Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

HIPERTENSI SEKUNDER

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mengikuti

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSU HKBP Balige

Pembimbing

dr. Yunita Tampubolon, Sp. PD

Disusun Oleh:

Agnes Novarani Marbun

18010048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan refarat ini.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada dr. Yunita Tampubolon,Sp. PD yang
telah bersedia membimbing , mengarahkan dan meluangkan waktunya kepada saya untuk
memberikan masukan serta saran hingga Referat ini selesai.

Sebagai penulis saya sadar bahwa Referat ini tidak luput dari kekurangan, sehingga saya
mohon kritik dan saran untuk perbaikan Referat ini selanjutnya, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat dan menjadi bekal ilmu untuk kemajuan pendidikan kedokteran.

Balige, Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2


DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
1. Definisi……………………………………………………………………………………………………………….5
2. Etiologi……………………………………………………………………………………………………………….5
3. Tanda dan gejala Hipertensi Sekunder…………………………………………………………….6
4. Patofisiologi Hipertensi Sekunder……………………………………………………………………7
5. Penegakan Diagnosis………………………………………………………………………………………12
6. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder……………………………………………………………….16
BAB 3KESIMPULAN...................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23
BAB 1
PENDAHULUAN

Menurut data WHO, jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring dengan
jumlah penduduk yang bertambah pada 2025 mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia
terkena hipertensi. WHO menyebutkan negara ekonomi berkembang memiliki penderita
hipertensi sebesar 40% sedangkan negara maju hanya 35%, kawasan Afrika memegang posisi
puncak penderita hipertensi, yaitu sebesar 40%. Kawasan Amerika sebesar 35% dan Asia
Tenggara 36%. Kawasan Asia angka kematian 1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini
menandakan satu dari tiga orang menderita hipertensi. Sedangkan di Indonesia cukup tinggi,
yakni mencapai 32% dari total jumlah penduduk.1

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi dalam dua golongan, yaitu hipertensi primer
dan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi karena
faktor yang dapat dideteksi. Dalam populasi pasien yang menderita hipertensi (tekanan darah>
140/90 mmHg), prevalensi hipertensi sekunder adalah 5-10%.1 Sebagian besar pasien usia muda
(<40 tahun) memberikan respon yang baik terhadap penanganan spesifik, sedangkan >35%
pasien dengan usia yang lebih tua tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.2

Pada pasien dewasa muda, khususnya wanita, stenosis arteri renalis yang disebabkan
displasia fibromuskular merupakan salah satu penyebab hipertensi sekunder yang paling sering,
sedangkan pada usia yang lebih tua umumnya disebabkan oleh stenosis arteri renalis
aterosklerotik. Pada orang-orang usia pertengahan, aldosteronisme merupakan penyebab
hipertensi sekunder yang paling sering ditemukan. Lebih dari 85% anak-anak dengan hipertensi
sekunder, dapat diidentifikasi penyebabnya, tersering disebabkan oleh penyakit parenkim ginjal.2

Penyebab paling umum dari hipertensi sekunder adalah penyakit parenkim ginjal,
stenosis arteri ginjal, adrenal kelenjar adenoma (aldosteronisme primer), tumor dari adrenal
gland marrow (pheochromocytoma) dan adenoma kelenjar adrenal dan pituitari (sindrom
Cushing).3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Hipertensi sekunder adalah tipe hipertensi yang memiliki penyakit dasar sebagai
penyebabnya. Hipertensi tipe ini terjadi pada 5-10% dari populasi yang diketahui mengalami
hipertensi.1,2 Permasalahan yang sering dihadapi oleh tenaga medis ialah seringkali sulit
memperkirakan diagnosis dari hipertensi sekunder, meskipun biasanya terdapat gejala klinis
yang spesifik terhadap penyakit dasar tertentu.

