Refarat Apendisitis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 25

REFARAT

APENDISITIS

Oleh:

Annisa Hardita 1708320055

Karina Amelia Nasution 1708320072

Yashinta Aqmalia 1708320092

Putra Diandro Utama 1708320103

Ade Rahma Anggraini 1708320114

Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di


SMF Ilmu Bedah di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

Pembimbing:
dr. Harry Butar Butar, Sp.B

SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan refarat ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior

di bagian SMF Ilmu Bedah RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan judul

“Apendisitis”

Refarat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori

yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Bedah RSUD

Deli Serdang Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis

kepada pasien. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah

membantu penulis dalam penulisan refarat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini masih memiliki

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari

semua pihak yang membaca refarat ini. Harapan penulis semoga refarat ini dapat

memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3

2.1 Anatomi Apendiks .................................................................................. 3

2.2 Histologi Apendiks ................................................................................. 5

2.3 Fungsi Apendiks ..................................................................................... 5

2.4 Definisi ................................................................................................... 6

2.5 Etiologi ................................................................................................... 6

2.6 Patofisiologi ............................................................................................ 6

2.7 Diagnosa ................................................................................................. 9

2.8 Diagnosa banding .................................................................................. 11

2.9 Penatalaksanaan ...................................................................................... 14

2.10 Komplikasi.............................................................................................. 19

2.11 Prognosis ................................................................................................ 19

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Alvarado Scale .............................................................................. 10

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Posisi dari usus besar................................................................ 3

Gambar 2.2 Variasi dalam posisi apendiks vermiformis ........................... 4

Gambar 2.3 Histologi Apendiks dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin . 5

v
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis didefinisikan sebagai inflamasi dari lapisan dalam apendiks


vermiformis yang menyebar ke bagian lainnya. Penyakit ini merupakan kegawat
daruratan bedah yang sering dijumpai, namun gejalanya sering tumpang tindih
dengan penyakit lain, karenanya sering terjadi keterlambatan penegakan
diagnosis. Bahkan walaupun saat ini dunia kedokteran telah berkembang pesat di
bidang diangnostik dan terapi, apendisitis tetap menjadi sebuah kasus emergensi
klinis dan merupakan salah satu penyebab tersering dari timbulnya nyeri
abdominal akut.1

Apendisitis dapat terjadi karena beberapa penyebab, seperti infeksi


langsung pada apendiks, namun faktor terpenting dari kondisi ini adalah obstruksi
dari lumen apendiseal. Apabila dibiarkan tanpa pengobatan, apendisitis dapat
mengakibatkan komplikasi- komplikasi yang berat, termasuk perforasi atau sepsis,
dan bahkan dapat menyebabkan kematian.1

Apendiktomi tetap menjadi satu- satunya pengobatan kuratif untuk


apendisitis. Kondisi ini merupakan salah satu kasus kegawat daruratan bedah
dengan insidensi 6%, yang juga merupakan penyebab tersering dari nyeri
abdomen.2 Apendisitis dapat diderita oleh semua golongsn usia, walaupun
insidensi terbanyaknya ada pada kelompok usia antara 10-20 tahun. Penyakit ini
jarang ditemukan pada anak dengan usia di bawah 2 tahun karena apendiksnya
berbentuk kerucut dengan lumen yang lebih besar.2

Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 kasus apendisitis diteukan tiap


tahunnya. Inisidensi dari apendisitis akut telah menurun sejak akhir tahun 1940-
an, dan angka kejadiannya sekarang adalah 10 kasus per 100.000 populasi.
Apendisitis diderita oleh 7% populasi Amerika Serikat, denan insidensi 1.1 kasus

1
2

per 1.000 orang per tahun. Ditemukan beberapa disposisi familial pada kondisi
ini.1

Pada negara- negara di Asia dan Afrika, insidensi dari apendisitis akut
lebih rendah, hal ini mungkin diakibatkan oleh kebiasaan diet dari populasi
masyarakat di negara- negara tersebut. Insidensi dari penyakit ini lebih rendah
pada lokasi- lokasi yang masyarakatnya memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi
banyak serat. Serat pada makanan disangkakan dapat menurunkan viskositas dari
feses, mengurangi waktu transit di usus, dan mencegah pembentukan fecalith,
yang merupakan faktor- faktor predisposisi dari obstruksi lumen apendiseal.2

