Anda di halaman 1dari 18

RIWAYAT SIBAWAIHI “AL KITAB KITAB SIBAWAIHI”

MUSNAD dan MUSNAD ILAIH “AL KITAB KITAB SIBAWAIHI”

AL LUGHAH AL ‘ARABIYAH WA ULUMUHA “JAMI’ AL


DURUS AL ARABIYAH”

Pendahuluan ini menggunakan lima pembahasan, yaitu

1. Bahasa Arab dan Ilmu ilmunya

Bahasa adalah lafadz yang digunakan oleh setiap kaum dalam


menyampaikan maksud mereka. Bahasa itu banyak. Dan dia berbeda dari segi
lafadznya yaitu menyatu dari segi makna, artinya bahwasanya makna yang satu
yang melibatkan kata ganti orang itu satu. Akan tetapi setiap kaum
mengungkapkannya dengan satu lafadz bukan dengan lafdz yang digunakan oleh
kaum lain.

Bahasa Arab adalah kata kata yang diungkapkan dengan bahasa tersebut
oleh bangsa Arab untuk menyampaikan maksud mereka. Dan sungguh telah
sampai kepada kita dengan cara penukilan. dan bahasa arab itu terpelihara untuk
kita oleh al Qur’an dan karangan baik prosa maupun puisi yang diriwayatkan
oleh orang orang yang terpercaya.

Ilmu ilmu bahasa Arab

Ketika para ahli bahasa Arab merasa khawatir akan tersia sianya ilmu
bahasa Arab setelah terjadinya percampuran mereka dengan orang orang selain
Arab, maka mereka membukukan dalam sebuah kamus dan mengembalikan
kepada aslinya yang dapat memelihara dari kesalahan. Dan asal ini dinamakan
dengan ilmu ilmu bahasa Arab.

1
Maka ilmu bahasa Arab adalah ilmu ilmu yang dengan ilmu tersebut akan
tercapai kepada terpeliharanya lisan dan tulisan dari kesalahan kesalahan. Dan
dia terdiri dari 13 ilmu, yaitu ilmu sharf, ilmu i’rab (ilmu sharf dan ilmu i’rab
juga dinamakan ilmu nahwu), ilmu rasam, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badhi’,
ilmu ‘arudh, ilmu qawafi, ilmu menyusun syi’ir, ilmu insya’, ilmu khitabah, dan
ilmu tarikh adab, serta ilmu matan lughah.

Dan ilmu yang terpenting dari ilmu ilmu tersebut adalah ilmu sharf dan
ilmu i’rab.

Ilmu Sharaf dan I’rab

Untuk kata bahasa Arab ada dua keadaan yaitu keadaan sendiri dan
keadaan tarakib (tersusun dalam kalimat).

Maka pembahasan tentang keadaan pertama yaitu keadaan ketika ia


berdiri sendiri yaitu kata kata yang terjadi atas wazan yang khusus dan
keadaan yang khusus pula dan dia merupakan pembahasan dari ilmu sharaf.

Pembahasan tentang keadaan kedua yaitu kata bahasa arab ketika ia


dalam keadaan tersusun dalam kalimat, dimana bunyi akhir dari kata kata
Arab itu sesuai dengan teori orang Arab didalam perkataan mereka, yang
terdiri dari rafa’, nasab, jar, jazam atau tetap pada satu keadaan tanpa
mengalami perubahan i’rab, dan ini merupakan pembahasan dari ilmu i’rab.

Maka ilmu Sharaf adalah ilmu dengan asal usul dapat mengetahui
dengan ilmu tersebut tentang sighat kata (bentuk bentuk kata) bahasa Arab
atau keadaannya yang bukan dengan i’rab dan bukan bina’.

Maka dia adalah ilmu yang membahas tentang perkataan dari sisi
tasrif, i’lal, idgham, ibdal dan dengan ilmu sharaf kita dapat mengetahui apa
apa yang wajib ada dalam bentuk suatu kata sebelum kata tersebut tersusun
dalam kalimat.

2
Adapun ruang lingkup dari ilmu sharaf adalah isim yang mutamakkin
(artinya isim yang dapat dii’rab), dan fi’il yang mutasharif (kata kerja yang
dapat ditasrifkan). Maka ilmu sharaf tidak membahas tentang isim isim yang
mabni, fi’il fi’il jamid, dan huruf.

Sungguh terjadi pada masa dahulu bahwasanya ilmu sharaf merupakan


bagian dari ilmu nahwu. dan dikenal dengan ilmu nahwu karena ilmu nahwu
yaitu ilmu yang mengetahui keadaan keadaan kata kata Arab ketika berdiri
sendiri dan ketika berada dalam susunan kalimat.

Ilmu sharaf adalah termasuk ilmu yang paling terpenting dari ilmu
ilmu bahasa Arab. Karena didalam ilmu sharaf terdapat pegangan didalam
menetapkan bentuk bentuk kata, dan mengetahui bentuk perubahannya, dan
menisbatkan kepadanya, mengetahui jamak qiyasi, sama’i dan penyimpangan
dan mengetahui lafal yang sunyi dari i’lal atau idgham atau ibdal, dan selain
itu dari asal usul yang diwajibkan untuk diketahui bagi setiap sastrawan dan
orang orang yang alim, karena takut terjerumus kedalam kesalahan kesalahan
yang mana sebagian besar mereka berada dalam posisi tersebut, orang yang
tidak mendapatkan untuk mereka bagian dari ilmu yang agung dan bermanfaat
ini.

