Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hubungan antara hukum Islam dengan pengetahuan bahasa Arab merupakan hubungan
yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Alasannya sangat jelas, karena sumber pokok dari
hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan Hadits yang memakai atau menggunakan bahasa Arab
standar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab .
Bahasa Arab adalah Bahasa Al-Qur’an. Setiap orang muslim yang bermaksud
menyelami ajaran Islam yang sebenarnya dan lebih mendalam, tiada jalan lain kecuali harus
mampu menggali dari sumber asalnya, yaitu Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Di dalam bahasa Arab , keberadaan nominal menjadi sangat mutlak karena keberadaan
bahasa arab, kita senantiasa menggunakannya. Adapun contoh dari nominal yang seringkali
di gunakan adalah mubtada dan khabar. Akan tetapi dalam perjalanan dewasa ini, kita
senantiasa di buat bingung oleh pengertian-pengertian dari bahasa arab , apa itu mubtada’ dan
bagaimanakah khabar itu.
Sebelum berbicara mengenai Mubtada dan Khabar , sebaiknya mengetahui terlebih
dahulu bahwa kalimat , baik kalimat sempurna maupun tidak dalam bahasa arab terbagi
menjadi dua, yaitu Jumlah Ismiyah adalah kalimat yang di dahului oleh isim yang berada di
awal kalimat tersebut dinamakan Mubtada dan bagian yang melengkapinya di namakan
Khabar yang mana hukum nya dalam I’rab harus mengikuti kepada Mubtada. Dan Jumlah
Fi’liyah, yaitu kalimat yang di dahului oleh fi’il.
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud mubtada dan Khabar?
b. Bagaimana pembagian mubtada dan Khabar?
3. Tujuan
a. Mengetahui mubtada dan Khabar
b. Mengetahui pembagian mubtada dan Khabar.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mubtada (‫)المبتدأ‬

Mubtada adalah setiap isim yang dimulai pada awal kalimat baik didahului oleh nafyu
maupun istifham, contoh (‫= محمد مبتسم‬Muhammad tersenyum), contoh didahului oleh nafyu ( ‫ما‬
‫= قادم الضيف‬tamu itu tidak datang) dan contoh isim yang didahului oleh kata Tanya ( ‫ي‬
ُّ ‫أ ناجح عل‬
=apakah yang lulus adalah Ali). Dan hukum isim yang dimulai pada awal kalimat tersebut
(‫ )المبتدأ‬adalah Marfu’ (dibaca akhir katanya dengan harakah dhamma), kecuali apabila isim
tersebut didahului oleh huruf Jarr tambahan atau yang menyerupainya maka hukumnya
secara Lafadznya adalah Majrur namun kedudukannya dalam kalimat tetaplah Marfu’.
Contohnya firman Allah SWT : ‫ وما من إله إال هللا‬kata Ilah pada ayat tersebut secara lafadznya
adalah majrur namun kedudukannya tetaplah Rafa’. Dan Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu
Mubtada Sharih (‫ )مبتدأ صريح‬yang mencakup semua isim dhahir seperti pada contoh di atas,
dan juga terdiri dari Dhamir, contohnya (‫= هو مجتهد‬dia bersungguh-sungguh) atau (‫أنت مخلص‬
=kamu ikhlas), yang Kedua adalah Mubtada Muawwal (‫ )مؤول‬dari An (‫ )أن‬dan fi’ilnya,
contohnya firman Allah SWT (‫ )وأن تصوموا خير لكم‬dan (‫ )أن تتحدوا أرهب لعدوكم‬mubtada pada
contoh ini adalah An dan Fi’ilnya dita’wilkan menjadi isim mashdar sebagai mubtada, atau
dengan kata lain An dan fi’ilnya dijadikan mashdar sebagai mubtada sehingga An Tashumu
menjadi Shiyamukum dan An Tattahidu menjadi itthidadukum karena mashdar dari kata
Shama-Yashumu=berpuasa adalah Shiyam dan Ittahada-yattahidu=bersatu mashdarnya
adalah ittihad,( ‫ (أن تتحدوا =اتحادكم أرهب لعدوكم=وأن تصوموا‬,)‫)وصيامكم خير لكم‬. Mubtada boleh
terdiri dari banyak kata sedangkan khabarnya hanyalah satu, contohnya ( ‫صديقك والده أمنيته تحقيقها‬
‫)أن يشفى ابنه‬.

