Anda di halaman 1dari 17

AKUNTANSI KEUANGAN

”PERSEDIAAN DAN MASALAH PENILAIAN TAMBAHAN ”

KELOMPOK 3

 I Ketut Suardana (11)


 Putu Krisna Dewi (17)
 Putu Shinta Widiasih (24)
 IB Dwi Mahardika (25)
 Rosty Lende (31)
 IA Sri Wulandari Putri (37)

Ekonomi Akuntansi
Universitas Mahasaraswati
2016/2017
11.1 Metoda Penilaian Persediaan
Harga barang-barang mengalami perubahan harga dari waktu ke waktu.
Kecenderungan umum adalah harga naik karena adanya inflasi. Tetapi pada beberapa
jenis barang seperti handphone dan laptop justru mengalami penurunan harga
dikarenakan perkembangan teknologi atau pun keluarnya model-model baru. Dari sudut
pandang akuntansi, perubahan harga ini akan berpengaruh terhadap nilai persediaan
barang dagang yang tercantum di Neraca dan harga pokok barang terjual (HPP) di
Laporan Laba Rugi.
Idealnya, nilai persediaan dan harga pokok barang terjual diidentifikasi satu-satu
sehingga diperoleh hasil yang akurat. Tetapi kelemahan dari cara perhitungan ideal ini
adalah perlunya waktu dan usaha yang banyak, apalagi bila item barangnya berjumlah
ribuan dan nilai per item barangnya kecil. Bisa-bisa yang terjadi adalah biaya pencatatan
lebih besar dari margin penjualan produknya (padahal seharusnya: benefit over cost!).
Sehingga disimpulkan metode identifikasi satu-satu cenderung tidak efisien untuk
dilakukan; kecuali didukung dengan sistem teknologi informasi yang mumpuni. Metode
identifikasi satu-satu hanya cocok untuk barang-barang yang nilainya besar dan
jumlahnya sedikit. Contohnya: rumah, mobil, pesawat.
Dalam prakteknya, metode penilaian yang umum digunakan ada 3, yaitu FIFO,
LIFO dan rata-rata. Perusahaan boleh memilih salah satunya, asal diterapkan secara
konsisten dari tahun ke tahun. Pada akhirnya ketika semua barang sudah habis terjual,
ketiga metode tersebut akan menghasilkan nilai biaya pokok penjualan (HPP) yang sama.
1. First In First Out (FIFO) / Masuk Pertama Keluar Pertama
Metode FIFO atau Masuk Pertama Keluar Pertama mendasarkan pada asumsi
bahwa barang yang terjual lebih dulu adalah barang yang dibeli lebih awal. Ketika
kecenderungan harga adalah naik seiring berjalannya waktu, maka metode FIFO
menghasilkan nilai persediaan yang lebih besar dan nilai HPP yang lebih kecil. Dan
sebaliknya.
2. Last In First Out (LIFO) / Masuk Terakhir Keluar Pertama
Metode LIFO atau Masuk Pertama Keluar Terakhir adalah kebalikan dari metode
FIFO; yaitu bahwa barang yang terjual lebih dulu adalah barang yang terakhir masuk
dalam persediaan barang dagang. Ketika kecenderungan harga adalah naik seiring
berjalannya waktu, maka metode LIFO menghasilkan nilai persediaan yang lebih kecil
dan nilai HPP yang lebih besar; dan sebaliknya. Dalam hal ini metode LIFO lebih
konservatif daripada FIFO.
3. Moving average / Rata-rata bergerak
Metode moving average atau rata-rata bergerak adalah metode tengah-tengah
antara FIFO dan LIFO. Harga pokok per unit barang dihitung dengan rumus: (nilai
persediaan awal + nilai pembelian) / (jumlah persediaan awal + jumlah pembelian).
Harga pokok per unit ini akan berubah setiap kali terjadi pembelian dengan harga yang
berbeda.
Nilai HPP dari barang yang terjual dihitung sebesar jumlah unit terjual dikalikan
harga pokok rata-rata pada saat terjadi penjualan. Nilai persediaan sebesar jumlah
persediaan akhir dikalikan harga pokok rata-rata yang terakhir.
Gambaran lebih jelasnya bisa dilihat dalam contoh dibawah ini:
1 Januari 2013 - Saldo awal persediaan 100 unit dengan harga Rp.50.000,- per unit.
3 Januari 2013 - Penjualan 75 unit.
5 Januari 2013 - Pembelian 50 unit, harga Rp.55.000,-
14 Januari 2013 - Penjualan 30 unit
21 Januari 2013 - Pembelian 75 unit, harga Rp.59.000,-
23 Januari 2013 - Pembelian 25 unit, harga Rp.63.000,-
25 Januari 2013 - Penjualan 50 unit
29 Januari 2013 - Penjualan 15 unit

