1) Pengkajian
Jika mengkaji pasien dengan atau yang beresiko perubahan sensori maka perawat
mempertimbangkan semua factor yang mempengaruhi fungsi sensori khususnya
factor usia. Perawat mengumpulkan riwayat yang juga mengkaji status sensori klien
saat ini dan tingkat dengan defisit sensori mempengaruhi gaya hidup klien,
penyesuaian psikososial, kemampuan perawatan diri, dan keamanan. Pengkajian
harus juga berfokus pada kualitas dan kuantitas stimulus lingkungan.
Hal-hal penting selama pengkajian dalam sistem sensori -persepsi:
1. Biodata
2. Kebiasaan promosi kesehatan, misal: kebiasaan membersihkan mata/telinga, aktivitas
rekreasi, kebiasaan dalam bekerja misalnya orang yang bekerja dalam suatu keadaan
yang terdapat kemungkinan terjadi cedera mata, misalnya terpapar zat kimia,
pengelasan, penggosokan gelas atau batuan.
3. Orang yang berisiko: lansia, jenis pekerjaan, gangguan jiwa.
4. Kemampuan untuk melakukan perawatan diri. Perawat mengkaji kemampuan
fungsional klien di lingkungan rumah mereka maupun dalam pelayanan kesehatan.
Meliputi aktivitas makan, berpakaian, perawatan diri dan berdandan.
5. Lingkungan, terkait dengan kondisi bahaya, mis: tangga, kran air panas/dingin yang
tidak bertanda, lantai yang licin, benda tajam
6. Tingkat sosialisasi klien dan metode komunikasi.
7. Status mental, meliputi:
penampilan dan perilaku fisik
- aktifitas motorik
- postur
- ekspresi wajah
- kebersihan
kemampuan kognitif
- tingkat kesadaran
- alasan abstrak
- kalkulasi
- perhatian
- penilaian
- kemampuan untuk melakukan percakapan
- kemampuan untuk membaca, menulis, dan mengkopi gambar
- memori yang baru dan mengingat memori
stabilitas emosional
- agitasi, euforia, iritabilitas, tidak ada harapan atau suasana hati yang melebar
- halusinasi, auditori, visual, dan taktil
- ilusi
- delusi
8. Pemeriksaan fisik pada panca indera
Untuk mengidentifikasi deficit sensosri, perawat mengkaji penglihatan, pendengaran,
olfaksi, rasa dan kemampuan untu membedakan cahaya, sentuhan, temperature, nyeri
dan posisi.
a. Penglihatan
- Minta pasien untuk membaca koran atau majalah.
- Ukur ketajaman visual dengan grafik snellen chart
- Kaji ukuran pupil dan akomodasi terhadap sinar
- Minta pasien mengidentifikasi warna pada grafik berwarna atau crayon.
b. Pendengaran
- Lakukan tes suara bisik atau garpu tala
- Kaji persepsi klien gangguanakan kemampuan pendengaran dan riwayat tinnitus.
- Observasi pasien yang berbincang-bincang dengan orang lain
- Inspeksi adanya serumen yang keras pada saluran pendengaran
c. Sentuhan
- Kaji kesensitifan klien terhadap sentuhan cahaya atau temperature
- Periksa kemampuan klien untuk membedakan antara stimulus tajam dengan stimulus
penuh
- Kaji apakah klien dapat membedakan objek ditangan dengan mata tertutup
- Tanya apakah klien merasakan sensasi yang tidak seperti biasanya
d. Penciuman
- Minta klien untuk menutup matanya dan identifikasi beberapa bau yang tidak
mengiritasi seperti kopi, vanilla,dll.
e. Rasa
- Minta klien untuk mencotohkan dan membedakan rasa yang berbeda misalnya
lemon, gula, garam.
- Tanya klien jika terjadi perubahan berat badan akhir-akhir ini
f. Indra posisi
- Lakukan tes konvensional untuk keseimbangan dan indra posisi
2) Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan sensori/perseptual ( penglihatan ) berhubungan dengan efek dari penuaan;
efek dari tambalan operasi mata sementara.
2. Perubahan sensori/perseptual ( auditori ) berhubungan dengan efek samping obat;
lingkungan ICU yang asing dan berisik
3. Perubahan sensori/perseptual ( kinestetik ) berhubungan dengan efek tirah baring
4. Perubahan sensori/perseptual ( gustatori ) berhubungan dengan efek dari penuaan;
efek samping kemoterapi
5. Defisit perawatan diri mandi/higienis, berpakaian/berdandan berhubungan dengan
kehilangan penglihatan; pengurangan sensai taktil
6. Gangguan harga diri berhubungan dengan kehilangan pendengaran
7. Isolasi sosial berhubungan dengan afasia ekspresif
8. Perubahan proses pikir berhubungan dengan beban sensori yang berlebihan.
9. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan keseimbangan
10. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan persepsi yang dalam, penurunan indra
penciuman, pembentukan katarak
4) Evaluasi
Ketika merawat klien yang mengalami perubahan sensori, perawat mengevaluasi
apakah tindakan perawatan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan
kemampuan klien untuk berinteraksi dan berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar
perubahan sensori klien mempengaruhi cara perawat mengevaluasi perawatan.
