Anda di halaman 1dari 15

FOTOMORFOGENESIS

I. Peran Cahaya dalam Pertumbuhan Tanaman


Cahaya adalah faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Alasan utamanya tentu saja karena
cahaya menyebabkan fotosintesis. Efek lain dari cahaya diluar fotosintetis adalah
mengendalikan wujud tanaman, yaitu perkembangan struktur atau
morfogenesisnya. Pengendalian morfogeneis oleh cahaya disebut
fotomorfogenesis.
Agar cahaya mampu mengendalikan perkembangan pertumbuhan maka
tumbuhan harus menyerap cahaya. Terdapat empat macam penerima cahaya
yang dikenal dalam mempengaruhi fotomorfogenesis pada tumbuhan.
Empat macam penerima cahaya dalam tumbuhan :
1. Fitokrom, paling kuat menyerap cahaya merah dan merah jauh. Ada juga
fitokrom penyerap cahaya biru.
2. Kriptokrom, sekelompok pigmen yang serupa mampu menyerap cahaya
biru dan panjang gelombang ultraviolet – gelombang panjang (daerah UV-A
320 -400 nm), dinamakan kiptokrom karena peran pentingnya pada
kriptogram (tumbuhan tak berbunga). ( Lihat gambar 1 ).
3. Penerima cahaya UV-B, senyawa tak dikenal/bukan pigmen yg menyerap
radiasi UV 280-320 nm
4. Protoklorofilida a, pigmen cahaya yang menyerap cahaya merah dan biru ,
bias tereduksi menjadi klorofil a.
Gambar 1. spektrum serapan cahaya
Fitokrom merupakan senyawa yang paling banyak dikenal dan tampaknya
merupakan penerima cahaya terpenting pada tumbuhan berpembuluh. Fitokrom
dan penerima cahaya lainnya mengatur berbagai proses morfogenik yang bermula
dari perkecambahan biji dan perkembangan kecambah, serta mencapai
puncaknya pada pembentukan bunga dan biji baru.
Pengaruh cahaya pada perkecambahan :
1. Produksi klorofil terpacu oleh cahaya
2. Pembukaan daun terpacu oleh cahaya
3. Pemanjangan batang terhambat oleh cahaya
4. Perkembangan akar terpacu oleh cahaya.

II. Penemuan Fitokrom


Penelitian rintisan terhadap pengaruh cahaya merah dan merah jauh
terhadap pertumbuhan tumbuhan antara 1940-1960 dilakukan oleh Sterling
Hendricks dan Harry Borthwick dari Pusat Penelitian Pertanian Beltsville di
Maryland, dengan menggunakan spektrograf dari bahan-bahan sisa Perang Dunia
Kedua. Dari hasilnya diketahui bahwa cahaya merah memacu perkecambahan
dan memicu tanggap untuk pembungaan. Lebih lanjut, cahaya merah jauh
berpengaruh sebaliknya terhadap pengaruh cahaya merah. Penelitian lanjutan
menunjukkan bahwa bagian yang peka terhadap rangsang cahaya ini berada di
daun.
Baru pada tahun 1959 Warren Butler, ahli biofisika, dan Harold Siegemman,
ahli biokimia, berhasil mengidentifikasi pigmen yang bertanggung jawab untuk
gejala ini menggunakan teknik spektrofotometri. Butler menamakan pigmen itu
sebagai fitokrom (secara harafiah berarti "zat warna tumbuhan").
Diperlukan waktu 23 tahun sebelum Peter Quail dan Clark Lagarias
melaporkan pemurnian kimiawi fitokrom dari tumbuhan (1983). Selanjutnya,
perhatian diarahkan pada struktur dan aspek genetika molekularnya. Sekuens gen
fitokrom pertama kali diumumkan pada tahun 1985 oleh Howard Hershey and
Peter Quail. Berturut-turut dilaporkan bahwa terdapat bermacam-macam tipe
fitokrom, yang dikendalikan oleh gen-gen yang berbeda. Kapri, misalnya, hingga
sekarang diketahui memiliki paling sedikit dua tipe, Arabidopsis thaliana memiliki
lima gen fitokrom, sementara padi hanya tiga. Jagung memiliki enam gen.
Perbedaan-perbedaan itu semua terletak pada bagian apoprotein, sementara
senyawa sensor cahayanya tetap sama: fitokromobilin.
Penemuan penting sitokrom diperoleh dari hasil pengamatan 1920 oleh WW
Garner dan HA Allard yang menyatakan bahwa perbandingan lamanya masa
penyinaran dan masa gelap mengendalikan pembungaan pada tumbuhan
tertentu. Contoh untuk tumbuhan hari pendek (membutuhkan waktu malam yang
lebih panjang untuk berbunga), akan terhambat bila dalam waktu malammnya
diseling ada cahaya dalam waktu singkat. (lihat gambar 2 ).