2. Etiologi

Terdapat banyak daftar penyakit yang mungkin berpotensi menimbulkan hipertensi


sekunder. Dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab tersebut antara lain dapat diperhatikan
distribusi yang muncul berdasarkan usia seperti yang diuraiakan pada tabel berikut

Penyebab paling umum hipertensi sekunder menurut usia2

Persentasi dari
Kelompok Usia Etiologi yang Umum
Hipertensi Sekunder
Anak (0-12 tahun) 70-85 % Penyakit parenkim ginjal,
koartasio aorta
Remaja (12-18 tahun) 10-15% Penyakit parenkim ginjal,
koartasio aorta
Dewasa muda (19-39 5 % Disfungsi tiroid, displasia
tahun) fibromuskular, penyakit
parenkim ginjal
Usia pertengahan (40-64 8-12 % Aldosteronisme,
tahun) disfungsi tiroid,
obstruktif sleep apnea,
cushing syndrome,
peokromositoma
Usia tua (>65 tahun) 17 % Stenosis arteri renal
aterosklerotik, gagal
ginjal, hipotiroid

3. Tanda dan gejala Hipertensi Sekunder 1,2

Penyebab Hipertensi
Tanda/Gejala Sekunder yang Pilihan tes diagnostic
mungkin
Terdapat perbedaan Koartasio aorta MRI (pada dewasa)
tekanan darah sistolik Transthoracic
antara lengan dan kaki echocardiography (pada
atau lengan kanan dan anak-anak)
kiri > 20 mmHg
Nadi femoral
lemah/lambat.
Murmur ejeksi
interskapular

Riwayat aterosklerosis, Penyakit parenkim ginjal Kreatinin serum


diabetes, merokok, gagal USG ginjal
ginjal, nokturia
Edema perifer
Pucat
Kehilangan massa otot
Penurunan kontrol
tekanan darah
Riwayat aterosklerosis, Stenosis arteri renalis CT angiografi
diabetes, merokok Doppler USG arteri
Peningkatan kreatinin renalis
serum setelah pemberian MRI dengan kontras
4.
ACEI/ARB
Bruit renal
PAD
Bradikardi/takikardi Kelinan tiroid TSH
Intoleransi dingin/panas
Konstipas/diare
Siklus mestruasi ireguler
Kenaikan/penurunan
berat badan
Hipokalemia Aldosteronisme Renin dan aldosteron
Kelemahan otot level untuk menghitung
Poliuri, polidipsi rasio aldosteron:renin
Apnea pada saat tidur Obstructive sleep apnea Polisomnografi
Mengantuk sepanjang Sleep apnea clinical
hari score dengan nighttime
Nyeri kepala pada pagi pulse oximetry
hari
Mendengkur
Obesitas
Peningkatan lingkar leher

4. Patofisiologi Hipertensi Sekunder


A. Hipertensi Renal
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit
ginjal kronik, baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskular. Umumnya,
kenaikan tekanan darah terjadi karena respon sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA).4
1. Penyakit Parenkim Ginjal
Pada banyak penelitian telah ditemukan hubungan berarti antara penyakit
parenkim ginjal (penyakit ginjal kronik) dan hipertensi sistemik. Insiden
glomerulonefritis akut dan kronik, penyakit ginjal polikistik, nefropati diabetik, dan
hidronefrosis umum terjadi dalam populasi. Penyakit yang meningkat dengan pesat
ialah penyakit ginjal diabetik dan hipertensi.3
Penyakit parenkim ginjal merupakan salah satu penyebab paling umum dari
hipertensi sekunder. Infeksi kronis akan merusak parenkim ginjal dan pada akhirnya
membentuk jaringan parut. Jaringan parut itu akan menarik jaringan sekitarnya
termasuk jaringan vaskular arteri interlobaris yang akan mengganggu vaskularisasi
ginjal yang berakibat timbulnya hipertensi. Tumor pada parenkim ginjal akan menekan
dan mendesak arteri intra renal, menimbulkan iskemi parenkim apparatus
jukstaglomerular dan hiperfungsi sel jukstaglomerular dalam memproduksi renin,
akibatnya angiotensin II dalam darah meninggi hingga terjadi hipertensi renal. Ginjal
polikistik dapat menyebabkan hipertensi karena kista yang besar dapat menekan arteri
intra renal terutama daerah korteks sehingga timbul iskemi parenkim dan glomerular,
akibatnya renin meningkat. Selain itu, terjadi retensi air dan garam yang menyebabkan
cairan ekstaseluler bertambah.5,6

