Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bani Umayyah atau kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama
setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661-750 M di jazirah Arab
yang berpusat di Damaskus, Syiria, serta dari 756-1031 di Cordoba-Andalusia,
Spanyol. Masa kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai
pada masa kekuasaan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dimana pemerintahan yang bersifat
Islamiyyah berubah menjadi kerajaan turun-temurun. Yaitu setelah Al-Hasan bin ‘Ali
bin Abu Thalib menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Mu’awiyah dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah akibat
terbunuhnya Utsman bin Affan yakni pada peristiwa Perang Jamal dan penghianatan
dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah.
Nama Dinasti Umayyah diambil dari nama nenek moyang mereka yaitu
Umayah bin Abdu Syams bin Abdul Manaf. Ia adalah salah seorang terkemuka dalam
persukuan pada zaman Jahiliyah, bersama dengan pamannya Hasyim bin Abdul
Manaf. Umayah dan Hasyim berebut pengaruh politik dalam proses sosial-politik pada
zaman Jahiliyah, namun Umayah lebih dominan. Hal itu disebabkan karena ia
merupakan pengusaha yang kaya, dan memiliki harta yang melimpah. Harta dan
kekayaan menjadi faktor dominan untuk merebut hati di kalangan Quraisy, sehingga
Hasyim tidak dapat mengimbangi keponaknnya tersebut.
Dari dinasti Umayyah ini terdapat 14 Khalifah yang bergantian memimpin
dalam masa pemerintahan, dimulai dari Muawwiyah (661) sampai dengan Marwan II
(750).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana awal mula berdirinya daulah umayyah?
2. Bagaimana sistem pemerintahan daulah umayyah?
3. Apa kebijakan politik dan ekonomi daulah umayyah?
4. Bagaimana struktur masyarakat pada daulah umayyah?
5. Apa bentuk kemajuan peradaban pada daulah umayyah dalam bidang agama,
social ekonomi, bangunan fisik, sastra, dan ilmu pengetahuan?
6. Apa penyebab runtuhnya daulah umayyah?
2

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui sejarah berdirinya daulah umayyah.
2. Memahami sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa daulah umayyah.
3. Mengetahui kebijakan politik dan ekonomi pada daulah umayyah.
4. Memahami struktur masyarakat pada daulah umayyah.
5. Mengetahui bentuk kemajuan peradaban pada daulah umayyah dalam bidang
agama, social ekonomi, bangunan fisik, sastra, dan ilmu pengetahuan.
6. Mengetahui penyebab runtuhnya daulah umayyah.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH BERDIRINYA DAULAH UMAYAH


Bani Umayyah atau kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama
setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661-750 M di jazirah Arab
yang berpusat di Damaskus, Syiria. Nama Dinasti Umayyah diambil dari nama nenek
moyang mereka yaitu Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf. Ia adalah salah
seorang terkemuka dalam dalam persukuan pada zaman Jahiliyah1.
Masa kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada
masa kekuasaan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dimana pemerintahan yang bersifat
Islamiyyah berubah menjadi kerajaan turun-temurun. Yaitu setelah Al-Hasan bin ‘Ali
bin Abu Thalib menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawwiyah dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah akibat
terbunuhnya Utsman bin Affan yakni pada peristiwa perang Jamal dan penghianatan
dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah2.
Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Mu’awiyah bin
Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid bin Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mencontoh sistem dinasti di Persia dan
Bizantium.
Dari dinasti Umayyah ini terdapat 14 Khalifah yang bergantian memimpin
dalam masa pemerintahan, dimulai dari Muawwiyah (661 M) sampai dengan Marwan
II (750 M), dengan rincian sebagai berikut:
1. Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-61 H/ 661-680 M)
2. Yazid I bin Mu’awiyah (61-64 H/ 680-683 M)
3. Mu’awiyah II bin Yazid (64 H/ 683 M)
4. Marwan I bin Hakam (65-66 H/ 684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/ 685-705 M)
6. Al-Walid I bin Abdul Malik (86-97 H/ 705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (97-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/ 717-720 M)
9. Yazid II bin Abdul Malik (102-106 H/ 720-724 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (106-126 H/ 724-743 H)

1
Zarkasy, Imam, Tarikh Islam Untuk Kelas I KMI, 2013, Ponorogo: Darussalam Press, Hal
2
Ibid,
4

11. Al-Walid II bin Yazid bin Abdul Malik (126-127 H/ 743-744 M)


12. Yazid III bin Al-Walid bin Abdul Malik (127 H/ 744M)
13. Ibrahim bin Al-Walid bin Abdul Malik (127 H/ 744 M)
14. Marwan II bin Mohammad bin Marwan (127-133 H/744-750 M)3

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAULAH UMAYYAH


Pada awalnya pemerintahan Dinasti Umayyah bersifat demokrasi lalu berubah
menjadi feodal dan kerajaan. Pusat pemerintahannya bertempat di kota Damaskus, hal
itu dimaksudkan agar lebih mudah memerintah karena Mu’awiyah sudah begitu lama
memegang kekuasaan di wilayah tersebut serta ekspansi territorial sudah begitu luas.4
Yang dimaksud dengan pemerintahan feodal dan kerajaan/ monarkhi adalah
suatu Negara yang dipimpin oleh raja secara turun-temurun dan menjabat untuk
seumur hidup.

C. KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI PADA DAULAH UMAYYAH


1. Muawiyyah bin Abu Sufyan
Muawiyyah menerapkan beberapa prinsip, antara lain:
a. Memperlakukan dengan sebaik-baiknya semua tokoh sahabat senior
beserta putra-putrinya, terutama Bani Hasyim.5 Muawiyyah sukses besar
dalam kebijakan politiknya dan berhasil membuat lawan-lawannya
berbalik menjadi teman dan pendukung setianya.6
b. Memperkokoh keamanan di seantero dunia islam. Untuk itu, ia menugasi
banyak orang yang paling cerdas, kompeten, cakap, disiplin, dan
berpengalaman dalam mengurus masyarakat di masanya, guna
membantunya mengelola negara dan memperkuat stabilitasnya. Tokoh-
tokoh tersebut bisa jadi berasal dari anggota keluarga besarnya sendiri atau
bisa jadi orang-orang yang paling tulus kepadanya dan paling setia
menjalankan kebijakan politiknya.7

3
Jabir, Muhammad, Dinasti Bani Umayyah, Vol. 4, No. 3, 2007, Hal. 3
4
Masrul Anwar, Ahmad, Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Bani Ummayah, Vol. 1
No. 1, UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2005, Hal. 8
5
Abdussyafi M. Abdullathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014), hlm. 147
6
Ibid, hlm.148
7
Ibid, hlm. 150
5

c. Mengawasi langsung segala urusan negaranya dan mengetahui semua


persoalan,baik yang besar maupun yang kecil.8
2. Yazid I bin Muawiyyah
Pengangkatan Yazid sebagai khalifah diikuti oleh penolakan dari kaum Syiah
yang telah membaiat Husain bin Ali di Kufah sebagai khalifah sepeninggal
Muawiyah. Penolakan tersebut, mengakibatkan peperangan di Karbala yang
menyebabkan terbunuhnya Husain bin Ali. Pada masa ini pemerintahan Islam
tidak banyak berkembang diakibatkan pemerintah disibukkan dengan
pemberontakan dari beberapa pihak.9
3. Muawiyyah II bin Yazid
Ia mengalami tekanan jiwa yang berat karena tidak sanggup memikul tanggung
jawab kekhalifahan, selain itu ia harus mengatasi masa kritis dengan banyaknya
perselisihan antar suku. Dengan wafatnya Muawiyah bin Yazid maka habislah
keturunan Muawiyah.10
4. Marwan I bin Al-Hakam
Berhasil mendirikan kembali Negara Bani Umayyah dalam waktu kurang dari
satu tahun, dan berhasil merebut kembali negeri Syam dan Mesir. Ia juga
mewariskan bagi Abdul Malik, putranya tugas menyatukan kembali Negara
Islam.11
5. Abdul Malik bin Marwan
Umat Islam terbagi menjadi beberapa kubu:
a. Kubu Abdul Malik bin Marwan yang kekuasaan utamanya membentang
dari negeri Syam hingga Mesir.
b. Kubu Abdullah bin Az-Zubair yang kekuasaannya membentang dari
negeri Hijaz hingga Irak, dan berpusat di Makkah.
c. Kubu Khawarij Al-Azariqah (pimpinan Nafi’ bin Al-Azraq) yang
mendirikan sebuah negara di Al-Ahwaz.
d. Kubu Khawarij An-Najadat (pimpinan Nadjah bin Amir Al-Hanafi), yang
mendirikan sebuah negara di Al-Yamamah, yang wilayahnya membentang
sampai ke negeri Yaman, termasuk Hadharamaut, dan hegemoninya
mencapai Thaif

8
Ibid, hlm. 151
9
Taufik Rachman, Bani Umayyah Dilihat dari tiga fase (Terbentuk, Kejayaan, Kemunduran, Vol. 2, No. 1,
2018, hlm. 90
10
Ibid.
11
Abdussyafi M. Abdullathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014), hlm. 185
6

e. Kelompok Syiah yang hampir mendirikan sebuah negara di Irak, yang


dipimpin Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Ats-Tsaqafi.
Abdul Malik bin Marwan sanagt mahir dalam berinteraksi dengan kubu-kubu
tersebut dan akhirnya mampu menumpas mereka semua. Strateginya membiarkan
mereka berperang satu sama lain, sehingga yang terkuat di antara mereka akhirnya
melemah dan mudah ia tumpas. Strategi ini sengaja diterapkan karena ia
menyadari bahwa kubu-kubu tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu memusuhi
dirinya dan pemerintahannya, tetapi di antara mereka sendiri ada perselisihan
gagasan, pemikiran, prinsip, dan tujuan.12
Sistem tata negara dan politik luar negeri yang diberlakukan oleh Abdul Malik
bin Marwan sama dengan Muawiyyah. Kebijakannya:
a. Menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam administrasi di
seluruh wilayah bani Umayyah. Arabisasi yang dilakukannya meliputi
Arabisasi kantor perpajakan dan kantor keuangan.
b. Mencetak mata uang secara teratur.
c. Pengangkatan gubernur dari kalangan Bani Umayyah saja yakni kawan-
kawan, kerabat-kerabat dan keturunannya. Bagi para gubernur tersebut tidak
diberikan kekuasaan secara mutlak.
d. Guna memperlancar pemerintahannya ia mendirikan kantor-kantor pos dan
membuka jalan-jalan guna kelancaran dalam pengiriman surat.13
6. Al-Walid I bin Abdul Malik
Kebijakan politik luar negerinya menampilkan aneka operasi penaklukan
terbesar di Negar Bani Umayyah, bahkan dalam sejarah islam secara keseluruhan
setelah penaklukan-penaklukan di era khulafaur rasyidin.14 Kekuasaan Islam
melangkah ke Spanyol dibawah kepemimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika
Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nusair. Karena kekayaan
melimpah ruah maka ia menyempurnakan pembangunan-pembangunan gedung-
gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan dengan sumur. Ia membangun masjid al-
Amawi yang terkenal hingga sekarang di Damaskus, membangun masjid al-Aqsha
di Yerussalem, serta memperluas masjid Nabawi di Madinah. Ia juga melakukan

12
Ibid, hlm. 188-189
13
Taufik Rachman, Bani Umayyah Dilihat dari tiga fase (Terbentuk, Kejayaan, Kemunduran, Vol. 2, No. 1,
2018, hlm. 91
14
Abdussyafi M. Abdullathif, Op.Cit, hlm. 202
7

penyantunan kepada para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat. Ia
membangun rumah sakit bagi penderita kusta di Damaskus.15
7. Sulaiman bin Abdul Malik
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya dalam memimpin,
ia sangat mencintai kehidupan dunia dan kegemarannya bersenang-senang,
tabiatnya tersebut membuat ia dibenci oleh rakyatnya. Hal ini mengakibatkan para
pejabatnya terpecah belah, begitu pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa
pada masa pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan
Muhammad bin Qasim.16
8. Umar bin Abdul Aziz
Umar bin AbdulAziz menerapkan sebuah metode yaitu:
a. penjagaan harta umat islam
b. efisiensi waktu dan tenaga
c. kecepatan penanganan urusan
d. penyederhanaan birokrasi
e. penyeleksian hakim, kepala daerah, dan pejabat
f. pengapusan semua aktivitas yang tidaksejalan dengan semangat Islam
g. perwujudan keseimbangan di tengah masyarakat
h. dialog persuasif dengan pemberontak secara baik-baik agar mereka
kembali ke naungan jamaah.17