Gambar 2. Pengaruh panjang hari terhadap tanaman hari pendek.

Yang paling efektif adalah cahaya merah jauh yang menghambat


pembungaan tumbuhan hari pendek. Cahaya merah memacu perkecambahan biji-
bijian, tetapi cahaya merah jauh dan biru menghambat. Cahaya merah jauh
panjang gelombangnya lebih panjang dari cahaya merah 700-800nm (diatas 760
tdk terlihat oleh mataatau infra merah dekat). Pigmen cahaya merah disebut Pr
(666nm) , pigmen cahaya biru dapat diubah oleh cahaya merah menjadi Pfr (730
nm)yang dapat menyerap cahaya merah jauh (warna hijau zaitun). Dan pigmen
biru bias dihasilkan oleh Pfr.

III. Sifat Fisika dan Kimia Fitokrom


Spektrum serapan molekul fitokrom yang dimurnikan dari angiospermae
teretiolasi mencapai maksimum pada panjang gelombang merah, yakni pada
sekitar 666 nm untuk bentuk biru terang-penyerap merah (Pr), dan sekitar 730 nm
untuk bentuk hijau zaitun-penyerap merah jauh.
Fitokrom merupakan homodimer dari dua polipeptida identik, dengan Bm 120
kDa. Polipeptida tadi masing-masing mempunyai gugus prostetik disebut kromofor
yang menempel pada atom belerang pada residu sisteinnya. Kromofor adalah
tetrapirol rantai terbuka, serupa dengan pigmen pikobulin untuk fotosintesis
ganggang merah dan sianobakteri. Kromofor itulah, bukan proteinnya, yang
menyerap cahaya yang kemudian menimbulkan respon fitokrom. Bila Pr diubah
menjadi Pfr oleh cahaya merah, maka terjadi isomerasasi cis-trans pada kromofor
tersebut.
Ada dua tipe utama fitokrom:
1. Tipe 1 terdapat pada kecambah teretiolasi
2. Tipe 2 banyak ditemui pada tumbuhan hijau dan biji ( setidaknya biji oat ).
Tipe 2 pada kecambah oat hijau agak lebih kecil (118 kDa) dibanding
dengan tipe 2 pada oat teretiolasi (124 kDa), tetapi juga berbentuk dimer in
vivo dan memiliki sifat spektrum serupa, meskipun tak sama, dengan tipe 1
tumbuhan teretiolasi. Salah satu perbedaan penting dari spektrum tipe 1
dan tipe 2 pada oat adalah bahwa bentuk Pr tipe 2 memiliki maksimum
serapan mendekati 654 nm, berbeda dengan puncak Pr tipe 1 yang 666
nm.

