Anda di halaman 1dari 116

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO DAN KASUS BESAR

Oleh:

Dr. Lidya Aprilia Sari

SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SURAKARTA


KOTA SURAKARTA
PROVINSI JAWA TENGAH
2017
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 7 Juli 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Perseta : Dr. Lidya Aprilia Sari

No. ID Peserta : SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017

Dengan judul/topik :

SEORANG LAKI-LAKI 35 TAHUN DENGAN HEPATITIS B KRONIS DAN KLINIS


SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA DENGAN ASCITES

No. ID dan Nama Pedamping : Dr. Muhammad Fikri

: Dr. Indah Budi Susilowati

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. Dr. Agustina Permata Sari SIP.449.1/016/INTERNSIP/2017
........................
2. Dr. Muhamad Andanu Yunus Slamet SIP.449.1/014/INTERNSIP/2017
.......................
3. Dr. Hutami Mutiara Dewi SIP.449.1/013/INTERNSIP/2017
.......................
4. Dr. Muhammad Iqbal Ramadhan SIP.449.1/012/INTERNSIP/2017
.......................
5. Dr. Aditya Bagas Prastowo SIP.449.1/011/INTERNSIP/2017
.......................
6. Dr. Anugrah Adi Santoso SIP.449.1/005/INTERNSIP/2017
.......................
7. Dr. Atika Mastria Romadani SIP.449.1/004/INTERNSIP/2017
.......................
8. Dr. Adhimas Fajar Aryanto SIP.449.1/003/INTERNSIP/2017
.......................
9. Dr. Guntur Arianto Wibowo SIP.449.1/002/INTERNSIP/2017
.......................
10. Dr. Ronny Mahendra Aditya SIP.449.1/001/INTERNSIP/2017
.......................
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Pedamping,

(Dr. Muhammad Fikri) (Dr. Indah Budi Susilowati)


No. ID: 197412132009021001 No.ID: 197909122008012032
No. ID dan Nama Peserta : dr. Lidya Aprilia Sari
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta
Topik : Kasus Penyakit Dalam
Tanggal (kasus) : 7/8/2017 Presenter : dr. Lidya Aprilia Sari
Nama Pasien : Tn. AP No. RM : 099525
Tanggal Presentasi : 28/9/2017 Pendamping : dr. Muhammad Fikri dan dr Indah B
Pembimbing: dr. Agus Nurohman, Sp. PD
Tempat Presentasi : RSUD Kota Surakarta
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan   Ketrampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik √  Manajemen   Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa √  Lansia  Bumil


Deskripsi : Tn. AP 35 thn dengan hepatitis b kronik dan klinis sirosis hepatis
dekompensata dengan ascites
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan manajemen asites et causa sirosis hepatis
Bahan bahasan :  Tinjauan  Riset  Kasus   Audit
Pustaka √
Cara membahas :  Diskusi  Presentasi dan  E-mail  Pos
diskusi 
Data pasien Nama : Tn. AP No CM : 099525
Nama klinik : RSUD Kota Surakarta Telp : - Terdaftar sejak : 7/8/2017
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Anamnesis :
Pasien datang dengan keluhan sesak semakin memberat sejak 1 minggu smrs. Keluhan
sesak sudah sering dirasakan 2 bulan terakhir. Perut dan kedua kaki bengkak sejak 3 minggu
smrs. Nafsu makan menurun. Berat badan menurun. BAK seperti warna teh. BAB warna
kunig kehijauan. Badan tampak kuning. Keluhan lain tidak ada.

2. Riwayat Pengobatan :
Tidak ada

3. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat pneumonia ada
Riwayat kejang tidak ada
Riwayat asma tidak ada
Riwayat alergi tidak ada

4. Riwayat keluarga :
Riwayat keluarga tidak diketahui

5. Riwayat Kebiasaan :
Riwayat konsumsi alkohol selama 10 tahun. 7 tahun terakhir sudah berhenti. Riwayat
membuat tato (-). Pemakaian jarum suntik (-). Riwayat transfusi darah (-), Riwayat
berganti-ganti pasangan (-).
6. Riwayat sosial ekonomi :
Pasien bekerja sebagai buruh. Biaya pengobatan dengan BPJS non PBI.

Kesan: sosial ekonomi cukup.

PEMERIKSAAN FISIK :
 Keadaan Umum : CM, tampak sakit sedang
 Vital Sign :
TD : 141/98
Nadi : 112 x/mnt
RR : 40 x/mnt
S : 36,5 C
Spo2 : 85 %, pakai NRM o2 10 lpm > 99%

 Kepala :Insp :Normocephal


Palp : dbn
 Kulit : Ikterik
 Mata : CA -/-, SI +/+
 Leher :Insp : dbn
Palp : dbn
Ausk : dbn
 Thorax : atrofi muskulus pektoralis mayor
 Jantung : Insp : ictus cordis tidak terlihat
Palp : ictus cordis teraba di SIC 5 LMCS
Perk : kesan kardiomegali (-)
Ausk : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop S3 (-)
 Paru : Insp : otot bantu nafas (-)
Palp : nyeri tekan (-), simetris (+), taktil fremitus /
Perk : redup
Ausk : vesicular (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+)
 Abd : Insp : Tegang, cembung, caput medusa (+)
Ausk : Sulit dinilai
Perk :
Redup Timpani Redup
Redup Timpani Redup
Redup Redup Redup

Pekak sisi (+), Pekak alih (+), Shifting dullness (+)


Palp : Hepar tidak teraba, undulasi (+)
 Extremitas atas : akral hangat +/+
eritem palmaris +/+
sianosis -/-
CRT < 2 detik
Extremitas bawah : akral hangat +/+
pitting edem +/+
sianosis -/-
CRT < 2 detik

 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin dan GDS Albumin, Bilirubin, SGPT/SGOT,
Ur/Cr, HbsAg
Haemoglobin : 8.9 Albumin: 2.90
gr/dL
Leukosit : 11.48 Bilirubin total: 14.24
ribu/mm3 Direk: 10.74
Eritrosit : 3.19 Indirek: 3.50
juta/mm3
Trombosit : 481 SGOT: 398
ribu/mm3 SGPT: 90
Hemtokrit : 27 vol %
Ur : 107
GDS: 92 Cr : 1.6

HbsAg: reaktif

 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto rontgen thorax AP

Kesan : Efusi Pleura Kanan


 DIAGNOSA SEMENTARA
- Asites + Jaundice et cause Susp Sirosis Hepatis
- Hepatitis B
- Efusi Pleura Kanan
-
 PLANNING
1. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
2. Menegakan diagnosis
3. Melaksanakan manajemen terapi

 PENATALAKSANAAN
- IVFD Asering 10 tpm
- Inj Furosemid 2 Amp
- Inj Omeprazol 1 Amp
- Cek lab, Rontgen thorax PA
- Pasang DC
- Konsul dr.Agus, Sp. PD  advise :
- Diet hepatitis II
- IVFD D10%:Aminoleban 10 tpm
- Inj Pantoprazole 40 mg/24 jam
- Inj Furosemid 20 mg/12 jam
- Inj cefoperazon 1 gr/12 jam
- Spironolacton 3 x 100 mg
- Propanolol 2 x 10 mg
- USG Abdomen
- EKG

 HASIL USG ABDOMEN

Kesan:
 Gambaran diffuse hepatocellular disease dengan tanda-tanda hipertensi porta
(pelebaran v.porta, ascites, splenomegali)
 Efusi pleura kanan

 FOLLOW UP

8/8/2017 13.00 WIB

S: Pasien mengalami penurunan kesadaran


O: Td: 60/40 RR: 32
N: 93 Spo2: 99
Cek GDS: 29
Kepala: CA -/-, SI +/+
Thorax:
Cor: BJ I dan II, Reg, M (-), G (-)
Pulmo: Ves +/+, Rh +/+, Wh -/-
Abdomen: Asites, pekak (+), NT + - -, BU menurun, teraba splenomegali
+--
+--

Eks: Edema +/+/+/+

A: Hepatitis B kronik
Sirosis Hepatis
Hipoglikemi

P: Konsul dr. Agus, Sp.PD. Instruksi dr. Agus, Sp. PD:


Inj D40% 3 flash > 1 jam kemudian cek GDS
IVFD D10% 30 tpm
Inj Dobutamin 20 meq > 13,2 cc/jam sampai systole > 100
Evaluasi 1 jam kemudian

8/8/2017 19.30 WIB

S: Pasien penurunan kesadaran


O: Td: -/- RR: -
N: - Spo2: -
A: Apneu
P: Pasien dinyatakan meninggal didepan keluarga dan perawat

 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia
Daftar Pustaka: terlampir

Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana asites et causa sirosis hepatis
TINJAUAN PUSTAKA

HEPATITIS B (KRONIK)
A. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel –sel hati.

B. Epidemiologi
Infeksi Virus Hepatitis B adalah suatu masalah kesehatan utama di dunia pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia
pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta diataranya merupakan pengidap hepatitis B.
Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di
Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-
20.3 %, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi darpada di Pulau Jawa.
Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan
genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%), dan A (0,8%).
Sirosis dan Karsinoma Hepatoselullar (KHS) adalah dua keluaran klinis hepatitis B
kronik yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien
dengan hepatitis B yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20 % dari
jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya.
Sementara insidensi kumulatif KHS pada pasien dengan hepatitis B yang sudah
mengalami sirosis mencapai 21 % pada pemantauan 6 tahun.

C. Etiologi
Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan
mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut
hepatitis B surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian
dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu
DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg). Antigen
ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg positif. HBeAg positif pada
penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya derajat infektivitasnya
tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa HBeAg untuk menentukan
prognosis penderita.
Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan vertikal.
 Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B kepada
individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi
melalui kulit atau melalui selaput lendir.
 Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang
dilahirkan.

Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan
parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah penularan
melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif melalui goresan
atau abrasi kulit dan radang kulit.

Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah
selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir
genetalia.

Penularan vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero),
selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau post natal.

Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata sekitar
60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang
terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan bahkan feses.
Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah, semen, dan saliva) telah terbukti
bersifat infeksius.

Orang yang beresiko tinggi menderita hepatitis B:


1. Imigran dari daerah endemis HBV
2. Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik
3. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang terinfeki
4. Pria homoseksual yang secara seksual aktif
5. Pasien rumah sakit jiwa
6. Narapidana pria
7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu
dari plasma
8. Kontak serumah dengan karier HBV
9. Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan darah
10. Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau seggera setelah
lahir.

D. Patofisiologi
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel
hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat
dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B
smerangsang respon imun tubuh, yang pertama kali adalah respon imun non spesifik
karena dapat terangsang dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian diperlukan respon imun spesifik yaitu
dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. aktivasi sel T, CD8 + terjadi
setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada
permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang ada di dalam
sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan
menyebabkan meningkatnya ALT.

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD+ akan mengakibatkan produksi
antibody antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat
diakhiri tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis B
yang menetap. Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak efisien
dapat disebabkan oleh faktor virus atau pun faktor pejamu.

Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B,
hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel – sel terinfeksi, terjadinya
mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus
hepatitis B dalam genom sel hati

Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin dan hormonal.

Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B pada
neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga persistensi infeksi
virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg yang masuk ke dalam
tubuh janin mendahului invasi virus hepatitis B, sedangkan persistensi pada usia dewasa
diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.

E. Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B
dibangi 2 yaitu :
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang
sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari
tubuh hospes.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik

2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu dengan
sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan virus
hepatitis B tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan virus hepatitis B.

Hepatitis B akut yang khas


Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia,
mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum,
SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2. Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan
splenomegali. Timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu
kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium
tes fungsi hati abnormal.
3. Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase. Pembesaran hati
masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.

Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai
prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian.
Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan
SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati menjadi lebih kecil,
kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah,
dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuriadan uremia.

Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik.
Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang baik. Gejala
tambahan dapat terjadi, terutama pada orang yang sudah lama mengalami hepatitis B
kronis. Gejala ini termasuk ruam, urtikaria (kaligata – rasa gatal yang berbintik-bintik
merah dan bengkak), arthritis (peradangan sendi), dan polineuropati (semutan atau rasa
terbakar pada lengan dan kaki).