Berdasarkan contoh transaksi selama bulan Januari 2013 tersebut, terlihat di bawah ini bahwa
metode penilaian persediaan yang berbeda akan menghasilkan nilai persediaan dan HPP yang
berbeda*.
11.2 LCM
Kenaikan harga pasar cenderung mengoffset penurunan harga pasar barang lain,
jika pendekatan kategori atau total persediaan yang utama digunakan dalam
pengaplikasian aturan LCM. Praktek yang paling umum adalah menilai persediaan atas
dasar barang per barang. Karena suatu hal, aturan perpajakan mewajibkan dasar
perbarang digunakan kecuali kalau tidak praktis. Selain itu, pendekatan per barang
digunakan penilaian yang paling konservatif bagi tujuan penyajian neraca. Persediaan
sering dinilai atas total persediaan jika hanya ada satu produk akhir (yang terbuat dari
bahan baku yang berbeda). Jika perusahaan membuat beberapa produk akhir, maka
pendekatan kategori bisa dipakai. Metode yang dipilh harus merupakan metode yang
paling jelas mencerminkan laba. Apapun metode yang dipilih, metode tersebut harus
diaplikasikan secara konsisten dari satu period eke periode lain.
 Pencatatan Harga Pasar dan Bukan Biaya
Untuk mencatat persediaan pada harga pasar digunakan dua metode: metode
langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung biaya diganti dengan harga pasar
ketika menilai persediaan, metode tidak langsung tidak mengubah angka biaya, tapi
membentuk kontrak aktiva yang terpisah dan akun kerugian untuk mencatat
penghapusan.
 Evaluasi atas Aturan LCM
Aturan LCM memiliki beberapa defisiensi atau kelemahan konseptual :
1 Penurunan nilai aktiva dan pencatatan sebagai beban diakui pada periode ketika kerugian
utilitas ini terjadi, bukan pada periode penjualan. Pada sisi lain, kenaikan nilai aktiva
hanya diakui pada saat penjualan terjadi. Perlakuan ini tidak konsisten dan dapat
menyebabkan data laba terdistorsi.
2 Aplikasi aturan LCM menghasilkan inkonsistensi karena persediaan perusahaan mungkin
dinilai menurut biaya dalam satu tahun dan pada harga pasar dalam tahun berikutnya.
3 LCM menilai persediaan dalam neraca secara konservatif, tetapi dampaknya terhadap
laporan laba rugi mungkin atau tidak mungkin bersifat konservatif. Laba bersih tahun
berjalan ketika kerugian diakui jelas lebih rendah, laba bersih untuk periode berikutnya
mungkin lebih tinggi dari normal jika penurunan yang diterapkan atas harga jual tidak
material.
4 Aplikasi aturan LCM menggunakan “laba normal” dalam menentukan nilai persediaan.
Karena laba normal merupakan angka estimasi yang didasarkan pada pengalaman masa
lalu (dan mungkin tidak berlaku lagi dimasa depan), maka laba normal bersifat tidak
objektif dan memberikan peluang untuk memanipulasi laba.