Berikut ini kebijakan yang terkenal selama masa kepemimpinannya:

a. Secara resmi ia memerintahkan mengumpulkan hadits;


b. Mengadakan perdamaian antara Amamiyah, Syi’ah dan Khawarij;
c. Menaikkan gaji para gubernurnya;
d. Memeratakan kemakmuran dengan memberikan santunan kepada fakir
miskin;
e. Memperbarui dinas pos;
f. Menyamakan kedudukan orang non Arab yang dinomorduakan dengan
orang-orang Arab, sehingga mengembalikannya kepada kesatuan muslim

15
Taufik Rachman, Op.Cit, hlm. 91
16
Ibid, hlm. 91-92
17
Abdussyafi M. Abdullathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014), hlm. 219
8

yang universal. Ia mengurangi pajak dan menghentikan pemaeyaran jizyah


bagi orang Islam yang baru.18
9. Yazid II bin Abdul Malik
Pada masa kekuasaannya bangkit kembali konflik antara Mudhariyah dengan
Yamaniyah. Kaum Khawarij kembali menentang pemerintahan karena mereka
menggap Yazid kurang adil dalam memimpin. Sikap kepemimpinannya sangat
bertolak dengan pola kepemimpinan Umar bin Adul Aziz, ia lebih menyukai
berfoya-foya sehingga ia dianggap tidak serius dalam kepemimpinannya.19
10. Hisyam bin Abdul Malik
Pada masa kepemimpinannya terjadi perselisihan antara bani Umayyah dengan
bani Hasyim. Pemerintahannya yang lunak dan jujur, banyak jasanya dalam
pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebijakannya tidak dapat
membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya. Inilah yang semakin
memperlicin kemerosotan dinasti Umayyah. Hisyam adalah seorang penyokong
kesenian dan sastra yang tekun. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat
ia meletakkan perhatian besar kepada pengembangan ilmu pengetahuan.20
Pengelolaan dan pengamanan keuangan disepakati para sejarawan sebagai
salah satu keahliannya. Ia selalu menjaga pengumpulan keuangan dari sumber-
sumber yang legal, kemudian mendistribusikannya ke proyek-proyek penting
tanpa pemborosan ataupun penghematan yang berlebihan.21
11. Al-Walid II bin Yazid bin Abdul Malik
Al-Walid II mengawali pemerintahannya dengan menambah gaji angkatan
bersenjata. Ia juga memerintahkan pemberian fasilitas kepada orang-orang yang
menderita penyakit kronis, cacat, dan buta. Ia juga mengeluarkan dana dari Baitul
Mal untuk aktivitas sosial dan umat islam yang membutuhkan.ia menambah gaji
warganya terutama penduduk Syam dan para pendatang.22 Namun semua itu
digugurkan dengan sifatnya yang pendendam, serta jahat kepada sanak
saudaranya. Sikapnya ini semakin mempertajam kemerosotan bani Umayah.23
12. Yazid III bin Al-Walid bin Abdul Malik

18
Taufik Rachman, Bani Umayyah Dilihat dari tiga fase (Terbentuk, Kejayaan, Kemunduran, Vol. 2, No. 1,
2018, hlm. 92
19
Ibid.
20
Ibid, hlm 93
21
Abdussyafi M. Abdullathif, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014), hlm. 237
22
Ibid, hlm. 244
23
Taufik Rachman, Op.Cit, hlm. 93
9

Yazid III berpura-pura saleh dan takwa, serta seolah-olah meniru gaya
kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.24 Ia menjerumuskan Negara Bani Umayyah
ke dalam beberapa tragedi pemberontakan.
13. Ibrahim bin Al-Walid bin Abdul Malik
Sekelompok rakyat mengakuinya sebagai khalifah, sekelompok rakyat lainnya
hanya mengakuinya sebagai amir, namun sekelompok rakyat lainnya tidak
mengakuinya sebagai amir maupun khalifah.25 Pada eranya banyak terjadi konflik
antar saudara.
14. Marwan II bin Muhammadbin Marwan
Marwan berusaha menenangkan masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan
mereka. Marwan menawarkan agar mereka memilih para kepala daerah yang
mereka kehendaki di negeri Syam.26 Terjadi pemberontakan pada masanya yaitu
pemberontakan warga Homs, warga Al-Ghauthah, dan warga Palestina.

D. STRUKTUR MASYARAKAT PADA MASA DAULAH UMAYYAH


1. Kebijakan Dan Orientasi Politik
Semenjak berkuasa, Muawiyah (661-680) memulai langkah-langkah untuk
merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan paham
golongan bersama dengan elite pemerintah. Muawiyah mulai mengubah koalisi
kesukuan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis. Ia memperkuat barisan
militer dan memperluas kekuasaan administratif negara dan merancang alasan-
alasan moral dan politik yang baru demi kesetiaan terhadap khalifah. Pertama, ia
berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan panglima-
panglima Arab yang mengepalai pasukan kesukuan Arab. Selanjutnya ia berusaha
memantapkan pendapatan Negara dari penghasilan pribadi dan lahan pertanian
yang diambil alih dari Bizantium dan Sasania dan dari investasi pembukaan tanah
baru dan irigasi. Muawiyah juga menerapkan aspek-aspek patriakal khilafah.
Kebijakan politik dan kekuatan financial yang ditempuhnya berasal dari nilai-nilai
tradisi Arab: Konsiliasi, konsultasi, kedermawanan, dan kehormatan terhadap
bentuk-bentuk tradisi kesukuan.