Adapun i’rab ( yaitu yang kita kenal sekarang ini dengan ilmu nahwu)
ilmu dengan asal usul dapat mengetahui keadaan keadaan kata kata bahasa
Arab dari segi i’rab dan bina. Artinya dari segi apa yang dihadapinya dalam
keadaan kata kata itu disusun. Didalamnya kita dapat mengetahui apa yang
diwajibkan terjadi pada harkat akhir suatu kata dari segi rafa’, nasab, jar,
jazam atau tetap saja pada suatu keadaan setelah kata tersebut tersusun
didalam satu kalimat.

Dan mengetahui ilmu nahwu adalah suatu kepastian bagi setiap orang
yang ingin betul dalam menulis, berpidato, dan mempelajari sastra arab.

3
2. Kata dan pembahagiannya

Kata adalah lafadz yang menunjukkan atas makna yang satu. Kata terdiri
dari tiga pembagian yaitu isim, fi’il dan hurf.

Isim

Isim adalah suatu kata yang menunjukkan arti pada dirinya tanpa
disertai oleh waktu, seperti Khalid, kuda, burung, desa, gandum, air.

Adapun tanda isim adalah diperbolehkannya ikhbar


(memberitakannya), seperti huruf ta dari kalimat katabtu artinya saya telah
menulis, alif dari kalimat katabaa artinya mereka berdua laki laki telah
menulis, dan huruf waw pada kalimat katabuu yang artinya mereka laki laki
telah menulis, atau menerima alif lam seperti pada kata al rijal artinya laki
laki, atau tanwin seperti pada kata farasun artinya kuda, atau huruf nida
(panggilan) seperti pada kata ‫ يا أيها الناس‬yang artinya wahai manusia, atau
huruf jar, seperti pada kata ‫ اعتمد على من تثق به‬artinya berpeganglah kepada
orang yang kamu percayai.

Tanwin
Tanwin adalah huruf nun mati yang tambahan, yang bertemu akhiran
isim dilihat dari bentuk lafadz, dan terpisah dari segi tulisan dan tempatnya
dan dia terbagi kepada tiga macam yaitu
Yang pertama, tanwin tamkin adalah tanwin yang bertemu dengan
isim yang dapat dii’rab dan diberi tanwin, seperti pada kata ‫ الرجل و كتاب‬dan
demikian itu dinamakan juga dengan tanwin sharaf.
Yang kedua, tanwin tangkir adalah tanwin yang bertemu dengan
sebahagian isim yang mabni, seperti pada kata isim fi’il dan isim alam yang
diakhiri dengan ‫ ويه‬sebagai pembeda antara isim ma’rifah dengan isim nakirah
diantara keduanya. Maka kata yang harkatnya tanwin merupakan nakirah. Dan
kata yang tidak berharkat tanwin merupakan ma’rifah. Contohnya diamlah

4
kamu !, diamlah!, berhentilah kamu!, berhenti!, tambahlah!, tambahlah
kamu!. Dan contoh: aku telah melewati sibawaihi itu dan aku melewati
sibawaihi yang lain, artinya laki laki (ar rijal) : lain dinamakan dengan ini
isim.
Maka kata yang pertama adalah ma’rifah dan yang lain nakirah karna
terdapat tanwinnya : dan apabila kamu mengucapkan “diamlah kamu!” maka
sesungguhnya kamu menuntut kepada lawan bicaramu untuk diam tentang
apa yang dibicarakan. Dan apabila kamu mengatakan “tambahlah!” maka
sesungguhnya kamu menuntut kawan lawan bicaramu untuk bercerita lagi apa
yang telah ia ceritakan kepadamu. Adapun jika kamu katakana “shahin,
mahim, iihin” dengan tanwin, maka sesungguhnya yang kamu menuntut
darinya diam tentang setiap pembicaraan : dan berhenti tentang setia sesuatu,
dan penambahan dari cerita artinya ceritanya.
Yang ketiga, tanwin ‘iwadh adalah ada kalanya sebagai pengganti isim
mufrad yaitu tanwin yang bertemu dengan lafal kalan, ba’dan, ayyan sebagai
pengganti lafal yang diidhofatkan kepadanya, contoh “setiap akan mati”
artinya setiap manusia. Dan darinya firman Allah SWT : dan kepada masing
masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (syurga), dan firmaNya :
rasul rasul itu kami lebihkan sebahagian (dari) mereka atas sebahagian yang
lain, dan firmanNya yang lain: dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaul husna (nama nama yang terbaik).
Ada kalanya tanwin itu sebagai pengganti dari kalimat, yaitu tanwin
yang bertemu dengan idz sebagai pengganti dari jumlah yang terdapat
sesudahnya, seperti firman Allah SWT : maka ketika nyawa sampai
kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat. Artinya ketika ruh itu sampai
ditenggorokan.
Ada kalanya tanwin itu sebagai pengganti hurf, yaitu tanwin yang
bertemu dengan isim manqushah yang bukan dari mutasarif, dalam keadaan
rafa’ dan jar, sebagai pengganti dari huruf akhir isim tersebut yang dibuang,
seperti jawarin (budak budak perempuan), ghawasyin (kain kain penutup),

