Disusun oleh:
Nike Mardia Agustina
3H Perawatan D3 Teknik Mesin
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum “heat treatment” adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang heat treatment
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang jenis –jenis heat
treatment
3. Mahasiswa dapat mengetahui seberapa keras bahan yang
diujikan menggunakan uji Rockwell.
1.3 Batasan Masalah
Ruang lingkup dari pengujian kekerasan ini yaitu hanya mengetahui
prosedur pegujian serta nilai kekerasan suatu logam. Adapun batasan
masalahnya adalah material uji yaitu baja Amutit, VCL, VCN, S45C.
Kemudian baja yang belum/sudah mengalami proses treatment diuji
dengan uji kekerasan rockwell dengan indentor intan
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan laporan ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, tujuan
percobaan, batasan masalah, sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini menjelaskan mengenai tinjauan pustaka yang berisi
mengenai teori singkat dari percobaan yang dilakukan.
BAB III : METODE
Dalam bab ini menjelaskan mengenai metode dalam pegujian.
BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab menjelaskan mengenai data percobaan pengujian dan
pembahasan.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dari percobaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Heat Treatment
Heat Treatment ( perlakuan panas ) adalah salah satu proses untuk
mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan specimen pada
elektrik terance ( tungku ) pada temperature rekristalisasi selama periode
waktu tertentu kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara,
air, air faram, oli dan solar yang masing-masing mempunyai kerapatan
pendinginan yang berbeda-beda.
Sifat-sifat logam yang terutama sifat mekanik yang sangat dipengaruhi
oleh struktur mikrologam disamping posisi kimianya, contohnya suatu
logam atau paduan akan mempunyai sifat mekanis yang berbeda-beda
struktur mikronya diubah. Dengan adanya pemanasan atau pendinginan
degnan kecepatan tertentu maka bahan-bahan logam dan paduan
memperlihatkan perubahan strukturnya.
Perlakuan panas adalah proses kombinasi antara proses pemanasan
aatu pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat
untuk mendaratkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka
kecepatan pendinginan dan batas temperature sangat menetukan.
2.2 Proses – Proses Heat Treatment
Ada beberapa proses-proses pada perlakuan pada Heat Treatment yaitu
sebagai berikut:
1. Hardening ( pengerasan )
Hardening bertujuan untuk memperoleh kekerasan
maksimum pada baja. Untuk baja hypoeutectoid dipanaskan
sampai (20-30)ºC. Untuk baja eutectoid dan hypoeutectoid (20-
30)ºC diatas Ac1. Selanjutnya ditahan pada temperatur tersebut
selama waktu tertentu dan didinginkan cepat didalam air atau oli,
tergantung pada komposisi kimia, bentuk dan dimensinya.
Kecepatan pendinginan harus sesuai supaya transformasi yang
sempurna dari austenit menjadi martensit. Kekerasan maksimum
yang dapat dicapai setelah proses hardening sangat tergantung
pada karbon. Semakin tinggi kadar karbon, semakin tinggi pula
kekerasan maksimum yang dicapai.
OBTINABLE
GRADE HARDENING QUENCHING
HRC AFTER
BOHLER TEMP (°C) AGENT
QUENCHING
OIL: BRINE
US ULTRA (500 -550) OIL: 52 - 56
Hot Work 1020 - 1060
2 DRY AIR AIR: 50 - 54
Steel BLAST
1040 - 1080 - 48 - 51
OIL: BRINE
(400 - 450 °C
SPECIAL
920 - 980 OR 220 - 250 63 - 65
K
°C) DRY AIR
BLAST
Plastic CASE
K456 OIL 45 - 50
Molding HARDENING
Steel TEMPERETURE
OIL 48 - 50
KW 35M 1000 - 1050
AIR 46 - 49
Stainlees AS 2 W 1050 - 1400 WATER/AIR AUSTENIT
Steel STRUCTURE
AUSTENIT
A4W 1050 - 1400 WATER/AIR
STRUCTURE
FERLITE +
KWB 980 - 1040 OIL CARBITE
STRUCTURE
AUSTENIT
Heat FF 1050 - 1100 WATER/AIR
STRUCTURE
Resisting
AUSTENIT
Steel FFB 1050 - 1100 WATER/AIR
STRUCTURE
Wear CHRONIT
820 - 840 OIL -
Resistant VM
2. Anneling
Proses anneling atau melunakkan baja adalah prose
pemanasan baja di atas temperature kritis ( 723 °C )selanjutnya
dibiarkan bebrapa lama sampai temperature merata disusul dengan
pendinginan secara perlahan-lahan sambil dijaga agar temperature
bagian luar dan dalam kira-kira samahingga diperoleh struktur
yang diinginkan dengan menggunakan media pendingin udara.