24
Abdussyafi M. Abdullathif, Op.Cit, hlm. 254
25
Ibid, hlm. 258
26
Ibid, hlm. 262
10

2. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik Dan Ekonomi)


Di kalangan bangsa arab, pertempuran sengit antara kelompok terus berlanjut.
Setelah perang sipil kedua, kelompok kesukuan berkembang semakin jelas dengan
orientasi politik dan ekonomi. Kalangan yaman mewakili demi literasi Arab yang
berasimilasi dengan mata pencaharian sipil dan yang menjadi penghuni perkotaan
dengan kesibukan perdagangan atau menjadi tuan tanah atau sebagai petani di
wilayah perkampungan. Orang-orang Arab ini menerima asimilasi antara Arab dan
Non Arab dalam kemiliteran dan memberikan akomodasi terhadap kepentingan
Islam yang baru. Antagonisme antara Arab dan Non Arab harus dihapuskan
menjadi sebuah kesatuan muslim yang universal. Dalam pandangan umar II,
problem ini bukanlah semata-mata untuk kepentingan muslim sambil
mempertahankan supremasi kelompok Arab, tapi sebaliknya imperium ini tidak
akan bertahan bila merupakan imperium bagi seluruh warga muslim.
3. Sistem Sosial (Arab dan Mawali)
Beberapa kebijakannya yang akurat, Umar II memperlihatkan sebuah
pendekatan pragmatis yang disinari oleh prinsip tertentu. Tujuan yang hendak
dicapai tidak sekedar untuk memenuhi klaim penduduk Islam baru (Mawali)
melainkan juga untuk mendamaikan tuntutan mereka dalam kepentingan Negara.
Umar II bermaksud memenuhi gugatan kelompok mawali yang turut berperang
bersama bersama dengan kelompok arab dengan menerima sepenuhnya tuntutan
mereka bahwa seluruh pasukan muslim yang aktif, baik Arab maupun Mawali,
berhak terlibat peran dalam diwan-diwan.
Sementara itu mengenai tuntutan muslim non Arab (Mawali) terhadap
pembebasan pajak jiwa dan pajak tanah sebagai bentuk persamaan dengan
kelompok Arab, khalifah Umar II menetapkan bahwa pajak bukan sebuah fungsi
dari status individual. Kelompok Mawali diharapkan membayar pajak tanah dan
demikian pula tuan-tuan tanah Arab harus membayarnya secara penuh. Jadi, beban
pungutan pajak dipersamakan, bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi yakni
pada sebuah biaya yang dikeluarkan oleh tuan-tuan tanah Arab.
Mengenai pajak jiwa, Umar II menetapkan sebuah prinsip, yang seringkali
tidak diperhatikan bahwasanya pajak tersebut hanya dipungut pada Mawali saja.
Penghuni tetap dari kalanganArab dan Mawali dibebaskan dari pungutan pajak ini,
namun pada saat yang bersamaan mereka semua dianjurkan mengeluarkan sedekah
atau apa yang dikenal sebagai zakat (pajak muslim), yang merupakan bagian dari
konvensasi terhadap berkurangnya pendapatan negara dari sektor pajak jiwa.
11

Orang-orang Arab berusaha menyerap kalangan pendatang baru ke dalam struktur


klan lama sebagai klien. Konsep klien ini merupakan warisan Arabia pra Islam,
dimana seorang klien merupakan sekutu inferior dari sebuah klan Arab; keturunan
mereka juga berstatus sebagai klien. Mawali menerima sokongan dan
perlindungan dan harus dibantu dalam perkawinan.
Perlindungan pihak Arab yang berkuasa mesti ditukar dengan loyalitas Mawali
yang berstatus lebih rendah. Sekalipun demikian, lantaran mereka menampung
kelompok Mawali. Klan-klan Arab semakin melemah unit kekerabatannya dan
semakin banyak terbentuk kelompok politik dan ekonomi yang dibangun mengitari
sebuah kerabat inti. Gap antara kalangan aristokratik dan klan-klan kampung
semakin meluas. Sebagai contoh, di dalam suku Tamin, klan bangsawan menerima
orang-orang yang semula sebagai kesatria Persia sebagai klien mereka, sedang
suku lainnya menerima pekerja budak dan tukang tenun sebagai
klienmereka.Perwalian ini juga menimbulkan konflik kelas antaraMawali dan
tuan-tuan mereka. Bahkan Mawali yang menjalankan tugas secara profesional di
medan perang, dibidang administrasi, perdagangan, obat-obatan dan di bidang
kehidupan keagamaan berkedudukan sebagai kelas sosial yang inferior. Mereka
dikerahkan secara ekonomis dan tidak dapat menikah dengan warga Arab,
demikian pula keturunan mereka.
Tentara-tentara Mawali yang sangat gigih menentang pengucilan dari urusan
keuangan militer (diwan), sebab peran menanganan urusan keuangan bukan saja
sangat menguntungkan secara finansial, tetapi tugas ini merupakan sebuah simbol
privilise sosial kelompok. Mawali menghendaki terlibat penuh sebagai kalangan
elite, tetapi bagi kalangan Arab keinginan seperti ini sungguh-sungguh tidak dapat
dipertimbangkan. Mereka bersikeras terhadap status dan privilise mereka dan
menenteng peran penting klien dalam Masa Umayyah Timur bidang militer dan
administrasi, ketekunan mereka beragamadan kemahiran dalam berdagang dan
berpegang teguh terhadap bayangan keunggulan bangsa Arab.
Di dalam pusat-pusat perkampungan militer sebuah elite baru keagamaan
melepaskan diri dari otonomi yang dijalankan khilafah. Berbagai perkampungan
tersebut meleburkan warga Arab dan non Arab menjadi komunitas baru yang
terdiri dari klas menengah, dari kalangan pedagang, seniman, guru dan sarjana
yang mengabdikan dirikepada sebuah identitas Islam yang khas. Sebagian dari
warga tersebut adalah keturunan Badui Arab, tetapi setelah satu abad dari proses
pengapungan ini mereka sepenuhnya telah menjadi masyarakat perkotaan.
12

