Anda di halaman 1dari 6

Sistem Baru dalam Akuntansi - Penggabungan Faktor Sosial dan Lingkungan dalam

Pelaporan Eksternal

Pendahuluan
Kita akan mempelajari akuntansi keuangan di berbagai negara, yang memberikan
informasi tentang kinerja keuangan ekonomi dari suatu entitas, yang diatur sesuai dengan
undang-undang korporasi dan standar akuntansi. Di sisi lain ada atau tidaknya persyaratan
yang relatif berkaitan dengan pengungkapan informasi publik tentang kinerja sosial dan
lingkungan dari suatu entitas.
Selama satu sampai dua tahun terakhir sejumlah perusahaan di seluruh dunia mulai
mendiskusikan mengenai berbagai isu yang terkait dengan pelaporan triple bottom line.
Definisi dari triple bottom line yaitu laporan yang menyediakan informasi tentang kinerja
ekonomi, lingkungan, dan sosial dari suatu entitas (Elkington, 1997). Hal itu merupakan
berangkat dari perspektif bottom line sebelumnya, yang secara tradisional hanya berfokus
pada kinerja keuangan atau ekonomi entitas.
Pelaporan triple bottom line jika diterapkan dengan benar, akan memberikan
informasi yang memungkinkan orang lain atau masyarakat untuk menilai bagaimana
berkelanjutan suatu organisasi atau perusahaan. Perspektif yang diambil adalah bahwa untuk
sebuah keberlanjutam organisasi harus menjaga keuangan yang akan meminimalkan dampak
lingkungan negatif, dan itu harus bertindak sesuai dengan harapan masyarakat.
Pelaporan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat dibandingkan dengan
tujuan pelaporan keuangan untuk tujuan umum seperti yang ditentukan dalam berbagai
kerangka konseptual yang ada. Dalam kerangka kerja ini tujuan pelaporan keuangan untuk
tujuan umum biasanya digambarkan sebagai memberikan informasi untuk memungkinkan
pengguna laporan keuangan untuk membuat keputusan alokasi sumber daya informasi.

Apa Tanggung Jawab Bisnis?


Baru-baru ini banyak perusahaan di seluruh dunia menerapkan mekanisme pelaporan
yang menyediakan informasi tentang kinerja sosial dan lingkungan dari entitas mereka bahwa
manajemen organisasi ini menganggap bahwa perusahaan memiliki akuntabilitas tidak hanya
untuk kinerja ekonomi, tetapi juga untuk sosial dan kinerja lingkungan perusahaan.
Pandangan tersebut belum tentu diterima secara universal oleh masyarakat atau publik.
Bagaimana sebuah entitas mengartikan tanggung jawabnya dan jauh lebih penting lagi, apa
relevansinya stakeholder mempertimbangkan hal tersebut sebagai tanggung jawabnya? Dan
faktanya, siapakah yang menjadi stakeholder dari organisasi itu? Hal ini didasarkan pada
pandangan personal dari manajemen yang terlibat mengenai arti tanggung jawab dan
akuntabilitas. Pandangan ini akan mempengaruhi pada informasi apa yang perusahaan pilih
untuk dilaporkan. Mengadopsi definisi yang dikatakan oleh Gray, Owen, dan Adams (1996:
38), didefinisikan akuntabilitas sebagai :
“The duty to provide an account (by no means necessarily a financial account) or
reckoning of those actions for which one is held responsible.”
Dari pernyataan di atas, maka dapat diindikasikan bahwa akuntabilitas mencakup 2
tanggung jawab, yaitu :
a. Tanggung jawab untuk melakukan tindakan tertentu (atau untuk menahan diri dari
mengambil suatu tindakan)
b. Tanggung jawab untuk menyediakan laporan tentang tindakan-tindakan yang telah
diambil
Diskusi mengenai pelaporan pertanggungjawaban sosial (dapat didefiniskan sebagai
ketentuan dari informasi tentang kinerja entitas yang berkenaan dengan interkasi sosial dan
lingkungan, termasuk informasi tentang dukungan entitas terhadap pekerja, komunitas lokal
dan luar negeri, catatan keamanan, dan penggunaan natural resource) diperlukan untuk
mempertimbangan apa yang menjadi tanggung jawab entitas, serta apa yang seharusnya
dipertanggungjawabkan. Apakah tanggung jawab bisnis hanya bagi shareholders atau bagi
masyarakat luas dimana entitas tersebut beroperasi? Tentunya, banyak organisasi atau entitas
yang mengeluarkan statemen bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk pihak-pihak lain
dan bukan sekedar bagi shareholders saja.
Pada isu yang lain, apakah pertanggungjawaban dari bisnis hanya terbatas pada
generasi saat ini, atau seharusnya juga mempertimbangkan implikasi dari pembuatan
keputusan saat ini terhadap generasi selanjutnya? Jika sustainability dimunculkan, sesuai
dengan Brundtland Report (1987), mengindikasikan bahwa produksi yang dilakukan saat ini,
tidak semata-mata untuk memuaskan kebutuhan diri sendiri namun seharusnya tetap
memikirkan generasi mendatang.

