mengetahui tatalaksana dan aspek medikolegal dari pembuatan visum et repertum pada
korban hidup.
3. Mengetahui aturan dan hukuman tentang KDRT yang diatur dalam UU No. 23 Tahun
2004, KUHP dan KUHAP.
3
penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan
jurisdiksinya masing-masing.
Syarat pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana
tercantum dalam pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan
resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi
tersebut. Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai
pasien, yaitu seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan
kewajibannya. Hal ini berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara "en block"
(seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang merupakan "barang bukti" pada tubuh
korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap
diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan
demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya,
maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah "menyalin"
barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.
Visum ini berisikan tentang identifikasi luka atau cedera yang terdapat pada
pasien, jenis kekerasan penyebabnya dan kualifikasi luka yang diformulasikan dengan
ketentuan yang sesuai dengan perundang-undangan, yaitu :
1. Luka ringan / luka derajat I/ luka golongan C
Luka derajat I adalah apabila luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau
tidak menghalangi pekerjaan korban. Hukuman bagi pelakunya menurut KUHP pasal
352 ayat 1.
2. Luka sedang / luka derajat II / luka golongan B
Luka derajat II adalah apabila luka tersebut menyebabkan penyakit atau
menghalangi pekerjaan korban untuk sementara waktu. Hukuman bagi pelakunya
menurut KUHP pasal 351 ayat 1.
3. Luka berat / luka derajat III / luka golongan A
Luka derajat III menurut KUHP pasal 90 ada 6, yaitu:
- Luka atau penyakit yang tidak dapat sembuh atau membawa bahaya maut
- Luka atau penyakit yang menghalangi pekerjaan korban selamanya
- Hilangnya salah satu panca indra korban
- Cacat besar
- Terganggunya akal selama > 4 minggu
- Gugur atau matinya janin dalam kandungan ibu
Pada pasien ditemukan luka memar di daerah lengan atas kanan sisi depan. Luka
memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan yang
terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat
kekerasan benda tumpul. Luka memar berwarna kemerahan menandakan bahwa luka
4
masih baru, sedangkan luka yang berwarna gelap atau keunguan menandakan bahwa luka
sudah lebih dari 24 jam. Luka memar tersebut menginformasikan bahwa pasien
mengalami kekerasan benda tumpul beberapa jam sebelum dilakukan pemeriksaan.
Luka-luka tersebut tidak mengakibatkan kerusakan fungsi organ pada pasien,
oleh karena itu luka tersebut dikategorikan tidak mengganggu aktifitas pasien.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka pasien dapat dikategorikan mengalami luka derajat
I, di mana luka yang terjadi tidak mengakibatkan halangan dalam melakukan pekerjaan.
Pelaku yang melakukan kekerasan terhadap pasien adalah suami dari pasien
sendiri sehingga hal tersebut mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik
terhadap pasien, sebagaimana Negara telah mengeluarkan berbagai peraturan hukum
untuk melindungi korban dan mencegah terjadinya KDRT , seperti (1) Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 28 G; (2) Undang-undang No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia; (3) Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; (4) Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan; (5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; (6) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan (7) Undang-undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT .
Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga atau disingkat KDRT disebutkan, bahwa definisi kekerasan dalam rumah tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan / atau
penelantaran rumah tangga; termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Undang-undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT) ini terkait
erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya antara lain UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undan-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), UU No. 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan, Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All of Dicrimination
Against Women) pada tanggal 24 Juli 1984. Juga telah diundangkannya Undang-undang
Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999.
4. Plan
5
a. Diagnosis: Pada pasien ini diagnosis dapat dipastikan KDRT dengan luka
derajat I akibat kekerasan benda tumpul berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
b. Pengobatan:
o Tidak dilakukan pengobatan.
6
7