SYOK
Patofisiologi
Syok merupakan kondisi terganggunya perfusi jaringan. Terdapat beebrapa faktor yan
mempengaruhi perfusi jaringan, yaitu
Cardial : Cardiac Output -> volume darah yang dipompakan oleh jantung baik
ventrikel kiri maupun ventrikel kanan dalam interval 1 menit. Cardiac Output dapat
dihitung dengan rumus Stroke Volume x Heart rate. Sehingga cardiac output dipengaruhi
oleh stroke volume dan denyut jantung (Heart Rate )dalam satu menit. Perfusi jaringan
dipengaruhi oleh cardiac output, sebagai contoh apabila Cardiac output menurun yang
disebabkan oleh aritmia, atau AMI (Acute Myocard Infact) maka volume darah yang
dipompa menuju seluruh tubuh pun akan menurun sehingga jaringan di seluruh tubuh pun
mengalami hipoperfusi.
Vascular : Perubahan Resistensi Vaskular. Tonus vaskular diregulasi oleh :
Aktivitas tonus simpatis
Kotekolamin sistemik -> berperan dalam sistem saraf simpatis
Myogenic faktor -> berperan dalam menjaga aliran darah agar tetap konstan
ketika terjadi berbagai macam faktor yang mempengaruhi perfusi
Substansi yang berperan sebagai vasodilator
Endothelial NO
Humoral : renin, vasopressin, prostaglandin, kinin, atrial natriuretic factor. Faktor -
faktor yang mempengaruhi dalam mikrosirkulasi yaitu
Adanya adhesi platelet dan leukosit pada lesi intravaskuler.
Koagulasi intravaskuler
Adanya konstriksi pada pembuluh darah prekapiler dan post kapiler
Hipoksia -> vasodilatasi artriola -> venokonstriksi -> Kehilangan cairan
intravaskuler
meingkatnya permeabilitas intrakapiler -> edema jaringan
Patogenesis dari syok => biasanya terjadi akibat penurunan Cardiac Output / Cardic
Output yang tidak adekuat. Penurunan cardiac output disebabkan oleh adanya
anormalitas pada jantung sendiri maupun akibat menurunnya venous return.
Abnormalitas yang terjadi pada jantung akan menyebabkan menurunnya kemampuan
jantung untuk memompa darah secara adekuat.Beberapa abnormalitas jantung
diantaranya MI, aritmia, dll. Sedangkan beberapa penyebab menurunnya venous
return diantaranya, menurunya volume darah, menurunnya tonus vasomotor, terjadi
obstruksi pada beberapa tempat pada sirkulasi.
Tahapan Patofisiologi
terdapat 4 stage perkembangan shock yang berlangsung secara progresif dan
berkelanjutan, yaitu
1. inisial
2. kompensatori
3. progresif
4. refraktori
Inisial
Selama tahap ini, terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya/ tidak
cukupnya oksigen untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler.
Keadaan hipoksia ini menyebabkan, terjadinya fermentasi asam laktat pada sel. Hal ini
terjadi karena ketika tidak adanya oksigen, maka proses masuknya piruvat pada siklus
kreb menjadi menurun, sehingga terjadi penimbunan piruvat. Piruvat tersebut akan
diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan laktat yang
menyebabkan keadaan asidosis laktat.
Kompensatori
Pada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk mengembalikan
kepada kondisi normal, meliputi neural, humoral, dan bio kimia. Asidosis yang terjadi
dalam tubuh dikompensasi dengan keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk
mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam
keseimbangan asam basa dengan cara mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah.
Dengan demikian ketika CO2 dikeluarkan melalui hiperventilasi dapat menaikkan pH
darah didalam tubuh sehingga mengkompensasi asidosis yang terjadi.
Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian pada ambang batas tertentu
dideteksi oleh barosreseptor yang kemudian tubuh merespon dengan menghasilkan
norepinefrin dan epnefrin. Norepinefrin berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah
namun memberikan efek yang ringan pada peningkatan denyut jantung. Sedangkan
epinefrin memberikan efek secara dominan pada peningkatan denyut jantung dan
memberikan efek yang ringan terhadap asokonstriksi pembuluh darah. Dengan demikian
kombinasi efek keduanya dapat berdampak terhadap peningkatan tekanan darah. Selain
dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin angiotensi aldosteron) juga teraktivasi
dan terjadi juga pelepasan hormon vasopressor atau ADH (anti diuretic hormon) yang
berperan untuk meningkatkan tekanan darah dan mempertahankan cairan didalam tubuh
dengan cara menurunkan urine output.
Progresif
Ketika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan mengalami
tahap progresif dan mekanisme kompensasi mulai mengalai kegagalan. Pada stadium ini,
Asidosis metabolik semakin prah, otot polos pada pembuluh darah mengalami relaksasi
sehingga terjadi penimbunan darah dalam pembuluh darah. Ha ini mengakibatkan
peningkatan tekanan hidrostatik dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang
mengakibatkan bocornya cairan ke dalam jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan
konsentrasi dan viscositas darah menjadi meningkat dan dapat terjadi penyumbatan dala
aliran darah sehingga berakibat terjadinya kematian banyak jaringan. Jika organ
pencernaan juga mengalami nekrosis, dapat menyebabkan masuknya bakteri kedalam
aliran darah yang kemudian dapat memperparah komplikasi yaitu syok endotoxic.