2. Penyakit Renovaskular
Hipertensi renovaskular ditemukan pada 1-5% populasi yang mengalami
hipertensi, dengan 20-40% kasus merupakan kelainan berat.3 Hipertensi sekunder
banyak terjadi akibat kelainan pembuluh darah ginjal terutama pada cabang besar.5
Hipertensi renovaskular adalah konsekuensi klinis akibat kelebihan stimulasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Stenosis arteri renalis akan menyebabkan timbulnya
iskemia ginjal sehingga memicu pelepasan renin dari sel jukstaglomerular ginjal,
akibatnya terjadi hipertensi sekunder. Pelepasan renin memicu sistem kaskade yang
mana renin mempromosikan konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I yang
selanjutnya menjadi angiotensin II dan meningkatkan pelepasan aldosteron dari
kelenjar adrenal. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi berat dan pelepasan
aldosteron meningkatkan retensi sodium dan air, keduanya menimbulkan kenaikan
tekanan darah.3
Displasia fibromuskular pada orang muda serta aterosklerosis pada orang tua yang
mengenai pembuluh darah ginjal yang berasal dari aorta merupakan penyebab paling
umum dari hipertensi renovaskular. Hal ini karena kelainan-kelainan tersebut
menyebabkan stenosis pada arteri ekstra renal sehingga menekan aliran darah menuju
ginjal.3,5

3. Hiperparatiroid
Hiperparatiroid primer sering bermanifestasi sebagai hiperkalsemia disertai gejala
nonspesifik seperti kelemahan, letargi, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan
konstipasi. Pada pasien juga dapat dijumpai hipertensi. Patofisiologi dasar hipertensi
pada hiperparatiroid belum dapat dipahami secara jelas, namun hormon paratiroid
memiliki peranan penting sebagai vasokonstriksi dan nefrosklerosis.3
Peningkatan kadar kalsium memiliki efek signifikan terhadap bantalan vaskular
hingga akhirnya dapat menjadi hipertensi. Hormon paratiroid menginduksi influx
kalsium yang mungkin menyebabkan nekrosis miosit, deposisi kalsium pada bantalan
vaskular koroner, dan aterosklerosis premature. Hiperkalsemia dengan kadar kalsium
diatas 11 mg/dl terkait kadar normal dan peningkatan kadar hormon paratiroid
mengarahkan pada diagnosis hiperparatiroid.

4. Cushing’s Syndrome
Prevalensi cushing’s syndrome berkisar antara 1,4-10 tiap 1 juta populasi,
meningkat pada populasi dengan obesitas dan diabetes tak terkontrol menjadi diatas 3
hingga 4%. Gambaran klasik kelainan ini ialah moon facies, striae ungu, dan obesitas
sentral. Namun, gambaran tersebut jarang ditemukan. Cushing’s syndrome sebagai
diagnosis penyakit perlu dipertimbangkan apabila ditemukan osteoporosis, kelemahan
otot, ekimosis, hipokalemia, obesitas sentral, plethora, tekanan darah diastolik >105
mmHg, striae merah, acne, edema, hirsutisme, oligomenorea, dan toleransi glukosa
terganggu.3 Pada 80-85% kasus ditemukan hipertensi dan faktor risiko lain
aterosklerosis seperti hiperglikemia dan dislipidemia. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan infark miokardium, stroke, dan gagal jantung.3,7,8
Hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik mungkin menghasilkan aktivasi
jalur renin angiotensin. Mekanisme lain cushing’s syndrome menyebabkan hipertensi
meliputi inhibisi prostasilin, vasodilator kuat, dan ikatan kortisol pada reseptor
glukokortikoid spesifik yang selanjutnya menginisiasi efek hormon terhadap jantung,
ginjal, dan jaringan vaskular. Pergeseran volume ekstraseluler dan keseimbangan air
dan garam tidak didapatkan pada hipertensi glukokortikoid. Pseudo-cushing dapat
terjadi pada penyakit medis akut dan kronik, penyakit psikiatri, atau alkoholisme.

