Pembimbing:
dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An
dr. H. Sabur Nugraha, Sp.An
dr. Ade Nurkacan, Sp.An
Disusun Oleh :
Tannia P 030.13.120
Dirtie Imas H. 030.13.050
1
DAFTAR ISI
HALAMAN
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
i
2.6 Peralatan anestesi spinal ..................................................................................15
2.7 Teknik anestesi spinal ......................................................................................16
2.8 Tinggi blok anestesi spinal ..............................................................................18
2.9 Anestesi lokal untuk anestesi spinal.................................................................18
2.9 Komplikasi anestesi spinal ..............................................................................21
ii
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Status Gizi : cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36,4 °C
Pernapasan : 18x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam , distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Mulut : Oral hygiene baik
Leher : KGB leher tidak membesar
Thorax : Paru : SNV (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II Reg, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat (+) Oedem (-) Sianosis (-)
5. Hematokrit 28,4 % * 40 - 52
6. MCV 72 fl * 80 - 96
2
7. MCH 21 pg * 28 - 33
8. MCHC 29 g/dl * 33 - 36
Kimia
1.5 DIAGNOSIS
Pasien didiagnosis dengan Hemorroid interna Grade III-IV
1.6 KESIMPULAN
Status fisik pasien : ASA II (Hb, Ht menurun)
Perencanaan anastesi : Pada pasien ini akan dilakukan tindakan
hemoroidektomi. Anestesi yang dilakukan adalah
anestesi regional dengan teknik spinal.
1.7 OPERATIF
1.7.1 PRE-OPERATIF
Diagnosa pre operasi : Hemoroid interna grade III-IV
Tindakan operasi : Hemoroidektomi
Cek Informed consent (+)
Pasien dipuasakan selama 10 jam pre-operatif
IV line terpasang pada tangan kiri pasien dengan infuse Asering
Persiapan obat dan alat anestesi regional
o Menyiapkan meja operasi
o Menyiapkan mesin dan alat anestesi
o Menyiapkan komponen STATICS:
Scope Stetoskop, Laringoskop
Tubes ETT cuffed no. 7,0
Airway Gudel
Tape Plester
3
Introducer
Connector
Suction
o Menyiapkan obat anestesi spinal yang diperlukan: Regivell ®
(Bupivacain HCl in Dextrose injection) 20 mg
o Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine,
aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain.
o Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac,
ondansentron, ephedrine, dan lain-lain.
o Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan
EKG
o Menyiapkan alat-alat anestesi regional: Spuit, Handscoon,
Antiseptic, Kassa, Jarum spinal (Spinocain).
Keadaan umum
o Kesadaran : Compos mentis
o Kesan sakit : sakit sedang
Tanda vital :
o Tekanan darah : 130/90 mmHg
o Saturasi O2 : 99 %
o Nadi : 90x/menit
o RR : 20x/menit
o Suhu : 36,5
4
perlahan, kemudian aspirasi kembali untuk memastikan LCS mengalir dan
posisi jarum tetap di subarachnoid.
Setelah semua obat habis di injeksi, cabut jarum spinal perlahan,
Selanjutnya posisikan pasien berbaring pada meja operasi.
Kemudian, dipasang juga kanul oksigen 2 L/menit
Kronologis Anestesi
Jam Tindakan Tek. Darah Nadi Saturasi
(mmHg) (x/menit) O2 (%)
5
09.50 Pasien masuk ruang operasi, 130/90 90 99
ditidurkan telentang diatas meja
operasi, dipasangkan manset
tekanan darah di tangan kanan,
dan pulse oksimeter di tangan
kiri. Pasien sudah terpasang infus
Assering 500 cc pada tangan kiri.