Refraktori
Pada stadium ini terjadi kegagalan organ untuk berfungsi dan shock menjadi
ireversibel. Kematian otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena
ATP sudah banyak didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan oksigen
dalam sel. Adenosin yang terbentuk mudah keluar dari sel dan menyebabkan vasodilatasi
kapiler. Adenosin selanjutnya di transformasi menjadi asam urat yang kemudian di
eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada
adenosin yang dapat difosforilasi menjadi ATP.
FARMAKOLOGI
Terapi Farmakologi
Obat inotropik dan vasopresor biasanya tidak diindikasikan sebagai terapi utama syok
hipovolemik (perkiraan terapi cairan cukup), respon tubuh yang normal akan meningkatkan
curah jantung dan memperkecil saluran pembuluh darah untuk menjaga BP. Meskipun, sesekali
harus insufisiensi sirkulasi telah dihentikan atau ditangani dan cairan telah dioptimasi, medikasi
tetap diperlukan pada penderita dengan tanda dan gejala dari perfusi jaringan tidak mencukupi.
Obat peningkat tekanan darah seperti norepinefrin dan dosis tinggi dopamin sebaiknya
dihindari karena dapat meningkatkan BP pada iskemia jaringan. Penderita dengan BP yang tidak
stabil serta penempatan cairan kembali dan meningkatnya akumulasi cairan interstitial, obat
inotropik seperti dobutamin lebih dipilih jika Bpnya cukup (SBP ≥ 90 mmHg) karena obat ini
tidak menyebabkan vasokonstriksi. Karena tekanan tidak dapat ditangani oleh inotropik atau
inotropik dengan vasodilator tidak dapat digunakan (terfokus pada tidak sesuainya BP) maka
pressor dibutuhkan sebagai pilihan terapi.
Pilihan vasopresor atau obat inotropik pada syok septik sebaiknya dibuat berdasarkan
kebutuhan penderitanya. Prosedur penggunaan obat ini dalam septik syok ditunjukkan
Gambar 2. Pendekatan secara tradisional dimulai dengan dopamin, kemudian
norepinefrin; penambahan dobutamin untuk curah jantung yang lemah, dan epinefrin,
serta fenilefrin digunakan jika dibutuhkan. Meskipun observasi saat ini memberikan hasil
yang lebih baik dengan norepinefrin dan penurunan perfusi secara regional dengan
dopamin masih dipertanyakan kembali dopamin sebagai obat tahap pertama.
Selektivitas reseptor dari vasopresor dan inotrop diberikan pada Tabel 2. Secara umum
obat ini bereaksi cepat dengan durasi yang pendek dan diberikan sebagai infus yang
berkelanjutan. Vasokonstriksi yang poten seperti norepinefrin dan fenilefrin sebaiknya
diberikan melalui vena utama karena kemungkinan ekstravasasi dan kerusakan jaringan
melalui pemberian perifer. Pengawasan seksama dan kalkulasi laju infus disarankan
karena perubahan dosis sering terjadi dan variasi konsentrasi digunakan pada penderita
dengan volum yang terbatas.
Pemberian cairan
Hipotensi
Dobutamin
(boleh dinaikan sampai dosis vasopresor
jika TD turun ketika dobutamin
ditambahkan)
Dopamin sering digunakan sebagai vasopresor utama pada septik syok karena obat ini
meningkatkan BP melalui peningkatan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi.
Walaupun dopamin telah dilaporkan memiliki hubungan antara dosis dengan aktivitas
reseptor dopamin (Dar), β1, dan reseptor α1, hubungan respon dosis tidak dapat dipastikan
pada penderita sakit kritis. Penderita septik syok terjadi tumpang tindih efek
hemodinamik dengan dosis rendah 3 mcg/kg/menit. Dosis 5 sampai 10 mcg/kg/menit
diutamakan untuk memperbaiki tekanan arteri rata-rata (MAP). Pada septik syok, dosis
ini meningkatkan Cl dengan cara memperbaiki kontraktilitas ventrikular, denyut jantung,
tekanan arteri, dan resistensi vaskular sistemik. Penggunaan klinis dari dopamin pada
septik syok dibatasi karena dosis besar diperlukan untuk menjaga CO dan BP. Pada dosis
diatas 20 mcg/kg/menit pada kinerja jantung yang terbatas dan hemodinamik regional.
Penggunaan dopamin juga umum digunakan untuk takikardia dan takidisritmia. Efek
samping lain yang diwaspadai adalah pada penggunaan septik syok termasuk diantaranya
yaitu, peningkatan PAOP, penekanan pulmonari, dan penurunan Pao2. Dopamin
sebaiknya digunakan dengan perhatian pada penderita yang preloadnya tinggi, hal ini
akan memperburuk edema pulmonar. Dosis rendah dopamin (1 sampai 3 mcg/kg/menit)
kadang kala digunakan bagi penderita dengan septik syok yang mendapatkan vasopresor
dengan atau tanpa oliguria. Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah atau vasokonstriksi
ginjal kembali yang disebabkan oleh presor lainnya, mencegah gagal ginjal oliguria, atau
untuk merubah menjadi gagal ginjal non-oliguria. Dopamin sering ditambahkan dalam
dosis rendah pada vasopresor lain atau inotrop (contoh, norepinefrin). Pada umumnya
dosis dopamin tidak efektif atau tidak menoleransi sehingga perlu penambahan obat lain.