11.3 Net Realizable Value/ Nilai Realisasi Bersih


Net realizable value (nilai realisasi bersih) adalah estimasi harga jual dalam
keadaan bisnis normal dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya untuk
penjualan.
Contoh :

Nilai persediaan ‒ belum selesai $1,000


Kurang: Taksiran biaya penyeleseian $50
Perkiran biaya untuk menjual $200 $250

Net realizable value $750

Nilai Realisasi Bersih (NRV)


PT XYZ yang bergerak di bidang manufaktur memiliki persediaan yang belum selesai
(WIP) senilai $950 (cost) dan $1,000 (Sales), perkiraan biaya menyelesaikan WIP tersebut
adalah sebesar $50 dan estimasi biaya untuk menjual adalah sebesar $200.

Maka Nilai Realisasi bersih dapat dihitung dengan rumus :

Harga penjualan –perkiraan biaya untuk menyeleseikan – perkiraan biaya untuk menjual

= $1,000 – $50 – $200 = $750

Sehingga, dalam laporan keuangannya entitas melaporkan nilai persediaannya sebesar $750, dan
mengakui rugi penurunan nilai persediaan (loss on inventory writedown) sebesar $200.

11.4 Relative Sales Value/ Nilai Penjualan Relativ


Dasar pemikiran metode ini adalah bahwa
“harga jual suatu produk mencerminkan biaya produksinya”
Artinya
Bila suatu produk harga jualnya lebih tinggi dari produk yang lain maka produk tersebut
biaya produksinya juga akan lebih tinggi
Contoh
Persh 4 produk bersama : A, B, C.dan D, masing-masng, 15.000 kg, 20.00 kg, 25.000 kg
dan 10.000 kg. Biaya bersama untuk menghasilkan produk bersama tersebut Rp.
750.000,-. Harga jual A =Rp. 10/kg-; B =Rp 17.5/kg C Rp. 12/kg dan D Rp. 20/kg.
Alokasikan biaya bersama tsb ke produk- produk yg dihasilkan !!!
SOLUSI :

Harga Harga
Jml Total Nilai jual Alokasi Bi
Prod jual per Pokok
(kg) harga jual relatif Bers
kg per kg
(5) =
(6) = (7)= (6):
(1) (2) (3) (4)=(2) x(3) (4:4) x
(5)x750.000 (2)
100%
A 15.000 10 150.000 15% 112.500 7,50
B 20.000 17.5 350.000 35% 262.500 13.1
C 25.000 12 300.000 30% 225.000 9
D 10.000 20 200.000 20% 150.000 15

1.000.000 100% 750.000

Jadi,
Biaya bersama sebesar Rp. 750.000,- dialokasikan ke produk A sebesar Rp. 112.500,-; B Rp
262.500,; C Rp. 225.000,- dan D Rp 150.000,-