Perawat mengadaptasikan hasil evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk
menentukan apakah hasil actual sama dengan hasil yang diharapkan. Misalnya,
perawat menggunakan teknik komunikasi yang sesuai untuk mengevaluasi apakah
klien yang mengalami defisit pendengaran mencapai kemampuan mendengar dengan
lebih efektif.
Demikian pula perawat menggunakan material yang dicetak besar untuk menguji
kemampuan pengihatan klien yang rusak untuk membaca resep. Jika hasil yang
diharapkan tidak tercapai maka mungkin ada kebutuhan untuk mengubah lingkungan
klien. Anggota keluarga diperlukan untuk lebih terlibat dalam mendukung klien.
stabilitas emosional
- agitasi, euforia, iritabilitas, tidak ada harapan atau suasana hati yang melebar
- halusinasi, auditori, visual, dan taktil
- ilusi
- delusi
8. Pemeriksaan fisik pada panca indera
Untuk mengidentifikasi deficit sensosri, perawat mengkaji penglihatan, pendengaran,
olfaksi, rasa dan kemampuan untu membedakan cahaya, sentuhan, temperature, nyeri
dan posisi.
a. Penglihatan
- Minta pasien untuk membaca koran atau majalah.
- Ukur ketajaman visual dengan grafik snellen chart
- Kaji ukuran pupil dan akomodasi terhadap sinar
- Minta pasien mengidentifikasi warna pada grafik berwarna atau crayon.
b. Pendengaran
- Lakukan tes suara bisik atau garpu tala
- Kaji persepsi klien gangguanakan kemampuan pendengaran dan riwayat tinnitus.
- Observasi pasien yang berbincang-bincang dengan orang lain
- Inspeksi adanya serumen yang keras pada saluran pendengaran
c. Sentuhan
- Kaji kesensitifan klien terhadap sentuhan cahaya atau temperature
- Periksa kemampuan klien untuk membedakan antara stimulus tajam dengan stimulus
penuh
- Kaji apakah klien dapat membedakan objek ditangan dengan mata tertutup
- Tanya apakah klien merasakan sensasi yang tidak seperti biasanya
d. Penciuman
- Minta klien untuk menutup matanya dan identifikasi beberapa bau yang tidak
mengiritasi seperti kopi, vanilla,dll.
e. Rasa
- Minta klien untuk mencotohkan dan membedakan rasa yang berbeda misalnya
lemon, gula, garam.
- Tanya klien jika terjadi perubahan berat badan akhir-akhir ini
f. Indra posisi
- Lakukan tes konvensional untuk keseimbangan dan indra posisi
2) Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan sensori/perseptual ( penglihatan ) berhubungan dengan efek dari penuaan;
efek dari tambalan operasi mata sementara.
2. Perubahan sensori/perseptual ( auditori ) berhubungan dengan efek samping obat;
lingkungan ICU yang asing dan berisik
3. Perubahan sensori/perseptual ( kinestetik ) berhubungan dengan efek tirah baring
4. Perubahan sensori/perseptual ( gustatori ) berhubungan dengan efek dari penuaan;
efek samping kemoterapi
5. Defisit perawatan diri mandi/higienis, berpakaian/berdandan berhubungan dengan
kehilangan penglihatan; pengurangan sensai taktil
6. Gangguan harga diri berhubungan dengan kehilangan pendengaran
7. Isolasi sosial berhubungan dengan afasia ekspresif
8. Perubahan proses pikir berhubungan dengan beban sensori yang berlebihan.
9. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan keseimbangan
10. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan persepsi yang dalam, penurunan indra
penciuman, pembentukan katarak
4) Evaluasi
Ketika merawat klien yang mengalami perubahan sensori, perawat mengevaluasi
apakah tindakan perawatan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan
kemampuan klien untuk berinteraksi dan berfungsi dalam lingkungan. Sifat dasar
perubahan sensori klien mempengaruhi cara perawat mengevaluasi perawatan.
Perawat mengadaptasikan hasil evaluasi pada klien yang defisit sensori untuk
menentukan apakah hasil actual sama dengan hasil yang diharapkan. Misalnya,
perawat menggunakan teknik komunikasi yang sesuai untuk mengevaluasi apakah
klien yang mengalami defisit pendengaran mencapai kemampuan mendengar dengan
lebih efektif.
