HIPERTENSI SEKUNDER
Pembimbing
Disusun Oleh:
18010048
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan refarat ini.
Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada dr. Yunita Tampubolon,Sp. PD yang
telah bersedia membimbing , mengarahkan dan meluangkan waktunya kepada saya untuk
memberikan masukan serta saran hingga Referat ini selesai.
Sebagai penulis saya sadar bahwa Referat ini tidak luput dari kekurangan, sehingga saya
mohon kritik dan saran untuk perbaikan Referat ini selanjutnya, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat dan menjadi bekal ilmu untuk kemajuan pendidikan kedokteran.
Penulis
DAFTAR ISI
Menurut data WHO, jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring dengan
jumlah penduduk yang bertambah pada 2025 mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia
terkena hipertensi. WHO menyebutkan negara ekonomi berkembang memiliki penderita
hipertensi sebesar 40% sedangkan negara maju hanya 35%, kawasan Afrika memegang posisi
puncak penderita hipertensi, yaitu sebesar 40%. Kawasan Amerika sebesar 35% dan Asia
Tenggara 36%. Kawasan Asia angka kematian 1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini
menandakan satu dari tiga orang menderita hipertensi. Sedangkan di Indonesia cukup tinggi,
yakni mencapai 32% dari total jumlah penduduk.1
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi dalam dua golongan, yaitu hipertensi primer
dan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi karena
faktor yang dapat dideteksi. Dalam populasi pasien yang menderita hipertensi (tekanan darah>
140/90 mmHg), prevalensi hipertensi sekunder adalah 5-10%.1 Sebagian besar pasien usia muda
(<40 tahun) memberikan respon yang baik terhadap penanganan spesifik, sedangkan >35%
pasien dengan usia yang lebih tua tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.2
Pada pasien dewasa muda, khususnya wanita, stenosis arteri renalis yang disebabkan
displasia fibromuskular merupakan salah satu penyebab hipertensi sekunder yang paling sering,
sedangkan pada usia yang lebih tua umumnya disebabkan oleh stenosis arteri renalis
aterosklerotik. Pada orang-orang usia pertengahan, aldosteronisme merupakan penyebab
hipertensi sekunder yang paling sering ditemukan. Lebih dari 85% anak-anak dengan hipertensi
sekunder, dapat diidentifikasi penyebabnya, tersering disebabkan oleh penyakit parenkim ginjal.2
Penyebab paling umum dari hipertensi sekunder adalah penyakit parenkim ginjal,
stenosis arteri ginjal, adrenal kelenjar adenoma (aldosteronisme primer), tumor dari adrenal
gland marrow (pheochromocytoma) dan adenoma kelenjar adrenal dan pituitari (sindrom
Cushing).3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Hipertensi sekunder adalah tipe hipertensi yang memiliki penyakit dasar sebagai
penyebabnya. Hipertensi tipe ini terjadi pada 5-10% dari populasi yang diketahui mengalami
hipertensi.1,2 Permasalahan yang sering dihadapi oleh tenaga medis ialah seringkali sulit
memperkirakan diagnosis dari hipertensi sekunder, meskipun biasanya terdapat gejala klinis
yang spesifik terhadap penyakit dasar tertentu.
2. Etiologi
Persentasi dari
Kelompok Usia Etiologi yang Umum
Hipertensi Sekunder
Anak (0-12 tahun) 70-85 % Penyakit parenkim ginjal,
koartasio aorta
Remaja (12-18 tahun) 10-15% Penyakit parenkim ginjal,
koartasio aorta
Dewasa muda (19-39 5 % Disfungsi tiroid, displasia
tahun) fibromuskular, penyakit
parenkim ginjal
Usia pertengahan (40-64 8-12 % Aldosteronisme,
tahun) disfungsi tiroid,
obstruktif sleep apnea,
cushing syndrome,
peokromositoma
Usia tua (>65 tahun) 17 % Stenosis arteri renal
aterosklerotik, gagal
ginjal, hipotiroid
Penyebab Hipertensi
Tanda/Gejala Sekunder yang Pilihan tes diagnostic
mungkin
Terdapat perbedaan Koartasio aorta MRI (pada dewasa)
tekanan darah sistolik Transthoracic
antara lengan dan kaki echocardiography (pada
atau lengan kanan dan anak-anak)
kiri > 20 mmHg
Nadi femoral
lemah/lambat.