5
‘awadin (hal hal yang memalingkan), a’aymin (bentuk tashghir a’mi), dan
rajin (mengetahui perempuan) dan lain lain dari setiap isim yang manqushah
yang bukan dari mutasarif. Maka tanwinnya bukan tanwin mutasarif seperti
tanwin isim yang munsharifah. Karnanya isim tersebut terlarang dari padanya
tanwin, dan sesungguhnya tanwin adalah pengganti dari pada ya yang
dibuang. Asalnya adalah ‫ جواري وغواشي وعوادي واعمي وراجي‬.
Adapun dalam keadaan nasab diinginkan huruf ya dan menashabkan
dengan bukan tanwin. Contohnya
Fi’il
Fi’il adalah kata yang menunjukkan arti pada dirinya yang bersamaan
dengan waktu. Contohnya dia telah datang, dia akan datang, dia didatangkan.
Tanda tanda fi’il adalah dapat menerima ‫( قد‬kadang kadang atau
sungguh), ‫( السين‬akan atau segera), ‫( سوف‬akan), ‫( تاء التأنيث الساكنة‬huruf ta yang
mati menunjukkan arti perempuan), ‫( ضمير الفاعل‬kata ganti subjek) dan ‫نون‬
‫( التوكيد‬huruf nun yang berfungsi sebagai taukid). Contohnya sungguh dia telah
berdiri, kadang kadang dia datang, kamu akan pergi, segera kita akan pergi,
dia perempuan telah berdiri, aku telah berdiri, kamu telah berdiri, sungguh
agar dia menulis, sungguh agar dia menulis, tulislah, tulislah.
Huruf

Huruf adalah kata yang menunjukkan arti selain huruf itu. Contohnya
‫( هل‬apakah), ‫( في‬pada, dalam, di), ‫( لم‬tidak), ‫( على‬atas), ‫( ان‬sesungguhnya) dan
‫( من‬dari). Tidak ada tanda yang khusus bagi huruf yang membedakannya,
sebagaimana tanda tanda yang terdapat pada isim dan fi’il.

Hurf terbagi kepada 3 yaitu huruf mukhtash dengan isim seperti


huruf jar, huruf yang menasabkan isim dan merafa’kan khabar, dan huruf
musytarak antara isim dan fi’il seperti huruf ‘athaf dan huruf istifham.

3. Al Murakabah (susunan kalimat), macam macamnya dan i’rabnya

6
Al murakabah adalah perkataan penulis yang terdiri dari dua kata atau
lebih karena adanya faedah, baik faedah yang sempurna contohnya keselamatan
itu terletak dalam kejujuran, atau kurang sempurna contohnya cahaya matahari,
peri kemanusiaan yang utama, jika kamu merapikan amal perbuatanmu.

Al Murakab terdiri dari enam macam yaitu tarkib isnadiy, tarkib idhafiy,
tarkib bayaniy, tarkib ‘athafiy, tarkib majaziy, dan tarkib ‘adadiy

(1) Al Murakab Isnadiy atau Jumlah

Tarkib isnadi adalah hokum dengan sesuatu atas sesuatu, seperti


hokum atas diri zuhair dengan rajin dalam ucapanmu : zauhair adalah orang
yang rajin.

Sesuatu untuk menghukum namanya musnad. Sesuatu yang dihukumi


namanya musnad ilaih.

Maka musnad adalah sesuatu yang dengannya kamu menghukumi atas


sesuatu. Musnad ilaih adalah sesuatu yang kamu menghukumi atasnya dengan
sesuatu. Murakab isnadi (dinamakan juga dengan jumlah atau kalimat) yaitu
kalimat yang tersusun dari musnad dan musnad ilaih. Seperti “kesantunan itu
perhiasan”, “beruntunglah orang yang bersungguh sungguh”. Maka lafal
“kesantunan” musnad ilaih, karena kamu menyandarkan kepadanya lafal
“perhiasan”. Lafal “perhiasan” musnad karena kamu mengisnadkannya
kepada “kesantunan” dan menghukumi dengan lafal “perhiasan”. Dan
sungguh kamu mengisnadkan lafadz “beruntunglah” adalah musnad, dan
“orang yang bersungguh sungguh” adalah musnad ilaih.

Musnad ilaih adalah fa’il, na’ibul fa’il, mubtada’, isim fi’il naqis, isim
uhruf yang beramal laisa dan isim ina dan saudara saudaranya serta isim la
naqis liljinsi.

7
Maka fai’il contohnya telah datang kebenaran dan telah binasa
kebathilan. Contoh naibul fail : disiksa orang orang yang berbuat maksiat, dan
diberi pahala orang orang yang taat. Contoh mubtada’ : kesabaran merupakan
kunci kesuksesan.

