Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Defisiensi biotinidase merupakan salah satu kelainan genetik yang diturunkan secara
resesif dan dapat diobati, kelainan ini disebabkan oleh gangguan dalam pemanfaatan vitamin
larut air yaitu biotin. Prevalensi sifat resesif autosom ini diperkirakan 1 : 60.000 individu dan
prevalensi semakin jarang pada kasus yang berat dimana kadar enzim dibawah 10 % yaitu 1 :
137.401 kelahiran bayi, serta setiap 1 dari 123 individu heterozygot mengalami gangguan ini.
(level of evidence 2)1,2

Defisiensi biotinidase pertama kali ditemukan tahun 1983, Wolfes dan rekan-rekannya
menunjukkan adanya defisiensi karboksilase karena kekurangan biotin pada tubuh seseorang.
Defisiensi ini diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu defisiensi enzim berat (<10% kadar
enzim) dan defisiensi enzim parsial (10-30% kadar enzim). (level of evidence 2)2

Biotin adalah bagian dari vitamin B kompleks yang diperlukan untuk mengaktifkan
sistem enzim karboksilase yang penting untuk metabolisme asam amino, karbohidrat, dan
asam lemak. Biotin biasanya diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil dan sebagian besar
didaur ulang oleh enzim biotinidase. (level of evidence 2)1,2

Manifestasi klinis dari defisiensi biotinidase tergantung dari seberapa berat


defisiensinya. Secara klinis, anak-anak dengan defisiensi biotinidase berat, jika tidak diobati
biasanya menunjukkan satu atau lebih dari gejala seperti hipotonia, kejang, ruam kulit
eksematous, alopesia, gangguan pernafasan (hiperventilasi, stridor laring, dan apnea),
konjungtivitis, kandidiasis, ataxia, keterlambatan perkembangan, gangguan pendengaran, dan
2,6
masalah penglihatan. Gangguan pernafasan, seperti stridor dang kelainan pola pernafasan
yang terjadi akibat disfungsi pusat pernafasan pada medula karena ketidakseimbangan
metabolik.7
Gejala dari defisiensi biotinidase berat biasanya muncul diantara umur 1 minggu
sampai 10 tahun, rata-rata pada usia 3.5 bulan.8 Beberapa anak dengan defisiensi biotinidase
hanya menunjukkan satu gejala, sedangkan pada anak lain dapat memiliki beberapa gejala
seperti gangguan neurologis, kulit, atau temuan kelainan pada pemeriksaan
biokimia.8Gangguan neurologisberat kejang dan hipotonia.2,6,8Beberapa anak lain mengalami
gangguan pada medula spinalis yang ditandai dengan parese spastik progresif dan

1
mielopati.12 Anak dengan usia lebih tua mungkin dapat mengalami ataxia dan keterlambatan
perkembangan.9
Tuli Sensorineural dan gangguan pada mata, seperti atrofi optikus juga telah
dijelaskan pada anak-anak yang tidak diobati.13,16 Sekitar tiga perempat dari anak-anak
dengan defisiensi biotinidase berat yang tidak diobati mengalami tuli sensorineural yang
biasanya tidak dapat membaik setelah pengobatan namun pada beberapa anak dapat diobati
dengan bantuan alat dengar ataupun dengan implan koklea.17
Gejala kulit termasuk ruam kulit, alopesia, dan infeksi virus atau jamur berulang yang
disebabkan oleh gangguan pada kekebalan tubuhakibat akumulasi metabolit beracun atau
karena defisiensi biotin tersebut. Gangguan pernapasan, seperti hiperventilasi, stridor laring,
dan apnea, dapat terjadi.18 Beberapa anak dengan defisiensi biotinidase berat yang
asimtomatik sampai remaja, ketika mereka dewasa tiba-tiba kehilangan penglihatan dengan
neuropati optik progresif, scotomata, dan paraparesis spastik.19,20 Setelah beberapa bulan
terapi biotin, gangguan mata dan paraparesis spastik mengalami perbaikan. Pada individu lain
dengan defisiensi enzim ini, paresis dan gangguan mata terjadi pada masa remaja awal.21,22
Anak-anak dengan defisiensi biotinidase parsial yang tidak diobati dapat
menunjukkan salah satu gejala di atas, tetapi biasanya gejalanya ringan dan terjadi hanya
ketika mengalami anak stres, seperti infeksi berkepanjangan atau tidak makan.23,24 Seorang
anak dengan defisiensi biotinidase parsial yang tidak diobati dengan biotin menunjukkan
gejala hipotonia, ruam kulit, dan rambut rontok selama episode gastroenteritis pada usia ~ 6
bulan. Ketika diobati dengan biotin, gejala dapat teratasi. Gejala yang dialami oleh individu
dengan defisiensi biotinidase parsial dapat lebih buruk bila mengalami stres.25
Aktivitas biotinidase dalam serum umumnya ditentukan secara kalorimetri dengan
mengukur pelepasan p - aminobenzoate dariN - biotinyl - p - aminobenzoate, analog dari
biocytin.6 Aktivitas biotinidase juga dapat ditentukan secara fluorimetri dengan
mengukurpelepasan aminoquinoline dari biotinyl-6- aminoquinoline.9 Tes lain untuk
mengukur aktivitas biotinidase dalam serum dan jaringan denganmengukur hidrolisis
biocytin atau derifat biotinyl lainnya.27,28 Individu dengan defisiensi biotinidase berat
memiliki kadar aktivitas enzim lebih rendah dari10 % serum normal. Individudengan
defisiensi biotinidase parsial memiliki kadar aktivitas enzim 10-30 % dari rata-rata
normal20,23
Terapi defisiensi biotinidase dengan suplementasi biotin oral, anak dengan
defisiensi biotinidase yang diidentifikasi melalui skrining saat bayi baru lahir akan
asimtomatik jika mendapat terapi biotin sejak awal. Semua anak dengan gejala defisiensi
2
biotinidase membaik setelah pengobatan dengan 5-10 mg oral biotin per hari namun untuk
beberapa gejala lain, seperti gangguan perkembangan, atrofi nervus optikus, dan gangguan
pendengaran, biasanyaireversibel. 34
Berikut penulis akan menyampaikan kasus seorang anak perempuan usia 2 tahun 11
bulan dengan partial biotinidase deficiency dan keluhan lain yang menyertai.

3
BAB II
KASUS

Pasien pada kasus ini adalah seorang anak perempuan usia 2 tahun 11 bulan, tinggal
di Kabupaten Semarang, nomor CM C499056. Pasien datang ke RSDK rujukan RS
Muhamadiyah Batang dengan suspek kelainan darah.
Keluhan awal dirasakan sejak 8 bulan sebelum masuk RS, anak demam naik turun,
lemas, pucat, tidak disertai batuk, pilek, diare, muntah, dibawa kemantri dikatakan demam
tifoid diberi antibiotik 5 hari tidak ada perbaikan, anak dibawa kemantri lagi dilanjutin
antibiotiknya sampai 5 hari. Anak masih demam naik turun, lemas, mata kuning, kulit tampak
kering gatal kehitaman terutama bagian kaki, selangkang, pantat, sering digaruk menjadi luka
diberikan salep tidak ada perbaikan, perut membesar, bengkak diseluruh tubuh, buang air
kecil seperti teh, BAB tidak ada keluhan. Anak dibawa ke dokter Sp.A di RSI Pekalongan
didiagnosis sakit ginjal, diberikan transfusi albumin, curcuma, puyer. Setelah 19 hari dirawat,
perut dan kaki tidak bengkak, masih demam hilang timbul, kulit masih kehitaman, anak
dipulangkan.
Kurang lebih 3 bulan SMRS anak demam naik turun, lemas sulit berjalan, disertai
pucat, kulit semakin menghitam, rambut rontok, mata kuning, perut membesar, muntah,
penurunan berat badan, perdarahan spontan tidak ada, anak dibawa ke RS Islam Pekalongan
dicek labolatorium hemoglobin 5 dl/l dan hipoalbuminemia, anak dirawat inap ditransfusi
PRC 2 unit @100 ml dan 150 ml transfusi albumin 20%, setelah 19 hari dirawat perbaikan
anak dipulangkan.
Kurang lebih 1 bulan SMRS anak masih demam, lemas, pucat, kulit kehitaman
disertai luka gatal, perut membesar, penurunan berat badan, sariawan, disertai buang air kecil
seperti teh, BAB kuning lembek. Anak dibawa ke RSI Pekalongan dirawat 2 hari, dirujuk ke
RSUD Muhammadiyah Batang, dikatakan anemia dan hipoalbuminemia ditransfusi darah
merah 3 unit @ 100 ml, ditransfusi albumin @100 ml dan 50 ml, setelah 5 hari dirawat anak
tidak ada perbaikan dirujuk ke RSDK.

Riwayat kelahiran anak merupakan anak pertama dari Ibu G1P0A0, lahir normal,
ditolong bidan, lahir langsung menangis, berat badan lahir dan panjang badan lahir ibu lupa.
Riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai usia, didapatkan scar BCG. Riwayat penyakit
keluarga tidak ada sakit seperti ini. Riwayat pemberian ASI hingga usia 2 tahun, anak
4
mendapat makanan padat pertama berupa pisang kerok usia 4 bulan, susu formula diberikan
sejak usia 3 bulan selang-seling dengan ASI. Sekarang anak makan nasi 3 kali sehari dengan
sayur dan lauk kadang telur/ayam/ikan/ daging merah selalu habis. Anak minum susu 2-3x
hari 1x @ 1 gelas belimbing dan habis. Kesan ASI tidak eksklusif, kualitas dan kuantitas
cukup. Riwayat perkembangan, anak bisa berjalan usia 1 tahun 6 bulan, anak sudah dapat
mengatakan ibu, maem, bobo. Saat ini anak mengalami regresi perkembangan, hanya bisa
duduk, belum bisa berjalan lagi, kosakata berkurang. Ayah penderita bekerja sebagai
pedagang, ibu sebagai ibu rumah tangga, dengan penghasilan Rp. 1.500.000/ bulan, pasien
adalah anak pertama.