Pada bagian ini dopamin ditambahkan pada dosis kecilnya. Ada indikasi yang
mendukung penggunaan dosis kecil dopamin dalam menjaga fungsi ginjal pada oliguria,
dengan atau tanpa septik syok, atau dalam terjadinya vasokonstriksi kembali yang
diinduksi vasopresor pada septik syok.
Dobutamin merupakan selektif β1 agonis dengan β2 menengah dan aktivitas vaskular α1,
hasilnya aktivitas kuat inotropik positif tanpa ada hubungannya dengan vasokonstriksi.
Dobutamin menyebabkan peningkatan yang besar dalam CO dan kurang disritmogenik
dibandingkan dopamin. Secara klinis, meningkatnya kontraktilitas miokardial dan diikuti
oleh reduksi refleks tonus simpatetik mengarah kepada menurunnya resistensi vaskular
(SVR). Meskipun dobutamin optimal digunakan untuk menurunkan CO dengan tekanan
pengisian yang tinggi atau syok kardiogenik, vasopresor diperlukan untuk melawan
vasodilatasi arteri. Penambahan dobutamin (dengan laju konstan 5 mcg/kg/menit) ke
regimen epinefrin dapat meningkatkan perfusi mukosal yang terukur oleh pHi dan
konsentrasi laktat arteri. Dobutamin sebaiknya dimulai dengan rentang dosis 2,5 sampai 5
mcg/kg/menit. Dosis diatas 5 mcg/kg/menit memberikan keuntungan efek yang terbatas
dalam nilai transport oksigen dan hemodinamik serta dapat meningkatkan efek samping
jantung. Laju infus diberikan dengan acuan poin akhir klinis. Penurunan Pao2 dan
peningkatan Pvo2 sebagai efek samping miokardial seperti takikardi, perubahan iskemia
di ECG, takidisritmia, dan hipotensi juga terlihat.
Tabel 14.2. Farmakologi Reseptor dari Inotropik yang terpilih dan Obat vasopresor yang
Digunakan untuk Septik syok.
Agen α1 α2 β1 β2 DA
Dobutamin (500 mg/250 ml D5W atau NS)
2-10 mcg/kg/menit + 0 ++++ ++ 0
>10-20 mcg/kg/menit ++ 0 ++++ +++ 0
Dopamin (800 mg/250 ml D5W atau NS)
1-3 mcg/kg/menit 0 0 ++++
3-10 mcg/kg/menit 0/+ 0 ++++ ++ ++++
>10-20 mcg/kg/menit +++ 0 ++++ 0
Epinefrin (2 mg/250 ml D5W atau NS)
0,01-0,05 mcg/kg/menit ++ ++ ++++ +++ 0
>0,05 mcg/kg/menit ++++ ++++ +++ 0
Norepinefrin (4 mg/250 ml D5W atau NS)
0,02-3 mcg/kg/menit (2-20
+++ +++ +++ +/+ + 0
mcg/menit)
Fenilefrin (50 mg/250 ml D5W atau
NS
0,5-9 mcg/kg/menit +++ + ? 0 0
Ket : Aktivitas diukur dari tidak ada aktivitas (0) sampai aktivitas maksimal ( + + + + ) atau ?
jika aktivitas tidak diketahui, DA : dopaminergik.
b. Pola Eliminasi
BAB BAK
Frekuensi : 1x/2 hari Frekuensi : 5/6 x / hari
Warna dan bau : coklat Warna dan Bau : kuning
Konsistensi : Lunak Keluhan :-
Keluhan :-
Sebelum MRS Klien hanya istirahat di rumah saja, tidak ada kegiatan sehari-hari karena merasa
sesak ketika melakukan aktifitas yang agak berat. Setelah MRS klien hanya duduk dan berbaring
di ranjang.
a. Status kesehatan
Keadaan penyakit sedang, kesadaran komposmentis, suara jelas
TD : 140/90 mmHg, N : 100 x/menit reguler , RR : 20 x/ menit,T : 36,5 oC
b. Kepala
Normocephalic, simetris, nyeri kepala tidak ada
c. Wajah
Simetris, oedema (-), tidak ada sianosis
d. Mata
Kelopak mata normal, konjungtiva anemis (-), isokor, sklera ikterik
(-),reflex cahaya (+), tajam penglihatan menurun
e. Telinga
secret (-), serumen (+), membrane timpani normal, pendengaran menurun
h. Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5
axila anterior kanan, perkusi dullness, bunyi S1 dan S2 tunggal, Gallop (-), mur-mur (-),
capillary refill 2-3 detik
i. Bising usus (+), tidak ada benjolan, nyeri tekan pada kuadran kanan bawah, pembesaran
hepar 2 jari lunak.