AL MA’LUM WA MAJHUL “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

Fi’il jika ditinjau dari segi failnya terbagi kepada fi’il ma’lum dan majhul.

Maka fi’il ma’lum adalah fi’il yang disebutkan fa’ilnya dalam kalam
(perkataan), contohnya khalifah al manshur membuat bagdad sebagai kota besar.

Apabila berhubungan dengan fi’il madhi mujarad sebagai ma’lum –yang


sebelum akhirnya alif- dhomir rafa’ yang berharkat, maka apabila ia berasal dari bab
‫ فعل يفعل‬contohnya ‫( سام يسوم‬menawar/ membebani), ‫( رام يروم‬berkehendak), ‫قاد يقود‬
(memimpin). Huruf awalnya dhommah contohnya ‫( صمته األمر‬saya membebankan
urusan kepadanya), ‫( مرمت الخير‬saya bermaksud pada kebaikan), ‫( قدت الجيش‬saya
memimpin tentara itu).

Apabila ia berasal dari bab ‫ فعل يف ِعل‬contohnya ‫( باع يبيع‬menjual), ‫جاء يجيء‬
(datang), ‫( ضام يضيم‬memaksa). Atau dari bab ‫ فعل يفعل‬contohnya ‫( نال ينال‬memperoleh),
‫( خاف يخاف‬takut). Huruf kasrah diawalnya contohnya ‫( بعته‬saya menjualnya), ‫( جئته‬saya
mendatanginya), ‫( ضمت الخائن‬saya paksa orang yang berkhianat itu), ‫( نلت الخير‬saya
memperoleh kebaikan), ‫( خفت هللا‬saya takut kepada Allah).

Fi’il majhul adalah fi’il yang tidak disebutkan fa’ilnya dalam kalam akan
tetapi failnya itu dihilangkan karena satu tujuan dari berbagai tujuan berikut ini :
karena ijaz, karena kepercayaan atas kecerdasan pendengar, karena keilmuan
pendengar, karena failnya sudah dimaklumi, karena kehawatiran bagi fa’il jika
disebutkan, karena kehawatiran dari fa’ilnya, adakalanya sebagai penghinaan bagi
fa’il maka lisanmu saying untuk menyebutnya, adakalanya untuk memuliakan fa’il

8
sehingga kamu saying untuk menyebutkannya, jika ia mengerjakan perbuatan semisal
yang tidak patut untuk orang seperti dia, dan adakalanya untuk menyamarkan
terhadap pendengar.

Dan setelah dihilangkan fa’ilnya diganti dengan maf’ulun bih sharih sebagai
fa’il contohnya “orang yang rajin itu dimuliakan”, atau maf’ulun bih ghairu sharih
contohnya “berbuat baiklah, maka kepadamu akan diperbuat baiki”, atau zharaf
contohnya “rumah itu ditempati” dan “dijagai malam itu”, atau masdhar contohnya
“perjalanan jauh itu ditempuh”.

Fi’il mabni lil majhul tidak dibuat kecuali dari fi’il muta’adi dengan dirinya
sendiri, contohnya ”orang yang rajin itu dimuliakan” atau fi’il muta’adi yang
disebabkan karena yang lain contohnya “orang yang lemah disayangi”.

Kadang kadang bina majhul terjadi dari fi’il lazim, apabila naibul fai’ilnya
berupa masdhar, contohnya “dijagailah jaga yang lama”, atau berupa zharaf
contohnya ramadhan itu dipuasai.

Membentuk Ma’lum menjadi Majhul

Ketika dihilangkan failnya dari kalimat maka wajib untuk mengganti bentuk
fi’il ma’lum. Apabila fi’il ma’lumnya berupa fi’il madhi maka dikasrahkan huruf
sebelum akhir dan didhommahkan setiap harkat sebelumnya, seperti pada kata ‫كسر‬
(pecah), ‫( أكرم‬memuliakan), ‫( تعلم‬belajar), ‫( استغفر‬mohon ampun) menjadi ‫كسِر‬
ِ (dimuliakan), ‫( تعلّم‬dipelajari), ‫( استغ ِفر‬dimohon ampun).
(dipecah), ‫اكرم‬

Apabila fi’il mudhari’ huruf awalnya dibaca dhommah, dan dibaca Fattah
sebelum akhirnya, maka dikatakan dalam lafal ‫( يكسِر‬pecah), ‫يكرم‬
ِ (memuliakan), ‫يتع ِلم‬
(belajar), ‫( يستغ ِفر‬mohon ampun) menjadi ‫سر‬
َ ‫( يك‬dipecah), ‫يكرم‬
َ (dimuliakan), ‫يتع َلم‬
(dipelajari), ‫( يستغفَر‬dimohon ampun).

