Laporan Portofolo (Final)
Laporan Portofolo (Final)
Oleh:
SIP.449.1/015/INTERNSIP/2017
Dengan judul/topik :
Pedamping,
2. Riwayat Pengobatan :
Tidak ada
3. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat pneumonia ada
Riwayat kejang tidak ada
Riwayat asma tidak ada
Riwayat alergi tidak ada
4. Riwayat keluarga :
Riwayat keluarga tidak diketahui
5. Riwayat Kebiasaan :
Riwayat konsumsi alkohol selama 10 tahun. 7 tahun terakhir sudah berhenti. Riwayat
membuat tato (-). Pemakaian jarum suntik (-). Riwayat transfusi darah (-), Riwayat
berganti-ganti pasangan (-).
6. Riwayat sosial ekonomi :
Pasien bekerja sebagai buruh. Biaya pengobatan dengan BPJS non PBI.
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum : CM, tampak sakit sedang
Vital Sign :
TD : 141/98
Nadi : 112 x/mnt
RR : 40 x/mnt
S : 36,5 C
Spo2 : 85 %, pakai NRM o2 10 lpm > 99%
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin dan GDS Albumin, Bilirubin, SGPT/SGOT,
Ur/Cr, HbsAg
Haemoglobin : 8.9 Albumin: 2.90
gr/dL
Leukosit : 11.48 Bilirubin total: 14.24
ribu/mm3 Direk: 10.74
Eritrosit : 3.19 Indirek: 3.50
juta/mm3
Trombosit : 481 SGOT: 398
ribu/mm3 SGPT: 90
Hemtokrit : 27 vol %
Ur : 107
GDS: 92 Cr : 1.6
HbsAg: reaktif
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto rontgen thorax AP
PENATALAKSANAAN
- IVFD Asering 10 tpm
- Inj Furosemid 2 Amp
- Inj Omeprazol 1 Amp
- Cek lab, Rontgen thorax PA
- Pasang DC
- Konsul dr.Agus, Sp. PD advise :
- Diet hepatitis II
- IVFD D10%:Aminoleban 10 tpm
- Inj Pantoprazole 40 mg/24 jam
- Inj Furosemid 20 mg/12 jam
- Inj cefoperazon 1 gr/12 jam
- Spironolacton 3 x 100 mg
- Propanolol 2 x 10 mg
- USG Abdomen
- EKG
Kesan:
Gambaran diffuse hepatocellular disease dengan tanda-tanda hipertensi porta
(pelebaran v.porta, ascites, splenomegali)
Efusi pleura kanan
FOLLOW UP
A: Hepatitis B kronik
Sirosis Hepatis
Hipoglikemi
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia
Daftar Pustaka: terlampir
Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana asites et causa sirosis hepatis
TINJAUAN PUSTAKA
HEPATITIS B (KRONIK)
A. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel –sel hati.
B. Epidemiologi
Infeksi Virus Hepatitis B adalah suatu masalah kesehatan utama di dunia pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia
pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta diataranya merupakan pengidap hepatitis B.
Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di
Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-
20.3 %, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi darpada di Pulau Jawa.
Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan
genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%), dan A (0,8%).
Sirosis dan Karsinoma Hepatoselullar (KHS) adalah dua keluaran klinis hepatitis B
kronik yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien
dengan hepatitis B yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20 % dari
jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya.
Sementara insidensi kumulatif KHS pada pasien dengan hepatitis B yang sudah
mengalami sirosis mencapai 21 % pada pemantauan 6 tahun.
C. Etiologi
Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan
mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut
hepatitis B surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian
dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu
DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg). Antigen
ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg positif. HBeAg positif pada
penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya derajat infektivitasnya
tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa HBeAg untuk menentukan
prognosis penderita.
Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan vertikal.
Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B kepada
individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi
melalui kulit atau melalui selaput lendir.
Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang
dilahirkan.
Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan
parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah penularan
melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif melalui goresan
atau abrasi kulit dan radang kulit.
Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah
selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir
genetalia.
Penularan vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero),
selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau post natal.
Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata sekitar
60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang
terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan bahkan feses.
Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah, semen, dan saliva) telah terbukti
bersifat infeksius.
D. Patofisiologi
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel
hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat
dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B
smerangsang respon imun tubuh, yang pertama kali adalah respon imun non spesifik
karena dapat terangsang dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian diperlukan respon imun spesifik yaitu
dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. aktivasi sel T, CD8 + terjadi
setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada
permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang ada di dalam
sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan
menyebabkan meningkatnya ALT.
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD+ akan mengakibatkan produksi
antibody antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat
diakhiri tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis B
yang menetap. Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak efisien
dapat disebabkan oleh faktor virus atau pun faktor pejamu.
Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B,
hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel – sel terinfeksi, terjadinya
mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus
hepatitis B dalam genom sel hati
Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin dan hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B pada
neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga persistensi infeksi
virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg yang masuk ke dalam
tubuh janin mendahului invasi virus hepatitis B, sedangkan persistensi pada usia dewasa
diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.
E. Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B
dibangi 2 yaitu :
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang
sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari
tubuh hospes.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu dengan
sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan virus
hepatitis B tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan virus hepatitis B.
Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai
prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian.
Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan
SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati menjadi lebih kecil,
kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah,
dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuriadan uremia.
Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik.
Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang baik. Gejala
tambahan dapat terjadi, terutama pada orang yang sudah lama mengalami hepatitis B
kronis. Gejala ini termasuk ruam, urtikaria (kaligata – rasa gatal yang berbintik-bintik
merah dan bengkak), arthritis (peradangan sendi), dan polineuropati (semutan atau rasa
terbakar pada lengan dan kaki).
F. Perjalanan Penyakit
Penyakit ini disebabkan infeksi oleh virus hepatitis B, sebuah virus DNA dari
keluarga hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200
pasang basa. Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) hepatitis
akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap
penyakit ini, atau (2) berkembang menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi VHB secara
kronik bisa mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune
clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai
dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin aminotransferase (ALT) yang
normal. Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan
virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian dapat
berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan kemudian dapat berkembang
menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml),
ALT normal, dan kerusakan hati minimal. Seringkali pasien pada fase pengidap inaktif
dapat mengalami fase reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai > 2000 IU/ml dan
inlamasi hati kembali terjadi.