Gambar 1. Pedegree
Pemeriksaan fisik di IGD RSDK, keadaan umum kesadaran sadar, tampak lemah
ikterik dengan hepatosplenomegali. Frekuensi jantung 98 kali per menit, laju napas 22 kali
per menit, suhu 36,8 °C (aksiler), nadi isi dan tegangan cukup, saturasi oksigen 99 %,
tekanan darah 110/90 mmHg. Mata tidak anemis, isokor. Mulut tidak terdapat oral trush,
stomatitis. Ketiak tidak didapatkan pembesaran limfonodi, tidak ada pertumbuhan rambut.
Leher tidak terdapat pembesaran limfonodi. Dada simetris, tidak terdapat retraksi, belum ada
pertumbuhan payudara. Pemeriksaan jantung didapatkan apeks jantung tidak bergeser ke
lateral, bunyi jantung I-II normal, tidak ada bising maupun gallop. Suara dasar paru vesikuler,
tidak didapatkan suara tambahan di kedua lapangan paru. Abdomen cembung, supel, bising
usus normal, pekak sisi (-) normal, pekak alih (-), hepar 8 cm BAC dan lien S2. Genitalia
belum terdapat rambut pubes. Pada ekstremitas tidak ada akral dingin, edema, terdapat
kehitaman pada kaki,cappilarry refill < 2 detik. Anak didiagnosis observasi bisitopenia
dengan organomegali curiga keganasan hematologi, observasi kolestasis ec infeksi, oral
trush, malnutrisi kronis. Terapi diberikan infus D51/2NS 5 tpm (NaCl 3% 60 ml + KCl otsu
5
30 ml), ceftriaxon 500 mg/24 jam, urdafalk 150 mg/24 jam, paracetamol 1 cth/4 jam, dan
vitamin apyalis 1 cth/ 24 jam.
Hasil laboratorium Hb 11,1 gr%, Ht 31,4, eritrosit 3,8 juta/mm3, MCH 29 pg, MCV
82 fL, MCHC 82,2 g/dL, lekosit 43,8/mm3, trombosit 236/mm3, hitung jenis
E0/B0/St4/Sg70/L21/M2, gambaran darah tepi anisositosis ringan (ovalosit, pear shape, tear
drope cell ) trombosit estimasi jumlah normal, bentuk normal dan lekosit estimasi jumlah
meningkat. Pemeriksaan kimia klinik GDS 71 mg/dl, ureum 24 mg/dl, creatinin 0,6 mg/dl,
alkali fosfatase 572, gama GT 25555 ul/l, bilirubin total 19,8 mg/dl, bilirubin direk 10,7
mg/dl, albumin 3,7 gr/dl, SGOT 539 U/L, SGPT 73 U/L, natrium 128 mmol/L, kalium 3,1
mmol/L, chlor 9,8 mmol/L dan calsium 2,38 mmol/L. Hasil pemeriksaan urin rutin
didapatkan warna urin cokelat, didapatkan protein 25, eritrosit 366, silinder lekosit, silinder
eritrosit, dan bakteri (+), nitrit (-). Anak dirawat dibangsal hematologi onkologi selama 2 hari
perawatan.
Hari perawatan ke-3 anak mengalami penurunan kesadaran, di diagnosis penurunan
kesadaran suspek ensefalopati hepaticum, kolestasis, SIRS curiga sepsis, oral trush,
xeroderma, imbalance elektrolit, malnutrisi kronis, hipertensi stage 2 dan anak dipindahkan
ke HCU. Diberikan infus D51/2NS 5 tpm, NaCl 3% 60 ml + KCl otsu 30 ml, injeksi
ceftriaxon 500 mg/24 jam, urdafalk 150 mg/24 jam, paracetamol 1 cth/4 jam, apyalis 1 cth/24
jam, nystatin drop 2 ml/8 jam, furosemid 5 mg/12 jam, captopril 3,2 mg/12 jam, kolestiramin
1,5 mg/8 jam. Dilakukan kultur darah steril, kultur swab mulut dan urin dijumpai candida non
albican dan klebsiella pneumoniae sehingga antibiotik diganti meropenem berdasarkan hasil
kultur.
Anak dirawat 6 hari di HCU mengalami perbaikan pindah rawat dari bangsal
hematologi onkologi di alih rawat ke bangsal gastroenterologi dikonsulkan ke divisi nutrisi
dan penyakit metabolik dengan diagnosa berat badan kurang, perawakan pendek, gizi normal.
Kebutuhan kalori 1200 kkal, 14,76 g protein, Rute : NGT, infus D5% 240/10/10 tpm,
Hepatosol 8 x 150 ml. Monitoring : aseptabilitas diet, berat badan.

Hasil konsulan dengan bagian lain antara lain :


- Neurologi (9/10/14)
Kesan : masih mungkin ensefalopati ec hepaticum, tidak didapatkn defisit neurologis/
refleks patologis

6
Saran : ensefalopati ec hepaticum, perbaiki fungsi hati, konsul mata ulang untuk tanda
TIK meningkat

- Infesi – Penyakit Tropis (11/10/14)


Kesan : kelainan bidang infeksi tropis belum bisa disingkirkan
Saran : cek ulang DR, diff count, GDT, kultur darah, konsul nefrologi untuk candida

- Nefrologi (11/10/14)
Kesan : HT stage 2 terkontrol obat dengan krisis HT
Saran : Furosemid 10 mg/ 12 jam po, Captopril 3,125 mg/ 12 jam po, Nifedipine 2,5
mg/12 jam po, rawat bersama

- Mata (11/10/14)
Kesan : tidak didapatkan tanda peningkatan TIK dan tanda retinopati hipertensi

- Rehabilitasi Medik (13/10/14)


Kesan : postpenurunan kesadaran, cholestasis
Saran : FT, alih baring, ROM excercise, breathing exercise, mobilisasi duduk berdiri,
OT: latihan atensi, ketahanan duduk dan berdiri dengan aktivitas mainan

- Kulit (13/10/14)
Kesan : pruritus hepatic, xerosis cutis, hiperpigmentasi
Saran : CTM 2 mg/12 jam, Tupepe 2x/ hari

- Nefrologi (16/10/14)
Kesan : ISK simpleks
Saran : Inj Meropenem 250 mg/8 jam selama 5 hari, evaluasi fungsi hepar dan urin 5 hari
pasca antibiotik

- Pediatri Sosial dan Tumbuh Kembang (31 Oktober 2014)


Kesan :
Faktor resiko :
Prenatal : riwayat terpapar asap rokok selama kehamilan
Natal : tidak ada

7
Post natal :
- Sejak 4 bulan yang lalu anak sakit liver membesar
- Sejak sakit anak tidak bisa tengkurap, duduk, berdiri, berjalan, kosa kata berkurang

Pemenuhan kebutuhan dasar :


Asuh : ASI tidak eksklusif, MP-ASI dini, kualitas dan kuantitas makanan kurang
Asih : anak cukup mendapatkan kasih sayang dari ibu dan ayah
Asah : stimulasi cukup diberikan oleh kedua orang tua dan kakek nenek yang juga
tinggal serumah

Assessment :
Diagnosis utama : suspek inborn error of metabolism
DD/ Alopecia-Contracture-Dwarfism mental retardation
syndrome Shokeir syndrome
Diagnosis komorbid : pasca penurunan kesadaran DD/ kolestasis hepaticum
Kolestasis
Hipertensi terkontrol
ISK (Klebsiella pneumonia)
Xerosis kutis, pruritus hepatic
Diagnosis komplikasi : -
Diagnosis pertumbuhan : Cross sectional : gizi baik, berat badan kurang, perawakan
pendek, mikrosefal
Longitudinal : normogrowth
Diagnosis perkembangan : global developmental delayed (regresi)
Diagnosis sosial ekonomi : social ekonomi kurang
Diagnosis imunisasi : imunisasi dasar lengkap

Saran :
1. Diagnosis pasti anak belum dapat ditegakkan. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
facial measurement dicurigai adanya dismorfologi yang dapat mengarah pada
kelainan metabolism bawaan atausindrom tertentu. Diperlukan kerjasama dengan
bagian endokrinologi dan nutrisi metabolik untuk mengkonfirmasi kelainan bawaan/
8
sindrom tersebut melalui pemeriksaan penunjang selanjutnya untuk menegakkan
diagnosis
2. Dengan didapatkannya berat badan kurang, perawakan pendek, serta kualitas
makanan yang kurang, kami himbau untuk menaati program pemberian nutrisi dari
bagian nutrisi dan penyakit metabolik untuk tata laksana lebih lanjut dalam rangka
mengatasi keadaan tersebut pada anak dan mengembalikan anak pada berat badan
yang normal.
3. Perlunya kerjasama dengan bagian rehabilitasi medik untuk tata laksana
keterlambatan perkembangan yang terjadi pada anak. Latihan yang dapat dilakukan
antara lain penguatan anggota gerak, ROM exercise, terapi wicara, dan terapi
okupasi.
4. Perlunya penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang selanjutnya seperti
MRI, skeletal survei, dan pemeriksaan darah maupun biopsi hepar yang akan
menentukan langkah dan tatalaksana selanjutnya.
5. Perlunya konseling lebih lanjut kepada orang tua apabila diagnosis telah ditegakkan
atau telah lebih jelas arah diagnosisnya, mengenai prognosis dari penyakit anak dan
mempersiapkan orang tua dalam mengasuh, mendampingi tumbuh kembang anak.
6. Perlunya evaluasi status perkembangan anak secara berkala untuk menilai
keberhasilan intervensi yang dilakukan pada anak.