Membentuk Fi’il Majhul terhadap Fi’il yang huruf sebelum akhirnya huruf illat

9
Apabila dikehendaki untuk membentuk fi’il madhi –yang sebelum akhirnya
alif-untuk fi’il majhul (apabila tidak berupa fi’il sudasi) diganti alifnya dengan “ya”,
dan sikasrahkan setiap huruf yang berharkat sebelumnya. Maka dikatakan pada lafal
‫( باع‬menjual) dan ‫( قال‬mengatakan) menjadi ‫( بِيع‬dijual) dan ‫( قِيل‬dikatakan) dan pada
lafal ‫( ابتاع‬menjual), ‫( اقتاد‬menuntun), ‫( اجتاح‬menjadi, membinasakan) menjadi ‫ابتِيع‬
(dijual), ‫( اق ِتيد‬dituntun), ‫( اج ِتيح‬dibinasakan) yang aslinya ‫( ب ِيع‬dijual), ‫( ق ِول‬dikatakan),
‫( ابتيع‬dijual), ‫( اقت ِود‬dituntun), ‫( اجت ِوح‬dibinasakan).

Apabila fi’ilnya terdiri dari enam huruf -contohnya ‫( استتاب‬minta untuk


taubat), ‫( استماح‬minta maaf)- diganti alifnya dengan “ya”, dan didhommahkan
hamzahnya serta huruf ketiganya, dan dikasrahkan huruf sebelum “ya”, maka
dikatakan ‫يب‬
َ ‫( است ِت‬diminta untuk taubat), ‫( است ِمي َح‬dimintai maaf).

Jika bertemu dengan contoh ‫( سيم‬dibebani), ‫( ريم‬dimaksud), ‫( قيد‬dipimpin), dari


setiap madhi majhul tsulasi ajwaf –dhomir rafa’ yang berharkat, jika huruf
pertamanya dibaca dhommah pada bentuk ma’lum contoh‫األمر‬ ‫( سمته‬saya
membebankan urusan kepadanya), ‫( رمت الخير‬saya bermaksud kebaikan), ‫قدت الجيش‬
(saya memimpin tentara) maka dikasrahkan pada majhul, agar penggunaan fi’il
ma’lum tidak serupa dengan majhul. Maka dikatakan ‫( ِسمت األمر‬saya dibebani urusan
itu), ‫( ِرمت الخير‬saya dituju kebaikan), ‫( ِقدت للقضاء‬saya dipimpin untuk memutuskan).

Apabila huruf pertama pada mabni ma’lumnya dikasrah –contohnya ‫بعته الفرس‬
(saya menjual kepadanya kuda), ‫( ضمته‬saya memaksanya), ‫( نلته بمعروف‬saya
memperolehnya dengan baik) maka didhommahkan pada fi’il majhul, maka
dikatakan ‫( بعت الفرس‬saya dijual akan kuda itu),‫( ضمت‬saya dipaksa), ‫( نلت بمعروف‬saya
diperoleh dengan baik).

Jika yang dikehendaki fi’il mudhari’ yang sebelum akhirnya huruf “mad” –
untuk fi’il majhul diganti huruf mad dengan alif, maka dikatakan ‫( يقول‬berkata), ‫يبيع‬
(menjual) menjadi ‫( يقال‬dikatakan), ‫( يباع‬dijual), dan pada lafal ‫( يستطيع‬mampu), ‫يستتيب‬
(mintak untuk taubat) menjadi ‫( يستطاع‬dimampui), ‫( يستتاب‬dimintak untuk taubat).

10
AL JAWAZIM “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

Fi’il Mudhari’ yang dibaca Majzum dan Huruf huruf Jazam

Fi’il mudhari’ dijazamkan apabila bertemu dengan salah satu huruf jazam.
Huruf jazam terbagi kepada dua macam yaitu huruf jazam yang menjazamkan satu
fi’il contohnya “jangan berputus asa dari rahmat Allah”, dan huruf jazam yang
menjazamkan dua fi’il sekaligus contohnya “bagaimanapun kamu mengerjakan, maka
kamu pula yang dimintai pertanggung jawaban”.

Jazamnya adakalanya terletak pada lafadzi (tampak jelas jazamnya) yaitu


ketika fi’ilnya mu’rab, sebagaimana yang terdapat didalam contoh, dan adakalanya
majzum secara kedudukannya atau posisinya seperti “sungguh jangan sibuk dengan
hal yang tidak bermanfaat”.

Huruf jazam yang menjazamkan satu fi’il

Huruf jazam yang menjazamkan satu fi’il terdapat empat macam huruf jazam yaitu :
‫( لم‬tidak), ‫( لما‬belum), ‫( الم األمر‬supaya), ‫( ال الناهية‬jangan).

‫( لم‬tidak) dan ‫( لما‬belum) adalah dua huruf yang dinamakan huruf nafi, jazam dan
qalbin, karena kedua huruf tersebut menafikan fi’il mudhari’, menjazamkan fi’il
mudhari’, dan menggantikan makna zaman dari hal (sekarang) atau istiqbal (akan
datang) kezaman madhi (masa lampau). Maka jika kamu katakan “aku tidak menulis”
atau “aku belum menulis”, maka maksud kalimat ini adalah tidak menulis sejak pada
masa lampau.