F. Perjalanan Penyakit
Penyakit ini disebabkan infeksi oleh virus hepatitis B, sebuah virus DNA dari
keluarga hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200
pasang basa. Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) hepatitis
akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap
penyakit ini, atau (2) berkembang menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi VHB secara
kronik bisa mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune
clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai
dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin aminotransferase (ALT) yang
normal. Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan
virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian dapat
berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan kemudian dapat berkembang
menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml),
ALT normal, dan kerusakan hati minimal. Seringkali pasien pada fase pengidap inaktif
dapat mengalami fase reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai > 2000 IU/ml dan
inlamasi hati kembali terjadi.

G. Evaluasi Pre-Terapi
Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi hepatitis B kronik bertujuan untuk:
(1) menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB dengan penyakit hati, (2)
melakukan penilaian derajat kerusakan sel hati, (3) menemukan adanya penyait
komorbid atau koinfeksi dan (4) menentukan watu dimulainya terapi.
1. Hubungan kausal penyakit hati dengan infeksi kronik VHB dijelaskan pada tabel
1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Infeksi VHB

2. Penilaian derajat kerusakan hati dilakukan dengan pemeriksaan penanda biokimia


antara lain: ALT, GGT, Alkali fosfatase, bilirubin, albumin dan globulin serum,
darah lengkap, PT, dan USG hati. Pada umumnya, ALT akan lebih tinggi dari
AST, namun seiring dengan progresifitas penyakit menuju sirosis, rasio ini akan
terbalik. Bila sirosis telah terbentuk, maka akan tampak penurunan progresif dari
albumin, peningkatan globulin dan pemanjangan waktu protrombin yang disertai
dengan penurunan jumlah trombosit.
3. Penyebab penyakit hati lain harus dievaluasi, termasuk diantranya kemungkinan
ko-infeksi degan VHC dan/atau HIV. Penyakit komorbid lain seperti penyakit
metabolik, autoimun, serta alkoholik dengan atau tanpa steatosis/steatohepatitis
juga perlu dievaluasi.
4. Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan oleh nilai DNA VHB, ALT
serum dan gambaran histologi hati. Indikasi terapi pada infeksi VHB akan
dijelaskan lebih lanjut pada sub bab indikasi terapi.

H. Terapi
Penderita dan keluarga diberi penjelasan atau penyuluhan tentang cara penularan,
infeksiositas penderita sebagai pengidap HBsAg, apalagi jika HBeAG positif, keluarga
serumah dan yang menjalin hubungan intim/seksual perlu divaksinasi terhadap hepatitis B
(perlu uji saring pra-vaksinasi atas HBsAg dan anti-HBs)

Aktivitas pekerjaan sehari-hari seperti biasa disesuaikan dengan keluhan (aktivitas


hepatitis), jangan sampai terlalu meletihkan, demikian juga dengan olahraga. Diet khusus
tak diperlukan, namun harus pertahankan gizi baik dan tidur yang cukup. Protein 1-1,5
gr/kg/hari. Terapi spesifik hingga sekarang masih dalam tahap eksperimental dan pola
pemberian bermacam-macam.

Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk mencegah atau menghentikan


progesi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan
infeksi dalam pengobatan hepatitis B kronik, tujuan akhir yang sering dipakai adalah
hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB )
atau dengan kata lain mengontrol “viral load” serendah mungkin menjadi anti-HBe
disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati.
Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, sero konvensi HBeAg tidak
dapat dipakai sebagai titik akhir pengobatan dan respons pengobatan hanya dapat dinilai
dengan pemeriksaan DNA VHB.

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat
kriteria, anatar lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) stetus HbeAg, (3) nilai ALT dan (4)
gambaran hitologis hati.
Gambar 1. Algortima Penatalaksanaan hepatitis B dengan HbeAg positif

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan hepatitis B dengan HbeAg positif


Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada pasien Sirosis

Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang diterima
secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon
alfa-2a, maupun pegylated interferon alfa-2b) dan golongan analog nukleos(t)ida.
Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir,
entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di
Indonesia, namun khusus untuk tenofovir, saat panduan ini disusun, peredarannya di
Indonesia hanya dikhususkan untuk pasien HIV. Baik interferon maupun analog
nukleos(t)ida memliki kekurangan dan kelebigan masing-masing. Perbedaan kedua
golongan obat ini dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida

Rekomendasi 1. Evaluasi menyeluruh dan konseling adalah wajib sebelum


merencanakan terapi hepatitis B kronik.
Rekomendasi 2. Pasien yang menunjukkan replikasi virus dengan ALT normal atau
meningkat sedikit secara persisten tanpa adanya bukti histologis sirosis tidak
termasuk dalam indikasi terapi.
Rekomendasi 3. Indikasi terapi pada pasien hepatitis B kronik dengan HbeAg positif
adalah pada pasien dengan DNA VHB > 2 X 104 IU/mL dan ALT > 2x batas atas
normal. Pada pasien dengan HBeAg negatif, terapi dimulai pada pasiendengan DNA
VHB > 2 X 103 IU/mL dan ALT > 2x batas atas normal.
Rekomendasi 4. Evaluasi fibrosis dengan cara invasif maupun non invasif dilakukan
pada pasien dengan muatan virus tinggi dan peningkatan ALT serum minimal yang
berumur > 30 tahun atau pada pasien berumur <30 tahun dengan faktor risiko
tinggi.
I. Komplikasi dan Prognosis
Hepatitis B kronik dapat berlanjut menjadi sirosis hepatis yang merupakan komplikasi
paling banyak, dan merupakan perjalanan klinis akhir akibat nekrotik sel – sel hepatosit.
Prognosis hepatitis B kronik dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang paling utama adalah
gambaran histologi hati, respon imun tubuh penderita, dan lamanya terinfeksi hepatitis B,
serta respon tubuh terhadap pengobatan.

SIROSIS HEPATITIS
A. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif.
Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjnag retikulin
kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis
parenkim hati.

B. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :


1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.

2. Sirosis hati dekompensata


Dikenal dengan active sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah
jelas, misalnya; ascites, edema dan ikterus.
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan
morfologis menjadi:
1. Alkoholik
2. Kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis)
3. Biliaris
4. Kardiak
5. Metabolik, keturunan, dan terkait obat

C. Etiologi
Tabel.3 Sebab-sebab sirosis dan/atau penyakit hati kronik
Penyakit Infeksi
 Bruselosis
 Ekinokokus
 Skistosomiasis
 Toksoplasmosis
 Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
 Defisiensi alfa1- antiripsin
 Sindrom fanconi
 Galaktosemia
 Penyakit Gaucher
 Penyakit simpanan glikogen
 Hemokromatosis
 Intoleransi fluktosa herediter
 Tirosinemia herediter
 Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
 Alkohol
 Amiodaron
 Arsenik
 Onstruksi bilier
 Penyakit perlemakan hati non alkoholik
 Sirosis bilier primer
 Kolangitis sklerosis primer
Penyebab lain atau tidak terbukti
 Penyakit usus inflamasi kronik
 Fibrosis kistik
 Pintas jejunoileal
 Sarkoidosis

D. Epidemiologi
Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan Indonesia terutama akibat
infeksi virus hepatitis B maupun C.Hasil penelitian di Indnesia menyebutkan virus
hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%,
sedangkan 10-20% penyebab tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan
C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya
kecil sekali karena belum ada datanya.

E. Gejala Klinis
Gejala-gejala sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat
timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompesata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan sklus haid, ikterus dengan air
kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

Temuan klinis
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider
telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui,
ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini
juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang
sehat, walaupun umumnya ukuran lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak
spesifiik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchreche berupa pita putih horisontal dipisahkan dengan
warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi auatu
periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi
jari-jari berkaitab dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik,
dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae
laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksila pada laki=laki, sehingga laki-laki mengalami
perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol
pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil.
Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali-sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
Asites-penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa-juga sebagai akibat hipertensi porta.
Fetor hepatikum-bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasab porto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila kadar bilirubin
kurang 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixix-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan,
dorsofleksi tangan.
Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya:
 Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
 Batu pada vesika felea akibat hemolisis
 Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat
sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus-dialami 15 sampai 30 % pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi
insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Gambaran Laboratoris
 Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo astetat (SGOT) dan
alanin aminotransferase (ALT) tau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat darpada ALT, namun bila
transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
 Alkali fosfatase-meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali harga batas normal atas.
Kadar yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.
 Gamma-glutamil transpeptidase (GGT)-kadarnya seperti halnya alkali fosfatase
pada penyakit hati. Kadarnya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena
alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit.
 Blirubin-kadarnya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut.
 Albumin-sintesinya terjadi di jaringan hati, kadarnya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis.
 Globulin-kadarnya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
imunoglobulin.
 Waktu protrombin-mencermikan derjat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga
pada sirosis memanjang.
 Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
 Kelainan hematologi-anemia penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
monokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif
yang berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
 Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang.
Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permkaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan
nodular, permukaan irregular, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati.
Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta
dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.

F. Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan
diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bis
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium
biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan
diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus
tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan
tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

G. Komplikasi
Morbiditas dan mortilitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien
sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
 Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder
intraabdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan
nyeri abdomen.
 Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati
lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan
filtrasi glomerulus.
 Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Duapuluh sampai
40 % pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kemtaiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan beberapa cara.
 Ensefalopati hepatik-merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
 Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.

H. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakanhati,
pencegahan dan penanganan komplikasi.
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
Misalnya : cukup kalori (kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari), protein
1gr/kgBB/hari.
c. Pengobatan berdasarkan etiologi1
 Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dan dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan
obat herbal bisa menghambat kolagenik.
 Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
 Hemokromatosis; flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi
normal dan diulang sesuai kebutuhan.
 Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mnecegah
terjadinya sirosis.
 Hepatitis virus B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukelosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama
diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun
pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD
sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara
suntikan subutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun
ternyata juga banyak yang kambuh.
 Hepatitis virus C jronik; kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan
subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi
ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
 Pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa
datag, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator
fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk
mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
Interferon mempunyai aktivasi sel stelata. Kolkisin memilik efek anti
peradangan dan mencegah pembetuka kolagen, namun belum terbukti
dalam penelitian sebagai antifibrosis dam sirosis. Metotreksat dan
vitamin juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, juga obat-
obatan herbal juga sedang dalam penelitian.

3. Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti:
1. Astises
2. Ensefalophaty hepatic
3. Varise esofagus
4. Spontaneous bacterial peritonitis (peritonitis bacterial spontan)
5. Hepatorenal syndrome
6. Ensefalophaty hepatic

 Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan
diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg
sekali sehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan
dilindungi dengan pemberian albumin.

Tabel 4. Grading Asites dan Strategi Penatalaksanaan Asites (European


Association for Study of the Liver, 2010)

Grade Asites Definisi Penatalaksanaan


Grade 1 Asites ringan, hanya Tidak ditatalaksana
bisa dideteksi dengan
USG
Grade 2 Asites derajat sedang, Pembatasan asupan
terlihat dengan garam dan pemberian
distensi abdomen diuretik
derajat sedang
Grade 3 Asites derajat berat Parasintesis volume
yang ditandai dengan besar diikuti dengan
distensi abdomen pembatasan asupan
garam dan pemberian
diuretik (kecuali asites
refrakter)

 Ensefalopati hepatik
Laktulosa membantu pasien untuk mnegeluarkan amonia. Neomisin bisa
digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet protein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asama amino
rantai cabang.
 Varise esofagus
Sebelum berdarah dan sesuadah berdarah bisa diberikan obat oenyekat beta
(propanorol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
 Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik empiris. Pilihan antibiotik yang sering dipakai dan
mentatalaksana sebagain besar bakteri penyebab adalah sefalosporin generasi ke 3
contoh: cefotaxim. Dosis yang dipakai 2 gr IV 2 kali sehari selama 5-10 hari.
Antibiotik alternatif adalah piperaccilin/tazobactam.
 Sindrom Hepatorenal
Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan
air.
 Transplantasi hati
Terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan
transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.

I. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Beberapa
tahun terakhir, metode prognostik yang paling umum dipakai pada pasien dengan sirosis
adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh. Child dan Turcotte pertama
memperkenalkan sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka
kematian selama operasi portcaval shunt. Pugh kemudian merevisi sistem ini pada 1973
dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang kurang spesifik
dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan dengan menggunakan INR
selain waktu protrombin dalam menilai kemampuan pembekuan darah. Sistem klasifikasi
Child-Turcotte-Pugh dapat dilihat pada tabel 5. Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh
dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut.
Dimana angka kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria Child-
Pugh A adalah 100%, Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh adalah 45% .
Tabel 5. Sistem Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh
Parameter Skor
1 2 3
Asites Tidak ada Minimal Sedang-berat
Ensefalopati Tidak ada Minimal - sedang Sedang-berat
Bilirubin < 2,0 2-3 >3,0
(mg/dl)
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Waktu 1-3 atau INR < 4-6 atau INR 1,7- >6 atau INR>2,3
protombin/ 1,7 2,3
INR (detik)
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B


Jakarta; 2012.
2. Siti Nurdjanah. Sirosis hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata
MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta; Departemen
Ilmu Penyakit Dalam fakultas kedokteran Indonesia. 2009. Page 668-673.
3. David C Wolf. 2012. Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/185856-
overview#showall .Diakses pada tanggal 5 September 2017.
4. Pedersen, J. S., Bendtsen, F.,Moller, S. 2015. Therapeutic Advances in Chronic
Disease: Management of Cirrhotic Ascites. Denmark: Gastro Unit, Medical Division,
Faculty of Health Sciences, University of Copenhagen. Vol. 6,No. 3:124-137.
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 12 Januari 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Perseta : Dr. Lidya Aprilia Sari

No. ID Peserta : SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017

Dengan judul/topik :

HIPERGLIKEMI

No. ID dan Nama Pedamping : Dr. Muhammad Fikri

: Dr. Indah Budi Susilowati

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. Dr. Agustina Permata Sari SIP.449.1/016/INTERNSIP/2017
........................
2. Dr. Muhamad Andanu Yunus Slamet SIP.449.1/014/INTERNSIP/2017
.......................
3. Dr. Hutami Mutiara Dewi SIP.449.1/013/INTERNSIP/2017
.......................
4. Dr. Muhammad Iqbal Ramadhan SIP.449.1/012/INTERNSIP/2017
.......................
5. Dr. Aditya Bagas Prastowo SIP.449.1/011/INTERNSIP/2017
.......................
6. Dr. Anugrah Adi Santoso SIP.449.1/005/INTERNSIP/2017
.......................
7. Dr. Atika Mastria Romadani SIP.449.1/004/INTERNSIP/2017
.......................
8. Dr. Adhimas Fajar Aryanto SIP.449.1/003/INTERNSIP/2017
.......................
9. Dr. Guntur Arianto Wibowo SIP.449.1/002/INTERNSIP/2017
.......................
10. Dr. Ronny Mahendra Aditya SIP.449.1/001/INTERNSIP/2017
.......................
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Pedamping,

(Dr. Muhammad Fikri) (Dr. Indah Budi Susilowati)


No. ID: 197412132009021001 No.ID: 197909122008012032
No. ID dan Nama Peserta : dr. Lidya Aprilia Sari
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta
Topik : Kasus Penyakit Dalam
Tanggal (kasus) : 1/11/2017 Presenter : dr. Lidya Aprilia Sari
Nama Pasien : Ny. S No. RM : -
Tanggal Presentasi : 12/1/2018 Pendamping : dr. Muhammad Fikri dan dr Indah B
Pembimbing: dr. Restu, Sp. PD
Tempat Presentasi : RSUD Kota Surakarta
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan   Ketrampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik √  Manajemen   Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa √  Lansia  Bumil


Deskripsi : Hiperglikemi
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan manajemen hiperglikemi
Bahan bahasan :  Tinjauan  Riset  Kasus   Audit
Pustaka √
Cara membahas :  Diskusi   Presentasi dan  E-mail  Pos
diskusi
Data pasien Nama : Ny. S No CM : -
Nama klinik : RSUD Kota Surakarta Telp : - Terdaftar sejak : 1/11/2017
Data utama untuk bahan diskusi :
7. Anamnesis :
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 3 hari yang lalu. Rasa nyeri di ulu hati
menjalar ke punggung. Tidak buang air besar sejak 10 hari yang lalu. Demam sejak 3 hari
yang lalu. Nafsu makan menurun. Bak normal. Keluhan lain tidak ada.
8. Riwayat Pengobatan :
Tidak ada

9. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat diabetes melitus ada
Riwayat maag ada
Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat sakit liver tidak ada

10. Riwayat keluarga :


Riwayat keluarga tidak diketahui

11. Riwayat Kebiasaan :


Riwayat merokok diakui. Riwayat minum alkohol disangkal
12. Riwayat sosial ekonomi :
-
PEMERIKSAAN FISIK :
 Keadaan Umum : CM, tampak sakit sedang
 Vital Sign :
TD : 104/66
Nadi : 110 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 36,5 C
Spo2 : 97%

 Kepala :Insp :Normocephal


Palp : dbn
 Kulit : Ikterik
 Mata : CA -/-, SI -/-
 Leher :Insp : dbn
Palp : dbn
Ausk : dbn
 Thorax : Bentuk simetris, retraksi suprasternal (-), spider navi (-), pernafasan
abdominotorakal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-)
 Jantung : Insp : ictus cordis tidak terlihat
Palp : ictus cordis teraba di SIC 5 LMCS
Perk : kesan kardiomegali (-)
Ausk : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop S3 (-)
 Paru : Insp : otot bantu nafas (-)
Palp : nyeri tekan (-), simetris (+), taktil fremitus: teraba kanan dan kiri
Perk : kanan/kiri: sonor/sonor
Ausk : vesicular (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
 Abd : Insp : Supel
Ausk : Bising usus (+) normal
Perk :
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani

Palp : Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba
 Extremitas atas : akral hangat +/+, CRT < 2 detik
Extremitas bawah : akral hangat +/+, CRT< 2 detik, edema -/-

 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin GDS
Haemoglobin : 11.0 GDS: 445
gr/dL
Leukosit : 11.89
ribu/mm3
Eritrosit : 4.50
juta/mm3
Trombosit : 450
ribu/mm3
Hemtokrit : 33 vol
%

 DIAGNOSA SEMENTARA
- Hiperglikemi
- Kolik abdomen
- Febris H-3
- Kolik Abdomen

 PLANNING
4. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
5. Menegakan diagnosis
6. Melaksanakan manajemen terapi

 PENATALAKSANAAN
- IVFD Nacl loading 500 cc
- Inj Antrain 1 Amp
- Inj Ranitidin 1 Amp
- Inj Ondancetrom 1 amp
- Bisacodyl tab 5 mg
- Inj Novorapid bolus 8 unit IV
- Cek lab
- Konsul dr.Restu, Sp. PD  advise :
- Inf RL 20 tpm
- Inj Cefopeazon 1 gr/12 jam
- Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
- Inj Ketorolac 1 amp/12 jam
- Novorapid 8-8-8
- Lantus 0-0-10
- Fleed enema extra
 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka: terlampir

Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana hiperglikemi
TINJAUAN PUSTAKA

HIPERGLIKEMI
2.1 Definisi
2.1.1 Ketoasidosis diabetikum
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah kondisi dekompensasi
metabolik akibat defisiensi insulin absolute atau relatif dan merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus yang serius. Gambaran klinis utama KAD
adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. Faktor pencetus :
infeksi, infark miokard akut, pancreatitis akut, penggunaan obat golongan
steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.
2.1.2 Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Koma hiperosmolar non ketotik (KHONK) adalah nomenklatur yang
direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA) untuk
menekankan bahwa terdapat perubahan tingkat kesadaran. Diagnostik dari
KHIONK meliputi :
1. Glukosa plasma 600 mg/dL atau lebih
2. Osmolalitas serum 320 mOsm/kg atau lebih
3. Dehidrasi berat (biasanya 8 -12 L) dengan peningkatan BUN
4. Ketonuria minimal, tidak ada ketonemia
5. Bikarbonat > 15 mEq/L
6. Perubahan dalam kesadaran

2.2 Patofisiologi
2.2.1 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum2
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormone kontra
regulator (glucagon, katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan);
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia (Gambar 2).
Diantara hormone-hormon kontraregulator, glucagon yang paling
berperan dalam pathogenesis KAD. Glucagon mengambat glikolisis dan
menghambat pembentukan malonyl coA yang merupakan penghambat
creatinine acyl transferase yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke
dalam mitokondria. Peningkatan glucagon akan merangsang oksidasi beta
asam lemak dan ketogenesis.

2.2.2 Patofisiologi Koma Hiperosmolar Non Ketotik2

Gambar 2. Patogenesis KAD dan KHONK. KAD : Ketoasidosis diabetikum, KHONK :


Koma hiperosmolar non ketotik

Koma hiperosmolar non ketotik (KHONK) dimulai dengan adanya


diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan kegagalan pada kemampuan
ginjal dalam mengkonsentrasikan urin. Keadaan ini semakin memperberat
derajat kehilangan air. Adanya penurunan volume intravaskuler atau penyakit
ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular
yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa. Hilangnya air yang lebih
banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Gambar 2).
Pasien KHONK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketrahui
dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berperan antara lain adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak
bebas yang rendah untuk ketogenesis, namun tidak cukup untuik mencegah
hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon. Penurunan pemakaian
glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak,
ketidakmampuan menyimpan glukosa pada sel hati untuk glukoneogenesis
mengakibatkan naiknya kadar glukosa darah.
Adanya hiperglikemia juga mengakibatkan timbulnya diuresis
osmotik, dan mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang
vaskuler, dimana glukoneogenesis dan masukan makanan terus menerus
menambah glukosa, kehilangan cairan akan semkain mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan
konsentrasi protein plasma mengikuti hilangnya cairan intravaskuler
menyebabkan kedaan hiperosmolar.

2.3 Diagnosis
2.3.1 Ketoasidosis diabetikum
Tiga gejala utama dari ketoasidosis diabetikum adalah hiperglikemia,
ketosis dan asidosis.

Klinis:

 Mual dan muntah : karena banyak asam dan hilangnya zat-zat


tubuh yang penting

 Nafas yang cepat dan dalam (kusmaul breathing) akibat


banyaknya asam tubuh, dan tubuh berusaha mengeluarkan
sebagian asam melalui paru-paru. Nafas berbau seperti “buah”
karena adanya aseton

 Kesadaran : kompos mentis, delirium, koma

 Dehidrasi : turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering

 Dapat disertai syok hipovolemik

Kriteria diagnosis KAD adalah

Kadar glukosa : >250 mg/dL

pH : < 7,35

HCO3- : Rendah

Anion gap : tinggi

Keton serum : positif


2.3.2 Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Klinis :

1. Rasa lemah, gangguan penglihatan atau kaki kejang

2. Mual dan muntah

3. Gejala saraf :letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau


koma

Pemeriksaan fisik :

 Tanda-tanda dehidrasi berat : turgor buruk, mukosa pipi kering,


mata cekung, akral dingoin, nadi cepat dan lemah

 Peningkatan suhu tubuh tidak tinggi

 Perubahan status mental : disorientasi – koma

Kriteria diagnosis untuk membedakan dengan KAD :

1. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun

2. Hampir semua pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM


tanpa insulin

3. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% mengidap


penyakit ginjal atau kardiovaskuler, lain-lain seperti
akromegali, tirotoksikosis dan penyakit Cushing

4. Sering disebabkan oleh obat-obatan, al. tiazid, furosemid,


manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin,
dilantin, simetidin,dan haloperidol.

5. Mempunyai factor pencetus misalnya infeksi, penyakit


kardiovaskuler, aritmia, perdarahan, gangguan keseimbangan
cairan, pancreatitis, koma hepatic dan operasi.