Penerapan metode nilai jual relatif, perlu dimodifikasi apabila diantara produk bersama
tersebut terdapat produk yang perlu diolah lebih lanjut. Untuk itu perlu dihitung (ditentukan)
nilai jual hipotetis relatif yaitu harga jual dikurangi dengan tambahan biaya pengolahan.
CONTOH :
Biaya bersama Rp. 3.000.000. Produk yg dihasilkan
A = 10.000 kg
B = 6.000 kg
Produk B memerlukan pengolahan lebih lanjut dg biaya Rp 100,- per kg.
Harga jual produk produk tsb ada
A = Rp. 400,-
B= Rp. 250,-
Tentukan alokasi biaya bersama ke produk A dan B, serta hitung biaya produksi per kg nya !
Tamb Harga Alokasi
Harga Total Harga
Jml Biaya jual Harga Bi Biaya
jual Harga Pokok
Prod prod olah hipotetis jual Bersama Bersama
per penj Per
(kg) per rel per relatif Rp. per unit
unit hipotetis unit
unit unit 3.000.000
A 10.000 400,- - 400,- 4.000.000 81,6% 2.448.000 244,8 244,8
B 6.000 250,- 100,- 150,- 900.000 18,4% 552.000 92 92 +
100
4.900.000 100% 3.000.000
11.5 Standard Cost
Standard Cost merupakan biaya yang ditetapkan lebih dahulu menurut norma-
norma efisiensi yang berlaku bagi suatu perusahaan tertentu yang diperlukan untuk
menghasilkan suatu produk/barang.
Standard Cost berbeda dengan actual cost/hostorical cost, penggunaan data biaya
historis (actual cost/historical cost) di dalam perhitungan harga pokok produksi tidak
dapat memberikan informasi mengenai efisien tidaknya pelaksanaan suatu proses
produksi, karena biaya historis menunjukkan biaya yang terjadi sebenarnya yang telah
dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk atau kegiatan tertentu pada suatu saat
tertentu, di mana biaya yang terjadi sebenarnya dapat mengandung suatu pemborosan.
Manajemen memerlukan suatu alat tolak ukur tentang besarnya biaya yang
ditetapkan dahulu sebelum produksi dimulai, dan tolak ukur ini hendaknya
mencerminkan informasi mengenai jumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk
menghasilkan suatu produk/kegiatan tertentu pada suatu waktu tertentu, dan tolak ukur
ini dikenal dengan istilah “Predetermined Cost”.
Penetapan “predetermined cost” dapat dilakukan melalui penelitian secara ilmiah
(eksprimen, time & motion study, tata letak peralatan produksi, dsb) terhadap
pelaksanaan masa lalu dengan turut mempertimbangkan kondisi-kondisi yang diharapkan
di masa yang akan datang, maka predetermined cost merupakan standard cost.
Standard cost termasuk predetermined cost, sedangkan predetermined cost belum
tentu merupakan standard cost.

Standard cost mempunyai 2 komponen yaitu :

a. Standard kuantitas (unit input/output)


b. Standard harga (biaya/tarif)
Standard costing dapat digunakan baik pada metode process costing maupun job
order costing, dan penetapan biaya standard paling tepat untuk diterapkan pada
lingkungan pabrik dimana teknologi produksi relatif stabil dan produk yang
dihasilkan bersifat homogen di dalam unit akumulasi biaya.
Perusahaan yang dapat menggunakan standard cost
 perusahaan pabrikasi (manufacturing)
 perusahaan jasa (service company), mis. Rumah sakit, bengkel, dsb
 food, misalkan fast food restaurant, dsb, dan perusahan lainnya.

Fungsi daripada standard costing :

 Menetapkan anggaran.
 Pengendalian biaya dan mengukur efisiensi kerja.
 Menyederhanakan prosedur penetapan biaya.
 Memberikan dasar penetapan tawaran kontrak dan harga jual.

Secara garis besar, standar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

1 Basic standard (classic standard), adalah tolak ukur yang digunakan sebagai
patokan pembanding untuk prestasi kerja yang diharapkan dan yang
sesungguhnya.
2 Current standard (standar yang berlaku), yang terbagi :
 Standard actual yang diharapkan, adalah standard yang ditetapkan untuk
suatu tingkat operasi dan efisiensi yang diharapkan akan terjadi. Standard
ini merupakan estimasi yang cukup wajar atas hasil actual.
 Standard normal, adalah standard ditetapkan untuk suatu tingkat operasi
dan efisiensi yang normal, yang dimaksudkan sebagai suatu tantangan
yang bisa dicapai.
 Standard teoritis, yaitu standar yang ditetapkan untuk suatu tingkat operasi
dan efisiensi yang ideal atau maksimum, standar ini lebih merupakan
sasaran dan bukan sebagai prestasi kerja yang harus dicapai pada saat ini.

Penggunaan standar dapat diaplikasikan sebagai berikut :

 Dalam tingkat harga


 Dalam efisiensi pelaksanaan
 Dalam tingkat kegiatan/volume produksi

Jenis-jenis standard untuk harga


 Normal ideal/Ideal Normal
 Normal standard/Standar Normal
 Current expected standard/Standar yang diharapkan saat ini
 Basic standard (fixed standard)/ Standar dasar

Jenis-jenis standar untuk efisiensi pelaksanaan :


- Teoritical performance/ Kinerja Teoritis
- Normal performance/ Kinerja Normal
- Attainable goods performance/ Kinerja Brang yang dapat dicapai
- Average past performance/Kinerja rata-rata yang lalu

Jenis-jenis standard untuk volume kegiatan

- Theoritical standard/ Standar Teoritis


- Normal standard/ Standar Normal
- Vertical standard/ Standar Vertikal
- Expected standard/ Standar yang diharapkan

Apakah standard cost sama dengan budget cost ?