Perbedaan antara ‫( لم‬tidak) dan ‫( لما‬belum) terdapat empat bentuk yaitu

1. Bahwasanya ‫( لم‬tidak) berfaedah untuk menafikan secara mutlak, maka tidak


wajib secara terus menerus menafikannya sampai zaman hal atau sekarang, akan
tetapi boleh secara terus menerus contohnya firman Allah SWT “dia tidak

11
beranak dan tidak pula diperanakkan”, dan diperbolehkan tidak secara terus
menerus dan demikian itu adalah benar jika dikatakan “aku tidak mengerjakan
kemudian mengerjakan”.
Adapun ‫( لما‬belum) berfaedah untuk menafikan secara terus menerus seluruh
bagian zaman madhi sampai kepada zaman hal (sekarang), dan demikian itu
tidak benar jika dikatakan “aku tidak mengerjakan kemudian mengerjakan”,
karena makna dari perkataan “aku tidak mengerjakan” bahwasanya kamu tidak
mengerjakan sampai sekarang, dan kamu katakan “kemudian aku kerjakan”
mengurangi maksud dari ‫( لما‬belum). Oleh sebab itu ‫( لما‬belum) dinamakan
dengan huruf istigraq juga karna nafi dengannya menghilangkan zaman yang
lampau seluruhnya.
2. Bahwasanya yang dinafikan dengan ‫( لم‬tidak) tidak mengharapkan sesuatu yang
terjadi, sedangkan yang dinafikan dengan ‫( لما‬belum) mengharapkan sesuatu yang
terjadi, maka ketika dikatakan “saya tidak pergi” maka kepergian disini masih
bisa ditunggu tunggu.
3. Dibolehkan posisi ‫( لم‬tidak) sesudah adat syarat, contohnya “apabila kamu tidak
sungguh sungguh maka menyesal kamu”, dan tidak dibolehkan posisi ‫( لما‬belum)
sesudah adat syarat.
4. Dibolehkan membuang fi’il mudhari’ yang dijazamkan dengan ‫( لما‬belum) contoh
“saya mendekati onta itu dan saya tidak..” artinya “dan saya tidak
memasukinya”. Tidak dibolehkan demikian itu pada menjazamkan fi’il mudhari’
dengan ‫( لم‬tidak) kecuali dalam keadaan darurat, seperti dikatakan dalam syi’ir :
“periharalah barang titipanmu yang kamu telah ditipinya, pada hari jauh dari
sanak keluarga, jika engakau sampai, dan jika tidak”, artinya “jika engkau tidak
sampai” dan dilihat dalam syi’ir “jika engkau sampai” dengan fi’il majhul, maka
ditakdirkan “jika engkau tidak sampai” dan yang nampak adalah benar.
Lam amr adalah menuntut dengannya wujud suatu perkerjaan, contohnya
“hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut kemampuannya”.

12
La nahi adalah menuntut ditinggalkannya akan suatu pekerjaan, contohnya “dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”
Faedah
1. Huruf ‫( لما‬belum) berada pada fi’il madhi, bukan sebagai huruf nafi dan jazam,
dia memakai makna “ketika” maka apabila dikatakan ‫ لما اجتهد اكرمته‬maka
maknanya adalah ketika aku bersungguh sungguh memuliakanmu. Dari
kesalahan masuknya atas fi’il mudhari’ jika dikehendaki dengannya sebagai
makna “ketika”, maka tidak dikatakan ‫ لما اجتهد اكرمته‬akan tetapi yang benar untuk
dikatakan adalah “ketika dia bersungguh sungguh”, karnanya huruf ‫ لما‬tidak
terdapat pada fi’il mudhari’ kecuali apabila berfungsi sebagai nahi jazam.
2. Lam amr yang dibaca kasrah, kecuali apabila posisi lam amr yang dibaca kasrah
tersebut berada sesudah “waw” dan “fa”, maka dia sering dibaca sukun,
contohnya “maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) ku dan
hendaklah mereka beriman kepadaku”. Dan kadang kadang disukunkan setelah
lafal “tsumma”.
3. Lam amr masuk kepada fi’il mudhari’ yang ghaib yang ma’lum dan majhul, dan
atas mukhatab dan mutakalim yang bina fi’ilnya majhul : la nahi masuk atas fi’il
nudhari’ yang ghaib dan mukhatab baik binanya ma’lum maupun majhul. Dan
dapat masuk kepada mukhatab yang binanya majhul. Dan kedua duanya sedikit
masuk kemutakalim yang mufrad dengan bina fi’il yang ma’lum. Jika fi’il itu
bersama selain mutakalim, maka kedua huruf tersebut masuk lebih mudah dan
gampang, contohnya “dan hendaknya kami menanggung kesalahan kalian”.
Dan itu karna salah satu tidak memerintahkan dirinya
4. Ketahiulah bahwasanya fi’il telah menuntut atau , jika ada dari yang rendah ke
yang tinggi, dinamai dengan “do’a” dan “taadib. Telah dinamakan lam amar dan
la nahi sebagai huruf dalam do’a, contohnya “agar tuhanmu member keputusan
atas kami” dan contoh lain “agar tuhan tidak menghukum kami karena kesalahan
yang diperbuat oleh orang orang bodoh kami” dan begitu pula fi’il amar dengan
sighat yang dinamakan fi’il do’a, contoh “hai tuhanku berilah ampunan aku ini”.