Sebagian lainnya adalahwarga non Arab, pemeluk Islam baru dan klien bangsa
Arab,yang berbahasa Arab dan mengasimilasikan diri mereka kedalam kesukuan,
tradisi, keagamaan dan kesukuan elite penakluk.
4. Sistem Fiskal
Abdul Malik dan al-Walid menyusun peralihan pejabat-pejabat pajak dari
orang-orang yang berbahasa Yunani dan Syria kepada orang-orang yang berbahasa
Arab. penyalinan dan laporan sekarang muncul dalam bahasa Arab. Perubahan-
perubahan ini berlangsung di Iraq di Syria dan Mesir pada, setelah beberapa tahun
berlangsung di Khurasan, Selanjutnya khalifah mengadakan pengorganisasi
keuangan di berbagai daerah.
Pada masa khalifah Umar II (717-720), khalifah mengusulkan sebuah revisi
yang penting mengenai aturan dan beberapa prinsip perpajakan untuk
menghilangkan ketidak seragaman yang lebih besar dan demi persamaan. Khalifah
Hisyam (724 - 743) berusaha menerapkan kebijakan Umar II di wilayah Khurasan,
Mesir, Mesopotamia. Administrasi Umayyah juga mulai mengembangkan sebuah
identitas organisasional.
Pada dekade pertama imperium Arab, hal-hal yang berkenaan dengan
administrasi diselenggarakan oleh orang-orang yang berbahasa Yunani dan Persia,
merupakan warisan dari imperium sebelumnya. Sekalipun demikian pada sekitar
tahun 700, sebuah generasibaru dari klien-klien Arab yang mencapai kekuasaan
berpengaruh, sekalipun mereka telah dididik menjadi pegawai dan agar setia
kepada khilafah. Khalifah juga menunjuk seorang wazir yang bertugas untuk
menyita kekayaan pejabat. Sejumlah harta kekayaan itu harus dikembalikan ke
negara.
Dewan khusus yang menangani penyitaan harta kekayaaan, yaitu Diwan al-
Mushadarat untuk menangani penyitaan tanah dan Diwanal-Marafiq untuk
menangani harta kekayaan hasil suap. Untuk mengatasi hasil korupsi, pemerintah
pusat dipaksa menyediakan sarana administratif yang baru, untuk memulihkan
kerugian politik dan finansial yang disebabkan oleh sistem birokrasi yang korup.
Sebuah metode yang diterapkan adalah dengan mendistribusikan iqtha’
kepada tentara, pegawai-pegawai istana dan para pejabat yang terlibat dalam
pengumpulan pajak dari hasil pertanian. Pelelangan hak iqtha’ merupakan dari
awal kepemilikan tanah yang luas yang dapat menyerap sejumlah pemilik tanah
kecil dan kelompok petani bebas. Kaum petani di bawah tekanan biro perpajakan
berharap dapat berlindung kepada pemegang hak iqtha’ yang berpengaruh dan
13

melepaskan tanah-tanah mereka. Praktek semacam ini disebut Talija (harapan)


ataubimaya (proteksi). Selain petani kecil yang dikenai pajak, relatif semakin
sedikit, pada sisi lain pemerintah berhadapan dengan bangsawan pemilik tanah
lokal yang mereduksi kewajiban administrasi kepada kewajiban mengumpulkan
pajak, berdasarkan pembayaran atas kesepakatan bersama.
5. Sistem Peradilan
Sistem peradilan diurus oleh para ahli hukum Islam yang disebut al-Fuqaha
sebagian besar mereka tinggal dikota-kota besar. Oleh karena itu, mereka biasa
disebut fuqahaul- Amshar.
Dengan terjalinnya kesatuan wilayah yang luas dari timur sampai ke barat,
maka lalu lintas dagang antar Tiongkok dan dunia belahan barat, pegunungan
Thianshan melalui jalan sutra makin bertambah lancar. Dengan dikuasainya pesisir
lautan Hindia sampai ke lembah Shind pada masa Daulat Umayyah, maka pelaut-
pelaut Arab dari abad ke empat masehi, telah memulai kegiatan perjalanannya.
Oleh sebab itu dalam persoalan perdagangan memerlukan kepastian hukum atau
undang-undang.
Bak mengenai hal-hal yang menyangkut perdagangan harus diselesaikan
secara pasti melalui hukum, begitu pula Masa Umayyah Timur persoalan yang
menyangkut masalah perdata dan pidana serta persoalan-persoalan lain seperti
budak berlian, makanan atau minuman, fiskal, peperangan, tawanan, dan
kewarganegaraan diperlukan pengaturan oleh badan peradilan.
Perumusan metodik dan sistematik tentang ilmu hukum, mulai disusun pada
masa Khulafaur Rasyidin dan Daulat Umayyah. Himpunan-himpunan keputusan
yang diambil dalam penyelesaian setiap sengketa dan pendapat-pendapatnya
disebut al-Fatawa. Persamaan keputusan maupun persamaan pendapat diantara
ahli hukum pada suatu kota dengan kota-kota yang lain mengenai obyek hukum
disebut al-Ijma’, selain itu kitab-kitab fiqih, dijadikan sumber dalam setiap
penyelesaian kasus dalam lembaga peradilan.
6. Sistem Pergantian Kepala Negara
Sistem Monarkhi adalah sistem pergantian kepala negara berdasarkan
pewarisan. Bila seorang raja meninggal maka ia digantikan oleh anaknya, tanpa
memerlukan baiat dari rakyat.
Raja bersikap otoriter tanpa berdasarkan undang-undang dan tidak
bertanggungjawab pada siapapun. Rakyat tidak diberi hak kemerdekaan dalam
mengeluarkan pendapat.
14

Khalifah Muawiyah I dipandang sebagai khalifah yang pertama kali dalam


sejarah Arab Islam yang menjadikan jabatan khilafah sebagai suatu warisan. Dia
langsung menunjuk puteranya Yazid menjadi khalifah. Dalam pemerintahan Bani
Umayyah, Muawiyah menjadi khalifah dengan mempergunakan kekuatan, bukan
ditunjuk oleh Khulafaur-Rasyidin sebelumnya. Yazid menerima jabatannya
sebagai khalifah adalah warisan dari Ayahnya Muawiyah bukan berdasarkan
lembaga Ahlul Halliwa aqdhi’. Muawiyah ibn Yazid pada tahun 64 H/684 M
dalam usia 23 tahun naik menjabat khalifah menggantikan ayahnya Khalid Yazid
bin Muawiyah (60-64 H/681¬684 M). Ia merupakan khalifah yang ke-3 dalam
Daulah Bani Umayyah. Demikian selanjutnya sistem pergantian kepala Negara
dilakukan berdasarkan keturunan.