10.25 94/69 96 99
6
10.35 Infus assering habis, diganti 118/84 105 99
dengan assering 500 cc ditangan
kiri
10.40 116/80 90 99
10.45 116/83 93 100
10.50 116/85 99 100
10.55 Dimasukkan dengan bolus iv 120/79 96 100
ketorolac 30 mg dan ondansetron
4 mg, dimasukkan dengan drip iv
tramadol 100 mg
11.00 120/77 93 100
1.8 FOLLOW UP
1.8.1 Pre-Operasi
Ruangan Telagasari12/10/2017
S : Pasien memiliki riwayat operasi caesar 8 tahun lalu. Riwayat alergi
obat dan makanan disangkal, riwayat hipertensi,DM, asma juga disangkal.
Pasien puasa dari jam 11 malam
7
O:
o Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
o Tanda vital :
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 88x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36,4° C
o Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+),
Sklera ikterik (/-)
- Paru : Suara napas vesikular, rhonki -/- , wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (–)
- Abdomen : BU (+), nyeri tekan (+)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
o Laboratorium ; Hb = 8
P:
o Ceftriaxone 1 x 1 gr
o Ketorolac 2 x 30 mg
o Asam tranexamat 3 x 1 ampul
o Ranitidine 2 x 1 gram inj.
1.8.2 Post-Operasi
Recovery Room 13/10/2017
Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal dilakukan dengan scoring
menggunakan bromage skor untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruang rawat atau masih perlu observasi lanjutan di recovery
room, berikut nilai serta cara penilaiannya:
Score Kriteria
1 Complete block (Tidak mampu menggerakan tungkai dan kaki)
2 Almost complete block (Hanya mampu menggerakan kaki saja)
3 Partial block (Hanya mampu menggerakan tungkai saja)
8
4 Fleksi penuh tungkai (ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal
paha
dalam posisi supine)
5 Tidak ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha dalam
posisi
supine
6 Mampu melakukan menekuk lutut parsial
O:
o Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
o Tanda vital :
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 76x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36,8° C
o Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+),
Sklera ikterik (-/-)
- Paru : Suara napas vesikular, rhonki -/-
wheezing-/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (–)
- Abdomen : BU (-) N, Nyeri Tekan (-)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
A : ASA II dengan Hb reandah
P:
9
- Ketorolac 2 x 30 mg
- Asam Tranexamat 3 x 1 ampul
- Ceftriaxone 2 x 1 gram inj.
- Ranitidine 2 x 1 gram inj.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Blok sentral (blok neuroaksial) meliputi blok spinal, epidural dan kaudal.
10
2.2.2 Blok perifer (blok saraf) meliputi blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regional intravena, dan lain-lainnya
11
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
2.4 Anatomi tulang belakang
2.4.1 Columna vertebralis
Columna vertebralis atau rangkaian tulang belakang merupakan sebuah
struktur yang lentur dan dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau
ruas tulang belakang. Di antara tiap dua ruas tulang belakang terdapat bantalan
tulang rawan. columna vertebralis) dibentuk oleh serangkaian tulang vertebra
yang terdiri dari tujuh buah vertebrae cervicales, dua belas buah
vertebrae thoracicae, lima vertebrae lumbales, os sacrum, dan os
coccygis. Os sacrum merupakan penyatuan (fusi) dari lima buah vertebrae
sacrales, dan os coccygis ( tulang ekor) biasa terdiri dari empat vertebrae
coccygeae.(2)
12
Jika dilihat dari samping, kolumna vertebralis memperlihatkan 4 (empat) kurva
atau lengkung. Di daerah tulang belakang servikal melengkung ke depan
(lordosis) di daerah thorakal melengkung ke belakang (kifosis), di daerah lumbal
melengkung ke depan (lordosis) dan di daerah pelvis melengkung ke belakang
(kifosis). Walaupun tiap daerah vertebra mempunyai perbedaan ukuran dan
bentuk, tetapi semua memiliki persamaan struktur dasar. Tiap vertebra terdiri dari
korpus, pedikel, lamina, prosessus tranversus, prosessus spinosus, prosessus
artikularis superior dan inferior.(2)
2.4.2 Korpus vertebralis
Korpus vertebra merupakan struktur yang terbesar, mengingat fungsinya
sebagai penyangga berat badan. Korpus vertebra berbentuk seperti ginjal dan
berukuran besar, terdiri dari tulang korteks yang padat Permukaan bagian atas dan
bawah korpus vertebra disebut dengan end plate. Korpus tulang belakang lumbal
lebih besar daripada servikal dan thorakal dan yang terbesar pada L5.(2)
13
kompresi. Kontribusinya sekitar sepertiga dari panjang total tulang belakang
lumbal, sedang di bagian tulang belakang lainnya kurang lebih seperlimanya.