Demikian pula perawat menggunakan material yang dicetak besar untuk menguji
kemampuan pengihatan klien yang rusak untuk membaca resep. Jika hasil yang
diharapkan tidak tercapai maka mungkin ada kebutuhan untuk mengubah lingkungan
klien. Anggota keluarga diperlukan untuk lebih terlibat dalam mendukung klien.
VERTIGO
A. DEFINISI VERTIGO
Vertigo merupakan sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitar
yang dapat disertai gejala-gejala tertentu, terutama dari jaringan otonomik akibat
gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu
gejala pusing saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala
somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan
pusing.
B. ETIOLOGI VERTIGO
1. Lesi vestibular: Fisiologik, Labirinitis, Menire, Obat (quinine, salisilat), Otitis
media, Motion sickness, Benign post-traumatic positional vertigo
2. Lesi saraf vestibularis: Neuroma akustik, Obat (streptomycin, Neuronitis vestibular)
3. Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal: Infark atau perdarahan pons,
Insufisiensi vertebro-basilar, Migraine arteri basilaris, Sklerosi diseminata, Tumor,
Siringobulbia, Epilepsy lobus temporal (Burton, 1990).
C. KLASIFIKASI VERTIGO
1. Vertigo paroksismal: Vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung
beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika
serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas
keluhan. Vertigo jenis ini dibedakan menjadi:
a. Disertai keluhan telinga. Termasuk kelompok ini adalah: Morbus Meniere,
Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa
cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen.
b. Tanpa disertai keluhan telinga; termasuk di sini adalah: Serangan iskemi sepintas
arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de
L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth).
c. Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi, termasuk di sini adalah : Vertigo
posisional paroksismal laten, Vertigo posisional paroksismal benigna.
2. Vertigo kronis: Vertigo kronis yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa
(Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:
a. Disertai keluhan telinga: Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues
serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin.
b. Tanpa keluhan telinga: Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio,
pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi
obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin.
c. Vertigo yang dipengaruhi posisi: Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis.
3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang,
dibedakan menjadi:
a. Disertai keluhan telinga: Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta,
perdarahan labirin, neuritis N.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria
vestibulokoklearis.
b. Tanpa keluhan telinga: Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior,
ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi,
sumbatan arteria serebeli inferior posterior.
D. TANDA DAN GEJALA VERTIGO
Mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput
putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur,
tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan
selaput tipis.
E. PATOFISIOLOGI VERTIGO
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke
pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya
ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-
prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III,
IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi
paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling
kecil kontribusinya adalah proprioseptik. Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi
yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler,
visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam
keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa
penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di
samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar.
Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak
normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka
proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan
gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat
sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness,
ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG VERTIGO
1. ENG
2. Audiometri dan BAEP
3. Psikiatrik
4. Laboratorium
5. Radiologik dan Imaging
6. EEG, EMG, dan EKG.
G. PENATALAKSANAAN VERTIGO
Terdiri dari: Terapi kausal, Terapi simtomatik, dan Terapi rehabilitatif
A. IDENTITAS KLIEN
Nama:
Tempat/tanggal lahir:
Usia:
Agama:
Suku:
Status perkawinan:
Pendidikan:
Bahasa yang digunakan:
Alamat:
Dx medik:
B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB
Nama:
Alamat:
Hubungan dengan klien:
C. RIWAYAT KEPERAWATAN MASA LALU
Penyakit yang pernah diderita:
Kebiasaan buruk:
Penyakit keturunan :
Alergi :
Imunisasi:
Operasi:
D. RIWAYAT KEPERAWATAN SEKARANG
Alasan masuk:
Tindakan/terapi yang sudah diterima:
Keluhan utama:
E. PENGKAJIAN POLA GORDON
1. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menjaga kesehatan?
Bagaimana cara menjaga kesehatan?
Saat sakit:
Apakah klien tahu tentang penyakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
Apa yang dilakukan jika rasa sakitnya timbul?
Apakah pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
2. Nutrisi metabolik
Sebelum sakit:
Makan/minum; frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan seperti vitamin?
Saat sakit:
Apakah klien merasa mual/muntah/sulit menelan?
Apakah klien mengalami anoreksia?
Makan/minum: frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
3. Eliminasi
Sebelum sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, warna, konsistensi,
keluhan nyeri?
Apakah mengejan saat buang air besar atau buang air kecil sehingga berpengaruh
pada pernapasan?
Saat sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, waktu, warna,
konsistensi, keluhan nyeri?
4. Aktivitas dan latihan
Sebelum sakit:
Apakah bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Apakah mengalami kelelahan saat aktivitas?
Apakah mengalami sesak napas saat beraktivitas?