Dilakukan USG abdomen : kesan hepatomegali dengan struktur parenkim kasar dan
peningkatan ekogenisitas  cenderung proses kronis. Ascites sangat minimal. Sonografi VF
tampak normal, tidak tampak pelebaran ductus biliaris intra dan ekstra hepatal, tak tampak
kista ductus biliaris communis. Organ-organ intra abdomen lainnya normal secara sonografi.

Biopsi Hepar : sediaan tidak dijumpai jaringan

9
X-foto thorax :

10
X-foto vertebra kesan : tak tampak gambaran butterfly vertebrae

Skeletal Survey, kesan : Brachycephalic, gambaran “prominent forhead”, inferior


beaking corpus vertebra L1-4, ossa tarsalis pedis sinistra dan distal os tibia sinistra yang

11
terlihat tampak porotik, masih mungkin suatu inborn error of metabolism. Infiltrat pada
lapangan bawah paru kanan
MRI Kepala tanpa kontras, kesan : multipel foci kecil pada subkortikal white matter
lobus frontoparietal kanan kiri, periventrikuler kanan-kiri dan deep white matter lobus
parietal kanan kiri disertai atrofi kedua cerebri hemisfer dan serebelum dengan penipisan
white matter di peritrigonal. Mendukung gambaran metabolic disorder ec Multiple
Carboxylase Deficiency
Anak dirawat dibangsal gastroenterohepatologi dengan diagnosa pasca penurunan
kesadaran dd/ ensefalopati hepatikum, cholestasis dd/ intrahepatal dd kelainan metabolik,
suspek inborn error of metabolismdd biotinidase deficiency, Multiple Carboxylase
Deficiency, hipotiroid subklinis, hipertensi terkontrol, pasca ISK (Klebsiella pneumoniae
(ESBL), xerosis cutis, pruritushepatic (perbaikan), anemia normositik normokromik,
insufisiensi vitamin D, berat badan kurang, perawakan pendek, gizi baik. Terapi captopril
3.125/8jam po, Furosemid 5 mg/12 jam, Urdafalk 150 mg/24 jam, Cholestiramin 1 g/24 jam
po, Apyalis 1cth/24jam po,Tyrax 50 mcg/24 jam po,Tupepe 2x/ hari ue, Vitamin D 400
mcg/8 jam.
Dari bangsal nutrisi metabolik, anak dilakukan pemeriksaan urin dan darah di jepang
kesan suspek inborn error of metabolism dengan peningkatan methycitrate suspek propionic
cidemia tetapi 3- methylcrotonylglgycine tidak ditemukan, dan yang lain dalam batas normal.
Didapatkan tyrosiluria yang biasanya didapatkan pada pasen liver disfungsi. Anak mendapat
terapi carnitin atau ubiquino dikarenakan tidak ada persediaan obat, anak pada awalnya
diberikan susu hepatosol dikarenakan ada gangguan fungsi hepar dan kemudian susu bubuk
anak mengalami perbaikan klinis.
Pemeriksaan fisik tanggal 29 april 2015 di Poli nutrisi metabolik. Anak perempuan, 3
tahun 6 bulan, berat badan 13,8 kg (WAZ: -0,64 SD), dan panjang badan 93 cm (HAZ:--1,70
SD, WHZ:-0, 48 SD) Lingkar kepala 48 cm (HC : -0,69 SD), lingkar lengan atas
(LILA)15cm. Keadaan umum sadar, takipne (-), diare (-), muntah (-), tanda dehidrasi (-),
kejang (-), pucat (-), edema (-), dismorfik (-), tanda perdarahan (-). HR 90x/menit isi
tegangan cukup, RR 20 x/menit, dan suhu 37 o C. Kepala mesosefal, mata pupil isokor Ø 3
mm/3 mm, refleks cahaya/bulu mata/kornea (+) N, hipertelorism (-), low set ear (-), saddle
nose (-). Pada pemeriksaan dada, bentuk normal, simetris statis dinamis, retraksi (-). Bunyi
jantung I-II normal, tidak terdengar bising atau irama derap. Suara nafas vesikuler dan tidak
terdengar hantaran dan ronkhi. Tidak didapatkan iga gambang. Abdomen supel, bising usus
normal. Hati dan limpa tidak teraba.
12
Pada pemeriksaan anus dan genital tidak di dapatkan kelainan. Pada kulit kehitaman
(-), muscle wasting dan baggy pants tidak ditemukan. Pemeriksaan perkembangan dengan
denver II, didapatkan motorik halus seperti usia 21 bulan, motorik kasar seperti usia 14 bulan,
bahasa seperti seusianya, personal social seperti usia 24 bulan, kesan global developmental
delayed. Pemeriksaan ELM’S, Auditory ekspresif Delayed ( sesuai umur 21 bulan), Auditory
receptive Delayed ( sesuai umur 21 bulan), Visual Delayed ( sesuai umur 12,5 bulan), Global
Language Delayed (sesuai umur 21 bulan).
Pemeriksaan laboratorium, darah rutin, fungsi hati, dan fungsi ginjal menunjukkan
nilai dalam rentang normal. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang anak didiagnosis defisiensi biotinidase dan diberikan 4 x 100 susu hepatosol serta
3 x 1 porsi nasi. Anak di programkan fisioterapi, terapi okupasi.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Biotinidase Defisiensi


