Anda di halaman 1dari 10

DEFINISI

Inflamasi aurikula merupakan suatu reaksi tubuh terhadap invasi bahan infeksi, antigen atau
karena cedera fisik (Gina, 2004) terdapat pada kulit, kartilago serta lapisan jaringan ikat
sekitarnya atau perikondrium aurikula (Nurcahyo, 2007).

ANATOMI FISIOLOGI AURICULA


Daun telinga merupakan lipatan kulit dengan dasarnya terdiri dari selembar tulang rawan elastis
dengan bentuk tidak teratur setebal 0,5-1 mm, tertutup perikhondrium dengan lapisan kulit yang
dihubungkan dengan bangunan sekitarnya oleh otot dan ligamentum (Soekirman, 1997). Pada
lobulus tidak mempunyai tulang rawan, tetapi terdiri dari jaringan lemak dan jaringan fibros
(Abdullah, 2003).
Persyarafan sensorik daun telinga ada yang berasal dari pleksus servikalis yaitu : n.aurikularis
magnus bersama dengan cabang kutaneus n. fasialis mensarafi permukaan posterior dan anterior
dan bagian posterior. Nervus oksipitalis mempersarafi bagian atas permukaan posteror daun
telinga. Nervus aurikulo temporalis merupakan cabang n.mandibularis memberikan persarafan
daerah tragus, krus heliks dan bagian atas heliks. Cabang aurikulus nervus menuju ke konka.
Anteheliks dan eminensia konka. Cabang nervus fasialis ada yang menuju kedasar konka
(Abdullah, 2003).
Fungsi Auricula
Fungsi aurikula adalah untuk mengumpulkan suara. Daun telinga juga dapat memperbesar
(mengamplifikasi) suara dan mengarahkannya ke saluran telinga. Ketika memantul pada daun
telinga, suara juga mengalami proses penyaringan yang akan memberikan informasi mengenai
lokalisasi suara. Efek penyaringan tersebut pada manusia terutama untuk memilah suara yang
berada di rentang frekuensi suara manusia.
Amplifikasi suara dilakukan pada daun telinga, gendang telinga, dan struktur telinga tengah
untuk membuat suara dengan 20 dB lebih tinggi dibandingkan suara pertama kali masuk ke daun
telinga. Amplifikasi ini merupakan faktor yang penting pada trauma telinga dalam (Abdullah,
2003).
ETIOLOGI INFLAMASI AURICULA
Impetigo
Impetigo merupakan infeksi kontagiosa yang mengenai lapisan epidermis superfisial. Sering
disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus, atau yang lebih jarang Streptococcus pyogenes.
Impetigo canalis aurikularis umumnya ditemukan pada anak-anak, dan sering juga pada bagian
lain seperti sudut mulut. Walaupun infeksi ini sering terjadi pada anak-anak terlantar tetapi dapat
juga terjadi pada setiap orang (Lewis, 2005).
Erysipelas
Erysipelas merupakan selulitis akut yang terlokalisasi namun meluas secara superfisial pada
aurikula, erysipelas disebabkan oleh Streptococcus hemolitikus grup A (Underbrink, 2001), ini
dapat diakibatkan karena menggaruk atau self-inoculation oleh pasien yang mencoba untuk
membersihkan telinganya. Tidak seperti pada swimmers ear dan impetigo yang merupakan
infeksi epidermal, erysipelas menginfeksi dermis dan dengan bertambahnya waktu akan
mengenai jaringan yang lebih dalam (Jahn dan Hawke, 1990).
Herpes Zooster Otikus
Herpes zoster otikus merupakan infeksi virus pada telinga yang disebabkan oleh virus varicella
zoster. Virus tersebut menyebabkan infeksi sepanjang dermatome satu atau lebih nervus cranialis
(Underbrink, 2001).
Eczema
Eczema atau dermatitis pada telinga merupakan suatu peradangan kulit (epidermis dan dermis)
yang melibatkan liang telinga, meatus dan concha di dekatnya (Boies, 1997) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen seperti bahan kimia (detergen, asam, basa, oli, semen), fisik
(sinar, suhu), mikroorganisme (bakteri, jamur) dan atau faktor endogen, misalnya dermatitis
atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Ot Hematoma
Ot Hematoma merupakan hematoma daun telinga akibat suatu rudapaksa yang menyebabkan
tertimbunnya darah dalam ruangan antara perikondrium dan kartilago. Keadaan ini biasanya
terdapat pada remaja atau orang dewasa yang mempunyai kegiatan memerlukan kekerasan,
namun bisa saja dijumpai pada usia lanjut dan anak-anak (Soekirman, 1997).
Perikondritis
Infeksi bacterial pada perikondrium atau kartilago umumnya disebabkan oleh trauma dan
kecelakaan pada aurikula (Underbrink, 2001). Bakteri yang sering menyebabkan perikondritis
adalah Pseudomonas aeruginosa (Lee, 2006). Selain itu, bakteri mikrokokus jenis virulen seperti
Stafilococcus, Streptococcus juga dilaporkan sebagai penyebab perikondritis (Boies, 1997). Pada
kasus-kasus dimana perikondritis muncul secara spontan, kecurigaan paling tinggi harus
ditingkatkan pada pasien dengan diabetes melitus (Underbrink, 2001).