Ada sedikit perbedaan dalam perbandingan insidensi penyakit ini pada pria
dan wanita yaitu sebanyak 3:2, pada remaja dan dewasa muda; pada dewasa,
insidensi apendisitis pada pria lebih besar 1.4 kali lipat. Insidensi apendisitis
meningkat sejak lahir, dan memuncak pada remaja akhir, dan perlahan turun pada
geriatri. Anak- anak memiliki insidensi perforasi yang lebih tinggi, yaitu sekitar
50-85%.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Apendiks

Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan


organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak
jaringan limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm).
Dasarnya melekat pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus
besar yang terletak di perbatasan ileum dan usus besar. Bagian apendiks
lainnya bebas. Apendiks ditutupi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat
pada lapisan bawah mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya
sendiri yang pendek yang dinamakan mesoapendiks. Mesoapendiks berisi
arteri, vena dan saraf-saraf.3

Gambar 2.1 Posisi dari usus besar. (1) sekum. (2) apendiks
vermiformis. (3) ascending colon. (4) transverse colon. (5) descending
colon. (6) sigmoid colon. (7) rektum. (8) anal canal.3

3
4

Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke


dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang
menghubungkan spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung
apendiks mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut
ini:4

 Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding


pelvis kanan,
 Melengkung di belakang sekum,
 Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
 Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.

Posisi apendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ


lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar
20% menggantung ke bawah di bawah tulang panggul.4

Gambar 2.2 Variasi dalam posisi apendiks vermiformis

Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan


parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X.3

Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan


arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya pada thrombosis,
apendiks akan mengalami gangrene.3,4
5

2.2 Histologi Apendiks

Apendiks terletak di bagian awal usus besar dan yang merupakan


evaginasi dari sekum. Apendiks ditandai dengan lumen yang relatif kecil dan
irregular, kelenjar tubuler yang lebih pendek dan kurang padat, dan tidak
memiliki taeniae coli. Apendiks tidak memiliki fungsi pencernaan, tetapi
merupakan komponen penting sebagai MALT(Mucosa-Associated Lymphoid
Tissue), dengan sejumlah besar folikel limfoid pada dindingnya.5

Gambar 2.3 Histologi Apendiks dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (1)


Mesenteriolum. (2) Mucosa with crypts. (3) Lymph follicles with germinal centers.
(4) Tela submucosa. (5) Tunica muscularis.5

2.3 Fungsi Apendiks

Apendiks merupakan suatu jaringan limfoid. Jaringan limfoid adalah


jaringan yang memproduksi, menyimpan atau memproses limfosit.6

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2ml per hari, yang


dikeluarkan ke dalam lumen dan mengalir ke sekum. Imunoglobulin yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di
6

sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan
limfoid disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh.6

2.4. Definisi

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab abdomen akut paling sering.7

2.5. Etiologi

Disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks langsung seperti fecalith,


hiperplasia limfoid sekunder akibat penyakit radang usus (IBD) atau infeksi (lebih
umum selama masa kanak-kanak dan pada dewasa muda), parasit (terutama di
negara-negara Timur), atau, lebih jarang, corpus alineum dan neoplasma.
Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan infeksi
termasuk penyakit Crohn, gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak,
dan mononukleosis. 7

2.6. Patofisiologi

Apendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas


dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari. Appendisitis dapat terjadi karena berbagai
macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau
bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan
obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil
observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendicitis akut dan 30-
40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks
juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis
7

berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari


reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki
peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mukus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi
appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, benda asing seperti, biji sayuran, dan batu buah dilibatkan dalam
terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendicitis.8

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti


berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendisitis,
khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan
serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilikal.
Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya
distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam
beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri,
dapat dipikirkan diagnosis lain.8

Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfe, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietal, serabut saraf somatik akan
8

teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di
titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri
somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum
parietal sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter
atau vesical urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi appendiks akan menyebabkan
terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada
kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon
terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu
melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan
fisik.8

Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering
dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang
lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abses yang dapat
diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai
tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam
jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abses pelvis.8
9

2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis

Apendisitis menjadi diagnosis banding pasien dengan nyeri abdomen akut


sesuai manifestasi klinis berikut yaitu mual dan muntah pada keadaan awal diikuti
nyeri perut kuadran kanan bawah yang semakin progresif.9

Diawali nyeri di periumbilikus dan muntah karena rangsangan peritoneum


visceral. Dalam waktu 2-12 jam seiring dengan iritasi peritoneal, nyeri perut akan
berpindah ke kuadran kanan bawah yang menetap dan diperberat dengan batuk
atau berjalan. Nyeri akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan akan
menunjukkan satu titik nyeri dengan maksimal. Gejala lain yang mungkin
dijumpai anoreksia, malaise, demam tak terlalu tinggi, konstipasi, diare, mual, dan
muntah.9

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,


sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Dijumpai
bising usus menurun/menghilang, nyeri tekan dan nyeri lepas (Blumberg’s sign,
nyeri lepas kontralateral, tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ) fokal
pada daerah apendiks yang disebut titikMcburney (sepertiga distal garis antara
umbilicus dan spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan). Iritasi peritoneum
ditandai adanya defans muscular, perkusi, atau nyeri lepas.7,9
Tanda khas diagnostik pada apendisitis akut adalah:
 Rovsing’s sign:
Jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di
sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Hasil umumnya
positif tapi tidak spesifik.
 Psoas sign:
Dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi
10

pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal
dari phlegmon atau abscess.Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah
appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak
dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
 Obturator sign:
Dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi
tungkai kanan dari lateral kemedial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
 Dunphy sign: nyeri ketika batuk
 Wahl’s sign:Nyeriperkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
 Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
 Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado


dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok. Tabel Alvarado Scale untuk membantu
menegakkan diagnosis.7

Tabel 2.1. Alvarado Scale7


Mnemonic (MANTRELS) Nilai
Symptoms Migation 1
Anorexia 1
Nausea-Vomiting 1
Signs Tenderness in RLQ 2
Rebound Pain 1
Elevation of temperature 1
>37.3oC
Laboratory Leukocytosis 1
Shift to the left 1
Total Score 10
1-4: Appendicitis unlikely
11

5-6 : Appendicitis possible

7-8 : Appendicitis probable

9-10 : Appendicitis very probable

2.7.3. Pemeriksaan penunjang

Leukositosis ringan (10.000-20.000/ul) dengan peningkatan jumlah


neutrophil. Leukositosis tinggi (>20.000/uL) didapatkan apabila sudah terjadi
perforasi dan gangrene.Urinalisis dapat dilakukan untuk membedakan dengan
kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada apendisitis akut didapatkan
ketonuria. Pada perempuan, perlu diperiksa tes kehamilan bila dicurigai
kehamilan ektopik sebagai diagnosis banding.9,10

Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter


anteroposterior apendiks yang lebih besar dari 7 mm, penebalan dinding, struktur
lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi target), atau adanya apendikolit.9,10

2.8. Diagnosis Banding

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis


karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya :11

a. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare


mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
b. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut.
13

c. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
d. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya
disertai keputihan dan infeksi urin.
e. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklusmenstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
f. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan 18 di
luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di
pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.
g. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah
yang sama.
h. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
i. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria
dan terjadi demam atau leukositosis.11
14

2.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi


penanggulangan konservatif dan operatif.7

2.9.1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak


mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik. 7

2.9.2. Operatif

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
apendiks dilakukan drainase. 7