Beberapa Pertimbangan Lebih Lanjut dalam Sustainability


Sejak tahun 1970 telah ada banyak perdebatan di berbagai forum tentang dampak
pembangunan berkelanjutan untuk lingkungan. Banyak perusahaan di seluruh dunia baru-
baru ini merilis dokumen yang menyatakan bahwa organisasi mereka memiliki komitmen
untuk pembangunan berkelanjutan dan banyak perusahaan yang memberikan informasi untuk
menunjukkan bagaimana mereka berkembang dan melakukan terhadap tujuan pembangunan
berkelanjutan.

Perkembangan dalam Praktek Pelaporan Sosial dan Lingkungan


Bergerak menuju keberlanjutan perusahaan, akan memerlukan perubahan mendasar
untuk produksi dan pola konsumsi sebagai suatu kebutuhan global. Memilih perspektif yang
disediakan oleh teori legitimasi, bahwa jika keberlanjutan menjadi bagian dari ekspektasi
yang diinginkan masyarakat maka hal itu harus menjadi tujuan bisnis. Beberapa perusahaan
di dunia membuat catatan yang menyatakan bahwa organisasi mereka memiliki komitmen
untuk suistainability development yang kemudian menghasilkan informasi yang
menunjukkan pendapatan dan kinerja dalam pengembangan suistainability tersebut berupa
CSR. Dokumen pelaporan suistainability hadir dalam berbagai bentuk. Laporan singkat ini
menghasilkan agenda global untuk perubahan dalam menentang atau mengurangi tekanan
yang terus menerus dalam lingkungan global. Pelaporan ini mendefinisikan perkembangan
suistainability sebagai kemapuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa harus
membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam
perspektif suistainability harus dipastikan bahwa pola konsumsi generasi sekarang tidak
memberikan dampak negatif terhadap generasi selanjutnya. Banyak organisasi yang
selanjutnya menyatakan secara eksplisit bahwa fokus mereka adalah pertimbangan
suistainability yang mempunyai implikasi terhadap profitability jangka pendek dan
merupakan hal pokok dalam keberlangsungan hidup jangka panjang.

Beberapa Keterbatasan dari Akuntansi Keuangan Tradisional


Eksternalitas dalam laporan perusahaan yang masih jarang diungkapkan, menjadi hal
yang dikritisi. Efek-efek yang berhubungan dengan sosial dan lingkungan seperti polusi yang
dihasilkan dari operasi perusahaan maupun kerusakan akibat penggunaan barang produksi
perusahaan tersebut, jarang diungkapkan. Berikut beberapa keterbatasan dalam akuntansi
keuangan tradisional dalam melaporkan kinerja sosial dan lingkungan :
a. Fokusnya adalah pada pihak yang terlibat pada keputusan alokasi sumber daya atau
bisa dikatakan financial interest sehingga tidak ada laporan bagi pihak yang terkena
dampak.
b. Adanya konsep materialitas. Apabila terdapat hal yang dianggap tidak material atau
tidak dapat diukur (seperti hal eksternalitas sosial dan lingkungan), maka tidak
menjamin adanya pelaporan terpisah.
c. Adanya diskonto yang membuat biaya sosial lingkungan diakui sangat kecil atau
bahkan tidak diakui karena tidak bisa diselesaikan dalam beberapa waktu mendatang.
d. Entity assumption mengakibatkan hal-hal yang tidak berdampak langsung, yaitu sosial
dan lingkungan, terhadap entitas akan diabaikan.
e. Definisi aset adalah “future economic benefits” yang dikontrol oleh entitas sebagai
hasil dari transaksi di masa lalu atau kejadian lain di masa lalu (SAC 4). Pengakuan
aset adalah sesuatu yang dapat dikontrol. Padahal lingkungan dan sosial adalah
sesuatu yang tidak tidak dikontrol sehingga perusahaan tidak mengakuinya sebagai
aset, dan pada akhirnya tidak diakui sebagai beban. Pada intinya, tidak ada
eksternalitas yang diakui, dan aset serta laba yang dilaporkan tidak terpengaruh.
f. Terdapat asumsi tentang “measurability”. Item yang dicatat dalam laporan keuangan
harus measurable dengan reasonable accuracy. Sedangkan aspek sosial dan
lingkungan merupakan hal yang dalam pengukurannya tidak akurat. Hanya
mengandalkan estimasi dan “guesstimates”.

