Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan


lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos
("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup
maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali
dikemukakan oleh Ernest Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari
sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.

Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di sekitarnya
dan dapat mempengaruhinya. Dalam konsep rantai makanan, hewan ditempatkan sebagai
konsumen, sedangkan tumbuhan sebagai produsen. Hewan disebut sebagai makhluk hidup
yang heterotrof.

Organisme-organisme hidup dan lingkungan abiotiknya berhubungan erat tak


terpisahkan dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Komunitas yang merupakan
satuan yang mencakup semua organisme di dalam suatu daerah yang saling mempengaruhi
dengan lingkungan fisiknya, sehingga arus energi mengarah ke struktur makanan,
keanekaragaman biotik dan daur bahan/materi.

Setiap organisme di muka bumi menempati habitatnya masing-masing. Dalam suatu


habitat terdapat lebih dari satu jenis organisme dan semuanya berada dalam satu komunitas.
Komunitas menyatu dengan lingkungan abiotik dan membentuk suatu ekosistem. Dalam
ekosistem hewan berinteraksi dengan lingkungan biotic, yaitu hewan lain, tumbuhan
serta mikroorganisme lainnya. Interaksi tersebut dapat terjadi antar individu, antar populasi
dan antar komunitas.

Setiap organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi faktor


lingkungan abiotik. Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik seluas-luasnya.
Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua
semua faktor lingkungan.

1
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini
adalah :

1. Bagaimana anasir-anasir dari lingkungan?


2. Bagaimana konsep tentang kondisi lingkungan dan sumber daya?
3. Bagaimana hubungan antara suhu lingkungan dengan organisme?
4. Bagaimana konsep dan teori dari kisaran toleransi dan faktor pembatas?
5. Bagamana aspek terapan kisaran toleransi?
6. Bagaimana gambaran umum dari faktor-faktor lingkungan?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui anasir-anasir lingkungan.


2. Mengetahui konsep tentang kondisi lingkungan dan sumber daya.
3. Mengetahui hubungan antara suhu lingkungan dengan organisme.
4. Mengetahui konsep dan teori dari kisaran toleransi dan faktor pembatas.
5. Mengetahui aspek terapan kisaran toleransi.
6. Mengetahui gambaran umum dari faktor-faktor lingkungan.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :

1. Sebagai sumber informasi ilmiah kepada pembaca mengenai hubungan antara


kondisi lingkungan dengan organisme.
2. Sebagai informasi untuk penulisan makalah lanjutan mengenai Hewan dan
Lingkungannya.
3. Sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi penulis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anasir-Anasir Lingkungan

Suatu ekosistem merupakan suatu sistem biologik yang terdri atas :

1. Anasir nonbiologik, seperti cahaya matahari, tanah, air, udara.


2. Anasir biotik, yang terdiri atas makhluk hidup yang dibedakan menjadi makhluk
hidup autotrof dan heterotrof.

Guna keperluan deskriptif perlu diketahui komponen-komponen yang merupakan


bagian ekosistem yaitu :

1. Senyawa-senyawa anorganik (C, N, CO2, H2O, dsb.) yang terlibat dalam daur-daur
materi.
2. Senyawa-senyawa organik (protein, karbohidrat, lemak, dsb.) yang
menghubungkan biotik dan abiotik.
3. Resim khas (temperatur dan faktor fisik lainnya)
4. Produsen-produsen berupa organisme autrofik.
5. Makrokonsumen atau organisme heteretrofik terutama organisme yang
mencernakan organisme-organisme lain atau butiran bahan-bahan organik.
6. Mikrokonsumen saprotrof-saprotrof, seperti bakteri dan cendawan.

Seluruh bagian ekosistem tersebut diatas saling berhubungan dan saling mempengaruhi
sehingga terbentuklah rantai makanan dan jaringan-jaringan makanan serta harus atau aliran
energi.

2.2. Kondisi Lingkungan Dan Sumber Daya

Untuk memahami tentang sejarah spesies itu, sumber daya yang diperlukannya, laju
kelahiran serta kematian, migrasi individu di dalam spesies itu, interaksi antar spesifik dan
interspesifik, serta pengaruh kondisi lingkungan.