G. Evaluasi Pre-Terapi
Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi hepatitis B kronik bertujuan untuk:
(1) menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB dengan penyakit hati, (2)
melakukan penilaian derajat kerusakan sel hati, (3) menemukan adanya penyait
komorbid atau koinfeksi dan (4) menentukan watu dimulainya terapi.
1. Hubungan kausal penyakit hati dengan infeksi kronik VHB dijelaskan pada tabel
1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Infeksi VHB
H. Terapi
Penderita dan keluarga diberi penjelasan atau penyuluhan tentang cara penularan,
infeksiositas penderita sebagai pengidap HBsAg, apalagi jika HBeAG positif, keluarga
serumah dan yang menjalin hubungan intim/seksual perlu divaksinasi terhadap hepatitis B
(perlu uji saring pra-vaksinasi atas HBsAg dan anti-HBs)
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat
kriteria, anatar lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) stetus HbeAg, (3) nilai ALT dan (4)
gambaran hitologis hati.
Gambar 1. Algortima Penatalaksanaan hepatitis B dengan HbeAg positif
Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang diterima
secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon
alfa-2a, maupun pegylated interferon alfa-2b) dan golongan analog nukleos(t)ida.
Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir,
entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di
Indonesia, namun khusus untuk tenofovir, saat panduan ini disusun, peredarannya di
Indonesia hanya dikhususkan untuk pasien HIV. Baik interferon maupun analog
nukleos(t)ida memliki kekurangan dan kelebigan masing-masing. Perbedaan kedua
golongan obat ini dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida
SIROSIS HEPATITIS
A. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif.
Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjnag retikulin
kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis
parenkim hati.
B. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
C. Etiologi
Tabel.3 Sebab-sebab sirosis dan/atau penyakit hati kronik
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toksoplasmosis
Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi alfa1- antiripsin
Sindrom fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Onstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer
Penyebab lain atau tidak terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis
D. Epidemiologi
Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan Indonesia terutama akibat
infeksi virus hepatitis B maupun C.Hasil penelitian di Indnesia menyebutkan virus
hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%,
sedangkan 10-20% penyebab tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan
C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya
kecil sekali karena belum ada datanya.
E. Gejala Klinis
Gejala-gejala sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat
timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompesata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan sklus haid, ikterus dengan air
kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
Temuan klinis
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider
telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui,
ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini
juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang
sehat, walaupun umumnya ukuran lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak
spesifiik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchreche berupa pita putih horisontal dipisahkan dengan
warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi auatu
periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi
jari-jari berkaitab dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik,
dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae
laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksila pada laki=laki, sehingga laki-laki mengalami
perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol
pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil.
Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali-sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
Asites-penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa-juga sebagai akibat hipertensi porta.
Fetor hepatikum-bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasab porto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila kadar bilirubin
kurang 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixix-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan,
dorsofleksi tangan.
Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya:
Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
Batu pada vesika felea akibat hemolisis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat
sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus-dialami 15 sampai 30 % pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi
insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Gambaran Laboratoris
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo astetat (SGOT) dan
alanin aminotransferase (ALT) tau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat darpada ALT, namun bila
transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase-meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali harga batas normal atas.
Kadar yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT)-kadarnya seperti halnya alkali fosfatase
pada penyakit hati. Kadarnya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena
alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit.
Blirubin-kadarnya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut.
Albumin-sintesinya terjadi di jaringan hati, kadarnya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis.
Globulin-kadarnya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
imunoglobulin.
Waktu protrombin-mencermikan derjat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga
pada sirosis memanjang.
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
Kelainan hematologi-anemia penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
monokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif
yang berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang.
Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permkaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan
nodular, permukaan irregular, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati.
Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta
dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
F. Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan
diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bis
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium
biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan
diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus
tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan
tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.
G. Komplikasi
Morbiditas dan mortilitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien
sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder
intraabdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan
nyeri abdomen.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati
lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan
filtrasi glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Duapuluh sampai
40 % pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kemtaiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan beberapa cara.
Ensefalopati hepatik-merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.
H. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakanhati,
pencegahan dan penanganan komplikasi.
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
Misalnya : cukup kalori (kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari), protein
1gr/kgBB/hari.
c. Pengobatan berdasarkan etiologi1
Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dan dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan
obat herbal bisa menghambat kolagenik.
Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Hemokromatosis; flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi
normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mnecegah
terjadinya sirosis.
Hepatitis virus B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukelosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama
diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun
pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD
sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara
suntikan subutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun
ternyata juga banyak yang kambuh.
Hepatitis virus C jronik; kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan
subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi
ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa
datag, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator
fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk
mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
Interferon mempunyai aktivasi sel stelata. Kolkisin memilik efek anti
peradangan dan mencegah pembetuka kolagen, namun belum terbukti
dalam penelitian sebagai antifibrosis dam sirosis. Metotreksat dan
vitamin juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, juga obat-
obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti:
1. Astises
2. Ensefalophaty hepatic
3. Varise esofagus
4. Spontaneous bacterial peritonitis (peritonitis bacterial spontan)
5. Hepatorenal syndrome
6. Ensefalophaty hepatic
Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan
diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg
sekali sehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan
dilindungi dengan pemberian albumin.
Ensefalopati hepatik
Laktulosa membantu pasien untuk mnegeluarkan amonia. Neomisin bisa
digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet protein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asama amino
rantai cabang.
Varise esofagus
Sebelum berdarah dan sesuadah berdarah bisa diberikan obat oenyekat beta
(propanorol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik empiris. Pilihan antibiotik yang sering dipakai dan
mentatalaksana sebagain besar bakteri penyebab adalah sefalosporin generasi ke 3
contoh: cefotaxim. Dosis yang dipakai 2 gr IV 2 kali sehari selama 5-10 hari.
Antibiotik alternatif adalah piperaccilin/tazobactam.
Sindrom Hepatorenal
Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan
air.
Transplantasi hati
Terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan
transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.
I. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Beberapa
tahun terakhir, metode prognostik yang paling umum dipakai pada pasien dengan sirosis
adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh. Child dan Turcotte pertama
memperkenalkan sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka
kematian selama operasi portcaval shunt. Pugh kemudian merevisi sistem ini pada 1973
dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang kurang spesifik
dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan dengan menggunakan INR
selain waktu protrombin dalam menilai kemampuan pembekuan darah. Sistem klasifikasi
Child-Turcotte-Pugh dapat dilihat pada tabel 5. Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh
dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut.