1. Macam-macam Mubtada

Apabila dilihat dari Khabarnya maka Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu Mubtada
yang mempunyai khabar, contohnya (‫ )محمد مبتسم‬dan Mubtada yang tidak memiliki Khabar,
akan tetapi mempunyai isim marfu’yang menempati posisi dari pada khabar, contohnya ( ‫أنائم‬
‫= الطفل‬apakah bayi telah tidur) Naim adalah mubtada sedangkan Thifl adalah Fa’il yang
menempati posisi khabar, contoh lain (‫= ما محمود البخل‬tidaklah terpuji orang kikir),
mahmud=terpuji adalah mubtada dan bukhli adalah Naib Fa’il yang menempati tempatnya

2
khabar. Mubtada yang memiliki khabar haruslah terdiri dari isim sharih atau dhahir ataupun
yang telah dita’wilkan menjadi mashdar yang sharih, sedangkan mubtada yang tidak
memiliki khabar tidak boleh menta’wilkannya dan penggunaanya haruslah selalu disertai
dengan Nafyu atau istifham.

Adapun Isim marfu’yang terletak setelah mubtada yang tidak memiliki khabar yang
dibarengi oleh Nafyu atau istifham maka kedudukannya dalam I’rab kalimat adalah sebagai
berikut:

1. Apabila menunjukkan kepada sifat yang tunggal dan setelahnya adalah isim yang tunggal
contohnya (‫ )أ مسافر الرجل‬atau (‫ )ما محبوب الكسول‬maka I’rabnya ada dua kemungkinan, Pertama:
sifat yang pertama setelah istifham (musafir) adalah mubtada dan setelahnya adalah Fa’il
karena letaknya setelah Isim Fa’il, atau Naib Fa’il apabila terletak setelah isim maf’ul,
keduanya marfu’menempati kedudukan khabar. Kedua: Sifat yang pertama (musafir) adalah
khabar yang didahulukan (khabar muqaddam) sedangkan kata (rajul) adalah mubtada yang
diakhirkan (mubtada muakkhar).

2. Apabila sifat yang pertama menunjukkan pada isim tunggal kemudian setelahnya adalah
Mutsanna (yang menunjukkan bentuk dua) atau Jamak, maka sifat yang pertama adalah
mubtada dan isim setelahnya tersebut adalah Fa’il atau naib fa’il yang menempati posisi
khabar, contoh (‫ )ما مهمل الطالبان‬dan (‫ )ما محبوب المقصرون‬kata Muhmil adalah mubtada
sedangkan thalibani adalah Fa’il karena terletak setelah isim Fa’il, dan kata Mahbub adalah
mubtada sedangkan Muqshirun adalah Naíb Fa’il karena terletak setelah Isim Maf’ul.

3. Apabila sifat yang pertama berbentu dua (mutsanna) atau Jamak dan setelahnya adalah
mutsanna atau jamak maka isim yang pertama adalah khabar yang didahulukan (khabar
muqaddam) dan isim yang setelahnya adalah mubtada yang diakhirkan (mubtada muakkhar),
contohnya (‫ )أ مسافران الضيفان‬dan (‫)ما مقصرون المجتهدون‬, kata musafirani dan muqshirun adalah
khabar muqaddam sedangkan dhaifani dan mujtahidun adalah Mubtada muakkhar.

Asal dari Mubtada adalah Ma’rifah atau mubtada haruslah isim yang ma’rifah sebagaimana
pada contoh-contoh di atas, kecuali apabila didahului oleh nafyu atau istifham maka boleh
mubtada itu nakirah dengan catatan kenakirahannya tidaklah mengurangi dan mempengaruhi
makna yang dapat diperincikan sebagai berikut:

a. Nakirah tersebut menunjukkan kekhususan baik dengan menyebutkan sifat atau tidak,
ataupun nakirah tersebut secara lafadznya bersandar pada ma’rifat, contohnya (‫ )رجيل عندنا‬dan
contoh yang idhaf (‫)خمس صلوات كتبهن هللا على العباد‬.