E. KEMAJUAN PERADABAN DAULAH UMAYYAH


1. Ilmu Pengetahuan
Perkembangan Keilmuan pada masa pemerintahan dinasti umayyah, kota
Makkah dan Madinah menjadi tempat berkembangnya musik, lagu, dan puisi.
Sementara di Irak (Bashrah dan Kufah) berkembang menjadi pusat aktivitas
intelektual di dunia Islam. Sedangkan di Marbad, kota satelit di Damaskus,
berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, dan cendikiawan lainnya.29 Beberapa
ilmu yang berkembang pesat seperti : 27
a. Pengembangan Bahasa Arab. Pada Dinasti Umayyah, Bahasa arab dijadikan
Bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan sehingga pembukuan
dan surat-menyurat menggunakan Bahasa arab.28
b. Ilmu Qiraat. Ilmu seni membaca al-Quran yang merupakan syariat tertua yang
mulai dikembangkan pada masa khulafaur Rasyidin. Pada dinasti ini lahir para
ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair.29
c. Ilmu Tafsir. Salah satu bukti perkembangan ilmu tafsir masa itu adalah
dibukukannya ilmu tafsir oleh mujahid. 30
d. Ilmu Hadits. Pada masa ini, hadits-hadits nabi berupaka untuk dikumpulkan,
kemudian di teliti asal-usul nya, hingga akhirnya menjadi satu ilmu yang
berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadits. Di antara ahli hadits yang terkenal

27
Taufik Rachman,, Bani Umayyah Dilihat dari Tiga Fase, Jurnal Sejarah Perabadan Islam, Vol. 2, No. 1, hlm.
94-95
28
Ibid, hlm. 94
29
Ibid, hlm. 94
30
Ibid, hlm. 95
15

pada masa ini adalah Al-Auzi Abdurrahman bin Amru, Hasan Basri, Ibnu Abu
Malikah, Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil.31
e. Ilmu Fikih. Pada awal mulanya perkembangan ilmu fiqh didasari pada
dibutuhkannya adanya peraturan-peraturan sebagi pedoman dalam
menyelesaikan berbagai masalah. Al-Quran dan hasits dijadikan sebagai dasar
fiqh Islam. diantara ahli fiqh yang terkenah adalah Sa’ud bin Musib, Abu
Bakar bin Abdurahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.32
f. Ilmu Nahwu. Dengan meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya
upaya Arabisasi maka ilmu tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga
dibukukanlah ilmu nahwu dan menjadi salah satu ilmu yang penting untuk
dipelajari. Salah satu tokoh yang legendaris adalah Abu al- Aswad al-Du’ali
yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al- Du’ail adalah menyusun
gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang
semula tidak ada.33
g. Ilmu Geografi dan Tarikh. Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi
cabang ilmu tersendiri. Dalam melalui ilmu tarih mereka mengumpulkan kisah
tentang Nabi dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi
penulisan buku-buku tentang penaklukan (maghazi) dan biograf (sirah).
Munculnya ilmu geografi dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke
daerah-daerah baru yang luas dan jauh.34
h. Usaha Penterjemahan. Pada masa ini dimulau usaha penterjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Ini
merupakan rintisan pertama dalam penerjemahan buku yang kemudian
dilanjutkan dan berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Buku-buku
yang diterjemahkan pada masa ini meliputi buku-buku tentang ilmu kimia,
ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, ilmu kedokteran, dan lain-lain.35
2. Agama
Tokoh-tokoh populer di kalangan umat Islam seperti Hasan al-Basri (110 H),
Ibnu Katsir (120 H), Ibnu Juraij (150 H), Abu Hanifah (50 H), al-Thabari (310 H),
al-Ghazali (510 H), adalah beberapa diantaranya yang dalam sejarah masing-

31
Ibid, hlm. 95
32
Ibid, hlm. 95
33
Ibid, hlm. 95
34
Ibid, hlm. 95
35
Ibid, hlm. 95
16

masing tercatat sebagai ahli tafsir, teologi, hukum, tasawuf, pada periode
Umayyah yang berasal dari kalangan Mawali bangsa Persia.36
3. Bangunan Fisik
Telah dibangunnya Kubah al Sakhrah di Baitul Maqdis yang dibangun oleh
khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Seni ukir dan pahat yang sangat berkembang
pada masa itu dan kaligerafi sebagai motifnya.
Di antara bangunan kota yang memperbaharui bangunan kota yang lama ada
pula yang membangun kota yang baru. Pada masa bani Umayah ini berkembang
seni Arsitektur terutama setelah ditaklukkananya spanyol oleh Thariq bin Ziyat.
Ekspresi seni ini diwujudkan pada bangunan-bangunan masjid yang didirikan
mada masa ini. Arsitektur bangunannya memadukan antara budaya Islam dengan
budaya sekitar, sebagai berikut.37
a. Kota Cordova dijadikan al-Dakhil sebagai ibukota Negara. Dia membangun
kembali kota ini dan memperindahnya serta membangun benteng di sekitarnya
dan istananya. Supaya kota ini mendapatkan air bersih digalinya danau dari
pegunungan. Air danau itu dialirkan selain melalui pipa-pipa ke istananya dan
rumah-rumah penduduk, juga melalui parit-parit dialirkan ke kolam-kolam dan
lahan-lahan pertanian.38
b. Peninggalan al-Dakhil yang masih ada sampai sekarang adalah masjid Jami’
Cordova yang didirikan pada tahun 786 M. dengan dana 80.000 dinar.211
Hisyam I pada tahun 793 M. menyelesaikan bagian utama masjid ini dan
menambah menaranya. Demikian juga Abdurahman al-Autsah, Abdurrahman
al-Nashir, dan al-Manshur memperluas dan memperindahnya sehingga
menjadi masjid paling besar dan paling indah pada masanya. Jelasnya panjang
masjid itu dari utara ke selatan adalah 175 meter, sedangkan lebarnya dari
barat ke timur adalah 134 meter, tinggi menaranya 20 meter yang didukung
oleh 300 buah pilar yang terbuat dari marmer. Di tengah maajid terdapat tiang
agung yang menyangga 1000 buah lentera.213 Ketika Cordova jatuh ke tangan
Fernando III pada tahun 1236 M., masjid ini dijadikan gereja dengan nama