Eco-Justice and Eco-Efficiency Reporting


Ketika kita mempertimbangkan mengenai komponen dari sustainability, maka kita
akan mengingat komponen-komponen yang terdiri dari kinerja ekonomi, sosial dan
lingkungan. Ketika kita mempertimbangkan mengenai implikasi sosial dan dan lingkungan
dalam bisnis, terdapat 2 komponen yang dapat diidentifikasi, yaitu eco-efficiency dan eco-
justice.
Eco-efficiency merupakan hal yang terfokus pada memaksimalkan penggunaan
kuantitas sumber daya yang ada, dan meminimalisir implikasi pada lingkungan terhadap
penggunaanya. Hal ini berhubungan dengan proteksi lingkungan. Pertimbangan mengenai
eco-justice yaitu mengenai pertanyaan “apa yang harus diproduksi” dan ketika itu diproduksi,
maka muncul pertanyaan “untuk siapa barang itu diproduksi”.
Di dalam laporan keuangan tahunan, yang banyak dipertimbangkan adalah mengenai
eco-efficiency, namun tidak dengan isu mengenai eco-justice. Hal itu dikarenakan eco-justice
memiliki informasi non-ekonomi. Laporan mengenai eco-justice mengindikasikan mengenai
bagaimana entitas menggunakan sumber daya yang terbatas, dan tidak melupakan pihak yang
menanggung kerugian. Beberapa isu yang mempertimbangkan perspektif eco-justice
diantaranya tentang perhatian terhadap edukasi dan kesehatan karyawan, serta observasi
mengenai hak manusia serta adanya kesempatan yang sama.
Pada saat itu, tidak ada kerangka konseptual bagi laporan lingkungan, dan informasi
yang disajikan hanya berdasarkan persepsi setiap orang mengenai informasi apa yang perlu
disajikan pada stakeholder. Namun, pada Maret, 1999 institusi baru bernama Global
Reporting Initiative (GRI) merilis guidelines (petunjuk) bagi Sustainability Reporting
Guidelines. Petunjuk ini, dirilis oleh European Federation of accountants (FEE). GRI
guidelines ini memasukkan mengenai isu eco-justice.