Saat sakit:
Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas (pendidikan kesehatan, sebagian,
total)?
Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak, batuk)?
5. Tidur dan istirahat
Sebelum sakit:
Apakah tidur klien terganggu?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/atau malam ?
Kebiasaan sebelum tidur?
Saat sakit:
Apakah tidur klien terganggu, penyebab?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/ atau malam) ?
Kebiasaan sebelum tidur?
6. Kognitif dan persepsi sensori
Sebelum sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja?
Apakah menggunakan alat bantu (kacamata)?
Saat sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami nyeri (PQRST)?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja?
Apakah merasa pusing?
7. Persepsi dan konsep diri
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menggambarkan dirinya?
Saat sakit:
Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan penyakitnya?
Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya?
8. Peran dan hubungan dengan sesama
Sebelum sakit:
Bagaimana hubungan klien dengan sesama?
Saat sakit:
Bagaimana hubungan dengan orang lain (teman, keluarga, perawat, dan dokter)?
Apakah peran/pekerjaan terganggu, siapa yang menggantikan?
9. Reproduksi dan seksualitas
Sebelum sakit:
Apakah ada gangguan hubungan seksual klien?
Saat sakit:
Apakah ada gangguan hubungan seksual klien?
10. Mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
Sebelum sakit:
Bagaimana menghadapi masalah?
Apakah klien stres dengan penyakitnya?
Bagaimana klien mengatasinya?
Siapa yang biasa membantu mengatasi/mencari solusi?
Saat sakit:
Bagaimana menghadapi masalah?
Apakah klien stres dengan penyakitnya?
Bagaimana klien mengatasinya?
Siapa yang biasa membantu mengatasi/mencari solusi?
11. Nilai dan kepercayaan
Sebelum sakit:
Bagaimana kebiasaan dalam menjalankan ajaran Agama?
Saat sakit:
Apakah ada tindakan medis yang bertentangan kepercayaan?
Apakah penyakit yang dialami mengganggu dalam menjalankan ajaran Agama yang
dianut?
Bagaimana persepsi terkait dengan penyakit yang dialami dilihat dari sudut pandang
nilai dan kepercayaan?
F. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum:
Tidak tampak sakit: mandiri, tidak terpasang alat medis
Tampak sakit ringan: bed rest ,terpasang infus
Tampak sakit sedang: bed rest, lemah, terpasang infus, alat medis
Tampak sakit berat: menggunakan oksigen, coma
Kesadaran:
Kuantitatif:
Mata :
Spontan(4)
Atas permintaan(3)
Rangsang nyeri(2)
Tidak bereaksi(1)
Verbal:
Orientasi baik(5)
Jawaban kacau(4)
Kata-kata sepatah(3)
Merintis/mengerang(2)
Tidak bersuara(1)
Motorik:
Menurut perintah(6)
Reaksi setempat(5)
Menghindar(4)
Fleksi abnormal(3)
Ekstensi nyeri(2)
Tidak bereaksi(1)
Kualitatif: compos mentis (concious), apatis, delirium, somnolen (letargi), stupor
(sopor coma), coma?
2. Tanda-tanda vital:
Suhu: hipertermia?
Nadi: cepat, tidak teratur, frekuensi, irama, volume?
Pernapasan: cepat, irama, jenis, frekuensi?
Tekanan darah:?
Saturasi:?
3. Status gizi: tinggi badan, berat badan, berat badan normal, berat badan ideal?
4. Pemeriksaan sistemik:
Head to toe:
Inspeksi?
Palpasi?
Perkusi ?
Auskultasi?
5. 12 saraf kranial
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. ENG
2. Audiometri dan BAEP
3. Psikiatrik
4. Laboratorium
5. Radiologik dan Imaging
6. EEG, EMG, dan EKG.
H. TERAPI
Terapi yang didapat: nama obat, dosis, waktu, rute, indikasi?
I. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri
terhambat.
Intervensi:
1) Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui status kesehatan klien
2) Monitor capillary refill time
R/mengetahui status keadaan klien
3) Monitor kemampuan aktivitas klien
R/mengetahui kemampuan klien
4) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
5) Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
6) Bantu aktivitas klien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja klien
7) Cegah fleksi tungkai
R/menghindari penurunan staus kesadaran klien
8) Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
9) Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
10) Kolaborasi/lanjutkan terapi transfusi
R/mempercepat pemulihan kondisi klien
11) Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat proses penyembuhan
2. Nausea berhubungan dengan faktor fisiologi (nyeri).
Intervensi:
1) Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui status kesehatan klien
2) Monitor adanya mual
R/mengetahui keadaan klien
3) Ajarkan teknik napas dalam
R/mengurangi nyeri
4) Anjurkan makan sedikit dan sering
R/supaya tidak mual dan tidak muntah
5) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
6) Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
7) Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat anti emetik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat proses penyembuhan
3. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan melalui
rute normal (diare), abnormal (perdarahan).