36
Muh. Ikhsan, Jejak Gemilang Intelektual Islam dalam Pentas Sejarah Dunia, Jurnal At- Ta’dib, Vol. 8, No. 1,
hlm.149
37
Dr. H. Syamruddin Nasution, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hlm.
168-170
38
Ibid, hlm. 168
17

yang lebih terkenal di kalangan masyarakat Spanyol, yaitu La Mezquita,214


berasal dari kata Arab al-masjid.39
c. Pada tahun 936 M. al-Nashir membangun kota satelit dengan nama al-Zahra di
sebuah bukit di pegunungan sierra Morena, sekitar tiga mil di sebelah utara
Cordova. Bagian atas kota terdiri dari istana-istana dan gedunggedung Negara
lainnya, bagian tengah adalah tamantaman dan tempat rekreasi, sedangkan
bagian bawah terdapat rumah-rumah dan toko-toko, masjid-masjid dan
bangunan-bangunan umum lainnya. Yang terbesar di antara istana-istana al-
Zahra tersebut adalah bernama Dar al-Raudhah.40
4. Sastra
Pada masa Bani Umayyah hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak
ekspresi seni, dikarenakan Bani Umayyah sangat resisten terhadap pengaruh selain
Arab. Ketika Walid ibn Abdul Malik berkuasa terjadi penyeragaman bahasa, yaitu
semua administrasi negara harus memakai bahasa Arab.41
5. Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan antara kekuasaan agama (Spiritual power) dengan
kekuasaan politik (temporal power). Muawiyah bukanlah seorang yang ahlidalam
soal-soal keagamaan, maka masalah keagamaan diserahkan kepada para ulama.42
6. Pembagian wilayah
Pada masa khalifah Umar ibn Khattab terdapat 8 propinsi, maka pada masa
Dinasti Umayyah menjadi 10 propinsi dan tiap-tiap propinsi dikepalai oleh
seorang gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada Khalifah. Gubernur
berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan
‘amil.43
7. Bidang administrai pemerintahan
Dinasti umayyah membenyuk beberapa diwan (Departemen) yaitu :
a. Diwan al Rasail, semacam sekretaris jendral yang berfungsi untuk mengurus
surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-
surat dari mereka;44
b. Diwan al Kharraj, yang berfungsi untuk mengurus masalah pajak.45

39
Ibid, hlm. 169
40
Ibid, hlm. 169
41
Ahmad Masrul Anwar, Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Dinasti Umayyah, Jurnal
Tarbiyah, Vol. 1, No. 1, hlm. 55-56
42
Ibid, hlm. 55
43
Ibid, hlm. 55
44
Ibid, hlm. 55
18

c. Diwan al Barid, yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah


kepada pemerintah pusat;46
d. Diwan al Khatam, yang berfungsi untuk mencatat atau menyalin peraturan
yang dikeluarkan oleh khalifah;47
e. Diwan Musghilat, yang berfungsi untuk menangani berbagai kepentingan
umum.48
8. Organisasi Keuangan
Percetakan uang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan.
Walaupun pengelolaan asset dari pajak tetap di Baitul Mal
9. Organisasi Ketentaraan
Pada masa ini keluar kebijakan yang agak memaksa untuk menjadi tentara
yaitu dengan adanya undang-undang wajib militer yang dinamakan ‘Nidhomul
Tajnidil Ijbary”
10. Organisasi Kehakiman
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas yaitu:
a. Seorang qadhi atau hakim memutuskan perkara dangan ijtihad;49
b. Kehakiman belum terpengaruh dengan politik.50
11. Bidang Sosial Budaya
Pada masa ini orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala
bangsa bukan Arab, bahkan mereka memberi gelar dengan “Al Hamra”.51

F. PENYEBAB RUNTUHNYA DAULAH UMAYYAH


1. Pengkhianatan atas diri Ali bin Abi Talib
Sebagian besar sebab yang membuka jalan bagi Mu’awiyah sebagai Khalifah
Bani Umayyah pertama, untuk menjadi Khalifah adalah dengan ketajaman mata
pedangnya dan kebijaksanaannya. Dengan tipu dayanya dan kebijaksanaannya ia
dapat memusnahkan segala rintangan yang menghadangnya dan mematahkan
perlawanan kaum Khawarij dan Syi’ah. Namun ia telah melakukan kesalahan
besar, yaitu dengan perbuatannya yang selalu menghina Ali bin Abi Talib dan

45
Ibid, hlm. 55
46
Ibid, hlm. 55
47
Ibid, hlm. 55
48
Ibid, hlm. 55
49
Ibid, hlm. 55
50
Ibid, hlm. 55
51
Ibid, hlm. 55
19

merendahkan derajatnya pada khutbah- khutbahnya di hadapan ummat Islam.