j. Genitalia
Tidak diperiksa
k. Ekstermitas
Akral hangat, edema (-/-), kekuatan 3/4, gerak yang tidak disadari (-)
Laboratorium
Hb : 11,9 13 - 15
Hematokrit : 35 40 - 48
Leukosit : 6300
Trombosit : 255.000
Diff : -/-/ 2/73/24/1
AGD
1. Ph : 7.492
2. Po2 : 133,4
3. PCo2 : 23,6
4. HCO3 : 17,9
5. Sat O2 : 98,8
Na : 138
K : 5,3
Cl : 101
Ureum : 14
Kreatinin : 210
SGOT : 111,3
SGPT : 360
Albumin : 3,8
Gula Darah Puasa : 97
Ck : 771
CKMB : 100
Radiologi
Hasil/kesan : CTR > 50% (kardiomegali)
EKG
Tanggal : 11-4-2012
Hasil/kesan : irama sinus, ST elevasi pada V4, Q patologis pada v1-v3
Tanggal : 12-4-2012
Hasil/kesan : irama sinus, HR 110x/ mnt ireguler, axis, LAD
VIII. Terapi
- Obat-obatan
IVFD : 20 tts/ mnt
Lasix : 3 x 40 mg iv
Ascardia: 1 x 80 mg
Simvatatin: 1 x 20 mg
Captopryl: 3 x 25 mg
O2: 3 liter/ mnt Nasal Kanul
-Diet
Diet jantung III ( 1700 kal ), RG
KLASIFIKASI DATA
ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI PROBLEM
DS Disfungsi miocard Penurunan curah jantung
Klien mengeluh sesak
nafas sejak 2 hari SMRS Kontraktilitas
Klien mengeluh nyeri dada
3 minggu sebelum MRS
Klien mengatakan ketika
melakukan aktifitas sehari-hari Gagal pompa ventrikel
bertambah sesak
DO
TTV :
TD : 140/90 mmHg, N : 100 Curah jantung ( COP)
x/menit reguler , RR : 20 x/
menit,T : 36,5 oC
Leher: pembesaran vena
jugularis (+)
Laboratorium
Hb : 11,9 13 -
15
Hematokrit : 35 40
- 48
EKG : Tanggal : 11-4-
2012
Hasil/kesan : irama
sinus, ST elevasi pada V4, Q
patologis pada v1-v3
Tanggal : 12-4-
2012
Hasil/kesan : irama
sinus, HR 110x/ mnt ireguler,
axis, LAD
DATA ETIOLOGI PROBLEM
RENCANA PERAWATAN
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung Setelah dilakukan 1. Kaji dan catat 1.
berhubungan tindakan keperawatan tekanan
dengan Perubahan kondisi klien dapat darah,sianosis,ira
kontraktilitas miokardial membaik denga kriteria: ma dan denyut
ditandai dengan : - tanda-tanda vital dalam jantung
DS batas normal;N:60-100 2. Intruksikan
Klien x/mnt,TD:100-120/80- untuk menjaga
mengeluh sesak nafas sejak 2 90 mmHg,P: 16-20 keseimbangan
hari SMRS x/mnt, intake dan output
Klien - tidak ada hipotensi 3. Jelaskan tentang
mengeluh nyeri dada 3 - AGD dalam batas penggunaan dosis
minggu sebelum MRS normal frekuensi dan
Klien - tidak ada distensi vena efek samping
mengatakan ketika melakukan jugularis obat
aktifitas sehari-hari bertambah 4. Kolaboratif:
sesak diuretic dan
DO antibiotic
TTV :
TD : 140/90 mmHg, N : 100
x/menit reguler , RR : 20 x/
menit,T : 36,5 oC
Leher:
pembesaran vena jugularis (+)
Laboratorium
Hb : 11,9 13 -
15
Hematokrit : 35 40 -
48
EKG :
Tanggal : 11-4-2012
Hasil/kesan : irama sinus, ST
elevasi pada V4, Q patologis
pada v1-v3
Tanggal : 12-4-
2012
Hasil/kesan : irama sinus, HR
110x/ mnt ireguler, axis,
LAD
2. Intoleransi aktifitas
berhubungan dengan
kelemahan dan keletihan
ditandai dengan:
DS
Klien mengeluh sesak
nafas sejak 2 hari SMRS
Klien mengatakan ketika
melakukan aktifitas sehari-
hari bertambah sesak
Tajam penglihatan
menurun 5. Kaji respon
DO emosional sosial
Ekstermitas : kekuatan 3/4 dan spiritual
Laboratorium 6. Monitor respon
Hb : 11,9 13 - 15 cardiorespiratory
Hematokrit : 35 40 - 48 Setelah dilakukan terhadap
EKG : Tanggal : 11-4-2012 tindakan keperawatan kelelahan
Hasil/kesan : diharapkan intoleransi 7. Intruksikan
irama sinus, ST elevasi pada aktifitas klien dapat teknik relaksasi
V4, Q patologis pada v1-v3 teratasi denga criteria selama aktifitas
Tanggal : 12-4- hasil: 8. Evaluasi motivasi
2012 -TTV dalam batas klien terhadap
Hasil/kesan : normal peningkatan
irama sinus, HR 110x/ mnt -klien mampu aktifitas
ireguler, axis, LAD mendemonstrasikan
TTV : TD : 140/90 mmHg, aktifitas dan self care
N : 100 x/menit reguler , RR : -keseimbangan antara
20 x/ menit,T : 36,5 oC aktifitas dan istirahat
6.