IV. Sebaran Fitokrom di antara Spesies, Jaringan, dan Sel


Fitokrom ditemukan pada angiospermae, gimnospermae, lumut hati, lumut,
paku-pakuan dan beberapa ganggang hijau dan baru-baru ini dilaporkan terdapat
pada ganggang merah dan ganggang coklat tertentu (Lopez-Figueroa dkk, 1989).
Namun mungkin tak didapati pada bakteri dan cendawan. Fitokrom ditemui pada
sebagian besar organ semua jenis tumbuhan yang diteliti termasuk pada akar.
Pada semua tumbuhan, fitokrom terdapat dan disintesis seluruhnya dalam bentuk
Pr, tampaknya, Pfr tak dapat disintesis dalam keadaan gelap. Sebaran fitokrom
pada tajuk rumputan cukup beragam, namun pada kecambah oat, beras belanda,
padi, dan jelai konsentrasinya tinggi di daerah pucuk koleoptil, di dekat apeks
tajuk, dan (kecuali untuk oat) di pangkal daun yang sedang tumbuh. Didalam sel
fitokrom terdapt di nukleus dan diseluruh sitosol, tapi tampaknya tidak di semua
organel atau membran atau vakuola (Warmbrodt dkk, 1989). Namu, pengetahuan
tentang lokasi fitikrom di dalam sel sama sekali tidak mengungkapkan caranya
bekerja.
Pada kecambah yang lebih besar, yang tumbuh ditempat terang, bisa
dikatakan mengandung separuh fitokrom tipe 1 dan separuhnya lagi tipe 2.
Namun bila biji berkecambah dan kecambah tumbuh di tempat gelap, jumlah
fitokrom tipe 1 meningkat kira-kira seratus kali. Jadi Kecambah yang tumbuh
dalam gelap mengandung total fitikrom lebih banyak daripada kecambah yang
tumbuh di tempat terang. Bila kecambah menerima cahaya, salah satu responnya
adalah hilangnya sebagian besar fitokrom tipe 1. Hal ini terjadi karena 3 sebab
utama:
1. Tumbuhan berhenti membuat mRNA yang dibutuhkan untuk mensintesis
fitokrom tersebut
2. mRNA fitokrom tipe 1 tampaknya merupakan mRNA yang tak mantap
(cepat terhidrolisis)
3. Sebagian besar protein fitokrom tipe 1 cepat rusak

Jadi, Dalam keadaan gelap, gen yang menyandikan fitokrom tipe 1 menjadi
sangat aktif, namun dalam terang menjadi tidak aktif.

V. Kriptokrom, Penerima Cahaya Biru/UV-A


UV-A panjang gelombang antara 320-400 nm. Kriptokrom antara 320-500
nm, diduga berupa flavoprotein (melekat antara protein dan riboflavin), diduga
bersatu dengan protein sitokrom pada membram plasma. Puncak kerjanya di
daerah biru-ungu 450 nm. Beberapa efek cahaya yang diserap oleh kriptokrom
antara lain yaitu adanya pigmen yang diaktifkan bekerja secara bebas, yang
terkadang memperkuat efek Pfr atau efek penerima UV-B. Perlu diinget bahwa
walaupun kriptokrom menyerap radiasi UV-A, puncak terbesar dalam spektrum
kerja biasanya terjadi di daerah biru – ungu didekat 450 nm. Juga, karena foton
biru dan cahaya ungu biasanya jauh lebih banyak mengenai tumbuhan
dibandingkan foton UV, maka respon akibat cahaya yang disebabkan oleh
kriptokrom barangkali merupakan hasil penyerapan panjang gelombang biru dan
ungu yang biasanya disebut biru saja.