Murmur ejeksi
interskapular
2. Penyakit Renovaskular
Hipertensi renovaskular ditemukan pada 1-5% populasi yang mengalami
hipertensi, dengan 20-40% kasus merupakan kelainan berat.3 Hipertensi sekunder
banyak terjadi akibat kelainan pembuluh darah ginjal terutama pada cabang besar.5
Hipertensi renovaskular adalah konsekuensi klinis akibat kelebihan stimulasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Stenosis arteri renalis akan menyebabkan timbulnya
iskemia ginjal sehingga memicu pelepasan renin dari sel jukstaglomerular ginjal,
akibatnya terjadi hipertensi sekunder. Pelepasan renin memicu sistem kaskade yang
mana renin mempromosikan konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I yang
selanjutnya menjadi angiotensin II dan meningkatkan pelepasan aldosteron dari
kelenjar adrenal. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi berat dan pelepasan
aldosteron meningkatkan retensi sodium dan air, keduanya menimbulkan kenaikan
tekanan darah.3
Displasia fibromuskular pada orang muda serta aterosklerosis pada orang tua yang
mengenai pembuluh darah ginjal yang berasal dari aorta merupakan penyebab paling
umum dari hipertensi renovaskular. Hal ini karena kelainan-kelainan tersebut
menyebabkan stenosis pada arteri ekstra renal sehingga menekan aliran darah menuju
ginjal.3,5
3. Hiperparatiroid
Hiperparatiroid primer sering bermanifestasi sebagai hiperkalsemia disertai gejala
nonspesifik seperti kelemahan, letargi, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan
konstipasi. Pada pasien juga dapat dijumpai hipertensi. Patofisiologi dasar hipertensi
pada hiperparatiroid belum dapat dipahami secara jelas, namun hormon paratiroid
memiliki peranan penting sebagai vasokonstriksi dan nefrosklerosis.3
Peningkatan kadar kalsium memiliki efek signifikan terhadap bantalan vaskular
hingga akhirnya dapat menjadi hipertensi. Hormon paratiroid menginduksi influx
kalsium yang mungkin menyebabkan nekrosis miosit, deposisi kalsium pada bantalan
vaskular koroner, dan aterosklerosis premature. Hiperkalsemia dengan kadar kalsium
diatas 11 mg/dl terkait kadar normal dan peningkatan kadar hormon paratiroid
mengarahkan pada diagnosis hiperparatiroid.
4. Cushing’s Syndrome
Prevalensi cushing’s syndrome berkisar antara 1,4-10 tiap 1 juta populasi,
meningkat pada populasi dengan obesitas dan diabetes tak terkontrol menjadi diatas 3
hingga 4%. Gambaran klasik kelainan ini ialah moon facies, striae ungu, dan obesitas
sentral. Namun, gambaran tersebut jarang ditemukan. Cushing’s syndrome sebagai
diagnosis penyakit perlu dipertimbangkan apabila ditemukan osteoporosis, kelemahan
otot, ekimosis, hipokalemia, obesitas sentral, plethora, tekanan darah diastolik >105
mmHg, striae merah, acne, edema, hirsutisme, oligomenorea, dan toleransi glukosa
terganggu.3 Pada 80-85% kasus ditemukan hipertensi dan faktor risiko lain
aterosklerosis seperti hiperglikemia dan dislipidemia. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan infark miokardium, stroke, dan gagal jantung.3,7,8
Hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik mungkin menghasilkan aktivasi
jalur renin angiotensin. Mekanisme lain cushing’s syndrome menyebabkan hipertensi
meliputi inhibisi prostasilin, vasodilator kuat, dan ikatan kortisol pada reseptor
glukokortikoid spesifik yang selanjutnya menginisiasi efek hormon terhadap jantung,
ginjal, dan jaringan vaskular. Pergeseran volume ekstraseluler dan keseimbangan air
dan garam tidak didapatkan pada hipertensi glukokortikoid. Pseudo-cushing dapat
terjadi pada penyakit medis akut dan kronik, penyakit psikiatri, atau alkoholisme.
5. Hiperaldosteronisme Primer
Aldosteronisme primer ditemukan pada 9,1 % dari seluruh pasien dengan
hipertensi. Sekitar 30% kasus ini disebabkan oleh tumor (Conn syndrome) dan 70%
disebabkan hiperplasia adrenal.3
Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer sering ditemukan hipokalemia.