Defisiensi biotinidase merupakan salah satu kelainan genetik yang diturunkan secara
resesif dan dapat diobati, kelainan ini disebabkan oleh gangguan dalam pemanfaatan vitamin
larut air yaitu biotin. Prevalensi sifat resesif autosom ini diperkirakan 1 : 60.000 individu dan
prevalensi semakin jarang pada kasus yang berat dimana kadar enzim dibawah 10% yaitu 1 :
137.401 kelahiran bayi, serta setiap 1 dari 123 individu heterozygot mengalami gangguan
ini.1
Defisiensi biotinidase pertama kali ditemukan tahun 1993, Wolfes dan rekan-rekannya
menunjukkan adanya defisiensi karboksilase karena kekurangan biotin pada tubuh seseorang.
Sejarah biotin dimulai sejak tahun 1901. Pada saat itu Wilders menemukan bahwa pada ragi
untuk bertumbuhnya memerlukan zat khusus yang dinamakan bios. Kemudian selang 30
tahun kemudian, bios ini cukup berguna untuk campuran berbagai faktor penting yaitu bios
IIB atau biotin. Pada tahun 1931 peneliti bernama Gyorgy menemukan faktor bios ini pada
daging hati dan dinamakan vitamin H. Kemudian pada tahun 1940 Gyorgy bersama rekan-
rekannya menemukan keidentikan pada vitamin H dengan koenzim R dan mengisolasi biotin
ini dari hati. Struktur kimianya ditetapkan pada tahun 1942 oleh Du Vigneaud dan sistesisnya
berhasil dilakukan pada tahun 1943 oleh Harris dan kawan-kawan. Goldberg dan Sternbach
pada tahun 1949 kemudian mengembangkan teknik untuk produksi industri biotin jadi lebih
banyak.
Defisiensi biotinidase ini diklasifikasikan menjadi 2 yaitu defisiensi enzim berat
(<10% kadar enzim) dan defisiensi enzim parsial (10-30% kadar enzim).2 Biotin adalah
bagian dari vitamin B kompleks, dimana biotin sebenarnya dulu dikenal dengan vitamin H,
hal ini terjadi di tahun 1900-an. Kemudian ternyata dari struktur kimianya merupakan
struktur yang memiliki kemiripan dengan vitamin B kompleks, maka biotin dikelompokkan
menjadi vitamin B kompleks. Fungsi dari biotin sendiri adalah sebagai pembantu dalam
reaksi biokimia di dalam tubuh, yang diperlukan untuk mengaktifkan sistem enzim
karboksilase yang penting untuk metabolisme asam amino, karbohidrat, dan asam lemak,
serta transfer karbondioksida. Aktifitas karboksilase akan menurun secara drastis terhadap
respon defisiensi biotin.
Biotin juga merupakan koenzim di dalam tubuh yang berperan dalam metabolisme
untuk menghasilkan energi. Energi didapatkan dari metabolisme yang terjadi didalam tubuh.
14
Saat makanan ke dalam tubuh masuk terutama yang banyak mengandung lemak, protein dan
karbohidrat, Fungsi utama biotin pada tubuh adalah membantu metabolisme lemak, protein,
dan karbohidrat yang akan membentuk molekul gula sederhana (glukosa), asam lemak, dan
asam amino. Reaksi ini dikenal dengan istilah katabolisme, yaitu pemecahan senyawa
kompleks menjadi banyak molekul sederhana yang disertai dengan pelepasan energi.
Molekul sederhana tersebut kemudian akan dipakai tubuh untuk mensintesis sel-sel baru.
Dimana gula inilah yang menjadi bahan bakar tubuh untuk melakukan aktifitasnya dan
menjadi energi. Semakin banyak kinerja biotin pada tubuh, maka tubuh akan semakin aktif.
Hal sebaliknya terjadi saat tubuh dipaksa melakukan aktifitas berat, namun hanya sedikit
aktifitas biotin untuk metabolisme tubuh. Akibatnya tubuh akan mengalami kelelahan.
Walaupun tubuh telah diasup banyak makanan, yang terjadi malah mengantuk. Karena
makanan tersebut tidak diolah menjadi energi dan tersimpan di dalam tubuh sehingga kinerja
tubuh menjadi menurun. Biotin juga merupakan koenzim bagi piruvat karboksilase, salah
satu jenis enzim yang berfungsi pada metabolisme energi.
Biotin juga sebagai bahan tambahan untuk perawatan rambut dan kuku, karena
rambut dan kuku hampir seluruhnya mengandung protein dan biotin yang mampu membantu
metabolisme protein. Mengkonsumsi biotin dapat bermanfaat untuk mereka yang ingin
menurunkan berat badan. Karena saat tubuh mengalami kelebihan berat badan, tidak
sepenuhnya lemak, protein yang tersimpan dalam tubuh bisa digunakan sebagai energi.
Sehingga dibutuhkan biotin untuk mengkonversinya menjadi energi.
Penggunaan biotin atau vitamin B7 ini berfungsi mengatur kadar gula dalam darah.
Bagi mereka yang mengalami diabetes, mengkonsumsi biotin dapat menurunkan kadar gula
darah yang tinggi menjadi rendah. Dengan mengkonsumsi biotin secara rutin setiap hari
sebanyak hampir 900 mcg selama sebulan, maka kadar gula dalam darah akan turun. Tentu
dengan mengurangi juga konsumsi karbohidrat serta makanan bergula lainnya yang dapat
memicu kembalinya naik gula darah dalam tubuh.
Biotin juga sebagai kofaktor dalam pembentukan sel-sel darah merah di sumsum
tulang belakang. Karena sirkulasi pergantian sel darah merah pada tubuh juga diperlukan
secara optimal agar jumlah sel darah merah tidak mengalami kelebihan ataupun kekurangan
di dalam tubuh.Sehingga kebutuhan konsumsi vitamin B7 atau biotin tetap diperlukan.
Walaupun tidak ada tanda-tanda khusus saat tubuh mengalami gangguan pada sirkulasi sel-
sel darah merah. Namun gelaja seperti anemia bisa terjadi.
Biotin biasanya diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil dan sebagian besar didaur
ulang oleh enzim biotinidase. Dengan adanya defisiensi biotinidase maka simpanan biotin
15
dalam tubuh akan berkurang sehingga menyebabkan gangguan metabolik yang berat.
Manifestasi klinis akibat defisiensi biotinidase meliputi kelainan neurologis, dermatologis,
imunologi, dan kelainan oftalmologi.3
Kelainan ini merupakan resesif autosom, dimana faktor biologi kedua orangtua
berperan didalam mutasi gen biotinidase. Sifat pembawa gen heterogen defisiensi biotinidase
dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan gen mutasi kedua orangtuanya. Gen yang berkode
biotinidase disebut BTD terletak di lengan pendek (p) dari kromosom 3, ikatan 25 (3p25).
Mutasi BTD paling sering 98-104del7ins3, muncul pada 50% pasien anak dengan keluhan.
Mutasi BTD yang jarang muncul Arg538RC juga telah ditemukan. Hampir sebagian besar
anak dengan defisiensi biotinidase parsial mengalami mutasi D444H pada satu alel dan
mutasi pada alel lainnya akan menyebabkan defisiensi biotinidase berat. Berdasarkan hasil
penelitian Wolfe dkk dinyatakan menemukan kesulitan hubungan antara genotif dan fenotif,
dimana hal ini mengindikasikan umur dari onset gejala klinis dan jalannya penyakit sangat
tergantung pada fungsi biotinidase yang ada sekarang. 29
Defisiensi ini dapat juga terjadi pada bayi yang sedang mendapat nutrisi parenteral
tanpa tambahan biotin, pada penderita yang mendapat obat-obatan antikonvulsan lama, anak
dengan sindroma usus pendek atau diare kronik yang mendapat susu formula rendah biotin.
Defisiensi biotin juga dapat terjadi juga disebabkan oleh penyerapan diet biotin yang kurang,
interaksi obat-vitamin, dan kemungkinan karena peningkatan proses katabolisme biotin
selama masa kehamilan dan pada perokok. Kekurangan biotin bisa juga dipicu oleh
penurunan aktivitas protein yang berperan penting dalam proses homeostasis biotin :
1. Transporter vitamin natrium-dependent, multivitamin transporter dan
monocarboxylate transporter 1, sebagai perantara transportasi biotin dalam jaringan
usus, hati, perifer dan reabsorpsi di ginjal
2. Holocarboxylase sintetase, sebagai perantara pengikatan biotin dengan carboxylases
dan histon
3. Biotinidase4

Defisiensi biotin biasanya juga dapat didiagnosis dengan mendapatkan riwayat


makan; individu tersebut biasanya mengkonsumsi makanan yang mengandung telur mentah
dalam jumlah besar. Padahal di dalam telur mentah mengandung avidin yang mengikat
biotin, sedangkan pada telur masak tidak menjadi masalah karena avidin menjadi inaktif
akibat pemanasan. Selain itu riwayat makan mengkonsumsi jumlah makanan yang
mengandung biotin sangat kurang atau terbatas terutama produk hewani seperti daging.
16
Individu dengan defisiensi biotin mungkin jugatelah diberikan hiperalimentasi parenteral
berlarut-larut tanpa suplementasi biotin.30-33

Biotinidase merupakan salah satu enzim penting dalam tubuh. Kadar tinggi enzim ini
terdapat di dalam serum, hati, dan ginjal. Fungsi utama biotinidase adalah untuk melepas
ikatan vitamin biotin (juga dikenal sebagai koenzim R, vitamin H, atau vitamin B7) dari
biocytin senyawa organik sehingga aktif sebagai biotin bebas. Biotin didaur ulang dalam
tubuh ketika biotinidase melepaskan ikatan biotin dari protein endogen dan protein makanan.
Mendaur ulang biotin diperlukan untuk menjaga kebutuhan biotin agar tercukupi sebagai
kofaktor penting untuk glukoneogenesis, sintesis asam lemak, dan katabolisme asam amino.5

Gambar 1: Siklus biotin5

Pada anak dengan defisiensi biotinidase tidak memiliki cukup aktivitas biotinidase,
sehingga biotin tetap melekat pada protein dan tidak dapat berfungsi dengan baik.Tubuh
membutuhkan biotin yang digunakan untuk metabolisme lemak, karbohidrat dan protein.
Biotin yang berasal dari makanan terikat dengan protein sehingga tidak bisa digunakan.
Ketika aktivitas biotinidase tidak cukup, biotin tidak dapat dilepaskan dari protein dan
menyebabkan tertimbunnya produk metabolik yang dapat merusak tubuh. Tanpa aktivitas
biotinidase yang cukup tubuh membutuhkan lebih banyak biotin bebas dari pada diet normal.
Jika kebutuhan ini tidak ada, maka tubuh akan mengalami berbagai gangguan.4

17
Gambar 2: Siklus biotin tanpa aktivitas biotinidase5
3.2. Manifestasi Klinis Defisiensi Biotinidase
Kekurangan vitamin B7 bisa menyebabkan beberapa penyakit yang dapat menyerang
tubuh. Walaupun sebenarnya, sangat jarang seseorang mengalami kekurangan biotin. Karena
biotin terkandung di berbagai makanan walau dalam jumlah yang sedikit. Bahkan bakteri
diusus pun dapat memproduksi biotin dari hasil makanan yang dicerna yang telah kita makan
sebelumnya. Manifestasi klinis dari defisiensi biotinidase tergantung dari seberapa berat
defisiensinya. Akibat nyatanya adalah kulit kering, dermatitis, infeksi jamur, ruam, rambut
yang rapuh, serta kerontokan pada rambut.
Secara klinis, anak-anak dengan defisiensi biotinidase berat, jika tidak diobati
biasanya menunjukkan satu atau lebih dari gejala berikut : depresi ringan, adanya gangguan
mental, gejala nyeri otot, parestesia dan hyperesthesia, hipotonia, kejang, ruam kulit
eksematous, alopesia, gangguan pernafasan (hiperventilasi, stridor laring, dan apnea),
konjungtivitis, kandidiasis, ataxia, keterlambatan perkembangan, gangguan pendengaran, dan
masalah penglihatan (atrofi optik).2,6 Gangguan pernafasan, seperti stridor dang kelainan pola
pernafasan yang terjadi akibat disfungsi pusat pernafasan pada medula karena
ketidakseimbangan metabolik.7
Bergantung dari tingkat defisiensi biotinidase, kelainan biasanya dijumpai pada anak
yang berumur 3 – 6 bulan, menimbulkan gejala-gejala klinis seperti :
1. Dermatitis, yaitu peradangan pada kulit atau infeksi kulit, biasanya jenis dermatitis
seboroik. Ditandai dengan pengelupasan dan gatal pada kulit. Jika mengenai kepala, dapat
mengalami kebotakan. Lalu dapat mengalami juga masalah pada otot dan rambut. Kulit
pun menjadi bersisik serta kuku menjadi lebih rusak. Radang kulit pada bayi dinamakan
cradle cap.