2.4 Diagnosis banding


2.4.1 ketoasidosis diabetikum
1. Hiperglikemia hiperosmolar
2. Alkoholisme
3. Kelaparan
4. Asidosis laktat
5. Obat-obatan seperti salisilat dan methanol
2.4.2 Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ketoasidosis diabetikum (KAD)

2.5 Penataksanaan
2.5.1 Ketoasidosis diabetikum
I. Cairan :
 NaCl 0,9% diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua,
lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan
kleenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
 Jika Na+ > 155 mEq/L  ganti cairan dengan NaCl 0,45%
 Jika GD mencapai 250 mg/dL  ganti cairan dengan D5%
II. Insulin regular
 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 IV (0,1 U/Kg) atau IM (0,4 U/Kg), kemudian 0,1 unit/kg per jam dengan IV
drip; naikkan 2-10x lipat jika tidak ada respon dalam 2-4 jam. Jika kadar
serum kalium awal <3,3 mmol/L(3,3 mEq/l) Jangan berikan insulin hingga
kalium terkoreksi hingga > 3,3 mEq/L.
III. Kalium
 Jika K serum < 3,3 mEq/L, jangan berikan insulin dan berikan 40 mEq/L
K/jam (2/3 KCl dan 1/3 KPO4 ) sampai K ≥ 3,3 mEq/L
 Jika K ≥ 5 mEq/L, jangan berikan K tetapi cek K tiap 2 jam
 Jika K serum ≥ 3,3 tapi < 5 mEq/L berikan 20-30 mEq K dalam tiap cairan IV
(2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
IV. Natrium bikarbonat
 Drip 100 mmol dalam 400 ml H2O infuse dalam 200 ml/jam bila pH
<6,9ulangi pemberian tiap 2 jam sampai pH > 7,0
 Drip 50 mmol dalam 200 ml H2O infuse dalam 200 ml/jam bila pH 6,9-
7,0ulangi pemberian tiap 2 jam sampai pH > 7,0
 pH > 7,0 tidak diberikan
V. Tatalaksana umum
 oksigen bila PO2 < 80 mmHg
 antibiotika adekuat
 pantau TD, frekuensi nadi,nafas,suhu, status mental, balans cairan tiap 1-4 jam
 keadaan hidrasi tiap jam
 cairan infuse yang masuk tiap jam

2.5.2 Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Penatalaksanaan Meliputi lima pendekatan: rehidrasi intravena agresif,


penggantian elektrolit, pemberian insulin intravena, diagnosis dan manajemen
faktor pencetus dan penyakit penyerta, pencegahan.

1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan NaCl,


bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik ½ normal diguyur 1000
ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai
membaik, baru diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48
jam.

2. Pemberian cairan isotonik harus mendapatkan pertimbangan untuk


pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia.

3. Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-


250 mg%. Infus glukosa 5% harus disesuaikan untuk mempertahankan
kadar glukosa darah 250-300 mg% agar resiko edema serebri
berkurang.

4. Insulin, pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar
hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin dan diketahui pula
bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis
diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat
menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik.

5. Kalium, kalium darah harus dipantau dengan baik. Dengan ditiadakan


asidosis, hiperglikemia pada mulanya mungkin tidak ada kecuali bila
terdapat gagal ginjal. Kekurangan kalium total dan terapi kalium
pengganti lebih sedikit dibandingkan KAD. Bila terdapat tanda fungsi
ginjal membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera
diberikan.
6. Hindari infeksi sekunder, hati-hati dengan suntikan, permasalahan
infus set, kateter.

7. Identifikasi dan mengatasi faktor penyebab, terapi antibiotik


dianjurkan sambil menunggu hasil kultur pada pasien usia lanjut dan
pada pasien dengan hipotensi

2.6 Komplikasi

2.6.1 Ketoasidosis diabetikum

Beberapa kompikasi yang dapat terjadi selama pengobatan KAD ialah


edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia,
hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia.

2.6.2 Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Oklusi vaskuler, infark miokard, low-flow syndrome, DIC, dan


rabdomiolisis. Overhidrasi dapat menyebabkan adult respiratory distress
syndrome dan edema serebri : jarang ditemukan namun dapat berakibat fatal.

2.7 Prognosis

2.7.1 ketoasidosis diabetikum : dubia

2.7.2 koma hiperosmolar non ketotik : dubia


DAFTAR PUSTAKA

1. Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M. 2012. EIMED


PAPDI : Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Interna Publishing : Jakarta

2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM. 2006.Hal 20-25.
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 18 Januari 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Perseta : Dr. Lidya Aprilia Sari

No. ID Peserta : SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017

Dengan judul/topik :

KETUBAN PECAH DINI (KPD)

No. ID dan Nama Pedamping : Dr. Muhammad Fikri

: Dr. Indah Budi Susilowati

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. Dr. Agustina Permata Sari SIP.449.1/016/INTERNSIP/2017
........................
2. Dr. Muhamad Andanu Yunus Slamet SIP.449.1/014/INTERNSIP/2017
.......................
3. Dr. Hutami Mutiara Dewi SIP.449.1/013/INTERNSIP/2017
.......................
4. Dr. Muhammad Iqbal Ramadhan SIP.449.1/012/INTERNSIP/2017
.......................
5. Dr. Aditya Bagas Prastowo SIP.449.1/011/INTERNSIP/2017
.......................
6. Dr. Anugrah Adi Santoso SIP.449.1/005/INTERNSIP/2017
.......................
7. Dr. Atika Mastria Romadani SIP.449.1/004/INTERNSIP/2017
.......................
8. Dr. Adhimas Fajar Aryanto SIP.449.1/003/INTERNSIP/2017
.......................
9. Dr. Guntur Arianto Wibowo SIP.449.1/002/INTERNSIP/2017
.......................
10. Dr. Ronny Mahendra Aditya SIP.449.1/001/INTERNSIP/2017
.......................
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Pedamping,

(Dr. Muhammad Fikri) (Dr. Indah Budi Susilowati)


No. ID: 197412132009021001 No.ID: 197909122008012032
No. ID dan Nama Peserta : dr. Lidya Aprilia Sari
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta
Topik : Kasus Obstetri dan Ginekologi
Tanggal (kasus) : 26/12/2017 Presenter : dr. Lidya Aprilia Sari
Nama Pasien : Ny. R No. RM : 090051
Tanggal Presentasi : 18/2/2018 Pendamping : dr. Muhammad Fikri dan dr Indah B
Pembimbing: dr. Bima, Sp.OG
Tempat Presentasi : RSUD Kota Surakarta
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan   Ketrampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik √  Manajemen   Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil √


Deskripsi : Ketuban Pecah Dini
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan manajemen ketuban pecah dini
Bahan bahasan :  Tinjauan  Riset  Kasus   Audit
Pustaka √
Cara membahas :  Diskusi  Presentasi dan  E-mail  Pos
diskusi 
Data pasien Nama : Ny. R No CM : 090051
Nama klinik : RSUD Kota Surakarta Telp : - Terdaftar sejak : 18/1/2018
Data utama untuk bahan diskusi :
13. Anamnesis :
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Surakarta dengan keluhan kencang-kencang dan keluar
air ketuban sejak jam 22.00 WIB ( 2 jam sebelum masuk rumah sakit). Keluhan keluar lendir
darah disangkal.

14. Riwayat Penyakit Dahulu:


Tidak ada

15. Riwayat Kesehatan/penyakit :


Tidak ada
16. Riwayat keluarga :
Tidak ada

17. Riwayat Menarche:


Usia 11 tahun.

18. Riwayat Menstruasi


Teratur/ 7 hari/ dismenore (-)
19. Riwayat Obstetri:
-

20. Riwayat KB:


-

21. HPHT: 20 Maret 2017


22. HPL: 27 Desember 2017

PEMERIKSAAN FISIK :
 Keadaan Umum : CM
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital Sign :
TD : 138/84
Nadi : 84 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 36,5 C
Spo2 : 99%

Status Interna Singkat


 Kepala
 Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Hidung: tidak ada sekret, tidak ada darah
 Mulut: tidak sianosis
 Telinga: tidak ada sekret, tidak ada darah
 Leher
 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tyroid
 Thorak
 Cor
 Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
 Palpasi: iktus kordis tidak teraba
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: S1S2 tunggal, tidak ada ekstrasistole, gallop maupun
murmur
 Pulmo
 Inspeksi: simetris, tidak ada retraksi
 Palpasi: fremitus raba positif kedua lapang paru
 Perkusi: sonor
 Auskultasi: vesikular di kedua lapang paru, tidak ada wheezing
maupun rhonki.
 Ekstremitas
 Akral hangat dan tidak oedem di keempat ekstremitas
Status Obstetri dan Ginekologi
 Payudara
 Papila mamae menonjol, colostrum (-)
 Abdomen:
 TFU: 30 cm, puka, preskep
 DJJ: 139 x/mnt
 His: 1-2 X/mnt
 Genitalia:
Vagina Touche : Belum ada pembukaan, STLD (-), Ak mengalir, lakmus (+)
 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin dan PT/APTT Goldar/Rhesus/GDS/HbsAg
Haemoglobin : 11.4 gr/dL Golongan darah: o
Leukosit : 10.81 ribu/mm3 Rhesus: positif
Eritrosit : 4.11 juta/mm3 Dula darah sewaktu: 98
Trombosit : 269 ribu/mm3 Hbs Ag: Non reaktif
Hemtokrit : 34 vol %

Masa pembekuan: 4’30”


Masa perdarahan: 2’10”

 DIAGNOSA

G1P0A0, Uk 39+6 Minggu BDP dengan KPD 2 jam

 PLANNING
7. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
8. Menegakan diagnosis
9. Melaksanakan manajemen terapi

 PENATALAKSANAAN
- Inf RL 20 tpm
- Konsul dr. Bima, Sp. OG  advise :
- CTG > lapor dr. Bima hasil CTG
- Injeksi ceftriaxon 1 gr ekstra
- Cek lab

 FOLLOW UP

27 Desember 2017 jam 01.00 pagi

S: Ibu mengatakan kencang-kencang (jarang)

B: Td: 120/80

His: 1x 10’ 15”

DJJ: 11-11-12

VT: BDP

CTG +

A: G1P0A0, UK 39+6 minggu, BDP dengan KPD

R: lapor hasil CTG via WA jam 01.28 pagi

Advis dr. Bima, Sp.OG:

 ACC Induksi Misoprostol 1/8 tablet pervaginal


 Evaluasi 6 jam
 Observasi His dan DJJ

27 Desember 2017 jam 08.27 pagi

S: Ibu mengatakan kencang-kencang dan masih keluar cairan ketuban (rembes)

B: His: 2X 10’

DJJ: 144 X/menit

VT: pembukaan 2 cm, KK +, Ak rembes, portio tipis

A: G1P0A), Uk 39+6 minggu, In partu, kala 1 fase laten dengan induksi

R: observasi
27 Desember 2017 jam 11.00 pagi

S: Ibu mengatakan kencang-kencang

B: His: 2X 10’

DJJ: 12-11-12

VT: pembukaan 4 cm, portio tipis, KK +

A: G1P0A0, Uk 39+6 minggu, in partu, kala 1 fase aktif

R: lapor dr. Bima, Sp.OG:

Advis dr. Bima, Sp.OG:

 Evaluasi
 Terpasang drip oksitosin 5 IU (8-20 tpm)

Ibu partus jam 12.48 siang tanggal 27 Desember 2017

27 Desember 2017 jam 20.00 malam

S: Ibu pindah bangsal jam 15.00 sore

O: Td: 120/80

N/S: 82/36,4 c

U/C: Keras

PPV: dbn

TPS Inf RL + Oksitosin ½ ampul

A: P1A0 PP SPT Induksi jam 12.48

P: Observasi KU dan VS
P.O (+)

Aff inf

28 Desember 2017

S: Ibu mengatakan tidak ada keluhan

O: KU/KS: Baik/ CM

Td: 100/60

N/S: 80/36,5 C

A: P1A0 PP SPT Hr II

P: Obeservasi KU dan VS

PO (+) BLPL (Boleh Pulang)

 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka: terlampir

Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana ketuban pecah dini
TINJAUAN PUSTAKA

KETUBAN PECAH DINI

A. Definisi
Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai
kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya
efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda
awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada
primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.3,4,5,6
Pengertian KPD menurut WHO yaitu Rupture of the membranes before the onset
of labour. Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis sebelum permulaan
persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan Mochtar (1998) mengatakan bahwa
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi
kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Hakimi (2003) mendefinisikan
KPD sebagai ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya
persalinan.Sedangkan menurut Yulaikah (2009) ketuban pecah dini adalah pecahnya
ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum
terdapat tanda persalinan. Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi rahim
disebut ketuban pecah dini (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab persalinan
premature dengan segala komplikasinya.2,3
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut
ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.1 Ketuban pecah dini atau premature
rupture of the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya
tanda-tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu
kehamilan.7
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm
maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of
membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37
minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran
(PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM.4,5,6

B. Epidemiologi
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada
kehamilan midtrester. Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 – 3 %, dan kurang dari 1 %.
Secara umum insidensi KPD terjadi sekitar 7 – 12 %. Insidensi KPD kira – kira 12 %
dari semua kehamilan.8
Hal yang menguntungkan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa
lebih banyak terjadi pada kehamilan cukup bulan dari pada kurang bulan, yaitu sekitar
96%, sedangkan pada kehamilan kurang bulan terjadi sekitar 34%.7,8
Komplikasi seperti korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus KPD,
sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7 %.
Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80% kasus
KPD preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat
baik pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan,
3-15% pada KPD prolonged, 15-25% pada KPD preterm dan mencapai 40% pada
ketuban pecah dini dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden
sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada KPD lebih daripada 24 jam.4,5

