SAP 7
KASUS SFAS NO.2, KASUS SFAS NO.33 DAN KASUS STANDAR PENGUKURAN
INSTRUMEN KEUANGAN
Dosen : Dr. Ida Bagus Putra Astika, SE, M.Si., Ak., CA
Oleh:
Pada kasus research and development SFAS No 2 diterapkan rigit uniformity. Akan
lebih representational faithfulness bila biaya research and development (succesful effort)
sebagai finite uniformity, misalnya di dalam akuntansi minyak dan gas.
Sifat dan karakteristik industri minyak dan gas bumi berbeda dengan industri lainnya.
Sebagai akibat dari sifat dan karakteristik dari industri minyak dan gas bumi, maka terdapat
beberapa perlakuan akuntansi khusus untuk industri tersebut yang berbeda dengan industri
lainnya, seperti:
FASB memutuskan untuk tetap memakai biaya historis nominal sebagai dasar laporan
keuangan. SFAS No. 33 secara spesifik menjelaskan pengaruh perubahan harga seharusnya
disajikan sebagai informasi tambahan dalam laporan tahunan. Didukung dengan pendekatan
dolar yang stabil akan sama baiknya dengan pendekatan nilai sekarang. FASB menyimpulkan
perusahaan seharusnya melaporkan informasi tambahan selain informasi utama dengan
pendekatan pengukuran yang berbeda.
Selama pelaporan dolar konstan, SFAS mensyaratkan pengungkapan atas :
1. informasi pendapatan dan operasi selanjutnya selama pajak tahunan beredar berbasis
kos historis atau dolar konstan.
2. keuntungan atau kerugian daya beli atas nilai moneter bersih untuk pajak tahunan.
Akhirnya SFAS No. 33 gagal karena beberapa alasan, yaitu adanya kemunduran
dramatis dari inflasi selama awal tahun 1980an. Ditambah lagi masalah pengukuran yang
digunakan, pertanyaan tentang pengertian dan penggunaan untuk tujuan prediktif.
Definisi Instrumen Keuangan adalah setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan
entitas dan kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas entitas lain. Instrumen keuangan diukur
pada pengakuan awal sebesar nilai wajar ditambah dengan biaya transaksi kecuali untuk
instrumen yang diukur dengan menggunakan nilai wajar. Pengukuran instrumen keuangan
sebesar nilai amortisasi, premium dan diskon dimartisasi dengan menggunakan effective
interest rate.
Sebagai contoh pada kasus perjanjian pembelian kembali atau repurchase agreement,
dimana perusahaan menjual financial asset dengan perjanjian bahwa financial asset tersebut
akan dibeli kembali pada harga yang ditetapkan atau pada harga jual semula ditambah
keuntungan. Pada kasus tersebut walaupun terjadi transfer financial asset dan juga arus kas ata
aset yang ditransfer, perusahaaan masih memiliki kontrol terhadap financial asset yang
ditransfer melalui hak membeli financial asset tersebut kembali. Karena hal tersebut, maka
financial asset yang telah ditransfer tersebut masih tetap dicatat di Balance sheet.
Walaupun sebuah entitas masih memiliki hak kontraktual untuk menerima arus kas
darifinancial asset, entitas tersebut masih dapat mengakui adanya transfer keuangan jika dia
memiliki kewajiban kontraktual untuk membayar arus kas yang diterima tersebut kepada satu
atau pihak lain sesuai kesepakatan dan memenuhi syarat sebagaimana yang telah dijelaskan
pada PSAK No. 55 (revisi 2006) paragraf 16. Transaksi ini tidak diatur pada PSAK No. 50
(1998), dan oleh IAS diistilahkan sebagai pass trough arrengement. Transaksi ini biasanya
ditemui pada sekuritisasi ataupun spesial purpose entities (SPE).