5. Hiperaldosteronisme Primer
Aldosteronisme primer ditemukan pada 9,1 % dari seluruh pasien dengan
hipertensi. Sekitar 30% kasus ini disebabkan oleh tumor (Conn syndrome) dan 70%
disebabkan hiperplasia adrenal.3
Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer sering ditemukan hipokalemia.
Tekanan darah secara moderat meningkat disertai nyeri kepala, pada tahap lanjut dapat
menjadi hipertensi malignan. Gejala hipokalemia seperti kelemahan otot, parestesia,
tetani dan paralisis mungkin juga ditemukan. Pada incidentaloma adrenal, identifikasi
hiperaldosteronisme primer pada pasien dengan hipertensi sangat penting karena
dibutuhkan terapi spesifik. Pembedahan dapat menjadi terapi definitif. Pada pasien
dengan idiopatik hiperaldosteronisme, pemberian antihipertensi spironolakton dapat
mengontrol tekanan darah sehingga mencegah kerusakan organ target.3,8

6. Koartasio Aorta
Koartasio aorta adalah konstriksi yang bisa terjadi dimana saja di sepanjang aliran
aorta, namun umumnya ditemukan distal pada ujung arteri subklavia sinistra, dimana
duktus botalli memasuki aorta. Koartasio aorta merupakan kelainan kardiovakular
congenital yang paling sering menyebabkan hipertensi, 7% dari semua kelainan
congenital kardiovaskular.3,5 Manifestasi klinis yang umum ditemui pada orang dewasa
adalah nyeri kepala yang tidak jelas penyebabnya, dapat pula disertai sensasi dingin
pada kaki atau pun klaudikasio.
7. Peokromositoma
Peokromositoma adalah tumor neuroendokrin yang berkembang dari medulla
adrenal pada neuron ganglionik simpatetik. Tumor yang berkembang dari jaringan
kromafin ekstraadrenal merujuk pada paraganglioma atau peokromositoma
ekstraadrenal. Tumor ini memproduksi katekolamin. Prevalensi peokromositoma
sekitar 0,1 hingga 6 % dari pasien hipertensi. Peokromositoma herediter terjadi pada
von Hippel-Landau syndrome, neoplasia endokrin multiple tipe 1, dan paraganglioma
familial. Riwayat tumor pada keluarga berhubungan dengan risiko 10-15% tumor
diderita oleh anggota keluarga yang lain. Kurang dari 10% dari semua peokromositoma
adalah malignan.3,8
Hipertensi sekunder yang terjadi sebagai akibat peokromositoma dapat stabil atau
paroksismal, disertai nyeri kepala, berkeringat, pucat, dan palpitasi, takikardi, dan
serangan panik. Gejala lain yang dapat ditemukan seperti tremor, mual, nyeri abdomen
dan dada, hipotensi ortostatik, intoleransi glukosa, dan penurunan berat badan.
5. Penegakan Diagnosis

Evaluasi Pasien yang Dicurigai Mengalami Hipertensi Sekunder

Konfirmasi akurasi
pemeriksaan tekanan
darah, singkirakan
penyebab diet dan
medikasi

Anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan
laboratorium

Ditemukan tanda klinis Tanpa tanda klinis

Lihat tabel 2 Anak/Remaja Dewasa muda Usia pertengahan Usia tua

MRI dengan kontras, CT


Urinalisis, kultur urin, MRI dengan kontras, CT Pemeriksaan renin dan
arteri renal, TSH,
USG renal arteri renal, TSH aldosteron, TSH
urinalisis

Penegakan diagnosis Hipertensi Sekunder berdasarkan etiologi

a. Hipertensi Renal
Pemeriksaan USG ginjal merupakan pemeriksaan penting pada penyakit ini. Hipertensi
serta terabanya masa di abdomen pada pemeriksaan fisik diindikasikan untuk dilakukan
USG guna menemukan penyakit ginjal polikistik, Obstruktif uropati juga didiagnosis
dengan modalitas ini. Urin abnormal seperti proteinuria dan hematuria juga dapat
menjadi indikasi dilakukannya pemeriksn USG guna menilai ukuran ginjal.
Kesulitannya ialah proteinuria serta penurunan laju filtrasi glomerulus mungkin
disebabkan kerusakan organ target sebagai akibat hipertensi yang telah ada
sebelumnya, di sisi lain hipertensi mungkin terjadi sebagai hasil dari kerusakan
parenkim ginjal.5
b. Hipertensi Renovaskular

