Anda di halaman 1dari 4

 Kasus Pasal 10 tentang Pendelegasian Pekerjaan Pada Orang Lain

S merupakan lulusan sarjana psikologi di Indonesia dengan kurikulum


setelah tahun 1992, dan belum mengikuti program profesi atau magister profesi
yang memungkinkannya untuk mendapat pengalaman magang sebagai psikolog
praktik. Ia melamar sebagai staf pegawai negeri sipil, namun ditempatkan dalam
bagian psikologi di lingkungan militer. Di lingkungannya, ia mendapat pengawasan
dari W sebagai atasan langsungnya. W merupakan seorang perwira militer yang
juga merupakan lulusan program sarjana kurikulum lama, yang kemudian
melanjutkan studinya pada program magister manajemen. Atas perintah dari atasan
W, maka W meminta S untuk menjadi asistennya dalam melakukan psikotes di
bawah pengawasannya. Dengan mempertimbangkan keterbatasan dana dan sumber
daya manusia yang ada di lingkungan kantornya maka W tidak hanya meminta S
melakukan administrasi tes namun juga meliputi interpretasi tes yang mendorong
rekomendasi untuk melakukan tindakan tertentu bagi personil militer. Di sisi lain, S
merasa bahwa pengetahuan psikodiagnostiknya tidak memadai untuk melakukan
interpretasi tes. W yang juga salah satu pengurus HIMPSI, kemudian mengirim S
untuk menceritakan kasus ini pada ketua HIMPSI di wilayahnya.

 Analisis

Berdasarkan kasus diatas, analisis yang kami simpulkan bahwa W sudah


melakukan pendelegasian sesuai dengan pasal 10 dalam kode etik psikologi.
Dimana W sudah memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada S untuk
memberikan layanan psikologi berupa adminsitrasi tes kepada personil militer
yang membutuhkan bantuan.

Di sisi lain, S merasa bahwa kemampuan dirinya dalam memberikan


psikodiagnostik tidak memadai.
 Kasus Pasal 11 tentang Masalah dan Konflik Personal

Seorang psikolog laki-laki sedang menangani kasus seorang perempuan


muda yang sedang patah hati dan berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri.
Setelah beberapa sessi terapi dengan perempuan menarik tersebut, psikolog tersebut
mulai berfantasi tentang bagaimana jika ia melakukan hubungan intim dengan
perempuan itu. Psikolog itu juga memperhatikan bahwa dalam pertemuan sessi
akhir, pasiennya cenderung tetap tinggal dan berbicara terus menerus , meskipun
jam terapi hampir berakhir. Minggu ini pasien datang ke sessi dengan menggunakan
blus tipis dan celana pendek ketat dan mengeluh panasnya udara. Psikolog mulai
kesulitan untuk berkosentrasi dalam terapi itu.

 Kasus Pasal 12 tentang Pemberian Layanan Psikologi Dalam Keadaan


Darurat

Anak Korban Letusan Sinabung Butuh Psikolog

Medan, (ANTARA) – Anak-anak yang ikut mengungsi akibat meletusnya Gunung


Sinabung Minggu (29/8) dinihari di Kabupaten Karo, Sumut, perlu mendapatkan
penanganan psikolog demi menormalkan kembali kejiwaaan mereka.

Psikolog Indah Hasibuan, di Medan, Rabu, mengatakan, meletusnya Gunung


Sinabung bukan hanya berdampak pada kerugian material, namun juga akan
berdampak psikologis pada masyarakat yang tertimpa bencana.

Karena biasanya setelah terjadi bencana alam baik gempa, banjir, gunung meletus
maupun bencana alam lainnya akan berdampak buruk pada psikologis seseorang
terlebih anak-anak.

Dampaknya berpengaruh pada kognitif, sosial dan emosi anak, sehingga


mempengaruhi daya konsentrasi mereka, karena akan terkenang kejadian-kejadian
sebelumnya.