13
Huruf jazam yang menjazamkan dua fi’il

Huruf jazam yang menjazamkan dua fi’il terdapat tiga belas adat, yaitu ;

1. ‫( إن‬jika), contohnya “jika kamu melahirkan apa yang ada didalam hatimu atau
kamu menyembunyikannya, niscahaya Allah akan membuat perhitungan dengan
kamu tentang perbuatanmu itu”. Dia sebagai induk bab. Selain adat inna dapat
menjazamkan dua fi’il mudhari’ sesungguhnya apa yang dijazamkannya itu
mengandung makna inna. Contohnya “bagi siapa yang mengunjungi aku, maka
aku mulyakan dia”, maka maknanya adalah “jika ada seseorang yang
mengunjungi aku, maka aku muliakan dia”. Demikian itu adat adat syarat
menetapkan untuk mengandung makna inna.
2. ‫( إذما‬jika, kalau), seperti bunyi syiir berikut : “sesungguhnya jika engkau
mengerjakan sesuatu yang kamu perintahkan, maka engkau akan menemukan
siapa saja yang kamu perintah telah melaksanakannya”. Dan huruf ‫ إذما‬ini
bermakna ‫إن‬. Adat adat yang tertinggal sebagai isim yang mengandung makna ‫إن‬,
maka telah menetapkan dan menjazamkan dua fi’il. Sebahagian ahli nahwu
berpendapat bahwasanya ‫ إذما‬tidak bisa menjazamkan dua fi’il kecuali dalam
keadaan darurat syi’ir.
Asal huruf ‫ ذا‬yaitu berupa zharaf, bertemu dengan ‫ ما‬zaidah untuk taukid lalu ia
mengandung makna ‫ إن‬, maka ia menjadi suatu huruf seperti ‫إن‬, karnanya ia tidak
memiliki makna selain sebagai penghubung antara fi’il jawab dengan fi’il syarat,
berbeda dengan adat adat yang tersisa, karena selain mempunyai arti
penghubung, makna lain, sebagaimana yang digunakan. Diantara ahli nahwu
seperti Mubarrid, Ibnu Siraj, dan Farisy- semuanya menamai dengan makna
zharfiyah.
3. ‫( من‬siapa) adalah isim mubham untuk sesuatu yang berakal, contohnya “bagi
siapa yang melakukan keburukan, maka ia dibalas sesuai dengan keburukan
tersebut”.
4. ‫( ما‬apa) adalah isim mubham untuk sesuatu yang tidak berakal, contohnya “dan
apa saja yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya...”

14
5. ‫( مهما‬bagaimanapun, apapun, bilamana) adalah isim mubham untuk sesuatu yang
tidak berakal, contohnya “mereka berkata :bagaimanapun kamu mendatangkan
keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami
sekali kali tidak akan beriman kepadamu”
(menurut pendapat yang shahih, adapun ‫ مهما‬tersusun dari ‫ مه‬yang berupa isim
fi’il amar untuk pencegahan dan larangan, dan ‫ ما‬mengandung makna syarat,
kemudia dijadikan satu kata untuk syarat dan balasan serta menunjukkan atas ini
bahwasanya adat ini lebih banyak menggunakan dalam lingkungan pencegahan
dan larangan. Adapun susunan dari ‫ ما‬syartiyah dan ‫ ما‬ziadah untuk taukid, lalu
menjadi ‫ ما ما‬dan kemudian “alif” yang pertama diganti dengan “ha” agar berbeda
lafalnya.
6. ‫( متى‬kapan) adalah isim zaman yang mengandung makna syarat, seperti perkataan
syi’ir “kapan saja kamu datang kepadanya dengan hidup kepada cahaya apinya,
maka kamu menemukan sebaik baik api, disisinya ada sebaik baik yang
menyalakan”. Kadang kadang adat ‫ متى‬diikuti oleh ‫ ما‬ziadah untuk taukid, seperti
perkataannya “kapan kamu bertemu saya dalam keadaan sama sama sendirian,
maka gemetar ujung kedua pantatmu dank au ketakutan”.
7. ‫( ايان‬kapan), adalah isim zaman yang mengandung makna syarat, seperti bunyi
syi’ir “kapan kami melindugi engkau, maka amanlah kau dari selain kami, dan
ketika engkau tidak mendapatkan perlindungan dari kami, maka kamu harus
selalu waspada”.
Kebanyakan lafal ‫ ايان‬disertai dengan lafal ‫ ما‬ziadah untuk taukid, seperti
perkataan yang lain “ketika lembu sawo matang itu bermalam ditanah yang
sudah tandus, maka sewaktu angin kencang menimpanya dia pun pergi”.
Asal lafal ‫ ايان‬adalah ‫ أي إن‬maka dia tersusun dari kata ‫ أي‬yang mengandung
makna syarat dan ‫ إن‬dengan makna “ketika”. Setelah itu disusun menjadilah satu
nama untuk syarat dalam zaman mustaqbal yang dimabnikan dengan Fattah.
8. ‫( أين‬dimana), adalah isim makan (tempat) yang mengandung makna syarat,
contoh “dimana kau pergi aku akan pergi”, dan sering kali digunakan dengan