Intrvensi:
1) Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui status kesehatan klien
2) Anjurkan untuk banyak minum 2 L/hari
R/memenuhi kebutuhan cairan
3) Hitung balance cairan
R/mengetahui klebihan dan kekurang cairan
4) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
5) Kolaborasi/lanjutkan pemberian terapi elektrolit; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat penyembuhan
6) Kolaborasi/lanjutkan program therapi transfusi
R/mempercepat pemulihan kesehatan klien
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena
faktor biologi.
Intervensi:
1) Timbang berat badan
R/mengetahui perubahan berat badan klien
2) Monitor adanya mual dan muntah
R/mengetahui keadaan klien
3) Monitor tonus otot, rambut merah dan mudah patah
R/mengetahui status kesehatan klien
4) Monitor intake makanan/minuman
R/mengetahui nutrisi yang dikonsumsi klien
5) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
6) Anjurkan makan sedikit dan sering
R/supaya tidak mual dan tidak muntah
7) Anjurkan klien untuk meningkatkan makanan yang mengandung zat besi, Vitamin
B12, tinggi protein, dan Vitamin C
R/mempercepat pemulihan kondisi klien
8) Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat penyembuhan
DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall carpernito. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, Edisi 2, Jakarta:
EGC
Marilynn E. Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian pasien, Edisi 3, Jakarta: EGC
LABIRINTIS
A. DEFINISI
Labirinitis adalah inflamasi telinga dalam dan dapat disebabkan oleh bakteri maupun
virus. Labirinitis bacterial, meskipun cukup jarang sejak dikenalnya antibiotika,
paling sering terjadi sebagai komplikasi meningitis bakterial. Infeksi berkembang ke
telinga dalam melalui kanalis auditorius internus atau aquaduc koklear.
B. ETIOLOGI
Infeksi bakteri yang disebabkan otitis media, atau kolesteatoma, dapat memasuki
telinga tengah dengan menembus membrane jendela bulat atau oval. Labirintitis viral
merupakan diagnosis medis yang sering, namun hanya sedikit yang diketahui
mengenai kelainan ini, yang mempengaruhi baik keseimbangan maupun
pendengaran. Virus penyebab yang paling sering teridentifikasi adalah gondongan,
rubella, rubeola, dan influenza.
Secara etiologi labirintis terjadi karena penyebaran infeksi ke ruang perlimfa.
Terdapat 2 bentuk labirinitis. Yaitu labiribnitis serosa dean labirinitis supuratif.
Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis supuratif
kronik difus. Pada labirinitis serosa taksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi
sel radang, sedangkan pada labirin supuratif dengan invasi sel radang ke labirin.
Sehingga terjadi kerusakan yang lereversibel. Seperti fibrosa dan osifikasi. Pada
kedua jenis labirinitis tersebut operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan
infeksi dari telinga tengah. Kadang kadang diperlukan juga draifase nanah dari
labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat
terutama ditujukan pada pengobatan otitis media kronik. Labirinitis serosa difus
sering kali terjadi sekunder dari labirinitis sirkumskrifta oleh pada terjadi primer pada
otitis media akut. Masuknya toksin oleh bakteri melalui tingkap bulat, tingkap
lontong untuk melalui erosi tulang labirin. Infeksi tersebut mencapai endosteum
melalui seluruh darah.
Diperkirakan penyebab labirinitis yang paling sering absorbsi produk bakteri di
telinga dan mastoid ke dalam labirin, dibentuk ringan labirinitis serosa selalu terjadi
pada operasi telinga dalam misalnya pada operasi fenestrasi, terjadi singkat dan
biasanya tidak menyebabkan gangguan pendengaran, kelainan patologiknya seperti
inflamasi non purulen labirin.
C. KLASIFIKASI
1. Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum (
general ), dengan gejala fertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis yang
terbatas ( labirinitis sirkumskripta ) menyebabkan terjadinya vertigo saja / tuli saraf
saja.
2. Labirinitis terjadinya oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perlimfa. Terdapat
dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis
serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta.
Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis
supuratif kronik difus.
3. Labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang,
sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi
kerusakan yang ireversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.
Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan
infeksi dari telinga tengah. Kadang kadang diperlukan juga drenase nanah dari
labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat
terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan atau tanpa
kolesteatoma.
Gejala dan tanda :
Terjadi tuli total disisi yang sakit, vertigo ringan nistagmus spontan biasanya kea rah
telinga yang sehat dapat menetap sampai beberapa bulan atau sampai sisa labirin
yang berfungsi dapat menkompensasinya. Tes kalori tidak menimbulkan respons
disisi yang sakit dan tes fistulapur negatif walaupun dapat fistula.
D. MANIFESTASI KLINIS
Labirintitis ditandai oleh awitan mendadak vertigo yang melumpuhkan, bisanya
disertai mual dan muntah, kehilangan pendengaran derajat tertentu, dan mungkin
tinnitus. Episode pertama biasanya serangan mendadak paling berat, yang biasanya
terjadi selama periode beberapa minggu sampai bulan, yang lebih ringan. Pengobatan
untuk labirintitis balterial meliputi terapi antibiotika intravena, penggantian cairan,
dan pemberian supresan vestibuler maupun obat anti muntah. Pengobatan labirintitis
viral adalah sintomatik dengan menggunakan obatantimuntah dan antivertigo.
E. PATOFISIOLOGI
Kira kira akhir minggu setelah serangan akut telinga dalam hampir seluruhnya terisi
untuk jaringan gramulasi, beberapa area infeksi tetap ada. Jaringan gramulasi secara
bertahap berubah menjadi jaringan ikat dengan permulaan. Pembentukan tulang baru
dapat mengisi penuh ruangan labirin dalam 6 bulan sampai beberapa tahun pada 50 %
kasus.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Fistula dilabirin dapat diketahui dengan testula, yaitu dengan memberikan tekanan
udara positif ataupun nrgatif ke liang telinga melalui otoskop siesel dengan corong
telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya yang di
masukan ke dalam liang telinga. Balon karet di pencet dan udara di dalamnya akana
menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi
masih paten maka akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membrane. Tes fistula
positif akan menimbulkan ristamus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila
fistulanya bisa tertutup oleh jaringan granulasi atau bila labirin sudah mati atau
paresis kanal.
Pemeriksaan radiologik tomografi atau CT Scan yang baik kadang kadang dapat
memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan dikanalis semisirkularis
horizontal.
Pada fistula labirin / labirintis, operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan
infeksi dan menutup fistula, sehingga fungsi telinga dalam dapat pulih kembali.
Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks
kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan
didaerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat / sekeping tulang / tulang
rawan.
G. PENATALAKSANAAN
Terapi local harus ditujukan kesetiap infeksi yang mungkin ada, diagnosa bedah
untuk eksenterasi labirin tidak diindikasikan, kecuali suatu focus dilabirin untuk
daerah perilabirin telah menjalar untuk dicurigai menyebar ke struktur intrakronial
dan tidak memberi respons terhadap terapi antibiotika bila dicurigai ada focus infeksi
di labirin atau di ospretosus dapat dilakukan drerase labirin dengan salah satu operasi
labirin setiap skuestrum yang lepas harus dibuang, harus dihindari terjadinya trauma
NUA. Bila saraf fosial lumpuh, maka harus dilakukan dengan kompresi saraf
tersebut. Bila dilakukan operasi tulang temporal maka harus diberikan antibiotika
sebelum dan sesudah operasi.
H. KOMPLIKASI
Tuli total atau meningitis.
I. FOKUS PENGKAJIAN
Yang harus dikaji pada pasien menierre adalah :
1. Aktifitas.
2. Riwayat kesehatan dahulu.
3. Pendengaran.
4. Hubungan social.
5. Asupan nutrisi.
J. FOKUS INTERVENSI
1. Ketidak berdayaan yang berbeda persoalan penyakit dan menjadi tidak berdaya
dalam situasi tertentu akibat gangguan keseimbangan.
a. Tujuan mengalami peningkatan perasaan control terhadap kehidupan dan aktivitas
meskipun tertentu akibat gangguan keseimbangan.
b. Intervensi :
1) Kaji kebutuhan, nilai, perilaku dan kesiapan pasien untuk memulai aktivitas.
2) Beri kesempatan bagi pasien mengidentifikasi perilaku koping yang berhasil
sebelumnya.
3) Bantu pasien mengindentifikasi perilaku koping yang berhasil sebelumnya.
c. Kriteria Hasil
1) Tidak membatasi aktivitas secara membabi buta.
2) Mengucapkan perasaan positif mengenai kemampuan mencapai perasaan mampu
dan kotrol.
3) Perilaku koping sebelumnya yang berhasil telah teridentifikasi.
2. Resiko terhadap trauma yang kesulitan keseimbangan
a. Tujuan : mengurangi resiko trauma dengan mengadaptasi lingkungan rumah dan
menggunakan alat rehabilitasi bila perlu.
b. Intervensi :
1) Lakukan pengkajian untuk gangguan keseimbangan dengan menarik riwayat dan
pemeriksaan adanya nistagmus Romberg positif dan ketidakmampuan melakukan
Romberg tandem.
2) Bantu ambulasi bila ada indikasi.