Setiap diskus terdiri dari 3 komponen yaitu,
(1) nukleus sentralis pulposus gelatinous, yang berperan dalam mengganjal
anulus fibrosus dari dalam dan mencegahnya tertekuk ke dalam
(2) anulus fibrosus yang mengelilingi nukleus pulposus, terdiri dari lamina –
lamina konsentrik serabut kolagen, pada setiap lamina serabutnya paralel,
serabut terdalam anulus fibrosus mengelilingi nukleus pulposus dan
terlekat pada vertebral endplate, sedangkan serabut bagian luarnya
berlekatan dengan tepi korpus vertebra dan menjadi porsi ligamentum dari
anulus fibrosus, serabut – serabut anulus fibrosus bergabung sempurna
membentuk ligamentum longitudinal anterio dan ligamentum longitudinal
posterior
(3) sepasang vertebra endplates yang mengapit nukleus, permukaan
permukaan datar teratas dan terbawah dari diskus merupakan vertebral
endplates.
14
L2 saat dewasa. Medula spinalis terbungkus oleh tiga lapisan meningen. Sisi
paling dalam adalah piamater yang melekat pada medula spinalis dan serabut
sarafnya. Lapisan paling luar adalah duramater yang dipisahkan dengan ruang
potensial subdural terhadap meningen arachnoid, sedangkan ruang subarachnoid,
memisahkan antara piamater dengan arachnoidmater. Ruangan ini berisi cairan
serebrospinal yang mengalir ke atas dan ke bawah di sepanjang kanalis spinalis.(2)
15
2.7 Teknik anestesi spinal (1)
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan dimeja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setalah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi decubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk
16
2. perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4/5 . tentukan tempat tusukan misalnya L2/3, L3/4
atau L4/5. Tusukan pada L1/2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medula
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Berikan anastetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidicain 1-3 %,
2-3 ml.
5. Cara rusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G
atau 25G dapat langsung digunakan. Sadangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu jarum
suntuk biasa spuit 10 cc. tusukan introducer kira-kira sedalam 2 cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukan jarum spinal jarum berikut
mandrinnya kelubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
17
( Quincke/Babcock) irisan jarum ( bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bavel mengarah keatas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulmya
nyeri kepala pasca spina. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum
spinal dicbut, dan keluar liquor, pasang spuit berisi obat dan obat dapat
dimasukan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan pisisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada
pisisi yang benar dan liquor tidak keluar, putar arah jarum 90 o biasanya liquor
keluar. Untuk anestesi spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit/ligamentum flaflum
dewasa kurang lebi 6 cm.
18
Obat anestesia lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang cepat, durasi
kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan sehingga dapat disesuaikan
dengan lama operasi, tidak neurotoksik, serta pemulihan blokade motorik
pascaoperasi yang cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat dilakukan.
Beberapa faktor yang dianggap akan memengaruhi penyebaran obat anestesia
lokal antara lain karakteristik obat anestesia lokal (barisitas, dosis, volume,
konsentrasi, dan juga zat aditif), teknik (posisi tubuh, tempat penyuntikan,
barbotase, serta tipe jarum), dan juga karakteristik pasien (usia, tinggi, berat
badan, tekanan intraabdomen, kehamilan, dan anatomi dari tulang belakang).
