Disusun oleh:
ISI
2.
2.1. Teori-teori tentang Menua
Beberapa teori penuaan yang diketahui dijelaskan sebagai berikut :
a. Teori berdasarkan sistem organ (organ sistem-based tehory). Ini berdasarkan atas
dugaan adanya hambatan dari organ tertentu dalam tubuh yang akan
menyebabkan terjadinya proses penuaan. Organ tersebut adalah sistem endokrin
dan sistem imun.
b. Teori kekebalan tubuh (breakdown tehory). Ini memandang proses penuaan
terjadi akibat adanya penurunan sistem kekebalan tubuh secara bertahap,
sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan diri terhdap luka, penyakit, sel
mutan, ataupun sel asing.
c. Teori Kekebalan (autoimmunity). Ini menekankan bahwa tubuh lansia yang
mengalami penuaan sudah tidak dapat lagi membedakan antara sel normal dan
sel tidak normal, dan muncul antibodi yang menyerang keduanya yang pada
akhirnya menyerang jaringan itu sendiri.
2.1.1 Teori penuaan ditinjau dari sudut Biologis :
a. Teori error catastrophe. Kesalahan susunan asam amino dalam protein tubuh
mempengaruhi sifat khusus enzim untuk sintesis protein, sehingga terjadi
kerusakan sel dan mempercepat kematian sel.
b. Teori pesan yang berlebih-lebihan (redundant message). Manusia memiliki DNA
yang berisi pesan yang berulang-ulang atau berlebih-lebihan yang menimbulkan
proses penuaan.
c. Teori imunologi. Teori ini menekankan bahwa lansia mengalami pengurangan
kemampuan mengenali diri sendiri dan sel-sel asing pengganggu, sehingga tubuh
tidak dapat membedakan sel-sel normal dan tidak normal, dan akibatnya antibodi
menyerang kedua jenis sel tersebut sehingga muncul penyakit-penyakit
degeneratif.
2.2. Konsep Kebutuhan Gizi pada Lansia
Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan
kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh
untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi
yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat
menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia.
Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari
kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernapasan,
dan ginjal. Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu :
a. Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, gandum,
ubi, roti, singkong dan lain-lain, selain itu dalam bentuk gula seperti gula, sirup,
madu dan lain-lain. Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak,
santan, mentega, margarin, susu, dan hasil olahannya.
b. Kelompok zat pembangun, kelompok ini meliputi makanan-makanan yang
banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging,
ikan, susu, telur, kacang-kacangan dan olahannya.
c. Kelompok zat pengatur, kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak
mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.
2.2.1 Faktor yang mempengaruhi menua sehat :
a. Menua Endogenik (endogenic aging) yang dimulai dengan menuanya sel-sel
tubuh, jaringan tubuh, dan anatomi tubuh ke arah proses menuanya organ tubuh.
b. Menua Eksogenik (exogenic Faktor) dapat dibagi dalam sebab lingkungan di
mana seseorang hidup dan faktor-faktor sosio budaya yang paling tepat disebut
gaya hidup. Faktor menua eksogenik kini lebih dikenal dengan sebutan faktor
risiko, antara lain riwayat keluarga, etnis, kebiasaan merokok, kemiskinan, serta
kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
2.3. Kondisi Fisiologis pada Lansia
Proses menua dapat dilihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada
tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut. Selain itu,
ada perubahan pada usia lanjut yang berhubungan dengan bertambahnya umur
seseorang seperti hilangnya masa jaringan aktif dan berkurangnya fungsi dari banyak
organ dalam tubuh manusia. Mulai usia 80 tahun telah terjadi pengurangan produksi
enzim tubuh sebesar 15%, isi sekuncup jantung sebesar 30%, dan aliran darah ke
ginjal 50%.
a. Perubahan kecepatan metabolik basal (BMR) sekitar 25% dekade setelah usia 30
tahun dan penurunan aktivitas fisik sehingga mempengaruhi kebutuhan kalori,
yaitu menurun dan berpotensi untuk obesitas.
b. Gangguan kemampuan motorik sehingga berdampak kesulitan untuk
menyiapkan makanan dan menguap sendiri, penurunan pengeluaran energi
sehingga berpotensi dalam peningkatan berat badan.
c. Perubahan pada saluran pencernaan.
d. Perubahan pada sistem endokrin.
e. Perubahan pada sistem pernapasan.
f. Perubahan pada sistem kardiovaskular.