18
2. Hyperesthesia dan Paresthesia, yaitu menyerang pada bayi, kemudian indera
mengalami peningkatan abnormal yaitu hyperesthesia. Lalu Paresthesia adalah kondisi
dimana kulit akan mengalami kesemutan dan mati rasa.
3. Keratokonjungtivitis, yaitu adanya konjungtiva pada mata. Sehingga imunitas pun
menurun. Sehingga tubuh akan mengalami gangguan dalam mempertahankan diri dari
bakteri berbahaya atau virus berbahaya.
4. Anorexia Nervosa, merupakan gejala kekurangan vitamin B7 yang ditandai dengan
nafsu makan yang menurun drastis. Jika terjadi pada bayi akan mengakibatkan
menghambatnya pertumbuh mental dan fisiknya. Sedangkan orang dewasa juga dapat
mengalami penurunan nafsu makan ini.
5. Anemia, kekurangan vitamin B7 juga dapat mengakibatkan anemia pada tubuh. Sehingga
oksigen yang dibawa oleh hemoglobin tidak dapat lagi mengikat oksigen. Secara fisik
biasanya ditandai dengan lesu dan kelelahan.
6. Gangguan elektrokardiografi, tepatnya gangguan fungsi jantung sehingga fungsi hati
dan jantung tidak dapat berfungsi secara normal.
7. Alopesia
8. Ataksia
9. Kejang-kejang mioklonik
10. Hipotonia
11. Perkembangan terlambat
12. Kehilangan pendengaran
13. Imunodefisiensi.
14. Gangguan tumbuh kembang
15. Gangguan pernafasan (hiperventilasi, stridor laryngeal dan apnu)

Pada kasus, anak didiagnosis dengan defisiensi biotinidase parsial berdasarkan


anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapat berupa kelainan kulit ruam kulit dari
eksematous semakin lama menghitam, alopesiaatau rambut rontok, adanya gangguan fungsi
hepar dengan peningkatan enzim dihepar, hepatosplenomegali, ikterik, infeksi virus atau
jamur berulang kandidiasis oral yang disebabkan oleh gangguan pada kekebalan tubuh
akibat akumulasi metabolit beracun atau karena defisiensi biotin, riwayat demam naik turun
menetap, berat badan turun dan sulit naik,hipotonia anak lemas sulit berjalan, kejang,
ataxia, anak mengalami keterlambatan perkembangantipe regresi yang pada awalnya anak

19
bisa melakukan aktivitas sesuai umurnya menjadi terlambat perkembangannya dikarenakan
defisiensi biotin, penurunan kesadaran karena ketidakseimbangan metabolik.
Gangguan metabolik juga terjadi pada sebagian besar individu dengan defisiensi
biotinidase yang tidak diobati akan mengalami satu atau lebih hal berikutyaitu asidosis
ketolactic, aciduria organik, dan hyperammonemia ringan.6,8 Namun, tidak adanya aciduria
organik atau ketoasidosis metabolik tidak membuat diagnosis defisiensi biotinidase
dihilangkan.
Gejala dari defisiensi biotinidase berat biasanya muncul diantara umur 1 minggu
sampai 10 tahun, rata-rata pada usia 3.5 bulan.8 Beberapa anak dengan defisiensi biotinidase
hanya menunjukkan satu gejala, sedangkan pada anak lain dapat memiliki beberapa gejala
seperti gangguan neurologis, kulit, atau temuan kelainan pada pemeriksaan biokimia.8
Gangguan neurologis pada individu yang tidak diobati pada defisiensi biotinidase
berat yaitu kejang dan hipotonia.2,6,8-9 Kejang mioklonus yang paling sering dialami, tapi
kadang grand mal dan fokal, beberapa anak mengalami kejang infantil.11 Beberapa anak lain
mengalami gangguan pada medula spinalis yang ditandai dengan parese spastik progresif dan
mielopati.12 Anak dengan usia lebih tua mungkin dapat mengalami ataxia dan keterlambatan
perkembangan.9
Tuli Sensorineural dan gangguan pada mata, seperti atrofi optikus juga telah
13-16
dijelaskan pada anak-anak yang tidak diobati. Sekitar tiga perempat dari anak-anak
dengan defisiensi biotinidase berat yang tidak diobati mengalami tuli sensorineural yang
biasanya tidak dapat membaik setelah pengobatan namun pada beberapa anak dapat diobati
dengan bantuan alat dengar ataupun dengan implan koklea.17
Gejala kulit termasuk ruam kulit, alopesia, dan infeksi virus atau jamur berulang yang
disebabkan oleh gangguan pada kekebalan tubuhakibat akumulasi metabolit beracun atau
karena defisiensi biotin tersebut. Gangguan pernapasan, seperti hiperventilasi, stridor laring,
dan apnea, dapat terjadi.18 Beberapa anak dengan defisiensi biotinidase berat yang
asimtomatik sampai remaja, ketika mereka dewasa tiba-tiba kehilangan penglihatan dengan
neuropati optik progresif, scotomata, dan paraparesis spastik.19,20 Setelah beberapa bulan
terapi biotin, gangguan mata dan paraparesis spastik mengalami perbaikan. Pada individu lain
dengan defisiensi enzim ini, paresis dan gangguan mata terjadi pada masa remaja awal.21,22
Anak-anak dengan defisiensi biotinidase parsial yang tidak diobati dapat
menunjukkan salah satu gejala di atas, tetapi biasanya gejalanya ringan dan terjadi hanya
ketika mengalami anak stres, seperti infeksi berkepanjangan atau tidak makan.23,24 Seorang
anak dengan defisiensi biotinidase parsial yang tidak diobati dengan biotin menunjukkan
20
gejala hipotonia, ruam kulit, dan rambut rontok selama episode gastroenteritis pada usia ~ 6
bulan. Ketika diobati dengan biotin, gejala dapat teratasi. Gejala yang dialami oleh individu
dengan defisiensi biotinidase parsial dapat lebih buruk bila mengalami stres.Hampir semua
anak dengan defisiensi biotinidase berat menunjukkan gejala atau beresiko muncul gejala,
jika tidak diobati. Jika defisiensi biotin ini tidak diobati dapat mengalami gangguan
metabolik berat yang berakibat koma bahkan kematian. Sedangkan terapi lebih awal dapat
mencegah gejala lebih buruk.25
Manifestasi klinis yang terjadi diatas bisa terjadi dikemudian hari ketika anak tersebut
berumur beberapa bulan atau beberapa tahun. Terlambatnya munculnya gejala-gejala ini,
karena masih tersedianya biotin bebas yang berasal dari ibu maupun dari diet anak tersebut.
Pengukuran biotinidase pada 100 orang anak Jepang dengan dermatitis seborroika
yang tidak sembuh-sembuh menunjukkan dua anak dengan defisiensi enzim partial (aktivitas
15-30%); anak yang lain tidak bergejala dan dermatitisnya sembuh dengan terapi biotin

3.3. Diagnosis Defisiensi biotinidase


Defisiensi biotinidase merupakan salah satu kriteria yang termasuk dalam skrining
neonatus dan semua program skrining di Amerika dan negara lainnya. Defisiensi ini dapat
dideteksi pada skrining neonatus atau diagnosis mutasi secara molekuler pada masa prenatal,
direkomendasikan pada kasus anak sebelumnya mengaami gejala. Baru-baru ini tes genetik
molekuler telah digunakan untuk mendeteksi karier.26 Sebuah skrining sederhana saat ini
pada bayi baru lahir menggunakan darah yang dikeringkan.13,26 Diagnosis defisiensi
biotinidase dikonfirmasi dengan pengukuran aktivitas enzim di dalam serum. Saudara
kandung tanpa gejala juga perlu diskrining.
Aktivitas biotinidase dalam serum umumnya ditentukan secara kalorimetri dengan
mengukur pelepasan p - aminobenzoate dariN - biotinyl - p - aminobenzoate, analog dari
biocytin.6 Aktivitas biotinidase juga dapat ditentukan secara fluorimetri dengan
mengukurpelepasan aminoquinoline dari biotinyl-6- aminoquinoline.9 Tes lain untuk
mengukur aktivitas biotinidase dalam serum dan jaringan denganmengukur hidrolisis
biocytin atau derifat biotinyl lainnya.27,28Individu dengan defisiensi biotinidase berat
memiliki kadar aktivitas enzim lebih rendah dari10 % serum normal. Individudengan
defisiensi biotinidase parsial memiliki kadar aktivitas enzim 10-30 % dari rata-rata normal.
Individu dengan defisiensi biotinidase berat maupun parsial biasanya diidentifikasi melalui
skrining pada bayi baru lahir di negara-negara amerika dan beberapa negara

21
lainnya.20,23Defisiensi aktivitas biotinidase juga telah ditunjukkandalam ekstrak leukosit dan
fibroblas pada individu dengan defisiensi biotinidase.13
Kumpulan kelainan akibat terganggunya proses metabolism yang menimbulkan
akumulasi atau defisiensi suatu produk tertentu disebut dengan Inborn error of metabolisme.
Hal ini terjadi karena kelainan genetic pada tubuh penderita. Inborn error of metabolisme
biasanya diturunkan dalam bentuk autosomal resesif atau X-linked resesif. Dari segi terapi,
kelainan metabolik bawaan dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Gangguan yang meningkatkan intoksikasi : Kelainan ini tidak mengganggu
perkembangan embryofetal, gejala klinis yang muncul seperti tanda keracunan yang
akut, yaitu : muntah, koma, kelainan hati, komplikasi tromboemboli), atau gejala
kronis seperti : gagal tumbuh, ectopia lentis, kardiomiopati.
2. Gangguan metabolism energi : Kelainan ini biasanya diikuti gangguan perkembangan
embryofetal dan muncul gejala dismorfik, dysplasia dan malformasi.
3. Kelainan molekul komplek. Kelainan ini melibatkan organela sel dan gangguan sintesa
atau katabolisme molekul kompleks. Gejalanya permanen, progresif, kambuhan dan
tidak dipengaruhi oleh intake makanan. (9)

3.4. Diagnosa Banding Defisiensi Biotinidase


Manifestasi dan gejala klinik propionic asidemia mirip dengan defisiensi biotinidase,
tanda dan gejala PA secara klinis tidak spesifik. Pasien dapat datang dengan gejala akut atau
kronis pada setiap usia. Beberapa tanda dan gejala umum, yang lain jarang terjadi dan
beberapa hanya dijelaskan dalam kasus tunggal. Pasien dengan defisiensi enzim lengkap
datang pada hari-hari sampai minggu-minggu pertama kehidupan dengan perburukan akut
pada kondisi umum klinis, asidosis metabolik dan hiperamonemia bias menjadi koma dan
kematian, jika tidak diobati.