Faktor yang dianggap paling berperan adalah barisitas dan juga posisi tubuh.
Barisitas obat sangat menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian
blokade.(4)
Obat anestesi lokal disebut hipobarik bila mempunyai densitas ±3 (tiga)
standar deviasi (SD) di bawah densitas cairan serebrospinal. Berat jenis cairan
serebrospinal pada suhu 370 ialah 1.003-1.008. Penyuntikan obat jenis hipobarik
pada posisi duduk akan menyebar ke arah sefalad. Pada posisi miring (posisi
lateral) atau berbaring penyebaran obat hipobarik sangat ditentukan oleh bentuk
vertebra dan penyebaran ke arah kaudal.(5)
Anestetik lokal hiperbarik adalah obat yang memiliki densitas ±3 (tiga)
standar deviasi (SD) di atas densitas dari cairan serebrospinalis. Hal ini
menyebabkan distribusi obat anestesia lokal jenis hiperbarik akan sangat
dipengaruhi oleh posisi pasien yang berhubungan dengan gaya gravitasi. Pada saat
penyuntikan dengan posisi duduk, obat anestesia lokal hiperbarik tersebut
menyebar ke daerah kaudal, apabila sesaat setelah dilakukan penyuntikan, posisi
pasien berbaring dengan kepala ke arah bawah maka obat anestesia lokal akan
menyebar ke arah sefalad, namun pada posisi miring (posisi lateral) obat anestesia
lokal hiperbarik dapat menyebar ke arah sefalad.(5)
Obat anestesia lokal isobarik adalah obat lokal anestesia yang mempunyai
densitas yang sama dengan cairan serebrospinalis dan tidak ada efek gaya
gravitasi atau posisi tubuh. Obat anestesia lokal hiperbarik menyebabkan
pemendekan waktu blokade sensorik dan juga motorik jika dibandingkan dengan
isobarik. Namun, obat anestesi lokal hiperbarik mampu menghasilkan mula kerja
19
dan juga pemulihan lebih cepat, penyebaran yang lebih luas, serta tingkat
keberhasilan lebih dapat diandalkan jika dibandingkan dengan isobarik.(5)
Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestesi lokal dengan dektrose. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.(5)
1. Lidokain
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil, dapt didihkan
selama 8 jam dalam luran HCL 30%t tanpa resiko dekomposisi. Dapar
disterilkan beberapa kali dengan proses autoklaf tanpa kehilangan potensi.
Tidak iritatif terhadap jaringan walzupun diberikan dalam konsentrasi
larutan 88%. Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat
suntikan. Apabila larutan ini ditimbah adrenalin, maka waktu yang
diperlukan untuk hilang sama sekali dari tempat suntikan 4 jam.
Mempunyai afinitas tinggi pada jaringan lemak. Deoksikasi terjadi oleh
hati. Daya penetrasinya sangat baik.(7)
Untuk infiltrasi lokal diberikan larutan 0,5%, untuk blok saraf yang
kecil diberikan larutan 1%, untuk bloksaraf yang lebih besar diberikan
larutan 1,5%, untuk blok epidural diberikan larutan 1,5%-2%. Untuk blok
subarakhnoid diberikan larutan hiperbarik 5%.(7)
2. Bupivikain
20
Ikatan dengan HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat
diautoclaf berulang. potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-
5 Kli lidokain. Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan
dengan hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih
banyak dibandingkan dengan yang bebas didalam tubuh. Dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui ginjal sebagian kecil dan dalam bentuk utuh dan
sebagian besar dalam bentuk metabolitnya.(7)
Untuk infiltrasi lokaldigunakan larutan 0,25%, blok saraf kecil
digunakan larutan 0,25%, blok saraf yang lebih besar digunakan larutan
0,5%, blok epidural digunakan larutan 0,5%-0,7%, untuk blok spinal
digunakan larutan 0,5%-0,75%. (7)
Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
2. Penderita PPOM/COPD ( penyakit paru-paru obstruktif menahun ),
merupakan kontraindikasi untuk blok spinal tinggi.