3
b. Nakirah yang menunjukkan pada sesuatu yang umum, baik mubtadanya adalah bentuk
yang umum, contohnya (‫)من يقم أقم معه‬, kata man di sini adalah bentuk nakirah yang umum.
Maupun mubtada yang nakirah tersebut terletak dalam kalimat yang didahului oleh nafyu
atau istifham, contohnya (‫ )ما رجل في الدار‬dan (‫)هل أحد قادم‬.

c. Mubtada yang nakirah haruslah didahului oleh kalimat yang terdiri dari jar majrurr atau
dharf, contohnya (‫)في المدرسة زائرون‬, mubtada di sini adalah nakirah karena di dahului oleh jar
majrur, dan (‫)حول البئر أشجار‬, kata asyjar adalah nakirah karena didahului oleh dzharf.

d. Nakirah harus Athaf (mengikuti) pada ma’rifah atau diikutkan pada ma’rifah, contohnya
(‫ )محمد ورجل عندنا‬kata rajul di sini nakirah karena ikut pada Muhammad. dan ( ‫رجل ويوسف في‬
‫ )المنزل‬kata rajul diikutkan pada yusuf.

e. Mubtada yang nakirah merupakan jawaban atas pertanyaan, contohnya, ada yang bertanya
(‫ )من عندك‬maka jawabannya (‫ )صديق‬dengan menggunakan nakirah, takdirnya adalah ( ‫صديق‬
‫)عندي‬.

f. Terletak setelah Laula (‫)لوال‬, contoh (‫)لوال رجل لهلك أخوك‬.

g. Jika khabarnya adalah sesuatu yang aneh yang keluar dari kebiasaan, contohnya ( ‫شجرة‬
‫= سجدت‬pohon bersujud).

Apabila kita melihat dari contoh-contoh di atas dapat dilihat perbedaan kedudukan mubtada
yang kadang didahulukan (mubtada muqaddam) dan kadang diakhirkan (mubtada muakkhar),
kesemuanya itu mempunyai aturan yang wajib didahulukan maupun boleh didahulukan.

Wajib Mendahulukan Mubtada

Mubtada itu wajib didahulukan apabila:

1. Isim yang mempunyai kedudukan sebagai pendahuluan di dalam kalimat, seperti isim
syarat, atau istifham atau Ma yang menunjukkan ketakjuban, contohnya ( ‫من يقرأ الشعر ينم ثروته‬
‫= اللغوية‬barangsiapa yang membaca syair maka akan bertambah kekayaannya dengan bahasa),
kata Man di sini adalah mubtada yang harus di dahulukan karena posisinya dalam kalimat
sebagai pembukaan dan pendahuluan, contoh lain ( ‫=من مسافر غدا‬siapakah yang akan
bepergian besok), kata man di sini adalah kata Tanya yang harus selalu didahulukan dan ia
adalah mubtada, contoh lain (‫= ما أجمل الربيع‬alangkah indahnya musim semi) Kata Ma disini
adalah Ma takjub yang mana harus dan wajib didahulukan.

4
ُ
2. Mubtada yang menyerupai isim syarat, contohnya (‫يفوز فله جائزة‬ ‫= الذي‬yang menang maka
baginya piala), kata allazi dalam kalimat ini menyerupai isim syarat.

3. Isim tersebut haruslah disandarkan kepada isim yang menempati posisi dan kedudukan
kata pendahuluan, contohnya (‫ )عمل من أعجبك‬kata ‘amal disandarkan pada Man yang
kedudukannya sebagai pendahuluan.

4. Apabila khabarnya adalah jumlah fi’liyah dan fa’ilnya adalah dhamir yang tersembunyi
yang kembali kepada mubtada, contohnya (‫= محمد يلعب الكرة‬Muhammad bermain bola) kata
yal’ab adalah khabar jumlah fi’liyah dan fa’ilnya dhamir tersembunyi kembali ke
Muhammad.

5. Isim tersebut haruslah disertai dengan huruf Lam untuk memulai atau Lam tauwkid,
contoh (‫ )وللدار اآلخرة خير للذين يتقون‬kata addar dimasuki oleh lam ibtida, dan (‫)ولذكر هللا أكبر‬
dimasuki lam tawkid.

6. Mubtada dan khabarnya adalah Ma’rifat atau kedua-duanya nakirah dan tidak adanya kata
yang menjelaskannya, contohnya (‫ )أبوك محمد‬jika ingin memberitahukan tentang bapaknya
maka wajib didahulukannya, dan (‫ )محمد أبوك‬jika ingin memberitahukan tentang Muhammad.