Dimana angka kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria Child-
Pugh A adalah 100%, Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh adalah 45% .
Tabel 5. Sistem Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh
Parameter Skor
1 2 3
Asites Tidak ada Minimal Sedang-berat
Ensefalopati Tidak ada Minimal - sedang Sedang-berat
Bilirubin < 2,0 2-3 >3,0
(mg/dl)
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Waktu 1-3 atau INR < 4-6 atau INR 1,7- >6 atau INR>2,3
protombin/ 1,7 2,3
INR (detik)
DAFTAR PUSTAKA
Dengan judul/topik :
HIPERGLIKEMI
Pedamping,
9. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat diabetes melitus ada
Riwayat maag ada
Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat sakit liver tidak ada
Palp : Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas atas : akral hangat +/+, CRT < 2 detik
Extremitas bawah : akral hangat +/+, CRT< 2 detik, edema -/-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin GDS
Haemoglobin : 11.0 GDS: 445
gr/dL
Leukosit : 11.89
ribu/mm3
Eritrosit : 4.50
juta/mm3
Trombosit : 450
ribu/mm3
Hemtokrit : 33 vol
%
DIAGNOSA SEMENTARA
- Hiperglikemi
- Kolik abdomen
- Febris H-3
- Kolik Abdomen
PLANNING
4. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
5. Menegakan diagnosis
6. Melaksanakan manajemen terapi
PENATALAKSANAAN
- IVFD Nacl loading 500 cc
- Inj Antrain 1 Amp
- Inj Ranitidin 1 Amp
- Inj Ondancetrom 1 amp
- Bisacodyl tab 5 mg
- Inj Novorapid bolus 8 unit IV
- Cek lab
- Konsul dr.Restu, Sp. PD advise :
- Inf RL 20 tpm
- Inj Cefopeazon 1 gr/12 jam
- Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
- Inj Ketorolac 1 amp/12 jam
- Novorapid 8-8-8
- Lantus 0-0-10
- Fleed enema extra
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka: terlampir
Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana hiperglikemi
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERGLIKEMI
2.1 Definisi
2.1.1 Ketoasidosis diabetikum
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah kondisi dekompensasi
metabolik akibat defisiensi insulin absolute atau relatif dan merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus yang serius. Gambaran klinis utama KAD
adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. Faktor pencetus :
infeksi, infark miokard akut, pancreatitis akut, penggunaan obat golongan
steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.
2.1.2 Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Koma hiperosmolar non ketotik (KHONK) adalah nomenklatur yang
direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA) untuk
menekankan bahwa terdapat perubahan tingkat kesadaran. Diagnostik dari
KHIONK meliputi :
1. Glukosa plasma 600 mg/dL atau lebih
2. Osmolalitas serum 320 mOsm/kg atau lebih
3. Dehidrasi berat (biasanya 8 -12 L) dengan peningkatan BUN
4. Ketonuria minimal, tidak ada ketonemia
5. Bikarbonat > 15 mEq/L
6. Perubahan dalam kesadaran
2.2 Patofisiologi
2.2.1 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum2
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormone kontra
regulator (glucagon, katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan);
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia (Gambar 2).
Diantara hormone-hormon kontraregulator, glucagon yang paling
berperan dalam pathogenesis KAD. Glucagon mengambat glikolisis dan
menghambat pembentukan malonyl coA yang merupakan penghambat
creatinine acyl transferase yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke
dalam mitokondria. Peningkatan glucagon akan merangsang oksidasi beta
asam lemak dan ketogenesis.
2.3 Diagnosis
2.3.1 Ketoasidosis diabetikum
Tiga gejala utama dari ketoasidosis diabetikum adalah hiperglikemia,
ketosis dan asidosis.
Klinis:
pH : < 7,35
HCO3- : Rendah
Klinis :
Pemeriksaan fisik :
1. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun
2.5 Penataksanaan
2.5.1 Ketoasidosis diabetikum
I. Cairan :
NaCl 0,9% diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua,
lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan
kleenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengan NaCl 0,45%
Jika GD mencapai 250 mg/dL ganti cairan dengan D5%
II. Insulin regular
Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
IV (0,1 U/Kg) atau IM (0,4 U/Kg), kemudian 0,1 unit/kg per jam dengan IV
drip; naikkan 2-10x lipat jika tidak ada respon dalam 2-4 jam. Jika kadar
serum kalium awal <3,3 mmol/L(3,3 mEq/l) Jangan berikan insulin hingga
kalium terkoreksi hingga > 3,3 mEq/L.
III. Kalium
Jika K serum < 3,3 mEq/L, jangan berikan insulin dan berikan 40 mEq/L
K/jam (2/3 KCl dan 1/3 KPO4 ) sampai K ≥ 3,3 mEq/L
Jika K ≥ 5 mEq/L, jangan berikan K tetapi cek K tiap 2 jam
Jika K serum ≥ 3,3 tapi < 5 mEq/L berikan 20-30 mEq K dalam tiap cairan IV
(2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
IV. Natrium bikarbonat
Drip 100 mmol dalam 400 ml H2O infuse dalam 200 ml/jam bila pH
<6,9ulangi pemberian tiap 2 jam sampai pH > 7,0
Drip 50 mmol dalam 200 ml H2O infuse dalam 200 ml/jam bila pH 6,9-
7,0ulangi pemberian tiap 2 jam sampai pH > 7,0
pH > 7,0 tidak diberikan
V. Tatalaksana umum
oksigen bila PO2 < 80 mmHg
antibiotika adekuat
pantau TD, frekuensi nadi,nafas,suhu, status mental, balans cairan tiap 1-4 jam
keadaan hidrasi tiap jam
cairan infuse yang masuk tiap jam
4. Insulin, pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar
hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin dan diketahui pula
bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis
diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat
menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik.
2.6 Komplikasi
2.7 Prognosis
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM. 2006.Hal 20-25.