21
3. Apneu : dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan oksigen dan nafas buatan.(3)
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah, karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi kemudian ( dekayed), pusing kepala
pasca pungsi lumbal ( post lumbal puncture headache ) merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas : terasa lebih berat pada perubahan posisi dari
tidur keposisi yang bervariasi ( kurang dari 10% dengan jarum no. 22 )
pada usia tua lebih jarang, dan pada kehamilan meningkat.(3)
BAB III
ANALISA KASUS
22
pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, riwayat DM, dan asma. Pasien
sudah pernah operasi caesar 8 tahun lalu Di keluarga pasien tidak ada yang
mengalami asma, alergi, hipertensi dan DM.
Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi,
suhu dan pernapasan. Pada pasien didapatkan tekanan darah dan nadi dalam
batas normal yaitu 100/70 mmHg dengan nadi 88x/menit. Frekuensi napas
pasien didapatkan sebanyak 18x/menit dimana batas normal frekuensi napas
pada laki-laki adalah 14-20 x/menit. Pada pengukuran suhu tubuh didapatkan
suhu sebesar 36,4°C. Selanjutnya pada pasien dilakukan pemeriksaan status
generalis dari kepala sampai dengan ekstremitas yang menunjukkan hasil
pada mata berupa konjungtiva anemis yang lainnya dalam batas normal.
Sementara pada pemeriksaan penunjang didapatkan penurunan pada
hemoglobin yaitu 8,2 g/dl. Pemeriksaan lainnya dalam batas normal.
Selanjutnya, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien didiagnosa menderita Hemoroid grade III-IV, dimana
terdapat benjolan di sekitar anus.
Hernia iguinalis lateralis adalah suatu keadaan dimana sebagian usus
masuk melalui sebuah lubang pada dinding perut ke dalam kanalis inguinalis.
Kanalis inguinalis adalah saluran berbentuk tabung, yang merupakan jalan
tempat turunnya testis (buah zakar) dari perut ke dalam skrotum (kantung
zakar) sesaat sebelum bayi dilahirkan. Biasanya tidak ditemukan sebab yang
pasti, meskipun kadang sering di hubungkan dengan angkat berat. Hernia
inguinalis lateralis dapat terjadi karena anomaly congenital atau sebab yang
didapat, hernia inguinalis lateralis dapat di jumpai pada semua usia, lebih
banyak pada pria dari pada wanita. Ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya hernia inguinalis lateralis, antara lain: kelemahan
aponeurosis dan fasia tranversalis, prosesus vaginalis yang terbuka (baik
kongenital maupun didapat), tekanan intra abdomen yang meninggi secara
kronik, hipertrofi prostat, konstipasi, dan asites, kelemahan otot dinding perut
karena usia, defisiensi otot, dan hancurnya jaringan penyambung oleh karena
merokok, penuaan atau penyakit sistemik. Oleh karena itu pasien dianjurkan
untuk menjalani operasi Herniotomy pada tanggal 4 Juli 2017. Tindakan ini
23
telah disetujui oleh dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anestesi,
serta keluarga pasien.
Pasien ini termasuk dalam kriteria ASA (American Society of
Anesthesiologists) II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang yang tidak mengganggu aktivitas, dikarenakan pasien memiliki Hb
yang rendah.
24
dua macam mekanisme yang saling memperekuat yaitu berikatan dengan
reseptor opioid yang ada di spinal sehingga menghambat transmisi sinyal
nyeri dari perifer ke otak dan mekanisme ke dua ialah meningkatkan aktivitas
saraf penghambah monoaminergik yang berjalan dari otak ke spinal sehingga
terjadi inhibisi transmisi sinyal nyeri. Ketamin dibiotransformasi dihati dan
dieliminasi melalui urine. Kontraindikasi digunakannya tramadol yaitu pada
pasien dengan hipersensitivitas terhadap tramadol, pasien yang menggunakan
inhibitor MAO dalam waktu 14 hari terakhir.