VI. Hubungan Dosis-Respon dalam Fotomorfogenesis


Spektrum kerja untuk proses tertentu pada kecambah yang tumbuh dalam
gelap sangat berbeda-beda, bergantung pada pendek (Biasanya kurang 5 menit)
panjangnya (biasanya beberapa jam) waktu pemberian cahaya. Misalnya,
penyinaran singkat, pembentukan pigmen lembayung antosianin yang terpacu
cahaya, pada kecambah mustard putih (Sinapsis alba), menunjukan puncaknya
660 nm; saat ini Pr menyerap paling baik. Namun , bila diberi penyinaran selama
beberapa jam, terjadi puncak yang tinggi didekat 725 nm didaerah biru. Respon
tumbuhan yang membutuhkan tingkat iridiansi yang cukup tinggi dan yang
memiliki spektrum kerja yang khas untuk respon fitokrom yang lazim teramati
dikenal reaksi iridiansi tinggi (HIR).
Menurut Manchinelli (1980) menyimpulkan bahwa, bergantung pada spesies
dan respon yang diteliti, biasanya HIR memiliki tiga jenis umum spektrum kerja.
Salah satunya mempunyai puncak di satu daerah spektrum (biasanya biru/ UV-A).
Beberapa contohnya meliputi terpacunya sintesis anntosianin pada kecambah
sorgum yang tumbuh di tempat gelap, terbukanya gulungan saun kecambah padi,
tergulungnya kecambah kapri, dan fototropisme. Pada spektrum kerja
kedua,terdapat puncak di kedua daerah spektrum (biasanya biru/ UV-A dan
merah). Jenis respon ini terlihat pada kecambah, baik yang ditumbuhkan terus-
menerus dalam terang maupun yang ditempatkan lebih dahulu di tempat gelap,
yang kemudian diikuti dengan tindakan penghijauan serta deetiolasi dalam
keadaan terang.Pada jenis spektrum kerja umum yang ketiga terdapat tiga daerah
spektrum yang memperlihatkan aktivitasnya (biru /UV-A, merah, dan merah-jauh),
respon ini khas pada kecambah teretiolasi
Cahaya merah-jauh lebih lazim bekerja pada kecambah yang tumbuh
ditempat gelap daripada cahaya merah. Ketika cahaya terpajan cahaya dan
menjadi hijau (dan saat itu mengandung jauh lebih sedikit fitikrom tipe 1 yang tak
mantap). Mereka kehilangan kepekaannya terhadap cahaya merah-jauh untuk
menimbulkan HIR. Disamping mempunyai tingkat iridiansi yang tinggi , HIR
dicirikan pula tidak terjadinya pembalikan merah/ merah-jauh dan tak dapat
dipertukarkannya pengaruh waktu serta tingkat iridiansinya.
Hans Mohr (1986) menyimpulkan bahwa untuk beberapa respon pada
kecambah angiospermae yang teretiolasi, diperlukan pengaktifan kriptokrom (yang
biasanya menimbulkan HIR), jika kecambah itu diharapkan mampu memberikan
respon terhadap cahaya merah yang bekerja pada fitokrom. Artinya fitokrom
memungkinkan Pfr terekspresikan secara penuh.
Tampaknya,maknanya bagi tumbuhan di alam adalah bahwa kriptokrom dan
fitokrom sering bekerjasama dalam menghasilkan fotomorfogenesis. Pada
kecambah yang tumbuh ditempat terang, cahaya merah lebih efektif dibandingkan
cahaya merah-jauh untuk HIR, barangkali karena Pfr tipe 2 lebih mantap dan
karena cahaya merah membentuknya lebih banyak daripada cahaya merah-jauh
(kronberg dan Kendrik,1986; Smith dan Whitelam,1990).
Tumbuhan yang tumbuh di tempat gelap memberikan respon bukan hanya
laju fluensi yang rendah dan tinggi, tapi juga apa yang dikenal sebagai respon
fluensi yang sangat rendah (VLFR). Didapatkan respon fitokrom menggunakan
lampu-aman hijau. Untuk banyak macam respon, hal ini tidak menimbulkan
masalah, tapi mesokotil dan koleoptil oat sangat peka, sekalipun terhadap lampu-
aman hijau. VLFR tidak dapat dihapus oleh cahaya merah-jauh, sebab cahaya
merah-jauh tidak menimbulkan efek pada fluensi yang sangat rendah, namun
pada fluensi yang jauh lebih tinggi cahaya tersebut dapat menghasilkan respon
yang sama. Kemiripan respon ini barangkali terjadi karena cahaya merah-jauh
membentuk sebagian Pfr. Fase kedua respon dari setiap organ membutuhkan