Tujuan proses anneling :
1. Melunakkan material logam
2. Menghilangkan tegangan dalam / sisa
3. Memperbaiki butir-butir logam.
3. Normalizing
Normalizing adalah suatu proses pemanasan logam hingga
mencapai fase austenit yang kemudian diinginkan secara perlahan-
lahan dalam media pendingin udara. Hasil pendingin ini berupa
perlit dan ferit namunhasilnya jauh lebih mulus dari anneling.
Prinsip dari proses normalizing adalah untuk melunakkan logam.
Namun pada baja karbon tinggi atau baja paduan tertentu dengan
proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak. Mungkin
berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon.
4. Tempering
Proses tempering adalah pemanasan baja sampai
temperature sedikit di bawah temperature kritis, kemudian
didiamkan dalam tungku dan suhunya dipertahankan sampai
merata selama 15 menit. Selanjutnya didinginkan dalam media
pendingin. Jika kekerasan turun, maka kekuatan tarik turun pula.
Dalamhal ini keuletan dan ketangguhan baja akan meningkat.
Meskipun proses ini akan menghasilkan baja yang lebih lemah.
Proses ini berbeda dengan anneling karena dengan proses ini
belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa
pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon.
Tempering dibagi dalam:
a. Tempering pada suhu rendah (150-300˚C).
Tujuannya hanya untuk mengurangi tegangan kerut dan
kerapuhan dari baja. Proses ini digunakan untuk alat kerja yang
tidak mengalami beban yang berat, seperti misalnya alat – alat
potong mata bor.
b. Tempering pada suhu menengah (300-500˚C)
Tujuannya menambah keuletan dan kekerasannya menjadi
sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat kerja yang
mengalami beban berat seperti palu, pahat, pegas (Mustofa Ahmad
Ary, 2006)
c. Tempering pada suhu tinggi(500-650˚C)
Tujuannya untuk memberikan daya keuletan yang besar dan
sekaligus kekerasan menjadi agak rendah. Proses ini digunakan
pada roda gigi, poros, batang penggerak dan lain – lain.
2.3 Jenis – Jenis Pengerasan Permukaan
1. Karburasi
Cara ini sudah lama dikenaloleh orang sejak dulu. Dalam
cara ini, besi dipanaskan di atas suhu dalam lingkungan yang
mengandung karbon, baik dalan bentuk padat, cair ataupun gas.
Beberapa bagian dari cara kaburasi yaitu kaburasi padat, kaburasi
cair dan karburasi gas.
2. Karbonitiding
Adalah suatu proses pengerasan permukaan dimana baja
dipanaskan di atas suhu kritis di dalam lingkungan gas dan terjadi
penyerapan karbon dan nitrogen. Keuntungan karbonitiding adalah
kemampuan pengerasan lapisan luar meningkat bila ditambahkan
nitrogen sehingga dapat diamfaatkan baja yang relative murah
ketebalan lapisan yang tahan antara 0,80 sampai 0,75 mm.
3. Cyaniding
Adalah proses dimana terjadi absobsi karbon dan nitrogen
untuk memperoleh specimen yang keras pada baja karbon rendah
yang sulit dikeraskan.proses ini tidak bisa dilakukan sembarangan.
Prosesini tidak sembarang.