Tekanan darah secara moderat meningkat disertai nyeri kepala, pada tahap lanjut dapat
menjadi hipertensi malignan. Gejala hipokalemia seperti kelemahan otot, parestesia,
tetani dan paralisis mungkin juga ditemukan. Pada incidentaloma adrenal, identifikasi
hiperaldosteronisme primer pada pasien dengan hipertensi sangat penting karena
dibutuhkan terapi spesifik. Pembedahan dapat menjadi terapi definitif. Pada pasien
dengan idiopatik hiperaldosteronisme, pemberian antihipertensi spironolakton dapat
mengontrol tekanan darah sehingga mencegah kerusakan organ target.3,8
6. Koartasio Aorta
Koartasio aorta adalah konstriksi yang bisa terjadi dimana saja di sepanjang aliran
aorta, namun umumnya ditemukan distal pada ujung arteri subklavia sinistra, dimana
duktus botalli memasuki aorta. Koartasio aorta merupakan kelainan kardiovakular
congenital yang paling sering menyebabkan hipertensi, 7% dari semua kelainan
congenital kardiovaskular.3,5 Manifestasi klinis yang umum ditemui pada orang dewasa
adalah nyeri kepala yang tidak jelas penyebabnya, dapat pula disertai sensasi dingin
pada kaki atau pun klaudikasio.
7. Peokromositoma
Peokromositoma adalah tumor neuroendokrin yang berkembang dari medulla
adrenal pada neuron ganglionik simpatetik. Tumor yang berkembang dari jaringan
kromafin ekstraadrenal merujuk pada paraganglioma atau peokromositoma
ekstraadrenal. Tumor ini memproduksi katekolamin. Prevalensi peokromositoma
sekitar 0,1 hingga 6 % dari pasien hipertensi. Peokromositoma herediter terjadi pada
von Hippel-Landau syndrome, neoplasia endokrin multiple tipe 1, dan paraganglioma
familial. Riwayat tumor pada keluarga berhubungan dengan risiko 10-15% tumor
diderita oleh anggota keluarga yang lain. Kurang dari 10% dari semua peokromositoma
adalah malignan.3,8
Hipertensi sekunder yang terjadi sebagai akibat peokromositoma dapat stabil atau
paroksismal, disertai nyeri kepala, berkeringat, pucat, dan palpitasi, takikardi, dan
serangan panik. Gejala lain yang dapat ditemukan seperti tremor, mual, nyeri abdomen
dan dada, hipotensi ortostatik, intoleransi glukosa, dan penurunan berat badan.
5. Penegakan Diagnosis
Konfirmasi akurasi
pemeriksaan tekanan
darah, singkirakan
penyebab diet dan
medikasi
Anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan
laboratorium
a. Hipertensi Renal
Pemeriksaan USG ginjal merupakan pemeriksaan penting pada penyakit ini. Hipertensi
serta terabanya masa di abdomen pada pemeriksaan fisik diindikasikan untuk dilakukan
USG guna menemukan penyakit ginjal polikistik, Obstruktif uropati juga didiagnosis
dengan modalitas ini. Urin abnormal seperti proteinuria dan hematuria juga dapat
menjadi indikasi dilakukannya pemeriksn USG guna menilai ukuran ginjal.
Kesulitannya ialah proteinuria serta penurunan laju filtrasi glomerulus mungkin
disebabkan kerusakan organ target sebagai akibat hipertensi yang telah ada
sebelumnya, di sisi lain hipertensi mungkin terjadi sebagai hasil dari kerusakan
parenkim ginjal.5
b. Hipertensi Renovaskular
Satu-satunya tanda klinis yang dapat ditemukan pada kelainan ini ialah
peningkatan tekanan darah secara mendadak serta sulit diatasi dengan antihipertensi.
Ditemukannya bruit pada auskultasi abdomen, hipokalemia, serta penurunan progresif
fungsi ginjal dapat memperkuat kecurigaan pada kondisi ini meskipun umumnya jarang
ditemukan. CT, MRI, captopril scintigrafi, dan Doppler ultrasound merupakan
pemeriksaan noninfasif untuk mendeteksi stenosis arteri renal. 5
c. Hiperparatiroid
Pemberian tiazid dapat menunjukkan keadaan hiperparatiroid. Pembedahan dengan
mengangkat kelenjar paratiroid atau adenoma merupakan terapi definitive untuk
hiperparatiroid. Hipertensi biasanya teratasi dengan normalisasi hormon paratiroid.