fluensi yang besarnya sekitar 10.000 kali lebih tinggi. Respon fluensi rendah (LFR)
ini menunjukan adanyarespon fitokrom yang agak khas dalam hal kebutuhan akan
foton, yang terhapuskan oleh cahaya merah-jauh,
Ketika Mandoli dan Briggs (1981) menaikkan fluensi lebih tinggi daripada
yang dibutuhkan untuk menjenuhkan LFR, terjadi cekungan lain tanpa ada
penghambatan lagi, artinya HIR tak tampak. Akan tetapi, HIR sempat teramti oleh
Schafer dkk (1982) dalam percobaan dengan memberikan cahaya merah atau
merah-jauh terus-menerus selama 24 jam, walaupun total fluensinya tidak
melebihi fluensi di daerah cekungan terakhir .
VII. Peranan Cahaya pada Perkecambahan Biji
7.1 Perkecambahan yang ditentukan oleh cahaya
Penelitian lengkap mengenai perlunya cahaya untuk perkecambahan biji
tertentu dilaporkan pertama kali oleh Kinzel pada tahun 1907. Kinzel melaporkan
bahwa dari 964 spesies, 672 spesies terpacu perkecambahannya oleh keadaan
terang. Sedangkan Baskin dan Baskin (1988) mengamati bahwa dari 142 spesies,
yang perkecambahannya dipengaruhi oleh cahaya ada 107 spesies, 32 spesies
tidak menunjukkan respon, dan hanya 3 spesies terhambat oleh cahaya. Biji
sebagian besar spesies yang memberikan respon terhadap cahaya adalah
spesies liar.dan kaya akan lemak. Sebagian besar tanaman budidaya tidak
memerlukan cahaya, yang dapat dipastikan karena tindakan seleksi oleh manusia
terhadap kebutuhan akan cahayanya.
Biji spesies liar ada pula yang terhambat perkecambahannya dalam keadaan
terang, seperti yang diamati oleh Kinzel dan pasangan Baskin,kadang oleh
cahaya biru, namun terutama karena cahaya merah-jauh. Panjang gelombang
merah-jauh dari sinar matahari hampir selalu merupakan panjang gelombang
yang paling menghambat, yang disuga karena cahaya tersebut menurunkan
jumlah Pfr da;am biji sampai ke taraf yang lebih rendah dari yang ada sebelumnya,
yang dibutuhkan untuk perkecambahan.
Biji yang membutuhkan cahaya untuk berkecambah disebut fotodorman.
Sedangkan istilah dormansi itu sendiri diartikan sebagai jenis biji atau kuncup
yang gagal tumbuh walaupun berada dalam kondisi kelembapan dan udara yang
memadai serta pada suhu pertumbuhan yang cocok.
7.2 Interaksi Cahaya dan Suhu dalam Biji Fotodorman
Suhu hampir tak berpengaruh pada interkonversi fotokimia antara P r dan Pfr,
tapi beberapa reaksi kimia yang dikendalikan oleh P fr dan yang mempengaruhi
perusakan Pfr sangat peka terhadap suhu. Contohnya antara lain :
- Biasanya cahaya memicu perkecambahan biji pada spesies selada Grand
Rapids (Lactuca sativa) dan Lipidum virginianum, tetapi pengkondisian biji pada
suhu 35o C setelah mendapat satu kali perlakuan cahaya atau pemaparan pada
suhu tersebut dalam kondisi teranng secara terus-menerus akan menyebabkan
biji itu tetap dorman.
- Biji selada kulitivar Great Lakes biasanya tidak membutuhkan cahaya untuk
berkecambah, tapi bila dikenai suhu 35 oC akan menjadi fotodorman dan
kemudian berkecambah hanya dalam keadaan terang pada suhu tersebut atau
pada suhu lebih rendah.
- Pada rumput-biru Kentucky (Poa pratensis) suhu yang berselang-seling antara
15o dan 25o C bias menggantikan cahaya untuk mendorong
perkecambahannya.
Berbagai bukti menunjukkan bahwa respon terhadap suhu seperti contoh di
atas disebabkan oleh pengaruh suhu pada jumlah P fr dalam biji. Suhu tinggi
menurunkan tingkat Pfr dalam beberapa spesies dengan cara meningkatkan laju-
balik penjadi Pr. Selain itu, terdapat dua kemungkinan lain :
1. Suhu tertentu meningkatkan kepekaan dan memungkinkan P fr bekerja,
sekalipun dalam jumlah kecil (Pfr terbentuk dan terperangkap selama proses
pengeringan selama masa pematangan biji).
2. Suhu tertentu menyebabkan reaksi biokimia yang sama dengan reaksi yang
disebabkan oleh Pfr.