Penanganan pada apendisitis adalah sebagai berikut: 7


 Terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi atau
septicemia.
 Pada pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
 Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien.
 Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan
lakukan pengukuran kadar hCG
 Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda septicemia dan
pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.
 Antibiotik Pre-Operatif
Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan keberhasilan dalam
menurunkan tingkat luka infeksi pasca bedah. Pemberian antibiotic spektrum
15

luas untuk gram negatif dan anaerob diindikasikan. Antibiotik preoperative


harus diberikan dalam hubungannya pembedahan.
 Tindakan Operasi
Apendiktomi, pemotongan apendiks. Jika apendiks mengalami perforasi,
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika. Bila terjadi
abses apendiks maka terlebih dahulu diobati dengan antibiotika IV, massanya
mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari. 7

Terapi medikamentosa bertujuan untuk membasmi infeksi dan untuk


mencegah komplikasi. Dengan demikian, antibiotik memiliki peran penting dalam
pengobatan radang usus buntu, dan semua itu. Agen di bawah pertimbangan harus
menawarkan aerobik penuh dan cakupan anaerobik. Durasi administrasi berkaitan
erat dengan tahap usus buntu pada saat diagnosis. 7

Agen antibiotik yang efektif dalam mengurangi tingkat infeksi luka pasca
operasi dan dalam meningkatkan hasil pada pasien dengan abses apendiks atau
septicemia. Infeksi Masyarakat Bedah merekomendasikan memulai antibiotik
profilaksis sebelum operasi, menggunakan agen spektrum yang sesuai untuk
kurang dari 24 jam untuk usus buntu nonperforated dan kurang dari 5 hari untuk
perforasi usus buntu. Rejimen adalah keberhasilan kira-kira sama, sehingga
pertimbangan harus diberikan untuk fitur seperti alergi obat, kategori kehamilan
(jika ada), toksisitas, dan biaya. 7

a. Penisilin
Penisilin adalah antibiotik bakterisida yang bekerja melawan organisme sensitif
pada konsentrasi yang memadai dan menghambat biosintesis dinding sel
mucopeptide. 7
 Piperasilin dan tazobactam sodium (Zosyn) Agen ini adalah kombinasi obat
beta-laktamase inhibitor dengan piperasilin. Ini memiliki aktivitas terhadap
beberapa organisme gram-positif, organisme gram-negatif, dan bakteri
16

anaerob. Ketika digunakan sebagai agen tunggal, menghambat biosintesis


dinding sel mucopeptide dan efektif selama tahap-tahap multiplikasi aktif.
 Ampisilin dan sulbaktam (Unasyn) Agen ini adalah kombinasi obat beta-
laktamase inhibitor dengan ampisilin. Hal ini digunakan sebagai agen tunggal
dan mengganggu sintesis dinding sel bakteri selama replikasi aktif,
menyebabkan aktivitas bakterisida terhadap organisme rentan. Ampisilin /
sulbaktam juga memiliki aktivitas terhadap beberapa organisme gram-positif,
organisme gram-negatif (spesies nonpseudomonal), dan bakteri anaerob.
 Tikarsilin / klavulanat (Timentin) Tikarsilin / klavulanat menghambat
biosintesis dinding sel mucopeptide dan efektif selama tahap pertumbuhan
aktif. Ini adalah penisilin ditambah beta-laktamase inhibitor antipseudomonal
yang memberikan perlindungan terhadap sebagian besar organisme gram-
positif, sebagian besar organisme gram-negatif, dan organisme yang paling
anaerob. 7

b. Cephalosporins
Sefalosporin secara struktural dan farmakologis berkaitan dengan
penisilin. Mereka menghambat sintesis dinding sel bakteri, sehingga aktivitas
bakterisida. 7
 Cefotetan (Cefotan) Cefotetan adalah sefalosporin generasi kedua yang
digunakan sebagai terapi tunggal obat untuk cakupan gram negatif anaerob
dan luas. Berikan cefotetan dengan cefoxitin untuk mencapai efektivitas dosis
tunggal. Yang setengah-hidup adalah 3,5 jam.
 Cefoxitin (Mefoxin) Obat ini juga merupakan sefalosporin generasi kedua
yang diindikasikan sebagai agen tunggal untuk pengelolaan infeksi yang
disebabkan oleh rentan gram positif cocci dan batang gram-negatif. Ia
memiliki paruh 0,8 jam.
 Cefepime Cefepime adalah sefalosporin generasi keempat. Ini memiliki
cakupan gram negatif sebanding dengan ceftazidime tetapi memiliki cakupan
gram positif yang lebih baik. Cefepime adalah ion zwitter yang cepat
menembus sel-sel gram negatif. 7
17