Kondisi lingkungan adalah suatu faktor lingkungan abiotik yang berbeda dalam ruang
dan waktu, dan terhadap kondisi ini makhluk memberi tanggapan secara berbeda-beda.

3
Contoh kondisi lingkungan meliputi: suhu, lengas nisbi, pH, salinitas, kecepatan arus air
sungai/laut, kadar pencemar, dsb. Suatu kondisi dapat dimodifikasi oleh hadirnya makhluk
lain, misalnya pH tanah dapat berubah oleh hadirnya tumbuhan, suhu, lengas udara mungkin
berubah di bawah tajuk pohon di hutan. Dibandingkan dengan sumber daya maka kondisi
tidak dapat dipergunakan atau dihabiskan oleh makhluk lainnya.

Semua hewan memberikan reaksi terhadap habitat dengan cara mereka masing-masing
dan bilamana makhluk tersebut dalam cacah yang banyak maka reaksi tersebut akan
menghasilkan pengaruh yang nyata. Perubahan fisik dan perubahan kimia dalam lingkungan
akuatik sebagai akibat oleh karena makhluk yang hidup di lingkungan akuatik tersebut
disebut: pengkondisian air, maka perubahan itu dapa berujud pengaruh yang buruk bagi
makhluk yang dibiarkan hidup di dalam lingkungan akuatik tersebut sesudah makhluk asli
dpindahkan dari lingkungan tersebut.

Kondisi yang optimal adalah kondisi untuk individu spesies itu meninggalkan keturunan
paling banyak. Biasanya untuk memperoleh informasi kondisi yang optimal digunakan jalan
pintas dengan mengukur pengaruh kondisi terhadap beberapa sifat yang khusus dipilih
misalnya laju pertumbuhan, laju reproduksi, laju respirasi, atau laju kelangsungan hidup.

Sumber daya adalah semua yang diperlukan oleh makhluk atau kelompok makhluk dan
merupakan sesuatu yang berguna, namun bagi manusia, seuatu yang berguna atau tidak
berguna dapat berubah karena teknologi, karena nilai ekonomi dan karena pengaruh
ligkungan untuk memperoleh dan mempergunakan sumber daya itu.

Menurut Odum (1971), sumber daya dibedakan menjadi sumber daya yang dapat
diperbaharui dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya yang dapat
diperbaharui misalnya tanah subur, air tawar, udara segar, flora dan fauna, sedangkan sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui misalnya bahan-bahan mineral, bahan-bahan minyak dan
sebagainya.

Sepanjang ontogeninya suatu hewan akan berbedah pada kondisi dan sumberdaya
lingkungan yang tidak konstan, melainkan bervariasi menurut ruang (tempat) dan waktu.
Lingkungan yang relatif konstan mungkin hanya dijumpai dibagian dalam samudra, didalam
tanah dan digua-gua yang gelap.

4
Perubahan lingkungan menurut waktu secara garis besar terdiri dari tiga macam, yaitu
perubahan yang bersifat siklik, terarah dan tak menentu (eratik).

1. Perubahan siklik adalah perubahan yang terjadi berulang secara berirama, seperti
malam dan siang, laut pasang surut, musim kemarau dan musim penghujan, dan
lain sebagainya.
2. Perubahan terarah merupakan suatu perubahan yang terjadi berangsur-angsur secara
terus menerus dan progresif menuju kesuatu arah tertentu. Proses perubahan
tersebut berlangsung lama, melebihi panjang umur individu hewan yang hidup
dilingkungan itu. Contoh perubahan yang demikian ialah misalnya: terjadinya erosi
progresif garis pantai atau pengendapan lumpur disuatu eustuaria.
3. Perubahan eratik adalah suatu perubahan yang tak berpola dan tidak menunjukan
konsistensi mengenai arah perubahan. Misalnya terjadinya pengendapan jatuhan
debu dan letusan gunung, serta terjadinya banjir ataupun kebakaran hutan.

Karena ketersedian sumberdaya merupakan fungsi dari ruang dan waktu yang berbeda-
beda coraknya. Maka untuk mendapatkan sesuatu sumberdaya tertentu, hewan melakukan
strategi tertentu pula yang mungkin berbeda dengan sumberdaya lain.