Dormansi biji fotodorman berakhir oleh cahaya hanya jika biji terimbibisi
sebagian atau sepenuhnya, baru setelah itulah P r cukup terhidrasi dan dapat
berubah menjadi Pfr.
Dibutuhkan atau tidaknya cahaya oleh biji untuk berkecambah bergantung pada :
1. Jumlah/kadar Pfr yang dihasilkan selama masa pemasakan pada tumbuhan
induknya. Pfr cukup mantap dalam biji kering untuk waktu yang lama.
Apabila cagangan Pfr cukup banyak pada biji, maka tanaman tersebut
kemungkinan besar tidak akan membutuhkan cahaya untuk pertumbuhan
kecambahnya.
2. Jumlah klorofil yang terkandung pada embrio saat biji masak. Embrio yang
pada masa pemasakan tertutup oleh jaringan induk yang mengandung
sejumlah besar klorofil, maka akan membutuhkan sejumlah cahaya untuk
berkecambah, sedangkan embrio yang tertutup jaringan induk yang sedikit
berklorofil tidak membutuhkan cahaya.
3. Perbandingan panjang malam dan siang selama masa pemasakan biji. Hari
panjang biasanya menyebabkan fotodormansi, sedangkan hari pendek
menghasilkan biji tak-dorman. Contohnya pada spesies Chenopodium
album.
7.3 Aspek Ekologis Fotodormansi Biji
Contoh keuntungan ekologis yang sifat peka cahaya terhadap biji yaitu pada
biji yang fotodorman biasanya sebagian besar biji terkubur dalam tanah dan hanya
biji yang dekat permukaan tanah dan terpapar cahaya yang dapat berkecambah,
mampu berfotosintesis, tumbuh, dan melangsungkan hidupnya. Hal sebaliknya
terjadi pada tanaman yang perkecambahannya terhambat oleh cahaya.
Perkecambahan tanaman tersebut tidak akan terjadi sampai keseluruhan bijinya
tertutup oleh tanah, dan selanjutnya mungkin mereka akan mendapatkan air yang
cukup untuk tumbuh.Pendapat lain menyatakan bahwa fitokrom memberikan biji
suatu kunci untuk merasakan apakan dirinya ternaungi oeh kanopi atau tidak.
Pemikiran itu muncul dari dua peristiwa :
1.Cahaya merah-jauh biasanya menghambat perkecambahan biji yang
membutuhkan cahaya
2.Dedaunan yang terlindung kanopi menyebarkan jauh lebih banyak cahaya
merah-jauh daripada cahaya merah. Sebagian besar panjang gelombang
biru, merah, dan hijau digunakan untuk fotosintesis atau dipantulkan, namun
sebagian besar cahaya merah-jauh menerobos sampai ke biji yang terletak
di bawahnya dan mengubah Pfr yang aktif menjadi Pr.
Dilihat dari segi ekologis, kepekaan terhadap cahaya pada biji spesies yang
hidup ternaungi berbeda dari spesies pelopor di daerah yang lebih terbuka,
karena spesies yang hidup ternaungi akan kurang terhambat oleh cahaya
merah-juh yang disebarkan kanopi tumbuhan daripada biji spesies yang
hidup di daerah yang lebih terbuka.
7.4 Sifat Fotodormansi
Alasan mengapa Pfr sangat dibutuhjan untuk perkecambahan :
1. Cahaya merah dan merah-jauh lebih efektif bila diserap oleh daerah
radikula-hipokotil dibandingkan kotiledon. Hal itu menandakan bahwa
pembentukan Pfr diperlukan oleh sel yang sedang tumbuh dan
menyebabkan perkecambahan.
2. Pfr tidak dapat berpindah dari sel ke sel juga tidak menyebabkan perindahan
zat pemacu perkecambahan dari kotiledon ke radikula.
3. Pfr meningkatkan potensial pertumbuhan sel radikula di daerah
pemanjangan dengan cara menurunkan potensial airnya, sehingga mereka
lebih mudah menyerap air dari tanah, lalu berkecambah.
4. Pada beberapa jenis biji, endosperma yang keras juga menjadi
penghalang, sehingga penguatan peningkatan kekuatan radikula dan
pelunakan lapisan endosperma di dekat ujung radikula sangatlah penting.
Pada jenis biji tersebut (misalnya selada dan Datura ferox) Pfr diduga dapat
menguatkan dorongan radikula atau dengan melunakkan bahan
penghambat di sekitarnya, atau keduanya.
5. Pfr dapat mengakhiri fotodormansi dengan cara mendorong sintesis
giberelin atau sitokinin, atau dengan merusak zat penghambat seperti ABA.