c. Aminoglikosida
Aminoglikosida memiliki aktivitas bakterisida tergantung konsentrasi. Agen-
agen ini bekerja dengan mengikat ribosom 30S, menghambat sintesis protein
bakteri. 7
 Gentamisin (Gentacidin, Garamycin) Gentamisin adalah antibiotik
aminoglikosida digunakan untuk cakupan gram-negatif, serta dalam
kombinasi dengan agen terhadap organisme gram-positif dan satu lagi
terhadap anaerob. Gentamisin bukanlah obat pilihan, tetapi
mempertimbangkan menggunakan obat ini jika penisilin atau obat yang
kurang beracun lainnya kontraindikasi, ketika terindikasi secara klinis, dan
infeksi campuran yang disebabkan oleh stafilokokus rentan dan organisme
gram-negatif. Agen ini dapat diberikan secara intravena atau intramuskular
dan memiliki banyak rejimen; dosis harus disesuaikan untuk kreatinin dan
perubahan volume distribusi. 7

d. Carbapenems
Carbapenems secara struktural terkait dengan penisilin dan memiliki
spektrum luas aktivitas bakterisida. The carbapenems mengerahkan efek mereka
dengan menghambat sintesis dinding sel, yang menyebabkan kematian
sel. Mereka aktif melawan organisme gram-positif, dan anaerob gram-negatif. 7
 Meropenem (Merrem) Meropenem adalah spektrum luas carbapenem
antibiotik bakterisida yang menghambat sintesis dinding sel. Hal ini
digunakan sebagai agen tunggal dan efektif terhadap sebagian besar bakteri
gram positif dan gram negatif.
 Ertapenem Ertapenem memiliki aktivitas bakterisida yang dihasilkan dari
penghambatan sintesis dinding sel dan dimediasi melalui ertapenem mengikat
protein penisilin-mengikat. Hal ini stabil terhadap hidrolisis oleh berbagai
beta-laktamase, termasuk penisilinase, cephalosporinase, dan extended-
spectrum beta-laktamase. 7
18

e. Fluoroquinolones
Obat ini dapat digunakan untuk meredakan sakit perut dibedakan akut pada
pasien yang datang. 7
 Ciprofloxacin (Cipro) Ciprofloxacin merupakan fluorokuinolon yang
menghambat sintesis DNA bakteri dan, akibatnya, pertumbuhan, dengan
menghambat girase DNA dan topoisomerase, yang diperlukan untuk
replikasi, transkripsi, dan translasi bahan genetik. Kuinolon memiliki aktivitas
yang luas terhadap organisme aerobik gram positif dan gram negatif.
 Levofloxacin (Levaquin) Levofloxacin digunakan untuk infeksi yang
disebabkan oleh berbagai organisme gram negatif, infeksi antipseudomonal
karena organisme gram-negatif resisten multidrug
 Moksifloksasin (Avelox) Moksifloksasin adalah fluorokuinolon yang
menghambat subunit A dari girase DNA, menghambat replikasi DNA bakteri
dan transkripsi. 7

f. Agen anti infeksi


Antiefeksi seperti metronidazole dan tigecycline efektif terhadap berbagai
jenis bakteri yang telah menjadi resisten terhadap antibiotik lain. 7
 Metronidazole (Flagyl) Metronidazole memiliki cakupan gram-negatif dan
anaerob luas dan digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida
(misalnya, gentamisin). Agen ini tampaknya diserap ke dalam sel-
sel; senyawa dimetabolisme antara mengikat DNA dan menghambat sintesis
protein, menyebabkan kematian sel.
 Tigecycline (Tygacil) Tigecycline adalah antibiotik glycylcycline yang secara
struktural mirip dengan antibiotik tetrasiklin. Ini menghambat translasi
protein bakteri dengan mengikat subunit ribosom 30S, dan blok masuknya
molekul tRNA amino-asil ke ribosom situs A. 7

g. Analgesik
Agen-agen ini dapat digunakan untuk meredakan sakit perut dibedakan akut
pada pasien yang datang ke UGD. 7
19