2.3. Hewan Sebagai Organisme Heterotrof

Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang bersifat autotrof, hewan merupakan organisme


heterotrof, karena tidak dapat mensintesis sendiri materi organik dan energi (makanan), dari
sumberdaya lingkungan yang berupa substansi-substansi anorganik. Heterotrof tersebut telah
menyebabkan kehidupan hewan secara langsung ataupun tak langsung sangat bergantung
pada tumbuh-tumbuhan.

Dalam dunia hewan dapat dibedakan tiga macam nutrisi heterotrof, yaitu tipe nutrisi
holozoik, saprozoik, dan parasit. Tipe yang umum terdapat dalam dunia hewan adalah nutrisi
holozoik. Dalam nutrisi tipe ini makanan baik yang berupa tumbuhan atau jenis hewan lain,
pertama-tama harus dicari dan didapatkan dulu, baru kemudian dimakan untuk selanjutnya
dicerna sebelum dapat diabsorbsi dan di manfaatkan oleh sel-sel tubuh hewan itu. Untuk
mencari dan mendapatkan makanan diperlukan peranan berbgai struktur indera, saraf serta
mekanisme otot. Selanjutnya untuk mengubah substansi makanan itu kedalam bentuk yang
dapat diabsorbsi, diperlukan juga peranan mekanisme sistem pencernaan.
5
Tipe nutrisi saprozoit dijumpai pada berbagai hewan protozoa, yang memperoleh
nutrien-nutrien organik yang diperlukannya dari organisme-organisme yang telah mati,
membusuk dan mengurai. Nutrien-nutrien tersebut diabsorbsi melalui membran sel dalam
bentuk molekul-molekul terlarut.
Seperti dinyatakan oleh namanya, tipe nutrisi parasitik dijumpai pada hewan-hewan
parasit. Hewan-hewan ni memakan organisme inangnya atau secara langung mengabsorbsi
molekul-molekul organik dari cairan atau jaringan tubuh inangnya. Berbagai hewan parasit
mengganggu kehidupan organise inangnya dengan merusak sel-sel, merampas nutrien-nutrien
atau dengan menghasilkan produk sampingan yang berupa zat toksik. Sebagai hasil proses
evaluasi maka, suatu hewan endoparasit, yaitu yang hidup didalam tubuh organisme
inangnya, menjadi teradaptasi dengan kondisi-kondisi suhu, pH, kadar garam, vitamin,
nutrien dan lain sebagainya, yang sekarang menjadi lingkungannya. Sehingga tidak lagi dapat
hidup bebas diluar tubuh inangnya itu.

2.4. Hubungan Antara Suhu Lingkungan Dengan Organisme

Begon, dkk, 1990, menjelaskan bawa konsep endoterm dan ektoterm yang terdapat pada
hewan yang menggolongkan hewan menjadi yang “berdarah dingin” dan yang “berdarah
panas” sebab subyektif dan tidak akurat.

Penggolongan yang lebih memuaskan yaitu :

1. Kelompok hewan homoiothermal yaitu hewan yang bersuhu tubuh tetap. Jika suhu
lingkungan berubah, maka kelompok hewan ini akan memperthanakan suhu
tubuhnya sehingga akan menjad kira-kira penggah/konstan. Contoh: burung,
mamalia, reptil, lebah, dsb.
2. Kelompok hewan poikilothermal, yaitu hewan yang bersuhu tubuh tidak tetap,
karena pengaruh lingkungan. Suhu tubuh hewan ini akan mengikuti perubahan suhu
lingkungan itu. Contoh: ikan-ikan antarikan, protista, dll.

Dengan klasifikasi tersebut ternyata timbul masalah yaitu bahwa pada hewan
homoiothermal seperti burung dan mamalia dapat berkurang suhu tubuhnya selama periode
hibernasi (musim), dan beberapa hean poikilothermal, seperti ikan-ikan antarikan, perbedaan
suhu tubuhnya hanya puluhan derajat sebab suhu lingkungan nyaris tidak berubah. Disamping

6
itu banya hewan poikilothermal diduga memiliki kekuatan pengaturan suhu tubuh berupa
tanggapan melalui perilaku bergerak ke arah adanya perbedaan suhu.