PATOFISIOLOGI INFLAMASI
Inflamasi adalah reaksi tubuh yang kompleks terhadap invasi bahan infeksi, tantangan antigen
atau bahkan hanya cedera fisik (Gina, 2004). Inflamasi meliputi ikut sertanya aktifitas banyak
tipe sel dan mediator. Secara normal cedera jaringan atau adanya bahan asing menjadi pemicu
kejadian yang mengikut sertakan partisipasi dari enzim, mediator, cairan ekstravasasi, migrasi
sel, kerusakan jaringan dan mekanisme penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan tanda
inflamasi berupa : kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi (Subagyo,
2002).
Terjadi 3 proses utama selama reaksi inflamasi ini yaitu, aliran darah ke daerah itu meningkat,
permeabilitas kapiler meningkat, leukosit, mula-mula neutrofil dan makrofag, lalu limfosit keluar
dari kapiler menuju ke jaringan sekitarnya.selanjutnya bergerak ke tempat yang cedera dibawah
pengaruh stimulus-stimulus kemotaktik (Subagyo, 2002).
Bila ada antigen menyerang, maka rentetan respon imun nonspesifik dan spesifik diaktivasi
untuk menangkis antigen tersebut. Mula-mula, respons imun nonspesifik bekerja untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Bila ini berhasil, inflamasi akut berhenti. Apabila respons imun
nonspesifik tidak berhasil, maka respons imun spesifik diaktivasi untuk menangkis antigen
tersebut. Inflamasi berhenti apabila usaha ini berhasil, bila tidak maka inflamasi ini menjadi
kronik dan seringkali menyebabkan destruksi yang ireversibel pada jaringan (Gina, 2004).

MANIFESTASI KLINIS
Impetigo
Impetigo tidak disertai gejala umum, lebih sering terjadi pada anak-anak (Djuanda, 2007).
Impetigo umumnya ditularkan ke telinga melalui jari yang kotor. Untuk alasan ini, bentuk lesi
awal ditemukan pada pintu masuk kanalis eksterna. Tidak seperti furunkulosis, impetigo
merupakan infeksi yang menyebar pada daerah superficial yang mana dapat meluas sampai ke
choncha bahkan seluruh aurikula. Lesi awal terbentuk suatu bula kecil yang bila ruptur atau
pecah akan mengeluarkan eksudat infektif berwarna kekuningan. Eksudat mengering menjadi
krusta keemasan. Seiring dengan penyebaran infeksi, daerah yang terkena meluas dan terlihat
krusta (Jahn dan Hawke, 1990).
Erysipelas
Bentuk klinis erysipelas adalah nyeri dan pembengkakan. Lesi berupa penyebaran selulitis yang
berwarna merah dengan suatu perimeter iregular yang meninggi dan berbatas jelas dari kulit
normal disekitarnya. Bila erysipelas mulai pada MAE atau pada aurikula, lesi secara khusus
menyebar pada anterior wajah tanpa terpengaruh batasan-batasan anatomis (Jahn dan Hawke,
1990). Erysipelas disertai gejala konstitusi seperti pasien merasa sakit, menggigil, demam dan
malaise (Djuanda, 2007). Keterlibatan sistemik tidak terlihat pada banyak infeksi superfisial
(Jahn dan Hawke, 1990).
Herpes Zoster Otikus
Gejala awal berupa nyeri terbakar pada salah satu telinga, yang mungkin disertai sakit kepala,
malaise dan demam selama 2 hari. Vesikel umumnya muncul pada hari ke 3 sampai hari ke 7
setelah onset nyeri, dan biasanya timbul pada antiheliks, concha dan posterior lateral MAE.
Infeksi pada ganglion genikulatum juga dapat muncul disertai parese facialis atau paralisis
komplit (Underbrink, 2001).
Eczema
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Pada stadium akut kelainan kulit berupa
eritema, edema, vesikel atau bula erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans).
Stadium subakut, edema dan eritema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada
stadium kronis lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul dan likenifikasi, mungkin
juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan,
biasanya suatu dermatitis sejak awal memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium
kronis (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Ot hemathoma
Pada ot hemathoma aurikula dapat terbentuk penumpukan bekuan darah diantara perikondrium
dan tulang rawan. Bila bekuan darah ini tidak segera dikeluarkan maka dapat terjadi organisasi
dari hemathoma, sehingga tonjolan menjadi padat dan permanen (Sosialisman dan Helmi, 2004).
Perichondritis
Tampak daun telinga membengkak, merah, panas, dirasakan nyeri, dan nyeri tekan.
Pembengkakan ini dapat menjalar ke bagian belakang daun telinga, sehingga sangat menonjol.
Terdapat demam, pembesaran kelenjar linfe regional dan leukositosis. Serum yang terkumpul
dilapisan subperikondrial menjadi purulen, sehingga terdapat fluktuasi diffuse atau terlokalisasi
(Mansjoer et al, 2000).

DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, dimana penderita akan mengeluhkan adanya
gejala konstitusi seperti demam, sakit, malaise dll. Apakah pasien mengeluh rasa gatal, nyeri
atau tidak pada daun telinga. Dan keluhan-keluhan khusus yang mengarah ke diagnosa impetigo,
erysipelas, herpes zoster otikus, eczema, ot hematoma dan perikondritis. Kedua berdasarkan
inspeksi, dimana akan kita dapatkan adanya effloresensi yang spesifik seperti eritematous,
edema, krusta, nodula, vesikel, bula dan sebagainya yang mengarah ke diagnosa etiologi
inflamasi aurikula. Ketiga yaitu dengan palpasi untuk menemukan adanya fluktuasi dan untuk
memastikan tidak adanya nyeri tekan. Terakhir kita lakukan tindakan pengambilan sekret untuk
dilakukan kultur dan sensitivitas kuman pada kecurigaan infeksi dan aspirasi untuk mendapatkan
adanya cairan serohemoragis pada ot hematoma.

DIAGNOSA BANDING
Impetigo dapat didiagnosa banding dengan furunkulosis, vesikula eksem, otomikosis, herpes
zoster otikus dan varicella (Cole dan Gazewood, 2007). Erysipelas didiagnosa banding dengan ot
hematoma, perikondritis, erisypeloid, dermatitis kontak, polychondritis, tuberculoid leprosy. Ot
Hematoma dapat didiagnosa banding dengan perichondritis dan erysipelas. Untuk perikondritis
dapat didiagnosa banding dengan erysipelas, ot hematoma, relapsing polykondritis, frosbite,
furunkulosis, leprosi daun telinga dan dermatitis daun telinga (Subagio, 2006). Eczema
didiagnosa banding dengan psoriasis dan infeksi pada kulit. Suatu reaksi kulit akibat kepekaan
terhadap neomisin dapat tampil dengan pola yang mirip dengan eczematosa (Boies, 1997).
Beberapa diagnosa banding dari herpes zoster otikus antara lain adalah furunkulosis, vesikula
eksem dan impetigo (Deepak, 2005).
KOMPLIKASI
Impetigo umumnya tidak berbahaya, namun kadang-kadang dapat memberikan komplikasi
Poststreptococcal glomerulonephritis (PSGN), Cellulitis, dan infeksi Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (Cole dan Gazewood, 2007).
Komplikasi erysipelas yang paling sering adalah limfangitis yang lebih sering muncul daripada
keadaan patologis yang lain. Komplikasi erysipelas yang lain yaitu abses, flegmon, tropic ulcer
dan nekrosis kulit (Liviu, 2008).
Infeksi virus varisella zoster pada ganglion genikulatum dapat muncul disertai parese facialis
atau paralisis komplit (Underbrink, 2001). Pada eczema bila stadium akut tidak diatasi, maka
dapat terjadi perubahan-perubahan kronik yang ditandai dengan penebalan kulit dan bahkan
stenosis pada MAE. Pada kasus demikian, mungkin ada baiknya berkonsultasi dengan ahli kulit
(Boies, 1997).
Komplikasi infeksi daun telinga sangat ditakuti karena dapat menyebabkan seluruh daun telinga
terkena infeksi dan mengubah bentuk daun telinga menjadi Cauliflower ear (Soekirman, 1997).