NO HARI/
JAM INTERVENSI EVALUASI KET
DX TANGGAL
1 11- 04 2012 09:00
1. mengkaji dan catat tekanan S: klien mengatakan
darah,sianosis,irama dan denyut sesak nafas dan
jantung jantung bergerak
hasil: TD: 120/90, HR: 122 x/mnt tidak teratur
regular, RR: 20 x/mnt O: TD: 120/90
09:30
2. mengintruksikan untuk menjaga mmHg,RR: 22
keseimbangan intake dan output x/mnt,N: 116 x/mnt,
hasil: reuler, EKG: irama
klien Nampak paham dengan sinus, HR: 110 x/mnt,
penjelasan yang diberikan ireguler, axis, LAD
3. menjelaskan tentang penggunaan A. masalah belum
09:50 dosis frekuensi dan efek samping teratasi
obat
hasil: P: Lanjutkan
klien Nampak paham dengan intervensi
penjelasan yang diberikan
4. mengkolaborasi pemberian
10:00 diuretic dan antibiotic
hasil: klien minum obat
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah intervensi biologi,sosial,atau psikologis yang bertujuan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan atau menurunkan insiden penyakit di
masyarakat dengan mengubah faktor-faktor penyebab sebelum membahayakanseperti
penyuluhan kesehatan, pengubahan lingkungan, dukungan system social.
a. Penyuluhankesehatan
Penyuluhan kesehataan merupakan salah satu bagian dari pencegahan primer yang
mampu dilakukan.Penyuluhan kesehatan mencakup memperkuat individu dan
kelompok melalui pembentukan kompetensi. Asumsinya adalah banyak respon
maladaptive terjadi akibat kurangnya kompetensi. Hal ini meliputi kurangnya
control yang dirasakan terhadap kehidupan seseorang, rasa keefektifan diri yang
rendah, kurang efektifnya strategi koping, dan harga diri rendah yang terjadi.
Penyuluhan kesehatan mencakup empat tingkat intervensi berikut ini.
Meningkatkan kesadaran individu atau kelompok tentang masalah dan
peristiwa yang berhubungan dengan sehat dan sakit, seperti tugas
perkembangan normal.
Meningkatkan pemahaman seseorang tentang dimensi stressor yang
potensial, kemungkinan hasil (baik adaptif maupun maladaptif), dan
respon koping alternative.
Meningkatkan pengetahuan seseorang tentang dimana dan bagaimana
memperoleh sumber yang diperlukan.
Meningkatkan keterampilan penyelesaian masalah individu atau
kelompok, keterampilan interpersonal, toleransi terhadap stres dan frustasi,
motifasi, harapan, dan harga diri.
b. Pengubahan lingkungan
Intervensi preventif mungkin dilakukan untuk memodifikasi lingkungan
terdekat individu atau kelompok atau system social yang lebih besar. Intervensi
ini terutama bermanfaat apabila lingkungan menempatkan tuntutan baru kepada
pasien, tidak tanggap terhadap kebutuhan perkembangan, dan hanya memberikan
sedikit dukungan. Pengubahan lingkungan meliputi jenis berikut ini.
Ekonomi-mengalokasikan sumber untuk bantuan financial atau
bantuan anggaran dan pengelolaan penghasilan.
Pekerjaan-menerima tes pekerjaan, bimbingan, pendidikan, atau
pelatihan kembali yang dapat menghasilkan pekerjaan atau karir baru.
Perumahan-pindah ketempat baru, yang berarti meninggalkan atau
kembali pada keluarga dan teman; memperbaiki rumah yang sudah
ada; mendapatkan atau kehilangan keluarga, teman atau teman
sekamar.
Keluarga-memasukkan anak pada fasilitas perawatan, taman kanak-
kanak, sekolah dasar, atau berkemah; mendapatkan pelayanan rekreasi,
social, keagamaan, atau komunitas.
Politik-memengaruhi struktur dan prosedur pelayanan kesehatan;
berperan serta dalam perencanaan dan pengembangan komunitas;
mengatasi masalahlegislatif.
c. Dukungan system social
Penguatan dukungan social adalah cara mengurangi atau memperkecil
pengaruh dari peristiwa yang berpotensi menimbulkan sters. Empat jenis
intervensi preventif yang mungkin adalah:
Mengkaji lingkungan masyarakat untuk mengidentifikasi area masalah
dan kelompok resiko tinggi.
Meningkatkan hubungan antara system dukungan masyarakat dan
pelayanan kesehatan jiwa formal.
Menguatkan jaringan pemberian pelayanan yang ada, meliputi
kelompok gereja, organisasi masyarakat, kelompok wanita, dukungan
tempat kerja, dan lingkungan, dan self-help group.
Membantu individu atau kelompok dalam mengembangkan,
mempertahankan, memperluas, dan menggunakan jaringan social yang
tersedia.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan skunder termaksud menurunkan prevalensi ganguan.aktifitas
pencegahan skunder meliputi penemuan kasus dini, skrining dan pengobatan efektif
yang cepat.intervensi krisis adalah suatu modalitas terapi pencegahan sekunder yang
penting.
a. Krisis
Krisis adalah gangguan internal yang ditimbulkan oleh peristiwa yang
menegangkan atau ancaman yang dirasakan pada diri seseorang. Mekanisme
koping yang biasa digunakan seseorang. Mekanisme koping yang biasa digunakan
seseorang menjadi tidak efektif untuk mengatasi ancaman, dan orang tersebut
mengalami suatu ketidakseimbangan serta peningkatan ansietas. Ancaman atau
peristiwa pencetus biasanya dapat diidentifikasi. Tujuan intervensi krisis adalah
individu pada tingkat fungsi sebelum krisis. Krisis memiliki keterbatasan waktu,
dan konflik berat yang ditimbulkan dapat menstimulasi pertumbuhan personal.