Masalah perubahan suhu pada intinya ada tiga kisaran suhu yang menarik perhatian,
ialah:

1. Suhu rendah berbahaya


2. Suhu tinggi berbahaya
3. Suhu antara rendah dan tinggi

Pada makhluk ektotherm proses metabolisme terhadap sumber daya yang masuk
(makanan), terjadi secara lambata pada suhu yang rendah, tetapi pada suhu yang lebih tinggi
metabolisme akan lebih cepat, misalnya tiap-tiap kenaikan suhu 1oC akan menaikan laju
reaksi metabolisme dua kali, yang dikenal dengan QUOSEM SUHU (Q10), dimana Q10=2,5.

Tidak seperti pada manusia serta pada hewan endoternal umumnya, maka hewan
ektoternal tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Namun yang
mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu, yang disebut sebagai WAKTU
FISIOLOGIK, dimana waktu adalah fungsi suhu untuk hewan eksothermal dan waktu dapat:
berhenti “jika suhu turun di bawah harga ambang”.

Berikut ini adalah contoh perkembangan hewan yang memerlukan sejumlah waktu
fisiologik. Apabila diketahui, misalnya bahwa suhu ambang terjadi perkembangan pada
sejenis belalang adalah 16oC, dan pada suhu 20oC (yaitu 4oC di atas suhu ambang) lamanya
waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur hingga menetas adalah 17,5 hari, maka
pada suhu 30oC (yaitu 4oC di atas suhu ambang) lamanya waktu yang diperlukan untuk
menetas hanya 5 hari. Dalam contoh tersebut di atas, lamanya waktu yang diperlukan untuk
perkembangan telur hingga menetas ada jeni belalang itu adalah 70 hari – derajat diatas suhu
ambang.

Pentingnya konsep waktu suhu ini terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk
memberi pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan
ektotherm. Namun dalam prakteknya cukup sukar menentukan suatu skala waktu fsiologik
makhluk yang khusus, terutama bila pengaruh suhu yang berfluktuasi, perlu diperhatikan
hubungan linear itu sendiri.

7
2.5. Kisaran Toleransi Dan Faktor Pembatas

Setiap organisme hanya dapat hidup dalam kondisi faktor lingkungan yang dapat
ditolerirnya. Menurut hukum toleransi setiap organisme mempunyai suatu maksimum dan
mnimum ekologis yang merupakan batas atas dan batas bawah dari kisaran toleransi
organisme itu terhadap kondisi faktor lingkungannya.

Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkungan yang mendekati batas
kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan cekaman fisiologis. Dengan
perkataan lain, organisme berada dalam kondisi kritis yang menentukan sintas tidaknya.
Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan meunjukan kondisi
kritis berupa hipotermia sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala
hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi
hewan itu berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan akan mati.
Setiap kondisi faktor lingkungan yang besarnya atau intensitasnya mendekati atas kisaran
toleransi organisme,akan beroperasi sebagai faktor pembatas yang berperan sangat
menentukan kesintasan organisme (gambar 1)

Tidak mudah untuk menetukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan terhadap
sesuatu faktor lingkungan, terlebih-lebih lagi dalam lingkungan alami. Setiap organisme
terdedah pada sejumlah faktor lingkungan, dan oleh adanya suatu interaksi faktor maka
sesuatu faktor lingkungan dapat saja mengubah efek faktor lingkungan lain.misalnya, suatu
individu hewan akan merasakan efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara
inggi, dibandingkan dengan pada kelembaban udara yang relatif rendah. Dengan perkataan
lain, hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara kering dibandingkan dengan
pola kondisi udara yang lembab.

Dalam laboratorium pun batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap suatu faktor
lingkungan tidak mudah menentukannya. Salah satu penyebabnya iaah untuk menentukan
secara tepat kapan hewan mati. Cara yang biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan
adanya variasi individual batas-batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya
kematian pada 50% dari jumlah individual setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor
lingkungan selama rentang waktu tertentu.

