Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AKUNTANSI KONTEMPORER

GOOD CORPORATE COVERNANCE


(TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK)

Dosen Pengampu :
Dr. Sarwani, SE, M.Si, Ak, CA.

Kelompok 2
Padlah Riyadi 1720333310021
Hairiah 1720333320006
Nadya Septerini 1720333320015
Norma Emilia 1720333320017

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN 2017
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat menyelesaikan
tugas pembuatan makalah yang berjudul GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sarwani, SE, M.Si, Ak,
CA dosen pembimbing yang telah membantu dan membimbing kami dalam mengerjakan
makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang juga sudah
memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan
makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Banjarmasin 12 Nopember 2017.

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sekarang ini, dunia usaha semakin berkembang dan membutuhkan pengelolaan


yang semakin baik dan sehat. Etika bisnis tidak disangkal lagi memiliki peran yang sangat
besar dalam hal tersebut. Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat
mewujudkan iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan merupakan salah satu
sumbangsih besar yang dapat diberikan oleh dunia usaha untuk mendorong terciptanya
pasar yang efisien, transparan dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi
seluruh stakeholder-nya. Saat ini seringkali muncul pertanyaan apakah etika bisnis
merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan
bisnisnya. Etika bisnis dianggap sebagai suatu hal yang merepotkan yang seandainya
tidak diindahkan pun suatu bisnis tetap dapat berjalan dengan baik dan memberikan
keuntungan.

Berangkat dari hal itu, peran etika sangat besar dalam melakukan kegiatan bisnis,
maka sudah selayaknya perusahaan menerapkan suatu prinsip Good Corporate
Governance yang dapat digunakan sebagai salah satu alatnya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang menjadi permasalahan etika dalam bisnis ?

2. Apa yang dimaksud dengan Etika Bisnis ?

3. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Good Corporate Governance ?

4. Apa saja yang menjadi prinsip-prinsip dari Good Corporate Governance?

5. Bagaimana peranan etika bisnis dalam penerapan Good Corporate Governance ?


1.3 Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan tentang permasalahan etika dalam bisnis.

2. Mendeskripsikan tentang Etika Bisnis.

3. Mendeskripsikan pengertian dari Good Corporate Governance.

4. Memahami apa yang menjadi prinsip-prinsip dari Good Corporate Governance.

5. Memahami peranan etika bisnis dalam penerapan Good Corporate Governance.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana agar perusahaan dapat
menciptakan keberhasilan usaha.
2. Untuk dapat memperbaiki etika dan moral setiap karyawan perusahaan dalam
berbisnis.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Permasalahan Etika dalam Bisnis

Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etikadan
bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di
Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat
antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang
penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk
harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebihmengutamakan penyelamatan aset-
asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus
HIT, meski perusahaan pembuat sudahmeminta maaf dan berjanji akan menarik
produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya
bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk
berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan
melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan
pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan
terasi dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan
sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila
ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan
sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah
menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan
yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa
meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel
sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Namun,
belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis
antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi
baik merupakan sebuahcompetitive advantage yang sulit ditiru.

Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson &
Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu,tujuh
orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah
diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih
dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta
botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi
produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan
FDA (BPOMnya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan,
keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol
Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS.
Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu
berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus
itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih
aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di
Amerika Serikat.Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan
konsumen di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar
kepadaperusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis
bukuMoral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang
memilikipemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti
lebihsukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon
MHuntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat.
Dikatakan,kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha
yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada
beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama
yangmelihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam
bisnistidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan
praktisibisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat,
terutamamelalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen
yangkritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis
berbagaiperusahaan di Indonesia.

