Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
banyak membawa perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal
perubahan pola hidup maupun tatanan sosial termasuk dalam bidang Pertanian
yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung dengan
norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim di dalam
suatu tempat tertentu
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan
penting dalam mencapai hasil pertanian yang optimal. Perkembangan sosial
budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam
suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berpikir.
Hubungan antara budaya dan pertanian sangatlah erat bahkan sejak
zaman nenek moyang manusia telah mengenal bercocok tanam dengan alat-
alat tradisional. Hal ini pula diterapkan dalam budaya masyarakat Ngada.
Kabupaten Ngada adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang terletak di bagian tengah Pulau Flores. Mata
pencaharian utama penduduk daerah Ngada adalah dengan bertani dan
beternak. Dalam menjalankan aktivitas dan usaha pertanian di Kabupaten
Ngada tidak terlepas dari ritual budaya yang dianut oleh masyarakat sejak
zaman dahulu kala. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta mobilisasi global, menyebabkan makna ritual pertanian
mulai ditinggalkan dan kurangnya partisipasi untuk terlibat aktif dalam ritual-
ritual adat khususnya di kalangan anak muda yang merupakan generasi
penerus bangsa.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis menyusun
makalah yang berjudul “ Budaya Pertanian Masyarakat Ngada”.

1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui perubahan yang terjadi dalam budaya Pertanian dan
peternakan di kabupaten Ngada
2. Mengetahui ritual- ritual adat yang digunakan dalam panca usaha tani

BAB II

ISI
2.1 Deskripsi Wilayah

Secara geografis kabupaten Ngada terletak pada koordinat 120o,45o


dan 8o – 9o LS, bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, Bagian selatan
berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Timur dengan Kabupaten Nagekeo dan
bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai.
Keadaan topografi persebaran Budaya Ngadha pada umumnya berada
pada bagian selatan Kabupaten Ngada Secara garis besar persebaran Budaya
Ngadha berada pada dataran rendah yang curam dengan kemiringan rata-rata
0-60% menurun dari arah utara ke selatan dan Timur ke Barat.
Pada persebaran Budaya Ngadha tergolong beriklim tropis dan
sebagian besarnya terdiri dari padang rumput. Pada areal hutan yang ada
ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan lain
sebagainya.
Keadaan iklim pada teritorial Budaya Ngadha menurut Schmidt dan
Ferguson adalah iklim tipe E, yaitu dengan enam bulan basah dari November
sampai April, dan enam bulan kering dari bulan Mei sampai Oktober.
Berdasarkan catatan stasiun pengamat daerah ini, diketahui volume curah
hujan rata-rata 169,27 mm per tahun. Temperatur uadaranya bervariasi
mengikuti keadaan morphologi yaitu di dataran tinggi rata- rata lebih rendah,
dan di dataran rendah rata-rata lebih tinggi.
Kabupaten Ngada memiliki Flora dan Fauna yang bervariasi,
panorama yang indah, dan adat istiadat yang unik merupakan obyek wisata
yang dapat dinikmati.
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa masing-masing
kesatuan adat istiadat di Bajawa (Ngada) mempunyai pranata ekonomi yang
berbeda satu dengan yang lainnya antara lain:
1. Masyarakat di Kecamatan So’a merupakan pendukung kebudayaan
parawitu (kebudayaan berburu).
2. Masyarakat di bajawa khususnya Naru, Watujaji, Mangulewa, Aimere,
Bou-bou, Boripo, Nua lima zua, Langa merupakan pendukung kebudayaan
Reba (kebudayaan tahun baru dan panen).
3. Pendukung kebudayaan bertani dalam arti luas ialah pendukung
Ngadhu/Peo, yang terjadi pada sebagian adat Bajawa (Ngada) dan
Kecamatan Riung.

2.2 Perubahan Budaya Pertanian Di Daerah Ngada Dan Perubahan Budaya


Memelihara Ternak

Masyarakat Bajawa memandang bertani dan beternak sebagai suatu


keharusan dan sumber kehidupan yang pertama dan utama. Ini terungkap
dalam bahasa adat: ’Bugu kungu, uri logo’ (kuku tumpul dan punggung
terbelah: makan dari hasil kerja keras mengolah tanah). ’Tuza mula, wesi peni’
(harus menanam dan beternak).