8
Gambar 1. Diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan
dengan kondisi sesuatu faktor lingkungannya.

Dalam kisaran optimum (a) kinerja hewan maksimal; b dan c


= batas atas dan batas bawah kondisi sekitar kisaran
optimum yang diperlakukan untuk berkembangbiak; d dan
c= batas atas dan batas bawah kondisi untuk pertumbuhan; f
dan g = batas atas dan batas bawah untuk sintas.

Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berjenis-jenis hewan
yang berbeda dapat berbeda pula. Jenis hewan yang satu mungkin lebar kisaran toleransinya
(eury), jenis hewan lain mungkin sempit (steno). Ikan mujair misalnya mempunyai kisaran
toleransi yang relatif lebar terhadap salinitas (eurihalin), sedang berjenis-jenis ikan laut sempit
(stenohalin, polihalin, gambar 2). demikian pula halnya suatu jenis hewan tertentu dapat
berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungan yang berbeda.
Misalnya hewan itu bersifat stenihidris dan oliehidris tetapi euritermal. Jenis-jenis hewan
yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor lebar,biasanya mempuyai daerah sebaran
yang relatif luas.

Seperti sudah disinggung terdahulu, kondisi faktor lingkungan sekitaroptimum


(preferendum), akan menghasilkan kinerja biologis yang paling tinggi preferendum untuk
sesuatu faktor lingkungan relatif mudah ditentukan dilaboratorium. Tidak demikian halnya
dilingkungan alami . Terkonsentrasinya dalam jumlah banyak individu-indvidu suatu spesies
hewan disesuatu tempat dalam habitat alaminya, belum tentu menunjukan bahwa kondisi dari
satu atau beberapa faktor lingkungan ditempat itu merupakan preferendumnya. Kehadiran
pesaing atau predator dapat menyebabkan terhalangnya populasi hewan untuik mendiami
tempat dengan kondisi faktor- faktor lingkungan penting,dikisaran-kisaran optimum yang
sbenarnya.
Gambar 2. Diagram kisaran toleransi terhadap suatu
faktor lingkungan yang besar (curi-) dan yang sempit
(steno-), baik pada intensitas atau kadar yang rendah
(oligo-) atau yang tinggi (poli-)
P= preferendum

9
Stadia muda hasil berbiak (telur, larva,anak) pada umumnya mempunyai kisaran
toleransi yang sempit untuk beraneka faktor- faktor lingkungan. Serupa pula halnya kisaran
toleransi hewan dewasa yang sedang berbiak bila dibandingkan dengan yang tak berbiak.
Karena relatif sempitnya kisaran-kisaran toleransi stadia muda hewan dan hewan yang sedang
berbiak tehadap berbagai faktor lingkungan, maka perubahan kondisi faktor- faktor
lingkungan itu telati tinggi peluangnya untuk beroperasi sebagai faktor pembatas. Karena itu
maka musim perkembangbiakan hewan seringkali dianggap sebagai perioda kritsi.

Kisaran toleransi terhap sebuah faktor lingkungan ditentukan secara herediter. Namun
demikian, kisaran tolerasnsi dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi
(didalam alam) atau aklimasi (dilaboratorium), (gambar 3).

Gambar 3. Pengaruh aklimatisasi terhadap batas-batas kisaran


toleransi untuk suhu pada ikan koki.

A. Zona letal atas (di luar batas atas toleransi)

B. Zona toleransi

C. Zona letal bawah (di luar batas bawah toleransi)

2.6. Aspek Terapan Kisaran Toleransi

Konsep kisaran toleransi, berikut faktor pembatas dan preferendum sudah sering
diterapakan dibidang-bidang pertanian, peternakan, konservasi dsb. Pada dasarnya, untuk
jenis hewan yang berguna yang produksinya diupayakan agar sebanyak mungkin, lingkungan
hidupnya akan dibuat sedemikian rupa oleh si pemelihara agar kondisi berbagai faktor
lingkungan hewan itu mendekati kondisi preferendumnya. Untuk jenis-jenis hewan yang
merugikan kondisi lingkungan itu biasanya dibuat sebaliknya, yaitu agar mendekati kondisi
batas atas atau batas bawah kisaran toleransinya.