Pengukuran (Measurement)
PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran
telah banyak mengadopsi IAS 39 dibandingkan PSAK No. 55 (1999). Ada perbedaan yang
mendasar pada pengukuran awal (initial measurement) antara PSAK 55 (1998) dengan PSAK
55 (revisi 2006). Sebelumnya, semua instrumen keuangan dikur pada pengukuran awal sebesar
historical cost, namun menurut PSAK No. 55 (revisi 2006), pengukuran nilai awal instrumen
keuangan berdasarkan fair value-nya. Khusus untuk Held to Maturity, fair value tersebut
ditambah dengan biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan akuisisi ataupun penerbitan
instrumen keuangan tersebut.
Selain contoh tersebut, pembahasan cukup hangat dalam diskusi rapat EEG adalah terkait
dengan standar akuntansi untuk aktivita sekstraksi (extractive activities). Saat ini IFRS hanya
memiliki IFRS 6 Exploration for and evaluation of Mineral Resources yang sebenarnya hanya
merupakan standar akuntansi sementara. Dalam hal akuntansi untuk minyak dan gas bumi, US
GAAP (termasuk peraturan SEC) memang memiliki lebih banyak standar yang mendetail
misalnya dalam SFAS 19 Financial Accounting and Reporting by Oil and Gas Producing
Companies yang sudah terbit sejak December 1977. Delegasi dari Afrika Selatan memaparkan
makalah mengenai hal ini dan memimpin diskusi di rapat EEG lalu. Anggota EEG ditanya
mengenai ruang lingkup kegiatan riset IASB yang akan dilakukan di masa depan. Karena
industri perminyakan adalah bisnis global, maka banyak perusahaan multinasional yang
membutuhkan standar internasional. Para anggota EEG meyuarakan dukungannya bahwa IASB
perlu untuk melakukan riset mengenai akuntansi untuk ekstraksi industry.
Pada tahun 2010, IASB sudah mengeluarkan sebuah Discussion Paper yang menanyakan
apakah project spesifik untuk industri ekstraksi memang dibutuhkan. Atau diskusi mengenai
akuntansi ini digabung saja dengan project aset tak berwujud. Salah satu permasalahan yang
cukup pelik untuk industri ekstraksi adalah mengukur besarnya cadangan mineral (cadangan
minyak misalnya). Dan mengingat industri ekstraksi ini berisiko tinggi, maka pengukuran
cadangan ini menjadi penting bagi relavansi laporan keuangan perusahaan minyak, tambang
dan gas. Namun pengukuran cadangan minyak ini bisa disetarakan dengan aktivitas research
and development industri lain yang juga tidak kalah besar risikonya, seperti misalnya aktivitas
riset obat di perusahaan farmasi. Oleh sebab itu menjadi pertanyaan apakah tidak sebaiknya
pembahasan mengenai cadangan mineral juga digabung dengan pembahasan kegiatan riset
industri lainnya dalam kerangka standar akuntansi aset takberwujud.
Anggota EEG terbelah dalam diskusi mengenai industri ini. China misalnya malah
mengusulkan standar akuntansi yang lebih spesifik untuk minyak dan gas, bukan hanya standar
akuntansi ekstraksi yang lebih umum. Malaysia mendukung standar akuntansi khusus untuk
ekstraksi yg terpisah dari industri lain dengan argumen industri ekstraksi memiliki kekhususan
tersendiri. Sedangkan Saudi Arabia cenderung menginginkan pembahasan akuntansi ekstraksi
bisa sejalan dengan industri lain yang juga berisiko tinggi. Indonesia memilih jalan tengah,
bahwa kalaupun IASB memutuskan memiliki standar akuntansi khusus ekstraksi, itu hanya
mengatur hal yang sangat unik yang tidak diatur dalam standar-standar lainnya. Delegasi
Indonesia berpikiran bahwa sifat IASB yang principle-based harus tetap dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=134313&val=5637
https://staff.blog.ui.ac.id/martani/2014/11/07/akuntansi-instrumen-keuangan-psak-50-55-60/
http://etw-accountant.com/tag/iasb/
http://digilib.unila.ac.id/72/5/BAB%20I.pdf
http://fidiyaku.blogspot.co.id/2015/05/resume-materi-akuntansi-internasional.html