Inilah yang menyalakan api kemarahan Syi’ah kepadanya52.
2. Melanggar Janji dengan Hasan bin Ali
Kesalahan yang kedua ialah pelanggaran atas janji yang ia ikrarkan kepada
Hasan bin Ali, yaitu bahwa pengangkatan Khalifah sepeninggalnya harus
diserahkan kepada permusyawaatan ummat Islam. Janji ini telah dibatalkan
dengan pengangkatan Yazid sebagai Putera Mahkota. Inilah yang menyebabkan
terjadinya perang Karbala dan terbunuhnya Husein bin Ali; peperangan yang
sangat mengenaskan hati ummat Islam sehingga mereka banyak yang memihak
kepada keturunan Ali dan Fatimah.
Peristiwa itu pula yang menyebabkan api pemberontakan dan huru-hara
dimana-mana menentang kekuasaan Bani Umayyah. Abdullah bin Zubair
memberontak di Makkah. Mukhtar bin Ubaid durhaka di Irak, Syi’ah
menghidupkan perlawanan dimana-mana, sehingga sendi singgasana Bani
Umayyah menjadi goyah, memang ketika kerajaan sedang kuat mereka bisa
ditindas tapi gerakan itu bagaikan api dalam sekam, ia tetap selalu menyala.
Peraturan yang dibuat oleh Mu’awiyah menjadikan pangkat Khalifah menjadi
turun temurun dalam keluarga bani Umayyah, padahal keturunan Nabi pun tidak
memperoleh pangkat itu.
Peristiwa yang juga menyakiti hati ummat Persia juga yang menimpa Ali
Zainul Abidin bin Husain bin Ali, yang mana ibundanya adalah puteri Yazdayird
Kisra Persia yang sangat dimuliakan di Persia. Oleh karena itu keturunan Husein
bin Ali menjadi termulia dan terutama sekali menurut keyakinan orang Persia,
karena turunan itu merupakan pertalian keluarga Nabi dengan keluarga Kisra.
Orang Persia ingin melanjutkan kerajaan Islam di bawah kuasa gabungan darah
bangsawan Persia dengan darah suci turunan Nabi.
Orang Persia juga terhina oleh siasat Bani Umayyah, karena ia amat
mengutamakan bangsa Arab dan tidak mengindahkan bangsa selain Arab. Pangkat
yang tertinggi hanya boleh dijabat oleh orang Arab. Bangsa lain walaupun telah
memeluk agama Islam diwajibkan juga membayar jizyah. Dan tentara yang bukan
bangsa Arab tidak diberi hak menerima pembagian harta rampasan perang sebagai
tentara Islam, sekalipun agama Islam telah membentangkan hak persamaan
diantara kaum muslimin53.

52
53
20

3. Ta’assub Jahihiyah
Bani Umayyah menghidupkan kembali faham kebangsaan di masa jahiliah,
yaitu faham kebangsaan yang sempit yang tidak diizinkan oleh agama Islam.
Pemberian Khalifah atas suku tertentu tidak sama dengan yang diberikan kepada
suku yang lain. Peristiwa sedemikian itu yang membuka peluang bagi Abu Muslim
al-Khurrasani dalam usahanya menegakkan Daulat Abbasiyah.
Begitu pula kegemaran Khalifah-khalifah terakhir Bani Umayyah, yang
banyak menghabiskan waktunya untuk bermain-main dengan kemewahan yang
tidak terbatas, sehingga mereka kurang mengacuhkan urusan kerajaan. Hal ini
yang menambah kebencian ummat Islam kepada pemerintahan keluarga itu. Adat-
istiadat istana Byzantium yang menimbulkan kerusakan batin, banyak yang
mereka tiru54.
4. Pengangkatan dua orang Putera Mahkota
Pengangkatan dua orang mahkota juga sangat buruk akibatnya. Putera mahkota
yang lebih dahulu menduduki singgasana Khalifah, berusaha memecat saudaranya
dan melantik puteranya sendiri. Hal ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh
keluarga bani Umayyah. Kemudian Khalifah yang baru membalaskan dendamnya
kepada siapa saja yang membantu singgasananya. Oleh karena itu perhatian dan
simpati rakya menjadi pudar. Mereka senantiasa menunggu kedatangan seorang
pemimpin yang akan mempersatukan mereka untuk membalas dendam kepada
keluarga Bani Umayyah. Di saat demikian Abu Muslim muncul membawa suara
baru dan janji perbaikan, dibawah bendera Bani Abbas55.

54
55
21

BAB III
PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
1. Bani Umayyah atau kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama
setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661-750 M di jazirah Arab
yang berpusat di Damaskus, Syiria. Dari dinasti Umayyah ini terdapat 14 Khalifah
yang bergantian memimpin dalam masa pemerintahan, dimulai dari Muawwiyah
(661 M) sampai dengan Marwan II (750 M).
2. Sistem pemerintahan pada masa Daulah Umayyah adalah monarkhi.
3. Ada banyak kebijakan politik dan ekonomi pada Daulah Umayyah antara lain:
mengubah sistem pemerintahan dari demokratis menjadi monarchiheridetis
,memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus, pengangkatan
gubernur dari kalangan Bani Umayyah saja yakni kawan-kawan, kerabat-kerabat
dan keturunannya, menampilkan aneka operasi penaklukan terbesar di Negar Bani
Umayyah, bahkan dalam sejarah islam secara keseluruhan setelah penaklukan-
penaklukan di era khulafaur rasyidin, dll.
4. Struktur masyarakat pada masa daulah umayyah yaitu: kebijakan dan orientasi
politik, tali ikatan persatuan masyarakat, sistem social, sistem fiskal, sistem
peradilan, dan sistem pergantian kepala Negara.
5. Perkembangan peradaban dari beberapa aspek sangatlah menonjol pada Daulah
Umayyah, dilihat dari bidang agama, social ekonomi maupun pada bidang yang
lain.
6. Penyebab runtuhnya Daulah Umayyah antara lain: pengkhianatan atas diri Ali bin
Abi Talib, melanggar janji dengan Hasan bin Ali, ta’assub jahihiyah, dan
pengangkatan dua orang Putera Mahkota

B. SARAN
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini
tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk
perbaikan ke depannya.
22

DAFTAR PUSTAKA

At- Ta’dib, Vol. 8, No. 1


Abdullathif, Abdussyafi M., Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. 2014, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar
Dr. H. Syamruddin Nasution, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, 2007, Riau: Yayasan Pusaka
Riau
Ikhsan, Muhammad, Jejak Gemilang Intelektual Islam dalam Pentas Sejarah Dunia, Jurnal
At- Ta’dib, Vol. 8, No. 1
Jabir, Muhammad, Dinasti Bani Umayyah, Vol. 4, No. 3, 2007
Masrul Anwar, Ahmad, Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Bani
Ummayah, Vol. 1 No. 1, UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2005
Rachman, Taufik, Bani Umayyah Dilihat dari Tiga Fase, Jurnal Sejarah Perabadan Islam,
Vol. 2, No. 1
Zarkasy, Imam, Tarikh Islam Untuk Kelas I KMI, 2013, Ponorogo: Darussalam Press

Anda mungkin juga menyukai