7. Mubtada teringkas khabarnya oleh Illa atau Innama, contohnya (‫ )ما الصدق إال فضيلة‬dan ( ‫إنما‬
‫)أنت مهذب‬.

Selain dari tujuh masalah di atas, maka boleh mendahulukan atau mengakhirkan mubtada.

Wajib Menghilangkan Mubtada

Mubtada wajib dihilangkan dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Apabila mubtada ikut kepada Sifat yang marfu’ dengan tujuan memuji atau menghina atau
sebagai rasa iba dan saying, contohnya (‫ )مررت بزي ٍد الكري ُم‬mubtadanya dihilangkan karena
disifati oleh sifat yang rafa’, asalnya adalah (‫)هو الكريم‬. Contoh lain ( ‫ابتعد عن اللئيم الخبيث‬
=jauhilah dari orang jahat yang jelek sifatnya), asalnya adalah (‫ )هو الخبيث‬mubtada nya wajib
dihilangkan karena disifati oleh sifat yang marfu”.

2. Jika menunjukkan jawaban terhadap sumpah, contohnya (‫ )في ذمتي ألقولن الصدق‬asalnya
adalah (‫ )في ذمتي عهد‬dengan menghilangkan mubtadanya yaitu ‘ahd.

3. Jika khabarnya adalah mashdar yang mengganti fi’ilnya, contohnya (‫ )صبر جميل‬asalnya
adalah (‫ )صبري صبر جمل‬maka wajib menghilangkan mubtadanya.

5
4. Jika khabarnya dikhususkan pada pujian atau cercaan setelah kata Ni’ma (‫ )نعم‬dan Bi’sa
(‫ )بئس‬dan terletak diakhir, contohnya (‫= نعم الطالب محمد‬alangkah baiknya pelajar yaitu
Muhammad) dan ( ‫=بئس الطالب الكسول‬alangkah buruknya pelajar yang pemalas), muhammad
dan kusul pada contoh di atas adalah khabar dari mubtada yang dihilangkan, asalny adalah
(‫ )هو محمد‬dan (‫)هو الكسول‬.

Selain dari empat masalah ini, mubtada juga kebanyakan dihilangkan jika terletak setelah
kata qaul (berkata), contohnya (‫ )ويقولون طاعة‬mubtadanya dihilangkan, asalnya adalah ( ‫أمرنا‬
‫)طاعة‬, contoh lain, (‫ )قالوا أضغات أحالم‬dan (‫ )وقالت عجوز عقيم‬asalnya adalah (‫ )هي أضغات‬dan ( ‫أنا‬
‫)عجوز‬. Atau mubtadanya terletak setelah Fa sebagai jawban dari syarat, contohnya ( ‫وإن‬
‫فإخوانكم‬ ‫)يخالطوهم‬ asalnya adalah (‫إخوانكم‬ ‫)فهم‬.

Boleh Menghilangkan Mubtada

Mubtada boleh dihilangkan dan dihapus sebagai jawaban atas pertanyaan orang yang
bertanya (‫?)كيف محمد‬, dan jawabnya (‫ )بخير‬aslinya adalah (‫)هو بخير‬, atau Mubtada itu boleh
dihilangkan apabila ada kalimat atau kata yang menunjukkan tentangnya, contohnya firman
Allah SWT (‫ )من عمل صالحا فلنفسه ومن أساء فعليها‬kata Falinafsihi kedudukannya rafa’ khabar dan
dhamir Ha majrur bil idhafah sedangkan mubtadanya mahzuf (dihilangkan) begitu juga pada
wa man asaa fa’alaiha, asalnya adalah (‫ )من عمل صالحا فعمله لنفسه‬dan (‫)ومن أساء فإساءته عليها‬.

Dan boleh juga menghilangkan Mubtada dan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan
kepadanya, contohnya (‫ والذين ساهموا أيضا‬، ‫ )الذين فازوا في مسابقة اإللقاء لهم جوائز‬yang dihapus dari
kalimat tersebut adalah mubtada dan khabarnya yaitu (‫ )لهم جوائز‬aslinya haruslah ( ‫والذين ساهموا‬
‫جوائز‬ ‫لهم‬ ‫)أيضا‬ dihapus karena telah dijelaskan pada kalimat sebelumnya.