 Morfin sulfat (Astramorph, Duramorph, MS Contin, MSIR,


Oramorph) Morfin sulfat adalah obat pilihan untuk analgesia karena efek
yang dapat diandalkan dan dapat diprediksi, profil keamanan, dan kemudahan
reversibilitas dengan nalokson. Berbagai dosis intravena digunakan; morfin
sulfat umumnya dititrasi untuk efek yang diinginkan. 7

2.10. Komplikasi Post Operasi


a. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces;
karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.
b. Hernia cicatricalis.
c. Ileus
d. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah
Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosisdan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena
emboli retrograd darisistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.12

2.11. Prognosis

Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan


prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak
berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang
mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia saat ini.
Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis menjadi
2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-15%) pada anak
kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan
intervensi bedah lebih dini.12
BAB III

KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab abdomen akut paling sering.

Disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks langsung seperti fecalith,


hiperplasia limfoid sekunder akibat penyakit radang usus (IBD) atau infeksi (lebih
umum selama masa kanak-kanak dan pada dewasa muda), parasit (terutama di
negara-negara Timur), atau, lebih jarang, corpus alineum dan neoplasma.
Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan infeksi
termasuk penyakit Crohn, gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak,
dan mononukleosis.

Penanganan pada apendisitis adalah sebagai berikut: a) terapi kristaloid


untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi atau septicaemia, b) pada pasien
dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut, c)
berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien, d)
pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan lakukan
pengukuran kadar hCG, e) berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-
tanda septicemia dan pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi, f) tindakan
operasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Berger, D.H. Schawrtz Principle of Surgery: The appendix. 9th ed. United
States of America: The Mc Graw-Hill Companies. 2010.
2. Sulu, B., Gunerhan, Y., Palanci, Y., Isler, B., dan Caglayan, K.
Epidemiological and demographic features of appendicitis and influences of
several environmental factors. Turki: Ulus Travma Acll Cerrahi Derg. 2010;
16(1): 38-42.
3. Ellis, H. Clinical Anatomy Applied Anatomy for Students and Junior
Doctors: The abdomen and pelvis. 11th ed. United States of America:
Blackwell. 2006.
4. Fritsch, H. Color Atlas of Human Anatomy Internal Organs: The appendix.
5th ed, vol 2. Germany: Georg Thieme Verlag. 2008.
5. Mescher, A.L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas: Saluran cerna. Edisi
12. Alih bahasa oleh Dany, F. Jakarta: EGC. 2009.
6. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem: Pertahanan tubuh. Edisi
6. Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC. 2007.
7. Sjamsuhidajat, R., dan De Jong, W. Buku Ajar Ilmu Bedah SjamsuhidajatDe
Jong: Usus halus, apendiks, kolon dan anorektum. Edisi 3. Jakarta: EGC.
2007.
8. Maa. J. Sabiston Textbook of Surgery: The appendix. 18th ed. United States
of America: Saunders Elsevier. 2007.
9. Itskowiz, M.S., Jones, S.M.,. Appendicitis. Emerg Med. 2004; 36 (10): 10-15.
10. Brant, W.E., Helms, C.A.. Fundamentals of Diagnostic Radiology:
Gastrointestinal Tract. 3rd ed. United States of America: Lippincott Williams
& Wilkins. 2007.
11. Wibisno, E., dan Jeo, W.S. Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis. Edisi 4,
vol 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
12. O’Connell, P.R. Bailey & Love’s Short Pratice of Surgery: The vermiform
appendix. 25th ed. United Kingdom: Hodder Arnold. 2008.

Anda mungkin juga menyukai