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 18 Januari 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Dengan judul/topik :
Pedamping,
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum : CM
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
TD : 138/84
Nadi : 84 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 36,5 C
Spo2 : 99%
DIAGNOSA
PLANNING
7. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
8. Menegakan diagnosis
9. Melaksanakan manajemen terapi
PENATALAKSANAAN
- Inf RL 20 tpm
- Konsul dr. Bima, Sp. OG advise :
- CTG > lapor dr. Bima hasil CTG
- Injeksi ceftriaxon 1 gr ekstra
- Cek lab
FOLLOW UP
B: Td: 120/80
DJJ: 11-11-12
VT: BDP
CTG +
B: His: 2X 10’
R: observasi
27 Desember 2017 jam 11.00 pagi
B: His: 2X 10’
DJJ: 12-11-12
Evaluasi
Terpasang drip oksitosin 5 IU (8-20 tpm)
O: Td: 120/80
N/S: 82/36,4 c
U/C: Keras
PPV: dbn
P: Observasi KU dan VS
P.O (+)
Aff inf
28 Desember 2017
O: KU/KS: Baik/ CM
Td: 100/60
N/S: 80/36,5 C
A: P1A0 PP SPT Hr II
P: Obeservasi KU dan VS
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka: terlampir
Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana ketuban pecah dini
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai
kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya
efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda
awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada
primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.3,4,5,6
Pengertian KPD menurut WHO yaitu Rupture of the membranes before the onset
of labour. Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis sebelum permulaan
persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan Mochtar (1998) mengatakan bahwa
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi
kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Hakimi (2003) mendefinisikan
KPD sebagai ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya
persalinan.Sedangkan menurut Yulaikah (2009) ketuban pecah dini adalah pecahnya
ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum
terdapat tanda persalinan. Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi rahim
disebut ketuban pecah dini (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab persalinan
premature dengan segala komplikasinya.2,3
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut
ketuban pecah dini pada kehamilan prematur.1 Ketuban pecah dini atau premature
rupture of the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya
tanda-tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu
kehamilan.7
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm
maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of
membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37
minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran
(PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM.4,5,6
B. Epidemiologi
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada
kehamilan midtrester. Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 – 3 %, dan kurang dari 1 %.
Secara umum insidensi KPD terjadi sekitar 7 – 12 %. Insidensi KPD kira – kira 12 %
dari semua kehamilan.8
Hal yang menguntungkan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa
lebih banyak terjadi pada kehamilan cukup bulan dari pada kurang bulan, yaitu sekitar
96%, sedangkan pada kehamilan kurang bulan terjadi sekitar 34%.7,8
Komplikasi seperti korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus KPD,
sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7 %.
Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80% kasus
KPD preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat
baik pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan,
3-15% pada KPD prolonged, 15-25% pada KPD preterm dan mencapai 40% pada
ketuban pecah dini dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden
sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada KPD lebih daripada 24 jam.4,5
C. Etiologi
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang besar.
Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan jaringan kolagen,
yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen
pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada
korion di daerah lapisan retikuler atau trofoblas, dimana sebagaian besar jaringan
kolagen terdapat pada lapisan penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel basal
korion). Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan
inhibisi intrleukin-1 dan prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan
bakteri penyebab infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi
interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan
selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut
membuat uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat
uterus berkontraksi.4,5,8
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, antara
lain:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi
sepsis.1 Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila
jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan
sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik.2
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis.
Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis
adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada
kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi
yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan
pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban.2,4
Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk
melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang
andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau
lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang
menandakan infeksi.6,8
b. Infeksi genitalia
Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum yang
ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi serviks
oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum jelas.
Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat hamil
juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam sebelum persalinan dan
mengakibatkan berat badan lahir rendah.8 Seorang wanita lebih rentan mengalami
keputihan pada saat hamil karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal
yang salah satu dampaknya adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan
penurunan keasaman vagina serta terjadi pula perubahan pada kondisi
pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang biasa
dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang melakukan
pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan disebabkan oleh
infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat berbahaya karena dapat
menyebabkan persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban pecah sebelum
waktunya atau bayi lahir dengan berat badan rendah (< 2500 gram).1,6
Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan keputihannya karena tidak
merasa terganggu padahal keputihanya dapat membahayakan kehamilannya,
sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan berbau
namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya. Dari berbagai macam keputihan
yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah kandidiosis
vaginalis, vaginosisbakterial dan trikomoniasi.2,4 Dari NICHD Maternal-fetal
Medicine Units Network Preterm Prediction Study melaporkan bahwa infeksi
klamidia genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu yang dideteksi berkaitan
dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dan kelahiran preterm spontan
sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini.8,9
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umum
yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran
preterm dan bayi berat badan rendah. Pecah ketuban sebelum persalinan pada
preterm dapat berhubungan dengan infeksi maternal. Sekitar 30% persalinan
preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi dari infeksi tersebut.8
Pada kehamilan akan terjadi peningkatan pengeluaran cairan vagina dari pada
biasanya yang disebabkan adanya perubahan hormonal, maupun reaksi alergi
terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan pembersih vagina dan
bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat terjadi akibat adanya
pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi didaerah
genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan
meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga
mengalami infeksi.9
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, infeksi
diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini dan
persalinan preterm. Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat pargantian
laktobasilus penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri
anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti gardnerella vaginalis, yang akan
menimbulkan infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan kejadian ketuban
pecah dini, persalinan preterm dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,04 yang normalnya nilai pH vagina adalah
antara 3,8-4,5. Abnormalitas pH vagina dapat mengindikasikan adanya infeksi
vagina.1
Herpes simpleks adalah virus menular seksual yang jarang tetapi serius
yang bisa tetap tidak aktif sampai orang mengalami stres atau tidak sehat.
Biasanya merupakan kondisi kronis dan kambuhan serta bisa berat bagi bayi baru
lahir. Infeksi herpes primer biasanya menyebabkan demam ringan dan perasaan
tidak sehat. Muncul lesi yang menimbulkan nyeri sekitar genital internal dan
eksternal/serviks, ulserasi, dan biasanya sembuh dalam tiga minggu.8,9 Herpes
aktif bisa terdiagnosa dengan inspeksi klinis didaerah genital untuk lesi yang
tampak (internal/eksternal) pada saat awitan persalinan atau pecah ketuban
spontan. Sectio saeraria merupakan satu-satunya indikasi bila infeksi masih aktif
sehingga lesinya jelas.8,9
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan
dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik.1
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan
membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan
perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika
diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,
yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai
awitan persalinan dan pelahiran.1,5,10
Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia
kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul
pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks
berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu
berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau
sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (conization).
Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester kedua atau
pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter mut lak diperlukan. Jika
seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks, pembukaan,
tekanan panggul, atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak diketahui,
maka ia perlu segera mendapat penatalaksanaan medis.7,8,9
d. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi
yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi
penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini,
pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban
pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak
lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul
(PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.3,5
Hubungan seksual selama hamil memiliki banyak dampak terhadap
kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan biasanya gairah seks mengalami
penurunan. Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah, lemas, malas dan
apapun yang bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi trimester kedua
umumnya libido timbul kembali, tubuh ibu telah dapat menerima kembali, tubuh
telah terbiasa dengan kondisi kehamilan sehingga ibu dapat menikmati aktifitas
dengan lebih leluasa dari pada trimester pertama. Mual-muntah dan segala rasa
tidak enak biasanya sudah jauh berkurang demikian pula urusan hubungan
seksual. Ini akibat meningkatnya pengalihan darah ke organ-organ seksual
seperti vagina dan payudara. Memasuki trimester ketiga minat/libido menurun
kembali, tetapi hal ini tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit
wanita yang libidonya sama seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab
termasuk beruntung karena tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit
punggung dan pinggul, berat badan yang semakin bertambah atau keharusan
istirahat total.6
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali
seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan
dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim, namun kontraksi ini
berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu,
paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan sperma) juga
memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi
harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan prematur.7,10 Pada
kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran preterm maupun ketuban pecah
adalah dengan mengurangi frekwensi hubungan seksual atau dalam keadaan
betul-betul diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika tetap
memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis yang
terlalu dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak
menimbulkan penekanan pada perut ataupun dinding rahim. Mengurangi
frekwensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan orgasme selain dapat
mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula mengurangi penekanan
pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin, sebab penekanan
yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah dapat
menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen ke janin.7,10
e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai
titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini
berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan
fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal
ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan
awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh
faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal.8 Sedangkan multipara adalah
wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak
hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah
dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat,
diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
berikutnya.8
Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor ini
juga diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini. Yang
didukung satu dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti keputihan, stress
(beban psikologis) saat hamil dan hal lain yang memperberat kondisi ibu dan
menyebabkan ketuban pecah dini.8,10
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara
singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane
sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm
terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya
wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko
mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami
ketuban pecah dini kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya.8
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya polihidramnion dan gemeli.
Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm,
sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini.8
Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil
akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion,
akumulasi berlebihan cairan amnion (> 2 liter), seringkali terjadi disertai
gangguan kromosom, kelainan struktur seperti fistula trakeosofageal, defek
pembuluh saraf dan malformasi susunan sarap pusat akibat penyalahgunaan zat
dan diabetes pada ibu. AFI (amnion fluid indeks) pada kehamilan cukup bulan
secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm dan 23,0 cm.6
Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus,
janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali
pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital
yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi
traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8,
13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi
janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan
pernafasan pada ibu.1,2,10
Kehamilan kembar juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah
komplikasi yang dihubungakan dengan kehamilan, persalinan dan pelahiran serta
masa nifas pada wanita yang mengandung lebih dari satu janin. Kemungkinan
yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali janin, keguguran
dini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan pelahiran preterm, diabetes
kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan. Pada
kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga
korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan
apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga
ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini
diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil
kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala
persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan
kunjungan. Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban
pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa
plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu
dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan
preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah.6,7
Kehamilan dengan janin kembar juga akan mempengaruhi kenyamanan
dan citra tubuh, kesiapan perawatan bayi dan keuangan, semua faktor ini akan
menimbulkan stres dan hendaknya petugas kesehatan lebih banyak memberi
konseling dan pendidikan kesehatan. Konseling tentang persalinan pretem dan
preeklamsi perlu di upayakan guna memberi perawatan kehamilan dengan janin
kembar yang bermutu.2,8
h. Faktor usia ibu
Usia ibu yang ≤ 20 tahun termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban
pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu
tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi
mengalami ketuban pecah dini. Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh
terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan.
Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman
menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di
usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum
100% siap.3,4,5
Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20
tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin
terhambat. Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan
kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Di luar
urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat
hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita
usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan.
Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah
mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan.
Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan
menjaga kehamilannya secara hati-hati.1,3
Usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada
usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang
bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau
tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi
organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit
fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena
sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga
semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko
perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga
tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses
kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini.
Meningkatnya usia juga membuat kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu
akibatnya adalah jaringan rahim yang tak lagi subur. Padahal, dinding rahim
tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan kecenderungan
terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat semestinya.
Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan
pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi
dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu,
kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko
keguguran, ketuban pecah, kematian janin, dan komplikasi lainnya juga
meningkat.1,3,7
Namun secara umum periode waktu dari ketuban pecah dini sampai
kelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah, jika
ketuban pecah pada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa hari saja
sehingga pelahiran terjadi dibandingkan dengan trimester kedua.8
D. Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput
ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban.2,4
Infeksi
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel
terprogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput
ketuban. Pada korioamnionitis terlihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan
granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel.
Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks ekstraseluler
dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab
degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui
dengan jelas.7,9
E. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis dan
tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes,
disertai dengan demam/menggigil, juga nyeri pada perut, keadaan seperti ini dicurigai
mengalami amnionitis.6 Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus
diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang
sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk
sementara.5,7
Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu ada (kadang-kadang) timbul pada
ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan tampak
diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan lain seperti nyeri uterus,
denyut jantung janin yang semakin cepat serta perdarahan pervaginam sedikit tidak
selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini. Namun, harus tetap diwaspadai
untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin.6,8
F. Diagnosis
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosis yang
negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang
akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan
diagnosis yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :10
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir.
Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien
tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus.
Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.10
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya
nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang
diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan
perkiraan ukuran janin dan presentasi.10
c. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi
serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin
dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus
dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam
masa persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan.6,7
d. Pemeriksaan penunjang10
- Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah
menjadi biru.
- Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3 kemungkinan
ada infeksi.
- USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin,
letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
- Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara
dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau
peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.
- Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan
fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban pecah dini perlu
mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan
dengan persalinan dan risiko infeksi terhadap ibu dan janin.140
Hal yang segera harus dilakukan dalam penanganan ketuban pecah dini adalah
:3,4,5,10
- Pastikan diagnosis.
- Tentukan umur kehamilan.
- Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal dan janin.
- Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.
Dalam menghadapi ketuban pecah dini, harus dipertimbangkan beberapa hal
berikut :
a. Fase laten :
- Lamanya sejak ketuban pecah sampai terjadinya proses persalinan.
- Semakin panjang fase laten, semakin besar kemungkinan terjadinya infeksi.
- Mata rantai infeksi merupakan ascendens infeksi, antara lain ;
Korioamnionitis:
o Abdomen terasa tegang.
o Pemeriksaan laboratorium terjadi leukositosis.
o Protein c reaktif meningkat.
o Kultur cairan amnion positif.
Desiduitis : infeksi yang terjadi pada lapisan desidua.
b. Perkiraan BB janin dapat ditentukan dengan pemeriksaan USG yang mempunyai
program untuk mengukur BB janin. Semakin BB janin semakin besar
kemungkinan kematian dan kesakitan sehingga tindakan terminasi memerlukan
pertimbangan keluarga.
c. Presentasi janin intrauteri
Presentasi janin merupakan penunjuk untuk melakukan terminasi
kehamilan.Pada letak lintang atau bokong, harus dilakukan dengan jalan seksio
sesarea.Pertimbangan komplikasi dan resiko yang akan dihadapi janin dan
maternal terhadap tindakan terminasi.
d. Usia kehamilan
Makin muda kehamilan antar terminasi kehamilan banyak diperlukan waktu
untuk mempertahankan janin hingga lebih matur. Semakin lama menunggu,
kemungkinan infeksi akan semakin besar dan membahayakan janin serta situasi
maternal.
Medikamentosa
a. Kortikosteroid6,7
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas
perinatal pasca ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko
terjadinya sindrom distress pernafasan ( 20 – 35,4% ), hemoragi intraventrikular (
7,5 – 15,9% ), enterokolitis nekrotikans (0,8 – 4,6%). Rekomendasi sebagian
besar menggunakan betamethason (celestone) intramuscular 12 mg setiap 24 jam
selama 2 hari. National Institute of Health merekomendasikan pemberian
kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 – 23 minggu, dengan asumsi viabilitas
fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik.Pemberian kortikosteroid setelah masa
gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada
bukti immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis.
b. Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi
neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan
meliputi ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam
selama 48 jam, diikuti pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg
setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan
dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu setelah penghentian
pemberian antibiotik setelah 7 hari.6,7
c. Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi
namun tidak memperbaiki luaran neonatal.Tidak banyak data yang tersedia
mengenai pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen
tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu
hasil penelitian lebih jauh.10
a. Konservatif
Tirah baring untuk mengurangi keluarnya air ketuban sehingga masa
kehamilan dapat diperpanjang. Tirah baring ini juga dapat dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik sebagai profilaksis (mencegah infeksi). Antibiotik
yang dianjurkan :
- Ampicillin (untuk infeksi Streptococcus β ) : 4 x 500 mg atau eritromicin
bila tidak tahan ampicillin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
- Eritrosin dosis tinggi (untuk infeksi Clamydia trachomatis, ureoplasma, dan
lainnya) .
Bahaya menunggu terlalu lama adalah kemungkinan infeksi semakin
meningkat sehingga terpaksa harus dilakukan terminasi.9,10
b. Tatalaksana aktif
Dilakukan untuk memperpanjang usia kehamilan dengan pemberian
kombinasi :
-
Kortikosteroid untuk pematangan paru (Betametazon IM 12 mg 24 jam atau
deksametazon IM 6 mg 12 jam selama 2 hari).
-
Tokolitik untuk mengurangi atau menghambat kontraksi uterus, dapat
diberikan :
Β – Sympathomimetic : Ritodrine
Magnesium sulfat
Indometacin
Nifedipine : Epilate
Atosiban : Tractocile
- Antibiotik untuk profilaksis infeksi (mengurangi peranan infeksi sebagai
pemicu terjadinya proses persalinan)
Tindakan tatalaksana aktif juga tidak terlalu banyak meningkatkan
maturitas janin dan paru.Dalam keadaan terpaksa harus dilakukan terminasi
kehamilan untuk menyelamatkan janin dan maternal.6,7,8
*Intrapartum
*Trauma tindakan
-Trauma persalinan akibat operasi
induksi/operatif.
-Trias komplikasi :
*Kemungkinan retensio dari plasenta
^ Infeksi
*Postpartum
^ Trauma tindakan
-Trauma tindakan operatif
^ Perdarahan
-Infeksi masa nifas
-Perdarahan postpartum.
*Komplikasi akibat
oligohidramnion; *Upaya untuk tirah
baring dan pemberian
-Gangguan tumbuh kembang yang
antibiotic dapat
menyebabkan deformitas.
memperpanjang usia
-Gangguan sirkulasi retroplasenta kehamilan supaya berat
yang menimbulkan asidosis dan badan janinnya lebih
asfiksia. besar dan lebih mamput
untuk hidup di luar
-Retraksi otot uterus yang
kandungan.
menimbulkan solusio plasenta.
I. Pencegahan
a. Pencegahan primer
Untuk mengurangi terjadinya pecah ketuban dini, dianjurkan bagi ibu hamil
untuk mengurangi aktivitas pada akhir trimester kedua dan awal trimester ke tiga,
serta tidak melakukan kegiatan yang membahayakan kandungan selama
kehamilan. Ibu hamil juga harus dinasihati supaya berhenti merokok dan
mengambil alkohol. Berat badan ibu sebelum kehamilan juga harus cukup
mengikut Indeks Massa Tubuh (IMT) supaya tidak berlaku mana-mana
komplikasi. Selain itu, pasangan juga dinasihati supaya menghentikan koitus pada
trimester akhir kehamilan bila ada faktor predisposisi.10
b. Pencegahan sekunder
Mencegah infeksi intrapartum dengan;
- Antibiotika spektrum luas : gentamicin iv 2 x 80 mg, ampicillin iv 4 x 1
mg, amoxicillin iv 3 x 1 mg, penicillin iv 3 x 1.2 juta IU, metronidazol drip.