Apa yang dilakukan seseorang terhadap krisis menentukan pertumbuhan atau
disorganisasi bagi orang tersebut.
b. Factor pengimbang
Dalam menguraikan resolusi krisis, beberapa factor pengimbang yang
penting perlu dipertimbangkan. Keberhasilan resolusi krisis kemungkinan besar
terjadi jika persepsi individu terhadap peristiwa adalah realististis bukan
menyimpang, jika tersedia dukungan situasional sehingga orang lain dapat
membatu menyelesaikan masalah, dan jika tersedia mekanisme koping untuk
membantu mengurangi ansietas.
c. Jenis –jenis krisis
Krisis maturasi. Krisis maturasi merupakan masa transisi atau
perkembangan dalam kehidupan seseorang pada saat keseimbangan
psikologis terganggu, seperti pada masa remaja, menjadi orang tua,
pernikahan, atau pensiun. Krisis maturasi menuntut perubahan peran. Sifat
dan besarnya krisis maturasi dapat dipengaruhi oleh model peran, sumber
interpersonal yang memadai, dan kesiapan orang lain dalam menerima
peran baru.
Krisis situasi. Krisis situasi terjadi ketika peristiwa eksternal tertentu
mengganggu keseimbangan psikologis individu atau keseimbangan
kelompok. Contohnya yaitu kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian,
masalah sekolah, penyakit dan bencana.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya meningkatkan angka kesembuhan, angka
survival (bertahan hidup), dan kualitas hidup dalam mengatasi penyakit. Aktivitas
pencegahan tersier mencoba untuk mengurangi beratnya gangguan dan disabilitas
yang berkaitan. Rehabilitasi adalah proses yang memungkinkan individu untuk
kembali ke tingkat fungsi setinggi mungkin.
. CPR / RJP
Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang
mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali
jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali. CPR sangat dibutuhkan bagi orang
tenggelam, terkena serangan jantung, sesak napas, karena syok akibat kecelakaan, terjatuh, dan
sebagainya.
Namun yang perlu diperhatikan khusus untuk korban pingsan karena kecelakaan, tidak boleh
langsung dipindahkan karena dikhawatirkan ada tulang yang patah. Biarkan di tempatnya sampai
petugas medis datang. Berbeda dengan korban orang tenggelam dan serangan jantung yang harus
segera dilakukan CPR.
Chain of survival merupakan suatu serial tindakan yang harus dilakukan pada pasien yang
mengalami henti jantung. Chain of survival terdiri dari lima unsur,yakni: pengenalan dini henti
jantung, pemberian CPR secara dini, pemberian defibrilator sesegera mungkin, penatalaksanaan
ALS (Advance Life Support), dan perawatan pasca henti jantung.
Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA, 2010):
1. Mengenali sedini mungkin tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan
2. panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
3. Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada
4. Segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi
5. Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support)
6. Melakukan perawatan post cardiac arrest
b. Indikasi
1. Pasien henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban
atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar.
Henti nafas terjadi dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas, stroke, obstruksi jalan nafas,
epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat listrik, infark miokard, tersambar petir, koma akibat
berbagai macam kasus.
2. Pasien henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini
akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang
terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh
denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat, pernafasan berhenti atau satu-satu,
dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., &
Ningsih, D. K., 2008).
c. Alur Basic Life Support
1. Tahapan persiapan
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa prosedur berikut pada pasien
(AHA, 2010):
· Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
· Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/tidak. Penolong harus
menepuk atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan jelas: ‘Hallo, Pak/ Bu! Apakah
anda baik-baik saja?’.Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat mengakibatkan
cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian cedera kepala dan leher.
· Mengaktifkan panggilan gawat darurat
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan. Jika ada orang lain disekitar korban, minta
orang tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut:
Ø Lokasi korban
Ø Apa yang terjadi pada korban
Ø Jumlah korban
Ø Minta ambulans segera datang
· Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring pada permukaan yang datar,
keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau menyamping, maka balikkan tubuhnya
agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan bergerak bersamaan selam
membalik pasien.
2. Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010
a. Basic life support (BLS) atau tunjangan hidup dasar
Pada tahun 2010, American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan terbaru
penatalaksanaan CPR. Berbeda dengan panduan sebelumnya, pada panduan terbaru ini AHA
mengubah algoritma CPR dari ABC menjadi CAB.
· Circulation (C)
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan
dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1–2 cm raba dengan lembut
selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan
korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan
korban/ pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan
jalan napas.
Melakukan kompresi dada Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung luar,dilakukan dengan
teknik sebagai berikut :
Ø Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus xypoideus pada sternum dengan
tangan kanan, letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.
Ø Melakukan kompresi dada
Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan mereka
terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus diatas dada korban dan gunakan berat badan
anda untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm), lakukan kompresi 30x dengan
kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18 detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2
ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian periksa nadi carotis, bila nadi belum ada
lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba, lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas)
lakukan rescue breathing dan check nadi tiap 2 menit.
Ø Airway (A) Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda
asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw thrust. Jika terdapat sumbatan harus
dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers weep), sedangkan sumbatan oleh benda
keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka
dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada
mulut korban.
Ø Breathing (B) Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan
napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2
detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–1000ml (10ml/kg) atau sampai dada
korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat
diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien
setelah diberikan bantuan napas.
3. Trauma dada
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade
jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks,hematopneumothoraks.Trauma thorax
adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul.Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu
paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa
darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami
gangguan atau bahkan kerusakan.
Dada merupakan rongga bertulang yang terbentuk dari 12 pasang tulang rusuk yang
berhubungan dengan tulang belakang di posterior dan tulang dada di anterior. Saraf dan
pembuluh darah intercostals berjalan sepanjang permukaan inferior pada setiap tulang rusuk.