4. Nitriding
Adalah proses pengerasan permukaan yang dipanaskan
sampai ± 510°c dalam lingkungan gas ammonia selama beberapa
waktu. Metode pengerasan kasus ini menguntungkan karena fakta
bahwa kasus sulit diperoleh dari pada karburasi. Banyak bagian –
bagian mesin sperti gear dapat dikerjakan dengan cara ini.banyak
bagian mesin seperti gear yang dapat dikerjakan dengan cara ini.
Proses ini melibatkan theexposing dari bagian untuk gas
amonia atau bahan nitrogen lainnya selama 20 sampai 100 jam
pada 950 ° F. The inwhich kontainer pekerjaan dan gas amoniak
dibawa dalam kontak harus kedap udara dan mampu
mempertahankan sirkulas suhu andeven.
2.4 Media Pendingin
2.4.1 Contoh Media Pendingin Yang Digunakan
Adapun media pendingin yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1. Brine (air + 10 % garam dapur)
2. Air
Sangat umum digunakan sebagai quenching, dan juga
mudah diperoleh sehingga tidak adakesulitan dalam
pengambilan dan penyimpanan.
Panas jenis dan konduktivitas termal tinggi, sehingga
kemampuan mendinginkannya tinggi.
Dapat mengakibatkan distorsi
4. Oli
Oli memiliki nilai viskositas atau kekentalan yang tertinggi
dibandingkan dengan media pendingin lainnya dan massa jenis
yang rendah sehingga laju pendinginannya lambat.
5. Udara tidak memilki viskositas tetapi hanya memiliki
massa jeni sehingga laju pendinginannya sangat lambat.
2.5 Hubungan Fe – C dengan Heat Treatment
Gambar 2.1 Hubungan Fe – C Dengan Heat Treatment
Dari diagram diatas dapat kita lihat bahwa pada proses pendinginan
perubahan – perubahan pada struktur kristal dan struktur mikro sangat
bergantung pada komposisi kimia. Pada kandungan karbon mencapai
6.67% terbentuk struktur mikro dinamakan Sementit Fe3C (dapat dilihat
pada garis vertical paling kanan). Sifat sementit yaitu sangat keras dan
sangat getas Pada sisi kiri diagram dimana pada kandungan karbon yang
sangat rendah, pada suhu kamar yang terbentuk struktur mikro ferit.
Pada baja dengan kadar karbon 0.83%, struktur mikro yang
terbentuk adalah Perlit, kondisi suhu dan kadar karbon ini dinamakan titik
Eutectoid. Pada baja dengan kandungan karbon rendah sampai dengan titik
eutectoid, struktur mikro yang terbentuk adalah campuran antara ferit dan
perlit. Pada baja dengan kandungan titik eutectoid sampai dengan 6.67%,
struktur mikro yang terbentuk adalah campuran antara perlit dan
sememntit. adalah campuran antara perlit dan sementit.
Pada saat pendinginan dari suhu leleh baja dengankadar karbon
rendah, akan terbentuk struktur mikro austenite. Pada baja kadar karbon
yang lebih tinggi, suhu leleh turun dengan naiknya kadar karbon,
perlalihan bentuk langsung dari leleh austenite.
2.6 Hubungan Heat Treatment Dengan Pendinginan
1. Heat Treatment dengan pendinginan tak menerus
Heat treatment dengan pendinginan tak menerus adalah jika suatu
baja yang didinginkan dari suhu yang lebih tinggi dan kemuian ditahan
pda suhu yang lebih rendah selama waktu tertentu, maka akan
menghasilkan struktur beda.
Penjelasan diagram :
Pada proses pendinginan secara perlahan seperti pada garis (a)
akan menghasilkan struktur mikro perlit dan ferlit. Pada proses
pendinginan sedang, seperti, pada garis (b) akan menghasilkan struktur
mikro perlit dan bainit.
Pada proses pendinginan cepat, seperti garis ( c ) akan menghasilkan
struktur mikro martensit.