- Pemberian kortikosteroid : kontroversi. Di satu pihak dapat memperburuk
keadaan ibu karena menurunkan imunitas, di lain pihak dapat menstimulasi
pematangan paru janin (surfaktan).10
J. Prognosis
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :
- Usia kehamilan.
- Adanya infeksi / sepsis.
- Faktor resiko / penyebab.
- Ketepatan diagnosis awal dan penatalaksanaan3,4
Anjuran mengenai penatalaksanaan optimum dari kehamilan dengan komplikasi
KPD tergantung pada umur kehamilan janin, tanda infeksi intrauterin, dan kondisi
pasien. Pada umumnya, tampak lebih pantas untuk membawa semua pasien dengan
ketuban pecah ke rumah sakit dan melahirkan semua bayi yang berumur lebih dari 36
minggu, maupun semua bayi dengan rasio lesitin-sfingomielin matur, dalam 24 jam
dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterin. Persalinan
diinduksi dengan oksitosin selama presentasi janin adalah kepala. Bila induksi gagal,
dilakukan seksio sesarea. Seksio sesarea juga dianjurkan untuk presentasi bokong, letak
lintang, atau gawat janin (fetal distress), kalau tidak janin terlalu imatur sehingga tidak
ada harapan untuk bertahan hidup. Kelahiran dianjurkan untuk pasien hamil muda
dengan korioamnionitis, persalinan prematur, atau gawat janin. Kelahiran traumatik
tanpa hipoksia janin penting untuk memperkecil mortalitas dan morbiditas perinatal.6,7
DAFTAR PUSTAKA
1. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam : Winkjosastro H., Saifuddin A.B., dan
Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal. 677-682.
2. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal :
218-220.
3. Saifudin A.B. 2002. Ketuban Pecah Dini. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal :
112-115.
4. Mochtar, Rustam. 1998. Ketuban Pecah Dini. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC.
Hal : 255-258.
5. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Ketuban Pecah Dini. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 310- 313.
6. Mirazanie, H. Desy Kurniawati. 2010. Ketuban Pecah Dini. Obgynacea, Obstretri dan
Ginekologi. Yogyakarta : Tosca enterprise. Hal : VI.16-18.
Dengan judul/topik :
Pedamping,
Imunisasi lengkap
Hepatitis B 3X
BCG 1X
Polio 4X
DPT 4X
Campak 1X
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Vital Sign :
Nadi : 157 x/mnt
RR : 30 x/mnt
S : 37.7 C
Spo2 : 99%
Kepala : Normocephal
Kulit : Pucat (-), Sianosis (-), Ikterik (-)
Mata : CA -/-, SI -/-
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-
Leher : Pembesaran KGB tidak ada, kaku kuduk tidak ditemukan
Thorax
Jantung : Insp : ictus cordis tidak terlihat
Ausk : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop S3 (-)
Paru : Insp : gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
Ausk : vesicular (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Abd : Insp : datar, distensi (-)
Ausk : bising usus (+) normal
Perk :
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Palp : Supel, organomegali (-)
Extremitas atas : akral hangat +/+
sianosis -/-
CRT < 2 detik
Extremitas bawah : akral hangat +/+
sianosis -/-
CRT < 2 detik
Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal:
Kaku kuduk (-), burdzinski I (-), Burdzinski II 9-0, Kernique (-), laseque (-)
Refleks Patologis:
Babinski (-), Openheim (-)
Refleks Fisiologis:
Refleks biseps +/+, Refleks Triseps +/+, Refleks patella +/+, Refleks achilles +/+
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin Hitung Jenis Leukosit
Haemoglobin : 11.3 Basofil: 0
gr/dL Eosinofil: 1
Leukosit : 6.85 Limfosit: 34
ribu/mm3 Monosit: 8
Eritrosit : 5.25 Neutrofil Batang: 1
juta/mm3 Neutrofil Segmen: 56
Trombosit : 171 MCH: 21.5
ribu/mm3 MCHC: 33.9
Hemtokrit : 33 vol % MCV: 63.4
DIAGNOSA SEMENTARA
- KDK (Kejang Demam Kompleks)
- dd Epilepsi
PLANNING
10. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
11. Menegakan diagnosis
12. Melaksanakan manajemen terapi
PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 13 tpm
- Stesolid (diazepam) 5 mg
- Cek lab
- Konsul dr.Shinta, Sp. A advise :
- Inf RL 10 tpm makro
- Paracetamol drop 1 cc per 4 jam jika demam
- Jika t > 39 c, paracetamol IV 100 mg
- Diazepam 1,5 mg/8 jam jika t > 38 c
- Salbutamol 3 X ½ cth
- Diazepam 2 mg IV
- O2 nasal kanul 1 lpm jika kejang
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Daftar Pustaka: terlampir
Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana kejang demam kompleks (KDK)
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi3,5
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai
4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden
kejadian sebesar 37%.
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.3
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media
akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak
akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.6
2.4 Patofisiologi7
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan
air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.
2.5 Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua4
- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit
tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba),
kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai
dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
2.7 Diagnosis6,9,10
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada
system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-
pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu
dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan
karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural
atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu
keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat dicurigai
Ensefalitis akut / Ensefalopati.
4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12 bulan sangat
dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi
terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada KDK. Tetapi
beberapa ahli berpendapat EEG tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi
fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.
Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak
yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan
neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal
dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi
lumbal.
Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
Tabel Diagnosa Banding
2.9 Penatalaksanaan4,10
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah
sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun
atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang selang
infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.
2. Pengobatan penunjang
Profilaksis intermitten
1). Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang
ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang
gangguan kognitif atau fungsi luhur.
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah gejala
toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.
3). Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian
antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun
seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan
dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium,
kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.
2. 10 Prognosis6,11
1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46
% s/d 0,74%.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50
% pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27. 1982 : 6 – 8.
3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000.
Hal 2059-2067.