g. Perubahan pada sistem hematologi
2.3.2 Perubahan Fisiologi Lansia yang Berhubungan dengan Aspek Gizi ( Krause &
Kathleen, 1984) :
a. Indera penciuman dan perasa berkurang lansia kurang dapat menikmati
makanan
b. Rasinski et al (1986) terjadi atrofi gastritis pada lansia di Boston sebesar 24%
pada usia 60 69 tahun, 32% pada usia 70 79 tahun, dan 40% pada usia > 80
tahun
c. Berkurangnya saliva kesulitan menelan kerusakan gigi ( Webb &
Copeman, 1996)
d. Kehilangan gigi sulit konsumsi makanan keras, makanan lunak kurang
mengandung vitamin A, C dan serat mudah konstipasi
e. Menurunnya sekresi HCl penyerapan vitamin B12 dan kalsium terganggu
mudah terkena osteoporosis dan anemia
f. Sekresi pepsin dan enzim proteolitik menurun pencernaan protein tidak
efisien
g. Penurunan sekresi garam mengganggu penyerapan lemak dan vitamin
A,D,E,K
h. Penurunan motilitas usus pembesaran perut dan konstipasi.
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingakat berat <17,0
Kekurangan berat badan tingkat 17,0-18,5
ringan
Normal >18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
c. Penilaian/pemeriksaan laboratorium
Jenis pemeriksaan laboratorium, dipergunakan untuk mendeteksi status
defisiensi yang bersifat subklinis. Pemeriksaan biokimia yang umum dan sederhana
dilakukan adalah pengukuran kadar serum albumin, hemoglobin, hematocrit, serta
kolesterol serum.
Penilaian fungsi imun
Selain dari penambahan jumlah masa lemak, terjadi pula perubahan distribusi
lemak tubuh di mana terjadi pengumpulan/akumulasi lemak ke daerah
abdomen/sentral yang mengidentifikasikan adanya akumulasi lemak viseral.
2) Hipertensi
Berat badan yang berlebih akan meningkatkan beban jantung untuk
memompa darah ke seluruh tubuh, akibatnya tekanan darah cenderung lebih
tinggi. Di samping itu, pembuluh darah pada usia lanjut lebih tebal dan kaku
sehingga tekanan darah akan meningkat. Bila disertai dengan adanya plak di
dinding dalam arteri dapat menyebabkan strok (pecahnya pembuluh darah).
Jika sumbatan ini terjadi pada pembuluh darah otak dapat menyebabkan
lumpuh atau kematian. Bila sumbatan terjadi di jantung, maka akan
menyebabkan serangan angina atau infark yang juga dapat menyebabkan
kematian.
Konsumsi natrium (garam) yang berlebih dapat meningkatkan tekanan
darah. Selain itu, rendahnya konsumsi kalsium, magnesium, dan kalium dapat
pula meningkatkan tekanan darah.
3) Diabetes mellitus
Adalah suatu keadaan/kelainan dimana terdapat gangguan metabolism
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan kekurangan insulin atau
tidak berfungsinya insulin. Hal ini dapat menyebabkan gula darah tertimbun
dalam darah (hiperglikemia) dengan berbagai akibat yang mungkin terjadi.
Pada orang gemuk atau obesitas, hiperglikemia terjadi karena insulin yang
dihasilkan tidak memenuhi kecukupan.
4) Sirosis hepatis
Pada usia lanjut sirosis menunjukkan perjalanan penyakit dan gejala
seperti yang terdapat pada usia dewasa lain. Lemak yang berlebihan akan
ditimbun dalam hati yang akan menyebabkan terjadinya perlemakan hati, dan
memicu terjadinya penyakit sirosis hepatis. Di samping itu, sirosis hepatis
juga disebabkan karena radang hati (hepatitis) akibat kebiasaan minum
alkohol yang berlebih. Sirosis ini dapat berkembang menjadi kanker hati
2.9.2 Kurang Energi Kronis (KEK)
Kurangnya nafsu makan yang berkepanjangan pada usia lanjut dapat
menyebabkan penurunan berat badan yang drastic. Pada orang tua, jaringan ikat
mulai keriput sehingga kelihatan makin kurus. Di samping kurangnya karbihidrat,
lemak, dan protein sebagai zat gizi makro penderita KEK biasanya disertai
kekurangan zat gizi mikro yang lain.
Penyebab kurang energi kronis (KEK) pada usia lanjut antara lain :
a. Makan tidak enak karena berkurangnya fungsi alat perasa dan penciuman.
b. Banyak gigi yang tanggal/ompong sehingga untuk makan terasa sakit.
c. Nafsu makan berkurang karena kurang aktivitas, kesepian, depresi, penyakit
kronis, efek samping dari obat, alcohol, dan rokok.
Perubahan-perubahan Psikososial
Selama Masa Penuaan dan Pensiun
Perubahan Psikososial Implikasi Gizi
Pendapatan tetap Penurunan konsumsi makanan, terutama susu,
daging, buah, sayur yang merupakan sumber-
sumber penting dari kalsium, riboflavin, protein,
zat besi, vitamin C, dan A
Kurang bersosialisasi Apatis terhadap makanan : konsumsi buruk
Mudah terpengaruh iklan dan mode 27-72% lansia menggunakan suplemen vitamin,
makanan, yang dapat menarik jika walaupun penelitian menunjukkan bahwa
dipuji sebagai metode untuk makanan mereka biasanya tidak rendah vitamin,
mengurangi efek penuaan namun mereka tetap menggunakannya.