Secara geografi, hampir sebagian besar wilayah atau daerah


Kabupaten Ngada sangat cocok untuk bercocok tanam. Keadaan inilah yang
membuat sebagian besar penduduk Ngada adalah petani. Pilihan menjadi
menjadi petani oleh mayoritas masyarakat Ngada, selain dilatarbelakangi oleh
alasan geografis daerah tempat tinggal, juga disebabkan oleh karena belum
adanya alternatif lain untuk dijadikan sebagai mata pencaharian hidup.
Keputusan untuk mengolah lahan dilakukan untuk melanjutkan warisan orang
tua yang sebelumnya bermatapencaharian sebagai petani. Selain itu faktor
sulitnya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi juga turut
melatarbelakangi keputusan tersebut.

Sebagai petani tradisional yang bergantung pada iklim dan musim,


ada banyak nilai-nilai kehidupan dan kebersamaan yang kemudian menjadi
adat, kebiasaan, atau tradisi turun-temurun. Termasuk di dalamnya adalah
rangkaian upacara adat yang menyertai semua proses pertanian mulai dari
menyiapkan lahan sampai panen. Salah satu nilai kebersamaan yang
diwariskan secara turun-temurun adalah semangat gotong-royong.

Dalam sistem pertanian tradisional masyarakat Ngada, khususnya


suku Bajawa, secara turun-temurun telah hidup dan berkembang sebuah
semangat gotong-royong yang disebut dengan istilah setempat “ RAU-ZO”.
Rau artinya membersihkan rumput liar dari antara tanaman. Rau juga berarti
mencangkul ladang atau lahan garapan. Zo artinya bergantian, bergiliran atau
bersama-sama. Rau-Zo artinya bekerja bersama-sama secara bergiliran. Rau-
Zo adalah upaya membentuk kelompok-kelompok petani untuk tujuan
mempermudah dan mempercepat pengerjaan lahan. Tujuan hidup yang satu
dan sama telah menggerakkan mereka untuk berpartisipasi, bekerja sama dan
solidaritas. Hidup yang lebih baik dan sejahtera menuntut tanggungjawab dari
setiap individu dalam masyarakat Rau-Zo untuk bersama-sama juga
menghadapi tantangan dan hambatan. Entah itu berupa gagal panen maupun
karena serangan hama. Bentuk kerjasama ini telah ada sejak zaman leluhur
dan dipraktikkan secara turun-menurun dari generasi ke generasi.

Dalam tataran konsep diatas, kelompok Rau-Zo adalah sebuah


komunitas individu-individu yang didasarkan pada rasa senasib dan
sepenanggungan untuk tujuan hidup bersama yang lebih baik. Rau-Zo
melukiskan sebuah persekutuan atau kelompok masyarakat yang memiliki
satu tujuan yang sama. Untuk mencapainya harus tidak berjuang sendiri, ada
keterbukaan untuk menerima sesamanya.

Seiring dengan perjalanan waktu, tujuan Rau-Zo dewasa ini


kemudian berkembang sebagai wadah untuk mencari dana atau
mempermudah mendapat dana atau bantuan dari pemerintah maupun dari
pihak swasta. Banyak nilai-nilai kehidupan yang disebut dengan kearifan
lokal yang hidup di dalam masyarakat tradisional telah terancam punah
karena dikikis oleh mentalitas individualisme ekstrim dari masyarakat
modern, termasuk Rau Zo yang saat ini telah bergeser menjadi aktivitas
membantu dengan standar upah harian yang layak bagi yang membantunya.