C. Etiologi
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang besar.
Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan jaringan kolagen,
yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen
pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada
korion di daerah lapisan retikuler atau trofoblas, dimana sebagaian besar jaringan
kolagen terdapat pada lapisan penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel basal
korion). Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan
inhibisi intrleukin-1 dan prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan
bakteri penyebab infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi
interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan
selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut
membuat uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat
uterus berkontraksi.4,5,8
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, antara
lain:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi
sepsis.1 Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila
jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan
sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik.2
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis.
Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis
adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada
kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi
yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan
pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban.2,4
Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk
melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang
andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau
lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang
menandakan infeksi.6,8
b. Infeksi genitalia
Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum yang
ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi serviks
oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum jelas.
Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat hamil
juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam sebelum persalinan dan
mengakibatkan berat badan lahir rendah.8 Seorang wanita lebih rentan mengalami
keputihan pada saat hamil karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal
yang salah satu dampaknya adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan
penurunan keasaman vagina serta terjadi pula perubahan pada kondisi
pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang biasa
dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang melakukan
pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan disebabkan oleh
infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat berbahaya karena dapat
menyebabkan persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban pecah sebelum
waktunya atau bayi lahir dengan berat badan rendah (< 2500 gram).1,6
Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan keputihannya karena tidak
merasa terganggu padahal keputihanya dapat membahayakan kehamilannya,
sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan berbau
namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya. Dari berbagai macam keputihan
yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah kandidiosis
vaginalis, vaginosisbakterial dan trikomoniasi.2,4 Dari NICHD Maternal-fetal
Medicine Units Network Preterm Prediction Study melaporkan bahwa infeksi
klamidia genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu yang dideteksi berkaitan
dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dan kelahiran preterm spontan
sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini.8,9
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umum
yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran
preterm dan bayi berat badan rendah. Pecah ketuban sebelum persalinan pada
preterm dapat berhubungan dengan infeksi maternal. Sekitar 30% persalinan
preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi dari infeksi tersebut.8
Pada kehamilan akan terjadi peningkatan pengeluaran cairan vagina dari pada
biasanya yang disebabkan adanya perubahan hormonal, maupun reaksi alergi
terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan pembersih vagina dan
bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat terjadi akibat adanya
pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi didaerah
genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan
meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga
mengalami infeksi.9
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, infeksi
diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini dan
persalinan preterm. Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat pargantian
laktobasilus penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri
anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti gardnerella vaginalis, yang akan
menimbulkan infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan kejadian ketuban
pecah dini, persalinan preterm dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,04 yang normalnya nilai pH vagina adalah
antara 3,8-4,5. Abnormalitas pH vagina dapat mengindikasikan adanya infeksi
vagina.1
Herpes simpleks adalah virus menular seksual yang jarang tetapi serius
yang bisa tetap tidak aktif sampai orang mengalami stres atau tidak sehat.
Biasanya merupakan kondisi kronis dan kambuhan serta bisa berat bagi bayi baru
lahir. Infeksi herpes primer biasanya menyebabkan demam ringan dan perasaan
tidak sehat. Muncul lesi yang menimbulkan nyeri sekitar genital internal dan
eksternal/serviks, ulserasi, dan biasanya sembuh dalam tiga minggu.8,9 Herpes
aktif bisa terdiagnosa dengan inspeksi klinis didaerah genital untuk lesi yang
tampak (internal/eksternal) pada saat awitan persalinan atau pecah ketuban
spontan. Sectio saeraria merupakan satu-satunya indikasi bila infeksi masih aktif
sehingga lesinya jelas.8,9
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan
dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik.1
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan
membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan
perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika
diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,
yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai
awitan persalinan dan pelahiran.1,5,10
Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia
kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul
pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks
berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu
berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau
sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (conization).
Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester kedua atau
pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter mut lak diperlukan. Jika
seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks, pembukaan,
tekanan panggul, atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak diketahui,
maka ia perlu segera mendapat penatalaksanaan medis.7,8,9
d. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi
yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi
penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini,
pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban
pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak
lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul
(PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.3,5
Hubungan seksual selama hamil memiliki banyak dampak terhadap
kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan biasanya gairah seks mengalami
penurunan. Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah, lemas, malas dan
apapun yang bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi trimester kedua
umumnya libido timbul kembali, tubuh ibu telah dapat menerima kembali, tubuh
telah terbiasa dengan kondisi kehamilan sehingga ibu dapat menikmati aktifitas
dengan lebih leluasa dari pada trimester pertama. Mual-muntah dan segala rasa
tidak enak biasanya sudah jauh berkurang demikian pula urusan hubungan
seksual. Ini akibat meningkatnya pengalihan darah ke organ-organ seksual
seperti vagina dan payudara. Memasuki trimester ketiga minat/libido menurun
kembali, tetapi hal ini tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit
wanita yang libidonya sama seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab
termasuk beruntung karena tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit
punggung dan pinggul, berat badan yang semakin bertambah atau keharusan
istirahat total.6
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali
seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan
dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim, namun kontraksi ini
berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu,
paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan sperma) juga
memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi
harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan prematur.7,10 Pada
kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran preterm maupun ketuban pecah
adalah dengan mengurangi frekwensi hubungan seksual atau dalam keadaan
betul-betul diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika tetap
memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis yang
terlalu dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak
menimbulkan penekanan pada perut ataupun dinding rahim. Mengurangi
frekwensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan orgasme selain dapat
mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula mengurangi penekanan
pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin, sebab penekanan
yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah dapat
menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen ke janin.7,10
e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai
titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini
berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan
fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal
ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan
awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh
faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal.8 Sedangkan multipara adalah
wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak
hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah
dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat,
diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
berikutnya.8
Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor ini
juga diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini. Yang
didukung satu dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti keputihan, stress
(beban psikologis) saat hamil dan hal lain yang memperberat kondisi ibu dan
menyebabkan ketuban pecah dini.8,10
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara
singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane
sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm
terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya
wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko
mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami
ketuban pecah dini kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya.8
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya polihidramnion dan gemeli.
Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm,
sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini.8
Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil
akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion,
akumulasi berlebihan cairan amnion (> 2 liter), seringkali terjadi disertai
gangguan kromosom, kelainan struktur seperti fistula trakeosofageal, defek
pembuluh saraf dan malformasi susunan sarap pusat akibat penyalahgunaan zat
dan diabetes pada ibu. AFI (amnion fluid indeks) pada kehamilan cukup bulan
secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm dan 23,0 cm.6
Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus,
janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali
pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital
yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi
traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8,
13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi
janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan
pernafasan pada ibu.1,2,10
Kehamilan kembar juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah
komplikasi yang dihubungakan dengan kehamilan, persalinan dan pelahiran serta
masa nifas pada wanita yang mengandung lebih dari satu janin. Kemungkinan
yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali janin, keguguran
dini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan pelahiran preterm, diabetes
kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan. Pada
kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga
korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan
apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga
ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini
diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil
kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala
persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan
kunjungan. Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban
pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa
plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu
dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan
preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah.6,7
Kehamilan dengan janin kembar juga akan mempengaruhi kenyamanan
dan citra tubuh, kesiapan perawatan bayi dan keuangan, semua faktor ini akan
menimbulkan stres dan hendaknya petugas kesehatan lebih banyak memberi
konseling dan pendidikan kesehatan. Konseling tentang persalinan pretem dan
preeklamsi perlu di upayakan guna memberi perawatan kehamilan dengan janin
kembar yang bermutu.2,8
h. Faktor usia ibu
Usia ibu yang ≤ 20 tahun termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban
pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu
tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi
mengalami ketuban pecah dini. Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh
terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan.
Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman
menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di
usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum
100% siap.3,4,5
Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20
tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin
terhambat. Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan
kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Di luar
urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat
hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita
usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan.
Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah
mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan.
Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan
menjaga kehamilannya secara hati-hati.1,3
Usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada
usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang
bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau
tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi
organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit
fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena
sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga
semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko
perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga
tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses
kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini.
Meningkatnya usia juga membuat kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu
akibatnya adalah jaringan rahim yang tak lagi subur. Padahal, dinding rahim
tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan kecenderungan
terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat semestinya.
Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan
pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi
dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu,
kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko
keguguran, ketuban pecah, kematian janin, dan komplikasi lainnya juga
meningkat.1,3,7
Namun secara umum periode waktu dari ketuban pecah dini sampai
kelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah, jika
ketuban pecah pada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa hari saja
sehingga pelahiran terjadi dibandingkan dengan trimester kedua.8

D. Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput
ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban.2,4

Gambar 2.1 Gambar skematik stukur selaput ketuban saat aterm9

Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah


jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas
kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks
metalloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah
komponen-komponen matriks ekstraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput
ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril
(tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga
memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat
metalloproteinase/tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat
aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-
3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1. 1,6,9
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjada selama masa kehamilan oleh karena
aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relative lebih tinggi. Saat
mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar
MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari RIMP yang akan menyebabkan
terjadinya degradasi matriks ekstraseluler selaput ketuban. Ketidakseimbangan kedua
enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas
kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini.
Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9
serta kadar TIMP-1 yang rendah.3,6,9
Gangguan nutrisi merupakan salah satu factor predisposisi adanya gangguan pada
struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini. Mikronutrien lain
yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam askorbat
yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat tersebut
kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini. Pada wanita
perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah.2

Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.


Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus dan
Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya
degradasi membrane dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap
infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan
prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor nekrosis factor
α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada
sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi
prostaglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban pecah
dini preterm karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen membrane.
Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan
precursor prostaglandin dari membrane fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi
juga menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan
sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim
siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam akidonat menjadi prostaglandin.
Sampai saat ini hubungan langsung antara produksi prostaglandin dan ketuban pecah
dini belum diketahui, namun prostaglandin terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai
mediator dalam persalinan mamalia dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu
sintesis kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan
MMP-3. Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu
temperature rectal ibu dimana dikatakan positif jika temperature rectal lebih dari 38⁰C,
peningkatan denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan
vaginal berbau.8,9,10

Gambar 2.2 Mekanisme inflamasi pada selaput ketuban10

Patofisiologi pada infeksi intrapartum :

- Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung


antara ruang intraamnion dengan dunia luar.
- Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan
penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang
intraamnion.
- Mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar
melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal).
- Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam
yang terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.9,10
Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler pada
jaringan reproduktif. Kedua hormone ini didapatkan menurunkan konsentrasi MMP-1
dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblast serviks dari kelinci
percobaan. Tingginya konsentrasi progesterone akan menyebabkan penurunan produksi
kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi
kolagen. Ada juga protein hormone relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan
jaringan ikat diproduksi secara local oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini
mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesterone dan
estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membrane janin.
Aktivitas hormone ini meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia saat
aterm. Peran hormone-hormon tersebut dalam pathogenesis pecahnya selaput ketuban
belum dapat sepenuhnya dijelaskan.13,14

Kematian Sel Terprogram

Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel
terprogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput
ketuban. Pada korioamnionitis terlihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan
granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel.
Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks ekstraseluler
dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab
degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui
dengan jelas.7,9

Peregangan Selaput Ketuban


Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa factor di selaput ketuban
seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang
aktivitas MMP-1 pada membrane. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan
korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolagenase.
Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan
degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput
ketuban.10
Gambar 2.3 Mekanisme multifaktorial menyebabkan ketuban pecah dini10

E. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis dan
tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes,
disertai dengan demam/menggigil, juga nyeri pada perut, keadaan seperti ini dicurigai
mengalami amnionitis.6 Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus
diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang
sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk
sementara.5,7
Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu ada (kadang-kadang) timbul pada
ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan tampak
diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan lain seperti nyeri uterus,
denyut jantung janin yang semakin cepat serta perdarahan pervaginam sedikit tidak
selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini. Namun, harus tetap diwaspadai
untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin.6,8
F. Diagnosis
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosis yang
negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang
akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan
diagnosis yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :10
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir.
Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien
tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus.
Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.10
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya
nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang
diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan
perkiraan ukuran janin dan presentasi.10

b. Pemeriksaan dengan spekulum


Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan
ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan
pemeriksaan bakteriologis.5,7
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah8,9 :
- Pooling : Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.
- Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
- Ferning : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan
didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti
daun pakis.
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya
cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari
ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah.
Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah
adalah urin. Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina.
Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa
tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering
(ferning) dapat membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio
lesitin-sfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan
paru janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk
pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia
trachomatis dan Neisseriagonorea.1,2

c. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi
serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin
dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus
dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam
masa persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan.6,7
d. Pemeriksaan penunjang10
- Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah
menjadi biru.
- Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3 kemungkinan
ada infeksi.
- USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin,
letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
- Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara
dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau
peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.
- Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan
fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban pecah dini perlu
mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan
dengan persalinan dan risiko infeksi terhadap ibu dan janin.140
Hal yang segera harus dilakukan dalam penanganan ketuban pecah dini adalah
:3,4,5,10
- Pastikan diagnosis.
- Tentukan umur kehamilan.
- Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal dan janin.
- Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.
Dalam menghadapi ketuban pecah dini, harus dipertimbangkan beberapa hal
berikut :

a. Fase laten :
- Lamanya sejak ketuban pecah sampai terjadinya proses persalinan.
- Semakin panjang fase laten, semakin besar kemungkinan terjadinya infeksi.
- Mata rantai infeksi merupakan ascendens infeksi, antara lain ;
 Korioamnionitis:
o Abdomen terasa tegang.
o Pemeriksaan laboratorium terjadi leukositosis.
o Protein c reaktif meningkat.
o Kultur cairan amnion positif.
 Desiduitis : infeksi yang terjadi pada lapisan desidua.
b. Perkiraan BB janin dapat ditentukan dengan pemeriksaan USG yang mempunyai
program untuk mengukur BB janin. Semakin BB janin semakin besar
kemungkinan kematian dan kesakitan sehingga tindakan terminasi memerlukan
pertimbangan keluarga.
c. Presentasi janin intrauteri
Presentasi janin merupakan penunjuk untuk melakukan terminasi
kehamilan.Pada letak lintang atau bokong, harus dilakukan dengan jalan seksio
sesarea.Pertimbangan komplikasi dan resiko yang akan dihadapi janin dan
maternal terhadap tindakan terminasi.
d. Usia kehamilan
Makin muda kehamilan antar terminasi kehamilan banyak diperlukan waktu
untuk mempertahankan janin hingga lebih matur. Semakin lama menunggu,
kemungkinan infeksi akan semakin besar dan membahayakan janin serta situasi
maternal.

Medikamentosa

a. Kortikosteroid6,7
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas
perinatal pasca ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko
terjadinya sindrom distress pernafasan ( 20 – 35,4% ), hemoragi intraventrikular (
7,5 – 15,9% ), enterokolitis nekrotikans (0,8 – 4,6%). Rekomendasi sebagian
besar menggunakan betamethason (celestone) intramuscular 12 mg setiap 24 jam
selama 2 hari. National Institute of Health merekomendasikan pemberian
kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 – 23 minggu, dengan asumsi viabilitas
fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik.Pemberian kortikosteroid setelah masa
gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada
bukti immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis.
b. Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi
neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan
meliputi ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam
selama 48 jam, diikuti pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg
setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan
dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu setelah penghentian
pemberian antibiotik setelah 7 hari.6,7

KETUBAN PECAH ≥ 37 MINGGU


INFEKSI NON- INFEKSI NON-
INFEKSI INFEKSI
 Penisilin  Amoksilin  Penisilin  Lahirkan
 Gentamisin +  Gentamisin bayi
 Metronidazol Eritromisi  Metronidazol  Berikan
 Lahirkan n untuk 7  Lahirkan bayi penisilin
bayi hari atau
 Steroid ampisili
untuk n
pematanga
n paru
Antibiotik setelah persalinan
PROFILAKSIS INFEKSI NON-
INFEKSI
Stop antibiotik Lanjutkan untuk 24-48 jam Tidak perlu
setelah bebas panas antibiotic

Tabel 2.1 Penggunaan antibiotik untuk ketuban pecah dini10

c. Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi
namun tidak memperbaiki luaran neonatal.Tidak banyak data yang tersedia
mengenai pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen
tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu
hasil penelitian lebih jauh.10

Tatalaksana Ketuban Pecah Dini

Kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan pada ketuban pecah dini :

a. Konservatif
Tirah baring untuk mengurangi keluarnya air ketuban sehingga masa
kehamilan dapat diperpanjang. Tirah baring ini juga dapat dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik sebagai profilaksis (mencegah infeksi). Antibiotik
yang dianjurkan :
- Ampicillin (untuk infeksi Streptococcus β ) : 4 x 500 mg atau eritromicin
bila tidak tahan ampicillin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
- Eritrosin dosis tinggi (untuk infeksi Clamydia trachomatis, ureoplasma, dan
lainnya) .
Bahaya menunggu terlalu lama adalah kemungkinan infeksi semakin
meningkat sehingga terpaksa harus dilakukan terminasi.9,10

b. Tatalaksana aktif
Dilakukan untuk memperpanjang usia kehamilan dengan pemberian
kombinasi :
-
Kortikosteroid untuk pematangan paru (Betametazon IM 12 mg 24 jam atau
deksametazon IM 6 mg 12 jam selama 2 hari).
-
Tokolitik untuk mengurangi atau menghambat kontraksi uterus, dapat
diberikan :
 Β – Sympathomimetic : Ritodrine
 Magnesium sulfat
 Indometacin
 Nifedipine : Epilate
 Atosiban : Tractocile
- Antibiotik untuk profilaksis infeksi (mengurangi peranan infeksi sebagai
pemicu terjadinya proses persalinan)
Tindakan tatalaksana aktif juga tidak terlalu banyak meningkatkan
maturitas janin dan paru.Dalam keadaan terpaksa harus dilakukan terminasi
kehamilan untuk menyelamatkan janin dan maternal.6,7,8

Dalam menunda persalinan ini, ada lima kriteria yang dapat


dipertimbangkan :

- Usia kehamilan < 26 minggu. Sulit mempertahankan kehamilan sampai


aterm atau sampai usia kehamilan sekitar 34 minggu. Bahaya infeksi dan
oligohiramnion akanmenimbulkan masalah pada janin. Bayi dengan usia
kehamilan kurang dari 26 minggu sulit untuk hidup dan beradaptasi di luar
kandungan.
- Usia kehamilan 26 - 31 minggu. Persoalan tentang sikap dan komplikasi
masih sama dengan usia kandungan < 26 minggu. Namun pada rumah sakit
yang sudah maju, dimungkinkan adanya perawatan intensif neonatus.
Pertolongan bayi dengan berat < 2.000 gram dianjurkan dengan seksio
sesarea.
- Usia kehamilan 31 - 33 minggu. Dilakukan amniosintesis untuk menetukan
kematangan paru, atau test busa (bubble test). Memperhatikan
kemungkinan infeksi intrauteri. Bayi dengan berat > 2.000 gram sangat
mungkin ditolong.
- Usia kehamilan 34 - 36 minggu. BB janin sangat baik sehingga dapat
dilakukan induksi persalinan atau seksio sesarea.
- Usia kehamilan > 36 minggu. Sudah dianggap aterm sehingga dapat hidup
diluar kandungan dan selamat.Kehamilan pada usia ini dapat di induksi
dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan
misoprostol 25 – 50 µg intravaginal setiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada
tanda-tanda infeksi, berikan antibiotic dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
 Bila pembukaan / skor pelviks < 5, lakukan pematangan serviks,
kemudian induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio
sesarea.
 Bila pembukaan / skor pelviks > 5, induksi persalinan.5
c. Tatalaksana agresif
Tidakan agresif dilakukan bila ada indikasi vital sehingga tidak dapat
ditunda karena mengancam kehidupan janin atau maternal. Indikasi vital yang
dimaksudkan yaitu :
- Infeksi intrauteri.
- Solution plasenta.
- Gawat janin.
- Prolaps tali pusat.
- Evaluasi detak janin dengan KTG menunjukkan hasil gawat janin atau
redup.
- BB janin cukup viable untuk beradaptasi di luar kandungan.
Pemilihan ketiga sikap diatas sangat sulit bila pada ketuban pecah dini, janin
masih premature. Keadaan janin yang premature akan menghadapi berbagai kendala
umum akibat ketidakmampuannya beradaptasi dengan kehidupan diluar kandungan.
Hal ini diakibatkan organ vital yang belum siap untuk menghadpi situasi yang sangat
berbeda dengan keadaan intrauteri sehingga menimbulkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi.6,7,8
Skema 2.1 Tatalaksana ketuban pecah dini preterm10
Skema 2.2 Tatalaksana ketuban pecah dini aterm10
H. Komplikasi
Komplikasi timbul pada Ketuban Pecah Dini ini tergantung pada usia kehamilan.
Ia dapat terjadi infeksi maternal ataupon neonatal, persalinan premature, hipoksia
karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea atau
gagalnya persalinan normal.1,3
a. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan.
- Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah.
- Pada kehamilan antara 28-34 minggu persalinan dalam 24 jam.
- Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.7
b. Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia,
omfalitis.Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada
Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum
insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat sebanding dengan
lamanya periode laten.
- Komplikasi Ibu:
 Endometritis.
 Penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia).
 Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat
banyak).
 Syok septik sampai kematian ibu.
- Komplikasi Janin
 Asfiksia janin.
 Sepsis perinatal sampai kematian janin.
c. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat
hingga terjadi asfiksia atau hipoksia.Terdapat hubungan antara terjadinya gawat
janin dan oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.2,7
d. Penekanan tali pusat (Prolapsus)
Gawat janin, kematian janin akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi
bokong atau letak lintang), trauma pada waktu lahir dan prematur.10

Gambar 2.4 Prolapsus tali pusat9

e. Sindrom Deformitas Janin


Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan oleh kompresi muka dan anggota badan
janin serta hipoplasi pulmonary.5

Komplikasi Bentuk Keterangan

Maternal *Antepartum *Sepsis jarang terjadi


karena pemberian
-Korioamnionitis 30-60%
antibiotic dan resusitasi
-Solusio plasenta

*Intrapartum
*Trauma tindakan
-Trauma persalinan akibat operasi
induksi/operatif.
-Trias komplikasi :
*Kemungkinan retensio dari plasenta
^ Infeksi
*Postpartum
^ Trauma tindakan
-Trauma tindakan operatif
^ Perdarahan
-Infeksi masa nifas

-Perdarahan postpartum.

Neonatus *Semakin muda usia kehamilan dan *Kejadian komplikasi


semakin rendah berat badan janin, yang diindikasikan untuk
maka komplikasi makin berat. terminasi kehamilan;

-Prolaps tali pusat

*Komplikasi akibat prematuritas; -Infeksi intrauteri

-mudah infeksi -Solusio plasenta

-mudah terjadi trauma akibat


tindakan persalinan
*Untuk membuktikan
-mudah terjadi aspirasi air ketuban terjadi infeksi intrauteri
dan menimbulkan asfiksia sehingga dapat dilakukan
menyebabkan kematian. amniosentesis dengan
tujuan untuk;

-kultur cairan amnion


*Komplikasi postpartum;
-pemeriksaan glukosa
-Penyakit Respiratory Distress
Syndrome (RDS) atau hialin -alfa fetoprotein
membrane
-fibronektin
-Hipoplasia paru dengan akibatnya

-Tidak tahan terhadap hipotermia.

-Sering terjadi hipoglikemia

-Gangguan fungsi alat vital.

*Komplikasi akibat
oligohidramnion; *Upaya untuk tirah
baring dan pemberian
-Gangguan tumbuh kembang yang
antibiotic dapat
menyebabkan deformitas.
memperpanjang usia
-Gangguan sirkulasi retroplasenta kehamilan supaya berat
yang menimbulkan asidosis dan badan janinnya lebih
asfiksia. besar dan lebih mamput
untuk hidup di luar
-Retraksi otot uterus yang
kandungan.
menimbulkan solusio plasenta.

*Komplikasi akibat ketuban pecah;

-Prolaps bagian janin terutama tali


pusat dengan akibatnya.

-Mudah terjadi infeksi intrauteri dan


neonatus.