Social Acoounting and Social Auditing


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, isu eco-justice merupakan suatu
pertimbangan yang berhubungan dengan isu sosial. Laporan yang dihasilkan yaitu yang dapat
mensupport masalah tenaga kerja, kelompok yang dirugikan, dan proyeksi terhadap
masyarakat (sosial). Pertimbangan mengenai isu sosial bagi pihak eksternal dalam suatu
laporan keuangan, dapat disebut sebagai akuntansi sosial. Berdasarkan pernyataan Elkington
(1997, p.87), akuntansi sosial bertujuan untuk menilai dampak yang dihasilkan oleh
perusahaan kepada masyarakat secara internal maupun eksternal. Isu yang diangkat adalah
mengenai hubungan dengan masyarakat, charity, keamanan produk, dan lain-lain.
Ramanathan (1976) juga memberikan pernyataan bahwa tujuan dari akuntansi sosial yaitu
untuk membantu evaluasi bagaimana suatu perusahaan telah memenuhi kontrak sosialnya.
b. Akuntansi sosial sangat dekat hubungannya dengan audit sosial. Menurut Elkington
(1997, p.88) tujuan dari audit sosial adalah menilai kinerja dalam hubungannya
dengan kebutuhan dan ekspektasi. Audit sosial diharapkan menghasilkan statement of
assurance yang merupakan dasar dari laporan sosial yang diterbitkan untuk publik
dan dasar untuk berdialog dengan stakeholder.
c. Audit sosial seringkali digunakan oleh MNC dan dilaksanakan bersamaan dengan
audit laporan keuangan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan legitimasi, aspek
sustainable dan transparansi. Hal ini dilakukan dengan cara mengadopsi pendekatan
hati-hati dengan sebagian besar berfokus pada masalah konsistensi informasi yang
muncul dalam laporan organisasi dengan kumpulan data yang mendasari.
d. Kinerja sosial yang dinilai ini, memiliki peran penting terhadap survival perusahaan di
dunia bisnis. Perusahaan harus dapat memenuhi mekanisme yang ada untuk menjamin
bahwa keinginan masyarakat telah terpenuhi. Selain masyarakat, masih terdapat
stakeholder lain, dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Perusahaan memiliki
kewajiban untuk memperhatikan keinginan para stakeholder tersebut, agar dapat
memenuhi ekspektasinya. Agar organisasi dapat memberikan benefit kepada semua
pihak, maka perusahaan butuh untuk melakukan “strategic alliance”.

Kesimpulan
Bab ini telah mengkaji berbagai isu yang terkait dengan pelaporan sosial dan
lingkungan perusahaan. Sejak 1990-an banyak organisasi di seluruh dunia telah memberikan
informasi mengenai kinerja lingkungan mereka. Baru-baru ini, banyak organisasi telah
memulai memproduksi informasi tentang kinerja sosial mereka. Perkembangan ini dalam
pelaporan memungkinkan ekspektasi masyarakat tentang kinerja dan tanggung jawab bisnis.
Ketika suatu perusahaan secara sukarela mengungkapkan informasi secara publik
tentang kinerja sosial dan lingkungan ini bahwa manajer mengakui bahwa mereka
bertanggung jawab kepada kelompok pemangku kepentingan tidak hanya tentang kinerja
keuangan perusahaan saja, tetapi juga kinerja sosial dan lingkungan perusahaan. Namun,
seperti bab ini menunjukkan, tidak semua orang menganggap bahwa manajer memiliki
tanggung jawab sosial untuk kelompok pemangku kepentingan. Beberapa peneliti percaya
bahwa tanggung jawab utama adalah untuk pemegang saham saja. Namun, perspektif yang
terbatas ini tanggung jawab perusahaan tampaknya akan menjadi kurang diterima secara luas.
Bab ini menjelaskan bagaimana masalah yang terkait dengan keberlanjutan telah
meningkat sejak awal 1990-an dan evolusi sosial perusahaan dan pelaporan lingkungan.
Mencerminkan kurangnya metodologi yang diterima untuk memberikan informasi sosial dan
lingkungan, bab ini menunjukkan bahwa ada berbagai pendekatan-pendekatan untuk
menyediakan informasi sosial dan lingkungan. Bab ini juga telah menunjukkan bahwa
akuntansi keuangan konvensional sering mengabaikan berbagai masalah kinerja sosial dan
lingkungan karena fokusnya pada transaksi dan peristiwa yang berdampak langsung pada
sumber daya ekonomi dari entitas. Berbagai pendekatan eksperimental untuk akuntansi biaya
penuh dieksplorasi.
Bab ini juga meninjau praktek akuntansi sosial dan audit sosial. akuntansi sosial
dijelaskan sebagai pendekatan sebagai pendekatan akuntansi yang menyediakan informasi
tentang dampak organisasi pada internal maupun eksternal perusahaan, sementara audit sosial
didefinisikan sebagai proses menilai kinerja organisasi dalam kaitannya dengan kebutuhan
masyarakat dan ekspektasi. Bukti menunjukkan bahwa praktik akuntansi sosial dan audit
sosial, yang secara luas dipromosikan di tahun 1970-an muncul kembali sebagai isu utama
dalam akuntabilitas perusahaan dan pelaporan.

Anda mungkin juga menyukai