2.7 Kekerasan
2.7.1 Pengertian Kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai ketahanan sebuah benda
(benda kerja) terhadap penetrasi/daya tembus dari bahan lain yang
kebih keras penetrator). Kekerasan merupakan suatu sifat dari
bahan yang sebagian besar dipengaruhi oleh unsur-unsur
paduannya dan kekerasan suatu bahan tersebut dapat berubah bila
dikerjakan dengan cold worked seperti pengerolan, penarikan,
pemakanan dan lain-lain serta kekerasan dapat dicapai sesuai
kebutuhan dengan perlakuan panas.
2.7.2 Faktor – Faktotr Yang Mempengaruhi Kekerasan
Faktor – Faktor yang mempengaruhi kekerasan.
Kekerasan suatu material logam dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya :
1. Kadar Karbon
Semakin tinggi kadar karbon, maka logam akan semakin
keras namun rapuh. Kadar karbon sebesar 0,6 – 1% merupakan
kadar karbon yang sangat berpengaruh pada kekerasan logam.
Setelah lebih dari 1% maka kadar karbon tidak berpengaruh
pada nilai kekerasannya.
2. Unsur paduan
Unsur paduan akan mempengaruhi sifat mekanik baja,
beberapa unsure paduan yang terdapat pada baja beserta
pengaruhnya pada sifat mekanik antara lain:
a. Nikel berfungsi:
1. Meningkatkan kekuatan dan kekerasan baja
2. Meningkatkan ketahanan korosi
3. Meningkatkan keuletan dan tahan gesek
b. Chromium berfungsi :
1. Menambah kekerasan baja
2. Membentuk karbida
3. Menambah keelastisan, sehingga baik buat
pegas
c. Mangan berfungsi:
1. Meningkatkan kekerasan
2. Meningkatkan ketahanan terhadap suhu tinggi
3. Membuat baja mengkilap
3. Perlakuan panas
Pengaruh perlakuan akan mempengaruhi kekerasan logam
tergantung dari perlakuan apa yang diberikan. Annealing akan
menurunkan kekerasan baja. Hardening akan meningkatkan
kekerasan baja. Tempering akan menurunkan kekerasan baja
dibawah perlakuan panas Hardening. Normalising akan
meningkatkan kekerasan baja dibandingkan keadaan awal baja
atau baja tanpa perlakuan panas.
4. Bentuk dan dimensi butir
Material dengan ukuran butir kecil akan memiliki kekerasan
yang tinggi sedangkan butir besar akan memiliki kekerasan
yang rendah. Material dengan butir halus akan memiliki
kekerasan tinggi dibandingkan dengan material dengan butir
kasar.
2.7.3 Metode Uji Kekerasan
Kekerasan suatu material dapat adalah ketahanan material
tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih
keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan
(scratching), pantulan ataupun ndentasi dari material keras
terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme
penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:
1. Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam
dunia metalurgi dan material lanjut, tetapi masih sering
dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan
oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di
dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal
sebagai skala Mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk
kekerasan yang paling rendah, sebagaimana dimiliki oleh
material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan
tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan. Dalam skala
Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia ini diwakili
oleh: Talc, Orthoclase Gipsum, Quartz, Calcite, Topaz,
Fluorite, Corundum, Apatite, Diamond (intan)
Prinsip pengujian: bila suatu mineral mampu
digores oleh Orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores
oleh Apatite (no. 5), maka kekerasan mineral tersebut
berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal ini, jelas terlihat
bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa
ketidak akuratan nilai kekerasan suatu material. Bila
kekerasan mineral-mineral diuji dengan metode lain,
ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar antara 1-9 saja,
sedangkan nilai 9-10 memiliki rentang yang besar.
2. Metode elastik/pantul (rebound)
Dengan metode ini, kekerasan suatu material
ditentukan oleh alat Scleroscope yang mengukur tinggi
pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu
yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan
benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan
mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan
tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur,
maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.