Menghabiskan pendapatan yang terbatas pada
makanan atau bantuan kesehatan lainnya dengan
nilai yang diragukan. Berpotensi untuk
pemasukan dosis toksin vitamin, terutama
vitamin A dan D
Sumber : Mary Courtney, 1997
Pengaruh Kondisi Fisiologis Terhadap Status Gizi Lansia
Pelayanan gizi usia lanjut dilaksanakan secara terpadu melalui kemitraan dengan
lintas program, lintas sektor dan peran serta lembaga swadaya masyarakat disertai
partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan masyarakat itu sendiri.
Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya pembinaan usia lanjut antara lain :
2.11.3. Hal-hal yang harus mendapat perhatian dalam memberikan konseling pada
lansia, yaitu :
a. Memperhatikan faktor kejiwaan, antara lain :
- Pesimistis - kekanak-kanakan
- Apatis - keras kepala
- Melankolis - mudah iri hati
- Depresi - curiga
- Takut sakit - cepat tersinggung
- pelupa
b. Dibutuhkan kesabaran konselor dan kemampuan mendengarkan keluhan dari
lansia dan tidak memberikan tanggapan yang menyalahkan/menggurui.
c. Sikap santun dan jawaban jujur diucapkan pada saat yang tepat dan bijaksana.
d. Diperlukan pendamping lansia saat dilakukan konseling untuk memberitahu
penjelasan lebih lanjut.
e. Tidak jarang/sering keluarga/pengasuh juga mengalami depresi dan memerlukan
konseling karena sehari-hari mereka menghadapi lansia dengan
permasalahannya.
f. Agar lebih optimal dalam melakukan konseling gizi dilengkapi dengan alat-alat
peraga dan pedoman-pedoman yang mendukung, seperti :
- Food model
- Poster pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)
- Poster indeks Massa Tubuh (IMT)
- Kartu Menuju Sehat (KMS) Lanjut Usia
- Buku-buku Pedoman dan Panduan
- Leaflet diet penyakit degenerative
- Alat peraga lain yang memberi semangat kepada lansia, contoh : foto lansia
yang tetap sehat dan bugar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Batasan usia lanjut berbeda dari waktu ke waktu.
b. Pada lansia terjadi perubahan fungsi fisiologis yang dapat menyebabkan kemunduran
fungsi tubuh akibat proses menua
c. Kebutuhan gizi pada setiap manusia berbeda-beda tergantung dari jenis kelamin,
umur, aktivitas, ukuran dan susunan tubuh, iklim atau suhu udara, kondisi fisik
tertentu (sakit) serta unsur lingkungan.
d. Kebutuhan zat gizi pada lansia sangat dipengaruhi oleh keadaan kesehatannya,
sehingga kebutuhan bagi lansia yang sehat berbeda dengan lansia yang sakit.
e. Kebutuhan gizi makro (energi, karbohidrat, lemak, kolesterol, serat, protein, dan
cairan) pada lansia berbeda dengan orang dewasa, hal ini disebabkan oleh faktor
fisiologis dan aktivitas. Umumnya kebutuhan gizi makro lansia berkurang bila
dibandingkan pada dewasa. Namun demikian, tetap saja kebutuhan gizi tersebut harus
dikonsumsi dengan seimbang dan sesuai kebutuhan agar kesehatan tetap terjaga.
f. Kebutuhan gizi itu sendiri juga harus disesuaikandengan aktivitas lansia. Karena
semakin aktif seorang lansia, maka energi dan kebutuhan gizi yang dibutuhkannya
menjadi lebih besar dibandingkan lansia pada umumnya. Sebaiknya, kita memelihara
kebutuhan gizi sejak masa muda karena penyakit tua terjadi disebabkan akumulasi
faktor risiko pada masa muda.
g. Zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral serta kebutuhan suplemen menjadi penting
peranannya pada lansia. Kebutuhan zat gizi mikro pada lansia berbeda dengan
kelompok usia lainnya. Dalam hal ini, asupan zat gizi mikro seperti vitamin dan
mineral serta asupan suplemen pada lansia berfungsi untuk mempertahankan kondisi
lansia agar tetap optimum (sehat) dan kualitas kesehatannya tetap terjaga.
h. Peningkatan populasi berdampak pada munculnya penyakit degenerative, selain juga
penyakit infeksi seperti anemia yang masih menempati urutan tertinggi pada lansia.
i. Perlu penanganan intensif secara menyeluruh dalam menangani masalah penyakit
degenerative dan penyakit infeksi melalui pengaturan diet makanan yang tepat dan
peningkatan aktivitas fisik untuk menciptakan lansia sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M, dkk. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Kencana : Jakarta.