2.2. Pengertian Etika Bisnis


Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan
individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup
bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil , sesuai dengan hukum yang berlaku tidak
tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan
dalam dunia bisnis (Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung pengertian bahwa
etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan
yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis. Epstein (1989) menyatakan etika bisnis
sebagai sebuah perspektif analisis etika di dalam bisnis yang menghasilkan sebuah
proses dan sebuah kerangka kerja untuk membatasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan
individu, organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat sosial. Menurut David (1998),
etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman
membuat keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku bisnis. Pelaku
bisnis tersebut bisa saja manajer, karyawan, konsumen, dan masyarakat.
Etika bisnis merupakan produk pendidikan etika masa kecil, namun tetap
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan
bahwa penanaman awal nilai-nilai kedisiplinan, moral, etika yang dilakukan pada masa
balita akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani seseorang
tatkala ia mulai beranjak dewasa (Faisal Afiff, 2003). Lingkungan bisnis dapat
merontokkan etika individu dan sebaliknya etika individu dapat mempengaruhi
lingkungan bisnis tergantung mana yang kuat. Terjadinya krisis multi
dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis sebagai sorotan
dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika dan
tolok ukur etika meningkat, hal ini disebabkan pula oleh peng-ungkapan dan publikasi,
kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan profesionalisme
bisnis meningkat (Hoesada, 1997). Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari,
sehingga etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan bisnis mereka serta
tindakan-tindakan mereka. Etika bisnis adalah tuntutan harkat etis manusia dan
tidak bisa ditunda sementara untuk membenarkan tindakan dan sikap tidak adil, tidak
jujur dan tidak bermoral.
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika dalam aktivitas bisnis tidak lain
merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan
dan program bisnis. Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk
membahas tentang etika dalam aktivitas bisnis. Aspek yang dominan dari semua kata
etika dalam aktivitas bisnis bermuara pada perilaku bermoral.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah
tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika
bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak
baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peranperan dan prinsip etika
dalam konteks komersial/bisnis. Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang
baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam
suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah
manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan
sopan santun atau norma hukum.
Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan
dimensi nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa
moralitas dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada
keteraturan dan ketenteraman dan pada gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan saling
mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah
dikemukakan, maka peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan
masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis.
Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral
yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku bisnis dalam
penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku manusia yangmempunyai
profesi di bidang bisnis dan dimiliki secara global oleh perusahaan secara umum,
sedangkan perwujudan dari etika bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan akan
terbentuk dan terwujud sesuai dengan kebudayaan perusahaan yang bersangkutan. Etika
bisnis ini akan muncul ketika masing-masing perusahaan berhubungan dan
berinteraksi satu sama lain sebagai sebuah satuan stakeholder. Tujuan etika bisnis disini
adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis dengan
"baik dan bersih".

2.3. Pengertian Good Corporate Governance (GCG)

Berdasarkan Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002


tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN, disebutkan bahwaCorporate
Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Berdasarkan pengertian diatas, secara singkat GCG dapat diartikan sebagai seperangkat
sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah
(value added) bagi stakeholder.

Malaysian Finance Committe on Corporate Govesrnance memberikan definisi


yang lebih luas mengenai konsep Good Corporate Governance. Good Corporate
Governance merupakan suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan
dan mengelola bisnis serta akuntabilitas korporasi dengan tujuan untuk meningkatkan
nilai saham dalam jangka panjang serta memperhatikan kepentingan pihak-pihak lain
yang terkait dengan perusahaan (stakeholder). Good Corporate Governance sering
disebut sebagai sebuah pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ
perusahaan guna memberikan nilai tambah secara berkesinambungan dalam jangka
panjang bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang
berlaku (Tjager, 2005).

Good Corporate Governance merupakan tata kelola perusahaan yang memiliki


agenda yang lebih luas lagi dimasa yang akan datang. Fokus dari akuntabilitas
perusahaan yang semula masih terkonsentrasi atau berorientasi padapara pemegang
saham (stockholder), sekarang menjadi lebih luas dan untuk tata kelola perusahaan juga
harus memperhatikan kepentingan stakeholder. Akibat yang muncul dari pergeseran
paradigma ini, tata kelola perusahaan harus mempertimbangkan masalah corporate
social responsibility (CSR).

2.4. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance

Sebagai sebuah sistem, proses, struktur dan aturan yang memberikan suatu nilai
tambah bagi perusahaan, Good Corporate Governance memiliki prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Keadilan (Fairness)

Keadilan adalah kesetaran perlakuan dari perusahaan terhadap pihak-pihak


yang berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya. Dalam hal
ini yang ditekankan agar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan
terlindungi dari kecurangan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
orang dalam. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi
terhadap konflik kepentingan minoritas, membuat pedoman perilaku perusahaan dan
kebijakan-kebijakan yang melindungi korporasi terhadap konflik kepentingan,
menetapkan peran dan tanggungjawab dewan komisaris, direksi dan komite termasuk
sistem remunerasi, menyajikan informasi secara wajar.

2. Transparansi/Keterbukaan (Transparency)

Tranparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan


perusahaan. Pengungkapan informasi kinerja baik ketepatan waktu maupun
akurasinya (keterbukaan dalam proses, pengambilan keputusan, pengawasan,
keadilan, kualitas, standarisasi, efisiensi waktu dan biaya). Dengan transparansi,
pihak-pihak yang terkait akan dapat melihat dan memahami bagaimana suatu
perusahaan dikelola. Namun hal tersebut tidak berarti masalah-masalah yang strategis
harus dipublikasikan, sehingga akan mengurangi keunggulan kompetitif perusahaan.
Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat
pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan
keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut
memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. (Forum for Corporate Governance
in Indonesia, 2002), transparansi menunjukkan proses keterbukaan dari para
pengelola manajemen, utamanya manajemen publik untuk membangun akses dalam
proses pengelolaannya sehingga arus informasi keluar dan masuk secara berimbang.
Jadi dalam proses transparansi informasi masyarakat dapat melihat mengenai apa
yang sedang dilakukan dengan menyebarluaskan rencana anggaran, rencana hasil,
undang-undang dan peraturan.(Ackerman, 2006) adapun indikator-indikator
transparansi yang telah ditetapkan oleh Kementrian BUMN, dibedakan menjadi dua
yaitu indikator untuk BUMN yang statusnya telah menjadi PT Terbuka (Tbk.) dan
indikator untuk BUMN yang statusnya masih PT biasa.

3. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas pelaksanaan fungsi dan tugas-
tugas sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh seluruh organ perusahaan termasuk
pemegang saham. Akuntabilitas ini berkaitan erat dengan perencanaan yang telah
disepakati bersama, dimana pelaksanaan dari kegiatan perusahaan harus sesuai
dengan perencanaan dan tujuan perusahaan.

Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan keuangan pada
waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, mengembangkan komite audit dan
resiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris, mengembangkan
dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis
strategik berdasarkan best practice bukan sekedar audit.

Perbedaan Perusahaan Publik dan Non Publik

Perusahaan
No. Aspek
Publik Non Publik
1. Informasi Keuangan Harus Terbuka Tidak Terbuka
2. Pemakai Informasi Masyarakat Luas Kalangan Terbatas
3. Perlindungan Investor Mutlak dan diwajibkanTidak Mutlak
Pemerintah
4. Jasa Akuntan Publik Tidak Mutlak
Mutlak diperlukan
5. Pemegang saham Terbatas dan turn
Menyebar dan turn
over rendah
6. Pemisahan Manajemen danover tinggi
Tidak terlalu Penting
Penting
Pemilik
Sumber: kementrian BUMN RI Program Pembinaan BUMN: Privatisasi BUMN, GCG,
Pembinaan Usaha Kecil Kementrian Negara BUMN RI, Jakarta, 2004.

4. Pertanggungjawaban (Responsibility)

Pertanggungjawaban adalah kesesuaian didalam pengelolaan perusahaan


terhadap peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan
konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggungjawab
sosial, menyadari penyalahgunaan kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung
citra, dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat.

5. Keterbukaan dalam Informasi (Disclosure)


Disclosure adalah keterbukaan dalam mengungkapkan informasi yang bersifat
material dan relevan mengenai perusahaan harus dapat memberikan informasi atau
laporan yang akurat dan tepat waktu mengenai kinerja perusahaan. Hal tersebut
terutama untuk perusahaan yang sudah go public, dimana pemegang saham sangat
berkepentingan dengan informasi kinerja perusahaan tersebut berada.

6. Kemandirian (Independency)

Kemandirian adalah suatu keadaan dimana perusahaan bebas dari pengaruh


atau tekanan pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi. (Siregar,
2004)

Untuk membuat Good Corporate Governance dapat terlaksana sebagaimana


mestinya, menurut Keasey dan Wright (dalam Siregar,2004) dibutuhkan lima elemen
yang saling berpadu, yaitu:

1. Tersedianya landasan hukum atau jaminan hukum.


2. Ditegakannya akuntabilitas,
3. Adanya fungsi pengawasan atas kinerja kompensasi dan sistem pengangkatan Direksi,
4. Adanya Direksi sebagai eksekutif atau penyelenggara perusahaan,
5. Adanya manajemen sebagai pelaksana kegiatan operasional perusahaan.

Kebijakan GCG

Kebijakan Good Corporate Governance ("Kebijakan ") ini disusun dengan tujuan
agar Kebijakan ini menjadi acuan bagi pelaksanaan good corporate governance di
Perusahaan. Sesuai dengan tujuan tersebut, pada hakikatnya Kebijakan ini dimaksudkan
berlaku bagi semua jenis perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia. Meskipun pada awalnya hanya Perseroan Terbuka, Badan
Usaha Milik Negara dan perusahaan yang menggunakan atau mengelola dana publik saja
yang harus mempelopori penerapan Kebijakan ini, namun semua perusahaan yang
didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia juga diharapkan
dapat menerapkan Kebijakan ini dengan secepat mungkin. Kebijakan ini disusun dengan
metode yang memungkinkan terjadinya peningkatan dan penyesuaian standar good
corporate governance yang lebih konstruktif dan fleksibel bagi perusahaan, bukan dengan
pendekatan yang preskriptif melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan.
Disadari bahwa terdapat aspek good corporate governanceyang perlu diberlakukan
dengan peraturan perundang-undangan, namun terdapat pula aspek lain yang sebaiknya
diterapkan sesuai dengan perkembangan pasar dan dengan memperhatikan sifat khusus
Perseroan. Karenanya, perlu diperhatikan bahwa Pedoman ini dimaksudkan agar bersifat
dinamis, sehingga dari waktu ke waktu dapat disesuaikan dengan laju perkembangan pasar
dan struktur masyarakat yang dinamis. Apabila terjadi perubahan yang bersifat eksternal,
maka prinsip good corporate governance yang terkait dapat mengikutinya. Oleh sebab itu,
Kebijakan ini pada hakikatnya dapat selalu berubah (evolutionary in nature) dan harus
dibaca serta dikaji dalam hubungannya dengan perubahan yang dapat diantisipasi baik di
tingkat nasional maupun internasional.