3. Metode Indentasi
Tipe pengetesan kekerasan material/logam ini
adalah dengan mengukur tahanan plastis dari permukaan
suatu material komponen konstruksi mesin dengan
speciment standar terhadap “penetrator”. Adapun beberapa
bentuk penetrator atau cara pegetesan ketahanan permukaan
yang dikenal adalah :
a. Ball indentation test [ Brinel]
b. Pyramida indentation [Vickers]
c. Cone indentation test [Rockwell]
d. Uji kekerasan Mikro
Berikut penjelasannya :
a. Metode Brinell
Pengujian kekerasan dengan metode Brinnel bertujuan
untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya
tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan pada
permukaan material uji tersebut (speciment). Idealnya, pengujian
Brinnel diperuntukan bagi material yang memiliki kekerasan
Brinnel sampai 400 HB, jika lebih dati nilai tersebut maka
disarankan menggunakan metode pengujian Rockwell ataupun
Vickers. Angka Kekerasan Brinnel (HB) didefinisikan sebagai hasil
bagi (Koefisien) dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan
dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan
(injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Identor (Bola
baja) biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari
bahan Karbida Tungsten. Jika diameter Identor 10 mm maka beban
yang digunakan (pada mesin uji) adalah 3000 N sedang jika
diameter Identornya 5 mm maka beban yang digunakan (pada
mesin uji) adalah 750 N.
Diameter bola dengan gaya yang di berikan mempunyai
ketentuan, yaitu:
Jika diameter bola terlalu besar dan gaya yang di berikan
terlalu kecil maka akan mengakibat kan bekas lekukan yang
terjadi akan terlalu kecil dan mengakibat kan sukar diukur
sehingga memberikan informasi yang salah.
Jika diameter bola terlalu kecil dan gaya yang di berikan
terlalu besar makan dapat mengakibat kan diameter bola pada
benda yang di uji besar (amblas nya bola)sehingga
mengakibat kan harga kekerasan nya menjadi salah.
Pengujian kekerasan pada brinneel ini biasa disebut
BHN(brinnel hardness number). Pada pengujian brinnel akan
dipengaruhi oleh beberapa factor berikut:
1. Kehalusan permukaan.
2. Letak benda uji pada identor.
3. Adanya pengotor pada permukaan.
Gambar 2.4 Metode Brinnel
Rumus yang digunakan untuk kekerasan Brinnel :
Dimana :
P = Beban yang diberikan (KP atau Kgf).
D = Diameter indentor yang digunakan.
d = Diameter bekas lekukan.
Kelemahan Metode Brinell
Tidak dapat digunakan pada benda yang tipis dan
kecil.
Butuh ketelitian saat mengukur diameter lekukan
hasil indentasi
Kelebihan Metode Brinell
Sangat dianjurkan untuk material-material atau
bahan-bahan uji yang bersifat heterogen
b. Pengujian Vickers (HV/VHN)
Dikenal juga sebagai Diamond Pyramid Hardness test
(DPH). Uji kekerasan vickers menggunakan indentor piramida
intan, besar sudut antar permukaan piramida intan yang saling
berhadapan adalah 136 derajat . Ada dua rentang kekuatan yang
berbeda yaitu micro (10g samapai 1000g) dan macro (1kg sampai
100kg).Ada dua rentang kekuatan yang berbeda, yaitu micro (10g
– 1000g) dan macro (1kg – 100kg
Rumus Pengujian Vickers:
Dimana : HV = Angka kekerasan Vickers
F = Beban (kgf)
d = diagonal (mm)
F0 F1 F
Scale Indentor E
(kgf) (kgf) (kgf) Jenis Material Uji
A Diamond cone 10 50 60 100 Exremely hard materials, tugsen carbides,
dll
B 1/16" steel ball 10 90 100 130 Medium hard materials, low dan medium
carbon steels, kuningan, perunggu, dll
C Diamond cone 10 140 150 100 Hardened steels, hardened and tempered
alloys
D Diamond cone 10 90 100 100 Annealed kuningan dan tembaga
E 1/8" steel ball 10 90 100 130 Berrylium copper,phosphor bronze, dll
F 1/16" steel ball 10 50 60 130 Alumunium sheet
G 1/16" steel ball 10 140 150 130 Cast iron, alumunium alloys
H 1/8" steel ball 10 50 60 130 Plastik dan soft metals seperti timah
K 1/8" steel ball 10 140 150 130 Sama dengan H scale
L 1/4" steel ball 10 50 60 130 Sama dengan H scale
M 1/4" steel ball 10 90 100 130 Sama dengan H scale
P 1/4" steel ball 10 140 150 130 Sama dengan H scale
R 1/2" steel ball 10 50 60 130 Sama dengan H scale
S 1/2" steel ball 10 90 100 130 Sama dengan H scale
V 1/2" steel ball 10 140 150 130 Sama dengan H scale
4. Spesimen
6. Indentor
Gambar 3.7 Indentor
7. Stopwatch
1 2
3 4 5
Keterangan gambar:
1. Spesimen awal
2. Furnace sebelum dinyalakan
3. Memasukan spesimen ke dalam furnace
4. Menyalakan furnace
5. Mengambil spesimen dari furnace kemudian didinginkan
menggunakan air
2. Tempering
1. Masukkan benda kerja ke dalam dapur tempering
2. Nyalakan dapur tempering dengan meng ON kan dapur
tempering.