Satu-satunya tanda klinis yang dapat ditemukan pada kelainan ini ialah
peningkatan tekanan darah secara mendadak serta sulit diatasi dengan antihipertensi.
Ditemukannya bruit pada auskultasi abdomen, hipokalemia, serta penurunan progresif
fungsi ginjal dapat memperkuat kecurigaan pada kondisi ini meskipun umumnya jarang
ditemukan. CT, MRI, captopril scintigrafi, dan Doppler ultrasound merupakan
pemeriksaan noninfasif untuk mendeteksi stenosis arteri renal. 5

c. Hiperparatiroid
Pemberian tiazid dapat menunjukkan keadaan hiperparatiroid. Pembedahan dengan
mengangkat kelenjar paratiroid atau adenoma merupakan terapi definitive untuk
hiperparatiroid. Hipertensi biasanya teratasi dengan normalisasi hormon paratiroid.
Apabila hipertensi menetap maka perlu dilakukan pembedahan yang diikuti dengan
medikasi selain pemberian tiazid.3

d. Cushing’s Syndrome
Pergeseran volume ekstraseluler dan keseimbangan air dan garam tidak didapatkan
pada hipertensi glukokortikoid. Pseudo-cushing dapat terjadi pada penyakit medis akut
dan kronik, penyakit psikiatri, atau alkoholisme. Keadaan preklinik cushing’s
syndrome dapat terjadi pada seseorang dengan incidentaloma adrenal. Penggunaan
glukokortikoid eksogen merupakan diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan
pada cushing’s syndrome.3
Langkah pertama dalam diagnosis cushing’s syndrome adalah untuk menilai gambaran
klinis. Jika ditemukan hiperglikemia, hipertensi, tampilan fisik yang mengarahkan pada
cushing’s syndrome selama hipokalemia dapat menjadi langkah awal menentukan
penyebab. Tes supresi deksametason pada malam hari memiliki sensitivitas 98-99%,
pengukuran kortisol bebas pada urin 24 jam memiliki sensitifitas 95-99% dan spesifits
98%. Kadar kortisol >5µg/dl setelh tes supresi deksmetason dan kadar kortisol
>300µg/hari pada pemeriksaan urin 24 jam dapat mengarahkan pada diagnosis
cushing’s syndrome. Pengobatan cushing’s syndrome dilakukan dengan terapi spesifik
terhadap penyebab seperti pembedahan untuk mengangkat adrenal, kemoterapi, dan
pembedahan pituitri. Terapi medikasi meliputi metyrapone, bromokriptin, dan
ketokonazol. Pengobatan hipertensi sekunder dengan cara mengatasi kelebihan
kortisol, menghindari pemberian diuretik yang dapat mendeplesi kadar potassium, dan
menggunakan agen untuk memblok aksis renin angiotensin.3

e. Hiperaldosteronisme Primer
Untuk penegakan diagnosis dilakukan penilaian rasio aldosteron berbanding renin,
meskipun kegunaannya masih diperdebatkan. Pengangkatan adenoma dapat
mengurangi tekanan darah secara signifikan. Spironolakton preoperatif dapat
mengurangi hipoaldosteronisme dan hipokalemi posoperatif. Kesuksesan operasi
sekitar 70% dan pengobatan hipertensi perlu dilanjutkan hingga 3 bulan posoperatif.
Pada semua kondisi kelebihan mineralkortikoid yang lain pemberian spironolakton
dengan dosis 25-400 mg adalah terapi efektif, membutuhkan sekitar 2 bulan untuk
normalisasi tekanan darah.3