3) Dorong peningkatan tingkat aktifitas dengan atau tanpa menggunakan alat Bantu.
c. Kriteria Hasil :
1) Mengadaptasi lingkungan rumah atau menggunakan alat rehabilitasi untuk jatuh.
2) Mampu menggunakan ambulasi dengan bantuan seperlunya.
3) Tingkat aktifitas telah meningkat.
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berbeda dengan
keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mendengar ketidak ada
ikutannya mengikuti instruksi.
a. Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi efek procedur dan
pengobatan.
b. Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
2) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
3) Diskusikan penyebab individual.
c. Kriteria Hasil :
1) Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alas an dari suatu tindakan.
2) Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen
perawatan.
Uji Dix Hallpike. Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita
dibaring-kan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-
gantung 45 di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya
dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan
hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah
lesinya perifer atau sentral.
7
Dalam dunia kedokteran, mabuk selama perjalanan disebut Motion Sickness. Motion
sickness merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari kelelahan, kepala pusing,
mual sampai muntah dan keluar keringat dingin yang terjadi saat dalam kendaraan
yang berjalan.
Tak hanya pada anak-anak, orang dewasa pun juga berisiko mengalami mabuk
perjalanan. Mabuk perjalanan bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan
gangguan sesaat yang dipicu oleh adanya gangguan koordinasi di otak akibat adanya
rangsangan dari luar yang diterima oleh panca indra secara bersamaan dan diteruskan
ke dalam otak.
Kalau mengacu dari istilahnya dalam bahasa Inggris, (Motion = gerakan), maka
mabuk jalan ini adalah suatu sickness (penyakit, gangguan) yang disebabkan oleh
adanya gerakan. Penyakit ini merupakan gangguan yang terjadi pada telinga bagian
dalam (labirin) yang mengatur keseimbangan, dan disebabkan karena gerakan yang
berulang, seperti gerak ombak di laut, pergerakan mobil, perubahan turbulensi udara
di pesawat, dll.
Otak kita secara terus menerus mengumpulkan dan menganalisis data dalam hal
orientasi (arah) tubuh saat ini, gerakan, keseimbangan, dan penglihatan. Data-data ini
dikumpulkan oleh otak melalui 3 jalur pada sistem saraf, yaitu: telinga bagian
dalam/Inner Ear (perasaan terhadap gerakan, percepatan, gravitasi), mata
(penglihatan), dan jaringan lebih dalam pada permukaan tubuh manusia (yang
disebut proprioceptors).
Telinga bagian dalam (secara medis dikenal sebagai sistem vestibular), berkaitan
dengan keseimbangan dan posisi tubuh. Kemungkinan besar, faktor inilah yang
paling penting ketika seseorang mengalami mabuk gerakan. Sistem vestibular adalah
kombinasi yang sangat kompleks dari saraf dan saluran cairan (fluida) di dalam
telinga.
Sistem vestibular membantu Otak kita untuk menentukan:
Telinga bagian dalam juga membantu kita untuk mengontrol rasa keseimbangan
(Equilibrium) dan gerakan. Yang kemudian akan mengirimkan informasi ke otak dan
otak memberitahukan bagian manakah dari tubuh kita yang harus mengimbangi
gerakan yang kita alami untuk menjaga keseimbangan yang tepat. Ketika telinga
bagian dalam kita merasa seperti keluar dari keseimbangan, mabuk gerakan dapat
terjadi.
Penglihatan (Mata)
Komponen kedua yang menentukan posisi dan gerakan tubuh kita adalah mata. Mata
membantu otak kita menentukan di mana lokasi tubuh kita dengan melihat benda-
benda di sekitarnya.
Mata kita kadang-kadang bisa tertipu dengan berpikir bahwa kita sedang tidak
bergerak padahal sebenarnya bergerak. Ambil contoh ketika Anda berada di dalam
ruangan kapal yang tidak ada jendela. Telinga bagian dalam Anda merasakan dan
memberitahukan kepada otak bahwa tubuh Anda sedang bergerak tetapi mata Anda
memberitahukan tidak ada pergerakan tubuh (karena tidak melihat sesuatu yang
bergerak tanpa adanya jendela). Perbedaan input inilah sebagai salah satu penyebab
mabuk gerakan.
Proprioseptor (Proprioceptors/Proprioception)
Komponen ketiga yang membantu menentukan apakah tubuh kita sedang diam
atapun bergerak adalah proprioseptors. Proprioseptors hanyalah khayalan yang
menggambarkan berbagai sensor yang terletak di kulit, persendian, dan otot yang
memberitahu otak tentang bagaimana anggota badan dan tubuh kita diposisikan.