B. Khabar (‫)الخبر‬

Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai Jumlah Ismiah (‫ )الجملة االسمية‬yang terdiri
dari dua bagian yang memberikan petunjuk serta pemahaman kepada pendengar agar
diterima. Para pakar Nahwu menyebut bagian pertama dari jumlah ismiah ini dengan
Mubtada karena ia adalah bagian yang dimulai dalam pembicaraan, sedangkan bagian
keduanya dinamakan Khabar karena ia memberitahukan keadaan yang ada pada mubtada,

6
dan bisa saja terdiri dari segala bentuk sifat baik ia isim fa’il, atau maf’ul ataupun tafdhil,
contohnya, (‫ )محمد فاضل‬dan (‫)علي محبوب‬.

1. Macam-macam Khabar

Khabar terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Khabar Mufrad (‫ )المفرد‬yaitu khabar yang bukan berbentuk kalimat atau yang menyerupai
kalimat, akan tetapi terdiri dari satu kata baik menunjukkan pada tunggal atau mutsanna
(bentuk dua) ataupun jamak, dan harus disesuaikan dengan Mubtada dalam pentazkiran
(berbentuk muzakkarf=lk) atau ta’nis juga dalam bentuk tunggal, mutsanna dan jamak.
Contoh (‫= القمر منير‬bulan bersinar), (‫= الطالبة مؤدبة‬pelajar pr itu sopan).

2. Khabar Jumlah (‫)جملة‬, yaitu khabar yang berbentuk kalimat baik jumlah ismiah (‫)اسمية‬
maupun fi’liyah (‫)فعليه‬. Contoh khabar jumlah ismiah (‫= الحديقة أشجارها خضراء‬taman itu
pepohonannya berwarna hijau) atau (‫= الثوب لونه ناصع‬pakaian itu warnanya bersih), Atsaub
=adalah mubtada pertama, Lawn=Mubtada kedua dan mudhaf, dhamir Hu=mudhaf ilaih,
Nashi’=khabar mubtada kedua, Jumlah dari mubtada kedua dan khabarnya menempati posisi
rafa’ yaitu khabar dari mubtada pertama. Adapaun contoh khabar mubtada dari jumlah
fi’liyah, ( ‫=األطفال يلعبون في الحديقة‬anak-anak bermain di taman) yal’abun adalah fi’il
mudhari’marfu’karena khabar mubtada yang berbentuk jumlah fi’liyah. Khabar jumlah baik
ismiah maupun fi’liyah haruslah berhubungan dengan mubtada.

3. Khabar syibhu jumlah (‫ )شبه الجملة‬yaitu khabar yang bukan mufrad atau jumlah akan tetapi
menyerupai jumlah, terdiri dari Jarr wal majrur (‫ )جار ومجرور‬dan dharf =kata
keterangan,(‫)ظرف‬. Contoh khabar dari jar wal majrur (‫= الكتاب في الحقيبة‬buku di dalam tas),
( ‫=الماء في اإلبريق‬air di dalam teko). Contoh khabar dari dharf makan (keterangan tempat), ( ‫الجنة‬
‫= تحت أقدام األمهات‬surga dibawah telapak kaki ibu), (‫= الطائر فوق الشجرة‬burung di atas pohon),
contoh dharf zaman (keterangan waktu), (‫يوم الخميس‬
َ ‫= الرحلة‬bepergian pada hari kamis), ( ‫السفر‬
‫أسبوع‬ ‫بعد‬ =akan bepergian setelah seminggu).

Wajib mendahulukan Khabar

Khabar wajib di dahulukan dari mubtada dalam keadaan sebagai berikut:

1. Apabila mubtada nya adalah isim nakirah yang semata-mata tidak untuk memberitahukan
dan khabarnya adalah jar wal majrur atau dharf, contohnya (‫= في المدرسة معلمون‬di sekolah ada
para guru), (‫= عندنا ضيف‬ada tamu). Jika mubtadanya nakirah dengan maksud untuk

7
memberitahukan maka hukumnya boleh didahulukan atau pada tempatnya semula, contohnya
(‫)صديق قديم عندنا‬.

2. Jika khabarnya adalah istifham (kata Tanya) atau disandarkan pada kata Tanya, contohnya
(‫= كيف حالك‬bagaimana kabarmu), (‫= ابن من هذا‬anak siapa ini) atau (‫= أي ساعة السفر‬jam berapa
perginya).