TERAPI
Impetigo
Impetigo pada telinga sebaiknya dirawat dengan debridement pada daerah yang terkena. Hal ini
dapat dikerjakan dengan menggunakan lidi kapas yang sudah dibasahi dengan cairan antiseptik
atau hidrogen peroksidase. Daerah yang terinfeksi kemudian ditutup dengan salep antibiotik.
Salep yang mengandung neomycin sangat berguna, juga mucopirin (bactroban), suatu salep
single-agent dengan aktifitas anti-Stafilokokkus. Antibiotik sistemik umumnya tidak diperlukan,
walaupun daerah yang terinfeksi meluas. Bila impetigo gagal diatasi dengan terapi lokal, perlu
dikonsulkan pada bagian dermatologi (Jahn dan Hawke, 1990).
Erysipelas
Terapi erysipelas meliputi antibiotik topikal dan sistemik. Obat anti-streptokokkal dosis tinggi
dapat dicoba, tapi bila pasien gagal menunjukkan respon yang signifikan dalam 48 jam, harus
disadari pemberian antibiotik intravena yang efektif melawan sterptokokkus (Jahn dan Hawke,
1990).
Herpes Zoster otikus
Oral steroid secara umum diberikan dan di tappering off bila diberikan diatas 10-14 hari.
Pengobatan dengan acyclovir, famcyclovir dan valacyclovir telah ditunjukkan keevektifannya
dalam memperpendek fase penyebaran virus dan mengurangi otalgia (Underbrink, 2001).
Eczema
Pengobatan yang tepat didasarkan kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi, karena
eczema disebabkan oleh multi faktorial, kadang juga tidak diketahui dengan pasti. Jadi
pengobatan bersifat simptomatis yaitu dengan mengurangi atau menghilangkan gejala dan
keluhan, dan menekan keradangan (Sularsito dan Djuanda, 2007). Bila aurikula terlibat cukup
luas dan lesi tampaknya meluas, maka dapat dianjurkan kompres basah larutan solusio Burowi
selama 24-48 jam, setelah itu gunakan salep dan solusio steroid fluorinasi. Dengan sendirinya
bila infeksi dicurigai, dapat diberikan antibiotik topikal (Boies, 1997).
Ot Hematom

Mengeluarkan isi hematoma yaitu bisa secara aspirasi atau insisi. Aspirasi dilakukan
dengan jarum aspirasi nomor 18 untuk mencegah reakumulasi dari hematoma. Prinsip
selanjutnya setelah dilakukan aspirasi atau insisi dilakukan penekanan untuk mencegah
reakumulasi antara lain dengan cara: pembalutan seperti pemasangan perban, penekanan paksa
mastoidektomi, penekanan lokal dengan bloster yang dijahit. Menggunakan penekanan gips yang
dipasang di depan dan dibelakang. Menggunakan perban gipsona yang melingkari daun telinga.
Disamping kedua tahap ini, juga penting pemberian antibiotik yang adekuat (Fariz, 2006).
Perikondritis
Kasus mild perikondritis dapat diterapi dengan debridement dan antibiotik topikal atau oral
(Underbrink, 2001). Tetapi pengobatan dengan antibiotik sering gagal karena kuman yang dituju
yaitu, Pseudomonas aeruginosa sering resisten terhadap sebagian besar antibiotik. Yang paling
efektif adalah Tobramisin diberikan bersama-sama Tikarsilin secara sistemik, selama 2 minggu,
dengan memantau fungsi ginjal (Mansjoer et al, 2000) Bila infeksi menyebar mengenai jaringan
ikat dan jaringan linfe regional, pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik parenteral. Bila
terjadi infeksi subakut atau kronis pada perikondrium atau kartilago dan tetap berlanjut walaupun
sudah diberi perawatan, intervensi surgical dibawah kontrol dapat diindikasikan. Pembedahan
meliputi eksisi jaringan nekrotik, kemudian dilakukan lokal skin flap. Irigasi dengan drain kecil
sebaiknya ditempatkan dibawah flaps dan diirigasi dengan cairan antibiotik tiga kali sehari.
Drain dapat diteruskan sesuai perbaikan kondisi (Underbrink, 2001).