Standard cost dan budget cost adalah sama (very similar), dimana pengertian ke-2 istilah ini
lebih menunjukkan bahwa standard cost adalah dalam satuan, sedangkan budget cost adalah
secara keseluruhan. Misalkan untuk memproduksi 1 unit barang X dibutuhkan bahan baku Rp.
10.000,-, apabila perusahaan menghendaki memproduksi 1.000 unit, maka dibutuhkan budget
cost untuk bahan sebesar Rp. 10.000.000 ( Rp. 10.000 X 1.000 unit)
Unsur harga pokok produksi terdiri dari :

 Raw Material/ Bahan Baku


 Direct Labor Cost/ Biaya Tenaga Kerja Langsung
 Manufacturing Overhead/ Biaya Overhead pabrik

11.6 Gross Profit method


Dalam metode ini konsep yang digunakan adalah konsep hubungan antara harga
pokok dan harga jual. Besarnya prosentase laba kotor umumnya didasarkan prosentase
laba-laba tahun lalu.

Metode laba kotor dapat bermanfaat dalam kondisi berikut ini :

a Perusahaan memerlukan laporan persediaan untuk keperluan intern bila


perusahaan menggunakan sistem periodik. Atau untuk melihat persedian
bulanan,sedang biaya stock opname sangat mahal.
b Persediaan rusak atau musnah akibat kebakaran, pencurian, bencana alam dll.
c Untuk menguji keabsahan angka persediaan yang dihitung dengan cara lain.

Dalam metode laba kotor besarnya prosentase laba kotor dapat dihitung dengan

 Prosentase laba kotor dari harga jual


Dalam metode ini harga jual adalah 100%, sedangkan Harga pokok barang
yang dijual adalah 100% dikurangi laba kotor, atau persen laba kurang dari
100. Cara menentukan nilai persediaan akhir adalah sebagai berikut :
a Dihitung lebih dahulu jumlah barang tersedia untuk dijual dengan
jalan menambahkan persediaan barang daganga awal tahun ditambah
pembelian bersih tahun berjalan.
b Dihitung harga pokok barang yang dijual dengan cara jumlah
penjualan dikurangi persentase dikali jumlah penjualan.
c Dihitung nilai persediaan akhir barang dagangan, yakni barang
tersedia untuk dijualdikurang harga pokok barang yang sudah dijual.
 Prosentase laba kotor dari harga pokok.
Bila persentase laba kotor ditentukan dari harga pokok , besarnya harga
jual adalah harga pokok ( 100% ) ditambah prosentase laba. Jadi harga jual
lebih dari seratus persen atau disebut persen laba diatas seratus.

PD.Muncul mempunyai catatan yang berhubung dengan persediaan barang dagang


sebagai berikut :
Tentukanlah persediaan pada tanggal 31 Desember 1995 jika laba bruto ditaksir sama dengan
tahun sebelumnya.
11.7 Retail Inventory Method

Metode ini banyak digunakan pada perusahaanperusahaan besar seperti toserba atau

swalayan yang memperdagangkan puluhan bahkan ratusan jenis barang. Dalam hal ini setiap
jenis barang yang ada dilekati label harga jual eceraannya sehingga pelayan toko lebih tahu harga
jual eceran dari pada harga pokoknya dan lebih mudah baginya membuat laporan atas barang
yang masih ada berdasarkan harga eceran tersebut .