2.2 Ritual Adat dalam Panca Usaha Tani di Kabupaten Ngada

Dalam aktivitas pertanian dikenal lima panca usaha tani yang terdiri dari
persiapan lahan, persiapa benih atau bibit, penanaman, pemeliharaan dan
panen. Pada setiap daerah, umumnya dalam melaksanakan aktivitas pertanian
tersebut diikuti dengan adanya ritual kebudayaan. Begitupula dengan
kebiasaan dan adat istiadat di Ngada. Ritual adat yang sering dilaksanakan
dalam aktivitas pertanian adalah persiapan lahan dan upacara syukuran panen.

a. Ritual Persiapan Lahan

Secara tradisional pola bercocok tanam sejak dahulu berkebudayaan


“kea kala” (tebas bakar), yang di tandai dengan menebas hutan dengan
pohon-pohon besar yang rindang dan tinggi. Pekerjaan lebih mudah karena
rumput yang tumbuh dibawahnya lembab dan mudah dibersihkan. Dalam
mencari lahan yang lebih subur, masyarakat Bajawa mengenal ungkapan “gae
semu nu oe lina”. Secara tradisional untuk memilih tempat yang cocok untuk
berladang memiliki serangkaian acara dengan mengorbankan darah hewan.
Hal ini karena membuka hutan baru,menebang pohon-pohon perlu mendapat
ijin dari penguasa hutan.

Ritus upacara pertanian di dahului oleh satu acara memohon


datangnya hujan yaitu ‘‘Enga ae uza”, kemudian di acara “Ghoro nio” ( tarik
kelapa ) dan “Kela nio” (belah kelapa) untuk memberi makan bumi,membuat
dingin tanah, disusul dengan acara “Bu siu” (mengikuti suara burung),upacara
ini bertujuan untuk membutakan mata burung supaya tidak melihat biji-bijian
yang di tanam.

Semua pekerjaan pertanian dapat dilakukan bergotong-


royong,waktu bekerja kebun baik sebelum sampai dengan sesudah
menanam,rangkaian pekerjaan dilakukan dengan gotong-royong mengenal
istilah “kabho tawo ne’e sozo wozo” (kerja sama dalam penggarapan tani).

b. Ritual Panen
 Moni uma/Doko uma/Anakola:
Acara perayaan ladang sesudah panen,hasil diikat dalam simpul-
simpul dan di masukan dalam lumbung.
 Upacara Reba
Reba adalah syukuran yang dilakukan pada awal tahun sebagai bentuk
ucapan syukur atas hasil panen yang diterima sekaligus memohon
berkat Tuhan melalui arwah leluhur agar pada aktivitas pertanian
berikutnya tanaman dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen
berlimpah. Upacara reba terdiri dari 3 rangkaian upacara yang yaitu “
Paki Sobhi”, “ Rebha” dan “tege kaju”
1. Paki Sobhi

Upacara ini merupakan Salah satu perayaan awal Upacara


Adat Reba. Paki sobhi merupakan pembuatan sisir dari bambu
yang digunakan sebagai kalender adat yang dilakukan pada hari
pertama, awal perayaan reba sebelum kobe dheke.

Sobhi dibuat dari bantang bambu aur sepanjang 20 cm di


buat bentuk jari-jari atau urat sisir sebanyak 13 jari atau urat.
Dengan hitungan tiap bulan baru muncul di bagian barat, satiap jari
atau urat dipatahkan begitu seterusnya. Ketika tinggal satu jari atau
sisir ke 13 itu berarti waktu untuk melaksanan upacara reba.
Sebelum acara reba ada satu tahapan adat namanya soka soka uwi
artinya seluruh pujaan tentang tanaman uwi-uwi hawut pertandanya
reba. Syair soka uwi sebagai berikut:
O uwi e…..
O uwi e…..
Ulu mena kutu ko’e koe dhano ana ko’e
(ketimur babi landak gali meski di gali tetap masih ada)
Ulu zele hui moki moki dhano bhai moli
(kebarat babi hutan sungkur, meski sungkur juga takaan habis )
O uwi e…..
O uwi e......