Permukaan dalam rongga dada dan paru dilapisi selaput tipis, disebut pleura. Ruang antara dua
lapisan pleura normalnya hampa (ruang potensial), bila ruangan ini berisi udara akan
menimbulkan pneumothorax, bila berisi darah akan menimbulkan hemothorax. Pada orang
dewasa, ruangan potensial ini dapat menampung 3 liter cairan disetiap sisinya. Setiap paru
menempati sebelah rongga dada. Di antara 2 rongga dada terletak mediastinum, yang berisi oleh
jantung, aorta, vena kava superior dan inferior, trakea, bronkus utama dan esophagus. Medulla
spinalis dilindungi oleh columna vertebralis. Diafragma memisahkan organ-organ thorax dari
rongga abdomen. Organ perut bagian atas seperti limpa, hati, ginjal, pancreas dan lambung
dilindungi tulang rusuk bagian bawah.
Bila melakukan evaluasi korban dengan kemungkinan trauma thorax, harus selalu mengikuti
penilaian prioritas secara BTLS untuk menghindari terlewatkannya kondisi yang mengancam
jiwa. Selama survey primer BTLS, carilah cedera yang paling parah terlebih dahulu untuk
memberikan kesempatan hidup pada korban tersebut . Seperti semua penderita trauma lainnya,
mekanisme trauma penting diketahui untuk penanganan penderita trauma dada. Cedera dada
meungkin merupakan akibat dari trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul energy
yang didistribusikan meliputi area yang luas dan cedera visceral dapat disebabkan karena
deselerasi, robekan, kompresi atau ledakan. Luka penetrasi biasanya berasal dari tembakan atau
tusukan, energy yang didistribusikan meliputi area yang lebih sempit. Terjangan peluru sering
sulit diperkirakan akibatnya, dan semua yang berada di dalam dada beresikoterkena. Hasil akhir
yang paling sering terjadi pada cedera dada adalah hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan dapat
terjadi akibat :
a. Pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak adekuat akibat sekunder dari obstruksi jalan
nafas
b. Hipovolemia akibat perdarahan
c. Ventilasi atau perfusi yang tidak sesuai akibat cedera parenkim paru
d. Perubahan tekanan pleura akibat tension pneumothorax
e. Kegagalan pompa jantung akibat cedera miokardium berat
Gejala utama cedera dada meliputi nafas pendek, nyeri dada dan distress respirasi. Tanda
yang menunjukkan trauma thorax termasuk : syok, batuk darah, sianosis, dinding dada memar,
flail chest, luka terbuka, distensi vena leher, deviasi trachea atau emfisema subkutis. Periksa
suara nafas di dada kiri dan kanan. Trauma thorax yang mengancam jiwa harus segera
diidentifikasi. Terdapat 12 keadaan gawat darurat trauma thorax. Cedera-cedera berikut ini harus
dideteksi dan diterapi selama survei primer BTLS :
1. Obstruksi jalan nafas
2. Pneumothorax terbuka
3. Tension pneumothorax
4. Hemotorax massif
5. Flail chest
6. Tamponade jantung
Cedera yang mengancam nyawa yang dapat dideteksi selama pemeriksaan detil atau evaluasi
di rumah sakit (secondary survey) adalah sebagai berikut:
1. Ruptur aorta traumatic
2. Cedera trakea atau cabang bronkus
3. Contusio miokardium
4. Robekan diafragma
5. Cedera esophagus
6. Contusio pulmonum
Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa
(henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan
yakinkan akan ditolong.
Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan
anastesi umum dalam waktu dekat.
Dalam beberapa jenis macam kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan masing-masing
rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap SOP gawat darurat yang telah tersedia,
maka perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak langsung sesuai dengan
prosedur tetap rumah sakit yang berlaku. Peran ini sangat dekat kaitannya dengan upaya
penyelamatan jiwa pasien secara langsung.
Dalam kegawatdaruratan diperlukan 3 kesiapan, yakni :
1. Siap mental, dalam arti bahwa ”emergency can not wait”. Setiap unsur yang terkait
termasuk perawat harus menghayati bahwa aritmia dapat membawa kematian dalam 1 –
2 menit. Apnea atau penyumbatan jalan napas dapat mematikan dalam 3 menit.
2. Siap pengetahuan dan ketrampilan. Perawat harus mempunyai bekal pengetahuan teoritis
dan patofisiologi berbagai penyakit organ tubuh penting. Selain itu juga keterampilan
manual untuk pertolongan pertama.
3. Siap alat dan obat. Pertolongan pasien gawat darurat tidak dapat dipisahkan dari
penyediaan/logistik peralatan dan obat-obatan darurat.
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, No. CM, Dx. Medis, alamat dll
Identifikasi Kasus
1.Trauma ?
2.Non Trauma ?
C. Pengkajian
1. Pengkajian primer
2. Pengkajian sekunder
1. Circulation
2. Airway
3. Breathing
4. Disability
5. Exposure
SURVEI PRIMER
a) Airway!
b) Breathing!
c) Circulation!
Survai Primer
C –Circulation (+ KontrolPerdarahan)
D –Disability ( GCS,TandaLateralisasi)
E –Exposure
CIRCULATION
b) Penilaian dengan cepat dapat dilakukan melalui penilaian kesadaran, warna kulit, dan
nadi
AIRWAY
b) Pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas karena lidah, darah, benda asing, fraktur
tulang wajah, trauma laring, trachea dan sebab lain
Mempertahankan jalan napas yang efektif dan dalam jangka waktu yang
4. Kemungkinan terganggunya jalan napas karena perlukaannya sendiri seperti pada luka
bakar inhalasi, fraktur tulang wajah atau kejang.
1. Intubasi Orotracheal
Pada setiap penderita tidak sadar dengan trauma kepala tentukanlah perlunya intubasi. Bila
penderita dalam keadaan gagal napas, intubasi dilakukan oleh 2 orang dengan 1 petugas
melakukan imobilsasi segaris.
2. Intubasi Nasotrakheal
Intubasi nasotracheal bermanfaat pada fraktur cervical. Perlu kehati-hatian pada penderita
dengan fraktur tulang wajah yang berat atau fraktur basis cranii anterior. Perhatian akan
adanya fraktur cervical adalah sama seperti pada intubasi orotracheal.
3. Needle Krikotiroidotomi
Tindakan dilakukan dengan memakai jarum ukuran 12G atau 14G ditusukkan melalui
membrana krikotiroid, ini dapat memberikan 45 menit tambahan waktu untuk menunggu
intubasi dilakukan.
4. Surgical Krikotiroidotomi
Tindakan ini dilakukan pada penderita intubasi oral atau intubasi nasal
yang dikontraindikasikan atau tidak dapat terlaksana.
BREATHING
DISABILITY
EXPOSURE
Pemeriksaan meliputi seluruh bagian tubuh disertai tindakan untuk mencegah hipotermia
Sekunder
Medikasi/Pengobatan terakhir.
Pengalaman pembedahan.
Head to toe
Diagnosa Keperawatan
Evaluasi
TRIASE
Triase Adalah Proses khusus Memilah dan memilih pasien berdasarkan beratnya penyakit
menentukan prioritas perawatan gawat medik serta prioritas transportasi. artinya memilih
berdasarkan prioritas dan penyebab ancaman hidup.
1. Identifikasi cepat korban yang memerlukan stabilisasi segera, Ini lebih ke perawatan yang
dilakukan di lapangan.
3. Untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa dan kecacatan. Inilah tiga alasan dan tujuan
dilakukannya triase gawat darurat PPGD
1. Pernafasan ( respiratory)
2. Sirkulasi (perfusion)
Pasien meninggal atau cedera Parah yang jelas tidak mungkin untuk
diselamatkan. pengelompokan label Triase
Penderita Cedera berat dan memerlukan penilaian cepat dan tindakan medik atau transport
segera untuk menyelamatkan hidupnya. Misalnya penderita gagal nafas, henti jantung, Luka
bakar berat, pendarahan parah dan cedera kepala berat.
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera dan tingkat yang kurang berat dan
dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. misalnya cedera
abdomen tanpa shok, Luka bakar ringan, Fraktur atau patah tulang tanpa Shok dan jenis-jenis
penyakit lain.
Pasien dengan cedera minor dan tingkat penyakit yang tidak membutuhkan pertolongan
segera serta tidak mengancam nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan. Nah mungkin anda
masuk dalam kategori yang ini, jadi Jangan marah-marah dan jangan heran kenapa anda tidak
langsung mendapatkan perawatan di Ruang UGD sementara mereka harus menolong pasien
lain yang lebih parah.
Klasifikasi Triase
Triase di tempat
Dilakukan Di tempat korban di temukan atau pada tempat penampungan, triase ini dilakukan
oleh tim pertolongan pertama sebelum korban dirujuk ke tempat pelayanan medik lanjutan.
Triase Medic
Dilakukan pada saat Korban memasuki Pos pelayanan medik lanjutan yang bertujuan Untuk
menentukan tingkat perawatan dan tindakan pertolongan yang di butuhkan oleh korban. atau
triase ini sering disebut dengan Triase Unit gawat darurat
Triase Evakuasi
Triase ini ditunjukkan pada korban yang dapat dipindahkan pada rumah sakit yang telah siap
menerima korban. seperti Bencana massal contohnya Saat Tsunami, Gempa bumi, atau
bencana besar lain. Next artikel Bantuan Hidup Dasar
PEMBIDAIAN
EMBIDAIAN
Pembidaian adalah Suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma sistim muskuloskeletal
untuk mengistirahatkan ( immobilisasi) bagian tubuh kita yang mengalami cedera dengan
menggunakan suatu alat
TUJUAN
1. Untuk mencegah gerakan fragmen patah tulang atau sendi yang mengalami dislokasi
2. Untuk meminimalisasi / mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang yang
patah
3. Untuk mengurangi perdarahan & bengkak yang timbul
4. Untuk mencegah terjadinya syok
5. Untuk mengurangi nyeri
6. Prioritas pertolongan pertama pada
multipel trauma :
Airway
Breathing
Circulation (Kontrol perdarahan )
Pembidaian
MACAM BIDAI :
PROSEDUR PEMBIDAIAN
KOMPLIKASI
1. Dapat menekan jaringan pembuluh darah / syaraf dibawahnya bila bidai terlalu ketat
2. Bila bidai terlalu longgar à masih ada gerakan pada tulang yang patah
3. Menghambat aliran darah à iskemi jaringan àNekrosis
4. Memperlambat transportasi penderita bila terlalu lama melakukan pembidaian