Besral,dkk. 2007. Pengaruh Minum Teh Terhadap Kejadian Anemia pada Usila di Kota
Bandung. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 1, Juni 2007 : 38-43
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2010. Pedoman Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di
Puskesmas. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2010. Pedoman Tatalaksana Gizi Lanjut Usia untuk
Tenaga Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Hasdianah,dkk. 2014. Gizi : Pemanfaatan Gizi, Diet, dan Obesitas. Nuha Medika :
Yogyakarta.
Nurwenda A. 2004. Hubungan Tingkat Konsumsi Kalsium, Protein dan Status Gizi dengan
Derajat Osteoporosis Pada lansia.
Rizka, T. 2011. Hubungan asupan vitamin b6, vitamin b12, asam Folat, aktifitas fisik dan
kadar homosistein Dengan status kognitif lansia. Pada :
http://eprints.undip.ac.id/35882/1/414_Riska_Triantari_G2C006050.pdf
Setiyanto, Bowo. 2013. Perbandingan Status Gizi dan Faktor-faktor yang Berhubungan
pada Lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha dan Posbindu Cempaka
di Kota Bogor. Tesis. FKM UI
Judul : Pengaruh Minum Teh terhadap Kejadian Anemia pada Usila di Kota
Bandung
1. Metode : Studi potong lintang dengan populasi semua usila yang berumur 60
tahun atau lebih. Sampel berjumlah 132 usila yang dipilih secara acak. Metode
pengukuran haemoglobin menggunakan Sianmetehmoglobin, sedangkan kebiasaan
minum teh diukur dengan catatan asupan makanan (food record) 1 x 24 jam selama 7
hari. Analisis data menggunakan regresi logistic ganda.
2. Hasil : kejadian anemia pada usila di Kota Bandung adalah 47,7% (95%CI
= 39%-56%). Separuh dari responden (49%) mempunyai kebiasaan selalu minum
teh tiap hari (95%CI = 40%-58%). Usila yang selalu minum teh tiap hari mempunyai
risiko untuk anemia 92 kali lebih tinggi (95%CI = 8-221) dibandingkan usila yang
tidak pernah minum teh setelah dikontrol dengan variable konsumsi lauk pauk.
3. Kesimpulan : angka kejadian anemia pada usila di Kota Bandung hampir sama
dengan hasil penelitian lainnya di Indonesia, yakni sekitar 50%. Untuk menurunkan
kejadian anemia pada usila, disarankan kepada usila untuk mengurangi kebiasaan
minum tehnya atau minum teh 2-3 jam sesudah makan atau meningkatkan asupan
protein terutama protein hewani.
Judul : Status Depresi dan Asupan Makan Berhubungan dengan Status Gizi
pada Lansia
1. Metode : Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan
rancangan cross sectional. Subyek penelitian berjumlah 85 orang lansia. Data status
depresi ditentukan dengan menggunakan Geriatric Depression Scale-15 (GDS-15).
Asupan makan diukur dengan semi quantitative food frequency questionnaire
(SQFFQ) meliputi asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang dikonsumsi
dalam waktu 3 bulan terakhir. Data status gizi diperoleh dengan menentukan body
mass armspan (BMA) yaitu dengan cara membandingkan berat badan (dalam kg)
dan rentang lengan (dalam meter2) kemudian dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu
status gizi lebih (BMA perempuan >22,8; laki-laki >25,1), status gizi baik (BMA
perempuan 18,722,8; laki-laki 20,125), dan status gizi kurang (BMA perempuan
<18,7; laki-laki <20,1).
2. Hasil : Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara status depresi dengan status gizi subyek (p<0,05). Odds Ratio (OR)
sebesar 2,28 menunjukkan bahwa subyek yang mengalami status depresi memiliki
kemungkinan 2,28 kali lebih besar untuk mengalami status gizi lebih dibandingkan
dengan subyek yang tidak mengalami depresi. Hasil uji chi square menunjukkan
bahwa asupan makan, yang meliputi asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat
memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi (p<0,05).
3. Kesimpulan : Ada hubungan yang bermakna antara status depresi dengan status
gizi lansia di kecamatan Mantrijeron kota Yogyakarta (p<0,05). Lansia yang
mengalami depresi cenderung memiliki status gizi lebih dan kurang (OR=2,28). Ada
hubungan yang bermakna antara status depresi dengan asupan makan lebih pada
lansia di kecamatan Mantrijeron kota Yogyakarta (p<0,05; OR=2,08). Ada hubungan
yang bermakna antara asupan makan dengan status gizi lansia di kecamatan
Mantrijeron kota Yogyakarta (p<0,05).