3. Uji kekerasan
Adapun prosedur percobaan dalam melakukan praktikum uji kekerasan
adalah :
a. Menyiapkan bahan spesimen yang akan di uji
b. Memilih indentor yang sesuai dengan spesimen uji.
c. Memasang indentor dengan cincin (ring) ke plunger rod.
d. Memilih permukaan spesimen yang rata dan bersih .
e. Memutar handwhell mendekati indentor (untuk menaikan spesimen
hingga spesimen menyentuh indentor).
f. Memberi beban awal (beban minor) yang ditandai dengan angka 3
atau titik merah pada skala minor.
g. Mengkalibrasi skala mayor ke angka 0.
h. Menyiapkan stopwatch.
i. Menekan crank handle kedepan minimal 10 detik.
j. Menarik kembali crank handle ke posisi awal.
k. Membaca nilai kekerasan pada skala mayor dan mencatatnya di tabel
hasil.
l. Melakukan percobaan selam 5 kali.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.2.1 Hardening
Adapun hasil dari peraktikum uji kekerasan yang sudah dilakukan
adalah sebagai berikuk :
Metode Rockwell
Pengujian 1 : Amutit
Percobaan Beban Waktu Identor Nilai kekerasan
(kg) (s) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 59
2 150 15 Kerucut intan 66
3 150 15 Kerucut intan 60
4 150 15 Kerucut intan 64
5 150 15 Kerucut intan 66
Rata rata 63
Pengujian 2 : VCL
Percobaan Beban Waktu Identor Nilai kekerasan
(kg) (s) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 55
2 150 15 Kerucut intan 48
3 150 15 Kerucut intan 51
4 150 15 Kerucut intan 71
5 150 15 Kerucut intan 75
Rata rata 60
Pengujian 3 : VCN
Percobaan Beban Suhu Identor Nilai kekerasan
(kg) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 55,2
2 150 15 Kerucut intan 53,2
3 150 15 Kerucut intan 50,2
4 150 15 Kerucut intan 53,2
5 150 15 Kerucut intan 45,2
Rata rata 51,4
Pengujian 4 : S45C
Dari grafik data hasil pengujian Rockwell bisa dilihat bahwa pengujian
kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell menggunakan indentor
kerucut intan dan pada saat pengujian di berikan beban sebesar 150 kg.
Hasil yang didapat dari pengujian tersebut berupa pada pengujian di dapat
nilai rata – rata sebagai berikut :
1.Pengujian 1 (Amutit) : 63
2.Pengujian 2 (VCL) : 60
3.Pengujian 3 (VCN) : 51,4
4.Pengujian 4 (S45C) : 53,6.
Hasil pengujian:
1. Amutit
Secara teori nilai kekerasan amutit setelah proses hardening hingga
suhu 8200C adalah 61 HRC - 64 HRC. Nilai kekerasan rata-rata dari
pengujian kekerasan Amutit yang kami lakukan masih dalam rentang
tersebut yaitu 63 HRC. Hal ini membuktikan bahwa proses hardening
pada bahan amutit yang kami lakukan berhasil dan sesuai dengan
prosedur yang sudah ditentukan.