Parameter Propionic Defisiensi Argininosuccinic


Asidemia Biotinidase Aciduria
Kondisi Mutasi gen yang Mutasi gen enzim Resesif autosom, gen
menyebabkan biotinidase (BTD). ASL di 7cen-q11.2

22
berkurangnya Resesif autosom
produksi sintesis turunan
enzim
holokarboksilase.
Resesif autosom.
Onset Bayi baru lahir, Bayi 3-6 bulan, Neonatus, bayi dan
bayi dibawah 1 onset lambat anak-anak
tahun
Asidosis + + +
Encephalopathy + - +
Hipotonia + + -
Kejang + + +
Ataksia - + -
Letargi + + +
BB tidak naik + + +
Ruam Kulit + + +
Hepatomegali + + +
Pertumbuhan terlambat + + +
Nafsu makan hilang + + +
Alopesia/rambut rontok + + +

Pada awalnya pasien didiagnosa dengan propionic asidemia yaitu gangguan


metabolisme bawaan ditandai dengan penumpukan asam propionat, disebabkan oleh
kekurangan enzim mitokondria propionyl CoA karboksilase yang mengakibatkan akumulasi
metabolit yang sangat intoksikasi.Defisiensi propionyl CoA karboksilase (PCC) menghalangi
jalur katabolik BCAA satu langkah lebih awal dari metilmalonic academia (MMA).36
Sekitar 80% merupakan kasus awal didiagnosis (kurang dari usia 3 bulan), memiliki
gejala yang lebih berat dan klasik. Saat periode neonatal dengan manifestasi klinik letargi,
nafsu makan menurun, muntah hipotonia, dehidrasi, kejang dapat menjadi koma jika tidak
diketahui lebih awal dan diobati dengan tepat. Beberapa pasien merupakan kasus dengan
onset lebih lambat (didiagnosis setelah usia tiga bulan), kasus ini menunjukkan gejala ringan,
dan tingkat kelangsungan hidup yang panjang.2,4

23
Propionic acidemia berhubungan dengan komplikasi neurologis jangka panjang,
ditandai dengan episode berulang dari krisis metabolik. Beberapa stressor metabolit dan
fisiologis diperkirakan untuk memperhitungkan banyaknya manifestasi penyakit baik akut
maupun kronis. Pasien memburuk di saat kebutuhan metabolisme meningkat. Dekompensasi
metabolik dapat bermanifestasi dengan lesu, muntah, koma dan kematian jika tidak diobati
dengan tepat.

3.5. Terapi Biotinidase Defisiensi


Anak yang terkena defisiensi biotinidase, akan memberikan respon yang sangat baik
terhadap pemberian biotin bebas yaitu 5-10 mg/24 jam. Bound biotin (biotin yang berikatan
dengan vitamin lain/multivitamin) tidak bisa untuk mengobati defisiensi ini. Pada dasarnya
semua biotin yang disediakan di apotek dan toko makanan kesehatan dalam bentuk bebas.
Anak-anak dengan defisiensi biotinidase yang diidentifikasi melalui skrining saat bayi baru
lahir akan asimtomatik jika mendapat terapi biotin sejak awal. Kepatuhan dengan terapi
biotin dapat memperbaiki gejala yang dialami. Semua orang dengan defisiensi biotinidase
berat, bahkan mereka yang memiliki beberapa aktivitas enzim biotinidase residual tetap harus
diberikan terapi biotin.34 Pengobatan dengan biotin juga akan memberikan efek yang baik
pada individu dengan aktivitas biotinidase dibawah 10%, dan membutuhkan terapi jangka
panjang dengan pemberian biotin hingga 40 mg/24 jam.
Prognosis pasien dengan defisiensi ini apabila segera ditangani dengan cepat dan
tepat sangat baik, walaupun beberapa gejala klinis tidak bisa sembuh seperti atropi optik,
kehilangan pendengaran dan terhambatnya perkembangan. Sehingga harus mengikuti
evaluasi secara berkala dan mendapat penanganan lebih lanjut.
Pada defisiensi biotinidase berupa kelainan biokimia dan kejang dapat segera
ditangani dengan pemberian oral supplement biotin, yang biasanya diikuti dengan perbaikan
pada perkembangan, kelainan pada kulit, pertumbuhan rambut kembali dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan pada anak-anak dengan alopesia. Atrofi optik dan kehilangan
pendengaran mungkin tidak dapat disembuhkan dengan terapi, terutama jika kelainan
tersebut telah berlangsung dalam jangka waktu lama.33
Pada beberapa anak dengan keterlambatan perkembangan terdapat perbaikan
sedangkan yang lainnya tetap mengalami keterlambatan. Atrofi optik harus ditangani dan
dievaluasi ophthalmologis secara periodik. Pada anak dengan kehilangan pendengaran harus
dilakukan evaluasi audiologi berkelanjutan dan jika diperlukan dapat menggunakan alat bantu
dengar atau implan koklea untuk mengatasigangguan pendengaran tersebut, dan
24
keterlambatan perkembangan diberikan terapi pendukung yang sesuai dan akomodasi
sekolah.34
Dari orangtua yang memiliki anak dengan penyakit defisiensi biotinidase ini,
dianggap menjadi gen pembawa penyakit ini. Dimana pada tiap kehamilan selanjutnya
memiliki kemungkinan 25% akan mendapatkan bayi dengan penyakit ini. Oleh karena itu
sangat dianjurkan untuk memeriksakan defisiensi biotinidase ini pada usia kehamilan 15-16
minggu. Sedangkan pada bayi kembar yang tidak terkena penyakit ini akan menjadi gen
pembawa sebesar 65%. Seseorang sebagai gen pembawa adalah sehat dan tidak memiliki
gejala-gejala klinis dari defisiensi biotinidase ini.

Berikut adalah kebutuhan biotin secara harian dengan dosis yang tepat sesuai usia :
1. Bayi 0 – 6 bulan : 5 mcg
2. Bayi 7 – 12 bulan : 6 mcg
3. Anak-anak 1 – 3 tahun : 8 mcg
4. Anak-anak 4 – 8 tahun : 12 mcg
5. Anak-anak 9 – 13 tahun : 20 mcg
6. Remaja 14 – 18 tahun : 25 mcg
7. Dewasa 19 tahun keatas : 30 mcg
8. Wanita hamil : 30 mcg
9. Wanita menyusui : 35 mcg.

Pada kasus, anak tidak mendapatkan terapi supplement oral biotin tetapi dengan
akseptabilitas diet yang cukup berupa makanan dan minuman yang cukup, pada waktu awal
anak dengan gannguan fungsi hepar diberikan susu hepatosol dikarenakan mahal kemudian
diganti dengan susu SGM. Anak dilakukan pemeriksaan urin dan darah di jepang dengan
hasil inborn error of metabolism dengan peningkatan methycitrate suspek propionic
cidemia tetapi 3- methylcrotonylglgycine tidak ditemukan, dan didapatkan peningkatan
tyrosiluria yang biasanya didapatkan pada pasien dengan gannguan fungsi hati.Pada
awalnya anak dicurigai menderita propionic academia yang seharusnya terapi pada penyakit
ini adalah carnitin atau ubiquino dikarenakan tidak ada persediaan obat ini anak tidak
mengkonsumsi tablet carnitin. Anak sembuh dengan pemberian susu yang mengandung
biotin, sehingga kemungkinan besar anak kekurangan biotinidase karena biotin banyak
disusu. Pada kasus ini anak hanya diterapi dengan susu, karena biotin banyak dalam susu,
klinis anak mengalami perbaikan diberikan susu yang mengandung biotin.
25
Berikut ini beberapa merek susu dengan kandungan biotin didalamnya:
1. SGM Ananda Presinutri 6-12 Bulan ( Biotin : 6.91mcg)
2. SGM Eksplor 1 Plus (Biotin : 8.75 mcg)
3. Dansart Nestle Formula Lanjutan 6-12 Bulan (Biotin : 5.2 mcg)
4. Lactogen 2 Susu Bayi Formula DHA + Prebio (Biotin : 5.2 Mcg)
5. Enfamil Susu Bubuk Formula (Biotin : 5 mcg)
6. Dancow Full Cream (Biotin : 12.5mcg)
7. Dancow Batita Vanilla + DHA (Biotin : 3.7 mcg)
8. Indomilk Susu Bubuk Full Cream (Biotin : 3.7 mcg)
9. Morinaga Chil School DHA Vanilla ( Biotin : 7 mcg)
10. Similac Advance 1, 0-6 Bulan (Biotin : 2 mcg)
11. Pediasure Complete Triplesure Vanilla ( Biotin : 3.2 mcg)
12. Enfagrow A+3 Vanilla Tin (Biotin : 5 mcg)
13. Anmum Infacare 1 Plain (Biotin : 2.83 mcg)
14. Frisian Flag Jelajah Vanilla (Biotin : 5 mcg)
15. Sustagen Kid 3 Madu (Biotin : 5 mcg)
16. S-26 Procal Susu Bubuk (Biotin : 5.2 mcg)
17. Bebelove 2 Susu Formula Lanjutan (Biotin : 5.1 mcg)
18. New Vitalac 1+Madu Susu Pertumbuhan (Biotin : 9.8 mcg)
19. Bebelac 3 Presinutri (Biotin : 6.4 mcg)
20. Nutrilon Royal Soya Pronutra ( Biotin : 4.2 mcg )