Prosedur penilaian persediaan :

 Atas persediaan awal , selain diketahui harga pokoknya, juga diketahui harga jual
ecerannya
 Setiap terjadi transaksi pembelian harus diketahui jumlah harga jualnya
 Dihitung barang tersedia untuk dijual menurut harga beli dan menurut harga jual.
 Dihitung prosentase harga pokok terhadap harga jual dengan rumus :
Harga Pokok Persediaan Barang Tersedia dijual
X 100 % = ………%
Harga jual barang tersedia dijual

 Prosentase harga pokok dengan harga jual tersebut digunakan untuk menaksir harga
pokok persediaan yang ada pada kahir akhir suatu periode.

Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari contoh dibawah ini:

Ditanyakan :

Tentukanlah nilai persediaan n pada tanggal 31 Desember

Jawab :

Persediaan akhir menurut harga perolehan:

= 75% x Rp 16.000.000 = Rp 12.000.000

11.8 Penyajian Persediaan


Persediaan disajikan di neraca pada bagian aset lancar. Persediaan yang disajikan
adalah jumlah persediaan hasil opname fisik dikalikan dengan nilai per unit sesuai
dengan metode penilaian yang digunakan. Termasuk dalam persediaan tersebut adalah
barang yang dibeli dengan belanja hibah dan/atau belanja bantuan sosial yang belum
didistribusikan sampai dengan akhir periode pelaporan. Catatan atas Laporan Keuangan
(CaLK) untuk persediaan, mengungkapkan, antara lain kebijakan akuntansi yang
digunakan dalam pengukuran persediaan, penjelasan lebih lanjut atas persediaan, seperti
barang atau perlengkapan yang digunakan untuk pelayanan masyarakat, barang atau
perlengkapan yang digunakan dalam proses produksi, barang yang disimpan untuk dijual
atau diserahkan kepada masyarakat, dan barang yang masih dalam proses produksi yang
dimaksudkan untuk dijuak atau diserahkan kepada masyarakat. Penjelasan atas selisih
antara pencatatan dengan hasil inventarisasi fisik dan jenis, jumlah, dan nilai persediaan
dalam kondisi rusak dan usang juga dituangkan dalam CaLK.

Jurnal Transaksi Persediaan

a. Pada saat diterima persediaan dari penyedia barang dan jasa melalui bukti berupa
Berita Acara Serah Terima (BAST), dilakukan penjurnalan sebagai berikut:
Untuk Buku Besar Akrual
Persediaan yang Belum Diregister xxxx
Utang yang Belum Diterima Tagihannya xxxx
b. Pada saat persediaan diregister (diinput pada Aplikasi Persediaan), dilakukan
penjurnalan sebagai berikut:
Untuk Buku Besar Akrual
Persediaan xxxx
Persediaan yang Belum Diregister xxxx
c. Pada saat diajukan SPP/SPM Belanja Barang untuk perolehan persediaan,
dilakukan penjurnalan sebagai berikut:
Untuk Buku Besar Akrual
Utang yang Belum Diterima Tagihannya xxxx
Belanja Barang yang Masih Harus Dibayar xxxx
d. Pada saat terbit SP2D Belanja Barang untuk perolehan persediaan, dilakukan
penjurnalan sebagai berikut:
Untuk Buku Besar Akrual
Belanja Barang yang Masih Harus Dibayar xxxx
Ditagihkan ke Entitas lain xxxx
Untuk Buku Besar Kas
Belanja Barang xxxx
Ditagihkan ke Entitas lain xxxx
e. Pada saat pemakaian persediaan, dilakukan penjurnalan senagai berikut:
Untuk Buku Besar Akrual
Beban Persediaan xxxx
Persediaan xxxx
f. Pada saat akhir periode, setelah dilakukan opname fisik, apabila ada perbedaan
antara saldo menurut catatan dengan saldo menurut fisik, akan dibuat jurnal
penyesuaian sebagai berikut:
Untuk Buku Besar Akrual, di mana jumlah saldo fisik lebih besar
Persediaan xxxx
Beban Persediaan xxxx
Untuk Buku Besar Akrual, di mana jumlah saldo fisik lebih kecil
Beban Persediaan xxxx
Persediaan xxxx

Anda mungkin juga menyukai