1. Pengendalian Hama
Salah satu penerapan konser kisaran toleransi dan faktor pembatas dibidang
pertanian dan perkebunan, ialah dalam hal pengendalian hama serangga. Terhadap
hewan hama upaya yang dilakukan ialah, dengan membuat kodisi lingkungan diluar
10
batas atas ataupun batas bawah kisaran toleransi. Berikut ini adalah sebuah
contohnya.
Larva serangga Limonius (Elateridae; coleoptera) dikenal sebagai penggangu
tanaman bit gula, di daerah pantai barat amerika serikat. Pengamatan lapangan
menunjukan bahwa kelembaban tanah merupakan faktor pembatas utama serangga
itu. Penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium selanjutnya menunjukan
bahwa kisaran toleransi terhadap kelembaban pada stadia larva dan pra pupa adalah
relatif paling sempit dibandingkan dengan stadia telur ataupun hewan dewasanya.
Dari hasil kedua pendekatan itu didapatkan dua alternatif cara pengontrolan
serangga itu. Cara pertama, yaitu yang praktis dilakukan di daerah perkebunan yang
teririgasi ialah dengan membuat kondisi lingkungan melampaui batas-batas
toleransinya. Car kedua ialah dengan membuat kondisi melampaui batas bawah
kisaran toleransinya. Cara yang praktis yang dilakukan di lahan-lahan tanpa irigasi
ialah dengan menanam tumbuhan yang “mengeringkan tanah” seperti Alfala atau
Gandum.

2. Perubahan Ekosistem
Dari kasus “bebek” versus “tiram” dibawah ini kita dapat mengetahui bahwa
perubahan kondisi lingkungan dapat mengakibatkan berubahnya pula komponen-
komponen biotik dari suatu ekosistem dan menghasilkan efek yang merugikan.
Dengan dibangunnya peternakan bebek di sepanjang anak-anak sungai yang
bermuara ke suatu teluk di wilayah New York terjadilah kemudian semacam proses
pemupukan oleh kotoran bebek secara ekstensif. Karena aliran air lambat maka
materi kotoran bebek itu tida langsung termasuk ke laut melainkan terakumulasi di
daerah muara sungai. Kondisi demikian itu menyebabkan meningkatnya populasi
fitoplankton yang hampir seluruhnya terdiri dari jenis-jenis flagelata hijau yang
berukuran kecil, yaitu Nannochloris dan Stichococcus. Sebelum terjadinya
pemupukan oleh kotoran bebek, komposisi fitoplankton normal terdiri dari jenis-
jenis dinoflagelata, flagelata hijau, serta diatomae yang terutama terdiri dari genus
Nitzschia.
Sebelum terjadinya pemupukan oleh kotoran bebek perairan itu telah mendukung
suatu industri tiram yang berhasil. Setelah ekosistem mengalami perubahan, banyak

11
sekali tiram yang mati kelaparan. Tiram-tiram yang mati itu ususnya penuh dengan
Nannochloris dan Stichococcus yang tidak dapat dicerna.
Contoh kasus di atas juga menunjukan bahwa bila kondisi lingkungan berubah
maka organisme-organisme “spesialis”, yang dalam keadaan normal jumlahnya
jarang, juga dapat turut berubah dan mengambil ahli peranan menjadi predominan.

3. Indikator Ekologi
Telah diketahui bahwa faktor yang spesifik seringkali menentukan dengan agak
tepat makhluk manakah yang mungkin ada dengan mempertimbangkan jenis
lingkungan fisik tempat hidup makhluk itu. Makhluk demikian ini disebut sebagai
indikator ekologi.
Spesies sebagai indikator ekologi seringkali digunakan sebagai biological assay,
terutama jika diduga ada sesuatu yang spesifik dan juga apabila suatu faktor yang
dipermasalahkan sulit atau tidak dapat diukur secara langsung. Karena itu banyak
ekologiwan menggunakan spesies makhluk sebagai indikator dalam penelitian
eksploratif wilayah baru atau wilayah yang luas. Biasanya digunakan tumbuhan
terestrial atau hewan vertebrata sebagai indikator zona-zona suhu atau kelembaban.
Tetapi perlu ada pertimbangan-pertimbangan untuk menggunakan spesies sebagai
indikator ekologi, dan menurut Odum ada tiga pertimbangan utama yaitu :
a. Spesies yang menjadi indikator ekologi paling baik adalah spesies steno
daripada spesies eury.
b. Spesies yang besar merupakan indikator yang lebih baik daripada spesies yang
kecil.
c. Spesies mempercayai (menggunakan) suatu spesies sebagai indikator harus ada
bukti yang cukup bahwa faktor yang dipermasalahkan memang bersifat
membatasi.