Biotin terdapat dalam berbagai sumber makanan, seperti kuning telur mentah, susu ,
daging organ ( hati, ginjal ), ragi, dan sayuran berdaun hijau, biotin endogen disintesis oleh
koloni mikroflora dalam usus besar.35

Sumber Biotin Nabati


1. Swiss Chard
Sayuran hijau ini banyak mengandung biotin sekitar 10,5 mcg dalam satu cangkir.
2. Wortel
Untuk konsumsi harian, wortel yang dikonsumsi bisa mencapai 5 buah untuk
mendapatkan sekitar 50 mcg biotin pada wortel.
3. Kedelai

26
Dalam 100 gram kacang kedelai atau setara dengan setengah cangkir mengandung
biotin sebanyak 60 mcg.
4. Kacang-kacangan
Berbagai kacang-kacangan seperti kacang almond dan kenari merupakan sumber
makanan alami yang banyak mengandung biotin.
5. Buah-buahan
Beberapa jenis berry seperti strawberry kemudian pisang, dan buah lainnya juga
mengandung banyak biotin. Selain buah-buahan tersebut merupakan buah yang
baik untuk pemenuhan gizi dan sebagai antioksidan di dalam tubuh.
6. Sayuran Hijau
Sayuran hijau yang termasuk mengandung banyak biotin adalah bawang,
mentimun, kembang kol.
7. Roti Gandum
Dalam satu irisan roti gandum ini mengandung biotin sebanyak 0,2 sampai 6 mcg.
Biotin yang terkandung pada roti gandum lebih banyak dibandingkan pada roti
tepung terigu. Jika ingin memenuhi kebutuhan biotin harian, gunakanlah roti
gandum dengan kandungan 100% murni gandum.

Sumber Biotin Hewani


1. Telur Ayam
Telur bagus untuk dikonsumsi ke dalam tubuh. Namun, telur juga dapat membuat
tubuh kehilangan banyak biotin. Telur mengandung biotin pada kuning telurnya,
namun pada putih telur saat masuk ke dalam tubuh dapat membuat tubuh
kehilangan biotin (dalam konsumsi yang terlalu banyak telur). Sehingga untuk
mendapatkan biotin yang tepat, pisahkan putih telur dari kuning telurnya.
Dikarenakan pada putih telur mengandung protein avidin yang mengikat biotin
pada tubuh dan mengeluarkannya. Sebutir telur mengandung antara 13 sampai 25
mcg biotin.
2. Susu Sapi dan Susu Kambing
Selain mengandung kalsium dan zat lain yang bermanfaat, susu sapi dan susu
kambing juga mengandung biotin yang cukup banyak.

3. Ikan Salmon dan Ikan Halibut

27
Ikan salmon dan ikan halibut juga mengandung banyak biotin. Dengan takaran 3
ons, ikan salmon mengandung biotin sebanyak 4 sampai 5 mcg. Apalagi ikan
salmon ini tidak kehilangan kandungan vitamin B7nya dalam berbagai cara
diolahnya, seperti kalengan, dibakar, digoreng, ditumis, dan dijadikan sup.
4. Hati
Daging hati hewan juga mengandung biotin. Dengan mengkonsumsi daging hati 3
ons telah memenuhi seluruh kebutuhan biotin harian. Biotin yang terkandung di
hati sekitar 27 sampai 35 mcg. Daging hati yang mengandung biotin adalah daging
hati sapi, ikan salmon dan halibut.
5. Keju
Dalam satu ons keju cheddar mengandung biotin sebanyak 0,4 sampai 2 mcg. Keju
banyak jenisnya, dari keju swiss, keju colby, keju jack yang mana mengandung
biotin dengan kadar yang berbeda-beda.

28
BAB IV
KESIMPULAN

Kasus adalah seorang anak berusia 2 tahun 11 bulan, dirawat di bangsal anak lantai
1/C1L1, rujukan dari RS batang dengan diagnosa awal suspek keganasan hematologi.
Dari anamnesis didapatkan keluhan awal dirasakan sejak 8 bulan sebelum masuk
RS,anak demam naik turun, lemas, pucat, tidak disertai batuk, pilek, diare, muntah, dibawa
ke mantri dikatakan demam tifoid diberi antibiotik 5 hari tidak ada perbaikan, anak dibawa
kemantri lagi dilanjutkan antibiotiknya sampai 5 hari. Anak masih demam naik turun, lemas,
mata kuning, kulit tampak kering gatal kehitaman terutama bagian kaki, selangkang, pantat,
sering digaruk menjadi luka diberikan salep tidak ada perbaikan, perut membesar,bengkak
diseluruh tubuh, buang air kecil seperti teh, BAB tidak ada keluhan. Anak dibawa ke
dokterSp.A di RSI Pekalongan didiagnosis sakit ginjal, diberikan transfusi albumin, curcuma,
puyer. Setelah 19 hari dirawat, perut dan kaki tidak bengkak, masih demam hilang
timbul,kulit masih kehitaman, anak dipulangkan. Kurang lebih 3 bulan SMRS anak
demamnaik turun, lemas sulit berjalan, disertai pucat, kulit semakin menghitam, rambut
rontok, mata kuning, perut membesar, muntah, penurunan berat badan, perdarahan spontan
tidak ada, anak dibawa ke RS Islam Pekalongan dicek labolatorium hemoglobin 5 dl/ldan
hipoalbuminemia, anak dirawat inap ditransfusi PRC 2 unit @100 ml dan 150 ml transfusi
albumin 100 ml dan 50 ml, setelah 19 hari dirawat perbaikan anak dipulangkan timbul gejala
yang sama anak dirujuk ke RS Karyadi.
Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan saat awal masuk anak
tampak lemah,kulit dengan hiperpigmentosum, alopepsia, peningkatan fungsi hepar, ikterik,
hepatosplenomegali. Hasil laboratorium menunjukkan adanya peningkatan enzim hati, asam
laktat. Hasil urinalisis menunjukkan adanya sisa protein, lemak dan karbohidrat. Hasil MRI
menunjukkan adanya kalsifikasi ganglia basalis dan atrofi cerebri.
Anak didiagnosa dengan defisiensi biotinidase, anak tidak mendapat terapi oral
biotindengan diet susu hepatosol 6x75 ml pada saat awal diagnosis dikarenakan terjadi
peningkatan fungsi hati, saat ini anak diet dengan susu SGM 6x100 ml dan diet 3x nasi
denagan lauk, Pasien diberikan edukasi agar tetap kontrol ke divisi Nutrisi dan Penyakit
Metabolic, Pediatric Social dan Tumbuh Kembang, Rehabilitasi Medik, Endokrinologi,
Neurologi, THT, Kulit dan kelamin, Psikologi, Gigi dan Mulut, dan Mata. Prognosis adalah
ad malam.

29
Bagan Analisa Kasus

R
I Orang tua Sosial Pengetahuan dan Obat anti Susu formula
S ekonomi pendidikan Ortu konvulsan rendah biotin
I Gen pembawa (carier)
K kurang kurang
O

D
I
A
G Defisiensi Biotinidase
N
O
S
I
S
Gangguan
neurologis, Kelaina n
Gangguan Ganguan Kelainan Gangguan absorbsi Gangguan
T Global dermatologi
ophtamolog pernapasan imunologi karbohidrat, lemak, metakoline.
A development
T i protein
A delay

L
A
K
S Kuratif Preventif Promotif Rehabilitatif
A ⁻ Biotin bebas - Konseling genetik -Edukasi diet -Dukungan
N
A
⁻ Diet: susu tinggi biotin - Ortu sebagai gen -Edukasi penyakit psikologis &
sumber biotin nabati pembawa cek emosional.
sumber biotin hewani kehamilan 15-16 - Stimulasi dan
⁻ Sesuai komplikasi yang muncul minggu intervensi.
- Pencegahan
progresifitas penyakit