f. Peokromositoma
Diagnosis ditegakkan dengan kenaikan katekolamin atau metabolitnya dalam plasma
maupun urin. Apabila kenaikan hanya sedikit maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut seperti pemeriksaan kromogranin A. Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu
ditemukan lokasi tumor. MRI atau CT scan dapat mendeteksi nodul >1cm pada
peokromositoma adrenal. 90% dari tumor ini terletak di kelenjar adrenal dan 98% di
abdomen.3,5 Pengendalian tekanan darah dan volume intravaskular adalah dua hal
utama yang perlu diperhatikan selama menunggu tes konfirmatif. Alpha-blocker seperti
fenoksibenzamin, terazosin, dan doksazosin dapat digunakan untuk mengatasi
konstriksi vaskular kronik. Calcium canal blocker juga dapat membantu mengontrol
tekanan darah dan meminimalkan vasospaseme. Beta-blocker juga dapat membantu
tetapi hanya setelah pengobatan adekuat dengan alpha-blocker untuk mencegah
vasokonstriksi dan hipertensi krisis terkait reseptor alpha.3
g. Koartasio Aorta
Koartasio aorta adalah konstriksi yang bisa terjadi dimana saja di sepanjang aliran
aorta, namun umumnya ditemukan distal pada ujung arteri subklavia sinistra, dimana
duktus botalli memasuki aorta. Koartasio aorta merupakan kelainan kardiovakular
congenital yang paling sering menyebabkan hipertensi, 7% dari semua kelainan
congenital kardiovaskular.3,5 Manifestasi klinis yang umum ditemui pada orang dewasa
adalah nyeri kepala yang tidak jelas penyebabnya, dapat pula disertai sensasi dingin
pada kaki atau pun klaudikasio. Diagnosis ditegakkan dengan membandingkan tekanan
darah pada lengan dan tungkai. Normalnya, tekanan darah pada tungkai lebih tinggi
dibandingkan pada lengan, hal sebaliknya terjadi pada pasien dengan koartasio aorta.
Selain itu nadi femoral mungkin hilang.3,5 Pada auskultasi mungkin ditemukan bruit
pada bagian depan dan belakang dinding dada khususnya pada area periskapular
sebagai akibat aliran turbulan pembuluh kolaterl atau akselarasi aliran pada bagian
yang mengalami konstriksi. Pada kasus dengan stenosis berat, pulsasi pada leher dan
dinding dada mungkin terlihat. Apabila pada seorang pasien kita mencurigai koartasio
aorta, maka perlu dilakukan skrining dengan ekokardiografi transtorakal. Rekonstruksi
gambaran CT/MRI tiga dimensi sangat menolang dalam perencanaan pembedahan
yang merupakan pilihan pada sebagian besar kasus dengan gejala klinis.3

h. Hipertensi pada kehamilan


Hipertensi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal,
terjadi pada 5,9% dari seluruh kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dikelompokkan
menjadi 4 tipe, yaitu preeklamsi-eklamsi, preeklamsi pada hipertensi kronik, hipertensi
kronik, dan hipertensi gestasional. Hipertensi gestasional merupakan hipertensi yang
terjadi setelah 20 minggu kehamilan. Preekalamsi ditandai dengan proteinuria,
insufisiensi ginjal, gangguan fungsi hati, masalah neurologi (kebingungan, hiperefleks
dengan klonus, nyeri kepala berat, gangguan penglihatan, dan abnormalitas darah
seperti trombositopenia, hemolisis, dan disseminated intravaskular coagulation), dan
restriksi pertumbuhan fetal.3
Dalam pengobatan hipertensi pada kehamilan, tujuan utama ialah bisa terjadi kelahiran
yang sehat tanpa membahayakan maternal. Penggunaan antihipertensi pada kondisi ini
sangat terbatas demi keamanan janin. Metildopa adalah adalah satu-satunya antihipertensi
yang terbukti aman pada kehamilan. Pada wanita dengan hipertensi berat yang mendekati
masa kelahiran, pemberian hidralazin intravena dapat direkomendasikan. Bet-blocker
seperti labetalol cukup efektif ketika diberikan pada trimester ketiga. Pemberian beta-
blocker perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan retardasi pertumbuhan intrauterine
dan penurunan masa plasenta jika diberikan pada trimester kedua, selain itu tambahan efek
samping seperti bradikardi fetal, hipoksia, dan hipoglikemia neonatal. Calcium canal
blocker merupakan poten tokolitik sehingga dapat mempengaruhi proses kelahiran.
Nifedipin menurut penelitian yang telah dikembangkan dapat mengurangi tekanan darah
dan meningkatkan fungsi ginjal tanpa mempengaruhi alirn darah umbilical. ACE inhibitor
dan ARB dikontraindikasikan pada kehamilan sebab dapat mempengaruhi sistem ginjal
fetal, menyebabkan anuria dan oligohidramion. Diuretik pada kehamilan dapat dilanjutkan
apabila dikonsumsi semenjak sebelum konsepsi. Pada penatalaksanaan nonfarmakologi
yang utamanya adalah tirah baring dapat menurunkan tekanan darah, menunjang dieresis
dan mengurangi risiko kelahiran premature. Pada wanita hamil dengan hipertensi kronik
sensitif sodium disarankan untuk membatasi garam selama kehamilan.3

6. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder


a. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penyakit Ginjal9,10

Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka


pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi
pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik yang berperan sekaligus
untuk mengurangi edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan
dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin
aldosteron jaringan (tissue-ACE) dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal.

ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan
vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang system-RAA.
Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium
Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi
secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian
ACEI atau Beta Blocker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus
menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%,
pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint
National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC 7) tahun 2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah
130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah
diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.

Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik dapat diperlakukan


sebagai pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis
kronik dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih
dalam rentang ‘normal’, sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai.

b. Penatalaksanaan Hipertensi Renovaskular11

Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas


akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat
antihipertensi, revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang
akan diambil harus mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan
umum pasien.

Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial


biasanya sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah
mendapat pengobatan antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya
atau fungsi ginjalnya, yang menjurus kepada suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal
Artery Stenosis Intervention Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3
atau lebih jenis obat antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari
separuh pasien.

Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat


merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan
pasien HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular
aterosklerotik biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan
revaskularisasinya berhasil.

Tindakan revaskularisasinya biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan


pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRVdengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin
serum lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila
ukuran ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.

Terapi Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian


khusus harus diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan
pilihan pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya
merupakan kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral
pada pasien dengan hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, bahkan gagal ginjal akut. Umumnya dibutuhkan
kombinasi beberapa macam antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada
pasien HRV.

Revaskularisasi Dengan Tindakan Bedah

Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas,


dan beratnya lesi pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotik dilakukan tindakan
aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan
graft dari arteri hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein bypass graft pada lesi
aterosklerotik dan lesi fibromuskular. Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan
pada lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.
c. Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Hiperaldosteronisme Primer11

Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum
aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian
obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup
efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya
obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping
seperti impotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal
sehingga pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini
ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang
lebih ringan daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalam jangka panjang,
walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu dikurangi asupan garam
dalam makanan, berolahraga secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari
konsumsi alkohol.

Bila pasien tidak toleran dengan spironolaktan, dapat diberikan amiloride hingga
dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium
dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat
antihipertensi lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah
tetapi tinggi dan dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan
gangguan pada jantung.

d. Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Feokromositoma11

Terapi utama pada kondisi ini adalah tindakan operasi. Persiapan sebelum operasi
yang perlu dilakukan adalah mengontrol tekanan darah menggunakan α dan β-blocker.
Operasi dapat dilakukan secara konvensional ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat
terjadi hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi,
namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-
up harus dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering menimbulkan gejala klinis.
Untuk jenis yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan α
dan β -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan
siklosfosfamid, vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak
bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai
90%.

e. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Kehamilan3

Penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan dapat dilakukan dengn terapi


nonfarmakologis dan intervensi farmakologis.

Terapi Non-farmakologis

Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan


tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm) tidak menguntungkan. Untuk itu
walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat
dilahirkan dalam keadaan yang lebih baik.

Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat
dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis
dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan
klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa
pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam
keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.

Terapi Farmakologis

Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan
sebelumnya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak
begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah
yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat mengganggu
perkembangan janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada
kehamilan masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit
sehingga tak cukup memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik.

Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan
hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada
keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin.
Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >105 –
110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi
pendarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat,
mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari 75 mmHg.

Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan


umumnya adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan
hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan tanda kerusakan organ
target (pada hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan
darah yang normal.

Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada tabel berikut:

Obat anti hipertensi pada kehamilan

Agonis alfa sentral Metildopa, obat pilihan


Penghambat beta Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada
kehamilan trimester akhir
Penghambat alfa dan beta Labetolol, efektif seperti metildopa, pada kegawatan
dapat diberi intravena
Antagonis kalsium Nifedipine oral, isradipine i.v dapat dipakai pada
kedaruratan hipertensi
Inhibitor ACE dan Kontraindikasi, dapat mengakibatkan kematian janin
antagonis angiotensin atau abnormalitas
Diuretik Direkomendasikan apabila telah dipakai sebelum
kehamilan. Tidak direkomendasikan pada
preeklampsia
Vasodilator Hydralazine tidak dianjurkan lagi mengingat efek
perinatal
BAB 3

KESIMPULAN

1. Hipertensi sekunder merujuk pada hipertensi arterial dengan penyebab yang dapat
diidentifikasi, terjadi pada 5-10% populasi yang mengalami hipertensi.
2. Penyebab paling umum hipertensi sekunder pada anak dan remaja (0-18 tahun) adalah
parenkim ginjal dan koartasio aorta, pada dewasa muda (19-39 tahun) adalah disfungsi
tiroid, dysplasia fibromuskular, dan penyakit parenkim ginjal, pada usia pertengahan (40-
64 tahun) adalah aldosteronisme, disfungsi tiroid, dan obstruktif sleep apnea, serta pada
usia tua (>65 tahun) adalah stenosis arteri renal aterosklerotik dan gagal ginjal.
3. Pendekatan umum pada pasien yang dicurigai mengalami hipertensi sekunder pertama kali
sebaiknya mengkonfirmasi pengukuran tekanan darah kemudian evaluasi diet serta
medikasi yang diterima pasien. Apabila hal-hal diatas tidak ada yang menyebabkan
hipertensi maka investigasi dapat dilakukan untuk menilai penyebab fisiologis tertentu.
4. Hipertensi sekunder dapat disebabkan karena kelainan ginjal, endokrin, neurologi, dan
aorta. Selain itu hipertensi juga dapat muncul pada kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rimoldi SF, Scherer U, Messerli FH. Secondary Arterial Hypertension: when, who, and how to
screen? Eurheart Journal. http://dx.doi.org/10.1093/eurheartj/ eht534.
2. Viera AJ, Neutze DM. Diagnosis of Secondary Hypertension: An Age Based Approach.
American Family Physician. 2010; 82 (12):1471-1477.
3. Chiong JR, Aronow WS, Khan IA, Nair CK, Vijayaraghavan K, Dart RA, Behrenbeck
TR, Geraci SA. Secondary Hypertension: Current Diagnosis and Treatment. International
Journal of Cardiology. 2008; 124: 6-21.
4. Tessy A. 2009. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing.
5. Nadeak B. Hipertensi Sekunder akibat Perubahan Histologi Ginjal. Seri Pediatri. 2012;
13(5): 311-315.
6. Samara D. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder akibat Perbedaan Kelainan Anatomi
Renovaskular pada Usia Muda dan Tua. J Kedokteran Trisakti. 2001; 20 (1): 27-40.
7. Ker JA. Secondary Hypertension. S Afr Farm Pract. 2011; 53 (5):441-442.
8. Taler SJ. Secondary Cause of Hypertension. Prim Care Clin Office Pract. 2008; 35: 489-
500.
9. Kallistratos MS, Giannakopoulos A, German V. Diagnostic Modalities of the Most
Common Forms of Secondary Hypertension. Hellenic Journal of Cardiology. 2010;
51:518-529.
10. Tessy A. 2009. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing
11. National Heart Foundation of Australia. Guide to Management of Hypertension 2008.
Heart Foundation. www.heartfoundation.org.au.

Anda mungkin juga menyukai