Tabel 2.2 Komplikasi maternal dan perinatal9

I. Pencegahan
a. Pencegahan primer
Untuk mengurangi terjadinya pecah ketuban dini, dianjurkan bagi ibu hamil
untuk mengurangi aktivitas pada akhir trimester kedua dan awal trimester ke tiga,
serta tidak melakukan kegiatan yang membahayakan kandungan selama
kehamilan. Ibu hamil juga harus dinasihati supaya berhenti merokok dan
mengambil alkohol. Berat badan ibu sebelum kehamilan juga harus cukup
mengikut Indeks Massa Tubuh (IMT) supaya tidak berlaku mana-mana
komplikasi. Selain itu, pasangan juga dinasihati supaya menghentikan koitus pada
trimester akhir kehamilan bila ada faktor predisposisi.10
b. Pencegahan sekunder
Mencegah infeksi intrapartum dengan;
- Antibiotika spektrum luas : gentamicin iv 2 x 80 mg, ampicillin iv 4 x 1
mg, amoxicillin iv 3 x 1 mg, penicillin iv 3 x 1.2 juta IU, metronidazol drip.
- Pemberian kortikosteroid : kontroversi. Di satu pihak dapat memperburuk
keadaan ibu karena menurunkan imunitas, di lain pihak dapat menstimulasi
pematangan paru janin (surfaktan).10

J. Prognosis
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :
- Usia kehamilan.
- Adanya infeksi / sepsis.
- Faktor resiko / penyebab.
- Ketepatan diagnosis awal dan penatalaksanaan3,4
Anjuran mengenai penatalaksanaan optimum dari kehamilan dengan komplikasi
KPD tergantung pada umur kehamilan janin, tanda infeksi intrauterin, dan kondisi
pasien. Pada umumnya, tampak lebih pantas untuk membawa semua pasien dengan
ketuban pecah ke rumah sakit dan melahirkan semua bayi yang berumur lebih dari 36
minggu, maupun semua bayi dengan rasio lesitin-sfingomielin matur, dalam 24 jam
dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterin. Persalinan
diinduksi dengan oksitosin selama presentasi janin adalah kepala. Bila induksi gagal,
dilakukan seksio sesarea. Seksio sesarea juga dianjurkan untuk presentasi bokong, letak
lintang, atau gawat janin (fetal distress), kalau tidak janin terlalu imatur sehingga tidak
ada harapan untuk bertahan hidup. Kelahiran dianjurkan untuk pasien hamil muda
dengan korioamnionitis, persalinan prematur, atau gawat janin. Kelahiran traumatik
tanpa hipoksia janin penting untuk memperkecil mortalitas dan morbiditas perinatal.6,7
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam : Winkjosastro H., Saifuddin A.B., dan
Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal. 677-682.

2. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal :
218-220.

3. Saifudin A.B. 2002. Ketuban Pecah Dini. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal :
112-115.

4. Mochtar, Rustam. 1998. Ketuban Pecah Dini. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC.
Hal : 255-258.

5. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Ketuban Pecah Dini. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 310- 313.

6. Mirazanie, H. Desy Kurniawati. 2010. Ketuban Pecah Dini. Obgynacea, Obstretri dan
Ginekologi. Yogyakarta : Tosca enterprise. Hal : VI.16-18.

7. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of Membranes.


Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diambil dari
http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2014.
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 18 Januari 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Perseta : Dr. Lidya Aprilia Sari

No. ID Peserta : SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017

Dengan judul/topik :

KEJANG DEMAM KOMPLEKS (KDK)

No. ID dan Nama Pedamping : Dr. Muhammad Fikri

: Dr. Indah Budi Susilowati

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. Dr. Agustina Permata Sari SIP.449.1/016/INTERNSIP/2017
........................
2. Dr. Muhamad Andanu Yunus Slamet SIP.449.1/014/INTERNSIP/2017
.......................
3. Dr. Hutami Mutiara Dewi SIP.449.1/013/INTERNSIP/2017
.......................
4. Dr. Muhammad Iqbal Ramadhan SIP.449.1/012/INTERNSIP/2017
.......................
5. Dr. Aditya Bagas Prastowo SIP.449.1/011/INTERNSIP/2017
.......................
6. Dr. Anugrah Adi Santoso SIP.449.1/005/INTERNSIP/2017
.......................
7. Dr. Atika Mastria Romadani SIP.449.1/004/INTERNSIP/2017
.......................
8. Dr. Adhimas Fajar Aryanto SIP.449.1/003/INTERNSIP/2017
.......................
9. Dr. Guntur Arianto Wibowo SIP.449.1/002/INTERNSIP/2017
.......................
10. Dr. Ronny Mahendra Aditya SIP.449.1/001/INTERNSIP/2017
.......................
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Pedamping,

(Dr. Muhammad Fikri) (Dr. Indah Budi Susilowati)


No. ID: 197412132009021001 No.ID: 197909122008012032
No. ID dan Nama Peserta : dr. Lidya Aprilia Sari
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta
Topik : Kasus Anak
Tanggal (kasus) : 1/11/2017 Presenter : dr. Lidya Aprilia Sari
Nama Pasien : An. F No. RM: -
Tanggal Presentasi : 12/1/2018 Pendamping : dr. Muhammad Fikri dan dr Indah B
Pembimbing: dr. Shinta, Sp. A
Tempat Presentasi : RSUD Kota Surakarta
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan   Ketrampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik √  Manajemen   Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak √  Remaja  Dewasa √  Lansia  Bumil


Deskripsi : Kejang Demam Kompleks
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan manajemen asites et causa sirosis hepatis
Bahan bahasan :  Tinjauan  Riset  Kasus   Audit
Pustaka √
Cara membahas :  Diskusi  Presentasi dan  E-mail  Pos
diskusi 
Data pasien Nama : An. F No CM : -
Nama klinik : RSUD Kota Surakarta Telp : - Terdaftar sejak : 1/11/2017
Data utama untuk bahan diskusi :
23. Anamnesis :
Pasien datang dengan keluhan post kejang 30 menit smrs, kejang 1 menit, kejang kelojotan,
demam sejak 2 hari smrs, batuj dan pilek sejak 3 hari smrs, muntah (-), bab lunak 1 x saat
kejang, bak terakhir saat kejang. Saat datang sempat seperti kejang absan.

24. Riwayat Pengobatan :


Tidak ada

25. Riwayat kesehatan/penyakit :


Trauma kepala (-)
Riwayat kejang saat demam 1 kali saat usia 1 tahun
Riwayat kejang saat tidak demam (-)

26. Riwayat keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat epilepsi (-)

27. Riwayat Kehamilan :


 Pasien lahir cukup bulan, secara spontan ditolong oleh bidan BBL 3.300 gram, PB
51 cm, lahir langsung menangis.
 Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilan ke bidan. Riwayat mengkonsumsi alkohol
(-), obat-obatan (-), merokok (-), jamu-jamuan (-)
 Tidak ada riwayat demam selama kehamilan
28. Riwayat Makan dan Minum
ASI: dari lahir sampai umur 1 ½ tahun.

29. Riwayat Imunisasi

Imunisasi lengkap
Hepatitis B 3X
BCG 1X
Polio 4X
DPT 4X
Campak 1X

PEMERIKSAAN FISIK :
 Keadaan Umum : tampak sakit sedang
 Vital Sign :
Nadi : 157 x/mnt
RR : 30 x/mnt
S : 37.7 C
Spo2 : 99%

 Kepala : Normocephal
 Kulit : Pucat (-), Sianosis (-), Ikterik (-)
 Mata : CA -/-, SI -/-
 Telinga : sekret -/-
 Hidung : sekret -/-
 Leher : Pembesaran KGB tidak ada, kaku kuduk tidak ditemukan
 Thorax
 Jantung : Insp : ictus cordis tidak terlihat
Ausk : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop S3 (-)
 Paru : Insp : gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
Ausk : vesicular (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
 Abd : Insp : datar, distensi (-)
Ausk : bising usus (+) normal
Perk :
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Palp : Supel, organomegali (-)
 Extremitas atas : akral hangat +/+
sianosis -/-
CRT < 2 detik
Extremitas bawah : akral hangat +/+
sianosis -/-
CRT < 2 detik
 Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal:
Kaku kuduk (-), burdzinski I (-), Burdzinski II 9-0, Kernique (-), laseque (-)

Refleks Patologis:
Babinski (-), Openheim (-)

Refleks Fisiologis:
Refleks biseps +/+, Refleks Triseps +/+, Refleks patella +/+, Refleks achilles +/+

 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin Hitung Jenis Leukosit
Haemoglobin : 11.3 Basofil: 0
gr/dL Eosinofil: 1
Leukosit : 6.85 Limfosit: 34
ribu/mm3 Monosit: 8
Eritrosit : 5.25 Neutrofil Batang: 1
juta/mm3 Neutrofil Segmen: 56
Trombosit : 171 MCH: 21.5
ribu/mm3 MCHC: 33.9
Hemtokrit : 33 vol % MCV: 63.4

 DIAGNOSA SEMENTARA
- KDK (Kejang Demam Kompleks)
- dd Epilepsi

 PLANNING
10. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
11. Menegakan diagnosis
12. Melaksanakan manajemen terapi

 PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 13 tpm
- Stesolid (diazepam) 5 mg
- Cek lab
- Konsul dr.Shinta, Sp. A  advise :
- Inf RL 10 tpm makro
- Paracetamol drop 1 cc per 4 jam jika demam
- Jika t > 39 c, paracetamol IV 100 mg
- Diazepam 1,5 mg/8 jam jika t > 38 c
- Salbutamol 3 X ½ cth
- Diazepam 2 mg IV
- O2 nasal kanul 1 lpm jika kejang

 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka: terlampir

Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana kejang demam kompleks (KDK)
TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM KOMPLEKS (KDK)


2.1 Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.3
Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat
celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam.4

2.2 Epidemiologi3,5

Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai
4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden
kejadian sebesar 37%.

Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk


di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih
tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang
harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki.
2.3 Etiologi

Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.3

Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media
akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak
akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.6

2.4 Patofisiologi7
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan
air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.

2.5 Klasifikasi

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua4

7. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)

- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam

8. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)

- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit


- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang
parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara
bangkitan kejang.

2.6 Manifestasi Klinis8

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit
tanpa adanya kelainan neurologik.

Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba),
kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai
dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.

Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.

Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :

1. Anak hilang kesadaran


2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.

2.7 Diagnosis6,9,10
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada
system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala

2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-
pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu
dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan
karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural
atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu
keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat dicurigai
Ensefalitis akut / Ensefalopati.

4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12 bulan sangat
dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi
terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada KDK. Tetapi
beberapa ahli berpendapat EEG tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi
fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial.

2.8 Diagnosis Banding3

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.

Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak
yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan
neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal
dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi
lumbal.

Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
Tabel Diagnosa Banding

No Kriteri Banding Kejang Epilepsi Meningitis


Demam Ensefalitis

1. Kejang Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu


demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

2.9 Penatalaksanaan4,10

Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

1. Mengatasi kejang secepat mungkin

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah
sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun
atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.

Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang selang
infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan

Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit


2. Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.

Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.

2. Pengobatan penunjang

Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas, pernafasan,


sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua pakaian ketat dibuka,
posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan
jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau
trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan
pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor sekiranya terdapat
kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat.

Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi, manakala


pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak lagi
digunakan karena pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan
sehingga menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu.
Kompres hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada
pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa
karena dirasakan tubuh menjadi semakin panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah.
Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa.
Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan.
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.

3. Memberikan pengobatan rumat


Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara mengirim
penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang demam kompleks
merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya
hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan
neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

 Profilaksis intermitten

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam


diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada anak
selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10-
15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya
kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral
dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat tubuh ≥ 38,50C. Profilaksis intermitten ini
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana
sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin dan fenition pada
saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

 Profilaksis jangka panjang

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik


yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Pengobatan jangka panjang dapat dipertimbangan jika terjadi hal berikut:

1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam


2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun

Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:

1). Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang
ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang
gangguan kognitif atau fungsi luhur.

2). Sodium valproat / asam valproat

Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah gejala
toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.

3). Fenitoin

Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian
antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun
seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan
dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.

4. Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium,
kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.

2. 10 Prognosis6,11

1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46
% s/d 0,74%.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50
% pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan


mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat
satu atau tidak sama sekali faktor di atas.

4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun
kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami
kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan
menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060

2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27. 1982 : 6 – 8.