2. VCL
Secara teori nilai kekerasan VCL setelah proses hardening hingga
suhu 8600C adalah 54 HRC - 67 HRC. Nilai kekerasan rata-rata dari
pengujian kekerasan VCL yang kami lakukan masih dalam rentang
tersebut yaitu 60 HRC. Hal ini membuktikan bahwa proses hardening
pada bahan VCL yang kami lakukan berhasil dan sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan.
3. VCN
Secara teori nilai kekerasan VCL setelah proses hardening hingga
suhu 8600C adalah 54 HRC - 67 HRC. Nilai kekerasan rata-rata dari
pengujian kekerasan VCL yang kami lakukan kurang dari rentang
tersebut yaitu 51,4 HRC. Hal ini dikarenakan suhu pengerasan terlalu
rendah yaitu 8600C sehingga suhu belum mencapai pada temperatur
austenit yaitu 10500C-11500C sehingga nilai kekerasan tidak tercapai
seperti yang diharapkan.
4. S45C
Secara teori nilai kekerasan material S45C setelah proses
hardening hingga suhu 8300C adalah 58 HRC. Nilai kekerasan rata-rata
dari pengujian kekerasan material S45C yang kami lakukan adalah 53,6
HRC. Nilai kekerasan tersebut memiliki selisih yang cukup besar dengan
kekerasan yang diharapkan, hal ini disebabkan oleh pemanasan yang
terlalu cepat sehingga temperatur inti dari benda kerja belum sama
dengan temperatur kulit luar pada baja.
4.2.2 Tempering
Adapun hasil dari peraktikum uji kekerasan yang sudah dilakukan adalah
sebagai berikuk :
Metode Rockwell
Pengujian 1 : Amutit
Percobaan Beban Waktu Identor Nilai kekerasan
(kg) (s) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 56
2 150 15 Kerucut intan 51
3 150 15 Kerucut intan 57
4 150 15 Kerucut intan 63
5 150 15 Kerucut intan 59
Rata rata 57,2
Percobaan 2 VCL
Percobaan Beban Waktu Identor Nilai kekerasan
(kg) (s) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 54,5
2 150 15 Kerucut intan 51
3 150 15 Kerucut intan 69
4 150 15 Kerucut intan 68
5 150 15 Kerucut intan 55
Rata rata 59,5
Percobaan 3 VCN
Percobaan Beban Waktu Identor Nilai kekerasan
(kg) (s) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 37
2 150 15 Kerucut intan 69
3 150 15 Kerucut intan 69
4 150 15 Kerucut intan 73
5 150 15 Kerucut intan 70
Rata rata 63,6
Percobaan 4
Percobaan Beban Waktu Identor Nilai kekerasan
(kg) (s) (kg/mm²)
1 150 15 Kerucut intan 68
2 150 15 Kerucut intan 67,3
3 150 15 Kerucut intan 71
4 150 15 Kerucut intan 62
5 150 15 Kerucut intan 65
Rata rata 66
Dari grafik data hasil pengujian Rockwell bisa dilihat bahwa pengujian
kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell menggunakan indentor
kerucut intan dan pada saat pengujian di berikan beban sebesar 150 kg.
Hasil yang didapat dari pengujian tersebut berupa pada pengujian di dapat
nilai rata – rata sebagai berikut :
1.Pengujian 1 (Amutit) : 57,2
2.Pengujian 2 (VCL) : 59,5
3.Pengujian 3 (VCN) : 63,6
4.Pengujian 4 (S45C) : 66
Hasil pengujian:
1. Amutit
Secara teori nilai kekerasan amutit setelah proses tempering hingga
suhu 3000C adalah 58 HRC. Nilai kekerasan rata-rata dari pengujian
kekerasan Amutit yang kami lakukan tidak sampai rentang tersebut yaitu
57,2 HRC. Hal ini membuktikan bahwa proses tempering pada bahan
amutit yang kami lakukan tidak berhasil.