Makna bebas: "uwi" adalah tanaman simbol sumber


kehidupan yang tak kan bisa punah meski dikonsumsi oleh hewan
dan manusia.
Setelah tahapan Upacara Adat Paki Sobhi dlakukan maka
Upacara adat "Rebha dan Tege kaju" dapat dilaksankan.
2. Rebha
Rebha adalah salah satu upacara persiapan reba yang
dilaksanakan pada pagi hari pertama sebelum kobe dheke. Upacara
rebha dilaksanaan pada pagi hari di kebun atau diladang sebelum
upacara persiapan berikunya yaitu tege kaju lasa. Rebha
dilaksanakan untuk memohon berkat Tuhan melalui arwah leluhur
agar tujuan tanaman (ngaza lima zua) tumbuh subur dan
menghasilkan panen berlimpa. Tanama-tanaman tersebut adalah
pare (padi), ha‟e (jagung), hae lewa (jagung solor), wete (jewawut)
dan hobho (kacang-kacangan) tanaman ini di tanam didalam kebun
atau ladang.
Proses upacara rebha sebagai berikut ; Beberapa orang dari
masing-masing suku /warga rumah adat berangkat dari sa’o (rumah
adat) menuju kebun membawa serta parang, pisau, seekor ayam
kecil, satu buah kelapa muda yang masi kecil (nio boko) dan nasi.
Di kebun mereka langsung menuju ke sebuah tempat didalam
kebun yang bernama mata tewi , mata tewi merupakan sebuah
tempat yang berukuran kira-kira 2x2 m.

Tempat “persemayan uwi” , pada keempat sudut kebun itu


ditanami ubi, sedangkan di tengahnya tanam tanaman yang lien,
sebelum melakukan penanaman bibit ubi seorang yang lebih tua
mengucapkan semacam "manra zi’a ura manu" untuk menyatakan
ujud pelaksanaan upacara tersebut Syair zia ura manu :

Zi’a ura manu dia


Dia kami da rebha uma
Raba go ngaza lima zua wi lowa
Dia kami nge nuka reba
Manu kau ura zia
Bhoko se wolo jali jo
Da lewa noze nea
Kiki kaba ne’e we’a
Pedhu kau bodha wela olo

Artinya :

Semoga dengan upacara pemotongan ayam untuk rebha ini kami


akan merebha kebun agar tanaman yang di tanam bertumbuh subur
kami persembahkan darah ayam ini bagi keselamatan perayaan reba
di kampung (ayam semoga urat, empedumu menunjukan tanda baik
tanam terbaris rapih yang tinggi dipangkas sehinggah subur
dapat menghasilkan kerbau dengan emassemoga penyakit tersingkir
jauh)

Setelah zi’a ura manu lalu ayam di potong dan di bakar


dibelah untuk melihat isi perutnya, dan si pengucap mantra tadi
harus melihat kondisi urat hati, empedunya.melalui pengamatan
kondisi urat hati, dan empedu ayam akan tanpak petunjuk-petunjuk
tertentu seperti akan terjadi kelaparan, tanaman tumbuh subur atau
berhasil,dan lain-lain.

Setelah itu darah ayam dioleskan batu lanu dan daun-


daun tanaman tadi yang dipetik dan diikat menjadi satu, kemudian
salah seorang membakara ayam tadi dan yang lainya berjalan
keliling kebun untuk rebha daun tanaman tadi dioleskan dengan
darah ayam di celupkan kedalam buah kelapa muda setelah di
lubangi bagian matanya, kemudian mereka berjalan keliling kebun
memercik tanaman di seluruh kebun sambil beteriak lowa-lowa-lowa
(lowa accrtinya bertumbuh terus) terakhir kelapa muda tadi di
telingkupkan pada salah satu kayun patok teras kebun za’i/ulu
kemudian mereka makan nasi serta daging ayam yang dibakar.