Otak kita terus-menerus mengambil semua informasi yang diterima dari mata dan
dari sistem vestibular. Untuk menjaga keseimbangan dan untuk memulai gerakan,
otak kemudian mengambil semua data yang diterima dan tanpa sadar
memberitahukan sendi, otot, tendon, dan ligamen Anda untuk mulai bergerak.
Selain itu, proprioseptor juga menentukan posisi tubuh kita berdasarkan bagian mana
dari tubuh kita yang sedang menyentuh tanah. Astronot yang tidak merasakan
gravitasi akan mengalami mabuk gerakan. Hal ini diyakini bahwa ini penyebab
mabuk adalah akibat langsung dari proprioseptor tubuh mereka tidak mampu
menentukan mana yang adalah atas atau bawah karena tidak ada anggota tubuhnya
yang menyentuh tanah.
Ketika tubuh digerakkan dengan sengaja, misalnya ketika berjalan, input dari ketiga
jalur tadi akan dikoordinasikan oleh otak. Ketiga input itu memberitahukan otak
bahwa tubuh kita sedang bergerak.
Tetapi ketika terjadi gerakan yang tidak disengaja, seperti ketika berada di dalam
mobil yang mana tubuh kita sedang 'digerakkan', akan terjadi konflik dari ketiga input
(mata, sistem Vestibular, dan Proprioseptor) ini dan otak tidak bisa mengkordinasikan
ketiga input yang konflik ini dengan baik.
Adanya konflik dalam koordinasi 3 input tadi diduga menyebabkan produksi zat
histamin yang akan merangsang otak sehingga menimbulkan reaksi mual atau
muntah. Konflik input dalam otak ini diduga melibatkan level neurotransmiter yaitu
histamin, asetilkolin, dam norepinefrin.
Motion Sickness ada 3 macam berdasarkan ketidak seimbangan inputnya, yaitu:
Dalam kasus ini, gerakan dirasakan oleh sistem vestibular, tetapi tidak ada gerakan
atau sedikit sekali yang terdeteksi oleh mata. Sistem vestibular memberitahukan otak
bahwa tubuh sedang bergerak, tetapi mata memberitahukan otak bahwa tubuh sedang
diam.
Input dari mata yang bertentangan dengan input dari sistem vestibular ini akan
mengakibatkan mabuk perjalanan.
Contoh kasus pada gejala ini adalah:
Ketika Anda melakukan perjalanan, gerakan kendaraan (atas, bawah, kiri, dan kanan)
dirasakan sistem vestibular tetapi mata Anda kebanyakan melihat bagian dalam
kendaraan yang diam. Mabuk perjalanan akan lebih parah jika Anda membaca di
dalam kendaraan karena mata Anda akan fokus sepenuhnya pada bacaan Anda tanpa
sekalipun melihat pergerakan di luar kendaraan.
Tetapi, ada pengecualian untuk pengemudi karena perhatian mata para pengemudi
selalu terfokus kepada gerakan di luar kendaraan sehingga sensor mata yang
dimilikinya siap dengan berbagai bentuk gerakan sehingga mereka jarang/tidak
mengalami mabuk. Pengecualian juga terjadi jika Anda berpergian menggunakan
sepeda motor yang mana Anda tidak berada dalam ruangan tertutup seperti pada
mobil sehingga penglihatan mata terhadap pergerakan di sekitar tidak terhalangi.
Mabuk perjalanan dapat dicegah ataupun dikurangi dengan duduk di dekat jendela
dan mencoba untuk lebih memperhatikan gerakan benda-benda (sebenarnya
kendaraanlah yang bergerak, tetapi benda-benda di luar akan terlihat bergerak oleh
orang di dalamnya) di luarnya sehingga memberi kesempatan kepada mata untuk
memberitahukan otak bahwa tubuh Anda sebenarnya sedang bergerak.
Pada pesawat terbang, hal ini lebih sulit untuk dilakukan karena ukuran jendela yang
relatif kecil sehingga tidak semua penumpang dapat melakukannya.
Pada kapal laut, ini lebih sulit lagi karena banyak sekali ruangan tanpa jendela.
Dengan melihat ke luar jendela belum tentu mata bisa menyadari adanya pergerakan
karena pemandangan di tengah laut yang mana tidak ada benda yang terlihat
bergerak. Solusinya adalah dengan sesekali ke geladak kapal untuk melihat secara
dekat air yang bergerak dan merasakan angin yang berhembus.
Revolusi adalah perputaran suatu benda mengelilingi suatu poros (titik pusat). Kasus
ini ditemui pada wahana dalam taman bermain. Apabila seseorang sedang duduk di
dalam wahana tersebut, Mata seseorang cenderung melihat bagian dalam di sekitar
tempat duduknya yang tidak terlihat bergerak tetapi sistem vestibular tetap merasakan
adanya gerakan sehingga dapat menyebabkan mabuk.