7.5 Efek Zat Pengatur Tumbuh terhadap Fotodormansi


Beberapa peranan zat pengatur tumbuh bagi fotodormansi antara lain :
1. Giberelin. Pemberian giberelin dapat menggantikan cahaya atau factor
lingkungan lain. Pemberian giberelin mampu mengatasi hambatan genetik
dan kebutuhan akan cahaya, karena fungsi cahaya pada tanaman itu
sendiri salah satunya adalah mendorong pembentukan salah satu atau
beberapa jenis giberelin. Pada spesies tomat, giberelin dapat mendorong
pelunakan endosperma yang keras karena mengandung galaktomanan
(merupakan polisakarida dinding sel) di dekat ujung radikula dengan cara
mendorong peningkatan aktivitas enzim yang menghidrolisis galaktomanan
tersebut.
2. Sitokinin. Pada beberapa spesies seperti selada, sitokinin juga
menggantikan cahaya sepenuhnya atau sebagian saja.
3. Auksin. Biasanya auksin tidak memicu perkecambahan biji fotodorman
maupun tak dorman, serta tidak merugikan dalam konsentrasi rendah
namun merugikan dalam konsentrasi tinggi.
4. Asam absisat. Pemberian asam absisat hampir selalu memperlambat
perkecambahan, kecuali bila lapisan pembungkus(testa) menghalangi
embrio untuk menyerap ABA.