Peristiwa tersebut juga akan memunculkan gejala-gejala “distress” mental seperti


ketakutan, gangguan tidur, mimpi buruk, panik, siaga berlebihan, atau berduka dan
ini harus segera mendapat penanganan Selain itu dampak psikologis yang juga
dapat ditimbulkan adalah depresi atau tekanan jiwa yang akan sulit hilang dalam
waktu singkat dan akan terus membekas seumur hidup terutama pada anak-anak.
“Untuk itu peran psikolog sangat dibutuhkan demi menormalkan kembali
kejiwaaan mereka terutama pada anak-anak yang memang sangat rentan agar
kembali normal hingga tidak menjadi traumatik yang berkepanjangan,” katanya.

Pengamat sosial Universitas Sumatera Utara (USU) Yos Rizal, mengatakan pasca
bencana alam akan terjadi banyak perubahan di masyarakat terutama bagi mereka
yang banyak mengalami kerugian materi dan kehilangan sanak saudarannya.

Salah satu yang berubah misalnya terjadinya perubahan strata sosial pada
seseorang, yang dulunya cukup kaya berubah menjadi miskin . Ini dapat terjadi
karena kerugian materi yang dideritanya akibat bencana tersebut.

Bagi yang memiliki psikologi dan mental kuat tentunya akan dapat bertahan dengan
kenyataan tersebut dan dapat memulai hidup baru pasca bencana itu. Namun bagi
yang tidak kuat akan mengalami depresi dan gangguan kejiwaan.

“Nah disinilah peran psikolog sangat dibutuhkan. Psikolog memiliki peran untuk
memberikan penyuluhan dan pendampingan bagi para korban bencana yang
mengalami depresi tersebut,” katanya.***3*** dikutip dari
http://www.antarasumut.com/berita-sumut/anak-korban-letusan-sinabung-butuh-
psikolog/

Analisis Kasus : menurut bang Erwin ..

Realitas psikologi masyarakat pascabencana adalah terjadinya guncangan psikologis


akibat ketidaksiapannya dalam menghadapi bencana alam. Masyarakat akan
kehilangan keseimbangan psikologis. Tugas seorang psikolog disini adalah memberikan
layanan psikologis bagi mereka yang mengalami trauma untuk membantu korban
bencana tersebut. Karena kondisi tersebut telah meninggalkan luka psikis yang
mendalam bagi korban bencana alam ini. Dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi yang belum memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan
layanan psikologi dalam situasi yang terdesak, sebagai contoh ; dengan pendekatan
spiritual. Yaitu dengan pemberian alat ibadah dan pembinaan rohani ( spiritual ). Ini
merupakan langkah nyata yang dapat memberikan solusi bagi kasus korban bencana
alam tersebut.
Melalui program ini diharapkan para korban bencana alam, dapat kembali
bangkit dari trauma pasca bencana yang dialaminya. Juga dengan pemberian bimbingan
atau pembinaan psikologis yang dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan
pendekatan secara personal atau melalui kelompok – kelompok kecil dengan kajian
mengingatkan mereka akan pentingnya beribadah dan tidak meninggalkan kewajiban
sebagai makluk ciptaan Tuhan, walaupun dalam keadaan terkena musibah. Selain itu
para pembina ataupun relawan juga dapat mengarahkan mereka untuk mengisi waktu
luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat.
Kita juga harus dapat merubah pola pikir korban bencana alam, yang masih
mempunyai pola pikir negatif terhadap bencana yang dialaminya, agar dapat kembali
berpikir positif. Hal tersebut sangatlah penting, karena biasanya para korban cenderung
menyalahkan suatu bencana yang menimpanya. Pembinaan spiritual ini diharapkan
dapat menghilangkan trauma yang diakibatkan oleh bencana alam, serta dapat
membangun kembali kekuatan mental dan semangat hidup para korban bencana.

Anda mungkin juga menyukai