Seebelum dimakan mereka harus memberikan sesajean kuwi


bagi leluhur berupa nasi dan hati ayam. pada waktu kuwi
/memberikan sesajian harus diucapkan mantra berikut :

Dia ine ema ebu kajo


Kami da puju kuwi
Ka papa fara inu papa pinu
Kami nenga raba go buku reba
Dhegha go buku ngata sili anan wunga

Artinya:

Ini para leluhur nenek moyang

Kami memberimu sesajen

Makanlah bersama ,minumlah bergilir

Kami akan merayakan adat budaya reba

Mengenang adat budaya sili ana wunga

3. Tege Kaju

Setelah upacara rebha dikebun, sore harinya ada upacara


teg’e kaju secara harafiah tege kaju artinya masukan kayu (kayu
api) kedalam sa’o (rumah adat) kayu api ini sudah dipotong dan
dikeringkan kurang lebih satu bulan menjelang reba kayu-kayu itu
dikumpulkan dipadha sa’o yaitu jenjang pertama sa’o, sa’o memiliki
tiga jenjang lantai yaitu pertama padha, kedua teda dan jenjang
ketiga one
Pelaksanaan upacara tege kaju harus dimulai dari rumah
adat. Kayu dimasukan ke on’e sa’o dan diletakan di atas para-para
(ke’e) yang berjarak kurang lebih 1,5 meter diatas tungkuh api
didalam rumah adat. Kayu api tersebut disiapkan untuk dipakai
selama upacara reba, Jenis kayunya harus kayu isi supaya bara api
tetap ada, sebab selama perayaan reba masing-masing rumah tidak
boleh meminta api dari rumah lain, dan selama perayaan reba tidak
boleh ada yang ke kebun sebab panenannya bisa gagal.
Yang dimaksud paling pertama ialah kaju lasa yaitu kayu
reba yang belum kering betul. Kaju lasa ini ada 12 batang diletakan
tersendiri paling bawah yaitu bagian bawa para-para. Kayu –kayu
lain dimasukan kemudian, disusun menumpuk ke atas. Bila masa
pesta reba telah selesai namum kayu-kayu tersebut masih ada maka
kayu tersebut boleh digunakan untuk masak. Sedangkan kaju lasa
tidak dibolehkan dipakai namun tetap disimpan sampai waktu
perayaan reba tahun berikutnya. Posisi kayu dimasukan ke dalam
sa’o adalah bagian pangkal duluan .
Filsafatnya olo pu’u dhra olo lobo tupu tapa. Secara
harafiah artinya kalau duluan pangkal lancer, kalau duluan pucuk
akan tertahan ranting atau cabang. maka simbolisnya : segala urusan
harus dimulai dari bawa atau dasar kalau dimulai dari atas akan
tertahan atau terhalang. Teknik masukan kayu seseorang berdiri di
padha sa’o mengambil kayu satu paersatu diberikan kepada
seseorang lain yang berdiri di teda lalu diteruskan kepada seorang
lainya yang sudah berdiri didalam sa’o dan menyusun keatas para-
para. Sesudah kayu dimasukan semua dilanjutkan dengan upacara
pemotonngan ayam didalam sa’o untuk mengesahkan upacara tege
kaju tersebut. Sebelum ayam dipotong, salah seorang pemangku adat
dari sa’o tersebut mengucapkan mantra zia ura manu untuk
pengesahan upacara tege kaju selanjutnya saluruh warga sao (ana
sa’o) besama-sama makan minum perjamuan tege kaju tersebut
intinya adalah makan ber sama. Masalahnya bukan banyak
sedikitnya makanan tetapi seperti filsafat "ka papa fara inu papa
resi" yang artinya "makan bersama dari satu wadah, minum
bergilir dari satu cangkir".

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Budaya pertanian di daerah masing-masing memiliki ciri khas dan
keunikan tersendiri. Pada umumya tradisi budaya pertanian di kabupaten
ngada menerapkan prinsip gotong royong. Untuk mencapainya harus tidak
berjuang sendiri, ada keterbukaan untuk menerima sesamanya. Banyak nilai-
nilai kehidupan yang disebut dengan kearifan lokal yang hidup di dalam
masyarakat tradisional kita terancam punah karena dikikis oleh mentalitas
individualisme ekstrim dari masyarakat modern, termasuk Rau Zo yang saat
ini telah bergeser menjadi aktivitas membantu dengan standar upah harian
yang layak bagi yang membantunya.

Ritual adat terkait panca usaha tani di Kabupaten Ngada terdiri dari
Ritual persiapan lahan dan Ritual Panen.

Anda mungkin juga menyukai