3. Apabila ada dhamir yang berhubungan atau bergandengan dengan mubtada sedangkan
kembalinya dhamir tersebut kepada khabarnya atau sebagian dari khabarnya, contohnya, ( ‫في‬
‫= المدرسة طالبها‬di sekolah ada murid-murid-nya), (‫= في الحديقة أطفالها‬di tama nada anak-anak-
nya), dhamir yang ada pada mubtada kembali kepada khabarnya.

4. Meringkas khabar mubtada dengan Illa (‫ )إال‬atau Innama (‫)إنما‬, contohnya, (‫ما فائز إال محمد‬
=tiada yang menang kecuali Muhammad), (‫= إنما فائز محمد‬yang menang adalah Muhammad),
dalam contoh ini kata faiz diringkas atau dipendekkan sebagai sifat dari Muhammad.

Boleh mendahulukan atau mengakhirkan khabar apabila khabarnya sebagai pengkhususan


setelah kata Ni’ (‫ )نعم‬ma dan Bi’sa (‫)بئس‬, contohnya (‫= نعم الرجل محمد‬alangkah baiknya lelaki
itu muhammad), ( ‫=بئس العمل الخيانة‬alangkah buruknya perbuatan khianat), Muhammad di sini
bisa saja mubtada muakkhar dan jumlah fi’liyah sebelumnya adalah khabar muqaddam, dan
bisa saja mubtadanya dihilangkan dan Muhammad di sini adalah khabarnya, karena apabila
pengkhususan setelah ni’ ma dan bi’ sa didahulukan atas fi’ilnya maka ia adalah mubtada dan
jumlah fi’liyahnya adalah khabar muakhhar oleh sebab itu boleh didahulukan atau
diakhirkan.

Boleh menghilangkan Khabar

Khabar boleh dihilangkan apabila terletak setelah Iza al fajaiyah (tiba-tiba), contohnya ( ‫خرجت‬
‫= فإذا األسد‬saya keluar tiba tiba ada harimau), (‫= وصلت فإذا المطر‬saya sampai tiba-tiba hujan),
khabarnya dihilangkan, asli dari kalimat tersebut adalah (‫ )إذا األسد حاضر‬dan (‫)فإذا المطر منهمر‬.
Apabila ada dalil yang menjelaskannya maka khabar pun boleh dihilangkan, yang dapat
ditemukan pada jawaban dari pertanyaan, misalanya ada yang bertanya (‫= من غائب‬siapa yang
alpa?), jawabannya (‫ )علي‬dengan menghapus khabarnya yaitu (‫ )علي غائب‬karena telah
dijelaskan pada pertanyaannya. Dan apabila jumlah ismiah mengikuti (athf) pada jumlah
ismiah yang tidak dihilangkan khabarnya, maka boleh menghilangkan khabar pada jumlah
ismiah yang ma’thuf, contohnya (‫= محمد مجتهد وأحمد‬muhammad rajin dan ahmad juga), asal
dari kalimat di atas (‫)وأحمد مجتهد‬, dihilangkan khabar jumlah ismiah yang ma’tuf karena telah

8
dijelaskanpadasebelumnya.

Wajib menghilangkan Khabar

Adapun tempat-tempat dimana khabar itu wajib dihilangkan adalah sebagai berikut:

1. apabila mubtadanya adalah isim yang sharih yang menunjukkan pada sumpah, contohnya
(‫= لعمرك ألشهدن الحق‬demi hidupmu saya bersaksi dengan kebenaran), khabarnya wajib
dihilangkan, asalnya adalah (‫)لعمرك قسمي‬.

2. Khabarnya menunjukkan pada sifat yang mutlak artinya sifat tersebut menunjukkan akan
keberadaan dari sesuatu, dan hal itu terdapat pada kata yang bergandengan dengan jar majrur
atau dharf, contohnya (‫= الماء في اإلبريق‬air berada di dalam teko), (‫= الكتاب فوق المكتب‬buku
berada di atas meja), yang menunjukkan khabarnya telah dihilangkan yaitu (‫)موجود‬. Dan
apabila mubtadanya terletak setelah Lau la (‫ )لوال‬maka khabarnya yang berarti keberadaan pun
wajib dihilangkan, contohnya (‫= لوال هللا لصدمت السيارة الطفل‬jika tidak ada Allah, maka mobil
akan menabrak anak itu), khabar yang dihilangkan adalah kata (‫ )موجود‬pada contoh ini.