Apabila hipertensi menetap maka perlu dilakukan pembedahan yang diikuti dengan
medikasi selain pemberian tiazid.3
d. Cushing’s Syndrome
Pergeseran volume ekstraseluler dan keseimbangan air dan garam tidak didapatkan
pada hipertensi glukokortikoid. Pseudo-cushing dapat terjadi pada penyakit medis akut
dan kronik, penyakit psikiatri, atau alkoholisme. Keadaan preklinik cushing’s
syndrome dapat terjadi pada seseorang dengan incidentaloma adrenal. Penggunaan
glukokortikoid eksogen merupakan diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan
pada cushing’s syndrome.3
Langkah pertama dalam diagnosis cushing’s syndrome adalah untuk menilai gambaran
klinis. Jika ditemukan hiperglikemia, hipertensi, tampilan fisik yang mengarahkan pada
cushing’s syndrome selama hipokalemia dapat menjadi langkah awal menentukan
penyebab. Tes supresi deksametason pada malam hari memiliki sensitivitas 98-99%,
pengukuran kortisol bebas pada urin 24 jam memiliki sensitifitas 95-99% dan spesifits
98%. Kadar kortisol >5µg/dl setelh tes supresi deksmetason dan kadar kortisol
>300µg/hari pada pemeriksaan urin 24 jam dapat mengarahkan pada diagnosis
cushing’s syndrome. Pengobatan cushing’s syndrome dilakukan dengan terapi spesifik
terhadap penyebab seperti pembedahan untuk mengangkat adrenal, kemoterapi, dan
pembedahan pituitri. Terapi medikasi meliputi metyrapone, bromokriptin, dan
ketokonazol. Pengobatan hipertensi sekunder dengan cara mengatasi kelebihan
kortisol, menghindari pemberian diuretik yang dapat mendeplesi kadar potassium, dan
menggunakan agen untuk memblok aksis renin angiotensin.3
e. Hiperaldosteronisme Primer
Untuk penegakan diagnosis dilakukan penilaian rasio aldosteron berbanding renin,
meskipun kegunaannya masih diperdebatkan. Pengangkatan adenoma dapat
mengurangi tekanan darah secara signifikan. Spironolakton preoperatif dapat
mengurangi hipoaldosteronisme dan hipokalemi posoperatif. Kesuksesan operasi
sekitar 70% dan pengobatan hipertensi perlu dilanjutkan hingga 3 bulan posoperatif.
Pada semua kondisi kelebihan mineralkortikoid yang lain pemberian spironolakton
dengan dosis 25-400 mg adalah terapi efektif, membutuhkan sekitar 2 bulan untuk
normalisasi tekanan darah.3
f. Peokromositoma
Diagnosis ditegakkan dengan kenaikan katekolamin atau metabolitnya dalam plasma
maupun urin. Apabila kenaikan hanya sedikit maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut seperti pemeriksaan kromogranin A. Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu
ditemukan lokasi tumor. MRI atau CT scan dapat mendeteksi nodul >1cm pada
peokromositoma adrenal. 90% dari tumor ini terletak di kelenjar adrenal dan 98% di
abdomen.3,5 Pengendalian tekanan darah dan volume intravaskular adalah dua hal
utama yang perlu diperhatikan selama menunggu tes konfirmatif. Alpha-blocker seperti
fenoksibenzamin, terazosin, dan doksazosin dapat digunakan untuk mengatasi
konstriksi vaskular kronik. Calcium canal blocker juga dapat membantu mengontrol
tekanan darah dan meminimalkan vasospaseme. Beta-blocker juga dapat membantu
tetapi hanya setelah pengobatan adekuat dengan alpha-blocker untuk mencegah
vasokonstriksi dan hipertensi krisis terkait reseptor alpha.3
g. Koartasio Aorta
Koartasio aorta adalah konstriksi yang bisa terjadi dimana saja di sepanjang aliran
aorta, namun umumnya ditemukan distal pada ujung arteri subklavia sinistra, dimana
duktus botalli memasuki aorta. Koartasio aorta merupakan kelainan kardiovakular
congenital yang paling sering menyebabkan hipertensi, 7% dari semua kelainan
congenital kardiovaskular.3,5 Manifestasi klinis yang umum ditemui pada orang dewasa
adalah nyeri kepala yang tidak jelas penyebabnya, dapat pula disertai sensasi dingin
pada kaki atau pun klaudikasio. Diagnosis ditegakkan dengan membandingkan tekanan
darah pada lengan dan tungkai. Normalnya, tekanan darah pada tungkai lebih tinggi
dibandingkan pada lengan, hal sebaliknya terjadi pada pasien dengan koartasio aorta.
Selain itu nadi femoral mungkin hilang.3,5 Pada auskultasi mungkin ditemukan bruit
pada bagian depan dan belakang dinding dada khususnya pada area periskapular
sebagai akibat aliran turbulan pembuluh kolaterl atau akselarasi aliran pada bagian
yang mengalami konstriksi. Pada kasus dengan stenosis berat, pulsasi pada leher dan
dinding dada mungkin terlihat. Apabila pada seorang pasien kita mencurigai koartasio
aorta, maka perlu dilakukan skrining dengan ekokardiografi transtorakal. Rekonstruksi
gambaran CT/MRI tiga dimensi sangat menolang dalam perencanaan pembedahan
yang merupakan pilihan pada sebagian besar kasus dengan gejala klinis.3
ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan
vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang system-RAA.
Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium
Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi
secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian
ACEI atau Beta Blocker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus
menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%,
pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint
National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC 7) tahun 2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah
130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah
diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.
Terapi Medikamentosa
Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum
aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian
obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup
efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya
obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping
seperti impotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal
sehingga pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini
ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang
lebih ringan daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalam jangka panjang,
walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu dikurangi asupan garam
dalam makanan, berolahraga secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari
konsumsi alkohol.
Bila pasien tidak toleran dengan spironolaktan, dapat diberikan amiloride hingga
dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium
dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat
antihipertensi lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah
tetapi tinggi dan dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan
gangguan pada jantung.
Terapi utama pada kondisi ini adalah tindakan operasi. Persiapan sebelum operasi
yang perlu dilakukan adalah mengontrol tekanan darah menggunakan α dan β-blocker.
Operasi dapat dilakukan secara konvensional ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat
terjadi hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi,
namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-
up harus dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering menimbulkan gejala klinis.
Untuk jenis yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan α
dan β -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan
siklosfosfamid, vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak
bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai
90%.
Terapi Non-farmakologis
Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat
dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis
dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan
klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa
pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam
keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.
Terapi Farmakologis
Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan
sebelumnya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak
begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah
yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat mengganggu
perkembangan janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada
kehamilan masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit
sehingga tak cukup memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik.
Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan
hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada
keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin.
Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >105 –
110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi
pendarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat,
mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari 75 mmHg.
Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada tabel berikut:
KESIMPULAN
1. Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi arterial dengan penyebab yang dapat
diidentifikasi, terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami hipertensi.
2. Penyebab paling umum hipertensi sekunder pada anak dan remaja (0-18 tahun) adalah
parenkim ginjal dan koartasio aorta, pada dewasa muda (19-39 tahun) adalah disfungsi
tiroid, dysplasia fibromuskular, dan penyakit parenkim ginjal, pada usia pertengahan (40-
64 tahun) adalah aldosteronisme, disfungsi tiroid, dan obstruktif sleep apnea, serta pada
usia tua (>65 tahun) adalah stenosis arteri renal aterosklerotik dan gagal ginjal.
3. Pendekatan umum pada pasien yang dicurigai mengalami hipertensi sekunder pertama kali
sebaiknya mengkonfirmasi pengukuran tekanan darah kemudian evaluasi diet serta
medikasi yang diterima pasien. Apabila hal-hal diatas tidak ada yang menyebabkan
hipertensi maka investigasi dapat dilakukan untuk menilai penyebab fisiologis tertentu.
4. Hipertensi sekunder dapat disebabkan karena kelainan ginjal, endokrin, neurologi, dan
aorta. Selain itu hipertensi juga dapat muncul pada kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rimoldi SF, Scherer U, Messerli FH. Secondary Arterial Hypertension: when, who, and how to
screen? Eurheart Journal. http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ eht534.
2. Viera AJ, Neutze DM. Diagnosis of Secondary Hypertension: An Age Based Approach.
American Family Physician. 2010; 82 (12):1471-1477.
3. Chiong JR, Aronow WS, Khan IA, Nair CK, Vijayaraghavan K, Dart RA, Behrenbeck
TR, Geraci SA. Secondary Hypertension: Current Diagnosis and Treatment. International
Journal of Cardiology. 2008; 124: 6-21.
4. Tessy A. 2009. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing.
5. Nadeak B. Hipertensi Sekunder akibat Perubahan Histologi Ginjal. Seri Pediatri. 2012;
13(5): 311-315.
6. Samara D. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder akibat Perbedaan Kelainan Anatomi
Renovaskular pada Usia Muda dan Tua. J Kedokteran Trisakti. 2001; 20 (1): 27-40.
7. Ker JA. Secondary Hypertension. S Afr Farm Pract. 2011; 53 (5):441-442.
8. Taler SJ. Secondary Cause of Hypertension. Prim Care Clin Office Pract. 2008; 35: 489-
500.
9. Kallistratos MS, Giannakopoulos A, German V. Diagnostic Modalities of the Most
Common Forms of Secondary Hypertension. Hellenic Journal of Cardiology. 2010;
51:518-529.
10. Tessy A. 2009. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing
11. National Heart Foundation of Australia. Guide to Management of Hypertension 2008.
Heart Foundation. www.heartfoundation.org.au.