VIII. Perkembangan kecambah Poaceae (rumput-rumputan)


Pemanjangan mesokotil merupakan proses yang sangat peka akan cahaya.
Keluarnya daun terjadi karena cahaya memecu pemanjangan daun dan
menurunkan kemampuan memanjang koleoptil (walaupun cahaya mempercepat
pemanjangan koleoptil ketika berumur beberapa hari lebih muda). Pertumbuhan
daun yang terpacu cahaya, pemanjangan koleoptil yang cepat, dan terhambatnya
panjang akhir koleoptil merupakan respon fitokrom terhadap sinar matahari.
Pembukaan daun rumputan selanjutnya dikendalikan oleh respon fitokrom
khusus, diman fluensi-rendah cahaya merah bersifat memacu, dan cahaya merah-
jauh yang kemudian diberikan akan meghapus efek cahaya merah itu. Fluensi
rendah-cahaya merah-jauh tak menimbulkan efek, sedangkan fluensi rendah-
cahaya biru hanya sedikit memacu, kecuali pada padi. Pembukaan daun
disebabkan oleh pertumbuhan sel yang lebih cepat (mungkin akibat
perenggangan dinding) pada sisi cekung (nantiya akan menjadi sisi atas), lawan
dari sisi cembung.
Pfr memacu produksi dan pelepasan giberelindari plastid muda daun gandum
dan jelai yang masih tergulung,sebelum daunnya membuka. Cahaya mugkin
mendorong pembukaan daun dengan cara mendorong produksi giberelin dalam
sel cekung. Sel cekung mungkin menjadi lebih peka terhadap tingkat hormon yang
dikandungnya, saat terpajang pada cahaya. Bengkokan ini terbentuk akibat
pertumbuhan tak imbang di kedua sisi hipokotil dan epikotil, responsnya terhadap
etilen segera setelah berkecambah. Bengkokan muncul dari tanah, cahaya merah
memacu meluruskan bengkokan. Melurusnya bengkokan diakibatkan oleh
terhambatnya sintesis etilen oleh cahaya dia dalam bengkokan tersebut.
Perbedaan pertumbuhan disebabkan pemanjangan sel lebih cepat di sisi bawah
dibandingkan sisi atas, menyebabkan bengkokan menjadi lurus.
Cahaya biru menyebabkan pemelaran sel dengancara mengasamkan
dinding sel epidermis, jadi merenggangkan sel-sel tersebut sehingga seluruh daun
melar lebih cepat meskipun dengan tekanan turgor yang mendorong produksi
asam deltaaminolevunilat (ALA) dari asam glutamat. ALA merupakan prazat
metabolik, yang masing-masing diubah menjadi keempat anggota cincin pirol
pada klorofil. ALA tak akan berubah seluruhnya menjadi klorofil, bila tidak ada
cahaya merah atau cahaya biru yang lebih banyak. Cahaya merah, biru dan
merah jauh, semuanya berperan dalam fenomena ini, dan ada pula peranan
Kriptokrom dan fitokrom disitu.
Terdapat perbadaan respon yang menarik terhadap cahaya merah dan biru
diamati pula. Pertama penghambatan oleh cahaya merah terjadi karena
terbentuknya Pfr di kotiledon, bukan di hipokotil, sedangkan cahaya biru bekerja
langsung pada hipokotil. Kedua, pemanjangan melambat 30 detik setelah
terpajang cahaya biru, sedangkan efek cahaya merah membutuhkan waktu
setidaknya 15 menit. Ketiga, hipokotil tumbuhan yang terpajang pada cahaya biru
mulai memanjang lagi dalam gelap, jauh lebih cepat daripada yang terpajang
cahaya merah.

Efek fotomorfogenetik pada tumbuhan vegetatif


Pada banyak tumbuhan yang tumbuh dengan baik, terjadi berbagai proses
fotomorfogenetik. Jika tumbuhan dikotil hijau yang mampu berfotosintesis dikenai
cahaya merah (yang bekerja melalui kriptokrom), pemanjangan batang akan
terhambat. Jika tumbuhan hidup dibawah kanopi daun, sehingga cahaya merah-
jauh, Pfr akan hilang dari daun, dan batangnya menjadi sangat panjang. Dapat
disimpulkan fungsi penting fitokrom pada tumbuhan yang hidup di tempat terang
adalah sebagai mekanisme untuk menghindari naungan.
DAFTAR PUSTAKA

Ersam, T. 2001. Phenolic Compounds ITS Surabaya. Telah diakses pada tanggal
10 Mei 2010 dari www.its.ac.id/chem/htm pukul 22:37 WIB

Franklin, K.A., et al. 2009. Photomorphogenesis in Natural Light Environments.


Telah diakses pada tanggal 10 Mei 2010 dari www.leicester.ac.uk pukul 17:
56 WIB.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. ITB Press,
Bandung.

Shinkle, J. 2008. Basic Photomorphogenesis. Telah diakses pada tanggal 10 Mei


2010 dari www.trinity.edu pukul 17: 23 WIB.
TUGAS FISIOLOGI TUMBUHAN
FOTOMORFOGENESIS

KELOMPOK 7
Andika Mardiansyah (3415066799)
Tri Wahyuni (3415070180)
Tanjak Agung Fitriani (3415070185)
Eva Novika Sari (3415072022)
R.A. Nuhikmah Anisa (3415085053)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSIAS NEGERI JAKARTA
2010

Anda mungkin juga menyukai