15
disertai ‫ ما‬ziadah untuk taukid contohnya “dimana saja kamu berada, kematian
akan mendapatkan kamu”.
9. ‫( أنى‬dimana), adalah lafal yang tidak disertai dengan ‫ما‬, dan dia isim makan
(tempat) yang mengandung makna syarat, seperti bunyi syi’ir “wahai kedua
kekasihku, kapan kalian berdua datang kepadaku maka kalian berarti datang
kepada saudara laki laki yang hanya berupaya mencari kerelaan”.
10. ‫( حيثما‬dimanapun), adalah isim makan (tempat) yang mengandung makna syarat,
dan dia tidak menjazamkan kecuali disertai dengan ‫ما‬, itulah yang benar, seperti
bunyi syi’ir “dimanapun kamu istiqamah, maka Allah menentukan kesuksesan
dimasa masa yang akan datang”.
11. ‫( كيفما‬bagaimanapun), adalah isim mubham yang mengandung makna syarat,
maka dia membutuhkan fi’il syarat dan f’il jawab yang kedua duanya
dijazamkan, sama disertai dengan ‫ما‬, contohnya “bagaimanapun kamu berada,
berada pula temanmu”, atau disertai dengan ‫ ال‬contohnya “bagaimanapun kamu
duduk, akupun duduk”.
Adapun menurut ulama basrah maka lafal ‫ كيفما‬menempati tempatnya ‫ إذ‬yang
memerlukan fi’il syarat dan fi’il jawab, dan tidak menjazamkan, maka kedua fi’il
yang berada sesudah lafal ‫ كيفما‬dibaca marfu’ selain bahwasanya kedua fi’il tadi
sama dalam lafal dan maknanya, sebagaimana yang telah kamu lihat sama sama
menjazamkan maupun tidak dijazamkan.
(maka tidak membolehkan untuk dikatakan “bagaimanapun kamu duduk, maka
pergilah kamu” karna kedua fi’il tadi berbeda dalam lafal dan maknanya, dan
tidak menyebutkan “bagaimanapun kamu melubangi buku, akupun menjahit
geribro”, artinya pada lafal pertama artinya “melubangi” dan lafal kedua
“menjahit” jadi dua fi’il ini sama dari segi lafadz tetapi dari segi maknanya
berbeda. Dan tidak boleh dikatakan “bagaimanapun kamu duduk, akupun duduk”
karena lafadz dua fi’il tersebut berbeda meskipun maknanya sama.
12. ‫( أي‬yang mana saja, siapa saja), adalah isim mubham yang mengandung makna
syarat. Dan dia termasuk kedalam adat adat syarat, dii’rab dengan tiga macam
harkat, karena dia harus mudhaf ketika mufrad, yang dipindahkan dari syibhul

16
huruf, yang menghendaki bina isim, maka contoh marfu’ adalah “siapa saja yang
mengabdi kepada bangsanya, maka bangsanyapun saling mengabdi kepadanya”,
dan contoh yang mansub adalah “dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al masul husna”, serta contoh yang majrur adalah “dengan pena apa
saja kamu menulis, akupun menulis” dan “kitab apa saja kamu membaca, akupun
membaca”.
Lafadz ‫ أي‬selalu diidhofatkan kepada isim mufrad. Kadang kadang mudhafun
ilaih dibuang, maka disertakan tanwin sebagai penggantinya, sebagaimana dalam
ayat yang mulia. Kemudian ditakdirkan :”nama yang mana saja kamu berdo’a”
dan sebagaimana dalam contoh yang keempay, ketika ditakdirkan “kitabnya
lelaki mana saja”
Diperbolehkan untuk disertakan ‫ ما‬ziadah untuk taukid, seperti yang terdapat
pada ayat ayat sebelumnya, dan seperti firman Allah “mana saja dari kedua
waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan
atas diriku (lagi)”
13. ‫( إذا‬apabila), kadang kadang disertai dengan ‫ ما‬ziadah untuk taukid, maka
dikatakan “‫“ إذ ما‬. Dia merupakan isim zaman yang mengandung makna syarat.
Dan tidak menjazamkan kecuali apa bila terdapat dalam syi’ir, seperti bunyi
syi’ir “bersikaplah kaya (berada) kamu dengan kekayaan yang telah diberikan
Allah kepadamu. Dan ketika suatu kefakiran menimpa kepadamu maka
bersikaplah dengan cara menyembunyikan kemiskinan tersebut”
Kadang kadang ‫ إذا‬juga dijazamkan dalam nasr

AF’AL AL MUQARABAH “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

MAF’UL MUTHALAQ “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

IDHAFAT “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

17
NA’AT “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

BADAL “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

AF’AL AL KHAMSAH “QATHR AL NADA”

AF’AL AL QULUB “QATHR AL NADA”

TAWKID “JAMI’ AL DURUS AL ARABIYAH”

ADAD “QATHR AL NADA”

SABAB IKHTILAF LUGHAH “AL MUZHIR FI ULUM AL LUGHAH


JUZ 1”

MA’RIFAH AL FASHIH “AL MUZHIR FI ULUMU AL LUGHAH


JUZ 1”

18

Anda mungkin juga menyukai