3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000.
Hal 2059-2067.
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 18 Januari 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Perseta : Dr. Lidya Aprilia Sari

No. ID Peserta : SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017

Dengan judul/topik :

STROKE NON HEMORAGIK (SNH)

No. ID dan Nama Pedamping : Dr. Muhammad Fikri

: Dr. Indah Budi Susilowati

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. Dr. Agustina Permata Sari SIP.449.1/016/INTERNSIP/2017
........................
2. Dr. Muhamad Andanu Yunus Slamet SIP.449.1/014/INTERNSIP/2017
.......................
3. Dr. Hutami Mutiara Dewi SIP.449.1/013/INTERNSIP/2017
.......................
4. Dr. Muhammad Iqbal Ramadhan SIP.449.1/012/INTERNSIP/2017
.......................
5. Dr. Aditya Bagas Prastowo SIP.449.1/011/INTERNSIP/2017
.......................
6. Dr. Anugrah Adi Santoso SIP.449.1/005/INTERNSIP/2017
.......................
7. Dr. Atika Mastria Romadani SIP.449.1/004/INTERNSIP/2017
.......................
8. Dr. Adhimas Fajar Aryanto SIP.449.1/003/INTERNSIP/2017
.......................
9. Dr. Guntur Arianto Wibowo SIP.449.1/002/INTERNSIP/2017
.......................
10. Dr. Ronny Mahendra Aditya SIP.449.1/001/INTERNSIP/2017
.......................
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Pedamping,

(Dr. Muhammad Fikri) (Dr. Indah Budi Susilowati)


No. ID: 197412132009021001 No.ID: 197909122008012032
No. ID dan Nama Peserta : dr. Lidya Aprilia Sari
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta
Topik : Kasus Syaraf
Tanggal (kasus) : 26/12/2017 Presenter : dr. Lidya Aprilia Sari
Nama Pasien : Tn. S No. RM : -
Tanggal Presentasi : 18/2/2018 Pendamping : dr. Muhammad Fikri dan dr Indah B
Pembimbing: dr. Aria, Sp.S
Tempat Presentasi : RSUD Kota Surakarta
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan   Ketrampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik √  Manajemen   Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa √  Lansia  Bumil


Deskripsi : Stroke Non Hemoragik
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan manajemen stroke non hemoragik
Bahan bahasan :  Tinjauan  Riset  Kasus   Audit
Pustaka √
Cara membahas :  Diskusi  Presentasi dan  E-mail  Pos
diskusi 
Data pasien Nama : Tn. S No CM : -
Nama klinik : RSUD Kota Surakarta Telp : - Terdaftar sejak : 18/1/2018
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Anamnesis :
Pasien datang dengan kelemahan salah satu sisi tubuh (kiri) tiba-tibak sejak 12 jam smrs
saat sedang istirahat, pusing, dan kurang nyambung diperintah. Nyeri kepala hebat (-),
muntah (-), bab dan bak (+) normal.

2. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat diabetes melitus: disangkal
Riwayat maag : disangkal
Riwayat hipertensi: disangkal
Riwayat sakit paru: disangkal
Riwayat sakit liver: ada
Riwayat jantung: ada

3. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat sakit serupa: disangkal
Riwayat hipertensi: disangkal
Riwayat diabetes melitus: disangkal
Riwayat sakit liver: disangkal
Riwayat sakit paru: disangkal
Riwayat asma/alergi: disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok: diakui
Riwayat makan-makanan berkolestrol: disangkal
Riwayat minum alkohol: disangkal

5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat: disangkal
Riwayat alergi makanan: disangkal

 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda-tanda vital : TD : 150/100 mmHg (kanan), 150/90 mmHg (kiri)
Nadi : 98x/menit, reguler
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5° C

STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi
Cor : BJ I,II reguler, Murmur (+), Gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-), sianosis (-)

STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : GCS E4M5V6
N.CRANIALIS
N.I : Normosmia (dengan teh)
N.II : Tajam penglihatan kesan baik
Lapang pandang kesan baik
N.III, IV, VI : Ptosis -/-
Strabismus (-)
Nistagmus (-)
Gerakan bola mata ke segala arah normal
Pupil : bulat, kanan dan kiri: Ø ±3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung : sulit dinilai/+
N.V : Sensibilitas : V 1: baik
V 2: baik
V 3: baik
Membuka dan menutup mulut : baik
Menggigit : baik
N.VII : Kerutan dahi : simetris kanan dan kiri
Menutup mata : kelopak mata kanan dan kiri menutup dengan baik
Menyeringai : plika nasolabialis sinistra lebih datar
N.VIII : Pendengaran: mendengar suara gesekan jari: kanan dan kiri baik
N.IX, X : Disfonia (-)
Arcus faring : simetris
Uvula : ditengah
N.XI : Mengangkat bahu : kanan lebih tinggi daripada kiri
N.XII : Lidah saat dijulurkan : deviasi ke kiri
Lidah saat diam : deviasi ke kanan
Atrofi lidah : tidak ada

TANDA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk : (-)

MOTORIK
Tonus : Bebas │ Terbatas
Bebas │ Terbatas
Tonus : Normotonus │ Hipotonus
Normotonus │ Hipotonus
Trophy : Eutrophy │ Eutrophy
Eutrophy │ Eutrophy

Kekuatan : 5555│3333
5555│3333

REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps : +/++
Triceps : +/++
KPR : +/++
APR : +/+

REFLEKS PATOLOGIS
Babinski : -/- Chaddock : -/- Schaefer : -/-
Openheim : -/- Gordon : -/- Hoffman Trommer : -/-

SENSORIK
Eksteroseptif
Nyeri : kanan lebih dapat merasakan dibanding kiri
Suhu : kanan lebih dapat merasakan dibanding kiri
Taktil : kanan lebih dapat merasakan dibanding kiri

FUNGSI OTONOM
Miksi : tidak ada gangguan
Defekasi : tidak ada gangguan

 DIAGNOSIS
Susp SNH dd susp SH dengan kesan hemiparese sinistra

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Jenis Pemeriksaan 2 November Nilai rujukan
2017
Hemoglobin 12.9 13-18 g/dL
Hematokrit 40 40-52%
Eritrosit 4.52 4,3 - 6,0 juta/μL
Leukosit 7.91 4800 - 10800 /μL
Trombosit 310 150000 - 400000 / μL
Ureum 65 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 1.1 0.5 – 1.5 mg/dL
SGOT 26 <35 U/L
SGPT 22 <40 U/L

 PENATALAKSANAAN
Th/Igd:
 O2 3 lpm
 Inf asering 20 tpm
 Inj citicolin 1 amp
 Inj ketorolac 1 amp
 Inj ranitidin 1 amp
 Konsul dr.Aria, Sp.S

Advis dr. Aria, Sp.S:


 O2 3 lpm
 Inf asering 20 tpm
 Inj benocetam 3 gr/8jam
 Inj ranitidin 50 mg/12 jam
 Inj cepras 1 gr/12 jam
 Inj lapibal 1 amp/12 jam
 Diklovit 3 X 1
 Ct scan kepala polos
 Besok cek GDP, asam urat, kolestrol total, trigliserida

 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad sanactionam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Daftar Pustaka: terlampir

Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana ketuban pecah dini
TINJAUAN PUSTAKA

STROKE

A. Definisi

Menurut WHO (World Health Organization) 2005 stroke adalah suatu gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan
kematian, dan semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik.
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau
kematian.
B. Etiologi

Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga
dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses
yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik
yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.

1. Emboli
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal).Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya
infark miokard.
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior).Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus
aterosklerosis(ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab lain terjadinya
trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, displasia fibromuskular dari arteri
serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap
proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).

C. Faktor Resiko

Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter


untuk menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke
non hemoragik, yakni:

1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)


2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi
atrium kiri)
5. Hiperkolesterolemia
6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler

Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas
darah dan penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi mengalami
stroke non hemoragik.

D. Klasifikasi

Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:

1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)


Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam,
tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis sudah menetap. Kasus completed stroke ini ialah hemiplegi dimana
sudah memperlihatkan sesisi yang sudah tidak ada progresi lagi. Dalam hal ini,
kesadaran tidak terganggu

E. Patofisiologis

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah
aterosklerosis, dengan mekanisme thrombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri
kecil, dan juga melalui mekanisme emboli.Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi
di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak.Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan
aterom.
3. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.

Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan menyebabkan
hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut
sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami
kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan
permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel radang.

Di sekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya H+ dari asidosis
laktat.K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air yang timbul
dalam empat hari pertama sesudah stroke.Edem ini menyebabkan daerah sekitar nekrosis
mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih
hidup.Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah
tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena infark maupun perdarahan).
Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan
mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat
ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang.
Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal kalsium (calcium
channels). Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel.
Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan
membanjiri lagi neuron-neuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron
yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti
nitric acida atau NO), yang akan merombak molekul lemak didalam membran sel,
sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel.
Pembuluh darah

Trombus/embolus karena plak ateromatosa,


fragmen, lemak, udara, bekuan darah

Oklusi

Perfusi jaringan cerebral ↓

Iskemia

Hipoksia

Metabolisme anaerob Aktivitas elektrolit terganggu Nekrotik jaringan otak

Asam laktat ↑ Na & K pump gagal Infark

Na & K influk

Retensi cairan

Oedem serebral

Gg.kesadaran, kejang fokal, hemiplegia,


defek medan penglihatan, afasia

F. Diagnosis
1.Gambaran Klinis
a) Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat
kesadaran.Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke
hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala
dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese,
atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,
disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun
gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara
bersamaan.Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk
menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat
mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:
 Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
 Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
 Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
 Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.
b) Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi,
dan iritasi menings. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor resiko
stroke seperti obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain.
c) Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala
stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti
stroke, dan menyediakan informasi neurologi untukmengetahui keberhasilan
terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan
status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik
dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan
tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus
dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s
palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.
2.Gambaran Radiologi
a) CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke
(hematoma, neoplasma, abses).

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu
terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya
insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan
hilangnya perberdaan gray-white matter.

G. Penatalaksanaan

Terapi pada stroke iskemik dibedakan menjadi fase akut dan pasca fase akut:

1. Fase Akut (hari ke 0 – 14 sesudah onset penyakit)


Sasaran pengobatan pada fase ini adalah menyelamatkan neuron yang menderita
jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak
mengganggu/mengancam fungsi otak. tindakan dan obat yang diberikan haruslah
menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang. Karena itu
dipelihara fungsi optimal:
 Respirasi : jalan napas harus bersih dan longgar
 Jantung : harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG
 Tekanan darah : dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau jangan
sampai menurunkan perfusi otak
 Gula darah : kadar gula yang tinggi pada fase akut tidak boleh
diturunkan secara drastis, terutama bila pasien memiliki diabetes mellitus
kronis
 Balans cairan : bila pasien dalam keadaan gawat atau koma balans
cairan, elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau
Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak yang
menderita di daerah iskemi (ischemic penumbra) masih menimbulkan perbedaan
pendapat. Obat-obatan yang sering dipakai untuk mengatasi stroke iskemik akut:
a) Mengembalikan reperfusi otak
1. Terapi Trombolitik

Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan


secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu
enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan
protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan
dalam waktu tida lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9
mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara
bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah
pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya
minimal.Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang
diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.

2. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam.Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak
artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark
lakuner atau infark massif dengan hemiplegia.Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri
karotis dan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang
terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena
pemberian heparin tersebut.
3. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
 Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan
sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan
stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80
mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol.Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang
merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah.Hidrolise ke asam salisilat terjadi
cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80%. Waktu paro (half
time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine).Ekskresi lewat urine, tergantung pH.Sekitar 85% dari
obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.
 Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat
menggunakan tiklopidin atau clopidogrel.Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet.Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan
bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun
indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik. Efek samping
tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila
obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15
hari selama 3 bulan. Komplikasi yang lebih serius, tetapi jarang, adalah
purpura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.
b) Anti-oedema otak
Untuk anti-oedema otak dapat diberikan gliserol 10% per infuse
1gr/kgBB/hari selama 6 jam atau dapat diganti dengan manitol 10%.
c) Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron
yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki
fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi.
2. Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasarn pengobatan dititiberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.
 Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka
yang paing penting pada masa ini adalah upaya membatasi sejauh mungkin
kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi wicara, dan
psikoterapi.1
 Terapi preventif
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru sroke,
dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko
stroke seperti:
 Pengobatan hipertensi
 Mengobati diabetes mellitus
 Menghindari rokok, obesitas, stress, dll
 Berolahraga teratur
DAFTAR PUSTAKA

1. Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak. Dalam: eds. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-2.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press; 2005. h.81-82.
2. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview

Anda mungkin juga menyukai