Asah
P Asih
R Asuh
O
G Prognosis
N
O Sda admalam
S
I
S
30
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf B. Worldwide survey of neonatal screening for biotin deficiency. J Inherit Met
Dis 1991; 14: 923-927 dalam biotinidase deficiency with hypertonia as unusual
feature narendra rathi and manisha rathi (case report)from rathi children and
maternity hospital, civil lines, akola 444 001, m.s., india
2. Wolf B. Disorders of Biotin Metabolism. In: Scriver CR, Beaudet AL, Sly WS, Valle
D (eds). The Metabolic and Molecular Bases of Inherited Disease. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2001.p.3935-3962. Dalam Biotinidase Deficiency (Case Report)
Ramdas Dahiphale, Shreepal Jain, Mukesh Agrawal
3. Biotinidase deficiency Lt Col RPS Tomar*, Lt Col D Vashisth†, Col R Vasudevan#
MJAFI 2012;68:81–83 case report
4. Biotinidase Deficiency: Early Presentation Saumya Chaturvedi, Jayashree Nadkarni*,
Rashmi Randa, Shweta Sharma, Rajesh Tikkas Scholars Journal of Applied Medical
Sciences (SJAMS) ISSN 2320-6691 (Online) Sch. J. App. Med. Sci., 2016;
4(2D):614-617 case report
5. ( x-plain biotinidase deficiency reference summary 2010)
6. Wolf B, Grier RE, Allen RJ, et al. Phenotypic variation in biotinidase deficiency. J
Pediatr 1983;103:233–237.
7. Biotinidase Deficiency Clinical Presentation Author: Germaine L Defendi, MD,
MS, FAAP; Chief Editor: Maria Descartes,
MD http://emedicine.medscape.com/article/942055-clinical
8. Wolf B, Heard GS, Weissbecker KA, McVoy JR, Grier RE, Leshner RT. Biotinidase
deficiency: initial clinical features and rapid diagnosis. Ann Neurol 1985;18:614–617.
Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease,
this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575
Genetest review
9. Wastell HJ, Bartlett K, Dale G, Shein A. Biotinidase deficiency: a survey of 10 cases.
Arch Dis Child 1988;63:1244–1249. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to
have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD,
PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
10. Wolf B. The neurology of biotinidase deficiency. Mol Genet Metab 2011;104:27–34.
Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease,
31
this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575
Genetest review
11. Salbert BA, Pellock JM, Wolf B. Characterization of seizures associated with
biotinidase deficiency. Neurology 1993;43:1351–1355. Dalam Biotinidase deficiency:
“if you have to have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry
Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
12. Chedrawi AK, Ali A, Al Hassnan ZN, Faiyaz-Ul-Haque M, Wolf B. Profound
biotinidase deficiency in a child with predominantly spinal cord disease. J Child
Neurol 2008;23:1043–1048. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to have an
inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet
Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
13. Wolf B, Secor McVoy J. A sensitive radioassay for biotinidase activity: deficient
activity in tissues of serum biotinidase-deficient individuals. Clin Chim Acta
1983;135:275–281. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited
metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med
2012:14(6):565–575 Genetest review
14. Taitz LS, Leonard JV, Bartlett K. Long-term auditory and visual complications of
biotinidase deficiency. Early Hum Dev 1985;11:325–331. Dalam Biotinidase
deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease, this is the one to
have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
15. Salbert BA, Astruc J, Wolf B. Ophthalmologic findings in biotinidase deficiency.
Ophthalmologica 1993;206:177–181. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to
have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD,
PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
16. Weber P, Scholl S, Baumgartner ER. Outcome in patients with profound biotinidase
deficiency: relevance of newborn screening. Dev Med Child Neurol 2004;46:481–
484. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic
disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–
575 Genetest review
17. Wolf B, Spencer R, Gleason T. Hearing loss is a common feature of symptomatic
children with profound biotinidase deficiency. J Pediatr 2002;140:242–246. Dalam
Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease, this is the
one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest
review
32
18. Burton BK, Roach ES, Wolf B, Weissbecker KA. Sudden death associated with
biotinidase deficiency. Pediatrics 1987;79:482–483. Dalam Biotinidase deficiency: “if
you have to have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf,
MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
19. Ramaekers VT, Brab M, Rau G, Heimann G. Recovery from neurological deficits
following biotin treatment in a biotinidase Km variant. Neuropediatrics 1993;24:98–
102. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic
disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–
575 Genetest review
20. Suormala T, Ramaekers VT, Schweitzer S, et al. Biotinidase Km-variants: detection
and detailed biochemical investigations. J Inherit Metab Dis 1995;18:689–700. Dalam
Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease, this is the
one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest
review
21. Tokatli A, Coskun T, Ozalp I. Biotinidase deficiency with neurological features
resembling multiple sclerosis. J Inherit Metab Dis 1997;20:707–708. Dalam
Biotinidase deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease, this is the
one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest
review
22. Wolf B, Pomponio RJ, Norrgard KJ, et al. Delayed-onset profound biotinidase
deficiency. J Pediatr 1998;132:362–365. Dalam Biotinidase deficiency: “if you have
to have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD,
PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
23. McVoy JR, Levy HL, Lawler M, et al. Partial biotinidase deficiency: clinical and
biochemical features. J Pediatr 1990;116:78–83. Dalam Biotinidase deficiency: “if
you have to have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf,
MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
24. Suormala TM, Baumgartner ER, Wick H, Scheibenreiter S, Schweitzer S.
Comparison of patients with complete and partial biotinidase deficiency: biochemical
studies. J Inherit Metab Dis 1990;13:76–92. Dalam Biotinidase deficiency: “if you
have to have an inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD,
PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
25. Improved Identification of Partial Biotinidase Deficiency by Newborn Screening
Using Age-Related Enzyme Activity Cutoffs: Reduction of the False-Positive Rate
33
Nicole VanVleck 1†, Barry Wolf 2,4,**, Mary Seeterlin 1, Kristin G. Monaghan 3,4,
‡, Eleanor Stanley 1, Harry Hawkins 1 and Bonita Taffe 1,* Int. J. Neonatal Screen.
2015, 1, 45-56; doi:10.3390/ijns1010045 artikel
26. Hymes J, Stanley CM. Wolf B; Mutations in BTD causing biotinidase deficiency.
Hum Mutat 2001; 18: 375-381
27. Weiner DL, Grier RE, Wolf B. A bioassay for determining biotinidase activity and for
discriminating biocytin from biotin using holocarboxylase synthetase-deficient
cultured fibroblasts. J Inherit Metab Dis 1985;8(suppl 2):101–102.
28. Ebrahim H, Dakshinamurti K. A fluorometric assay for biotinidase. Anal Biochem
1986;154:282–286.
29. Swango, K.L.; Demirkol, M.; Huner, G.; Pronicka, E.; Sykut-Cegielska, J.; Schulze,
A.; Wolf, B. Partial biotinidase deficiency is usually due to the D444H mutation in
the biotinidase gene. Hum.Genet. 1998, 102, 571–575. Dalam Improved Identification
of Partial Biotinidase Deficiency by Newborn Screening Using Age-Related Enzyme
Activity Cutoffs: Reduction of the False-Positive Rate Nicole VanVleck 1†, Barry
Wolf 2,4,**, Mary Seeterlin 1, Kristin G. Monaghan 3,4, ‡, Eleanor Stanley 1, Harry
Hawkins 1 and Bonita Taffe 1,* Received: 17 March 2015 / Accepted: 14 June 2015 /
Published: 19 June 2015 article
30. Mock DM, Baswell DL, Baker H, Holman RT, Sweetman L. Biotin deficiency
complicating parenteral alimentation: diagnosis, metabolic repercussions, and
treatment. Ann NY Acad Sci 1985;447:314–334.
31. Swick HM, Kien CL. Biotin deficiency with neurologic and cutaneous manifestations
but without organic aciduria. J Pediatr 1983;103:265–267.
32. Innes SM, Allardya DB. Possible biotin deficiency in adults receiving longterm total
parenteral nutrition. Am J Clin Nutr 1983;37:185.
33. McClain CJ, Baker H, Onstad GR. Biotin deficiency in an adult during home
parenteral nutrition. JAMA 1982;247:3116–3117. Dalam Dalam Biotinidase
deficiency: “if you have to have an inherited metabolic disease, this is the one to
have” Barry Wolf, MD, PhD1,2Genet Med 2012:14(6):565–575 Genetest review
34. Wolf B. Biotinidase deficiency: new directions and practical concerns. Curr Treat
Options Neurol 2003;5:321–328. Biotinidase deficiency: “if you have to have an
inherited metabolic disease, this is the one to have” Barry Wolf, MD, PhD1,2 Dalam
Genetics in medicine | Volume 14 | Number 6 | June 2012

34
35. Zempleni J, Wijeratne SS, Hassan YI. Biotin. Biofactors. 2009 Jan-Feb. 35(1):36-
46. [Medline]
36. Van Vliet D, et al. Single amino acid supplementation in aminoacidopathies: a
systematic review. Orphanet Journal of Rare Diseases 2014, 9 (7): 1-14.
37. K.A. Chapman, et al., Acute management of propionic acidemia, Mol. Genet. Metab.
(2011) 1-10.
38. Baumgartner MR, et al. Proposed guidelines for the diagnosis and management of
methylmalonic and propionic academia. Orphanet Journal of Rare Disease 2014,
9:130-66.
39. J.M. Saudubray, F. Sedel, J.H. Walter, Clinical approach to treatable inborn metabolic
diseases: an introduction, J. Inherit. Metab. Dis. 29 (2006) 261–274.
40. V.R. Sutton, et al., Chronic management and health supervision of individuals with
propionic acidemia, Mol. Genet. Metab. (2011), doi:10.1016/j.ymgme.2011.08.034.
41. S. Yannicelli, et al. Improved growth and nutrition status in children with
methylmalonic or propionic acidemia fed an elemental medical food, Mol. Genet.
Metab. 80 (2003) 181–188.
42. Walter JH, MacDonald A: The use of amino acid supplements in inherited metabolic

disease. J Inherit Metab Dis 2006, 29(2–3):279–280. 


43. Scholl-Burgi S, Sass JO, Zschocke J, Karall D: Amino acid metabolism in patients
with propionic acidaemia. J Inherit Metab Dis 2012, 35(1):65–70. 31.
44. Scholl-Burgi et al. Changes in plasma amino acid concentrations with increasing age
in patients with propionic acidemia. Amino Acids 2010, 38(5):1473–1481.
45. Al-Hassnan ZN et al. The relationship of plasma glutamine to ammonium and of
glycine to acid–base balance in propionic acidaemia. J Inherit Metab Dis 2003,
26(1):89–91.

35

Anda mungkin juga menyukai