PROGNOSA
Pada umumnya prognosis inflamasi aurikula ini baik bila diagnosa ditegakkan secara tepat dan
penatalaksanaan diberikan secara dini.

EDUKASI
Untuk pencegahan infeksi, higienisitas yang baik seperti mencuci tangan secara teratur dapat
mencegah terjadinya inflamasi aurikula (Lewis, 2007). Pasien harus dilarang menyentuh
telinganya. Kuku harus dipotong pendek (Jahn dan Hawke, 1990) dan untuk mencegah penularan
pada keluarga hendaknya menggunakan sabun antibakteri dan memiliki handuk yang terpisah.
Pisahkan sprai yang terinfeksi handuk, baju dari anggota keluarga yang lainnya dan cuci dengan
air hangat (Lewis, 2007). Untuk para pegulat perlu diingatkan untuk memakai pelindung kepala,
juga pada saat berlatih (Boies, 1997)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Farhaan. 2003. Uji Banding Klinis Pemakaian Larutan Burrowi saring Dengan
Ichthyol (Ichthammol) Pada Otitis Eksterna Akut. http://www.usulid.ac.id.

Alford, Bobby R 2006. Cor Curriculum Syllabus: Review of Anatomy-Temporal Bone and
Ear. http://www.bcm.edu/oto/studs.

Al-Fatih, Muhammad. 2007. Pemeriksaan Telinga. http://www. Hennykartika.wordpress.com.

Boies, Lawrence R. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT: Penyakit Telinga Luar. Edisi 6.
EGC. Jakarta. Hal. 81.

Cole, Charles dan Gazewood, John. 2007. Diagnosis and Treatment of Impetigo.
http://www.aafp.org.

Underbrink, Michael. 2001. Infection of External Ear. http://wwwutmb.edu/otore.


Deepak, Awasthi. 2005. Ramsay Hunt Syndrome : Departemens of Neurology, Pediatrics and
Pathology. University of Chicago Hospital and Clinic. http://www.emedicine.com.

Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: PIODERMA. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
Hal. 57-63.

Faris, Acmad. 2006. Ot Hemathoma. Jombang: laboratorium/SMF THT Bapelkes RSD Jombang

Gina, Santoso Hari. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: INFLAMASI. Jilid I. Edisi 3. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 12-15.

Hanif et al. 2000. Lesson of the Week: High Ear Piercing and the Rising Insidence of
Perichondritis of the Pinna. http://www.bmj.com/cgi.

Hutchinson dan Atlanta. 1995. Otitis Externa: A Pesonal Pespective. http://www.utmb.edu/oto.

John, Anthony dan Hawke, Michael. 1990. Infection of External Ear. http://.www.......com.

Lee. 2006. Medical Encyclopedia PERICHINDRITIS. http://.www.nlm.nih.gov.

Lewis, Linda. 2005. Impetigo. http://www.education.com/reference/article.

Liviu, Iarovoi. 2008. Clinical, Immunological, Characteristics and Optimization of Erysipelas.


http://www.cnaa.acad.md.

Mansjoer, Arif et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran: Perikondritis. Jilid I. Edisi 3. Media
Aesculapius. FKUI. Hal. 94.

Nurcahyo. 2007. Kelainan Pada Telinga Luar. http://www.medicastore.com

Soekirman. 1997. Ot Hematoma dan Pengelolaannya. http://www.kalbe.co.id.

Sosialisman dan Helmi, 2004. Buku Ajar Ilmu Kesehatan TELINGA HIDUNG TENGGOROK
KEPALA LEHER. Edisi ke 5. Balai Penerbit FKUI. Hal. 44-45.

Subagio, Yoyok. 2006. Perikondritis Daun Telinga. Jombang: laboratorium/SMF THT Bapelkes
RSD Jombang
Subagyo, Retno L. 2002. Pemilihan NSAID Untuk Berbagai Situasi Klinik. http://www.pogi-
online.org.

Sularsito, Sri Adi dan Djuanda, Suria. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: DERMATITIS.
Edisi 5. FKUI. Jakarta. Hal. 129-130.

Anda mungkin juga menyukai