Sebagai contoh, kurangnya zat kapur di suatu tempat menyebabkan jenis moluska
yang hidup di tempat itu bercangkang tipis. Tipisnya cangkang Mollusca dapat
memberikan indikasi bahwa kandungan zat kapur di tempat itu kurang.

12
2.7. Gambaran Umum Faktor-Faktor Lingkungan

1. Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diukur dan seringkali
beroperasi sebagai faktor pembatas. Variabilitas suhu mempunyai arti ekologis.
Fluktuasi suhu 10o - 200 C dengan suhu rata-rata 15 C. Pengaruhnya terhadap
hewan tidak sama dengan suhu konstan 15 C. Pada jenis
Belalang dan kupu-kupu yang diamati, suhu yang bervariasi menghasilkan laju
pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan pada suhu konstant. Berbagai jenis
hewan yang biasa hidup di lingkungan alam bebas yang suhunya bervariasi,
aktivitas hidupnya terganggu apabila dipelihara dalam lingkungan suhu konstan.
Dibandingkan dengan lingkuna daratan, lingkunga perairan, memiliki variasi suhu
yang relatif sempit.

2. Air dan Kelembaban


Dalam lingkungan daratan, air seringkali dapat beroperasi sebagai faktor pembatas
bagi kelimpahan dan penyebaran hewan-hewan terestrial. Demikian pula, bagi
hewan-hewan yang hidup di tempat-tempat yang lembab, kandungan air yang
rendah merupakan faktor pembatas yang menentukan keberhasilan hidupnya.
Untuk daerah tropika, kedudukan air dan kelembaban sama pentingnya dengan
peranaan cahaya , fotoperiodisme dan ritma suhu di daerah-daerah temperata dan
beriklim dingin. Masalah air dan kelembaban itu erat kaitannya dengan pola curah
hujan bagi kehidupan flora dan fauna di suatu daerah. Yang penting artinya adalah
bukan hanya aspek banyaknya tapi sebaran curah hujan di sepanjang tahun.

3. Interaksi Suhu-Kelembaban
Kelembaban mempunyai peranaan penting dalam mengubah efek suhu. Dalam
lingkungan daratan, terjadi interaksi antara suhu dan kelembaban yang sangat erat,
sehingga kompleks suhu dan kelembaban dianggap sebagai bagian yang penting
dari kondisi cuaca dan iklim. Kondisi dari kedua faktor iklim dapat dinyatakan
dalam bentuk klimograf.

4. Cahaya Matahari

13
Cahaya matahari memiliki peranaan pentig bagi hewan-hewan diurnal, yang
mencari makan dan melakukan interaksi biotiknya secara visual. Untuk mengetahui
efek ekologis dari cahaya matahari yang perlu diprhatikan adalah aspek
intensitasnya, kualitasnya dan lama penyinarannya.
Intensitas dan kualitas cahaya memiliki korelasi dengan warna tubuh hewan.
Hewan-hewan pelagis cendrung transparan, berwarna biru dengan punggung
kehijau-hijauan.

5. Gas-Gas Atmosfer
Kandungan gas-gas atmosfer dalam lingkunan daratan relatif konstan karena itu
jarang sekali beroperasi sebagai faktor pembatas. Karbon dioksida sangat penting
bagi berlangsungnya proses fotosintesis dan ozon untuk menyaring radiasi sinar
UV. Sedangkan dalam lingkungan akuatik, kandungan gas-gas atmosfer bersifat
variabel sehingga penting peranannya sebagai faktor pembatas.

6. Arus dan Tekanan


Arus udara berperan secara langsung ataupun melalui pengaruhnya terhadap
penguapan dalam hal transfer panas. Dalam lingkungan akuatik arus air berperan
secara langsung sebagai faktor pembatas bagi jenis hewan akuatik yang tidak
teradaptasi khusus untuk menghadapi faktor arus. Dalam lingkungan daratan,
tekanan barometrik belum diketahui benar pengaruhnya terhadap hewan, kecuali
peranannya yang tidak langsung melalui perubahan kondisi cuaca dan iklim.

7. Garam-Garam
Pengaruh garam-garam terhadap hewan, pada umumnya bersifat fisiologis melalui
fungsinya sebagai zat hara yang terkandung dalam makanan hewan itu. Untuk
hewan akuatik, garam terlarut berpengaruh secara langsung melalui faktor salinitas.

8. Pencemar
Sejak beberapa dekade terakir ini faktor-faktor pencemar (polutan), yang pada
dasarnya merupakan hasil sampingan berbgai aktivitas manusia , makin lama makin
sering dan makin banyak dijumpai dilingkungan. Hal demikian itu telah

14
menyebabkan timbulnya urgensi untuk menjaga kualitas dan kondisi lingkungan
hidup.
Pada masa ini pencemar praktis dapat dijumpai dimana-mana , baik dilingkungan
daratan (tanah),perairan (tawar,payau, laut) dan juga diudara jenis asal, derajat
toksisitas dan efeknya terhadap organisme dari agen-agen pencemar ini bermacam-
macam. Hal inilah pencemar-pencemar tersebut biasanya dibahas secara khusus
dalam suatu cabang ilmu yang disebut ekotoksikologi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa efek suatu pencemar terhadap hewan dapat
terjadi melalui kontak langsung, atau secara tidak langsung melalui rantai makanan.
Dalam lingkungan yang tercemar (terpolusi), konsentrasi ataupun intensitas
pencemar dapat mencapai tingkat tinggi, sehingga berefek mematikan (efek letal).
Menarik untuk disimak tentang kemungkinan adanyaindividu-individu dengan
variasi genetik tertentu yang mampu sintas. Individu-individu demikian, seandainya
dapat berkembangbiak dan menurunkan “gen-gen toleran” pada generasi
berikutnya, dapt merupakan “nenek moyang” populasi yang toleran polutan.
Ditinjau dari segi itu fenomena pencemaran dapat memberikan peluang bagi para
ilmuwan untuk menyelidiki beraksinya proses evolusi.

15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal


sebagai berikut :

1. Suatu ekosistem merupakan suatu sistem biologik yang terdri atas anasir
nonbiologik dan ansir biotik. Dan sumber daya adalah semua yang diperlukan oleh
makhluk atau kelompok makhluk dan merupakan sesuatu yang berguna.
2. Berdasarkan hubungan antara suhu tubuh hewan dan suhu lingkungannya, maka
hewan dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu pikiloterm dan homeoterm.
3. Setiap organisme mempunyai suatu maksimum dan mnimum ekologis yang
merupakan batas atas dan batas bawah dari kisaran toleransi organisme itu
terhadap kondisi faktor lingkungannya.
4. Aspek terapan dari kisaran toleransi antara lain berupa pengendalian hama,
perubahan ekosistem dan indikator ekologi.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan antara lan suhu, air dan kelembaban,
interaksi suhu-kelembaban, cahaya matahari, gas-gas atmosfer, arus dan tekanan,
garam-garam dan pencemar.

3.2. Saran

Berdasarkan hasil penulisan makalah ini penulis ingin memberikan beberapa saran
sebagai berikut :

1. Mahasiswa dapat melakukan berbagai penelitian dalam bidang ekologi hewan untuk
melihat adaptasi hewan poikiloterm dan homeoterm ataupun untuk melihat berbagai
jenis hewan yang berperan sebagai indikator ekologi.
2. Disarankan kepada pemerintah dan masyarkat agar dapat lebih memperhatikan serta
menjaga lingkungan agar menjadi tempat yang nyaman bagi organisme untuk bertahan
hidup.

16
DAFTAR PUSTAKA

Duan, Frans Kia. 2012. Bahan Ajar Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. UNC Press.
Kupang.

Toly, Siprianus R. 2006. Bahan Ajar Ekologi Hewan. UNC Press. Kupang.

https://www.academia.edu/11763398/Makalah_Ekologi_Hewan_Tentang_Hewan_and_Lingk
ungannya

17

Anda mungkin juga menyukai