3. Jika mubtadanya adalah mashdar atau isim tafdhil yang disandarkan pada mashdar dan
setelahnya bukanlah khabar melainkan hal yang menduduki tempatnya khabar, contohnya
(‫= تشجيعي الطالب متفوقا‬saya mendukung pelajar yang berprestasi), (: ‫أفضل صالة العبد خاشعا‬
=sebaik-baik shalatnya sorang hamba dalam keadaan khusu’) asalnya adalah ( ‫أفضل صالة العبد‬
‫)عند خشوعه‬.

4. Khabarnya terletak setelah huruf Wau (‫ )واو‬yang berarti dengan/bersama (‫)مع‬, contohnya,
(‫= كل طالب وزميله‬semua pelajar bersama kawanya), wau di sini berarti bersama sehingga
khabarnya dihilangkan, dan khabar yang dihilangkan adalah kata (‫)مقرونان‬.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dan Perhatian

1. Asal dari pada mubtada adalah ma’rifah sedangkan khabar adalah Nakirah, contohnya
(‫)الطالب متفوقون‬, namun kadang ada mubtada datang dalam bentuk ma’rifat dan khabarnya pun
ma’rifat, contohnya (‫ )هللا ربنا‬dan (‫ )محمد نبينا‬mubtadanya ma’rifah dan khabarnya pun ma’rifah
karena idhafah. Contoh lain (‫ )والسابقون السابقون‬assabiqun yang pertama adalah mubtada dan
yang kedua adalah khabarnya, sama dengan (‫)أنت أنت‬, terdiri dari mubtada dan khabar, tapi
bisa juga assabiqun dan anta yang kedua adalah taukid (menegaskan) pada yang pertama.

2. Jika mubtadanya adalah mashdar marfu’, maka mubtadanya boleh didahulukan, contohnya
(‫)سالم عليكم‬.

3. Asal dari khabar mubtada adalah satu, namun boleh saja khabar terhadap mubtada menjadi
banyak, contohnya (‫ )محمد شاعر كاتب قاص‬kata penyair, penulis dan penulis kisah semuanya
adalah khabar dari mubtada yang menunjukkan bolehnya ta’addud khabar terhadap mubtada.

4. Haruslah memperhatikan pnyesuaian antara khabar dan mubtada, sebagaimana yang telah
disebutkan pada hukum-hukum khabar di atas, akan tetapi ada sebagian ayat-ayat Al Quran
yang membingungkan dan menimbulkan kesan bertentangan dengan hukum penyesuaian
tersebut, padahal jika dilihat dengan seksama ternyata semua itu ada kesesuaian antar
keduanya.

5. Khabar yang terdiri dari jarr dan majrur atau dharf pada dasarnya bukanlah khabar,
melainkan ia berhubungan dengan kata yang dihilangkan, dan kata yang dihilangkan
tersebutlah yang marfu’ yang menunjukkan ia adalah khabar, contohnya, (‫ )الماء في اإلبريق‬jarr
majrur di sini hanyalah berhubungan dengan kata yang dihilangkan yaitu khabar mubtada,
takdirnya adalah (‫ )كائن‬atau (‫)موجود‬.

6. Khabar mufrad boleh diikutkan (athaf) kepada khabar jarr majrur, contohnya ( ‫فهي كالحجارة‬
‫ )أو اشد قسوة‬aysaddu qaswah khabar yang diathafkan pada jar majrur yaitu kal hijarah.

7. Boleh memisahkan antara mubtada dan khabar, contohnya (‫)وهم باآلخرة هم يوقنون‬, kata hum
adalah mubtada, dan yuqinun adalah khabarnya, dipisahkan oleh jar majrur yang berkaitan
dengan khabarnya yaitu yuqinun.

10
DAFTAR PUSTAKA

Anwar , K . H . Moch. Ilmu Nahwu Terjemahan Matan Al-Ajrumiyah dan ‘Imrithy. Bandung:
Sinar Baru Algesindo , 2007.
Djuha , Drs. Djawahir . Tata Bahasa Arab (Ilmu Nahwu) Terjemahan Matan Al-Ajrumiyah.
Bandung : Sinar Baru Algesindo , 2007
Djupri , Drs Ghaziadin . Ilmu Nahwu Praktis. Surabaya : Apollo.

11

Anda mungkin juga menyukai