Selain obat analgesic, juga diberikan efedrin dikarenakan pada
saat operasi tekanan darah pasien menurun. Efedrin adalh stimulator
langsung alfa dan beta adrenergic dan membeskan katekolamin (adrenalin
dan noradrenalin) dari tempat reseptor. Obat ini menghambat penghancuran
adrenaline dan nor adrenalin sehingga memperthankan kadar katekolamin
dalam darah tetap tinggi. Oabat ini membeskan noradrenaline pada ujung
saraf dalam pembuluh darah yang berefek yaitu suatu rangsangan simpatis
yang kuat. Denyutan jantung menguat dan frekuensinya bertambah serta
tekanan darah naik. Relaksasi dari otot polos bronchus.merangsang cortex
dan medulla serebrum dengan perasaan subjektif takut pada suatu, geram dan
tidak nyaman. Dosis yang digunakan 5-20 mg iv dan 25-50 im.
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR (Recovery Room).
Pemulihan pasien pasca anestesi spinal ini dapat dinilai dengan penilaian
Bromage score, apabila skor mencapai > 2 point maka pasien diperbolehkan
kembali menuju ruangan perawatan.
PEMBERIAN CAIRAN
Kebutuhan Cairan Basal (M) : 4 x 10 kg = 40 cc
2 x 10 kg = 20 cc
1 x 50 kg = 50 cc
Total : 110 cc
Kebutuhan Cairan Operasi (O) : Operasi sedang x Berat badan
6 x 70 kg = 420 cc
Kebutuhan Cairan Puasa (P) : Lama jam puasa x Kebutuhan Cairan Basal
25
10 jam x 110 cc = 1.100 cc
Pemberian Cairan Jam Pertama: Kebutuhan Basal + Kebutuhan Operasi +
50% puasa
= 110 + 420 + 550 = 1.080 cc
Cairan yang masuk selama operasi = Asering 500 x 2 = 1000 ml
Jumlah darah keluar = darah di tabung suction(180ml) + (darah
di kassa sedang 30 buah x 20) = 780 ml
Allowed Blood Loss (ABL) = 20 % x Estimated Blood Volume (EBV)
= 20% x (70 x BB)
= 20 % x (70 x 50 kg)
= 20 % x 3500 = 700 cc
Blood loss (%) = (780ml:ml) x 100 = 7,8 %
Perdarahan yang terjadi <10% EBV maka tidak perlu dilakukan transfusi darah.
Hanya perlu diberi cairan kristaloid saja.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief S.A, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesologi. Edisi
kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI : 2007
2. Ryan. S, McNicholas M, Eustace S. 2004. Anatomy for diagnostic imaging. 2
Edition. Philadelphia: Saunders.
3. Muhiman. M, et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Teraoi Intensif
FKUI; Jakarta.2014
4. Bernards CM. Epidural and spinal anesthesia. Dalam: Barash PG, Cullen BF,
Stoelting RK, penyunting. Clinical anesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins Co; 2006. hlm. 691–717.
5. Hendarjana P, As’at HM, Dachlan MR. Perbandingan mula kerja, masa kerja
dan masa pulih antara ropivacaine plain 15 mg dan ropivacaine hiperbarik 15
mg pada analgesia spinal bedah sesar dengan posisi lateral dekubitus [tesis].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2004.
6. McLeod G.A. Density of spinal anaesthetic solutions of bupivacaine,
levobupivacaine, and ropivacaine with and without dextrose. Br J Anesth.
2004;92(4):547–51.
7. Mangku Gde, Tjjokarda Gde Agung. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks
Jakarta.2010
27
28