2.5. Peranan Etika Bisnis dalam Penerapan Good Corporate Governance(GCG)

1. Code of Corporate and Business Conduct

Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate


and Business Conduct) merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate
Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan
untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang
dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di
dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan
perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi mana yang boleh
dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan.
Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk
kategori pelanggaran hukum.

2. Nilai Etika Perusahaan

Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan
perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan
nilai pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling
percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan
sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut
hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan
akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh
pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan
perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia,benturan kepentingan (conflict of
interest) dan sanksi.

1) Informasi rahasia

Dalam informasi rahasia, seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi


rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia
kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh
hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya
melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik
yang perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi
rahasia perusahaan dan termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta
harus memberi respek terhadap hak yang sama dari pihak lain. Selain itu
karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama atas kerahasiaan
informasi rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut
diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share
holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan
menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga
keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan
kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah
dan masyarakat pada umumnya.

2) Benturan Kepentingan (Conflict of interest)

Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi


yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan
perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan &pimpinan
perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi
didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya
diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik
dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh
karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi
(kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap
karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat
dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang
bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi.
Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan
(conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :

a. Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau


berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau
pesaing (competitor).
b. Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan
perusahaan.
c. Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih
ada hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh
personal tersebut.
d. Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh
atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal
yang masih ada hubungan keluarga .
e. Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan
demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual
barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia
tersebut.
f. Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan
pribadi.
g. Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga
yang berhubungan dengan perusahaan.

h. Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang
telah go public, yang merugikan pihak lain.

3) Sanksi

Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam


Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan
ketentuan/peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner
termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan
karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap
kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan aset milik
perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau
merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset
milik perusahaan. Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik
tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak
yangindependent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya
pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap karyawan &pimpinan
perusahaan yang melanggar kode etik. Akhirnya diharpkan para karyawan
maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business
Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pelaksanaan Good Corporate Governance memerlukan perangkat pendukung


yang memungkinkan prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya yaituFairness,
Transparency, Accountability, Responsibility, Disclosure danIndependence dapat
diterapkan dengan baik. Good Corporate Governanceberperan untuk memastikan
atau menjamin bahwa manajemen dilaksanakan dengan baik. Untuk itu diperlukan
suatu perangkat yang memenuhi hal-hal tersebut dan penggunaannya sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.

Kesimpulannya, disadari atau tidak, penerapan Good Corporate


Governancedalam implementasi etika dalam bisnis memiliki peran yang sangat besar.
Pada intinya etika bisnis bukan lagi merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh pelaku bisnis tetapi menjadi suatu kebutuhan yang harus terpenuhi. Salah satu
contohnya pada prinsip-prinsip GCG mencerminkan etika bisnis yang dapat
memenuhi keinginan seluruh stakeholdernya. Etika bisnis yang baik dan sehat
menjadi kunci bagi suatu perusahaan untuk membuatnya tetap berdiri kokoh dan
tahan terhadap segala macam serangan ketidakstabilan ekonomi.

3.2 Saran

Saran untuk perusahaan yang khususnya bergerak dalam sektor publik,


alangkah baiknya menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Tujuannya agar
perusahaan dengan mudah dalam meningkatkan kinerja seluruh karyawan perusahaan,
sehingga dapat menciptakan nilai tambah tersendiri bagi perusahaan tersebut
DAFTAR REFERENSI

Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung

Dewi Kurniaty. 2008. Penerapan Etika Bisnis melalui Prinsip-prinsip Good Corporate
Governance. Jurnal Universitas Paramadina. Volume 05, No. 03. Hal. 221 231

Jurnal Keuangan & Perbankan (JKP), Vol. 2 No.1, Desember 2005, Hlm.49 58, ISSN :
1829-9865.

http://www.jtanzilco.com/main/index.php/component/content/article/1-kap-news/303-bentuk-
kerangka-kerja-bisnis-berazaskan-good-corporate-governance

Anda mungkin juga menyukai