2. VCL
Secara teori VCL bisa di tempering dalam retang suhu 540 – 680
(0C), tetapi pada praktikum ini tempering pada benda VCL dilakukan
pada suhu 3000C yang mengakibatkan nilai tempering tidak sesuai
dengan standarnya. Hal ini membuktikan bahwa proses tempering pada
bahan VCL yang kami lakukan tidak berhasil karena nilai kekerasan
tempering lebih tinggi dari kekerasan hardening.
3. VCN
Secara teori nilai kekerasan VCL bisa di tempering dalam retang
suhu 540 – 680 (0C), tetapi pada praktikum ini tempering pada benda
VCL dilakukan pda suhu 3000C yang mengakibatkan nilai tempering
tidak sesuai dengan standarnya.. Hal ini membuktikan bahwa proses
tempering pada bahan VCN yang kami lakukan tidak berhasil karena
nilai kekersan tempering lebih tinggi dari kekerasan hardening.
4. S45C
Secara teori nilai kekerasan material S45C setelah proses hardening
hingga suhu 180 - 2000C adalah 52 - 60 HRC. Nilai kekerasan rata-rata
dari pengujian kekerasan material S45C yang kami lakukan adalah 66
HRC tetapi kami melakukan tempering sampai suhu 3000C, semestinya
nilai kekerasan turun tetapi menjadi naik, hal ini membuktikan bahwa
proses tempering pada bahan amutit yang kami lakukan tidak berhasil.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah kami lakukan, kami
mendapatkan bahwa:
1. Terjadi kesalahan dalam proses pengujian yang akhirnya
mempengaruhi hasil pengujian. Kesalahan itu terjadi sebelum proses
heat treadment dilangsungkan. Dimana kami tidak melakukan
pengujian kekerasan sebelum pengujian, sehingga ketika terjadi
penyimpangan hasil kami tidak dapat melakukan analisis yang tepat
karena harus mengabaikan beberapa kondisi
2. Terjadi penyimpangan dari hasil pengujian pada benda yang telah
dikeraskan. Penyimpangan tersebut dapat disebakan oleh beberapa
faktor, diantaranya:
a) Temperatur hardening yang tidak sesuai
b) Proses pendinginan yang tidak bisa dilakukan secara langsung
karena harus memindahkan benda dari elektrical furnace menuju
tangki pendingin
c) Benda kerja kurang simetris. Beberapa permukaan benda kerja
landai, hal itu mempengaruhi proses pembebanan indentor ketika
pengujian dilakukan
d) Usia mesin uji kekerasan yang terlalu tua. Ketika pengujian
sempat kami alami masalah dengan mesin, yaitu nilai kekerasan
yang ditampilkan oleh mesin uji keras terlalu melenceng jauh,
sehingga harus dilakukan pengujian berkali- kali didampingi oleh
teknisi Laboratorium Uji Bahan.
Hardening Tempering
HRc
Hardening Tempering
HRc
Hardening Tempering
Hardening Tempering
BAB V
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Dari keempat bahan uji yaitu amutit, VCL, VCN, dan S45C,
material yang mempunyai nilai kekerasan tertinggi adalah amutit.
2. Temperatur hardening pada setiap bahan berbeda-beda
Material Amutit : 720-820 0C
Material VCL : 830-860 0C
Material VCN : 1050-1150 0C
Material Amutit : 800-830 0C
Temperatur sangat mempengaruhi hasil proses hardening, jika
temperatur hardening tidak mencapai atau melebihi temperatur
austenit material maka nilai kekerasan material tidak akan
mencapai nilai kekerasan yang diharapkan.
3. Dari hasil praktikum dapat diketahui bahwa nilai kekerasan tidak
sesuai dengan yang diharapkan baik pada hardening maupun
tempering.
3.2 Saran
Adapun saran yang diberikan setelah praktikum adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya gunakanlah jas laboratorium sebelum memasuki
ruangan laboratorium.
2. Praktikan diharapkan memahami materi praktik terlebih dahulu
sebelum melakukan praktikum..
3. Untuk percobaan pengujian kekerasan yang selanjutnya diharapkan
memperhatikan waktu dan cara pengoprerasian alat sebab
kesalahan pengoperasian dapat menyebabkan data yang kita ambil
tidak akurat.