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini tanggal 18 Januari 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Dengan judul/topik :
Pedamping,
5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat: disangkal
Riwayat alergi makanan: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda-tanda vital : TD : 150/100 mmHg (kanan), 150/90 mmHg (kiri)
Nadi : 98x/menit, reguler
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5° C
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi
Cor : BJ I,II reguler, Murmur (+), Gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : GCS E4M5V6
N.CRANIALIS
N.I : Normosmia (dengan teh)
N.II : Tajam penglihatan kesan baik
Lapang pandang kesan baik
N.III, IV, VI : Ptosis -/-
Strabismus (-)
Nistagmus (-)
Gerakan bola mata ke segala arah normal
Pupil : bulat, kanan dan kiri: Ø ±3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung : sulit dinilai/+
N.V : Sensibilitas : V 1: baik
V 2: baik
V 3: baik
Membuka dan menutup mulut : baik
Menggigit : baik
N.VII : Kerutan dahi : simetris kanan dan kiri
Menutup mata : kelopak mata kanan dan kiri menutup dengan baik
Menyeringai : plika nasolabialis sinistra lebih datar
N.VIII : Pendengaran: mendengar suara gesekan jari: kanan dan kiri baik
N.IX, X : Disfonia (-)
Arcus faring : simetris
Uvula : ditengah
N.XI : Mengangkat bahu : kanan lebih tinggi daripada kiri
N.XII : Lidah saat dijulurkan : deviasi ke kiri
Lidah saat diam : deviasi ke kanan
Atrofi lidah : tidak ada
MOTORIK
Tonus : Bebas │ Terbatas
Bebas │ Terbatas
Tonus : Normotonus │ Hipotonus
Normotonus │ Hipotonus
Trophy : Eutrophy │ Eutrophy
Eutrophy │ Eutrophy
Kekuatan : 5555│3333
5555│3333
REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps : +/++
Triceps : +/++
KPR : +/++
APR : +/+
REFLEKS PATOLOGIS
Babinski : -/- Chaddock : -/- Schaefer : -/-
Openheim : -/- Gordon : -/- Hoffman Trommer : -/-
SENSORIK
Eksteroseptif
Nyeri : kanan lebih dapat merasakan dibanding kiri
Suhu : kanan lebih dapat merasakan dibanding kiri
Taktil : kanan lebih dapat merasakan dibanding kiri
FUNGSI OTONOM
Miksi : tidak ada gangguan
Defekasi : tidak ada gangguan
DIAGNOSIS
Susp SNH dd susp SH dengan kesan hemiparese sinistra
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Jenis Pemeriksaan 2 November Nilai rujukan
2017
Hemoglobin 12.9 13-18 g/dL
Hematokrit 40 40-52%
Eritrosit 4.52 4,3 - 6,0 juta/μL
Leukosit 7.91 4800 - 10800 /μL
Trombosit 310 150000 - 400000 / μL
Ureum 65 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 1.1 0.5 – 1.5 mg/dL
SGOT 26 <35 U/L
SGPT 22 <40 U/L
PENATALAKSANAAN
Th/Igd:
O2 3 lpm
Inf asering 20 tpm
Inj citicolin 1 amp
Inj ketorolac 1 amp
Inj ranitidin 1 amp
Konsul dr.Aria, Sp.S
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad sanactionam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Daftar Pustaka: terlampir
Tujuan Pembelajaran:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tatalaksana ketuban pecah dini
TINJAUAN PUSTAKA
STROKE
A. Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) 2005 stroke adalah suatu gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan
kematian, dan semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik.
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau
kematian.
B. Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga
dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses
yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik
yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
1. Emboli
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal).Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya
infark miokard.
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior).Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus
aterosklerosis(ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab lain terjadinya
trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, displasia fibromuskular dari arteri
serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap
proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).
C. Faktor Resiko
Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas
darah dan penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi mengalami
stroke non hemoragik.
D. Klasifikasi
E. Patofisiologis
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah
aterosklerosis, dengan mekanisme thrombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri
kecil, dan juga melalui mekanisme emboli.Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi
di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak.Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan
aterom.
3. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan menyebabkan
hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut
sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami
kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan
permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel radang.
Di sekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya H+ dari asidosis
laktat.K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air yang timbul
dalam empat hari pertama sesudah stroke.Edem ini menyebabkan daerah sekitar nekrosis
mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih
hidup.Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah
tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena infark maupun perdarahan).
Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan
mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat
ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang.
Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal kalsium (calcium
channels). Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel.
Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan
membanjiri lagi neuron-neuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron
yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti
nitric acida atau NO), yang akan merombak molekul lemak didalam membran sel,
sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel.
Pembuluh darah
Oklusi
Iskemia
Hipoksia
Na & K influk
Retensi cairan
Oedem serebral
F. Diagnosis
1.Gambaran Klinis
a) Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat
kesadaran.Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke
hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala
dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese,
atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,
disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun
gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara
bersamaan.Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk
menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat
mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:
Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.
b) Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi,
dan iritasi menings. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor resiko
stroke seperti obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain.
c) Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala
stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti
stroke, dan menyediakan informasi neurologi untukmengetahui keberhasilan
terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan
status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik
dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan
tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus
dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s
palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.
2.Gambaran Radiologi
a) CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke
(hematoma, neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu
terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya
insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan
hilangnya perberdaan gray-white matter.
G. Penatalaksanaan
Terapi pada stroke iskemik dibedakan menjadi fase akut dan pasca fase akut:
2. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam.Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak
artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark
lakuner atau infark massif dengan hemiplegia.Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri
karotis dan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang
terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena
pemberian heparin tersebut.
3. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan
sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan
stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80
mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol.Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang
merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah.Hidrolise ke asam salisilat terjadi
cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80%. Waktu paro (half
time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine).Ekskresi lewat urine, tergantung pH.Sekitar 85% dari
obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.
Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat
menggunakan tiklopidin atau clopidogrel.Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet.Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan
bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun
indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik. Efek samping
tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila
obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15
hari selama 3 bulan. Komplikasi yang lebih serius, tetapi jarang, adalah
purpura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.
b) Anti-oedema otak
Untuk anti-oedema otak dapat diberikan gliserol 10% per infuse
1gr/kgBB/hari selama 6 jam atau dapat diganti dengan manitol 10%.
c) Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron
yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki
fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi.
2. Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasarn pengobatan dititiberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.
Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka
yang paing penting pada masa ini adalah upaya membatasi sejauh mungkin
kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi wicara, dan
psikoterapi.1
Terapi preventif
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru sroke,
dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko
stroke seperti:
Pengobatan hipertensi
Mengobati diabetes mellitus
Menghindari rokok, obesitas, stress, dll
Berolahraga teratur
DAFTAR PUSTAKA
1. Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak. Dalam: eds. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-2.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press; 2005. h.81-82.
2. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview