Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Selulitis orbita merupakan proses infeksi pada orbita yang jarang


terjadi,dengan gambaran klinis antara lain demam (lebih dari 75% kasus disertai
leukositosis), nyeri, penurunan visus, proptosis, kemosis, dan keterbatasan
pergerakan bola mata. Selain kehilangan penglihatan, selulitis orbita juga
dikaitkan dengan sejumlah komplikasi serius lainnya seperti meningitis, sindroma
apex orbita, dan sepsis.(1–4)
Lebih dari 90% kasus selulitis orbita terjadi akibat kasus sekunder karena
infeksi sinus paranasal akut atau kronis terutamadi sinus ethmoid, sehingga faktor
predisposisi terutama riwayatpenyakit sinus atau riwayat operasi di sinus harus
ditanyakan dan dilakukan pemeriksaanct-scan sinus paranasal. Faktor predisposisi
selulitis orbita lainnya adalah trauma okuli, riwayat operasi, dakriosistitis, sisa
benda asing di mata dan periorbita, infeksi gigi (odontogen), tumor orbita atau
tumor intraokuler, serta endoftalmitis.(1,3,4,5,6)
Selulitis orbita berpotensi menjadi penyakit mematikan apabila tidak
tertangani dengan baik. Saat era pra antibiotik, selulitis orbita muncul sebagai
infeksi akut yang sering menyebabkan kebutaan bahkan kematian, dan jika
sampai ke Sinus Kavernosus maka angka kematian mencapai 100%. Seiring
dengan perkembangan antibiotik yang efektif, frekuensi terjadinya komplikasi
serius akibat selulitis orbita mulai menurun.(1,2,5,6)
Manajemen pasien dengan infeksi orbita tergantung pada durasi penyakit
dan sejauh mana keterlibatan orbita. Terapi medikamentosa yang kuat dan agresif
harus diberikan sejak dini untuk mencegah infeksi berkembang lebih lanjut,
sementara terapi surgikal diindikasikan jika terdapat abses atau adanya benda
asing.(1)Pada makalah ini akan dibahas3 kasus selulitis orbita yang dirawat diSub
Bagian Infeksi Imunologi Bangsal Mata RS M.Djamil Padang, dengan berbagai
stadiumdan komplikasi penyerta, serta manajemen penatalaksanaannya.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

Dilaporkan 3 serial kasus pasien selulitis orbita dengan berbagai stadium


dan komplikasi penyerta, serta manajemen penatalaksanaannya.

Kasus I
Seorang pasien wanita, umur 61 tahun, dikonsulkan dari bagian THT pada tanggal
15 September 2016
Keluhan Utama :
Bengkak di kedua kelopak bawah mata sejak 2 minggu yang lalu, bengkak di
kelopak bawah mata kanan pecah 4 hari yang lalu, mengeluarkan darah dan
nanah, serta terdapat nyeri dan demam. Pasien dikenal menderita rhinosinusitis
sejak 4 bulan yang lalu dan riwayat DM tipe 2 yang baru dikenal, pasien tidak
mempunyai riwayat sakit gigi dan riwayat trauma disangkal. Dari bagian THT
pasien telah diterapi dengan Cefoperazon 2x1gr (IV), Metronidazole 3x500mg
(IV), Dexametason 3x5mg, telah dikonsulkan dengan sub bagian penyakit dalam
dan mendapat terapi insulin.
Vital Sign :
Keadaan umum sedang; Kesadaran CM ; TD 130/80; Nadi 88x/menit, Suhu 37,50
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 5/5
Palpebra Abses palpebra inferior telah pecah, Edema (+) di palpebra
puncak abses ±1,5 cm dari kantus inferior,hiperemis (+), anel test
medial, pus (+), anel test (+) (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Funduskopi :
Media Bening Bening

2
Papil Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4 Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4
P. Darah Aa: Vv 2:3 Aa: Vv 2:3
Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdarahan (-), eksudat (-)
Makula Reflek fovea (+) Reflek fovea (+)
Posisi Ortho Ortho
Gerak Bebas Bebas

Laboratorium :
Hb 12,7gr/dl; Leukosit 6340/mm3; Ht 37%; Trombosit 310000/mm3,
GDP 464 mg/dl, GD2PP 660mg/dl.
CT Scan Sinus Paranasal :
Air fluid level pada sinus maxilaris kanan dan kiri.
Kesan sinusitis maxilaris bilateral.
Diagnosis :
- Selulitis Preseptal OS
- Abses palpebra inferior OD
Diagnosis THT :
- Rhinosinusitis Kronis
- Selulitis infra orbita
Diagnosis Penyakit Dalam :DM tipe 2 baru dikenal
Terapi :
- LFX ed 6x1 ODS
Terapi dari THT :
- Cefoperazone 2x1 gr (IV)
- Metronidazole 3x500mg (IV)
- Methylprednisolone 1x32mg
Terapi dari Penyakit Dalam : Insulin sliding scale
Rencana :
- Observasi (kesadaran, visus, RAPD, gejala meningeal)
- Kultur dan sensitivity test pus
- Rawat bersama sub bagian THT dan Penyakit Dalam, di Bangsal THT

3
Follow Up 21 September 2016 (Hari ke 6)
S : Nyeri (+), demam (-)
O : Keadaan umum sedang; Kesadaran CM ; TD 130/80; Nadi 88x/menit, Suhu
37,50; GDS 150 mg/dl
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 5/5
Palpebra Edema (-), pus (-) Edema (+), hiperemis (-), abses
palpebra inferiorukuran
20x15x10mm, undulasi (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Posisi Ortho Ortho
Gerak Bebas Bebas

Hasil Kultur :Klebsiella Sp (sentitif terhadap Levofloxacin, Cefoperazone,


Ciprofloxacin , Meropenem)
Diagnosis :
- Selulitis Preseptal OSdengan abses palpebra inferior OS
- Abses palpebra OD perbaikan
- Rhinosinusitis Kronis
- DM tipe 2
Terapi :
- LFX ed 6x1 ODS - Methylprednisolone 1x32mg
- Cefoperazone 2x1 gr (IV) - Insulin 3x8 U
- Metronidazole 3x500mg (IV)

4
Rencana :
Insisi abses palpebra OS dalam lokal anestesi (esoknya abses pecah spontan)

Follow Up 26 September 2016 (Hari ke 11)


S : Nyeri (-), demam (-)
O : Kesadaran CM ; TD 120/80 ; Suhu afebris
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 5/5
Palpebra Edema (-) Edema (+)↓, hiperemis (-), pus (-)
Konyungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Posisi Ortho Ortho
Gerak Bebas Bebas

Diagnosis :
- Selulitis Preseptal OS perbaikan
- Rhinosinusitis Kronis
- DM tipe 2
Terapi :
- LFX ed 6x1 ODS
- Ciprofloxacin2x500mg
Rencana :
- Rawat jalan, kontrol poli mata, interne, THT

5
Kasus II
Seorang pasien laki-laki, umur 48 tahun, datang ke UGD RS M.Djamil Padang
pada tanggal30 Agustus 2016
Keluhan Utama :
Mata kiri bengkak, merah, nyeri dan kabur sejak ±3 hari yang lalu, disertai
demam. Riwayat hidung tersumbat sejak ±1 bulan yang lalu, pasien tidak berobat
ke dokter. Riwayat sakit gulatidak ada,riwayat sakit gigi tidak ada, riwayat trauma
disangkal.
Vital Sign :
Keadaan umum:sakit berat; Kesadaran CM;TD 105/80; Nadi 58x/menit; Suhu
37,50.
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 1/300
Palpebra Edema (-) Edema (+), hiperemis (+), abses (+)
palpebra superior, undulasi (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+), kemosis (+)
Kornea Bening Bening, exposure (+)
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N+1 (p)
Funduskopi :
Media Bening Bening
Papil Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4 Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4
P.Darah Aa: Vv 2:3 Aa: Vv 2:3
Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdarahan (-), eksudat (-)
Makula Reflek fovea (+) Reflek fovea (+)
Posisi Ortho Protusio
Gerak Bebas Terbatas kesegala arah

6
Laboratorium :
Hb 12,9 gr/dl; Leukosit 26.300/mm3; Ht 38%; Trombosit 383.000/mm3;
GDS 107mg/dl

CT Scan Orbita :
Tampak soft tissue swelling di palpebra superior sinistra. Tampak perselubungan
dan penebalan mukosa sinus maxilaris sinistra, sinus ethmoid bilateral cavum nasi
sinistra, sinus sphenoid sinistra dan frontalis. Osteomeatal complex tertutup.
Kesan : Selulitis periorbita sinistra, Panrhinosinusitis sinistra
Diagnosis :Abses Orbita OS
Abses Palpebra Superior OS
Differensial Diagnosis :Abses Subperiosteal OS
Terapi :
- Cefotaxime 2x1 gr (IV) - Cenfresh ed tiap jam OS
- LFX ed 6x1 OS - Asam Mefenamat 3x500mg
- Chloramfenicol eo 3x1 OS

7
Rencana :
- Observasi (kesadaran, visus, RAPD, gejala meningeal)
- Konsul dan rawat bersama bagian THT(rawat di bangsal mata)Kesan :
pansinusitis sinistra dengan abses subperiosteal
Terapi :
 Metronidazole 3x500mg (IV)
 Dexametason 3x5mg
 Rencana : dekompresi orbita dengan pendekatan FESS (persiapan
operasi)
- Konsul Sub Bagian Tumor Kesan : abses orbita OS + abses palpebra
OS. Terapi sesuai sub bagian Infeksi Imunologi

Follow Up 1 September 2016 (hari ke 2)


S : Bengkak di mata membesar, nyeri meningkat
O :Keadaan umum sakit berat; Kesadaran CM ; TD 120/80 ; Suhu 36,50
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 1/300
Palpebra Edema (-) Edema (+),abses (+), undulasi (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+), kemosis (+)
Kornea Bening Bening, exposure (+) diinferior
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N+1(p)
Posisi Ortho Protusio
Gerak Bebas Terbatas kesegala arah

8
Diagnosis :
- Abses Orbita OS
- Abses Palpebra Superior OS
- Pansinusitis sinistra
Differensial Diagnosis : Abses Subperiosteal OS
Terapi :
- Cefotaxime 2x1 gr (IV) - Cenfresh ed tiap jam OS
- Metronidazole 3x500mg (IV) - Chloramfenicol eo 3x1 OS
- LFX ed 6x1 OS - Asam Mefenamat 3x500mg
Rencana :
- Observasi (kesadaran, visus, RAPD, gejala meningeal)
- Dekompresi orbita dengan pendekatan FESS (oleh sub bagian THT)
tanggal 02/09/2016

(Pre dan Post dekompresi orbita dengan pendekatan FESS hari I)

Laporan Operasi dekompresi orbita dengan pendekatan FESS :


Dilakukan dilatasi ostium sinus maxilla, tampak pus, irigasi dengan NaCl 0,9%.
Lakukan etmoidektomi anterior dan posterior, tampak pus, bersihkan. Lebarkan
dinding lateral cavum nasi, tampak lamina papyracea, insisi, keluar pus,
dibersihkan. Buka sinus frontal, tampak pus, bersihkan. Pasang tampon anterior.
Insisi palpebra superior di puncak abses, tampak pus, bersihkan.
Diagnosis Post Operasi : abses subperiosteal + abses palpebra superior +
pansinusitis sinistra
Terapi (post operasi) dari bagian THT :
- Cefotaxime 2x1 gr (IV) - Dexamethasone 3x5mg
- Gentamycin 2x80 mg (IV) - Pindah rawatan ke bangsal THT

9
Follow Up 10 September 2016 (12 hari)
S : Bengkak di mata (+),mata sulit dibuka, nyeri (+), pus banyak
O :Keadaan umum : sakit berat; Kesadaran CM ; TD 120/80 ; Suhu 37,00
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 2/60
Palpebra Edema (-) Edema (+), fistula (+), pus (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Injeksi konyungtiva (+), injeksi
siliar (+), kemosis (+)
Kornea Bening Defek parasentral (+) Ɵ8x5mm,
kedalaman subepitel
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N+1 (p)
Posisi Ortho Protusio
Gerak Bebas Terbatas kesegala arah

Kultur :
- Bakteri (6/9/16): tidak ditemukan pertumbuhan kuman anaerob
- Jamur (16/9/16) : tidak ditemukan pertumbuhan jamur pada media agar
Saboroud
Diagnosis :
- Abses orbita OS post dekompresi orbita dengan pendekatan FESS (hari ke 8)
- Abses Palpebra Superior OS
- Keratitis exposure OS
- Pansinusitis OS
Rencana :
- Observasi (kesadaran, visus, RAPD, gejala meningeal)
- Insisi abses palpebra, debridemant, dan drainage pus dalam lokal anestesi
(oleh sub bagian Tumor)

10
Laporan Operasi :
Pasien dalam lokal anestesi, spooeling sakus konyungtiva. Dicoba
keluarkan pus dari fistula kutaneus, tidak bisa keluar. Perluas fistel dengan insisi
sedalam lamela anterior, keluar pus ± 3cc. Irigasi pus semaksimalnya. Jahit luka
insisi dengan prolene 6.0 di tiga tempat. Beri salf antibiotik.

Terapi (post operasi) :


- Ceftazidime 2x2 gr (IV)
- Gentamicyn 2x800mg (IV)(selama 10 hari) Metronidazole 3x500mg (IV)
- Dexamethasone 3x5mg (IV) (selama 12 hari) Methylprednisolone 1x44mg
(0,8mg/kgBB)
- LFX ed 6x1 OS
- Cenfresh ed tiap jam OS
- Chloramfenicol eo 3x1 OS
- Asam Mefenamat 3x500mg

Follow Up 19 September 2016 (3 minggu)


S : Bengkak di mata (+)↓, nyeri (+)↓
O :Keadaan umum : sakit sedang; Kesadaran CM ; TD 120/80 ; Suhu afebris
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 4/60
Palpebra Edema (-) Edema (+), pus (-), trikiasis (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Injeksi konyungtiva (+), injeksi siliar
(+), kemosis di inferior ↓
Kornea Bening Defek parasentral (+) Ɵ6x4mm,
kedalaman epitel, epitelialisasi belum
sempurna
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm

11
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Posisi Ortho Protusio ↓
Gerak

Diagnosis :
- Abses orbitaOS perbaikan
- Keratitis exposure OS
- Trikiasis OS
Terapi :
- Ciprofloxacin 2x500mg - Methylprednisolone 1x32mg (tapp aff)
- LFX ed 6x1 OS - Epilasi
- Cenfresh ed/2 jam OS - Rawat jalan, kontrol poli mata dan THT
- Chloramfenicol eo 3x1 OS

Follow Up 25 Oktober 2016(8 minggu)


S:-
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/5 5/20 ph 5/7F
Palpebra Edema (-) Edema (-),trikiasis (+)
Konyungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-), simblefaron (+) di
inferior
Kornea Bening Defek parasentral dengan epitelialisasi
sempurna
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening

12
TIO N (p) N (p)
Posisi Ortho Ortho
Gerak Bebas Bebas

OS

Diagnosis :
- Abses orbitaOS perbaikan
- Keratitis exposure OS perbaikan
- Trikiasis OS
- Simblefaron OS
Terapi :
Cenfresh ed 6x1 OS

Kasus III
Seorang pasien laki-laki, umur 15 tahun, konsul dari bagian Bedah RS M.Djamil
Padang pada tanggal 22 Oktober 2016
Keluhan Utama :
Kedua mata menonjol sejak ±4 hari yang lalu, sebelumnya ± 1 minggu yang lalu
pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan sudah dirawat di bangsal bedah RS
M.Djamil, 3 hari dirawat mata mulai menonjol dan kabur, pasien lalu dikonsulkan
ke bagian mata (sub bagian tumor), diassement sebagai suspek fistula carotid
kavernosus, saat itu pasien dianjurkan untuk CT scan orbita, namun esoknya
pasien pulang. Saat dirumah mata semakin menonjol, pasien kemudian kembali
dirawat dan dikonsulkan ke bagian mata.
Vital Sign :
Keadaan Umum : sakit berat; Kesadaran : GCS 14; TD 110/80; nadi 96x/menit;
nafas 21x/menit; suhu : 370C

13
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus Sulit dinilai (somnolen) Sulit dinilai (somnolen)
Palpebra Hematom (+), Edema (+),bruit(-) Hematom (+), Edema (+),bruit(-)
Konyungtiva Kemosis (+) 3600 Kemosis (+) di inferior
Kornea Defek kornea sentral, Ɵ ±8-9 mm, Defek kornea parasentral, kedalaman
kedalaman stromal, maserasi (+) stromal,Ɵ ± 3-4mm
COA Cukup dalam
Iris Sulit dinilai Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ3mm, RAPD (-)
Lensa Bening
TIO N+1 (p) N+1 (p)
Posisi Protusio Protusio
Gerak Sulit dinilai Sulit dinilai
Funduskopi Belum bisa dinilai Belum bisa dinilai

Laboratorium :
Hb 13,9 gr/dl; Leukosit 23.340/mm3; Ht 40%; Trombosit 412.000/mm3

CT ScanOrbita:
Soft tissue swelling di regio orbita.
Fraktur os frontal, fraktur dinding
anterior sinus maxilla sinistra,
hematosinus maxilla dan ethmoid
bilateral

14
Diagnosis :
- Selulitis orbita ODS dengan Trombosis Sinus Kavernosus
- Ulkus korneaexposure ODS
Diagnosis Bedah :
- Intra Cranial Haemorrhage dan Epidural Haemorrhage
- Protusio bulbi
Terapi :
- Meropenem 3x1 gr (IV) - Cendomycetine eo 3x ODS
- Vancomycin 3x750mg (IV) - Glaucon 4x250mg
- LFX ed/jam OD, LFX ed 6xOS - Aspar K 2x1
- SA ed 3x OD - Cendolyteers tiap jam ODS
Rencana :
- Observasi ketat (kesadaran, RAPD, gejala meningeal)
- Konsul sub bagian THT  kesan fraktur dinding anterior sinus maxilla
dextra, Hematosinusmaxillaris bilateral. Tidak ada tindakan intervensi,terapi
sesuai mata.
- Konsul Sub Bagian Tumor  kesan Selulitis orbita ODS. Terapi sesuai sub
bagian Infeksi Imunologi

Follow Up 26 Oktober 2016(Hari ke 4)


S : Sadar
O :Keadaan umum : sakit berat; Kesadaran CM ; TD 120/80 ; Suhu afebris
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 1/300 ½ /60
Palpebra Hematom (+), Edema (+) Hematom (+), Edema (+)
Konyungtiva Injeksi konyungtiva (+), injeksi Injeksi konyungtiva (+), injeksi siliar
siliar (+), kemosis 3600 (+), kemosis di inferior↓
Kornea Defek kornea sentral, Ɵ ±8-9 mm, Defek kornea parasentral, kedalaman
kedalaman 1/3 stromal anterior, 1/3 stromal anterior, Ɵ ± 3-4mm
maserasi (+)↓
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Semi midriasis (SA) Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening

15
TIO N (p) N (p)
Posisi Protusio Protusio
Gerak Terbatas Terbatas

Diagnosis :
- Selulitis orbita ODS dengan Trombosis Sinus Kavernosus
- Ulkus kornea exposure ODS
Terapi :
- Meropenem 3x1 gr (IV) - LFX ed/jam OD, LFX ed 6xOS
- Vancomycin 3x750mg (IV) - SA ed 3x OD
- Methylprednisolone 1x48 mg (1mg/kgBB) - EDTA 4x1 OD
- Glaucon 4x250mg - Cendomycetine eo 3x ODS
- Aspar K 2x1 - Cendolyteers ed/2 jam ODS
- Tetrasiklin 4x250mg

Follow Up 2 November 2016 (12 hari)


S:-
O :Keadaan umum : sedang; Kesadaran CM; TD 120/80 ; Suhu afebris
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/60 4/60
Palpebra Edema (+)↓ Edema (-)
Konyungtiva Injeksi konyungtiva (+), injeksi Injeksi konyungtiva (+), injeksi
siliar (+), kemosis (+)di inferior↓ siliar (+)
Kornea Defek kornea sentral, Ɵ ±8-9 mm, Defek kornea parasentral, Ɵ ± 3-
kedalaman 1/3 stromal anterior, 4mm, kedalaman 1/3 stromal
maserasi (+)↓, epitelialisasi (+) anterior, epitelialisasi (+)
COA Cukup dalam Cukup dalam

16
Iris Coklat Coklat
Pupil Semi midriasis (SA) Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Funduskopi :
Media Keruh Agak keruh
Papil Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4,
perdarahan peripapil (+)
P. Darah Aa:vv 2:3
Retina Detail sulit dinilai Perdarahan (+), soft eksudat (+)
Lesi hiperpigmentasi di makula,
batas tegas
Makula reflek fovea (-)
Posisi Ortho Ortho
Gerak

OD OS

Foto Fundus OS :

Kesan :
Perdarahan retina inferior dan peripapil,soft exudate, lesi hiperpigmentasi dan
berbatas tegas di makula
Laboratorium :
- IgM anti Toxo 0,213 (non reactive)
- IgGanti Toxo 319,1 (reactive)

17
Diagnosis :
- Selulitis orbita ODS dengan Trombosis Sinus Kavernosusperbaikan
- Ulkus kornea exposureODS
- Chorioretinitis OS ec toxoplasma
Terapi :
- Meropenem 3x1 gr (IV) - SA ed 3x OD
- Vancomycin 3x750mg (IV) - EDTA 4x1 OD
- Methylprednisolone 1x36 mg (tapp aff) - Repithel ed 6x1 OD
- Tetrasiklin 4x250mg - Cendomycetine eo 3x OD
- LFX ed/jam OD, LFX ed 4xOS - Cendolyteers/12 jam ODS
Rencana :
- Konsul Vitreoretina kesan : Chorioretinitis ec toxoplasma, terapi :
observasi,antibiotik sesuai sub bagian infeksi imunologi.

Follow Up 18 November 2016 (4 minggu)


S: -
O :Keadaan umum : baik; Kesadaran CM ; TD 120/80 ; Suhu afebris
Status Oftalmologi :
OD OS
Visus 5/20 5/30
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Konyungtiva Injeksi konyungtiva (+), injeksi Injeksi konyungtiva (+), injeksi
siliar (+) siliar (+)
Kornea Defek kornea sentral dengan Defek kornea parasentral dengan
epitelialisasi sempurna epitelialisasi sempurna
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm Bulat, reflek +/+, Ɵ2-3mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Posisi Ortho Ortho
Gerak Bebas Bebas

18
Diagnosis :
- Selulitis orbita ODS dengan Trombosis Sinus Kavernosus perbaikan
- Ulkus kornea exposure ODS
- Chorioretinitis OS ec toxoplasma
Terapi :
- Methylprednisolone 1x24mg (tappering aff)
- Cendolyteers 6x1 ODS
- Rawat jalan, kontrol poli mata

19
BAB III
DISKUSI

Anatomi daerah orbita memiliki struktur khusus yang memungkinkan


perluasan infeksi dari dan ke daerahlain yang berdekatan. Misalnyaseptum
orbitayang tipis dapat menyebarkan infeksi dari periorbita ke dalam cavum orbita.
Infeksi di orbita juga dapat meluas dari dan ke sinus paranasal yang mengelilingi
cavum orbita, selain itu pembuluh darah didaerah orbita juga potensial untuk
penyebaran infeksi secara hematogen baik secara anterogradeatauretrograde.(7–9)
Septum orbitamerupakan suatu membran tipis yang memisahkan kelopak
mata di superfisial dengan struktur okular lain didalam rongga mata. (Gambar 1).
Septum ini membentuk suatu barrier yang dapat mencegah infeksi dari kelopak
mata masuk lebih dalam orbita. Infeksi pada jaringan lunak di depan septum
orbitaseptum dikenal dengan istilah selulitis periorbita atau dengan nama lain
selulitis preseptal, yang dapat mempengaruhi kelopak mata dan adneksanya,
sementara infeksi di posterior septum terbagi atas selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita, dan komplikasi lanjutannya adalah trombosis Sinus
Kavernosus.(1–4,7–9)

Gambar 1. Septum Orbita8


Orbitadipisahkan darisinus ethmoid dan maksilaoleh lempengan tulang
yang tipis yang disebut lamina papyracea,yang memiliki struktur tipis dan
memiliki beberapa defek. Infeksi dapat menyebar langsung akibat penetrasi
langsung melalui tulang tipis tersebut, atau dapat juga melintasi langsung

20
foraminaethmoid anterior dan posterior. Kombinasi dari tulang tipis, banyak
foramen neurovaskular, dan beberapa defek tulang yang terjadi secara alami
memungkinkan mudahnya penyebaranbahan-bahan infeksius yang berasal
dariruang ethmoidal dan ruang subperiosteal medial sehingga lokasi yang paling
sering terjadinya abses subperiosteal sekunder akibat sinusitis akut adalah di
sepanjang dinding orbita medial(Gambar 2). Penyebaran pada anak-anak, karena
tulang septadan dinding sinusnya lebih tipis, garis sutura yang masih terbuka dan
foramen vaskular yang lebih besarPerluasan infeksi juga dapat berkembang ke
rongga intrakranial, menjadi meningitis, abses epidural dan subdural, dan abses
parenkim otak terutama dari lobusfrontal.(4,8–10)

Gambar 2. Sinus paranasal(8)

Vena orbitayang memiliki struktur yang tidak berkatup juga


memungkinkan berjalannya proses infeksi, baik dari arah
anterogradeatauretrograde. Drainase vena dari sepertiga tengah wajah dan sinus
paranasal sebagian besar berjalan melalui vena orbita kemudian berjalan ke
inferior masuk ke pleksus pterygoideus atau ke posterior ke dalam sinus
kavernosa. Proses infeksi yangterjadi di Sinus Kavernosusdapat melibatkan
struktur yang terletak di dalamnya, termasuk saraf kranial III, IV, V (divisi
oftalmikus dan maxilla) dan VI, arteri karotis internal dan saraf simpatik orbita.
Infeksi juga dapat meluas ke kelenjar pituitari, meningen dan ruang
parameningeal.Sistem vena mata yang tidak memiliki katup juga menyebabkan
terjadihubungan sistem vena dan limfatik secara langsung yang memungkinkan
aliran di kedua arah, sehingga memungkinkan terjadinya tromboflebitis retrograde

21
dan penyebaran infeksisecara hematogen dari fokal infeksi yang jauh (Gambar
3).(7,8,11)

Gambar 3. Anatomi orbita, sinus paranasal, Sinus Kavernosus dan drainase vena(1,7)

Dahulu Haemophilus Influenzae Tipe B (Hib) merupakan organisme


patogen tersering sebagai penyebab selulitis preseptal dan selulitis orbita,
terutama pada anak-anak. Dengan munculnya vaksin konjugasi Hib pada tahun
1985, kejadian infeksi Hib memiliki penurunan secara signifikan. Studi terbaru
menunjukkan saat ini Staphylococcus species(S. aureus, S. epidermidis dan
S.pyogenes) merupakan kuman yang paling sering sebagai penyebab selulitis
orbita pada anak, 73% diantaranya merupakan Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), diikuti oleh kuman Streptococcus species
(Streptococcus pneumoniae) Haemophilus influenzae, bakteri anaerobik
(Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium and Peptostreptococcus spp.).(2,3,6,10–
12)

Pada tahun 1937, Hubert mengelompokkan komplikasi orbita akibat


sinusitis akut. Klasifikasi ini dimodifikasi oleh Smith dan Spencer pada tahun
1948, kemudian disempurnakan oleh Chandler pada tahun 1970 (Gambar
3).(1,2,4,6,8)

22
Gambar 4. Klasifikasi Chandler.(2)

A. Selulitis preseptal
Infeksi di anterior bola mata, dibatasi oleh septum orbita, dengan klinis
pembengkakan kelopak mata, merah dan nyeri, namun tidak ada
oftalmoplegia. Dapat berkembang pada tahap awal sinusitis ethmoid.
B. Selulitis orbita
Infeksi telah melewati septum orbita dan melibatkan jaringan lunak dari
orbita, menyebabkan penurunan visus, protusio, kemosis, oftalmoplegi dan
diplopia.
C. Abses subperiosteoal
Akumulasi pus di daerah lamina papyaracea mendorong bola mata ke sisi
berlawanan. Menyebabkan penurunan visus dengan protusio, kemosis,
oftalmoplegi dan exophthalmus.
D. Abses orbita
Protusio berat, kemosis, oftalmoplegi, demam, nyeri dan penurunan visus
berat
E. Trombosis Sinus Kavernosus (TSK)
End stage dari infeksi orbitayang meluas ke intra kranial. TSK dicurigai bila
terdapat tanda-tanda progresivitas seperti proptosis hebat, pupil midriasis atau
miosis, Relative Afferen Pupillary Defect(RAPD), serta penurunan kesadaran
dan gejala meningeal.

Pada makalah ini dilaporkan 3 serial kasus infeksi orbita, manajemen serta
komplikasi yang menyertainya. Kasus pertama wanita, 61 tahun dikonsulkan dari
bagian THT. Berdasarkan anamnesa didapatkan pasien mengeluh bengkak di

23
kedua kelopak bawah mata sejak 2 minggu yang lalu, bengkak di kelopak bawah
mata kanan telah pecah 4 hari yang lalu, mengeluarkan darah dan nanah, terdapat
nyeri dan riwayat demam sebelumnya. Pasien dikenal menderita rhinosinusitis
sejak 4 bulan yang laludan Diabetes Mellitus yang baru dikenal. Pada
pemeriksaan oftalmologi ditemukanpalpebra kiri tampak edema, hiperemis dan
nyeri, sementara pada palpebra kanan terdapat abses yang telah pecah dan
mengeluarkan pus. Tidak terdapat penurunan visus, proptosis dan oftalmoplegia
pada pasien ini. Pemeriksaan Anel Test dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan dakriosistitis dan hasilnya positif. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil leukositosis dan hiperglikemia, dan dari pemeriksaan ct scan
sinus paranasal ditemukan sinusitis maxilaris bilateral. Pasien didiagnosis sebagai
selulitis preseptal OS dan abses palpebra OD. Saat dikonsulkan, pasien telah
mendapat terapi antibiotik sistemik, yaitu Cefoperazone 2x1gr dan Metronidazole
3x500mg dari bagian THT, dan mendapat insulin sliding scale untuk mengontrol
gula darah. Kurang lebih 2 minggu rawatan, respon terhadap terapi cukup baik,
pasien di izinkan melanjutkan rawat jalan dan kontrol ke poli.
Selulitis preseptal didefinisikan sebagai infeksi di kelopak mata dan
jaringan lunak di superfisial periorbita, tanpa keterlibatan bola mata dan orbita.
Mekanisme terjadinya selulitis preseptal dapat terjadi melalui 3 kemungkinan
antaralain : 1. Perluasan infeksi dari saluran nafas secara hematogen atau limfogen
yang terutama sering tejadi pada anak-anak;2. Inokulasi langsung dari trauma atau
infeksi kulit seperti terkena gigitan serangga yang terinfeksi, impetigo, jerawat,
eksim, atau akibat operasi periokular; 3. Penyebaran infeksi dari kulit atau
struktur yang berdekatan, seperti rinosinusitis (terutama ethmoiditis yang
merupakan faktor predisposisi yang paling sering untuk selulitis preseptal dan
selulitis orbita), hordeolum, dakriosistitis/dakrioadenitis, infeksi saluran
pernapasan atas, abses gigi, infeksi telinga, dan lainnya. Selulitis preseptal
biasanya memberikan klinis sebagai edema dan ertitema di kelopak mata, dan
perluasan infeksi biasanya terbatas di superfisial orbita saja. Tajam penglihatan,
reaksi pupil, gerak otot ekstraokuler dan tekanan intra okuler biasanya normal,
dan tidak ditemukan adanya protusio. Selulitis preseptal biasanya selalu
mengalami perbaikan tanpa komplikasi yang serius. Komplikasi yang dapat

24
terjadi antara lain abses kelopak mata, namun juga dapat berkembang progresif
menjadi selulitis dan abses orbita.(2,8,9,4,10)
Pada pasien kasus pertama, di ketahui pasien menderita diabetes mellitus
(DM) yang baru dikenal, dengan gula darah tinggi pada saat awal masuk.
Rhinosinusitis kronis yang terjadi pada pasien ini dengan komplikasi selulitis
preseptal dan akumulasi abses palpebradapat disebabkan karena
hiperglikemianya. Dari kultur pus palpebra didapatkan hasil Klebsiella Sp yang
sentitif terhadap Levofloxacin, Cefoperazone, Ciprofloxacin, dan Meropenem.
Klebsiellasp merupakan organisme virulen yang sering ditemui pada pasien DM,
dimana penelitian menyebutkan kemungkinan disebabkan fungsi netrofil yang
menurun dan aktivitas fagositosis netrofil yang terganggu pada pasien dengan
DM. Dicurigai bahwa penyebaran kuman Klebsiella sp berasal dari infeksi sinus
paranasal yang bermetastasis ke orbita dengan penyebaran secara hematogan.
Manajemen selulitis preseptal yaitu pemberian antibiotik yang dapat dimodifikasi
sesuai respon klinis dan interpretasi hasil kultur dan tes sensitivitas. Pada kasus
yang ringan dapat diberi antibiotik oral broad spectrum, dan pada kasus lebih
berat atau respon yang kurang baik terhadap terapi oral dapat diganti menjadi
intravena. Pilihan antibiotik intravena yang diberikan pada pasien ini
dipertimbangkan karena pasien menderita DM dan pilihan antibiotik juga ternyata
sesuai dengan hasil kultur. Pemberian antibiotik, antiinflamasi bersamaan dengan
pemberian insulin untuk mengontrol gula darah memberi respon terapi yang
cukup baik.(2,9,13,14)
Kasus kedua, dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 48 tahun dengan
keluhan mata kiri bengkak, nyeri, kabur sejak ±3 hari yang lalu, dan disertai
riwayat demam.Terdapat riwayat hidung tersumbat, namun pasien tidak berobat
ke dokter, riwayat trauma dan riwayat sakit gula disangkal. Pada pemeriksaan
oftalmologi didapatkan penurunan visus mata kiri, yaitu 1/300. Tampak edema
dan hiperemis di palpebra mata kiri dan teraba massa abses dengan undulasi
positif. Konyungtiva hiperemis disertai kemosis, bola mata kiri tampak protusio
dengan keterbatasan gerak ke segala arah, serta terdapat exposure di
kornea.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan didapatkan hasil leukositosis dan

25
dari pemeriksaan ct scan sinus paranasal didapatkan kesanselulitis periorbita
sinistra dan panrhinosinusitis sinistra.
Berdasarkan temuan klinis yang didapat, pasien didiagnosis sebagai abses
orbita OS dengan differensial diagnosisabses sub perioesteal OS. Pasien mendapat
terapi antibiotik Cefotaxim 2x1 gr, antibiotik topikal dan artificial tears. Pasien
dikonsulkan ke bagian THT, di assesment sebagai pansinusitis sinistra dengan
abses subperiosteal dan mendapat tambahan terapi antibiotik Metronidazole
3x500mg, anti inflamasi Dexamethasone 3x5mg serta direncanakan untuk
dilakukan tindakan dekompresi orbita dengan pendekatan Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS) esoknya.
Infeksi pada jaringan lunak di posterior septum terbagi atas selulitis orbita,
abses subperiosteal, abses orbita, dan komplikasi lanjutannya adalah trombosis
Sinus Kavernosus. Infeksi di posterior septum dapat terjadi akibat komplikasi
infeksi di anterior septum yang tidak termanajemen dengan baik, atau dapat juga
akibat infeksi di daerah tersebut sendiri atau perluasan infeksi dari tempat lain.
Selulitis orbita memberi gambaran edema dan eritema pada jaringan periorbita
yang cepat diikuti oleh nyeri hebat, mata kabur dengan atau tanpa
diplopia,konyungtiva biasanya kemosis, proptosis, dan ophthalmoplegia, juga
dapat disertai gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, dan nyeri sendi.
Biasanya ada riwayat trauma, sinusitis akutatau infeksi saluran pernapasan atas
beberapa hari sebelum edema kelopak mata.(2,5,8,12,6,11)
Gejala dapat berkembang dengan cepat, dengan demikian diagnosis dan
pengobatan yang cepat dan tepat adalah hal yang terpenting. Orbita selulitis dapat
memiliki banyak komplikasi, antara lain komplikasi okular seperti
keratitisexposure, peningkatan tekanan intra okular, obstruksi arteri dan vena
retina sentralis, neuropati optik, abses periosteal dan abses orbita. Komplikasi
intra kranial juga dapat terjadi, yaitu meningitis pada 2% pasien dengan selulitis
orbita.(2,5,6,8,11,12,15)
Pilihan terapi antibiotik yang tepat dan drainase bedah merupakan hal
penting dalam manajemen pasien ini. Keterlambatan drainase bedah
dandekompresi dapat meningkatkanmorbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan
pengobatan yang kuat dapat meningkatkan kelangsungan hiduphingga 70-75%.

26
Tindakan dekompresi orbita dengan pendekatan FESS dilakukan dengan
membuka dan membersihkan akumulasi pus di ostium sinus maxilla, etmoidal,
lamina papyracea dan sinus frontal serta insisi di puncak abses palpebra.
Observasi 1 minggu, pus yang keluar melalui hidung berkurang, namun abses di
palpebra belum menunjukkan perbaikan, maka dilakukan lagi tindakan insisi
abses, debridement dan drainase pus di palpebra. 1 minggu kemudian, perbaikan
yang signifikan mulai terlihat, visus mata kiri maju menjadi 3/60, edem dan pus
mulai berkurang, kemosis, keratitis exposure dan gerak bola mata mulai
menunjukkan perbaikan, walaupun masih terbatas. 4 minggu rawatan, pasien
diperbolehkan melanjutkan terapi rawat jalan. Follow up 10 minggu, didapatkan
visus mata kiri 5/20 dengan pin hole 5/7F, exposure di kornea telah epitelialisasi
sempurna, dan gerakan bola mata bebas kesegala arah, namun didapatkan
komplikasi berupa simblefaron di konyungtiva inferior dan trikiasis. Sebuah
literatur review mengatakan dari 96 pasien selulitis orbita yang ditatalaksana,
didapatkan sekuel termasuk kelemahan okulomotor 17%, kebutaan 17%,
insufisiensi pituitary 2% dan hemiparesis 3%.(8,11,16)
Kasus ketiga, dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 15 tahun, dengan
keluhan kedua mata kabur dan menonjol sejak ±4 hari yang lalu post kecelakaan
lalu lintas 1 minggu sebelumnya, pasien sudah dirawat di bangsal bedah RS
M.Djamil, 3 hari dirawat mata mulai menonjol, pasien lalu dikonsulkan ke bagian
mata, diassement sebagai suspek fistula carotid kavernosus dan dianjurkan untuk
CT scan orbita, namun esoknya pasien pulang. Saat dirumah mata semakin
menonjol, pasien kemudian kembali dirawat dan dikonsulkan ke bagian mata.
Dari keadaan umum, tampak pasien sakit berat, dengan kesadaran menurun,
sehingga pemeriksaan oftalmologi untuk menilai visus belum dapat dilakukan.
Terdapat kemosis konyungtiva kedua mata. Pada kornea terdapat ulkus akibat
exposure kornea, dimana mata kanan lebih berat daripada mata kiri. Pemeriksaan
pupil tidak ditemukan RAPD. Posisi bola mata tampak protusio namun gerakan
bola mata belum bisa dinilai. Dari pemeriksaan penunjang didapat hasil
leukosititosis. Pasien ini diassesment sebagai selulitis orbita ODS dengan
kecurigaan trombosis Sinus Kavernosus, dan diberikan terapi sesuai manajemen

27
TSK yaitu antibiotik agresif, dimana pilihan yang diberikan pada pasien ini adalah
Meropenem dan Vancomycin.
Respon pasien terhadap terapi cukup baik terhadap terapi, dimana hari ke 2
pasien mulai sadar, dan saat evaluasi hari ke 4 didapatkan visus kedua mata yaitu
1/2
1/300 mata kanan dan /60 mata kiri, kemosis mulai berkurang,pada kornea
masih terdapat maserasi pada kornea kanan, dan dari pemeriksaan gerak bola mata
didapatkan oftalmoplegi. Pada hari kedua pasien diberi tambahan terapi
Methylprednisolon sebagai anti inflamasi dimana pada awalnya diberi dosis
0,8mg/kgBB, pada hari ke empat dosis dinaikkan menjadi 1mg/kgBB.Pada 12
hari rawatan, di lakukan assesment ulang pada segmen posterior, karena secara
klinis infeksi dan inflamasi telah menunjukkan perbaikan, namun hasil
pemeriksaan visus mata kiri yang didapatkan tidak sesuai dengan klinis. Pasien
dikonsulkan ke subbagian vitreoretina dan didapat hasil adanya sikatrik di makula
(lesi inaktif), lalu dilakukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium didapatkan
hasil toxoplasma Ig M non reaktif dan Ig G reaktif. Pasien menjalani rawatan
selama 4 minggu, setelah itu pasien melanjutkan terapi rawat jalan sambil
menurunkan dosis steroid.
Trombosis Sinus Kavernosus (TSK) adalah pembentukan bekuan darah di
dalam Sinus Kavernosus. Sinus Kavernosus memiliki pola drainase yang unik
digabung dengan vena yang tidak berkatup. Sinus Kavernosus juga berkomunikasi
antara satu dengan yang lainnya, menyilang pada garis tengah melalui vena
interkavernosus anterior dan posterior, sehingga berpotensi menyebabkan
trombosis bilateral. Sinus kevernosus juga mengandung trabekula-trabekula yang
dapat menyebabkan emboli terperangkap di dalamnya. Bakteri yang terperangkap
juga dapat menyebabkan trombosis dan dilindungi oleh trombus bekuan darah.(17–
19)

Gejala klinis yang ditemui pada TSK antara lain proptosis, kemosis
penurunan visus, relative afferent pupilary defect (RAPD), gangguan gerak bola
mata, kelumpuhan beberapa nervus kranial, gejala rangsangan meningeal hingga
gangguan kesadaran,dan pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan neuropati
optik. Proptosis dan kemosis terjadi akibat stasis aliran vena. Oftalmoplegia
eksterna terjadi akibat keterlibatan nervus oculomotor (III), nervus troklearis (IV)

28
dan nervus abducens (VI) pada Sinus Kavernosus. Nervus kranial VI paling
umum terlibat karena letaknya sentral, melewati Sinus Kavernosus dan nervus
kranial IV paling terakhir dipengaruhi. Nervus lain yang juga terlibat adalah
nervus trigeminal (V) cabang pertama dan kedua. Diagnosis TSK secara primer
berdasarkan kecurigaan klinis dan radiografi. Magnetic resonance imaging (MRI)
lebih sensitif daripada Computed tomography scan (CT scan) untuk mendeteksi
TSK karena dapat memperlihatkan vasografi dan melihat perubahan intensitas,
ukuran dan bentuk dari Sinus Kavernosus. Magnetic resonance
Angiography(MRA) merupakan Gold Standaruntuk mengidentifikasi filling defect
Sinus Kavernosus.(3,17,20)
Outcome dari terapi medikamentosa pada pasien infeksi orbita tergantung
pada durasi penyakit dan keterlibatan orbita. Terapi medikamentosa yang kuat dan
agresif harus diberikan pada tahap awal selulitis periorbita, karena jika hal ini
tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi selulitis orbita dan abses
orbita. Saat abses telah terbentuk, eksisi bedah atau drainase dikombinasikan
dengan terapi antibiotik merupakan pengobatan pilihan.(2,10,11)
Antibiotik pilihan pada selulitis preseptal dan post septal adalahantibiotik
yang poten untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, serta penambahan
antibiotik empiris (metronidazole atau clindamycin ) untuk memayungi organisme
anaerob yang mungkin terlibat. Obat-obatan dengan penetrasi baik pada blood
brain barrierjuga lebih disuka seperti agen antimikroba sensitif pada kuman
Methicillin-Sensitif Staphylococcus Aureus (MRSA). Obat-obat yang digunakan
antara lain golongan Cephalosporine generasi ketiga (Cefotaxime, Cefoperazone,
dan Ceftriaxone),antibiotik golongan ß-Laktam (Meropenem), kombinasi
Penisilin (misalnya Tikarsilin) dan inhibitor enzim ß-Laktamase (Asam
Klavulanat), Metronidazole (untuk kuman anaerob) dan Golongan Glycopeptide
(Vankomycin) diberikan dalam kasus dengan kecurigan MRSA.(2,10,11,15)
Saat ada kecurigaan atau telah ditegakkan diagnosis trombosis Sinus
Kavernosus, pengobatan yang diberikan harus meliputi antibiotik parentral
dengan dosis tinggi dan spektrum luas, mencakup kuman gram positif, gram
negatif dan bakteri anaerob, sampai bakteri patogen penyebab infeksi dapat
diidentifikasi. Pilihan terapi pada pasien ini disesuaikan dengan Panduan Praktek

29
Klinis (PPK) Trombosis Sinus Kavernosus di RS M. Djamil Padang, yaitu
pemberian Meropenem yang merupakan antibiotik ultra broad spectrum golongan
ß-lactam dan Vancomicyn selama 4-8 minggu, sebagai antibiotik empiris yang
harus langsung diberikan sebelum hasil kultur keluar.Antibiotik harus diberikan
selama beberapa minggu, meskipun di literatur disebutkan tidak ada standar,
umumnya diberikan minimal 4 hingga 6 minggu sama dengan manajemen infeksi
intravaskular seperti endotelitis atau plebitis supuratif, karena masih ada potensi
trombosis untuk kambuh jika pengobatan tidak cukup panjang dan bakteri bisa
tetap terlindungi dari antibiotik sistemik dalam trombus itu sendiri. Pembedahan
hampir tidak pernah diindikasikan untuk TSK, tapi mungkin diperlukan untuk
menghilangkan etiologi primer seperti sinusitis, infeksi gigi, abses orbita atau
infeksi intrakranial.(17–19)
Penggunaan steroid masih kontroversi dalam manajemen TSK karena
steroid dapat menghambat proses enkapsulasi, meningkatkan nekrosis jaringan,
mengurangi penetrasi antibiotik ke abses dan terapi steroid juga bisa
menghasilkan efek rebound saat dihentikan. Jika steroid dibutuhkan untuk
mengurangi edema serebral dan inflamasi nervus cranial yang terlibat, perlu
diperhatikan dosis yang tepat, waktu yang tepat, dan efek dari steroid.(16,18,20)
Banyak yang menganjurkan penggunaan antikoagulan, namun tidak ada
konsensus tentang penggunaannya, sehingga penggunaan antikoagulan masih
kontroversial. Antikoagulan berguna untuk mencegah trombosis lanjut dan
aktivitas fibrinolitik dari urokinase membantu melarutkan bekuan. Pemberian
awal heparin dapat berfungsi untuk mencegah penyebaran trombosis ke Sinus
Kavernosus lainnya serta sinus petrosus inferior dan superior. Secara empiris,
warfarin sodium bisa digunakan selama 4 sampai 6 minggu untuk memungkinkan
saluran kolateral yang adekuat berkembang.(2,17,18,20)
Drainase dengan pembedahan pada Sinus Kavernosus hampir tidak pernah
dilakukan, tetapi pembedahan penting untuk penatalaksanaan jika terdapat
sinusitis primer, infeksi dental, komplikasi abses otak, abses orbita atau empiema
subdural. Garcia dan Harris merekomendasikan drainase emergensi pada pasien
dengan abses luas dengan perburukan visus yang tidak respon dengan antibiotik
setelah 48 jam.(1,2)

30
BAB IV
KESIMPULAN

1. Kasus pertama merupakan kasus selulitis preseptal yang merupakan


komplikasi dari sinusitis maxillaris bilateral, diperberat dengan Diabetes
Melitus. Kombinasi terapi antibiotik intravena sesuai hasil kultur,
antiinflamasi, dan obat penurun gula darah memberi respon yang baik tanpa
ada komplikasi serius.
2. Kasus kedua merupakan kasus abses orbita yang disebabkan komplikasi
panrhinosinusitis. Manajemen utama pada pasien ini adalah dekompresi
orbita dengan pendekatan FESS, dilanjutkan pemberian antibiotik dan anti
inflamasi. Kombinasi terapi tersebut memberi hasil signifikan berupa
perbaikan visus dan perbaikan klinis lainnya.
3. Kasus ketiga merupakan kasus Selulitis Orbita dengan komplikasi Trombosis
Sinus Kavernosus yang terjadi post trauma, yang tatalaksananya terlambat
karena pasien dipulangkan. Trombosis Sinus Kavernosus merupakan kondisi
yang fatal, oleh karena itu manajemen terapi yang diberikan harus agresif,
yaitu antibiotik ultrabroad spectrum yang dikombinasikan antiinflamasi
sesuai klinis. Respon klinis terhadap terapi sangat baik, namun perbaikan
visus mata kiri tidak sempurna karena baru diketahui terdapat chorioretinitis
toxoplasma.
4. Manajemen pasien dengan infeksi orbita tergantung pada durasi penyakit dan
sejauh mana keterlibatan sinus paranasal, sinus cavernosus, meningen dan
sistemik(sepsis). Terapi medikamentosa yang kuat dan agresif harus
diberikan sejak dini untuk mencegah infeksi berkembang lebih lanjut, dan
saat abses telah terbentuk, eksisi bedah atau drainase dikombinasikan dengan
terapi antibiotik merupakan pengobatan pilihan
5. Dalam manajemen selulitis orbita prioritasnya adalah pada “live savety”
pasien, sehingga kadang-kadang manajemen komplikasi lain terlambat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Imtiaz A. Chaudhry, Waleed Al-Rashed, Osama Al-Sheikh YOA. Diagnosis and


Management of Orbita Cellulitis. Common Eye Infection. 2013;123–43.
2. Mallika, Sujatha, Narayan S, Sinumol. Orbita and Preseptal Cellulitis. Kerala Journal
Ophthalmology. 2011;XXIII:10–4.
3. Ebright JR, Pace MT, Niazi AF, John R. Ebright, Mitchell T. Pace AFN, Ebright JR,
Pace MT, et al. Septic Thrombosis Of The Cavernous Sinuses. Arch Intern Medical.
2001;161:2671–6.
4. Cantor LB, Rapuano CJ, George A. Cioffi. Orbita Inflammatory And Infectious
Disorders. In: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. San Fransisco: American Academy
of Ophthalmology; 2015. p. 39–43.
5. Faridah M, Azhany Y, Omar N, Ar R. Bilateral Orbita Cellulitis Secondary To
Furunculosis, A Case Series Report. Schoolar Journal Medical. 2015;3(September):892–
5.
6. Akcay E, Can GD, Cagil N. Preseptal and Orbita Cellulitis. Journal Microbiology
Infection Disesase. 2014;4(3):123–7.
7. Israele V, Nelson JD. PeriorbitaAnd Orbita Cellulitis. Pediatric Infection Disease
Journal. 2010;6(6):404–10.
8. Steinkuller P, Jones DB. Microbial Preseptal and Orbita Cellulitis. In: Duane’s Clinical
Ophthalmology [Internet]. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005.
Available from:
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v4/v4c025.html
9. Lee S, Yen MT. Management Of Preseptal And Orbita Cellulitis. Saudi Journal
Ophthalmology [Internet]. 2011;25(1):21–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.sjopt.2010.10.004
10. Brook I. Microbiology And Antimicrobial Treatment Of Orbita And Intracranial
Complications Of Sinusitis In Children And Their Management. International Journal
Pediatric Otorhinolaryngology [Internet]. 2009;73:1183–6. Available from:
www.elsevier.com/locate/ijporl
11. Chaudhry I, Al-Rashed W, Arat Y. The Hot Orbit: OrbitaCellulitis. Middle East Africa
Journal Ophthalmology. 2012;19(1):34.
12. Liu I-T, Kao S-C, Wang A-G, Tsai C-C, Liang C-K, Hsu W-M. Preseptal And Orbita
Cellulitis: A10-Year Review Of Hospitalized Patients. Journal China Med Association.
2006;69(9):415–22.
13. Colapinto P, Aslam SA, Frangouli O, Joshi N. Undiagnosed Type 2 Diabetes Mellitus
Presenting With Orbita Cellulitis. Orbit [Internet]. 2008;27(5):380–2. Available from:
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi.
14. Yang SJ, Park SY, Lee YJ, Kim HY, Seo JA, Kim SG, et al. Klebsiella Pneumoniae
Orbita Cellulitis With Extensive Vascular Occlusions In A Patient With Type 2
Diabetes. Korean Journal Internal Medicine. 2010;25(1):114–7.
15. Oxford LE, Mcclay J. Medical And Surgical Management Of Subperiosteal Orbita
Abscess Secondary To Acute Sinusitis In Children. International Journal Pediatric
Otorhinolaryngol [Internet]. 2006;25. Available from: www.elsevier.com/locate/ijporl
16. Sumantra IG, Marzuki. Trombosis Sinus Kavernosus. Jurnal Ilmiah Kedokteran.

32
2014;3(1):7–20.
17. Terni E, Giannini N, Chiti A, Gialdini G, Orlandi G, Montano V, et al. Cerebral Sinus
Venous Thrombosis. Journal Neuroscience Rural Practice. 2013;4:1.
18. Migirov L, Eyal A, Kronenberg J. Treatment of Cavernous Sinus Thrombosis. Israel
Medical Journal. 2002;4(June).
19. Kline LB, Acker JD, Donovan MJ, Vitek JJ. The Cavernous Sinus: A Computed
Tomographic Study. 2001;(August):299–305.
20. Yen MT. Effect Of Corticosteroids In The Acute Management Of Pediatric Orbita
Cellulitis With Subperiosteal Abscess. 2005;21(5):363–7.

33

Anda mungkin juga menyukai